Tag: Bashar al-Assad

  • Kesaksian Ngeri Penjarahan-Pembunuhan Penganut Alawi di Suriah

    Kesaksian Ngeri Penjarahan-Pembunuhan Penganut Alawi di Suriah

    Jakarta

    Pemimpin sementara Suriah menyerukan persatuan di tengah aksi kekerasan dan pembunuhan balas dendam yang terus berlangsung di wilayah-wilayah loyalis Bashar al-Assad, pada Minggu (09/03).

    Ratusan orang dilaporkan telah meninggalkan rumah mereka di Provinsi Latakia dan Tartus yang merupakan basis pendukung kuat mantan pemimpin yang digulingkan itu.

    Warga setempat menggambarkan penjarahan dan pembunuhan massal, termasuk korban anak-anak, di kampung halaman mereka.

    Di Hai Al Kusour, sebuah permukiman yang didominasi sekte Alawi di kota pesisir Banias, warga mengatakan jalanan dipenuhi dengan mayat-mayat yang berserakan, ditumpuk dan berlumuran darah.

    Para saksi mata menyebut laki-laki dari berbagai usia ditembak mati di sana.

    Sekte Alawi adalah cabang dari Islam Syiah dan mencakup sekitar 10% dari populasi Suriah, yang mayoritas Muslim Sunni.

    Bashar al-Assad berasal dari sekte tersebut.

    Koneksi internet tidak stabil dan, sekalinya terhubung, mereka mengetahui kabar kematian tetangga mereka dari unggahan Facebook.

    Seorang pria bernama Ayman Fares mengatakan kepada BBC bahwa dia masih hidup karena penahanannya baru-baru ini.

    Fares mengunggah video di akun Facebook-nya pada Agustus 2023 yang mengkritik Bashar al-Assad atas pemerintahannya yang korup. Dia ditangkap tidak lama kemudian.

    Fares baru bebas dari penjara setelah pasukan yang dipimpin kelompok militan membebaskan tahanan setelah kejatuhan Bashar al-Assad pada Desember silam.

    BBC

    BBC News Indonesia hadir di WhatsApp.

    Jadilah yang pertama mendapatkan berita, investigasi dan liputan mendalam dari BBC News Indonesia, langsung di WhatsApp Anda.

    BBC

    Orang-orang yang menyerbu jalan-jalan Hai Al Kusour mengenali Fares sehingga dia terhindar dari kematian.

    Akan tetapi, rumah Fares tidak luput dari penjarahan. Fares mengaku mobilnya diambil dan mereka melanjutkan aksi penjarahan ke rumah-rumah lain.

    “Mereka orang asing, saya tidak mengenali identitas atau bahasa mereka, tetapi sepertinya orang Uzbek atau Chechnya,” ujar Fares melalui sambungan telepon.

    “Ada juga beberapa warga Suriah bersama mereka, tetapi bukan dari aparat keamanan resmi. Beberapa warga sipil juga termasuk di antara mereka yang melakukan pembunuhan,” tambahnya.

    Fares mengaku menyaksikan keluarga-keluarga dibunuh di rumah mereka sendiri. Dia melihat perempuan serta anak-anak berlumuran darah. Beberapa keluarga lari ke atap rumah untuk bersembunyi, tetapi tetap tidak terhindar dari pertumpahan darah.

    “Sungguh mengerikan,” katanya.

    Observatorium Suriah untuk Hak Asasi Manusia yang berbasis di Inggris mendokumentasikan lebih dari 740 warga sipil tewas di kota-kota pesisir Latakia, Jableh, dan Banias.

    Selain itu, 300 anggota pasukan keamanan dan sisa-sisa rezim Assad dilaporkan tewas dalam bentrokan.

    BBC belum dapat memverifikasi jumlah korban tewas secara independen.

    Baca juga:

    Fares mengatakan keadaan mulai stabil setelah tentara Suriah dan pasukan keamanan tiba di kota Banias. Pasukan mendorong faksi-faksi lain keluar dari kota itu dan memfasilitasi keluarga-keluarga yang selamat untuk pergi ke tempat aman.

    Ali, seorang warga Banias lainnya yang meminta agar nama lengkapnya tidak disebutkan, membenarkan kesaksian Fares.

    Ali, yang tinggal di Kusour bersama istri dan putrinya yang berusia 14 tahun, melarikan diri dari rumahnya dengan dibantu pasukan keamanan.

    “Mereka datang ke gedung tempat kami tinggal. Kami terlalu takut, hanya bisa mendengar suara tembakan dan jeritan orang-orang di lingkungan itu. Kami mengetahui kematian dari unggahan Facebook ketika internet terhubung. Ketika penyerang tiba di gedung kami, kami pikir tamat sudah riwayat,” katanya.

    “Mereka mencari uang. Pintu tetangga kami digedor kemudian mobil, uang, emas, dan barang berharga lainnya dijarah. Tetapi tetangga kami tidak dibunuh.”

    Pertempuran terjadi antara pasukan keamanan Suriah dan loyalis Bashar al-Assad di wilayah pesisir negara itu awal pekan ini (Getty Images)

    Ali dan keluarganya dijemput tetangga mereka yang menganut Sunni. Keluarga Ali untuk sementara tinggal bersama mereka.

    “Kami hidup berdampingan selama bertahun-tahun, Alawi, Sunni, dan Kristen. Kami tidak pernah mengalami hal seperti ini,” katanya.

    “Warga Sunni bergegas melindungi warga Alawi dari pembunuhan yang terjadi dan sekarang pasukan resmi berada di kota untuk memulihkan ketertiban.”

    Menurut Ali, keluarga-keluarga lainnya diangkut ke sebuah sekolah di permukiman yang mayoritas Sunni. Mereka akan berlindung di sana sampai anggota faksi-faksi yang melakukan pembunuhan diusir dari Banias.

    Aksi kekerasan dimulai pada Kamis (06/03) setelah loyalis Assadyang menolak menyerahkan senjatamenyergap pasukan keamanan di sekitar kota-kota pesisir Latakia dan Jableh, menewaskan puluhan dari mereka.

    Ghiath Dallah, seorang mantan brigadir jenderal di tentara Assad, telah mengumumkan pemberontakan baru terhadap pemerintah saat ini, mengatakan bahwa dia mendirikan “Dewan Militer untuk Pembebasan Suriah”.

    Baca juga:

    Sejumlah laporan mengindikasikan bahwa mantan petugas keamanan rezim Assad yang menolak menyerahkan senjata sedang membentuk kelompok perlawanan di daerah pegunungan.

    Menurut Fares, sebagian besar komunitas Alawi menolak kelompok tersebut. Mereka menyalahkan Dallah dan loyalis garis keras Assad lainnya atas kekerasan yang terjadi.

    “Mereka mendapat keuntungan dari pertumpahan darah yang terjadi. Yang kami butuhkan sekarang adalah kemenangan aparat keamanan, serta menuntut para pelaku pembunuhan massal dari faksi-faksi yang bertanggung jawab supaya keamanan negara kembali pulih,” ujarnya.

    Baca juga:

    Di sisi lain, warga lainnya juga menyalahkan presiden sementara, Ahmad al-Sharaa.

    Mereka mengatakan al-Sharaaa membubarkan lembaga keamanan, tentara, dan polisi Suriah tanpa strategi yang jelas untuk menangani ribuan petugas dan personel yang menjadi pengangguran.

    Sebagian dari individu-individu ini, khususnya di kalangan kepolisian, tidak terkait dengan aksi pembunuhan yang terjadiselama rezim Assad.

    Pihak berwenang yang baru juga telah memecat ribuan pegawai negeri dari pekerjaan mereka.

    Meningat 90% populasi Suriah hidup di bawah garis kemiskinan dan ribuan orang kehilangan pendapatan, pemberontakan sangat rentan terjadi.

    Terdapat perbedaan pandangan di Suriah mengenai apa yang terjadi.

    Masyarakat luas mengutuk pembunuhan warga sipilterlepas dari agama merekaberbagai demonstrasi telah diselenggarakan di Damaskus untuk mengekspresikan rasa duka sekaligus mengutuk aksi kekerasan.

    Namun, selama dua hari terakhir, ada pula seruan “Jihad” di berbagai wilayah Suriah.

    Warga di Banias mengatakan bahwa beberapa warga sipil yang bersenjata bergabung dengan faksi-faksi tersebut dan turut ambil andil dalam pembunuhan.

    Tentara Suriah mengirim bala bantuan untuk menstabilkan wilayah tersebut (Getty Images)

    Mayoritas Sunni di Suriah mengalami kekejaman di tangan pasukan rezim Assad selama 13 tahun terakhir. Hal ini memicu kebencian sektarian terutama terhadap minoritas Alawi yang anggotanya dikaitkan dengan kejahatan perang.

    Menurut kelompok hak asasi manusia, terdapat bukti bahwa petugas keamanan Alawi di bawah rezim Assad terlibat dalam pembunuhan dan penyiksaan ribuan warga Suriah, yang mayoritas adalah Muslim Sunni.

    Anggota tentara dan pasukan keamanan yang terbunuh sebagian besar berasal dari komunitas Sunni. Sekarang, beberapa kalangan di komunitas Sunni menyerukan pembalasan.

    Namun, pemimpin Suriah sekarang menghimbau agar semua pihak tetap tenang.

    Ahmad al-Sharaa, yang pasukannya menggulingkan Assad tiga bulan lalu, kini harus menyeimbangkan antara memastikan keamanan bagi semua warga Suriah dan menegakkan keadilan atas kejahatan rezim Assad dan kaki tangannya.

    Meskipun dia memiliki otoritas atas beberapa pasukan yang membantunya berkuasa, beberapa faksi jelas berada di luar kendalinya.

    Faksi-faksi tersebut juga mencakup petempur asing yang punya agenda radikal.

    Untuk memimpin Suriah menuju masa depan yang aman dan demokratis, banyak yang berpendapat bahwa Ahmad al-Sharaa perlu mengakhiri kehadiran pejuang asing dan menyampaikan konstitusi yang melindungi hak-hak semua warga Suriah, terlepas dari latar belakang atau agama mereka.

    Meskipun dia terlihat sedang berupaya membangun kerangka hukum untuk mewujudkan konstitusi seperti itu, dia menghadapi tantangan besar untuk mengendalikan faksi-faksi garis keras kekerasan dan mengusir petempur asing.

    Berita terkait:

    Lihat juga Video: Mencekam Orang-orang Bersenjata Menyerang Restoran di Suriah

    (ita/ita)

    Hoegeng Awards 2025

    Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

  • Bentrokan Renggut 1.000 Nyawa, Presiden Suriah Janji Tindak Tegas Pelaku

    Bentrokan Renggut 1.000 Nyawa, Presiden Suriah Janji Tindak Tegas Pelaku

    Damaskus

    Presiden Suriah Ahmed al-Sharaa bersumpah bahwa pemerintahannya akan menuntut pertanggungjawaban dari siapa pun yang terlibat dalam aksi menyakiti warga sipil di negara tersebut. Sumpah ini disampaikan beberapa hari setelah rentetan tindak kekerasan mematikan melanda area pesisir Mediterania.

    “Kita akan meminta pertanggungjawaban, dengan tegas dan tanpa keringanan, kepada siapa pun yang terlibat dalam pertumpahan darah warga sipil… atau siapa saja yang melangkahi kewenangan negara,” tegas Al-Sharaa dalam pernyataan yang diunggah kantor berita SANA dan dilansir Al Arabiya, Senin (10/3/2025).

    Dia menambahkan bahwa sebuah komite khusus akan dibentuk untuk “melindungi perdamaian sipil”.

    Al-Sharaa mengatakan bahwa Suriah sedang menghadapi upaya untuk menyeret negara tersebut kembali ke dalam perang saudara. Dia menegaskan bahwa “sisa-sisa rezim sebelumnya” tidak memiliki pilihan lainnya selain menyerahkan diri segera.

    Ditegaskan juga oleh Al-Sharaa bahwa Suriah tidak akan membiarkan “kekuatan eksternal atau lokal” menyeretnya ke dalam kekacauan atau perang saudara.

    Data terbaru yang dilaporkan kelompok pemantau konflik Suriah, Syrian Observatory for Human Rights, menyebut sedikitnya 830 warga sipil dari etnis Alawite tewas dalam “eksekusi mati” yang dilakukan oleh para personel keamanan atau petempur pro-pemerintah di Provinsi Latakia dan Tartus.

    Alawite merupakan komunitas minoritas di Suriah yang menjadi asal mantan Presiden Bashar al-Assad, yang digulingkan dari pemerintahannya pada Desember lalu. Area Mediterania yang menjadi lokasi kebanyakan tindak kekerasan itu, merupakan jantung komunitas Alawite.

    Lihat juga Video ‘Mencekam Orang-orang Bersenjata Menyerang Restoran di Suriah’:

    Pertempuran antara pasukan keamanan Suriah yang baru dan loyalis Assad pecah sejak Kamis (6/3) pekan lalu, setelah ketegangan sebelumnya, dan meningkat menjadi aksi pembunuhan massal.

    Rentetan pertempuran itu, menurut Syrian Observatory, juga menewaskan 231 personel pasukan keamanan Suriah dan 250 petempur pro-Assad. Jumlah total korban tewas dalam serangkaian pertempuran dan tindak kekerasan itu mencapai sedikitnya 1.311 orang sejauh ini.

    Kepala hak asasi manusia (HAM) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Volker Turk, menyerukan agar rentetan pembunuhan di Suriah itu “harus segera dihentikan”. Sementara Liga Arab, PBB, Amerika Serikat (AS), Inggris, dan negara-negara lainnya mengecam tindak kekerasan itu.

    Kantor kepresidenan Suriah, pada Minggu (9/3), mengumumkan via Telegram bahwa “komite independen” telah dibentuk untuk “menyelidiki pelanggaran terhadap warga sipil dan mengidentifikasi pihak yang bertanggung jawab atas pelanggaran tersebut”, yang akan diadili.

    Al-Sharaa dalam pernyataannya juga menyerukan persatuan nasional. “Insya Allah, kita akan dapat hidup bersama di negara ini,” cetusnya dalam pidato terpisah dari sebuah masjid di Damaskus.

    Lihat juga Video ‘Mencekam Orang-orang Bersenjata Menyerang Restoran di Suriah’:

    Hoegeng Awards 2025

    Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

  • Reaksi Dunia atas Pembantaian Warga Sipil di Suriah: PBB, WHO, Inggris hingga Mesir – Halaman all

    Reaksi Dunia atas Pembantaian Warga Sipil di Suriah: PBB, WHO, Inggris hingga Mesir – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Pembantaian warga sipil di pesisir Suriah pada awal Maret 2025 memicu kecaman internasional.

    Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengecam keras atas kekerasan yang terjadi setelah laporan tentang pembunuhan satu keluarga yang sangat mengerikan.

    Kepala Hak Asasi Manusia PBB, Volker Turk, meminta penyelidikan segera dan menuntut pihak yang bertanggung jawab mendapat hukuman sesuai hukum internasional.

    “Ada laporan tentang eksekusi berdasarkan perbedaan agama oleh pelaku yang tidak dikenal, yang melibatkan anggota pasukan keamanan pemerintah dan kelompok yang terkait dengan pemerintahan sebelumnya,” kata Turk, dalam sebuah pernyataan yang dipublikasikan pada Minggu (9/3/2025), dikutip dari Al Mayadeen.

    Ia juga mengungkapkan seluruh keluarga, termasuk wanita dan anak-anak, terbunuh dalam serangan tersebut.

    PBB mendesak agar pembunuhan di wilayah barat laut Suriah dihentikan segera dan meminta agar penyelidikan dilakukan secara cepat, jelas, dan tanpa keberpihakan.

    Selain PBB, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) juga mengungkapkan kekhawatirannya.

    Direktur Jenderal WHO, Tedros Adhanom Ghebreyesus, menekankan dampak kekerasan terhadap rumah sakit dan layanan medis di daerah yang terkena dampak.

    WHO sedang berupaya mengirimkan obat-obatan dan perlengkapan darurat untuk membantu korban.

    Di Inggris, Menteri Luar Negeri David Lammy mengutuk kekerasan yang menewaskan warga sipil Alawi.

    Dikutip dari BBC, laporan dari Observatorium Suriah untuk Hak Asasi Manusia menyebutkan bahwa pasukan keamanan dan kelompok sekutu telah menewaskan sekitar 1.000 orang dalam beberapa hari terakhir.

    Lammy menegaskan pemerintah di Damaskus harus memastikan perlindungan bagi semua warga sipil Suriah.

    Pemerintah sementara Suriah kini menghadapi tekanan internasional.

    Serangan terhadap warga sipil Alawi dimulai setelah serangkaian serangan terhadap angkatan bersenjata Suriah yang mendukung rezim baru.

    Seorang saksi mata melaporkan bahwa ia melihat pembunuhan terhadap tetangga, termasuk anak-anak.

    Kementerian Luar Negeri Mesir juga menyuarakan keprihatinannya terhadap kekerasan di Latakia dan menegaskan dukungannya terhadap stabilitas dan keamanan Suriah.

    Mesir menentang segala tindakan yang membahayakan keselamatan rakyat Suriah.

    Ahmed al-Sharaa, pemimpin sementara Suriah menyerukan perdamaian dan mengumumkan penyelidikan atas kekerasan tersebut.

    Namun, hingga kini, pemerintah Suriah belum memberikan tanggapan langsung terkait tuduhan kejam yang dilakukan oleh pendukungnya.

    Delegasi PBB dilaporkan memasuki kota Jableh di pedesaan Latakia, Suriah pada Minggu (9/3/2025) untuk pertama kalinya untuk memeriksa kerusakan akibat kekerasan.

    Mereka memeriksa toko-toko dan rumah-rumah yang dijarah dan dibakar.

    Pembantaian ini terjadi setelah bentrokan antara pasukan pemerintah dan kelompok yang berafiliasi dengan pemerintahan sebelumnya.

    Rekaman menunjukkan pasukan yang berafiliasi dengan Kementerian Pertahanan Suriah dan Pasukan Keamanan Dalam Negeri melakukan eksekusi massal terhadap warga sipil.

    Setidaknya 1.018 orang tewas akibat kekerasan di Latakia, dengan mayoritas korban adalah warga sipil Alawi, kelompok minoritas Muslim Syiah yang mendukung rezim Bashar al-Assad.

    Sebagai respons, warga Suriah menggelar demonstrasi di Damaskus pada 9 Maret untuk mendukung kelompok minoritas Alawi dan mengecam kekerasan tersebut.

    Mereka menuntut agar kekerasan dihentikan dan mengakhiri sektarianisme yang semakin meningkat di negara itu.

    Pemerintah Suriah, melalui Kepresidenan Transisi, telah membentuk komite nasional independen untuk menyelidiki kekerasan ini.

    Komite ini bertugas untuk mencari tahu penyebab serangan dan mengidentifikasi mereka yang bertanggung jawab.

    Kementerian Pertahanan Suriah juga mengonfirmasi adanya pelanggaran terhadap warga sipil yang dilakukan oleh kelompok yang tidak disiplin.

    (Tribunnews.com, Andari Wulan Nugrahani)

  • Reaksi Dunia atas Pembantaian Warga Sipil di Suriah: PBB, WHO, Inggris hingga Mesir – Halaman all

    Ahmad al-Sharaa Kerahkan Kendaraan Lapis Baja Serbu Desa-desa Kelompok Minoritas Alawite Suriah – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, DAMASKUS – Dalam dua hari terakhir, bentrokan antara pasukan keamanan Pemerintah Suriah yang dimotori oleh Hayat Tahrir al-Sham (HTS) dan kelompok oposisi di Suriah telah menyebabkan ratusan orang tewas.

    Kejadian ini merupakan bagian dari kampanye keamanan yang lebih luas untuk menargetkan sisa-sisa Angkatan Bersenjata Arab Suriah (SAA) di wilayah pesisir negara tersebut.

    Pasukan Pemerintah Suriah di bawah kepemimpinan Ahmad al-Sharaa, mantan komandan Al-Qaeda di Irak, disebut melakukan serangkaian pembunuhan massal dan eksekusi di luar hukum terhadap anggota minoritas Alawite.

    Menurut laporan dari Observatorium Hak Asasi Manusia Suriah (SOHR), 69 dari korban yang tewas adalah anggota minoritas Alawite, sementara sisanya termasuk anggota keamanan pemerintah dari sekte Sunni, anggota SAA yang merupakan sekte Alawite, dan warga sipil yang terjebak dalam bentrokan.

    Kejadian ini berlangsung di berbagai lokasi, termasuk desa al-Muktariyya dan Al-Haffeh di pedesaan Latakia, serta kota Waroud di pedalaman utara Damaskus.

    Di Al-Haffeh, 20 orang dilaporkan dibunuh oleh militan HTS, sementara di Waroud, sumber lokal melaporkan bahwa keluarga Alawite diserang di rumah mereka.

    Bentrokan ini terjadi setelah serangkaian serangan oleh sisa-sisa SAA (tentara era Assad) terhadap anggota Komando Operasi Militer Suriah awal pekan ini.

    HTS kemudian mengerahkan pasukan tambahan untuk operasi keamanan besar-besaran di wilayah pesisir Latakia dan Tartous.

    Kekerasan ini dipicu oleh serangan mendadak dari sisa-sisa SAA yang melakukan penyergapan terhadap pasukan pemerintah.

    Sebagai respons, HTS melakukan mobilisasi pasukan untuk mempertahankan kendali atas wilayah yang strategis.

    SOHR melaporkan bahwa pasukan pemerintah melancarkan serangan besar-besaran di Qardaha, kota asal mantan Presiden Bashar al-Assad, setelah para pejuang dari pemerintah sebelumnya mengambil alih beberapa desa.

    Tank dan kendaraan lapis baja dikerahkan untuk mengembalikan kontrol atas wilayah tersebut.

    Sebelumnya, pasukan pemerintah berhasil merebut kembali Baniyas, sebuah kota pesisir strategis, sementara Jableh masih berada di bawah kendali hampir total pemerintah meskipun perlawanan bersenjata masih terjadi di daerah pegunungan di sepanjang garis pantai.

    Laporan ini didasarkan pada informasi dari Observatorium Hak Asasi Manusia Suriah dan sumber lokal yang melaporkan situasi di lapangan.

    Seperti diketahui, milisi Pemberontak yang dipimpin Hayat Tahrir al-Sham melancarkan serangan kilat yang menggulingkan al-Assad pada tanggal 8 Desember.

    Setelah menggulingkan Assad, para milisi itu kini direkrut menjadi pasukan keamanan Suriah di bawah rezim baru.

    Pasukan keamanan baru negara itu sejak itu telah melancarkan kampanye ekstensif untuk berusaha mengusir loyalis al-Assad dari bekas bentengnya.

    Warga dan organisasi telah melaporkan pelanggaran selama kampanye tersebut, termasuk penyitaan rumah, eksekusi lapangan, dan penculikan.

    Pemerintah baru Suriah menggambarkan pelanggaran tersebut sebagai “insiden terisolasi” dan berjanji akan mengejar mereka yang bertanggung jawab.

    Sementara itu, Pemerintah setempat di kota Tartus, Suriah, mengumumkan jam malam di seluruh kota mulai Kamis malam hingga pemberitahuan lebih lanjut, menyusul kerusuhan baru-baru ini di beberapa wilayah pesisir, yang mencakup insiden kerusuhan dan kekerasan.
    Tindakan tersebut bertujuan untuk menjaga ketertiban umum dan memastikan keselamatan penduduk dan warga negara – kata pernyataan pihak berwenang.

    Jam malam akan berlaku mulai pukul 10 malam hingga pukul 10 pagi.

  • Reaksi Dunia atas Pembantaian Warga Sipil di Suriah: PBB, WHO, Inggris hingga Mesir – Halaman all

    Pasukan Suriah dan Milisi Pro-Assad Bentrok di Latakia: 52 Alawi Dieksekusi, Lebih 70 Orang Tewas – Halaman all

    Pasukan Suriah dan Milisi Pro-Assad Bentrok di Latakia: 52 Alawi Dieksekusi, Lebih 70 Orang Tewas

    TRIBUNNEWS.COM – Observatorium Pemantau perang Suriah, Jumat (7/3/2025), mengatakan kalau pasukan keamanan Suriah “mengeksekusi” 52 anggota minoritas Alawite Syiah (kaum Alawi) di provinsi Latakia, Suriah.

    Eksekusi ini menyusul bentrokan di Latakia antara pasukan Suriah rezim baru pimpinan Ahmed Al-Sharaa dengan milisi bersenjata yang setia kepada presiden terguling Suriah, Bashar al-Assad.

    “Observatorium Suriah untuk Hak Asasi Manusia yang berkantor pusat di Inggris mengatakan “pasukan keamanan mengeksekusi 52 pria Alawite di kota Al-Shir dan Al-Mukhtariya di pedesaan Latakia” berdasarkan video yang diverifikasinya, serta kesaksian yang diterimanya dari kerabat korban,” tulis laporan Al Arabiya, Jumat.

    Bentrokan itu, kata Observatorium Suriah, menewaskan lebih dari 70 orang tewas dan puluhan lainnya terluka dalam kerusuhan yang terjadi di sejumlah wilayah pesisir Suriah, pekan ini. 

    “Lebih dari 70 orang tewas dan puluhan lainnya terluka dan ditangkap dalam bentrokan berdarah dan penyergapan di pantai Suriah antara anggota Kementerian Pertahanan dan Dalam Negeri dan militan dari tentara rezim yang sudah terguling,” kata Observatorium Suriah untuk Hak Asasi Manusia dalam sebuah unggahan di X.

    Sebelumnya disebutkan kalau bentrokan bersenjata pada Kamis antara pasukan pemerintah dan loyalis al-Assad telah menewaskan 48 orang di kota pesisir Jableh dan desa-desa di sekitarnya.

    Laporan mengatakan kalau itu adalah “serangan paling kejam terhadap pemerintahan baru Suriah sejak al-Assad digulingkan” pada bulan Desember.

    Jumlah korban secara keseluruhan selama kerusuhan minggu ini belum diketahui.

    Pejuang pro-al-Assad menewaskan 16 personel keamanan sementara 28 pejuang yang berpihak pada presiden terguling dan empat warga sipil juga tewas, kata Observatorium pada Kamis.

    TERAPKAN JAM MALAM – Pasukan rezim baru pemerintahan Suriah saat menangani kerusuhan yang terjadi di wilayah-wilayah yang menjadi basis pendukung Presiden terguling, Bashar Al-Assad, Kamis (6/3/2025). Pasukan Suriah dlaporan menerapkan jam malam di sejumlah wilayah pesisir negara tersebut.

    Serangan Terencana dari Benteng Assad

    Pertempuran sebelumnya terjadi di provinsi pesisir Mediterania Latakia, jantung minoritas Alawite al-Assad yang dianggap sebagai benteng pendukung selama pemerintahannya.

    Mustafa Kneifati, seorang pejabat keamanan di Latakia, mengatakan, dalam “serangan yang direncanakan dengan matang dan terencana, beberapa kelompok sisa milisi al-Assad menyerang posisi dan pos pemeriksaan kami,” yang menargetkan patroli di wilayah Jableh.

    Serangan tersebut mengakibatkan “banyaknya korban jiwa dan luka-luka di antara pasukan kami,” imbuhnya tanpa menyebutkan jumlah korban.

    Kneifati mengatakan pasukan keamanan Suriah akan “berusaha untuk menghilangkan kehadiran mereka.”

    “Kami akan memulihkan stabilitas di kawasan ini dan melindungi properti milik rakyat kami,” katanya.

    Observatorium mengatakan sebagian besar personel keamanan yang tewas berasal dari bekas benteng oposisi Suriah di Idlib di barat laut.

    Si Harimau, Prajurit Kesayangan Assad Ditangkap

    Selama operasi tersebut, pasukan keamanan Suriah menangkap dan menahan mantan kepala intelijen angkatan udara, salah satu badan keamanan keluarga al-Assad yang paling dipercaya, kantor berita negara SANA melaporkan.

    “Pasukan kami di kota Jableh berhasil menangkap penjahat Jenderal Ibrahim Huweija,” kata SANA.

    “Dia dituduh melakukan ratusan pembunuhan selama era penjahat Hafez al-Assad,” ayah dan pendahulu Bashar al-Assad.

    Huweija, yang mengepalai intelijen angkatan udara dari tahun 1987 hingga 2002, telah lama menjadi tersangka dalam pembunuhan pemimpin Druze Lebanon Kamal Bek Jumblatt tahun 1977.

    Direktur keamanan provinsi mengatakan pasukan keamanan bentrok dengan orang-orang bersenjata yang setia kepada komandan pasukan khusus era al-Assad di desa lain di Latakia, setelah pihak berwenang dilaporkan melancarkan serangan helikopter.

    “Kelompok bersenjata yang bentrok dengan pasukan keamanan kami di pedesaan Latakia berafiliasi dengan penjahat perang Suhail al-Hassan,” kata direktur keamanan tersebut kepada SANA.

    Dijuluki “Si Harimau,” al-Hassan memimpin pasukan khusus negara itu dan sering digambarkan sebagai “prajurit kesayangan” al-Assad.

    Ia bertanggung jawab atas kemajuan militer utama yang dicapai oleh pemerintahan al-Assad pada tahun 2015.

    Operasi Keamanan di Jableh

    Observatorium Suriah untuk Hak Asasi Manusia sebelumnya melaporkan “serangan yang dilancarkan oleh helikopter Suriah terhadap orang-orang bersenjata di desa Beit Ana dan hutan-hutan di sekitarnya, bertepatan dengan serangan artileri terhadap desa tetangga.”

    SANA melaporkan bahwa milisi pro-al-Assad telah menembaki “anggota dan peralatan kementerian pertahanan” di dekat desa tersebut, menewaskan satu anggota pasukan keamanan dan melukai dua lainnya.

    Sumber kementerian pertahanan kemudian mengatakan kepada SANA bahwa bala bantuan militer besar sedang dikerahkan ke daerah Jableh.

    Para pemimpin Alawite menyerukan dalam sebuah pernyataan di Facebook untuk “unjuk rasa damai” sebagai tanggapan atas serangan helikopter, yang mereka katakan telah menargetkan “rumah-rumah warga sipil.”

    Pasukan keamanan memberlakukan jam malam di wilayah yang dihuni penduduk Alawi, termasuk Latakia, kota pelabuhan Tartus, dan kota ketiga Homs, SANA melaporkan.

    Di kota-kota lain di seluruh negeri, massa berkumpul “untuk mendukung pasukan keamanan,” tambahnya.

    Ketegangan meletus setelah penduduk Beit Ana, tempat kelahiran Suhail al-Hassan, mencegah pasukan keamanan menangkap seseorang yang dicari karena memperdagangkan senjata, kata Observatorium.

    Pasukan keamanan kemudian melancarkan operasi di daerah tersebut, yang mengakibatkan bentrokan dengan orang-orang bersenjata, tambahnya.

    Pembunuhan sedikitnya empat warga sipil selama operasi keamanan di Latakia juga memicu ketegangan, kata pemantau pada hari Rabu.

    Pasukan keamanan melancarkan operasi di wilayah Daatour di kota itu pada hari Selasa setelah penyergapan oleh “anggota sisa-sisa milisi al-Assad” menewaskan dua personel keamanan, media pemerintah melaporkan.

    Milisi Pemberontak yang dipimpin Hayat Tahrir al-Sham melancarkan serangan kilat yang menggulingkan al-Assad pada tanggal 8 Desember.

    Setelah menggulingkan Assad, para milisi itu kini direkrut menjadi pasukan keamanan Suriah di bawah rezim baru.

    Pasukan keamanan baru negara itu sejak itu telah melancarkan kampanye ekstensif untuk berusaha mengusir loyalis al-Assad dari bekas bentengnya.

    Warga dan organisasi telah melaporkan pelanggaran selama kampanye tersebut, termasuk penyitaan rumah, eksekusi lapangan, dan penculikan.

    Pemerintah baru Suriah menggambarkan pelanggaran tersebut sebagai “insiden terisolasi” dan berjanji akan mengejar mereka yang bertanggung jawab.

    Militan Hayat Tahrir al-Sham (HTS) di Suriah. (PressTV)

    Terapkan Jam Malam

    Pemerintah setempat di kota Tartus, Suriah, mengumumkan jam malam di seluruh kota mulai Kamis malam hingga pemberitahuan lebih lanjut, menyusul kerusuhan baru-baru ini di beberapa wilayah pesisir, yang mencakup insiden kerusuhan dan kekerasan.

    Tindakan tersebut bertujuan untuk menjaga ketertiban umum dan memastikan keselamatan penduduk dan warga negara – kata pernyataan pihak berwenang.

    Jam malam akan berlaku mulai pukul 10 malam hingga pukul 10 pagi.

    Pengecualian terhadap jam malam mencakup situasi darurat, seperti mengangkut pasien atau menangani kebutuhan kemanusiaan, serta pekerja penting di sektor keamanan, medis, dan layanan publik.

    Pihak berwenang mengeluarkan pedoman berikut:

    Pergerakan di jalan dan tempat umum dilarang selama jam malam
    Warga diimbau untuk mematuhi instruksi resmi
    Pelanggaran jam malam apa pun akan berujung pada pertanggungjawaban hukum

     

    (oln/rntv/alarby/*)

  • Pasukan Suriah Bentrok dengan Loyalis Assad, 70 Orang Tewas

    Pasukan Suriah Bentrok dengan Loyalis Assad, 70 Orang Tewas

    Damaskus

    Pasukan pemerintah Suriah dan para militan loyalis mantan Presiden Bashar al-Assad terlibat bentrokan berdarah. Lebih dari 70 orang tewas dan puluhan orang lainnya mengalami luka-luka dalam bentrokan tersebut.

    Bentrokan berdarah itu, seperti dilansir AFP, Jumat (7/2/2025), melibatkan pasukan pemerintah dari Kementerian Pertahanan dan Kementerian Dalam Negeri Suriah dengan para militan loyalis Assad, yang pemerintahannya digulingkan pada Desember lalu.

    “Lebih dari 70 orang tewas dan puluhan orang lainnya mengalami luka-luka, dan ditangkap, dalam bentrokan berdarah dan penyergapan di pantai Suriah antara para anggota Kementerian Pertahanan dan Kementerian Dalam Negeri, dan para militan dari tentara rezim yang sudah tidak ada lagi,” sebut Syrian Observatory for Human Rights yang berbasis di Inggris dalam pernyataannya.

    Dilaporkan sebelumnya bahwa bentrokan yang terjadi pada Kamis (6/3) waktu setempat itu menewaskan sedikitnya 48 orang di kota pesisir Jableh dan desa-desa di sekitarnya. Syrian Observatory menyebut bentrokan itu sebagai “serangan paling brutal terhadap otoritas baru sejak al-Assad digulingkan”.

    Jumlah korban tewas secara keseluruhan selama bentrokan pecah pekan ini belum diketahui secara jelas.

    ADVERTISEMENT

    `;
    var mgScript = document.createElement(“script”);
    mgScript.innerHTML = `(function(w,q){w[q]=w[q]||[];w[q].push([“_mgc.load”])})(window,”_mgq”);`;
    adSlot.appendChild(mgScript);
    },
    function loadCreativeA() {

    var adSlot = document.getElementById(“ad-slot”);
    if (!adSlot) return;
    adSlot.innerHTML = “;

    if (typeof googletag !== “undefined” && googletag.apiReady) {
    googletag.cmd.push(function () {
    googletag.display(‘div-gpt-ad-1708418866690-0’);
    googletag.pubads().refresh();
    });
    } else {
    var gptScript = document.createElement(“script”);
    gptScript.src = “https://securepubads.g.doubleclick.net/tag/js/gpt.js”;
    gptScript.async = true;
    gptScript.onload = function () {
    window.googletag = window.googletag || { cmd: [] };
    googletag.cmd.push(function () {
    googletag.defineSlot(‘/4905536/detik_desktop/news/static_detail’, [[400, 250], [1, 1], [300, 250]], ‘div-gpt-ad-1708418866690-0’)
    .addService(googletag.pubads());
    googletag.enableServices();
    googletag.display(‘div-gpt-ad-1708418866690-0’);
    googletag.pubads().refresh();
    });
    };
    document.body.appendChild(gptScript);
    }
    }
    ];

    var currentAdIndex = 0;
    var refreshInterval = null;
    var visibilityStartTime = null;
    var viewTimeThreshold = 30000;

    function refreshAd() {
    var adSlot = document.getElementById(“ad-slot”);
    if (!adSlot) return;
    currentAdIndex = (currentAdIndex + 1) % ads.length;
    adSlot.innerHTML = “”;
    ads[currentAdIndex]();
    }

    var observer = new IntersectionObserver(function (entries) {
    entries.forEach(function (entry) {
    if (entry.intersectionRatio > 0.1) {
    if (!visibilityStartTime) {
    visibilityStartTime = new Date().getTime();
    requestAnimationFrame(checkVisibility);
    }
    } else {
    visibilityStartTime = null;
    if (refreshInterval) {
    clearInterval(refreshInterval);
    refreshInterval = null;
    }
    }
    });
    }, { threshold: 0.1 });

    function checkVisibility() {
    if (visibilityStartTime && (new Date().getTime() – visibilityStartTime >= viewTimeThreshold)) {
    refreshAd();
    if (!refreshInterval) {
    refreshInterval = setInterval(refreshAd, 30000);
    }
    } else {
    requestAnimationFrame(checkVisibility);
    }
    }

    document.addEventListener(“DOMContentLoaded”, function () {
    var adSlot = document.getElementById(“ad-slot”);
    if (!adSlot) {
    console.error(“❌ Elemen #ad-slot tidak ditemukan!”);
    return;
    }
    ads[currentAdIndex]();
    observer.observe(adSlot);
    });

    var mutationObserver = new MutationObserver(function (mutations) {
    mutations.forEach(function (mutation) {
    if (mutation.type === “childList”) {
    visibilityStartTime = new Date().getTime();
    requestAnimationFrame(checkVisibility);
    }
    });
    });

    mutationObserver.observe(document.getElementById(“ad-slot”), { childList: true, subtree: true });

    Laporan Syrian Observatory menyebut para petempur pro-Assad menewaskan 16 personel keamanan Suriah, sedangkan 28 petempur loyalis Assad dan empat warga sipil juga tewas dalam bentrokan itu.

    Pertempuran sebelumnya terjadi di Provinsi Latakia, yang terletak di pesisir Laut Mediterania, yang merupakan jantung minoritas Alawite — etnis asal Assad. Latakia sebelumnya dianggap sebagai benteng dukungan bagi Assad selama pemerintahannya.

    Seorang pejabat keamanan di Latakia, Mustafa Kneifati, mengatakan bahwa dalam “serangan yang direncanakan dengan baik dan telah direncanakan sebelumnya, beberapa kelompok sisa-sisa milisi al-Assad menyerang posisi dan pos pemeriksaan kami”, menargetkan patroli di area Jableh.

    Serangan itu, menurut Kneifati, menyebabkan “banyak korban tewas dan korban luka di antara pasukan kami”. Dia tidak menyebut lebih spesifik jumlah korban.

    Ditegaskan Kneifati bahwa pasukan keamanan Suriah akan “berusaha untuk menyingkirkan kehadiran mereka”.

    “Kami akan memulihkan stabilitas di wilayah tersebut dan melindungi properti milik rakyat kami,” tegasnya.

  • Kenapa Israel Duduki Wilayah Druze di Suriah Selatan?

    Kenapa Israel Duduki Wilayah Druze di Suriah Selatan?

    Jakarta

    Senin (3/3) malam, bendera Israel mendadak berkibar di Sweida, Suriah selatan, wilayah yang mayoritas dihuni oleh komunitas Druze. Aksi itu sontak direspons warga setempat dengan menurunkan dan membakar bendera Bintang Daud sebagai bentuk protes

    Berkibarnya bendera Israel jauh di dalam wilayah Suriah seakan menabuh genderang konflik, mengingat permusuhan antara kedua negara. Meskipun rezim Bashar al-Assad telah berakhir, relasi terhadap penguasa baru Damaskus tetap dipenuhi kecurigaan dan kewaspadaan.

    Peristiwa ini terjadi setelah insiden lain di Suriah, yang diwarnai baku tembak antara warga Druze dan aparat keamanan Suriah di Jaramana di pinggiran ibu kota Damaskus, yang juga didominasi oleh komunitas Druze.

    Seorang warga Jaramana, yang merahasiakan identitas karena alasan keamanan, kepada DW mengatakan, dirinya mendengar rumor yang menyebut warga Druze yang bertempur melawan rejim baru Suriah memiliki koneksi dengan komunitas Druze di Israel. Mereka disebutkan menerima suplai senjata, dengan tujuan menciptakan ketegangan di wilayah Suriah yang berbatasan dengan Israel.

    Komunitas Druze merupakan minoritas agama di Timur Tengah yang memiliki keyakinan berbeda dari ajaran Islam. Di Israel, sekitar warga 150.000 Druze memegang kewarganegaraan setempat, dengan sebagian besar bertugas di militer dan relatif dianggap setia kepada negara Yahudi.

    Sementara itu, di Suriah, sekitar 700.000 Druze menjadi salah satu minoritas terbesar dan menuntut perlindungan hak di bawah pemerintahan baru Suriah.

    “Beberapa pihak dari organisasi masyarakat sipil bahkan menuduh otoritas agama Druze memainkan isu ini dengan Israel demi memperkuat pengaruh mereka di dalam pemerintahan baru,” kata sumber tersebut.

    Netanyahu: balasan jika Druze diserang

    Pernyataan itu muncul meskipun pemerintahan sementara Suriah, yang dipimpin oleh kelompok pemberontak Hayat Tahrir al-Sham, HTS, justru menegaskan komitmennya terhadap persatuan nasional dan hak-hak minoritas, termasuk Druze, Kurdi, Kristen, dan Alawit.

    Namun, para pengamat menilai, perhatian Israel terhadap komunitas Druze lebih merupakan strategi geopolitik ketimbang kepedulian terhadap hak-hak minoritas. Trita Parsi, Wakil Presiden Quincy Institute di Washington menjelaskan, Israel sejak lama menjalankan strategi “periphery doctrine”, dengan membangun aliansi dengan minoritas non-Muslim setempat untuk memperlemah pengaruh pemerintah negeri jiran di wilayah teritorialnya sendiri.

    Senada dengan itu, Andreas Krieg, dosen senior di King’s College London, menilai bahwa berbagai kekuatan asing memanfaatkan isu perlindungan minoritas untuk menutupi ambisi imperialis. “Kita telah melihat Rusia menggunakan narasi melindungi Kristen saat Natal, Iran menyebut dirinya sebagai pelindung Syiah, dan kini Israel mengklaim akan membela Druze,” ujar Krieg.

    Dia menambahkan, Israel sebenarnya tidak berkepentingan bertetangga dengan pemerintahan yang stabil dan inklusif di Suriah. “Jika Suriah menjadi stabil, maka mereka akan memiliki kapasitas untuk menantang Israel. Hal ini adalah sesuatu yang tidak diinginkan oleh Israel,” tambahnya.

    Pendudukan Suriah Selatan

    Sejak jatuhnya rezim Assad pada Desember 2024, Israel semakin gencar melancarkan serangan udara di Suriah. Menurut data Armed Conflict Location and Event Data, ACLED, Israel melakukan lebih banyak serangan udara pada Desember 2024 dibandingkan sepanjang tahun sebelumnya. Bahkan, dalam 48 jam pertama setelah jatuhnya Assad, Israel menghancurkan 70-80% kapasitas militer strategis rezim lama Suriah.

    Serangan udara terbaru kembali dilakukan pekan ini dengan dalih menyerang target militer Suriah. Selain itu, Israel juga mengerahkan pasukan ke zona penyangga, yang sejak tahun 1974 menjaga perjanjian gencatan senjata antara Suriah dan Israel.

    Awalnya, Israel mengklaim pengerahan pasukan ke Suriah hanya bersifat sementara untuk menjaga keamanan di tengah kekosongan pemerintahan di Damaskus. Namun, belakangan pejabat pemerintah menyatakan bahwa pasukan Israel akan tetap berada di Suriah secara permanen.

    Langkah ini mendapat sorotan dari United Nations Disengagement Observer Force, UNDOF, misi pemantauan PBB di Dataran Tinggi Golan. Dalam pernyataannya, UNDOF mengungkapkan keprihatinan terhadap peningkatan aktivitas militer Israel di zona penyangga.

    “Sejak 7 Desember, UNDOF telah mengamati peningkatan signifikan pergerakan Pasukan Pertahanan Israel, IDF, di wilayah pemisah dan sepanjang garis gencatan senjata,” demikian pernyataan UNDOF. “Kami telah memberi tahu pihak Israel bahwa tindakan ini melanggar perjanjian.”

    Citra satelit dari BBC dan Al Jazeera mengonfirmasi keberadaan lebih banyak pasukan Israel di dalam wilayah Suriah. Sementara itu, laporan dari Syria Direct menunjukkan, pasukan Israel mulai membangun jalan baru, merusak rumah dan kebun zaitun, serta menahan warga setempat. Beberapa petani dilaporkan dilarang memasuki ladang mereka. Sebagai gantinya, pasukan Israel menawarkan bantuan berupa air, makanan, listrik, dan pekerjaan di Dataran Tinggi Golan, wilayah Suriah yang diduduki Israel sejak 1967.

    Israel langgar hukum internasional?

    Netanyahu bahkan menyerukan “demiliterisasi total Suriah selatan” dalam pidatonya pada Minggu (2/3).

    Menurut Andreas Krieg, langkah Israel bukan hanya melanggar hukum internasional dengan menduduki wilayah Suriah secara ilegal, tetapi juga menggunakan kekuatan militer untuk menyerang target yang sebenarnya tidak secara langsung mengancam keamanan Israel.

    “Mungkin ini memberi keuntungan jangka pendek bagi Israel, tetapi tidak akan menciptakan keamanan dalam jangka panjang,” ujar Krieg. “Sejak 1948, Israel merasa dikelilingi oleh musuh. Mereka melihat konflik ini sebagai perang berkelanjutan melawan semua tetangganya, sehingga tidak ada ruang untuk membangun kepercayaan.”

    Dosen senior Krieg memperingatkan, strategi konfrontatif seperti ini hanya akan memunculkan kelompok-kelompok perlawanan baru di Suriah, seperti yang pernah terjadi di negara-negara tetangga Israel sebelumnya.

    Tanda-tanda itu mulai terlihat dengan munculnya kelompok bersenjata baru di Suriah selatan bernama “The Islamic Resistance Front in Syria – Great Might”, yang menyatakan siap melawan kehadiran tentara Israel di negara mereka.

    Diadaptasi dari DW Bahasa Inggris

    (ita/ita)

    Hoegeng Awards 2025

    Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

  • Israel Rugi Rp 40 Triliun Akibat Perang dengan Hizbullah, Caplok Wilayah Perbatasan Lebanon Selatan – Halaman all

    Israel Rugi Rp 40 Triliun Akibat Perang dengan Hizbullah, Caplok Wilayah Perbatasan Lebanon Selatan – Halaman all

    Israel Rugi Rp 40 Triliun Akibat Perang dengan Hizbullah, Kini Caplok Wilayah Perbatasan Lebanon

    TRIBUNNEWS.COM – Israel melaporkan kerusakan senilai 9 miliar shekel (2,5 miliar dolar AS atau setara Rp 40,781 Triliun) dalam perang dengan kelompok Lebanon, Hizbullah.

    Sebuah laporan yang diserahkan kepada pemerintah oleh Ze’ev Elkin , seorang menteri di Kementerian Keuangan, menunjukkan ada 2.900 bangunan rusak di Israel utara selama konflik dengan Hizbullah sejak Oktober 2023, menurut Radio Angkatan Darat Israel pada Rabu (5/4/2025) dikutip Anews.

    Laporan tersebut menyatakan kalau sebanyak 19 persen bangunan yang rusak disebabkan oleh aktivitas militer Israel di wilayah tersebut.

    Menurut laporan tersebut, 67.500 pemukim Israel dievakuasi dari Israel utara sejak pecahnya konflik, dan sejauh ini hanya 19.000 pemukim yang kembali ke rumah mereka.

    Gencatan senjata telah berlaku sejak 27 November, namun berlangsung rapuh seiring banyaknya pelanggaran yang justru dilakukan Israel.

    Gencatan senjata pada akhir November itu mengakhiri perang lintas perbatasan selama berbulan-bulan antara Israel dan Hizbullah yang meningkat menjadi konflik skala penuh September tahun lalu.

    Pihak berwenang Lebanon telah melaporkan lebih dari 1.000 pelanggaran gencatan senjata oleh Israel, termasuk kematian sedikitnya 83 korban dan cedera pada 280 orang.

    Berdasarkan kesepakatan gencatan senjata, Israel seharusnya menarik diri sepenuhnya dari Lebanon selatan pada tanggal 26 Januari, tetapi batas waktu diperpanjang hingga 18 Februari setelah Israel menolak untuk mematuhinya, karena masih mempertahankan kehadiran militer di lima pos perbatasan.

    PASUKAN ISRAEL – Tangkapan layar YouTube Al Jazeera English pada Selasa (18/2/2025) menunjukkan pasukan israel berada di pos di Lebanon Selatan pada 15 Februari 2025. Juru bicara militer Israel, Letnan Kolonel Nadav Shoshani pada hari Senin (17/2/2025) mengatakan bahwa pihaknya tidak akan menarik pasukan dari 5 pos di Lebanon Selatan. (Tangkapan layar YouTube Al Jazeera English)

    Caplok Wilayah Perbatasan Lebanon Jadi Zona Keamanan

    Belakangan, pihak Lebanon mengklaim kalau Israel tidak hanya mempertahankan keberadaan pasukannya di lima bukit di Lebanon Selatan, namun juga mencaplok sejumlah area di sepanjang perbatasan.

    “Israel telah menetapkan zona keamanan perbatasan di dalam Lebanon,” kata Ketua Parlemen Lebanon Nabih Berri pada Selasa (4/3/2025).

    “Pendudukan Israel tidak terbatas pada lima bukit perbatasan, tetapi diperluas hingga membangun jalur perbatasan sepanjang satu atau dua kilometer di dalam wilayah Lebanon,” tambah Berri kepada harian Lebanon, Addiyar.

    Gencatan senjata yang rapuh telah diberlakukan di Lebanon sejak 27 November silam.

    Berdasarkan kesepakatan gencatan senjata, Israel seharusnya menarik diri sepenuhnya dari Lebanon selatan paling lambat tanggal 26 Januari, tetapi batas waktu diperpanjang hingga tanggal 18 Februari setelah Israel menolak mematuhinya.

    Israel masih mempertahankan kehadiran militer di wilayah Lebanon.

    “Lebanon tidak akan membiarkan Israel memaksakan kenyataan baru di lapangan,” kata Berri, sambil menyerukan kepada masyarakat internasional untuk menghentikan pelanggaran berulang Israel terhadap kedaulatan Lebanon.

    “Lebanon tidak akan menerima upaya apa pun untuk memperdagangkan bantuan demi kondisi politik atau militer, baik yang terkait dengan senjata perlawanan di utara Sungai Litani atau masalah internal lainnya,” tegas Berri.

    KOMUNITAS DRUZE – Foto yang diambil dari The Times of Israel tanggal 28 Februari 2025 memperlihatkan Kota Hurfeish di Israel yang ditinggali oleh banyak komunitas Druze. Israel mempertimbangkan untuk menerima warga Suriah dari komunitas Druze untuk bekerja di Israel. (The Times of Israel)

    IDF Berdalih Lindungi Druze

    Ketua parlemen Lebanon itu juga menuduh Israel berusaha mencampuri urusan negara tetangga, khususnya Suriah dengan memanipulasi komposisi demografinya dan mengklaim melindungi kelompok tertentu seperti Druze.

    Komunitas Druze mencakup sekitar 3 persen dari populasi Suriah dan juga dikenal sebagai “Al-Muwahhidun” (Unitarian). 

    Mereka sebagian besar terkonsentrasi di provinsi selatan Suwayda, dengan komunitas yang lebih kecil di Damaskus, pedesaannya, Quneitra, dan Idlib utara.

    Setelah jatuhnya rezim Bashar al-Assad, Israel memperluas pendudukannya di Dataran Tinggi Golan Suriah dengan merebut zona penyangga demiliterisasi – sebuah tindakan yang melanggar perjanjian pelepasan diri dengan Suriah tahun 1974- Israel juga mengintensifkan serangan udara yang menargetkan posisi militer Suriah di seluruh negeri.

    Manuver militer Israel baru-baru ini di Dataran Tinggi Golan, yang telah didudukinya sejak 1967, telah menuai kecaman dari PBB dan beberapa negara Arab.

    (oln/anews/*)

  • Media Israel: Pelaku Penyerangan di Haifa Adalah Pemuda Druze, Motif Terkait Agresi IDF di Suriah? – Halaman all

    Media Israel: Pelaku Penyerangan di Haifa Adalah Pemuda Druze, Motif Terkait Agresi IDF di Suriah? – Halaman all

    Media Israel: Pelaku Penyerangan di Haifa Adalah Pemuda Druze, Motif Terkait Agresi di Suriah?

    TRIBUNNEWS.COM – Otoritas Penyiaran Israel, KAN melaporkan kalau pelaku serangan penembakan dan penusukan yang terjadi di kota Haifa, Senin (3/3/2025), adalah seorang pemuda Druze dari kota Shefa-Amr bernama Yithro Shahin.

    Media Israel melaporkan kalau satu orang tewas dan sedikitnya empat lainnya terluka dalam serangan penusukan dan penembakan di stasiun bus pusat di Teluk Haifa.

    Laporan itu memberi catatan kalau motif dan latar belakang insiden penyerangan tersebut belum diketahui.

    Beberapa spekulasi menyebut, komunitas Druze yang justru dilindungi oleh Israel lewat perintah Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, malah mengecam pernyataan Israel tersebut.

    Patut dicatat kalau beberapa hari yang lalu, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan Menteri Pertahanan Yisrael Katz menginstruksikan tentara Israel untuk bersiap melindungi kota Jaramana di Suriah di Damaskus selatan, yang mayoritas penduduknya berasal dari komunitas Druze.

    Israel menegaskan kalau mereka “Tidak akan membiarkan rezim baru di Suriah menyakiti kaum Druze di pedesaan Damaskus, dan jika rezim itu menyakiti mereka, Israel akan menyakitinya.”

    KOMUNITAS DRUZE ISRAEL – Tangkap layar Middle East Eye, Minggu (2/3/2025) menunjukkan komunitas Druze di Israel melakukan demonstrasi. Israel menyatakan akan melindungi komunitas ini yang berada di dataran tinggi Golan di bagian Suriah yang diduduki Israel dari ancaman militer pasukan pemerintahan baru Suriah, pimpinan Ahmad Al-Sharaa, (reuters/tangkaplayar MEE)

    Bassem Abu Fakhr, juru bicara gerakan “Pria Bermartabat” di Suriah, mengecam pernyataan Netanyahu yang mengklaim mau melindungi kaum Druze di Suriah.

    Dia menyiratkan, komunitasnya berkomitmen untuk tetap bersama Suriah yang kini tengah bertransisi dalam pemerintahan baru pimpinan Ahmed Al-Sharaa atau juga dikenal dengan Muhammad al-Julani.

    “Kami bersama Suriah dan memasuki lembaga-lembaga negara, dan Damaskus selalu menjadi tujuan kami,” kata dia.

    Penolakan komunitas Druze di Suriah untuk berada di bawah kooptasi Israel ini juga terjadi di wilayah lain, termasuk di Lebanon.

    Pada gilirannya, mantan ketua Partai Sosialis Progresif Lebanon, Walid Jumblatt, mengatakan bahwa mereka yang menyatukan Suriah pada masa Sultan Pasha al-Atrash tidak akan menanggapi seruan Netanyahu.

    GUNCANG HAIFA – Polisi Israel berjaga di lokasi serangan penembakan di Lev Hamifratz Mall di Haifa, dekat stasiun bus pusat, Senin (3/3/2025). Serangan ini mengguncang Haifa karena laporan awal menunjukkan banyak korban, seperti yang diliput oleh media Israel.

    Pemimpin Druze Peringatkan Upaya Israel Memecah Belah Suriah

    Seorang pemimpin Druze terkemuka di Lebanon pada hari Minggu memperingatkan tentang rencana Israel untuk memecah belah Suriah berdasarkan garis sektarian dan menciptakan kekacauan di tengah bentrokan antara pasukan keamanan pemerintah Suriah dan unit pertahanan diri Druze setempat di pinggiran kota Damaskus, Jaramana.

    Peringatan ini muncul di tengah meningkatnya ketegangan sektarian dan bentrokan antara pasukan keamanan Suriah yang dipimpin HTS dan unit pertahanan diri Druze di pinggiran kota Damaskus, Jaramana.

    “Orang-orang Suriah yang bebas harus berhati-hati terhadap rencana Israel,” kata pemimpin veteran Druze, Walid Jumblatt, dalam konferensi pers hari Minggu.

    “Di Suriah, ada rencana sabotase. Ada rencana sabotase di kawasan itu dan terhadap keamanan nasional Arab,” tambah Jumblatt.

    Jumblatt mengatakan dia berencana mengunjungi Suriah, menyusul bentrokan akhir pekan antara militan dari pemerintah Suriah yang dipimpin Hayat Tahrir al-Sham (HTS) dan unit pertahanan diri Druze di pinggiran kota Damaskus, Jaramana.

    Jaramana, yang didominasi oleh minoritas agama Druze Suriah, adalah rumah bagi sekitar tiga juta warga Suriah, termasuk umat Kristen dan Muslim Sunni yang mengungsi dari bagian lain negara itu selama perang 14 tahun yang dimulai pada tahun 2011.

    Sejak HTS menggulingkan Presiden Bashar al-Assad dan mengambil alih kekuasaan di Damaskus pada bulan Desember, mereka tidak diizinkan untuk mengerahkan pasukan mereka ke Jaramana. 

    Kota tersebut malah dilindungi oleh unit pertahanan diri Druze setempat yang mengoperasikan pos pemeriksaan di pintu masuknya.

    Namun pada hari Jumat, dua anggota pasukan keamanan Suriah yang dipimpin HTS memasuki Jaramana dan menembaki orang-orang bersenjata Druze. 

    Pihak Druze membalas tembakan, menewaskan satu militan HTS, menurut sumber lokal.

    Dalam insiden lain di Jaramana pada hari yang sama, seorang militan HTS menikam seorang pria Druze dengan pisau. 

    Pria yang terluka dibawa ke Rumah Sakit Mujtahid di Damaskus, sumber tersebut menambahkan.

    Pada hari Sabtu, pemerintah yang dipimpin HTS mengirim bala bantuan untuk mendirikan penghalang di sekitar Jaramana, menuntut agar Druze melucuti senjata dan menghapus pos pemeriksaan mereka.

    Hussam Tahan, Direktur Keamanan HTS di provinsi pedesaan Damaskus, menyatakan, “Pasukan kami telah mulai dikerahkan ke dalam kota Jaramana setelah mereka yang terlibat dalam pembunuhan martir ‘Ahmed al-Khatib,’ yang bekerja di Kementerian Pertahanan, menolak untuk menyerahkan diri. Kami akan berusaha menangkap mereka dan mengadili mereka.”

    Sebagai tanggapan, pasukan Druze dari Dewan Militer Suwayda di Suriah selatan mengumumkan mobilisasi penuh dan mengirim unit tempur untuk mempertahankan Jaramana.

    Bentrokan meletus antara pasukan HTS dari kota Sunni tetangga Al-Mleha dan orang-orang bersenjata Druze, yang menyebabkan tewasnya seorang pejuang Druze, Ahmad Abu al-Dehn, sementara lima lainnya terluka.

    Setelah bentrokan tersebut, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan Menteri Pertahanan Katz memerintahkan tentara Israel untuk bersiap melindungi Druze di Jaramana. 

    “Kami tidak akan membiarkan rezim teroris ekstremis Suriah menyakiti Druze. Jika rezim tersebut menyerang Druze, kami akan menyakitinya,” kata Netanyahu.

    Pada tanggal 24 Februari, Netanyahu menuntut agar Suriah selatan menjadi zona “demiliterisasi” di mana pasukan HTS tidak diizinkan beroperasi.

    Sejak jatuhnya Presiden Assad pada bulan Desember, Israel telah memperluas pendudukannya atas wilayah di Suriah selatan sambil berupaya memecah belah Suriah berdasarkan garis sektarian untuk memastikan negara itu tetap lemah secara militer.

    Reuters melaporkan pada hari Jumat kalau “Israel berupaya menekan Amerika Serikat agar tetap melemahkan Suriah tanpa kekuatan pusat.” 

    Kantor berita tersebut mengutip sumber anonim Israel yang menjelaskan bahwa “Israel berupaya menekan Washington agar mengizinkan Rusia mempertahankan pangkalan militernya di Suriah untuk melawan pengaruh Turki yang semakin besar di negara tersebut.”

    Mahmoud Alloush, seorang penulis dan peneliti politik yang mengkhususkan diri dalam urusan Turki dan regional, mengklaim bahwa “Israel telah lama bertaruh pada proyek unit Kurdi untuk membubarkan Suriah,” dan sekarang, “dengan memudarnya taruhan ini, mereka mulai fokus pada saluran lain untuk membubarkan, yaitu Druze.”

    Politisi Israel yang berpengaruh dan Menteri Keuangan dalam pemerintahan Netanyahu sebelumnya menyatakan bahwa Israel suatu hari akan memperluas perbatasannya untuk memasukkan Damaskus sebagai bagian dari proyek “Israel Raya”.

     

    (oln/khbrn/the cradle*)

     
     

  • Ekonomi Carut-marut Bikin Menkeu Iran Dimakzulkan

    Ekonomi Carut-marut Bikin Menkeu Iran Dimakzulkan

    Jakarta

    Inflasi tinggi hingga mata uang anjlok membuat perekonomian Iran carut marut. Parlemen Iran memproses pemakzulan terhadap Menteri Ekonomi dan Keuangan Abdolnaser Hemmati.

    Dirangkum detikcom, Minggu (2/3/2025), rial Iran diperdagangkan pada lebih dari 920.000 terhadap dolar AS di pasar gelap. Angka itu jeblok jika dibandingkan dengan kurang dari 600.000 pada pertengahan tahun 2024 lalu.

    Presiden Iran Masoud Pezeshkian menjabat pada Juli silam dengan ambisi untuk menghidupkan kembali ekonomi dan mengakhiri beberapa sanksi yang dijatuhkan Barat. Namun, depresiasi rial semakin meningkat terutama sejak jatuhnya sekutu Iran Bashar al-Assad dari Suriah pada bulan Desember.

    Sehari sebelum pemerintahannya digulingkan di Damaskus, satu dolar diperdagangkan di pasar gelap Iran dengan harga sekitar 717.000 rial.

    “Nilai tukar mata uang asing tidak riil, harganya disebabkan oleh ekspektasi inflasi,” kata Menkeu Hemmati dalam pembelaannya, dilansir AFP.

    “Masalah terpenting ekonomi negara ini adalah inflasi, dan itu adalah inflasi kronis, yang telah mengganggu ekonomi kita selama bertahun-tahun,” tambahnya.

    Sanksi yang dipimpin AS selama puluhan tahun telah menghantam ekonomi Iran. Inflasi di Iran mencapai dua digit yang menyebabkan kenaikan harga konsumen sejak Washington menarik diri dari kesepakatan nuklir penting tahun 2015 pada tahun 2018.

    Ekonomi Iran sejak tahun 2018 telah berada di bawah tekanan dari inflasi yang tinggi, pengangguran yang serius, dan depresiasi mata uangnya, yang sangat membebani warga Iran sehari-hari. Sejak 2019, Bank Dunia menyebut inflasi di Iran telah berada di atas 30% per tahun.

    Pada tahun 2023, inflasi mencapai 44%. Menurut konstitusi Iran, pemberhentian menteri akan berlaku segera dengan penunjukan pejabat sementara hingga pemerintah memilih penggantinya.

    Pada bulan April 2023, anggota parlemen memilih untuk memberhentikan Menteri Industri saat itu Reza Fatemi Amin karena lonjakan harga yang terkait dengan sanksi internasional.

    Presiden Iran Bela Menkeu

    Presiden Iran Masoud Pezeshkian. Foto: WANA (West Asia News Agency)/Majid Asgaripour via REUTERS/File Photo Purchase Licensing Rights

    Presiden Iran Masoud Pezeshkian menyampaikan pembelaannya kepada anggota parlemen atas Menkeu Hemmati, yang sebelumnya menjabat sebagai gubernur Bank Sentral Iran.

    “Kita sedang dalam perang (ekonomi) skala penuh dengan musuh,” kata Pezeshkian, dilansir AFP.

    Dia tetap membela Hemmati. Dia mengatakan masalah ekonomi tak bisa disalahkan ke salah satu orang saja.

    “Masalah ekonomi masyarakat saat ini tidak terkait dengan satu orang dan kita tidak dapat menyalahkan semuanya pada satu orang,” ujarnya.

    Parlemen Iran Pecat Menkeu

    Foto: Menteri Keuangan Iran yang dimakzulkan, Abdolnaser Hemmati AFP/ATTA KENARE

    Parlemen Iran membuka proses pemakzulan terhadap Menkeu Hemmati. Setiap pemecatan memerlukan dukungan mayoritas dari badan yang beranggotakan 290 orang.

    Banyak anggota parlemen yang bersuara lantang saat mereka bergantian mengecam menteri yang mereka yakini bertanggung jawab atas situasi ekonomi yang buruk.

    “Orang tidak dapat menoleransi gelombang inflasi baru, kenaikan harga mata uang asing dan barang-barang lainnya harus dikendalikan,” kata seorang anggota parlemen, Ruhollah Motefakker-Azad.

    “Orang tidak mampu membeli obat-obatan dan peralatan medis,” kata anggota parlemen lainnya, Fatemeh Mohammadbeigi.

    Akhirnya, Parlemen Iran memecat Menkeu Hemmati. Pemecatan disetujui lewat proses pemakzulan yang dipicu penanganannya terhadap inflasi tinggi dan mata uang yang anjlok.

    Dilansir AFP, Minggu (2/3/2025), TV pemerintah Iran melaporkan Hemmati kalah dalam mosi tidak percaya dengan 182 dari 273 anggota parlemen yang hadir pada sesi pemakzulan memberikan suara melawan dirinya.

    Halaman 2 dari 3

    (taa/ygs)

    Hoegeng Awards 2025

    Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu