Tag: Benjamin Netanyahu

  • Tentang Bos Mata-mata Israel Tanpa Riwayat Intelijen

    Tentang Bos Mata-mata Israel Tanpa Riwayat Intelijen

    Jakarta

    Pucuk pimpinan Mossad segera berganti. Namun, tidak ada jejak karir intelijen pada sosok calon bos lembaga intelijen masyhur milik Israel itu.

    Mossad saat ini dipimpin oleh David Barnea sejak tahun 2019. Masa jabatan lima tahunnya di Mossad akan berakhir pada Juni 2026 mendatang. Sesuai aturan jabatan direktur di Mossad dibatasi selama lima tahun.

    Netanyahu Pilih Sekretaris Militernya

    Teka-teki pengganti David Barnea sebagai pemimpin Mossad akhirnya terjawab. Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu memilih sekretaris pribadinya sebagai calon bos terbaru Mossad.

    Dalam sebuah pernyataan pada Kamis (4/12) waktu setempat, kantor Netanyahu mengumumkan keputusan untuk menunjuk Mayor Jenderal Roman Gofman sebagai kepala badan intelijen tersebut. Dilansir kantor berita AFP, Jumat (5/12/2025), Gofman lahir di Belarusia pada tahun 1976 dan pindah ke Israel pada usia 14 tahun. Ia bergabung dengan korps lapis baja militer pada tahun 1995 dan meniti karier panjang di militer.

    Pada awal perang Gaza usai serangan Hamas pada 7 Oktober 2023 di Israel, Gofman adalah seorang komandan pusat pelatihan infanteri nasional.

    Ia terluka parah pada 7 Oktober dalam bentrokan dengan kelompok Hamas di Sderot, sebuah kota di Israel selatan dekat perbatasan Gaza.

    Gofman kemudian bergabung dengan kabinet Netanyahu pada April 2024.

    Tak Ada Riwayat Intelijen di Karir Calon Bos Mossad

    Gofman tidak berasal dari badan yang akan dipimpinnya, namun pengangkatannya tidak menimbulkan kontroversi politik.

    Kantor Perdana Menteri Israel memuji sumbangsih Gofman dalam dunia militer. Israel mengaku Gofman memiliki andil penting dalam langkah militer Israel di Gaza.

    “Gofman adalah seorang perwira yang sangat berjasa,” demikian pernyataan dari kantor Netanyahu, seraya menambahkan bahwa penunjukannya di masa perang sebagai sekretaris militer perdana menteri “membuktikan kemampuan profesionalnya yang luar biasa.”

    Uri Misgav, seorang kolumnis untuk surat kabar sayap kiri terkemuka Israel, Haaretz, adalah salah satu dari sedikit suara yang mengkritik pengangkatan tersebut. Dia menyebut Gofman “tidak layak untuk memimpin Mossad” karena kurangnya pengalamannya di bidang intelijen.

    Dianggap sebagai salah satu badan intelijen terbaik di dunia, Mossad disebut tidak mengalami kegagalan intelijen akibat serangan 7 Oktober karena wilayah-wilayah Palestina sejak lama berada di luar jangkauan operasinya.

    Namun, para kepala badan Shin Bet dan Aman (intelijen militer) mengundurkan diri setelah mengakui tanggung jawab mereka atas kegagalan tersebut.

    Mossad tampil menonjol di mata warga Israel dalam perang multi-front yang telah berlangsung sejak 7 Oktober.

    Tonton juga video “Kamp Pengungsian di Gaza Terbakar Buntut Serangan Israel, 5 Tewas”

    Halaman 2 dari 2

    (ygs/ygs)

  • Arab Saudi Vs UEA: Rivalitas yang Kian Memanas

    Arab Saudi Vs UEA: Rivalitas yang Kian Memanas

    Jakarta

    Hubungan Arab Saudi dan Uni Emirat Arab (UEA) kembali diuji. Penyebabnya adalah perbedaan dukungan terhadap faksi-faksi yang bertempur di kawasan.

    Dalam kunjungan terbarunya ke Washington, putera mahkota Saudi Pangeran Mohammed bin Salman (MBS) disebut meminta Presiden AS Donald Trump menekan Abu Dhabi, karena diduga ikut menyuplai senjata bagi milisi Rapid Support Forces (RSF) di Sudan.

    Ketika perang saudara meletup pada April 2023, Arab Saudi berada di kubu Angkatan Bersenjata Sudan (SAF), yang berperang melawan RSF. Kini, Riyadh beralih menjadi mediator antara kedua pihak yang bertikai.

    Konflik Sudan telah berkembang menjadi bencana kemanusiaan dan krisis pengungsian terbesar di dunia. Kendati marak dugaan kejahatan perang, UEA dituding masih terus memasok senjata kepada RSF, tuduhan yang dibantah Abu Dhabi.

    Namun, alih-alih mengecam manuver Saudi melalui Trump, Presiden UEA Sheikh Mohammed bin Zayed Al Nahyan (MBZ) memilih diam di ruang publik, sekaligus menegaskan kembali bahwa UEA tidak terlibat dalam perang itu.

    “Yang terjadi adalah evolusi alami hubungan dua kekuatan regional yang semakin percaya diri,” ujar Kristian Alexander, peneliti senior Rabdan Security and Defense Institute di Abu Dhabi, kepada DW. Kedua negara, menurut dia, tengah menjalankan agenda transformasi nasional yang ambisius dan semakin otonom dalam kebijakan luar negeri.

    “Perbedaan-perbedaan seperti ini sesekali muncul di permukaan,” kata Alexander.

    Akar sejarah Saudi – UEA

    “MBZ mendukung MBS dalam perjalanannya menuju posisi putra mahkota dan pemimpin de facto pada 2018,” ujar Bianco. Namun hubungan yang terlalu dekat juga membuat perbedaan kecil tampak membesar.

    Sejak 2018, Bianco mencatat sejumlah momen ketika ketegangan di antara kedua tokoh memuncak. “Tapi setiap kali hampir meledak, kedua pihak berusaha menahan diri agar tidak berubah menjadi krisis penuh,” katanya.

    Yaman, minyak, dan politik yang tak sejalan

    Riak pertama muncul pada kasus pembunuhan jurnalis Jamal Khashoggi oleh agen Saudi pada tahun 2018. Ketika MBS mendapat kecaman global setelah skandal di Istanbul, dia berharap UEA akan pasang badan. Namun Abu Dhabi justru bergeming, tak ingin terseret badai reputasi.

    Di Yaman, koalisi pimpinan Saudi sejak 2015 juga tidak berjalan mulus. UEA, kata Bianco, tidak sepenuhnya mengikuti haluan Riyadh dan menjalankan agenda sendiri. Abu Dhabi, misalnya, mendukung Southern Transitional Council yang ingin memisahkan diri dari wilayah utara yang dikuasai Houthi. Riyadh, sebaliknya, menginginkan Yaman tetap bersatu dan belakangan tidak menutup pintu bagi dominasi Houthi.

    Perbedaan lain muncul pada 2021 ketika UEA menolak imbauan Saudi untuk mengurangi produksi minyak OPEC demi stabilitas pasar. Abu Dhabi malah meningkatkan kapasitasnya sendiri. Alexander menyebut perselisihan itu cepat diselesaikan lewat dialog. Kedua negara kembali sinkron dalam kebijakan pemangkasan produksi yang lebih besar setelahnya.

    Persaingan dua strategi nasional

    Baik Riyadh maupun Abu Dhabi kini menjalankan rencana jangka panjang untuk mengurangi kebergantungan pada minyak. Kedua negara berambisi menjadi pusat teknologi serta AI. Saudi dengan Vision 2030 dan UEA dengan UAE 2031. Diduga, persaingan ekonomi antara Riyadh dan Dubai sebagai pusat keuangan dunia, akan semakin ketat.

    Namun menurut Michael Stephens dari Royal United Services Institute, persaingan bisnis tidak lantas akan melahirkan konfrontasi. “Kawasan terlalu tidak stabil untuk risiko seperti itu,” katanya.

    Bianco sependapat. Dari sudut geopolitik, Saudi dan UEA justru perlu bersatu menghadapi aktor lain, termasuk Iran dan juga Israel. UEA menormalisasi hubungan dengan Israel pada 2020, sementara Riyadh menghentikan pembicaraan setelah serangan Hamas 7 Oktober 2023 dan perang Gaza yang berkepanjangan.

    UEA tidak ingin keluar dari kesepakatan Abraham Accords dan berharap keadaan kembali normal. Sementara Saudi menolak melanjutkan negosiasi tanpa jalan menuju solusi dua negara bagi Palestina dan Israel. Sejauh ini, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu tetap menolak pembentukan negara Palestina merdeka.

    Artikel ini pertama kali terbit dalam Bahasa Inggris
    Diadaptasi oleh Rizki Nugraha
    Editor: Yuniman Farid

    Tonton juga video “Trump Ancam Pecat Ketua The Fed di Forum Investasi Arab Saudi”

    (ita/ita)

  • Netanyahu Pilih Jenderal Tanpa Latar Belakang Intelijen Jadi Bos Mossad

    Netanyahu Pilih Jenderal Tanpa Latar Belakang Intelijen Jadi Bos Mossad

    Jakarta

    Perdana Menteri (PM) Israel Benjamin Netanyahu memilih sekretaris militernya, seorang jenderal tanpa latar belakang intelijen, sebagai kepala badan intelijen luar negeri, Mossad yang baru.

    Dalam sebuah pernyataan pada Kamis (4/12) waktu setempat, kantor Netanyahu mengumumkan keputusan untuk menunjuk Mayor Jenderal Roman Gofman sebagai kepala badan intelijen tersebut. Disebutkan bahwa ia akan menggantikan kepala Mossad saat ini, David Barnea, yang masa jabatan lima tahunnya berakhir pada Juni 2026 mendatang.

    Dilansir kantor berita AFP, Jumat (5/12/2025), Gofman lahir di Belarusia pada tahun 1976 dan pindah ke Israel pada usia 14 tahun. Ia bergabung dengan korps lapis baja militer pada tahun 1995 dan meniti karier panjang di militer.

    Pada awal perang Gaza usai serangan Hamas pada 7 Oktober 2023 di Israel, Gofman adalah seorang komandan pusat pelatihan infanteri nasional.

    Ia terluka parah pada 7 Oktober dalam bentrokan dengan kelompok Hamas di Sderot, sebuah kota di Israel selatan dekat perbatasan Gaza.

    Gofman kemudian bergabung dengan kabinet Netanyahu pada April 2024.

    Gofman tidak berasal dari badan yang akan dipimpinnya, namun pengangkatannya tidak menimbulkan kontroversi politik.

    “Gofman adalah seorang perwira yang sangat berjasa,” demikian pernyataan dari kantor Netanyahu, seraya menambahkan bahwa penunjukannya di masa perang sebagai sekretaris militer perdana menteri “membuktikan kemampuan profesionalnya yang luar biasa.”

    Uri Misgav, seorang kolumnis untuk surat kabar sayap kiri terkemuka Israel, Haaretz, adalah salah satu dari sedikit suara yang mengkritik pengangkatan tersebut. Dia menyebut Gofman “tidak layak untuk memimpin Mossad” karena kurangnya pengalamannya di bidang intelijen.

    Dianggap sebagai salah satu badan intelijen terbaik di dunia, Mossad disebut tidak mengalami kegagalan intelijen akibat serangan 7 Oktober karena wilayah-wilayah Palestina sejak lama berada di luar jangkauan operasinya.

    Namun, para kepala badan Shin Bet dan Aman (intelijen militer) mengundurkan diri setelah mengakui tanggung jawab mereka atas kegagalan tersebut.

    Mossad tampil menonjol di mata warga Israel dalam perang multi-front yang telah berlangsung sejak 7 Oktober.

    simak juga Video Netanyahu Tolak Negara Palestina: Saya Menolak Upaya Ini!

    Halaman 2 dari 2

    (ita/ita)

  • Pemimpin Kelompok Anti-Hamas Tewas dalam Bentrokan di Gaza

    Pemimpin Kelompok Anti-Hamas Tewas dalam Bentrokan di Gaza

    Gaza City

    Pemimpin milisi bersenjata Palestina, Yasser Abu Shabab, yang dikenal menentang kelompok Hamas, dilaporkan tewas di Jalur Gaza pada Kamis (4/12) waktu setempat. Semasa hidup, sosok Abu Shabab disebut-sebut bekerja sama dengan militer Israel dalam melawan Hamas.

    Kematiannya dinilai menjadi pukulan telak bagi upaya Israel untuk mendukung klan-klan Gaza dalam melawan kelompok Hamas.

    Kelompok Pasukan Populer Gaza, yang dipimpin Abu Shabab, seperti dilansir Reuters dan kantor berita Anadolu Agency, Jumat (5/12/2025), menyebut pemimpin mereka tewas saat memediasi perselisihan keluarga yang diwarnai bentrokan berdarah.

    Abu Shabab yang merupakan pemimpin suku Bedouin yang berbasis di Rafah, yang kini dikuasai Israel, selama ini memimpin kelompok anti-Hamas paling terkemuka dari beberapa kelompok kecil yang muncul di Jalur Gaza selama perang berkecamuk lebih dari dua tahun terakhir.

    Kematiannya dinilai akan menjadi dorongan bagi Hamas, yang telah melabelinya sebagai kolaborator Israel dan memerintahkan para petempurnya untuk membunuh atau menangkapnya.

    Dalam pernyataannya, kelompok Pasukan Populer Gaza menyebut Abu Shabab meninggal dunia akibat luka tembak ketika menengahi pertengkaran keluarga di Gaza. Mereka menepis laporan yang menyebut Hamas berada di balik pembunuhannya, sebagai laporan “menyesatkan”.

    Laporan kematian Abu Shabab sebenarnya pertama kali dilaporkan oleh media-media lokal Israel, termasuk televisi KAN, yang mengutip sejumlah sumber keamanan setempat. Menurut laporan KAN, Abu Shabab tewas dalam bentrokan antarsuku di Jalur Gaza.

    Televisi lokal Israel lainnya, i24, melaporkan bahwa Abu Shabab meninggal dunia akibat luka-luka yang dideritanya saat menjalani perawatan medis di Pusat Medis Soroka, Israel bagian selatan.

    Amit Segal, seorang analis politik Israel untuk Channel 12, menyebut kematian Abu Shabab sebagai “perkembangan buruk bagi Israel” karena “Hamas memandangnya sebagai ancaman strategis terhadap kekuasaannya”.

    Pemerintah Israel sejauh ini menolak untuk berkomentar. Hamas juga belum memberikan tanggapannya.

    Perdana Menteri (PM) Israel Benjamin Netanyahu, pada Juni lalu, mengakui bahwa Israel telah mempersenjatai klan anti-Hamas, meskipun Israel hanya mengumumkan sedikit rincian lainnya mengenai kebijakan tersebut sejak saat itu.

    Namun kelompok Abu Shabab menyangkal adanya dukungan dari Israel.

    Hamas sebelumnya menuduh kelompok Abu Shabab telah menjarah truk bantuan PBB selama perang Gaza berkecamuk. Tuduhan itu telah dibantah Abu Shabab yang mengklaim kelompoknya justru melindungi dan mengawal truk bantuan kemanusiaan.

    Kelompok Pasukan Populer Gaza, dalam pernyataannya, bersumpah akan melanjutkan jejak Abu Shabab dan “memerangi terorisme” di Gaza.

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/ita)

  • Permohonan Grasi Netanyahu Jadi Ujian Politik di Israel

    Permohonan Grasi Netanyahu Jadi Ujian Politik di Israel

    Jakarta

    Berita ini mendadak menjadi berita utama di Israel: Pada Minggu (30/11), Perdana Menteri Benjamin Netanyahu meminta Presiden Isaac Herzog untuk memberikan pengampunan atau grasi praperadilan, yang sekaligus menghentikan persidangan korupsi Netanyahu. Langkah ini akan menjadi sangat kontroversial dan hampir tak pernah terjadi. Biasanya, grasi atau pengampunan oleh presiden hanya diberikan setelah vonis dijatuhkan.

    Yedioth Ahronoth, salah satu surat kabar harian terkemuka di Israel, pada Senin (1/12) memuat judul “Dilema pengampunan,” sementara surat kabar gratis berhaluan kanan, Israel Hayom, mengakui bahwa “permintaan ini tidak biasa dan memiliki implikasi yang signifikan.”

    Dalam pernyataan video yang disiarkan di televisi, Netanyahu berargumen bahwa secara pribadi ia ingin membuktikan kalau ia tidak bersalah di pengadilan. Selain itu, kepentingan nasional juga menuntut agar persidangan dihentikan, yang menurutnya “memecah belah kita.”

    “Realitas keamanan dan politik, serta kepentingan nasional, menuntut hal yang berbeda,” kata Netanyahu dalam pernyataan videonya. “Persidangan yang sedang berlangsung memecah belah kita dari dalam, memicu perselisihan sengit dan memperdalam perpecahan.”

    Netanyahu mengklaim bahwa “mengakhiri persidangan segera akan membantu meredakan ketegangan dan mendorong rekonsiliasi yang sangat dibutuhkan negara kita.”

    Trump dukung permohonan pengampunan Netanyahu

    Para pengamat Israel mencatat bahwa permohonan tersebut diajukan tak lama setelah Presiden AS Donald Trump menulis surat kepada Herzog pada 12 November yang juga meminta pengampunan penuh untuk Netanyahu. Trump, yang telah lama mendukung Netanyahu, juga menyerukan pengampunan tersebut dalam pidatonya di Knesset, parlemen Israel, pada bulan Oktober lalu.

    Netanyahu adalah satu-satunya perdana menteri Israel yang sedang menjabat dan menghadapi tuduhan suap, penipuan, serta pelanggaran kepercayaan dalam tiga kasus berbeda. Ia dituduh menerima barang mewah sebagai imbalan atas bantuan politik, serta meminta liputan dan bantuan yang menguntungkan dari media, perusahaan telekomunikasi, dan penerbit Israel di balik Yedioth Ahronoth.

    Para kritikus Netanyahu telah lama menuduhnya memperpanjang perang di Gaza dan konflik lainnya untuk mempertahankan koalisi pemerintahannya dan menghindari masalah hukum pribadinya. Kasus terhadapnya berjalan lambat akibat penundaan terkait pandemi COVID-19, kebuntuan politik akibat pemilu, dengan Netanyahu kembali menjabat pada Desember 2022.

    Selain itu, lambatnya kasus ini juga disebabkan oleh sejumlah permohonan yang diajukan oleh pengacaranya untuk menunda sidang terkait isu diplomatik dan keamanan. Hal ini berkaitan dengan konflik yang sedang berlangsung di Gaza, Lebanon, dan Iran.

    Sang perdana menteri itu akan menghadapi pemilihan umum lain pada musim gugur 2026, tetapi analis politik berspekulasi bahwa pemilihan tersebut mungkin dimajukan tergantung pada perkembangan politik.

    “Netanyahu tidak meminta grasi,” tulis Ben Caspit, kolumnis harian Maariv. “Dia ingin jalan pintas. Pengecualian dari prinsip kesetaraan di hadapan hukum.”

    Nadav Eyal, seorang komentator untuk Yedioth Ahronoth, menilai permohonan pengampunan ini adalah kemenangan bagi Netanyahu, apa pun hasilnya. Jika Herzog – mantan rival politiknya – menolak, Netanyahu “akan mengeksploitasi posisinya sebagai korban hingga pemilu berikutnya.”

    Di sisi lain, jika presiden mengabulkan permohonan grasi tanpa syarat Netanyahu mundur dari politik, tambah Eyal, “lebih baik lagi. Masalahnya akan selesai. Itu akan membuktikan bahwa Netanyahu telah dipersekusi selama bertahun-tahun dan sekarang Herzog, bahkan Herzog sebagai mantan pemimpin Partai Buruh! telah mengakui hal itu sebagai fakta.”

    Tak ada preseden pengampunan sebelum vonis

    Pengampunan sebelum vonis sangat jarang dan tidak biasa terjadi di Israel, terutama jika tidak terkait dengan pengakuan bersalah atau pengunduran diri. Tidak ada preseden untuk mengeluarkan pengampunan di tengah persidangan.

    Sebagai presiden, Herzog memiliki kewenangan untuk memberikan pengampunan sesuai kebijakannya, dan mantan rival politiknya dilaporkan memiliki hubungan kerja yang baik. Namun, pakar hukum telah memperingatkan bahwa pemberian pengampunan dapat memicu krisis politik dan konstitusional, yang pada akhirnya akan diselesaikan oleh Mahkamah Agung Israel.

    Dalam sebuah kertas posisi yang diterbitkan oleh lembaga think tank independen The Israel Democracy Institute pada 19 November, sebelum permintaan pengampunan Netanyahu, peneliti Dana Blander menulis bahwa pengampunan dari Herzog berisiko menjadikan presiden sebagai otoritas di atas sistem peradilan.

    “Keterlibatan presiden saat proses hukum masih berlangsung dapat merusak prinsip hukum, otoritas penegak hukum, dan kesetaraan di hadapan hukum,” tulis Blander.

    Salah satu pengecualian yang jarang terjadi adalah kasus 40 tahun lalu yang melibatkan pejabat senior Shin Bet, badan keamanan dalam negeri Israel. Para terdakwa dituduh menyembunyikan eksekusi dua militan Palestina yang terlibat dalam pembajakan bus saat berada dalam tahanan. Chaim Herzog, ayah dari presiden saat ini yang juga menjabat sebagai presiden pada saat itu, memberikan pengampunan sebelum persidangan yang dikonfirmasi oleh Mahkamah Agung.

    Tukar guling grasi dan posisi Netanyahu sebagai perdana menteri

    Mitra koalisi Netanyahu telah mendukung permohonan pengampunannya, tetapi klaim perdana menteri bahwa hal itu akan mempersatukan negara langsung ditolak oleh oposisi.

    Pemimpin oposisi Yair Lapid mendesak Herzog untuk tidak mengampuni Netanyahu kecuali dia segera mundur sebagai perdana menteri.

    “Anda tidak dapat memberikan pengampunan kepadanya tanpa pengakuan bersalah, ungkapan penyesalan, dan pengunduran diri segera dari kehidupan politik,” kata Lapid dalam pernyataan video pada Minggu (30/11).

    Hal ini juga diungkapkan oleh mantan Perdana Menteri Naftali Bennett, yang menulis di media sosial X bahwa ia akan mendukung pengampunan jika hal itu “mencakup pengunduran diri yang terhormat dari kehidupan politik bersamaan dengan berakhirnya persidangan.”

    Masalah hukum Netanyahu sering mendominasi berita selama masa jabatannya yang terakhir. Tak lama setelah membentuk pemerintahannya pada akhir 2022, Netanyahu meluncurkan rencana kontroversial untuk merombak sistem peradilan dan membatasi kekuasaan yudikatif, termasuk undang-undang yang mencabut kemampuan Mahkamah Agung untuk membatalkan keputusan pemerintah yang dianggap “sangat tidak masuk akal.”

    Perombakan tersebut memicu protes nasional. Para kritikus menuduh perdana menteri memiliki konflik kepentingan, dengan menyoroti bahwa ia berusaha melemahkan sistem peradilan sementara dirinya sendiri sedang diadili.

    Pada Minggu (30/11) malam, media Israel berspekulasi bahwa Herzog dapat memilih pengampunan bersyarat atau mencoba menghidupkan kembali plea bargain (negosiasi hukum). Hal ini dapat terkait dengan pengakuan “kesalahan” atau pembatasan terhadap masa depan politik Netanyahu. sejauh ini, hal tersebut ditolak dengan tegas oleh Netanyahu.

    Setiap pemberian grasi diperkirakan akan memakan waktu. Permohonan tersebut pertama kali dikirim ke Kementerian Kehakiman, lalu diteruskan ke penasihat hukum di Kantor Presiden untuk pendapat tambahan, sebelum presiden mengambil keputusan.

    Dalam pernyataan pada Senin (1/12), Herzog mengatakan permintaan pengampunan Netanyahu “jelas memicu perdebatan dan sangat mengganggu banyak orang di negara ini, di berbagai komunitas.”

    Dalam mengambil keputusannya, Herzog mengatakan ia akan “hanya mempertimbangkan kepentingan terbaik negara dan masyarakat Israel.”

    Artikel ini pertama kali terbit dalam bahasa Inggris

    Diadaptasi oleh Algadri Muhammad

    Editor: Tezar Aditya, Yuniman Farid

    Tonton juga video “Netanyahu Minta Presiden Ampuni Kasus Korupsi, Alasannya Demi Rakyat”

    (ita/ita)

  • PBNU Bantah Keras Tudingan Pro-Zionis Gus Yahya, Beberkan Fakta Penolakan Normalisasi di Hadapan Netanyahu

    PBNU Bantah Keras Tudingan Pro-Zionis Gus Yahya, Beberkan Fakta Penolakan Normalisasi di Hadapan Netanyahu

    Jakarta (beritajatim.com) – Isu bahwa Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) merupakan simpatisan Zionis kembali mencuat, namun dokumen analisis komprehensif membantah keras tuduhan tersebut. Dokumen itu menyajikan fakta bahwa Gus Yahya pernah secara terbuka menolak tawaran normalisasi hubungan Indonesia–Israel di hadapan Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, pada tahun 2018.

    Dokumen tersebut menegaskan bahwa tuduhan pro-Zionis tidak hanya keliru, tetapi juga bertentangan dengan bukti-bukti rekam jejak yang selama ini dapat diverifikasi. Isu ini dipicu oleh pertemuan 2018 dan kehadiran akademisi tertentu di kegiatan PBNU.

    Analisis itu mengungkap kronologi pertemuan 2018 yang menegangkan. Menurut kesaksian delegasi PBNU, pertemuan dengan Netanyahu bukanlah agenda yang direncanakan melainkan rombongan PBNU tiba-tiba diarahkan ke kantor Perdana Menteri dan ditawari peran sebagai mediator normalisasi.

    Dalam situasi diplomatik yang sangat sensitif tersebut, Gus Yahya memberikan sikap tegas yang membuat Netanyahu kecewa, hingga dikabarkan langsung meninggalkan ruangan pertemuan.

    “Saya terang-terangan dan tegas menyataka. bahwa saya datang ke sini demi Palestina. Dan saya nggak akan pernah berhenti dengan posisi itu apapun yang terjadi,” tegas Gus Yahya, sebagaimana dikutip dalam dokumen tersebut. Penolakan keras itu bahkan memicu kegaduhan internal di parlemen Israel dan dijadikan sorotan oleh media setempat.

    Bantahan paling kuat terhadap tuduhan pro-Zionis bahkan datang dari Palestina sendiri. Wakil Hakim Agung Palestina, Mohammed A.Y. Azzam, saat berkunjung ke PBNU pada April 2023, menyampaikan apresiasi mendalam atas posisi konsisten Gus Yahya.

    “Kami merasa tenang karena Syekh Yahya berada di pihak kami melalui cara yang sangat humanis dan internasional,” ujarnya saat berkunjung ke PBNU beberapa waktu lalu.

    Pengakuan serupa juga datang dari berbagai tokoh lain, termasuk mantan Menteri Luar Negeri RI Retno L.P. Marsudi, Duta Besar Iran untuk Indonesia, serta pimpinan ormas Islam nasional. Mereka menilai langkah diplomasi PBNU di bawah Gus Yahya sejalan dengan perjuangan Palestina dan dilakukan melalui koridor resmi yang sah.

    Rekam jejak aktivitas PBNU juga menunjukkan konsistensi nyata dalam membela Palestina. Ini terlihat dari penyelenggaraan R20 International Summit of Religious Authorities (ISORA) pada 2023 untuk mengimbau dunia menghentikan kekerasan di Gaza, hingga rangkaian pertemuan dengan pejabat Palestina, lobi diplomatik, serta kolaborasi dengan berbagai ormas Islam.

    Dokumen analisis tersebut menyimpulkan bahwa tuduhan terhadap Gus Yahya didasarkan pada narasi yang dipotong konteks dan mengabaikan fakta-fakta substansial. Sementara itu, bukti yang tersedia justru memperlihatkan bahwa PBNU di bawah kepemimpinan Gus Yahya memiliki posisi tegas dan konsisten dalam membela hak-hak rakyat Palestina melalui diplomasi tingkat tinggi yang diakui efektivitasnya oleh pihak Palestina sendiri. [beq]

  • Sidang Netanyahu Ditunda Usai Permohonan Pengampunan ke Presiden Israel

    Sidang Netanyahu Ditunda Usai Permohonan Pengampunan ke Presiden Israel

    Tel Aviv

    Pengadilan distrik Tel Aviv menyetujui permintaan Perdana Menteri (PM) Israel Benjamin Netanyahu untuk menunda persidangan kasus korupsi yang dijadwalkan pada Selasa (2/12) waktu setempat. Penundaan sidang ini terjadi beberapa hari setelah Netanyahu meminta pengampunan kepada Presiden Isaac Herzog.

    Netanyahu, seperti dilaporkan televisi lokal Israel KAN dan dilansir Anadolu Agency, Selasa (2/12/2025), mengajukan permintaan pembatalan kehadiran dalam persidangan pada Selasa (2/12) waktu setempat, dengan alasan “komitmen keamanan” yang tidak dijelaskan lebih lanjut.

    Disebutkan bahwa jaksa penuntut tidak keberatan dengan penundaan sidang tersebut. Pengadilan pun mengabulkan permintaan Netanyahu dan membatalkan sidang untuk Selasa (2/12) waktu setempat.

    Penundaan ini terjadi setelah sehari sebelumnya, atau pada Senin (1/12), Netanyahu untuk pertama kalinya hadir dalam persidangan kasusnya sejak mengajukan permohonan kepada Herzog agar memberikan pengampunan sepenuhnya dalam rentetan kasus korupsi yang menjerat dirinya.

    Kehadiran Netanyahu itu, menurut laporan Reuters, disambut sekelompok kecil demonstran yang berkumpul di luar gedung pengadilan Tel Aviv pada Senin (1/12) waktu setempat. Beberapa demonstran mengenakan seragam tahanan warna oranye dan menyerukan agar Netanyahu dijebloskan ke penjara.

    Salah satu demonstran, Ilana Barzilay, mengatakan tidak dapat diterima jika Netanyahu meminta pengampunan tanpa mengaku bersalah atau mengambil tanggung jawab atas perbuatannya.

    Netanyahu mengajukan permohonan resmi kepada Herzog pada Minggu (30/11) untuk mendapatkan pengampunan atas tuduhan korupsi yang menjeratnya selama bertahun-tahun.

    Dalam suratnya kepada Herzog, Netanyahu melalui pengacaranya menyebut seringnya menghadiri sidang di pengadilan menghambat kemampuan sang PM Israel untuk memerintah. Disebutkan dalam surat itu bahwa pengampunan akan baik bagi negara.

    Di sisi lain, diketahui bahwa pengampunan di Israel biasanya diberikan hanya setelah proses hukum selesai dan terdakwa telah dinyatakan bersalah. Tidak ada preseden untuk memberikan pengampunan di tengah persidangan yang masih berlangsung.

    Netanyahu selama ini berulang kali meminta penundaan atau dipercepatnya persidangan kasusnya, dengan berbagai macam alasan, mulai dari perjalanan, keamanan, dan politik, atau kesibukannya dengan perang Israel di Gaza.

    Setidaknya ada tiga kasus korupsi yang menjerat Netanyahu, yang semuanya telah dia bantah. Kasus nomor 1000 melibatkan tuduhan bahwa Netanyahu dan istrinya menerima hadiah mahal seperti cerutu dan sampanye dari pengusaha kaya, dengan imbalan bantuan politik.

    Kasus nomor 2000 melibatkan dugaan negosiasi dengan Arnon Mozes, penerbit surat kabar Yedioth Ahronoth, untuk mendapatkan liputan media yang menguntungkan.

    Kasus nomor 4000 melibatkan tuduhan yang dianggap paling serius, yakni Netanyahu diduga memberikan keuntungan regulasi dan keuntungan lainnya kepada Shaul Elovitch, mantan pemilik situs berita Walla dan perusahaan komunikasi Bezeq, sebagai imbalan atas liputan media yang menguntungkan.

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/whn)

  • Marah, Warga Israel Desak Presiden Tolak Ampuni Netanyahu

    Marah, Warga Israel Desak Presiden Tolak Ampuni Netanyahu

    Tel Aviv

    Warga Israel menggelar unjuk rasa tak lama setelah Perdana Menteri (PM) Benjamin Netanyahu meminta pengampunan sepenuhnya dari Presiden Isaac Herzog atas kasus korupsi yang menjeratnya. Para demonstran mendesak Herzog untuk menolak permohonan pengampunan yang diajukan Netanyahu itu.

    Massa yang marah, seperti dilansir Al Jazeera dan TRT World, Senin (1/12/2025), berunjuk rasa di luar rumah Herzog di Tel Aviv pada Minggu (30/11) malam, setelah Netanyahu mengumumkan dirinya meminta permohonan pengampunan dari Presiden Israel, namun tanpa mengakui kesalahan atau mengungkapkan penyesalan.

    Para anggota parlemen Israel dari kubu oposisi, termasuk Naama Lazimi, turut bergabung dengan puluhan aktivis dalam unjuk rasa tersebut. Aksi protes yang digelar di luar kediaman pribadi Herzog itu, memiliki slogan berbunyi “Pengampunan = Republik Pisang”, dengan para demonstran berdiri di belakang tumpukan besar pisang yang di atasnya terdapat poster bertuliskan “Pengampunan” — sindiran untuk permintaan pengampunan itu.

    Para demonstran menuntut Herzog untuk menolak permohonan Netanyahu tersebut. Salah satu demonstran bahkan mengenakan topeng wajah Netanyahu dan memakai baju tahanan warna oranye untuk menyoroti sidang kasus korupsi yang menjeratnya.

    Sejumlah demonstran membawa spanduk yang isinya menyalahkan Netanyahu atas krisis politik Israel, dan meneriakkan “Anda adalah pemimpin; Anda yang bersalah”.

    “Dia meminta agar persidangannya dibatalkan sepenuhnya tanpa bertanggung jawab, tanpa membayar harga untuk bagaimana dia menghancurkan negara ini. Rakyat Israel memahami apa yang dipertaruhkan, dan ini benar-benar menyangkut masa depan negara kita,” ucap aktivis antipemerintah terkemuka di Israel, Shikma Bressler.

    Netanyahu, yang merupakan PM terlama di Israel, telah diadili selama lima tahun terakhir atas tiga kasus korupsi terpisah termasuk tuduhan penyuapan, penipuan, dan pelanggaran kepercayaan.

    Pengampunan di Israel biasanya hanya diberikan setelah proses hukum selesai dan terdakwa dinyatakan bersalah. Permintaan Netanyahu ini langsung menuai reaksi keras dari kubu oposisi Israel.

    Pemimpin oposisi Yair Lapid menegaskan Netanyahu tidak boleh diampuni tanpa mengaku bersalah, menyatakan penyesalan, dan segera pensiun dari kehidupan politik.

    Politisi oposisi lainnya, Yair Golan, yang mantan wakil kepala militer Israel. menyerukan agar Netanyahu mengundurkan diri dan mendesak Herzog untuk tidak memberikan pengampunan.

    “Hanya orang bersalah yang mencari pengampunan,” tegas Golan.

    Sementara itu, kantor kepresidenan Israel mengonfirmasi telah menerima permohonan Netanyahu tersebut. Disebutkan kantor kepresidenan Israel bahwa permintaan Netanyahu ini merupakan “permintaan luar biasa”.

    “Ini merupakan permintaan luar biasa, yang membawa implikasi signifikan. Setelah menerima semua pendapat yang relevan, presiden akan mempertimbangkan permintaan tersebut secara bertanggung jawab dan tulus,” demikian pernyataan kantor kepresidenan Israel.

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/ita)

  • Hamas Minta Israel Izinkan Anggotanya Keluar dari Terowongan Gaza

    Hamas Minta Israel Izinkan Anggotanya Keluar dari Terowongan Gaza

    Gaza City

    Kelompok Hamas menyerukan kepada negara-negara mediator untuk menekan Israel agar mengizinkan akses aman bagi puluhan anggotanya yang bersembunyi di dalam terowongan bawah tanah di Jalur Gaza bagian selatan, yang kini dikuasai pasukan Israel.

    Permintaan tersebut, seperti dilansir AFP, Jumat (28/11/2025), muncul setelah militer Israel mengatakan pasukannya telah menewaskan lebih dari 20 anggota Hamas dalam sepekan terakhir. Para anggota Hamas yang tewas itu, menurut Israel, “berusaha melarikan diri dari infrastruktur bawah tanah di area tersebut”.

    Militer Israel juga mengatakan bahwa pasukannya menangkap delapan anggota Hamas lainnya di area yang sama.

    “Kami menganggap (Israel) sepenuhnya bertanggung jawab atas nyawa para petempur kami dan menyerukan kepada para mediator kami untuk segera mengambil tindakan untuk menekan (Israel) agar mengizinkan putra-putra kami pulang,” kata Hamas dalam sebuah pernyataan pada Rabu (26/11).

    Ini merupakan pertama kalinya Hamas secara terbuka mengakui bahwa para petempurnya terjebak di dalam terowongan Gaza, sejak gencatan senjata berlangsung.

    Media Israel melaporkan bahwa selama berminggu-minggu, antara 100-200 militan Hamas terjebak dalam jaringan terowongan di bawah kota Rafah, Jalur Gaza bagian selatan, yang kini berada di bawah kendali militer Tel Aviv.

    Berdasarkan ketentuan gencatan senjata yang dimediasi Amerika Serikat (AS) dan mulai berlaku pada 10 Oktober lalu, pasukan militer Israel harus menarik diri dari area-area pesisir di daerah kantong Palestina tersebut, hingga ke apa yang disebut sebagai “garis kuning” yang menandai area yang dikuasai pasukan Tel Aviv.

    Awal bulan ini, utusan khusus AS Steve Witkoff menyinggung soal “200 petempur yang terjebak di Rafah” saat berbicara dalam konferensi bisnis di Miami. Witkoff menyebut penyerahan diri mereka, yang mencakup penyerahan senjata, dapat menjadi “ujian” bagi kedua belah pihak dalam gencatan senjata, Israel dan Hamas.

    Namun, Israel tampaknya tidak bersedia untuk berkompromi terkait pembebasan para petempur Hamas itu dengan aman dari terowongan Gaza.

    Seorang juru bicara pemerintah Israel mengatakan kepada AFP pada awal bulan bahwa Perdana Menteri (PM) Benjamin Netanyahu “tidak mengizinkan perjalanan aman bagi 200 teroris Hamas”.

    Ditegaskan juga bahwa Netanyahu “tetap teguh pada pendiriannya untuk membongkar kemampuan militer Hamas dan melakukan demiliterisasi Jalur Gaza”.

    Dalam pernyataan pada Rabu (26/11), Hamas menuduh Israel telah melanggar kesepakatan gencatan senjata melalui “pengejaran, likuidasi, dan penangkapan para petempur perlawanan yang terkepung di terowongan Rafah”.

    Tonton juga video “Hamas Tolak Pengerahan Pasukan Internasional di Gaza”

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/ita)

  • Konflik Tak Berkesudahan Nahdlatul Ulama adalah Cermin Gejolak Elit Politik Indonesia

    Konflik Tak Berkesudahan Nahdlatul Ulama adalah Cermin Gejolak Elit Politik Indonesia

    JAKARTA – Konflik berulang yang terjadi di tubuh Nahdlatul Ulama (NU) terjadi karena organisasi dengan basis nilai spiritual terlibat dalam politik dan bisnis.

    Polemik di tubuh NU kembali menyeruak setelah beredar risalah Rapat Harian Syuriah Pengurus Besar NU.  Dalam risalah tersebut ada lima poin keputusan, yang salah satunya menyatakan bahwa musyawarah antara Rais Aam dan Wakil Rais Aam memutuskan Yahya Cholil Staquf harus mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Ketua Umum PBNU.

    Awal mula konflik ini terjadi karena Yahya dinilai melanggar nilai dan ajaran Ahlussunah wal Jamaah An Nahdliyah serta bertentangan dengan Muqaddimah Qanun Asasi NU lantaran mengundang tokoh pro-zionis, Peter Berkowitz dalam kegiatan Akademi Kepemimpinan Nasional Nahdlatul Ulama (AKN NU).

    Pengamat politik Adi Prayitno menilai, isu yang mencuat ke publik tentang PBNU baru sebagian dari dinamika yang lebih besar.

    Rais Aam PB Nahdlatul Ulama, KH Miftahul Akhyar. (ANTARA)

    Polemik Melebar

    Isu yang mencuat ke permukan sekarang ini adalah pentolan PBNU dianggap pro-Zionis, lantaran mengundang akademisi asal AS yang dikenal pro Israel, Peter Berkowitz dalam AKN NU. Selain itu, muncul dugaan adanya masalah tata kelola keuangan organisasi yang dipimpin Yahya.

    Terkait kedekatan NU dengan Zionis, ini bukan isu baru. Pada pertengahan Juli 2024, lima simpatisan NU atau Nahdliyin bertemu dengan Presiden Israel Isaac Herzog di tengah meningginya konflik Gaza dan Israel.

    Lebih jauh ke belakang, tepatnya pada 2018, Yahya Staquf sendiri pernah bertemu dengan PM Israel Benjamin Netanyahu saat menghadiri sebuah forum di Yerusalem.

    “Saya itu tahun 2018 sudah pernah pergi ke Israel. Saya bertemu Netanyahu, saya bertemu dengan Presiden Israel, saya bertemu dengan berbagai elemen di sana di dalam berbagai forum,” kata Yahya.

    Peter Berkowitz salam sebuah acara PBNU. (Istimewa)

    Ia menegaskan, kunjungannya ke Israel kala itu tidak pernah menjadi masalah di internal NU. Buktinya, mayoritas pengurus NU memilihnya sebagai Ketua Umum pada Muktamar NU ke-34 di Bandar Lampung 2021.

    Bahkan sebelum riuh tudingan NU pro-zionis sekarang ini, Presiden Keempat RI Aburrahman Wahid sempat dikecam lantaran wacana membuka hubungan diplomatik dengan Israel. Derasnya kritik yang dilontarkan kepada Gus Dur membuat rencana tersebut batal terlaksana. 

    Di tengah konflik berulang, sejumlah pengamat meyakini ini lebih dari sekadar kisruh biasa. Bahkan isu kedekatan NU dengan Zionis hanya sebagian kecil dari masalah internal ormas tersebut, seperti dituturkan pengamat politik Adi Prayitno.

    Yahya Cholil Staquf saat bertemu Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu pada 15 Juni 2018 di Yerusalem. (Twitter Benjamin Netanyahu/Anadolu Agency)

    Berawal dari isu pro-zionis, polemik melebar karena PBNU adalah organisasi besar dengan pengaruh politik, sosial, dan kultural yang luas. Artinya, setiap gesekan internal secara otomatis menjadi bahan perbincangan, terutama menyangkut kursi ketua umum.

    “Ada juga yang mengaitkan dengan banyak hal, mulai isu soal izin pengelolaan tambang, suksesi kepemimpinan, dan lainnya. Namanya publik, spekulasinya banyak sekali,” ujarnya.

    Masalah Kompleks

    NU menjadi sorotan ketika mereka melayangkan permintaan izin tambang usai organisasi kemasyarakatan keagamaan mendapat karpet merah dari Presiden Ketujuh Joko Widodo (Jokowi) mengelola tambang. Hal ini Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 tahun 2024 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara. 

    “Nahdlatul Ulama telah siap dengan sumber-sumber daya manusia yang mumpuni, perangkat organisasi yang lengkap, dan jaringan bisnis yang cukup kuat untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawab tersebut,” tegas Yahya waktu itu.

    Dengan ini, ia juga berharap dapat memberikan kemaslahatan yang seluas-luasnya kepada umat.

    Keputusan NU untuk menerima konsesi tambang ini kemudian menjadi sorotan. Tak sedikit kalangan cedekiawan memberi respons negatif. Mereka mengingatkan soal dampak yang terjadi jika ormas keagamaan mau menerima konsesi tambang dari pemerintah.

    Bisnis tambang, diyakini memiliki daya destruktif, baik kepada lingkungan maupun manusia itu sendiri. Ormas keagamaan justru harus mengkritik tambang, bukan sebaliknya, malah menjadi aktor tambang.

    Sejumlah alat berat beroperasi di kawasan penambangan batu bara Desa Sumber Batu, Kecamatan Meureubo, Aceh Barat, Aceh, Jumat (24/5/2024). (ANTARA/Syifa Yulinnas/foc/am)

    Bagi pengamat politik Rocky Gerung, prahara yang terjadi saat ini mencerminkan dilema klasik NU, antara bertahan di jalur kultural keagamaan atau terjun lebih dalam ke kubangan pragmatisme politik.

    Memang, undangan Peter Berkowitz menimbulkan kontroversi hingga berujung desakan mundur Yahya. Tapi menurut keyakinan Rocky, akar masalah sebenarnya jaluh lebih dalam dan kompleks. Ia juga menyinggung soal polemik konsesi tambang era Presiden Ketujuh RI Joko Widodo, yang kabarnya nasibnya masih menggantung sampai sekarang.

    “Rentetan masalah ini berakumulasi sekarang dalam persaingan antar tokoh. Ada yang menerima bisnis tambang sebagai potensi organisasi massa, ada yang menduga terjadi tukar tambah dan kepentingan pribadi lebih diuntungkan ketimbang organisasi NU sendiri,” jelas Rocky.

    “Jadi ini bukan cuma soal satu undangan yang salah. Ada sejarah panjang dan kepentingan yang bertumpuk di baliknya,” sambungnya.

    Ia menduga ada persaingan internal dalam tubuh NU yang turut mendasari kisruh organisasi tersebut. Meski demikian, menurut dia, adanya persaingan atau kompetisi internal di tubuh NU adalah hal yang wajar, terutama di dunia politik Indonesia, di mana sudah banyak tokoh yang lahir dari NU.

    Rocky menyebut konflik berulang di NU seperti “nasib historis” organisasi yang didirikan dengan basis nilai spiritual kuat namun terlibat dalam politik dan bisnis. Nahdlatul Ulama, kata dia, akan selalu ada dalam kondisi prahara.

    “Ini dilema antara memilih menjadi organisasi kultural berbasis keagamaan atau organisasi kultural yang ada arah politiknya. Organisasi yang dirancang untuk memelihara nilai etika namun terlibat dalam soal-soal politik-pragmatis,” ungkap Rocky.

    “Gejolak NU, bagaimanapun adalah cermin dari gejolak elit politik nasional. Dan kegelisahan ini, dipastikannya, akan memengaruhi dinamika politik nasional,” pungkasnya.