Tag: Bhima Yudhistira

  • Kerja Keras Tak Cukup, Gimana Cara Orang Miskin Bisa Naik Kelas?

    Kerja Keras Tak Cukup, Gimana Cara Orang Miskin Bisa Naik Kelas?

    Jakarta

    Ketimpangan ekonomi masih menjadi masalah yang membelit banyak masyarakat di Indonesia. Akses terhadap pendidikan dan upah yang memadai menjadi salah satu penyebab struktural dari kalangan ekonomi rendah tetap kesulitan meningkatkan taraf hidup.

    Meski begitu, Direktur Eksekutif, CELIOS, Bhima Yudhistira menilai bukan hal yang mustahil untuk meningkatkan taraf hidup orang miskin di Indonesia agar mereka bisa ‘naik kelas’, setidaknya menjadi warga kelas menengah.

    Tentu dalam hal ini, menurutnya campur tangan pemerintah menjadi sangat penting. Salah satunya menyediakan fasilitas dan sarana pendidikan agar masyarakat miskin bisa mendapatkan pekerjaan dengan upah layak, serta ketersediaan fasilitas dasar seperti tempat tinggal dan air bersih jadi terjangkau.

    “Mendesak reformasi struktural, kebijakan pajak harus tajam ke atas, anggaran pendidikan jangan dipangkas untuk MBG, memastikan fasilitas dasar seperti air dan perumahan terjangkau,” kata Bhima kepada detikcom, Selasa (2/12/2025).

    Sementara itu, mereka yang miskin dinilai perlu untuk membatasi diri agar tidak konsumtif untuk hal-hal yang tidak perlu atau masih di luar kemampuan. Apalagi jika harus berutang dari peer to peer lending alias pinjaman online (pinjol).

    Parahnya lagi, menurut Bhima jangan sampai kelas menengah bahwa atau miskin terlibat dalam judi online (judol) jika tidak ingin hidup berkekurangan terus menerus.

    “Orang miskin jika mendapat bansos jangan untuk judol dan ketagihan pinjol,” tegas Bhima.

    Sementara itu, Ekonom Senior INDEF Tauhid Ahmad juga berpendapat bukan hal yang tidak mungkin bagi masyarakat miskin untuk naik kelas. Meski tentu mereka dari kalangan berpenghasilan rendah ini harus bekerja ekstra untuk bisa terbebas dari permasalahan struktural yang ada.

    Tauhid berpendapat salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan meningkatkan kemampuan atau skill di bidang tertentu. Sehingga mereka setidak-tidaknya bisa memulai usaha ‘naik kelas’ dari memiliki pekerjaan layak terlebih dulu.

    “Pertama ya tentu saja adalah penguatan skill mereka ya Kemampuan skill mereka, baik itu hardskill atau softskill mereka. Pendidikan minimum harus dicapai, misal semua minimal lulusan SMA/SMK ke atas,” ucapnya.

    “Kedua adalah bidang pekerjaan yang bisa mereka punya pendapatan yang cukup. Jadi terutama masuk ke lapangan pekerja formal, jangan ke informal,” sambung Tauhid.

    Di luar itu, pemerintah harus turut aktif membantu masyarakat kelas bawah ini agar bisa terbebas dari ‘lingkaran setan’ kemiskinan. Misalkan saja penyediaan layanan pendidikan dan kesehatan yang terjangkau.

    “Pemerintah harus siapkan jaminan sosial Ya, baik untuk pendidikan, kesehatan, kemudian layanan perumahan Air bersih dan sebagainya. Bahkan pembagian untuk katakanlah subsidi upah dan sebagainya itu diberlakukan,” tegas Tauhid.

    Lihat juga Video: Orang Miskin di Jatim Terbanyak, Tapi Pertumbuhan Ekonominya Naik

    (igo/eds)

  • Biang Kerok Orang Miskin Terus Miskin, yang Kaya Malah Makin Tajir

    Biang Kerok Orang Miskin Terus Miskin, yang Kaya Malah Makin Tajir

    Jakarta

    Orang miskin di Indonesia tetap miskin merupakan salah satu fenomena sosial tak terbantahkan. Kondisi ini terlihat dari social mobility index (indeks mobilitas sosial) masyarakat yang masih sangat rendah, terlebih jika dibandingkan dengan beberapa negara tetangga.

    Untuk diketahui, social mobility index adalah ukuran yang menilai sejauh mana seseorang atau suatu kelompok dapat mengubah status sosialnya, seperti pendapatan, pekerjaan, atau pendidikan, dibandingkan dengan orang tuanya.

    Direktur Eksekutif, CELIOS, Bhima Yudhistira, mengatakan tingkat perbaikan status atau social mobility index Indonesia masih lebih rendah dari Vietnam, Thailand, dan Filipina. Menunjukkan bagaimana peluang orang miskin di Tanah Air masih lebih kecil jika dibandingkan negara lain.

    “Data menunjukkan bahwa mobilitas sosial di Indonesia rendah, Social Mobility Index menempatkan Indonesia di urutan ke-67 lebih rendah dibanding Vietnam, Thailand, Filipina. Artinya kerja keras tidak menjamin status sosial akan naik,” kata Bhima kepada detikcom, Selasa (2/12/2025).

    Menurutnya terdapat sejumlah masalah struktural yang membuat kemampuan masyarakat miskin di Indonesia menjadi sangat rendah. Salah satunya korupsi dan monopoli sumber daya alam, hingga tingkat pendidikan keluarga miskin yang rendah membuat mereka sulit mendapatkan pekerjaan layak.

    “Ini akarnya ada pada korupsi sumber daya alam di segelintir orang, kualitas pendidikan yang timpang terutama di daerah kantong kemiskinan, dan ketersediaan lapangan kerja di sektor formal yang makin terbatas,” jelasnya.

    Selain itu menurutnya kebijakan pajak yang saat ini bersifat regresif menjadi faktor lain yang menggerus pendapatan masyarakat kelas bawah, membuat mereka semakin sulit untuk naik kelas. Sementara kalangan kelas atas malah mendapatkan fasilitas berupa insentif hingga tax amnesty yang membuat pengeluaran mereka untuk pajak menjadi lebih rendah.

    “Contohnya kebijakan PPN makin rendah pendapatan makin tinggi porsi pembayaran pajak pertambahan nilai. Design kebijakan untuk orang kaya diberi tax amnesty berkali kali. Itu baru dari sisi kebijakan pajak, belum terkait ketimpangan infrastruktur dan layanan dasar,” jelasnya.

    Hal senada juga disampaikan oleh Ekonom Senior INDEF Tauhid Ahmad yang menilai orang miskin di Indonesia sulit untuk naik kelas. Menurutnya terdapat hambatan struktural yang membuat orang miskin akan tetap miskin, misalkan saja terkait tingkat pendapatan dan pendidikan masyarakat kelas bawah.

    “Kalau orang kelompok bawah mengakses pendidikan yang baik, kesehatan yang baik, pekerjaan yang baik relatif lebih sulit, lebih susah dibandingkan orang yang kaya atau yang kelompok menengah,” paparnya.

    “Ada lingkaran setan kemiskinan. Pendidikan rendah akan menyebabkan lapangan pekerjaan dengan pendapatan yang rendah serta pendapatan rendah akan mengeluarkan biaya pendidikan rendah,” ucap Tauhid lagi.

    Tak hanya akses dana untuk pendidikan, menurut Tauhid lemahnya pendapatan orang miskin ini menjadi masalah struktural lain di mana mereka sulit untuk membuka usaha sendiri. Sebab mereka tidak memiliki dana yang cukup untuk membuka usahanya sendiri, atau skala usaha yang bisa digeluti tergolong mikro.

    “Ya kan gampang kalau orang kaya punya modal, mereka bikin usaha. Punya modal, bisa menghasilkan, bisa mempekerjakan orang, kan gitu. Tapi kalau orang miskin kan benar-benar mereka hanya bisa jadi kelas pekerja. Pendidikan SMP-SMA ke bawah, bekerja sebagai buruh, tani di pedesaan, atau buruh industri,” terangnya.

    (igo/eds)

  • Orang Miskin di RI Sulit Naik Kelas Meski Sudah Kerja Keras, Ini Buktinya

    Orang Miskin di RI Sulit Naik Kelas Meski Sudah Kerja Keras, Ini Buktinya

    Jakarta

    Ketimpangan ekonomi masih menjadi masalah yang membelit banyak masyarakat di Indonesia, memunculkan anggapan yang kaya makin kaya dan yang miskin malah makin miskin.

    Namun kenapa orang miskin susah jadi orang kaya? Apakah kerja keras saja tidak cukup?

    Direktur Eksekutif, CELIOS, Bhima Yudhistira, mengatakan sulitnya orang miskin untuk naik kelas di Indonesia dapat terlihat dari social mobility index (indeks mobilitas sosial) masyarakat.

    Untuk diketahui, social mobility index adalah ukuran yang menilai sejauh mana seseorang atau suatu kelompok dapat mengubah status sosialnya, seperti pendapatan, pekerjaan, atau pendidikan, dibandingkan dengan orang tuanya.

    Dalam hal ini, menurutnya tingkat perbaikan status masyarakat miskin di Indonesia masih lebih rendah dari negara tetangga seperti Vietnam, Thailand, dan Filipina. Menunjukkan bagaimana peluang orang miskin di Tanah Air masih lebih kecil jika dibandingkan negara lain.

    “Data menunjukkan bahwa mobilitas sosial di Indonesia rendah, Social Mobility Index menempatkan Indonesia di urutan ke-67 lebih rendah dibanding Vietnam, Thailand, Filipina. Artinya kerja keras tidak menjamin status sosial akan naik,” kata Bhima kepada detikcom, Selasa (2/12/2025).

    Bahkan menurutnya, saat ini memiliki pekerjaan saja tak cukup untuk membuat orang miskin kemudian bisa langsung naik kelas menjadi setidaknya kelas menengah atau menengah ke bawah.

    Sebab mayoritas pekerjaan yang digeluti orang miskin bersifat informal yang tidak bisa memberikan kesejahteraan cukup untuk kemudian mereka bisa naik kelas. Atau kalau tidak pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan sebatas cukup untuk keperluan hidup sehari-hari.

    Dengan kondisi seperti ini, tak heran jika Bhima kemudian beranggapan bahwa ungkapan rajin pangkal kaya benar adanya. Karena si miskin akan tetap miskin, dan si kaya akan tetap kaya.

    “Orang miskin, mendapat pekerjaan, tidak langsung bisa jadi kelas menengah. Cuma mitos rajin kerja pangkal kaya. Ada masalah struktural yang buat orang miskin melahirkan kemiskinan baru,” tegas Bhima.

    Hal senada juga disampaikan oleh Ekonom Senior INDEF Tauhid Ahmad yang menilai orang miskin di Indonesia sulit untuk naik kelas. Menurutnya terdapat hambatan struktural yang membuat orang miskin akan tetap miskin, misalkan saja terkait tingkat pendapatan dan pendidikan masyarakat kelas bawah.

    “Ada lingkaran setan kemiskinan. Pendidikan rendah akan menyebabkan lapangan pekerjaan dengan pendapatan yang rendah serta pendapatan rendah akan mengeluarkan biaya pendidikan rendah,” ucap Tauhid.

    Sementara itu, si kaya akan semakin kaya karena mereka dari awal memiliki sumber daya cukup untuk menempuh pendidikan yang baik, membuat mereka bisa mendapat pekerjaan dengan pendapatan yang tinggi juga.

    Menciptakan kesenjangan sosial antara si miskin dengan si kaya yang dapat dengan mudah terlihat dari dua indikator, yakni jumlah tabungan atau simpanan dana di bank dan gini rasio.

    Terkait jumlah tabungan atau simpanan, menurut data Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), pertumbuhan tabungan masyarakat atau individu yang kurang dari Rp 100 juta mengalami perlambatan. Sementara yang memiliki tabungan di atas Rp 5 miliar justru cenderung mengalami laju peningkatan signifikan.

    Kemudian terkait data yang menjadi indikator ketimpangan pendapatan, data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa gini rasio nasional berada di angka 0,375. Dalam hal ini terdapat tujuh provinsi dengan angka gini rasio lebih tinggi dari rata-rata nasional, dengan angka tertinggi adalah Jakarta dengan nilai 0,441.

    Gini rasio berada di antara 0-1. Jika mendekati 0, artinya setiap orang atau kelompok menerima pendapatan yang sama dengan yang lainnya. Jika mendekati 1, artinya pendapatan itu hanya diterima oleh satu orang atau satu kelompok saja dan lainnya tidak sama sekali.

    “Artinya kesenjangan pendapatan kita itu masih relatif tinggi. Saya kira faktanya itu, dua indikator kesenjangan. Saya kira dua itu sih yang paling kuat ya data menunjukkan ketimpangan antar pendapatan,” jelasnya.

    (igo/eds)

  • Kala Prabowo Perintahkan Mensesneg Kawal Penyerapan APBD

    Kala Prabowo Perintahkan Mensesneg Kawal Penyerapan APBD

    Bisnis.com, JAKARTA — Keputusan Presiden Prabowo Subianto dalam memerintahkan Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Prasetyo Hadi untuk memeriksa penyerapan anggaran pemerintah pusat maupun daerah menimbulkan berbagai pertanyaan. 

    Untuk diketahui, Prabowo menggelar rapat khusus dengan sejumlah menteri Kabinet Merah Putih, Selasa (11/11/2025), sebelum bertolak ke Australia. Salah satu materi pembahasan adalah percepatan penyerapan anggaran pemerintah pusat maupun daerah jelang akhir tahun.

    Kendati membahas soal penyerapan anggaran, rapat khusus yang diselenggarakan di Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma itu tidak dihadiri oleh Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa maupun Kementerian Keuangan (Kemenkeu). 

    Padahal, Sekretaris Kabinet (Seskab) Teddy Indra Wijaya menyebut Presiden sampai menunda penerbangannya selama dua jam untuk menggelar rapat tertutup itu. 

    “Presiden Prabowo Subianto menunda jadwal penerbangan selama dua jam untuk memimpin rapat khusus di Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta, pada Selasa, 11 November 2025,” ujar Seskab Teddy dalam keterangan tertulisnya, dikutip dari situs resmi Sekretariat Kabinet (Setkab), Selasa (11/11/2025). 

    Pada rapat tersebut juga, Teddy turut mengungkap bahwa Presiden telah memerintahkan Mensesneg Prasetyo Hadi untuk melakukan koordinasi lintas kementerian serta memastikan penyerapan anggaran berjalan optimal jelang akhir tahun. 

    “Presiden juga menugaskan Menteri Sekretaris Negara untuk segera mengoordinasikan serta memeriksa penyerapan anggaran dan penggunaan transfer ke daerah yang dikelola oleh para kepala daerah menjelang akhir tahun ini,” terangnya. 

    Kepala Negara, terangnya, memberikan arahan terkait dengan pentingnya pengelolaan keuangan negara yang akuntabel dan berorientasi pada hasil nyata bagi masyarakat. Prabowo disebut menekankan agar setiap anggaran yang bersumber dari uang rakyat digunakan dengan penuh tanggung jawab dan tepat waktu.

    “Setiap rupiah uang rakyat yang dialokasikan harus tepat sasaran dan harus digunakan sesuai periode waktu yang ditetapkan, termasuk dana di daerah, yang juga merupakan uang rakyat,” demikian pesan Prabowo yang disampaikan Teddy. 

    Adapun rapat itu dihadiri langsung oleh Wakil Presiden Gibran Rakabuming, Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad, Mensesneg Prasetyo Hadi, Menteri Luar Negeri Sugiono, Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin, Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Muhammad Yusuf Ateh, Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Ivan Yustiavandana serta Sekretaris Kabinet Teddy Indra Wijaya.

    Tepatkah Penunjukkan Mensesneg?

    Ketidakhadiran Purbaya menjadi pertanyaan lantaran Menkeu adalah pejabat yang diberikan kekuasaan oleh Presiden, selaku pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan negara, untuk mengelola fiskal. Hal ini menjadi amanat Undang-Undang (UU) tentang Keuangan Negara. 

    Direktur dan Pendiri Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai, penunjukkan Mensesneg Prasetyo Hadi untuk mengurus belanja pemerintah pusat maupun daerah kurang tepat. Dia menilai harusnya koordinasi dilakukan oleh Menkeu Purbaya dan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian. 

    Namun, Bhima menduga belakangan kepercayaan Prabowo berkurang kepada Menkeu yang ditunjuk olehnya menggantikan Sri Mulyani Indrawati itu. Hal itu tidak hanya terlihat dari peranan koordinator belanja pemerintah yang tidak diinstruksikan kepada Purbaya.  

    “Contohnya adalah polemik APBN dalam utang Whoosh, di mana Purbaya sebelumnya menolak, tetapi Prabowo justru berkomitmen membantu keuangan Whoosh. Soal serapan anggaran yang diserahkan ke Mensesneg juga menjadi pertanyaan, kenapa bukan Purbaya?,” ujar Bhima kepada Bisnis, Selasa (11/11/2025). 

    Di sisi lain, menurut Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Institute for Development of Economics and Finance (Indef) M. Rizal Taufikurrahman, instruksi Prabowo ke Prasetyo untuk mengoordinasikan percepatan belanja pemerintah jelang akhir tahun mencerminkan upaya memperkuat fungsi eksekutif dalam memastikan efektivitas belanja publik. 

    Rizal melihat langkah Prabowo itu tidak serta-merta menunjukkan ketidakpercayaan terhadap Purbaya, tetapi menandakan pendekatan manajerial Presiden yang menekankan kendali langsung dan percepatan koordinasi lintas kementerian serta pemerintah daerah. 

    Dalam konteks historis, lanjutnya, serapan anggaran yang menumpuk di akhir tahun menunjukkan kelemahan koordinasi antarlembaga dan perencanaan proyek. Oleh sebab itu, intervensi politik di level Presiden menjadi logis untuk mendorong pelaksanaan program yang stagnan.

    Kendati demikian, penugasan Mensesneg dinilai berisiko tumpang tindih dengan kewenangan Kemenkeu dan Bappenas. Risiko itu utamanya bisa terjadi apabila tidak disertai pembagian fungsi yang tegas antara koordinasi birokratis dan otoritas fiskal.

    “Keputusan ini menunjukkan pola kepemimpinan Prabowo yang berorientasi pada hasil dan kontrol sentral. Dengan menugaskan Mensesneg, Presiden memperluas lingkup koordinasi ke ranah administratif-implementatif untuk mengurangi bottleneck birokrasi yang kerap menghambat belanja pemerintah,” terang Rizal kepada Bisnis.

  • Gaya Hidup Tak Sesuai Isi Dompet

    Gaya Hidup Tak Sesuai Isi Dompet

    Jakarta

    Jumlah utang Peer to Peer (P2P) Lending atau pinjaman online (pinjol) di Indonesia semakin membludak. Terakhir, Otoritas Jasa Keuangan melaporkan outstanding pinjaman masyarakat per September 2025 tembus Rp 90,99 triliun, naik 22,16% secara tahunan (year-on-year/YoY).

    Direktur Eksekutif CELIOS Bhima Yudhistira memperkirakan peningkatan jumlah utang pinjol ini didorong oleh pelemahan daya beli masyarakat imbas terbatasnya penciptaan lapangan kerja formal baru hingga biaya hidup yang semakin besar, terutama di wilayah perkotaan.

    “Daya beli masyarakat sedang melemah, konsumsi rumah tangga secara agregat tumbuh tapi dibawah 5% pada kuartal III 2025. Sulitnya cari pekerjaan formal, dan biaya hidup yang naik terutama di perkotaan akibatkan masyarakat cari pinjaman online,” kata Bhima kepada detikcom, Selasa (11/11/2025).

    Di sisi lain, kemudahan dalam mengakses pinjaman juga menjadi faktor lain yang membuat pinjaman online masyarakat kian membengkak. Padahal menurutnya di balik kemudahan itu terdapat risiko yang cukup besar berupa beban bunga dan denda jika tak sanggup membayar.

    “Di satu sisi edukasi masih kurang soal risiko pinjol. Masyarakat tahunya cuma akses cepat, tinggal klik dan foto selfie dengan KTP, tapi konsekuensi besarnya beban bunga, denda administratif kadang dikesampingkan,” paparnya.

    Karenanya untuk mengatasi permasalahan ini, Bhima berpendapat pemerintah harus memiliki solusi untuk memperbaiki daya beli masyarakat sekaligus dorong edukasi keuangan. Di mana untuk peningkatan daya beli masyarakat ini menurutnya dapat didorong dengan peningkatan upah minimum hingga perluasan penerima bantuan sosial (bansos) tunai.

    “Menyelamatkan industri padat karya terutama garmen dan alas kaki, naikkan upah minimum 8,5-10% tahun depan, perluas bansos tunai ke desil 5 kelompok menengah, Tindak korupsi dan praktik orang dalam yang buat macet mobilitas sosial,” terang Bhima.

    Sementara itu, Ekonom senior INDEF Tauhid Ahmad juga berpendapat faktor pendorong peningkatan jumlah utang pinjol ini adalah penurunan daya beli. Namun menurutnya faktor ini berlaku untuk kelas menengah ke bawah.

    Di luar itu, menurut Tauhid ada kelompok peminjam yang secara ekonomi sebenarnya cukup untuk memenuhi kehidupan sehari-hari tanpa harus berutang di pinjol. Namun karena gaya hidup, pada akhirnya mereka mengajukan pinjaman.

    “Pinjaman online bisa disebabkan oleh daya beli. Karena mereka kurang, mereka pinjam begitu ya, itu terdapat pada kelompok yang bawah. Tapi yang menengah ke atas bukan karena daya beli, tapi karena gaya hidup,” ucapnya.

    “Untuk beberapa produk itu sangat konsumtif. Misalnya kebutuhan buat beli pulsa, kemudian beli kebutuhan perawatan kesehatan, alat rumah tangga dan sebagainya ketimbang untuk kebutuhan hidup,” sambung Tauhid.

    Faktor daya beli rendah dan gaya hidup yang tak sesuai isi dompet ini kemudian didorong oleh kemudahan masyarakat dalam mengajukan pinjaman online. Pada akhirnya mereka tergiur untuk meminjam, padahal cicilan dan bunga utang sudah menanti di bulan berikutnya.

    “Jadi dari sisi online, pinjaman online itu memang gecar melakukan promosi dengan beragam kemudahan-kemudahan pembayaran, dianggap bunga cicilan murah, gampang untuk mendapatkan, persyaratan mudah, kemudian jangka waktu relatif tidak dibatasi. Dari sisi demand ada, dari sisi supply tadi juga ada,” terang Tauhid.

    “Dengan sistem pinjaman yang mudah, nah ini kan bunganya ternyata mahal, bisa di atas 100% per tahun. Sehingga pada bulan berikutnya mereka harus melunasi kewajiban atau utangnya tersebut. Nah itu yang kemudian menggerus daya beli,” tegasnya.

    Tonton juga video “Bocah SMP di Kulon Progo Bolos Sekolah Sebulan gegara Terjerat Judol-Pinjol”

    (igo/fdl)

  • Karena Pinjol, Gaji Warga RI Habis Cuma buat Bayar Cicilan

    Karena Pinjol, Gaji Warga RI Habis Cuma buat Bayar Cicilan

    Jakarta

    Utang masyarakat di layanan Peer to Peer (P2P) Lending atau pinjaman online (pinjol) yang terus membengkak hingga Rp 90,99 triliun merupakan sinyal buruk untuk perekonomian nasional. Sebab kondisi ini menunjukkan banyaknya warga RI yang sudah tak memiliki cukup dana untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari yang mendesak.

    “Bukan sinyal pinjaman untuk menggerakkan sisi produktivitas ekonomi, tapi lebih ke survival mode atau bertahan hidup,” kata Direktur Eksekutif CELIOS Bhima Yudhistira kepada detikcom, Selasa (11/11/2025).

    Masalahnya jika kondisi ini terus berlanjut, Bhima mengatakan daya beli masyarakat yang sudah rendah dapat semakin tergerus karena gaji atau pendapatan mereka habis hanya untuk membayar bunga dan cicilan pinjol.

    Belum lagi jika ternyata mereka terjebak dalam siklus utang ke utang, di mana untuk bisa membayar utang sebelumnya mereka perlu menambah utang di pinjol lain. Alhasil jarak kemampuan ekonomi antara mereka yang terpaksa berutang di pinjol dengan mereka yang tidak akan semakin lebar.

    “Pendapatan dari gaji atau penghasilan lain akan terkuras buat bayar cicilan dan bunga pinjol,” tegasnya.

    “Ekonomi jauh lebih berat, yang rentan ketagihan pinjol, yang kaya beli emas batangan. Indikator ekonomi sedang hadapi perfect storm. Makin lebar ketimpangan,” jelas Bhima lagi.

    Senada, Ekonom senior INDEF Tauhid Ahmad turut memperingatkan bagaimana peningkatan utang pinjol dapat menggerus daya beli masyarakat karena penghasilan mereka habis hanya untuk bayar cicilan dan bunga.

    “Mereka akan cenderung konsumtif, bukan produktif. Tentu saja daya belinya turun. Sehingga bisa jadi ketika utang mereka berlebih atau over leverage, itu akhirnya menyebabkan gagal bayar massal. Nah itu yang dikhawatirkan bagi rumah tangga tersebut,” jelasnya.

    Lebih lanjut, Tauhid mengatakan secara makro tingginya utang masyarakat di pinjol ini dapat menyebabkan distorsi keuangan. Di mana karena kemudahan saat meminjam dana serta persyaratan yang lebih ringan, banyak orang malah akan lari ke pinjaman konsumtif berbunga tinggi.

    Sebab untuk mengajukan pinjaman dengan bunga yang lebih terjangkau seperti di bank mereka sudah tak memenuhi syarat imbas kepemilikan utang pinjol tadi. Masalahnya jika kondisi ini terus berlanjut, baik dari sisi peminjam maupun pemberi pinjaman akan menghadapi risiko gagal bayar utang yang semakin tinggi.

    “Nah itu akan membuat stabilitas sistem keuangan juga berisiko tinggi. Apalagi kalau Nilai pinjamannya di atas Rp 90 triliun ya ini yang tercatat dan tidak ada agunan, tidak ada jaminan dan sebagainya otomatis itu meningkatkan risiko gagal bayar jauh lebih besar,” terangnya.

    “Nah sehingga bukan ke investasi yang produktif. Kan kalau orang pinjamnya ke produktif itu akan baik buat perekonomian. Tapi kalau kelamaan buat konsumtif ya bisa buat ekonomi nggak berkembang,” jelas Tauhid lagi.

    Tonton juga video “Bocah SMP di Kulon Progo Bolos Sekolah Sebulan gegara Terjerat Judol-Pinjol”

    (igo/fdl)

  • Utang Pinjol Makin Menggunung, Gejala Buruk buat Ekonomi RI

    Utang Pinjol Makin Menggunung, Gejala Buruk buat Ekonomi RI

    Jakarta

    Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melaporkan outstanding utang masyarakat Indonesia di Peer to Peer (P2P) Lending atau pinjaman online (pinjol) per September 2025 tembus Rp 90,99 triliun. Jumlah ini tercatat naik hingga 22,16% secara tahunan (year-on-year/YoY).

    Secara bulanan, angka itu juga tercatat naik sekitar 3,86% dari bulan Agustus 2025 yang mencapai Rp 87,61 triliun. Parahnya lagi, pertumbuhan pembiayaan itu juga diiringi dengan peningkatan kredit macet atau tingkat wanprestasi di atas 90 hari (TWP90) mencapai 2,82% pada September 2025.

    Jumlah wanprestasi ini lebih tinggi sedikit dibandingkan Agustus 2025 di level 2,60%. Menunjukkan bagaimana jumlah orang yang gagal bayar utang pinjol semakin bertambah.

    Direktur Eksekutif CELIOS Bhima Yudhistira mengatakan kenaikan jumlah utang pinjol masyarakat ini bukan sinyal positif untuk perekonomian nasional. Karena secara umum peningkatan jumlah utang tersebut menunjukkan bagaimana pendapatan masyarakat tak lagi cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari yang mendesak.

    Masalahnya, menurut Bhima mayoritas utang pinjol digunakan untuk pendanaan konsumtif, sehingga dana tersebut habis begitu saja dan menyisakan bunga yang terus berlipat ganda. Jika tidak diatasi dengan baik, utang-utang ini malah akan menjadi beban yang semakin hari semakin berat.

    “Masyarakat makin butuh dana cepat, pinjol jadi jawabannya, dan ini bukan indikator ekonomi yang positif,” kata Bhima kepada detikcom, Selasa (11/11/2025).

    “Masyarakat tahunya cuma akses cepat, tinggal klik dan foto selfie dengan KTP, tapi konsekuensi besarnya beban bunga, denda administratif kadang dikesampingkan. Khawatir pinjol yang sifatnya konsumtif akan berakhir menjadi siklus utang ke utang. Untuk tutup tagihan pinjol, akhirnya pinjam ke pinjol lainnya,” sambungnya.

    Karena sifat utang pinjol yang dominan digunakan untuk keperluan konsumtif inilah, Bhima melihat kenaikan outstanding utang yang kini mencapai Rp 90,99 triliun sebagai sebuah kekhawatiran. Ditakutkan, kondisi ini akan mendorong masyarakat untuk mau tak mau menggunakan pendapatan dari gaji atau penghasilan lain hanya untuk bayar cicilan dan bunga pinjol.

    Pada akhirnya, daya beli masyarakat yang sudah rendah hingga memaksa mereka untuk berutang akan semakin turun imbas kehabisan dana karena bayar utang, yang secara jangka panjang dapat menahan laju pertumbuhan ekonomi nasional.

    “Daya beli makin turun, pertumbuhan ekonomi bisa sulit capai di atas 5,5% tahun ini,” tegas Bhima.

    Senada, Ekonom senior INDEF Tauhid Ahmad menilai kenaikan outstanding utang pinjaman online bukan pertanda baik untuk pertumbuhan ekonomi Indonesia. Sebab saat utang pinjol terus membengkak, daya beli masyarakat khususnya kelas menengah ke bawah malah semakin turun.

    Kondisi ini menunjukkan bagaimana uang atau gaji masyarakat sudah habis untuk membayar cicilan utang dan bunga. Alhasil mereka tidak memiliki kemampuan untuk membeli kebutuhan-kebutuhan lain sampai utang-utangnya terlunasi.

    “Kalau kita perhatikan itu semakin tinggi utang pinjol, semakin rendah konsumsi masyarakat, grafiknya turun, berkebalikan,” terangnya.

    Permasalahannya, Tauhid juga berpendapat jika mayoritas utang pinjol ini digunakan masyarakat untuk kebutuhan konsumtif. Di mana untuk kelas menengah bawah banyak menggunakan utang untuk kebutuhan sehari-hari karena daya beli sudah rendah, sementara untuk kelas menengah dan menengah ke atas banyak menggunakan dana pinjaman ini untuk memenuhi gaya hidup.

    “Kalau produktif mungkin mereka nggak berani. Karena kan bunganya katakanlah total bisa di atas 100% per tahun. Mana ada bisnis yang bisa menghasilkan keuntungan di atas 100% per tahun. Kan jadi sulit untuk digunakan ke sektor produktif, terjebak di konsumtif mulu,” kata Tauhid.

    Tonton juga video “OJK: Utang Pinjol Warga RI Naik ke Angka Rp 87,61 T”

    (igo/fdl)

  • Babak Baru Penghiliran Nikel, Izin Baru Smelter Dibatasi

    Babak Baru Penghiliran Nikel, Izin Baru Smelter Dibatasi

    Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah akhirnya membatasi izin investasi baru untuk pembangunan smelter nikel yang hanya memproduksi produk antara (intermediate) tertentu di Indonesia. Kebijakan ini dinilai dapat mendorong pengembangan penghiliran nikel ke tahap lebih lanjut.

    Adapun, pembatasan izin smelter baru itu tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko. Beleid ini mensyaratkan bagi industri pembuatan logam dasar bukan besi tidak membangun smelter yang khusus memproduksi produk intermediate, seperti nickel matte, mixed hydroxide precipitate (MHP), feronikel (FeNi), dan nickel pig iron (NPI).

    “Dalam hal menjalankan kegiatan pemurnian nikel dengan teknologi pirometalurgi [RKEF], memiliki dan menyampaikan surat pernyataan tidak memproduksi NPI, FeNi, dan nickel matte,” demikian tertulis dalam lampiran 1.F 3534 beleid tersebut dikutip Minggu (9/11/2025).

    Masih dalam lampiran yang sama, pemerintah juga membatasi investasi baru pembangunan smelter dengan teknologi hidrometalurgi atau berbasis high pressure acid leach (HPAL) yang hanya memproduksi MHP. Adapun, MHP umumnya menjadi bahan baku baterai kendaraan listrik (electric vehicle/EV).

    Jika mengacu pada klasifikasi bisnisnya, smelter yang dimaksud termasuk dalam kategori industri manufaktur. Artinya, bukan yang terintegrasi dengan pertambangan. Dengan kata lain, aturan ini berlaku untuk perusahaan smelter nikel yang mendapat izin usaha industri (IUI) dari Kementerian Perindustrian (Kemenperin).

    Menanggapi kebijakan tersebut, Ketua Forum Industri Nikel Indonesia (FINI) Arif Perdana Kusumah mengamini bahwa pembatasan izin smelter baru yang memproduksi produk antara itu dirancang untuk membuka peluang investasi baru. Ini khususnya demi mengundang investor untuk memproduksi produk hilir lebih lanjut seperti baja tahan karat, nikel sulfat, atau bahkan barang jadi.

    Menurutnya, investasi smelter yang memproduksi produk jadi, akan menciptakan nilai tambah yang lebih besar bagi industri nikel di Indonesia.

    “Melalui peraturan pemerintah ini [PP Nomor 28 tahun 2025], pemerintah Indonesia masih memperbolehkan proyek pengolahan dan pemurnian nikel baru sepanjang badan usaha tersebut tidak hanya bertujuan menghasilkan produk antara, tetapi juga mengembangkan produk akhir lebih lanjut,” ujar Arif kepada Bisnis, Minggu (9/11/2025). 

    Namun demikian, pihaknya meminta pemerintah memberikan pengecualian untuk sejumlah proyek smelter yang sedang dibangun. Artinya, smelter yang saat ini sedang dibangun masih diperbolehkan untuk diteruskan hingga rampung.

    Arif menuturkan, saat ini, beberapa perusahaan anggota FINI telah memulai pembangunan smelter sebelum PP Nomor 28 tahun 2025 tersebut berlaku. Menurutnya, proses pembangunan ini telah berlangsung cukup lama. Perusahaan juga telah menggelontorkan dana investasi yang signifikan.

    Oleh karena itu, FINI juga mengadvokasi para anggotanya yang saat ini sedang dalam tahap pembangunan smelter.

    “Kami memohon agar pemerintah memberikan pengecualian terhadap ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2025, dengan mempertimbangkan kesiapan produksi dan proses konstruksi atau pengembangan yang telah dilakukan,” katanya.

    Dia menyebut bahwa permohonan ini semata-mata untuk menjaga produktivitas industri hilir mineral nikel dan menciptakan iklim investasi yang kondusif dan berkeadilan.

    Menjaga Keekonomian Nikel

    Sementara itu, Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (Pushep) Bisman Bhaktiar menilai kebijakan pemerintah itu sudah tepat karena memang jumlah smelter existing sudah berlebih.

    Dia mengatakan, pembatasan smelter penting untuk menjaga pasokan dan memperbaiki harga nikel di tingkat global. Maklum, belakangan harga nikel kini anjlok hampir 40% dibandingkan dengan 5 sampai 7 tahun lalu, dari level US$38.000 per ton menjadi US$15.000 per ton.

    Anjloknya harga nikel itu tak lepas dari maraknya smelter di Tanah Air. Sayangnya, menjamurnya smelter tidak diimbangi dengan permintaan yang stabil di pasar global.

    Alhasil, beberapa smelter pun tumbang tahun ini. Berdasarkan catatan Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), setidaknya terdapat empat smelter besar investasi dari China di wilayah Sulawesi yang menyetop sebagian atau total lini produksinya.

    Empat smelter yang dimaksud yaitu PT Gunbuster Nickel Industry (GNI) yang mengurangi 15-20 lini produksi nikel sejak awal 2024. Sepanjang tahun lalu, tercatat 28 smelter ditutup di berbagai wilayah, paling banyak dari PT GNI.

    Kemudian, PT Indonesia Tsingshan Stainless Steel (ITSS) yang menghentikan beberapa lini baja nirkarat dan jalur cold rolling sejak Mei 2025. Lalu, PT Virtue Dragon Nickel Industry (VDNI) di Konawe yang mengurangi kapasitas produksi, meski datanya tidak menyebutkan jumlah lini spesifik.

    Terbaru, PT Huadi Nickel Alloy Indonesia (HNAI) yang disebut telah mengurangi kapasitas agregat dan menghentikan operasional sementara sejak 15 Juli 2025. Alhasil, dikabarkan 1.200 karyawan terdampak dirumahkan.

    Karena itu, Bisman menilai pembatasan pembangunan smelter baru menjadi hal mendesak. “Hal ini juga penting untuk menjaga kesinambungan pasokan nikel. Selain itu, juga untuk menjaga keseimbangan nilai keekonomian produk nikel,” ucapnya.

    Dia berpendapat, ke depan pemerintah perlu lebih fokus pada membangun ekosistem industri nikel serta produk turunan dari smelter.

    Di sisi lain, Bisman mengamini kebijakan baru itu dapat membuat investor gusar. Ini khususnya bagi investor yang sebelumnya berencana membangun smelter yang memproduksi MHP, FeNi, dan NPI.

    “Dampak negatifnya mungkin terkait kepercayaan investor terutama investor yang sudah siap-siap mau bangun smelter,” tutur Bisman.

    Pengendalian Izin Tambang Perlu Diperhatikan

    Sementara itu, ekonom sekaligus Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira berpendapat, pembatasan izin investasi pembangunan smelter nikel baru harus diiringi moratorium izin tambang.

    Menurutnya, hal ini perlu dilakukan jika pemerintah memang betul-betul ingin mengatasi oversuplai nikel. Bhima mencatat jumlah smelter nikel yang sudah berdiri saat ini sebanyak 54 unit.

    Dia menilai jumlah itu berperan dalam oversuplai produksi nikel olahan di pasar ekspor. Sementara itu, terdapat 38 smelter yang sedang dalam tahap konstruksi dan 45 smelter dalam perencanaan.

    Selanjutnya, Bhima menyebut bahwa jumlah rencana keuangan anggaran perusahaan (RKAP) yang tahun ini disetujui oleh Kementerian ESDM sudah sebanyak 292 izin, dengan total izin usaha pertambangan khusus (IUPK) seluas 866.292 hektare.

    “Dengan luasan konsesi yang begitu besar dan izin tambang yang terus bertambah, meski izin smelter baru dimoratorium, tanpa kontrol di sektor hulu hanya akan memindahkan tekanan dari industri pengolahan ke kawasan tambang,” ucap Bhima.

    Menurutnya, jika IUPK tak dibatasi, maka akan memperparah kerusakan ekologis dan konflik sosial.

    Dalam laporan bersama, Celios dan CREA mencatat total kerugian pendapatan petani dan nelayan di wilayah nikel sebesar US$234,84 juta atau sekitar Rp3,64 triliun dalam 13 tahun ke depan. Di samping itu, terdapat potensi lebih dari 3.800 kematian dini pada 2025 dan hampir 5.000 kasus pada 2030.

    Dia juga mencermati adanya kontradiksi antara moratorium izin smelter dengan rencana Danantara yang ingin membangun smelter baru.

    Menurutnya, di tengah situasi pasar yang jenuh dan harga yang terus merosot, pemerintah Indonesia justru mengumumkan akan membiayai proyek smelter nikel milik Vale Indonesia (INCO) dan GEM Co. Ltd. (China), melalui program Danantara.

    “Kontradiksi ini memperlihatkan inkonsistensi kebijakan: di satu sisi pemerintah berupaya menahan ekspansi, tetapi di sisi lain tetap mendorong investasi baru melalui skema pembiayaan negara,” kata Bhima.

  • Purbaya Target Redenominasi Rupiah Rp 1.000 Jadi Rp 1 Rampung 2027, Apa Untungnya?

    Purbaya Target Redenominasi Rupiah Rp 1.000 Jadi Rp 1 Rampung 2027, Apa Untungnya?

    GELORA.CO – Wacana redenominasi rupiah kembali mengemuka.

    Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menetapkan Rencana redenominasi atau penyederhanaan mata uang rupiah masuk Rencana Strategis Kementerian Keuangan Tahun 2025-2029

    Setelah lama tertahan dan sempat ditolak Mahkamah Konstitusi (MK), pemerintah kini menempatkan perubahan nilai nominal rupiah misalnya dari Rp 1.000 menjadi Rp 1, ke dalam agenda strategis yang ditargetkan tuntas pada 2027. 

    Rencana ini tercantum dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 70 Tahun 2025 tentang Rencana Strategis Kemenkeu 2025–2029 yang ditetapkan pada 10 Oktober 2025.

    Dalam beleid tersebut, penyusunan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Harga Rupiah (RUU Redenominasi) menjadi tanggung jawab Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb) Kementerian Keuangan.

    “RUU tentang Perubahan Harga Rupiah (Redenominasi) merupakan RUU luncuran yang rencananya akan diselesaikan pada tahun 2027,” tertulis dalam PMK 70/2025.

    Redenominasi sendiri merupakan penyederhanaan nilai rupiah dengan menghapus beberapa angka nol tanpa mengubah daya beli masyarakat.

    Contohnya, uang Rp 1.000 akan menjadi Rp 1, tetapi harga riil barang tidak berubah. 

    Baca juga: Belajar dari Asing, Redenominasi Tak Selalu Manis, Turki Sukses, Zimbabwe Justru Berujung Kegagalan

    Pernah Ditolak MK 

    Upaya serupa pernah diuji di Mahkamah Konstitusi.

    Pada 17 Juli 2025, MK menolak permohonan dalam perkara Nomor 94/PUU-XXIII/2025 yang meminta agar konversi nilai nominal dapat dilakukan melalui penafsiran atas UU Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang.

    Hakim menegaskan, redenominasi merupakan kebijakan makro yang hanya bisa dilakukan lewat pembentukan undang-undang baru.

    “Redenominasi merupakan penyederhanaan nominal mata uang tanpa mengubah daya beli. Itu ranah pembentuk undang-undang, tidak bisa hanya dengan memaknai ulang pasal,” ucap Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dalam sidang putusan, dikutip 17 Juli 2025.

    MK juga mengingatkan bahwa kebijakan ini menyangkut banyak aspek, mulai dari stabilitas makroekonomi, kesiapan sistem pembayaran, hingga literasi masyarakat.

    Alasan Pemerintah Menghidupkan Lagi RUU Redenominasi Rupiah 

    Dalam PMK 70/2025, pemerintah menilai penyusunan RUU Redenominasi penting untuk meningkatkan efisiensi perekonomian, menjaga stabilitas nilai rupiah, serta memperkuat kredibilitas mata uang nasional.

    Penyederhanaan nominal juga disebut dapat menyesuaikan sistem pembayaran dan pembukuan agar lebih efisien.

    Meski sinyal redenominasi pernah muncul sejak era Gubernur Bank Indonesia Darmin Nasution pada 2010, kebijakan tersebut tidak pernah masuk prioritas legislasi.

    Kini, pemerintah kembali mendorongnya melalui jalur legislasi resmi.

    Kemenkeu Masukkan Redenominasi Rupiah ke Rencana Strategis 5 Tahun

    -Kementerian Keuangan memasukkan rencana redenominasi rupiah ke dalam Rencana Strategis (Renstra) 2025–2029.

    Langkah ini menandai kembalinya wacana pemangkasan angka nol pada mata uang nasional setelah lebih dari satu dekade mengendap.

    Rencana tersebut tercantum dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 7 Tahun 2025 tentang Renstra Kementerian Keuangan 2025–2029.

    Regulasi ini diterbitkan pada 10 Oktober 2025 dan mulai berlaku sejak diundangkan.

    Dalam beleid itu disebutkan, redenominasi dibutuhkan untuk meningkatkan efisiensi perekonomian dan memperkuat daya saing nasional.

    “Urgensi pembentukan, efisiensi perekonomian dapat dicapai melalui peningkatan daya saing nasional,” tertulis dalam dokumen tersebut.

    Kementerian Keuangan menilai kebijakan redenominasi penting untuk menjaga kesinambungan pertumbuhan ekonomi, menstabilkan nilai rupiah, dan melindungi daya beli masyarakat.

    Rencana ini juga diharapkan memperkuat kredibilitas rupiah di mata pelaku ekonomi.

    RUU tentang Perubahan Harga Rupiah akan disusun di bawah koordinasi Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb) dan ditargetkan selesai pada 2027.

    Meski belum ada rincian lebih lanjut, pemerintah memperkirakan tahapan persiapan dan konsultasi akan berlangsung bertahap. Gagasan redenominasi sejatinya bukan hal baru.

    Pemerintah pernah mengajukan RUU serupa ke DPR pada 2013, dengan usulan pemangkasan tiga angka nol dari uang kertas rupiah.

     Rancangan tersebut tertunda karena pertimbangan situasi ekonomi saat itu.

     Pemerintah belum menyebut berapa angka nol yang akan dihapus dalam rencana terbaru ini.

    Namun, dengan masuknya ke Renstra 2025–2029, wacana redenominasi rupiah kini resmi kembali menjadi agenda ekonomi nasional.

    Pandangan Ekonom: Implementasi Tidak Bisa Tergesa 

    Ekonom Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira, menilai langkah redenominasi tidak bisa dilakukan dalam waktu singkat.

    Menurut dia, banyak negara gagal menerapkan kebijakan serupa karena memicu inflasi dan penyesuaian harga yang tidak terkendali.

     “Persiapan tidak bisa 2–3 tahun tapi 8–10 tahun yang berarti 2035 adalah waktu minimum implementasi redenominasi,” kata Bhima ketika dihubungi Kompas.com pada Sabtu (8/11/2025).

    Bhima menjelaskan, salah satu risiko utama adalah pembulatan harga barang ke nominal lebih tinggi.

    Sebagai contoh, harga Rp 9.000 tidak otomatis berubah menjadi Rp 9 setelah redenominasi, melainkan berpotensi dibulatkan menjadi Rp 10 oleh pelaku usaha.

    Ia juga menekankan pentingnya literasi dan penyesuaian administrasi di sektor ritel.

    “Gap sosialisasi bisa menyebabkan kebingungan administrasi terutama di pelaku usaha ritel karena ribuan jenis barang perlu disesuaikan pembukuannya,” ujarnya.

    Dengan mayoritas transaksi masih dilakukan secara tunai, Bhima menilai kesiapan masyarakat menjadi faktor penentu keberhasilan redenominasi.

    Manfaat Redenominasi Rupiah

    Manfaat redenominasi rupiah sebenarnya serupa dengan dampak positif yang dihasilkan apabila kebijakan ini benar-benar diterapkan.

    Seperti diungkap dalam publikasi ‘Rencana Redenominasi Rupiah’ oleh Achmad Sani Alhusain, bahwa salah satu manfaat terbesar redenominasi rupiah adalah sebagai upaya untuk memperkuat kurs rupiah terhadap mata uang asing.

    Tidak hanya itu saja, redenominasi juga diperlukan oleh negara yang berada dalam proses menuju level negara maju.

    Terlebih lagi apabila kebijakan tersebut dilakukan saat kondisi makro ekonomi cenderung stabil, tumbuh, dan inflasi dapat dikendalikan dengan baik.

    Manfaat redenominasi juga akan terasa pada perdagangan saham di Bursa Efek Indonesia (BEI).

    Dikatakan bahwa dengan adanya redenominasi, proses settlement perdagangan saham di BEI akan berlangsung lebih cepat.

    Ini dikarenakan kebijakan tersebut memperkecil angka dari setiap transaksi yang telah dilakukan oleh para investor. Tidak hanya investor domestik saja, tetapi juga asing.

    Dampak Redenominasi Rupiah

    Terdapat dampak positif dan negatif yang menyertai kebijakan redenominasi rupiah. 

    Seperti diungkap dalam buku ‘Bonus Demografi sebagai Peluang Indonesia dalam Percepatan Pembangunan Ekonomi’ karya Agus Yulistiyono, dkk., bahwa dampak positif redenominasi rupiah yaitu adanya efisiensi dalam perekonomian dan kaitannya dengan kegiatan usaha.

    Kemudian dampak redenominasi rupiah lainnya juga dapat mengatasi kendala teknis dalam operasional bisnis.

     Bahkan kebijakan ini juga dapat memberikan dampak terkait meningkatkan derajat rupiah dan juga Indonesia di mata internasional, terutama berkaitan dengan kerja sama ekonomi internasional.

    Namun, di sisi lain terdapat dampak negatif redenominasi rupiah yang bisa terjadi. Misalnya saja terjadinya kepanikan di kalangan masyarakat kecil.

    Terlebih lagi saat mereka belum memahami terkait redenominasi apabila benar-benar diterapkan oleh BI.

    Dampak negatif redenominasi rupiah lainnya yang bisa muncul adalah peluang kenaikan harga yang berasal dari pembulatan nilai suatu barang. Misalnya saja sebuah barang seharga Rp 5.800 setelah mengalami redenominasi, maka akan menjadi Rp 5,8.

    Dikhawatirkan dengan adanya redenominasi, harga barang tersebut justru dibulatkan menjadi Rp 6 agar lebih mudah.

    Biaya penerapan kebijakan redenominasi yang tidak sedikit juga termasuk dalam dampak negatif.

    Hal ini berkaitan dengan biaya sosialisasi kebijakan, biaya pencetakan uang baru, hingga biaya-biaya lainnya yang kemungkinan tidak sedikit.

  • Ekonom Sebut Moratorium Smelter Harus Diiringi Pengendalian Izin Tambang

    Ekonom Sebut Moratorium Smelter Harus Diiringi Pengendalian Izin Tambang

    Bisnis.com, JAKARTA — Pengamat menilai pembatasan izin investasi pembangunan smelter nikel baru harus diiringi moratorium izin tambang.

    Adapun pembatasan pembangunan smelter nikel sendiri tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko.

    Beleid itu mengatur agar industri pembuatan logam dasar bukan besi yang memiliki izin usaha industri (IUI) tak membangun proyek smelter baru yang khusus memproduksi produk antara nikel, seperti nickel matte, mixed hydroxide precipitate (MHP), feronikel (FeNi), dan nickel pig iron (NPI).

    Ekonom sekaligus Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai, pembatasan pembangunan smelter itu seharusnya diikuti dengan ketegasan regulasi. Ini khususnya terkait moratorium izin tambang.

    Menurutnya, hal ini perlu dilakukan jika pemerintah memang betul-betul ingin mengatasi oversuplai nikel. Adapun jumlah smelter nikel yang sudah berdiri sebanyak 54 unit. 

    Bhima menilai jumlah itu berperan dalam oversuplai produksi nikel olahan di pasar ekspor. Sementara itu terdapat 38 smelter yang sedang dalam tahap konstruksi dan 45 smelter dalam perencanaan. 

    Bhima menyebut, jumlah Rencana Keuangan Anggaran Perusahaan (RKAP) yang tahun ini disetujui oleh Kementerian ESDM sudah sebanyak 292 izin, dengan total izin usaha pertambangan khusus (IUPK) seluas 866.292 hektare. 

    “Dengan luasan konsesi yang begitu besar dan izin tambang yang terus bertambah, meski izin smelter baru dimoratorium namun tanpa kontrol di sektor hulu hanya akan memindahkan tekanan dari industri pengolahan ke kawasan tambang,” ucap Bhima dalam keterangannya dikutip Minggu (9/11/2025).

    Menurutnya, jika IUPK tak dibatasi, maka akan memperparah kerusakan ekologis dan konflik sosial.

    Dalam laporan bersama, Celios dan CREA mencatat total kerugian pendapatan petani dan nelayan di wilayah nikel sebesar US$234,84 juta atau sekitar Rp3,64 triliun dalam 13 tahun ke depan. Di samping itu, terdapat potensi lebih dari 3.800 kematian dini pada 2025 dan hampir 5.000 kasus pada 2030.  

    Dia juga mencermati adanya kontradiksi antara moratorium izin smelter dengan rencana Danantara yang ingin membangun smelter baru. 

    Menurutnya, di tengah situasi pasar yang jenuh dan harga yang terus merosot, pemerintah Indonesia justru mengumumkan akan membiayai proyek smelter nikel milik Vale Indonesia (INCO) dan GEM Co. Ltd. (China), melalui program Danantara. 

    “Kontradiksi ini memperlihatkan inkonsistensi kebijakan: di satu sisi pemerintah berupaya menahan ekspansi, tetapi di sisi lain tetap mendorong investasi baru melalui skema pembiayaan negara,” kata Bhima.

    Sementara itu, Peneliti Celios Attina Rizqiana menambahkan bahwa pembatasan terhadap izin smelter nikel, harus ditindaklanjuti dengan pembatasan pada IUPK perusahaan yang notabene memiliki izin pertambangan, konsesi maupun pengolahan nikel. 

    “Tidak luput, langkah tegas juga harus diambil terkait perusahaan yang masih dalam tahap rencana pembangunan fasilitas, juga terkait batas waktu pembatasan,” ungkap Kiki.

    Dia berpendapat, langkah yang diambil pemerintah menimbulkan kesan kuat bahwa pengendalian ekspansi industri nikel di Indonesia masih didorong oleh pertimbangan ekonomi semata, bukan dimotori atas komitmen terhadap dekarbonisasi dan perlindungan lingkungan. 

    Kiki menyebut, proyek-proyek smelter yang bergantung pada pembangkit energi fosil berpotensi memperbesar jejak emisi sektor mineral justru di tengah klaim transisi energi hijau. 

    “Ditambah lagi dengan perluasan konsesi yang berdampak pada deforestasi dan hilangnya ruang hidup dan penghidupan masyarakat,” imbuhnya.

    Kiki menambahkan bahwa tanpa adanya pembatasan yang sejalan di tingkat hulu (IUP), peta jalan dekarbonisasi yang tegas, dan integrasi kebijakan lingkungan yang nyata, kebijakan pembatasan IUI berisiko menjadi langkah kosmetik.

    “Seolah memperlambat ekspansi secara administratif, tapi tidak mengubah arah struktural pembangunan industri yang masih berbasis ekstraktivisme dan emisi tinggi.” tutup Kiki.