Tag: Benget Saragih

  • Wamenperin Sebut Penyeragaman Bungkus Rokok Tak Jadi Diterapkan – Halaman all

    Wamenperin Sebut Penyeragaman Bungkus Rokok Tak Jadi Diterapkan – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Wakil Menteri Perindustrian (Wamenperin) Faisol Reza menyebut wacana penyeragaman bungkus rokok batal diterapkan.

    Faisol mengatakan Kementerian Kesehatan juga telah menyetujui pembatalan penyeragaman bungkus rokok.

    “Kebetulan saya membahas secara khusus dengan Wakil Menteri Kesehatan supaya industri rokok berjalan dengan baik. Beliau terbuka, termasuk misalnya penyeragaman bungkus rokok itu tidak akan terjadi,” ungkap Faisol, Kamis (8/5/2025).

    Faisol mengatakan hingga saat ini, aturan terkait rokok masih dalam pembahasan.

    Menurutnya, industri rokok sudah berkontribusi besar terhadap penerimaan negara melalui pajak dan cukai.

    Sehingga, pemerintah memberikan perhatian agar industri rokok berjalan dengan baik.

    “Kita paham industri rokok menyumbang besar sekali kepada PDB melalui pajak dan lain-lain,” tegas Faisol.

    Di sisi lain, Faisol memahami isu kesehatan yang selama ini menjadi perhatian Kementerian Kesehatan dan beberapa lembaga kesehatan global. 

    “Dua hal tersebut harus bisa dicarikan jalan keluar supaya dua-duanya bisa jalan,” kata dia.

    Wamenperin juga menyoroti peredaran rokok ilegal. 

    Produsen rokok ilegal didorong untuk mendirikan perusahaan secara resmi dan mengedarkan rokok secara legal.

    Sebelumnya diketahui, wacana penyeragaman kemasan rokok atau plain packaging sempat menguat.

    Tujuannya antara lain untuk mengurangi daya tarik visual tembakau dan meningkatkan efektivitas peringatan kesehatan bergambar.

    Selain itu, upaya itu juga bertujuan meningkatkan motivasi perokok untuk berhenti.

    Tetapi, sejumlah kekhawatiran muncul.

    Antara lain dengan kemasan seragam, peredaran rokok ilegal bisa semakin meningkat.

    Tujuan Kemasan Polos Menurut Kemenkes

    Sementara itu pada sebuah diskusi yang diselenggarakan di Jakarta, 20 Februari 2025 lalu, Ketua Tim Kerja Pengendalian Penyakit Akibat Tembakau, Direktorat P2PTM Kementerian Kesehatan RI, Benget Saragih menuturkan, kebijakan standarisasi kemasan diyakini bisa menekan peredaran rokok ilegal.

    Hal ini berkaca pada puluhan negara yang telah menerapkan kebijakan serupa.

    “Bahwa dengan standarisasi kemasan akan marak rokok ilegal.  Dan buktinya Australia malah bisa mengendalikan dengan baik. Jadi itu hanya framing,” kata dia.

    Ia memaparkan, Australia telah merealisasikan standarisasi kemasan sejak 2012.

    Negeri Kangguru itu menerapkan plain packaging dengan tampilan 75 persen gambar peringatan kesehatan di bagian depan dan 90 persen gambar peringatan di bagian belakang.

    “Pemerintah mengatur standarnya, tapi bukan kemasan polos yang menghilangkan mereknya. Masih tetap ada merek rokoknya.”

    “Coba lihat kemasan yang ada di Indonesia sekarang. Menampilkan warna warni, yang memberi kesan keren dan menarik anak-anak mencoba rokok,” urai Benget.

    Standarisasi kemasan bertujuan untuk mengurangi daya tarik pada rokok, meningkatkan efektivitas peringatan merokok hingga mengurangi dampak ekonomi yang diakibatkan oleh penyakit tidak menular seperti jantung dan kanker.

    Serta membantu menurunkan angka perokok berat.

    “Jadi perokok itu takut, oh berbahaya kalau tetap merokok. Begitu juga anak-anak. Karena tadi merokok itu faktor risiko menyebabkan penyakit tidak menular seperti jantung dan kanker,” tutur dia.

     (Tribunnews.com/Gilang Putranto, Rina Ayu Panca Rini)

  • 3 Alasan Rokok Elektrik Digemari Kaum Muda di Indonesia, Padahal Berbahaya untuk Kesehatan – Halaman all

    3 Alasan Rokok Elektrik Digemari Kaum Muda di Indonesia, Padahal Berbahaya untuk Kesehatan – Halaman all

    Laporan wartawan Tribunnews.com, Rina Ayu

    TRIBUNNEWS.COM,JAKARTA – Industri rokok di Indonesia terus menargetkan anak dan remaja menjadi pelanggan tetapnya.

    Industri rokok kini tampil dengan wajah baru, membalut bahan berbahaya itu dengan kesan merokok menjadi lebih nyaman dengan kehadiran rokok elektrik atau berperisa.

    “Taktik industri rokok ini membuat produk tembakau dan nikotin yang berbahaya itu menjadi menarik bagi kaum muda,” tutur Ketua Lentera Anak Lisda Sundari kata dia dalam temu media di Jakarta, Selasa (29/4/2025).

    Merujuk data WHO ada tiga taktik yang digunakan. Pertama, pemasaran yang glamor; kedua, desain produk yang menarik dan menipu; serta perisa dan aditif.

    Pihaknya menyoroti, taktik perisa yang menjadi alat utama menjebak anak muda agar merokok.

    Hasil jejak Lentera Anak & U-Report, Juni 2024 menunjukan 46,5 persen remaja menyatakan mengingat varian rasa sebagai elemen yang paling menarik dari produk rokok.

    “Ini menunjukkan daya tarik rasa atau perisa ini lebih kuat daripada elemen lain seperti harga, merek, kemasan,” tutur Lisda.

    Saat ini, dari 16.000 varian rasa global, 847 varian telah masuk pasar Indonesia.

    Lisda menuturkan, perisa dalam industri rokok sangat penting lantaran, perisa yang beragam itu dapat menarik perhatian anak dan remaja yang masih di fase awal eksplorasi hal-hal baru, lalu membuat merokok terasa lebih nyaman, hingga mengurangi kemungkinan berhenti merokok.

    “Melalui perisa menyamarkan risiko kesehatan. Perisa menutupi rasa nikotin dan tembakau, menyebabkan konsumen tidak menyadari bahaya kesehatan, meningkatkan ketergantungan nikotin,” tutur dia.

    Kemudian, produk dengan desain keren dan rasa manis mempromosikan merokok sebagai sesuatu yang keren dan normal, terutama di kalangan remaja.

    Desain yang menarik dan rasa yang menyenangkan mengurangi keinginan untuk berhenti atau memperpanjang ketergantungan.

    Ketua Tim Kerja Pengendalian Penyakit Akibat Tembakau, Direktorat P2PTM Kementerian Kesehatan RI dr. Benget Saragih, M.Epid menegaskan, risiko kesehatan antara rokok konvensional dan rokok elektronik sama.

    Bahwa klaim rokok elektronik aman tidak tepat.

    “Pada cairan rokok elektrik mengandung propilen glikol atau gliserin, nikotin,dan penambah rasa. Tetap ada nikotin yang ditemukan dalam konsentrasi yang berbeda-beda, antara 0-100 mg/ml dalam satu rokok elektrik,” tutur dia.

    Diketahui dari data SKI 2023, pengguna rokok elektrik pada penduduk umur 10-18 tahun mengalami peningkatan 2 kali lipat dibanding tahun 2018.

  • Wamenperin Sebut Penyeragaman Bungkus Rokok Tak Jadi Diterapkan – Halaman all

    Kemenkes Tegaskan Standarisasi Kemasan Tekan Peredaran Rokok Ilegal – Halaman all

    Laporan wartawan Tribunnews.com, Rina Ayu

    TRIBUNNEWS.COM,JAKARTA — Ketua Tim Kerja Pengendalian Penyakit Akibat Tembakau, Direktorat P2PTM Kementerian Kesehatan RI dr.Benget Saragih, M.Epid menuturkan, kebijakan standarisasi kemasan diyakini bisa menekan peredaran rokok ilegal.

    Hal ini berkaca pada puluhan negara yang telah menerapkan kebijakan serupa.

    “Bahwa dengan standarisasi kemasan akan marak rokok ilegal.  Dan buktinya Australia malah bisa mengendalikan dengan baik. Jadi itu hanya framing,” kata dia dalam diskusi di Jakarta, Kamis (20/2/2025).

    Ia memaparkan, Australia telah merealisasikan standarisasi kemasan sejak 2012.

    Negeri kangguru itu menerapkan plain packaging dengan tampilan 75 persen gambar peringatan kesehatan di bagian depan dan 90 persen gambar peringatan di bagian belakang.

    “Pemerintah mengatur standarnya, tapi bukan kemasan polos yang menghilangkan mereknya. Masih tetap ada merek rokoknya. Coba lihat kemasan yang ada di Indonesia sekarang. Menampilkan warna warni, yang memberi kesan keren dan menarik anak-anak mencoba rokok,” urai Benget.

    Standarisasi kemasan bertujuan untuk mengurangi daya tarik pada rokok, meningkatkan efektivitas peringatan merokok hingga mengurangi dampak ekonomi yang diakibatkan oleh penyakit tidak menular seperti jantung dan kanker.

    Serta membantu menurunkan angka perokok berat.

    “Jadi perokok itu takut, oh berbahaya kalau tetap merokok. Begitu juga anak-anak. Karena tadi merokok itu faktor risiko menyebabkan penyakit tidak menular seperti jantung dan kanker,” tutur dia.

    Ditambahkan Ketua Tobacco Control Support Center Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (TCSC-IAKMI) Sumarjati Arjoso bahwa pengeluaran keluarga untuk konsumsi rokok 3 kali lipat lebih tinggi daripada pengeluaran untuk membeli protein.

    “Belanja rokok terbesar kedua di keluarga 3 kali lipat lebih tinggi dari telur berdasarkan data dari BPS 2021,” ujar dia.

    Diketahui, Indonesia merupakan negara dengan pasar rokok terbesar ke-3 di dunia, setelah China dan India.

    Dari data GATS tahun 2021, ada sekitar 70,2 juta (34,5 persen) orang dewasa di Indonesia menggunakan produk tembakau saat ini.

    Dan penggunaan rokok elektrik meningkat 10 kali lipat dari 0,3 persen (2011) menjadi 3 persen (2021).

  • Respons Kemenkes soal Standardisasi Kemasan Rokok Dianggap Merugikan Konsumen – Halaman all

    Respons Kemenkes soal Standardisasi Kemasan Rokok Dianggap Merugikan Konsumen – Halaman all

    Laporan wartawan Tribunnews.com, Rina Ayu

    TRIBUNNEWS.COM,JAKARTA – Kementerian Kesehatan (Kemenkes RI) merespons tudingan bahwa kebijakan standardisasi kemasan dapat merugikan konsumen rokok di tanah air.

    Ketua Tim Kerja Pengendalian Penyakit Akibat Tembakau, Direktorat P2PTM Kementerian Kesehatan RI dr Benget Saragih, M.Epid membantah anggapan itu.

    Aturan standardisasi kemasan sudah diterapkan lebih dari 25 negara di dunia dan terbukti menurunkan angka perokok.

    Hal itu disampaikan dia dalam Media Briefing Perlunya Dukungan Media dalam ‘Penerapan Aturan Standarisasi Kemasan pada Bungkus Rokok dalam Upaya Menurunkan Prevalensi Perokok di Indonesia’ di Jakarta, Kamis (20/2/2025).

    “Kalau ada yang bilang Indonesia ini negara produksi. India juga negara produksi tapi sudah menerapkan kemasan rokok dengan peringatan kesehatan mencapai 85 persen. Dan India harga rokoknya juga mahal. Harusnya Indonesia juga bisa,” ungkap dia.

    Ia mengungkapkan, banyak orang yang salah kaprah mengenai plan packaging atau standardisasi kemasan.

    Standardisasi kemasan bukan berarti polos warna putih tanpa merek.

    Melainkan, penghapusan elemen branding (logo, warna, desain khas), mewajibkan peringatan kesehatan yang lebih besar dan mencolok maupun menggunakan warna dan desain seragam untuk mengurangi daya tarik produk.

    “Artinya, bukan kemasan polos. Masih ada semua, hanya warna yang standarkan,” kata dia.

    Adapun aturan standarisasi kemasan tertuang pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 dan penyusunan Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes).

    Pemerintah menargetkan, implementasi aturan itu paling lambat diterapkan dua tahun setelah diundangkan atau 2026 nanti.

    Penerapan standarisasi kemasan rokok ini bertujuan untuk mengurangi daya tarik pada rokok, meningkatkan efektivitas peringatan merokok hingga mengurangi dampak ekonomi yang diakibatkan oleh penyakit tidak menular seperti jantung dan kanker.

    Serta membantu menurunkan angka perokok berat.

    “Jadi perokok itu takut, oh berbahaya kalau tetap merokok. Begitu juga anak-anak. Karena tadi merokok itu faktor risiko menyebabkan penyakit tidak menular seperti jantung dan kanker,” tutur dia.

    Kata Komunitas Kretek

    Juru bicara Komunitas Kretek, Khoirul Atfifudin, berpandangan penyusunan kebijakan itu berpotensi merugikan konsumen. Konsumen perlu mendapatkan informasi dengan jelas dan detail seputar produk yang dibeli dan dikonsumsi sesuai hak yang sudah dilindungi oleh Undang-Undang (UU) yang berlaku.

    Dengan penyusunan kebijakan ini, konsumen terhalang mendapatkan hak atas informasi yang sudah diatur pada UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

    “Konsumen nantinya tidak bisa mengajukan keberatan kalau tidak jelas merek dan perusahaannya, dan mereka jadi tidak terlindungi karena memang membingungkan,” katanya di Jakarta, ditulis Senin (10/2/2025).

     

  • Wamenperin Sebut Penyeragaman Bungkus Rokok Tak Jadi Diterapkan – Halaman all

    Cegah Anak-anak Merokok, Standarisasi Kemasan Hindarkan Promosi Berlebihan dan Tampilkan Kesan Keren – Halaman all

    Laporan wartawan Tribunnews.com, Rina Ayu

    TRIBUNNEWS.COM,JAKARTA – Ketua Tim Kerja Pengendalian Penyakit Akibat Tembakau, Direktorat P2PTM Kementerian Kesehatan RI dr.Benget Saragih, M.Epid mengatakan branding atau promosi industri rokok terus menyasar anak muda sebagai target.

    Selama ini, iklan maupun kemasan rokok yang beredar di pasaran selalu menampilkan kesan “keren” dan baik.

    Karena itu, pemerintah berupaya mencegah anak-anak merokok salah satunya dengan standarisasi kemasan.

    “Hanya warna yang distandarkan.Supaya, jangan ada lagi nanti warna-warna seperti pink itu untuk wanita, yang hitam itu untuk laki-laki. Itu yang kami mau seragamkan,” kata dia dalam Media Briefing Perlunya Dukungan Media dalam “Penerapan Aturan Standardisasi Kemasan pada Bungkus Rokok dalam Upaya Menurunkan Prevalensi Perokok di Indonesia’ di Jakarta, Kamis (20/2/2025).

    Rencana penyeragaman kemasan rokok itu tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 dan penyusunan Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes).

    Adapun standarisasi kemasan pada rokok adalah

    1. Penghapusan elemen branding (logo, warna, desain khas).

    2. Mewajibkan peringatan kesehatan yang lebih besar dan mencolok.

    3. Menggunakan warna dan desain seragam untuk mengurangi daya tarik produk.

    Contoh negara yang telah menerapkan: Australia, Inggris,Singapur, Prancis, Thailand, Nepal, Arab Saudi, dll

    “Artinya, bukan kemasan kolos. Masih ada semua, hanya warna yang standarkan,” kata dia.

    Ia memaparkan, tujuan penerapan standar kemasan rokok adalah selain mengurangi daya tarik ada juga meningkatkan efektivitas peringatan merokok hingga mengurangi dampak ekonomi yang diakibatkan oleh penyakit yang disebabkan oleh kebiasaan merokok.

    Serta membantu menurunkan angka perokok  banget.

    “Jadi perokok itu takut, oh berbahaya kalau tetap merokok. Begitu juga anak-anak. Karena tadi merokok itu faktor risiko menyebabkan penyakit tidak menular seperti jantung dan kanker,” tutur dia

    Dokter Benget menegaskan, pemerintah tidak pernah melarang warga untuk merokok. Namun mencegah anak-anak menjadi perokok pemula.

    “Itulah tanggung jawab pemerintah Indonesia. Tidak ada kata melarang orang merokok, tidak ada kata menutup pabrik merokok, tapi kami melarang orang merokok di kawasan tanpa rokok,” tegas Dokter Benget.

    Ditambahkan Konsultan Vital Strategies dr Lily S. Sulistyowati, MM, melalui kebijkan kemasan rokok terstandar menghilangkan berbagai bentuk branding, pesan keliru, sehingga bisa memberikan informasi yang lebih mendidik terkait bahaya produk tembakau untuk semua segmen masyarakat.

    Kebijakan ini terbukti efektif di berbagai negara, berdampak positif terkait pengendalian konsumsi, pencegahan perokok pemula.

    “Sudah dimenangkan oleh WTO (tidak melanggar properti intelektual), sudah juga diterapkan oleh banyak negara — apa lagi yang perlu diragukan? Pemerintah berkomitmen mengimplementasikan regulasi dengan optimal, percaya
    diri karena ini untuk tujuan kesehatan masyarakat yang lebih penting,” jelas Lily.

  • Asosiasi Pedagang Kelontong Siap Pasang Stiker Batas Umur Penjualan Rokok – Halaman all

    Asosiasi Pedagang Kelontong Siap Pasang Stiker Batas Umur Penjualan Rokok – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Asosiasi pedagang kelontong siap berkolaborasi dalam gerakan edukasi pembatasan konsumsi rokok melalui stiker larangan penjualan rokok di bawah usia 21 tahun. 

    Ketua Umum Perkumpulan Pedagang Kelontong Seluruh Indonesia (Perpeksi) Junaedi menilai anjuran ini menjadi pilihan lebih bijak ketimbang dorongan penyusunan aturan turunan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024. 

    “Saya setuju untuk anak di bawah usia 21 tahun tidak merokok. Namun, untuk usia 21 ke atas itu saya rasa merupakan pilihan orang dewasa untuk menentukan selera apa yang mau dikonsumsi,” ujar Junaedi melalui keterangan tertulis, Jumat (31/1/2025).

    Sebelumnya, Kemenkes melalui PP 28/2024 juga mengatur larangan penjualan rokok dalam radius 200 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak yang banyak ditentang oleh berbagai pihak. 

    Junaedi menjelaskan bahwa aturan tersebut akan berdampak besar terhadap perekonomian masyarakat kelas menengah ke bawah yang didominasi oleh UMKM.

    Menurutnya, saat ini pendapatan dari menjual rokok menjadi penyumbang terbesar pedagang, sekitar 60 persen dari total pendapatan warung-warung.

    Ia menilai keputusan yang diambil tersebut berstandar ganda bagi industri hasil tembakau (IHT) yang selalu dipojokkan tanpa adanya solusi. 

    “Banyak orang yang menggantungkan hidupnya dari hulu hingga hilir di industri ini, seperti para pedagang kelontong,” katanya. 

    Selain itu, Junaedi meminta agar Kemenkes melakukan dialog terbuka dengan industri tembakau, pelaku usaha kecil, hingga masyarakat sipil untuk merancang regulasi yang adil. 

    Sebelumnya, wacana ini dijelaskan oleh Ketua Tim Kerja Pengendalian Penyakit Akibat Tembakau (PPAT) Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Benget Saragih. 

    Menurutnya stiker larangan menjual rokok kepada warga di bawah usia 21 tahun dinilai lebih tepat sasaran karena mendorong edukasi kepada masyarakat luas.