Tag: Bashar al-Assad

  • Siapa Druze dan Mengapa Israel Menyerang Suriah?

    Siapa Druze dan Mengapa Israel Menyerang Suriah?

    Jakarta

    Gelombang aksi kekerasan SARA yang baru-baru ini berlangsung di Suriah menyoroti kerapuhan negara tersebut.

    Pada Minggu, 13 Juli, kabar mengenai penculikan seorang pedagang dari kelompok minoritas Druze memicu bentrokan mematikan selama berhari-hari antara milisi Druze dan suku Badui yang beragama Islam Sunni di Suriah selatan.

    Kemudian pada Selasa, 15 Juli, Israel menyerang pasukan propemerintah yang dituduh menyerang komunitas Druze di Suweida. Setidaknya 350 orang dilaporkan tewas di Suweida sejak Minggu (13/07), menurut Observatorium Suriah untuk Hak Asasi Manusia.

    Kekerasan ini merupakan yang pertama di Suweida yang mayoritas penduduknya Druze sejak pertempuran pada April dan Mei antara pejuang Druze dan pasukan keamanan Suriah.

    Sebelumnya, bentrokan di provinsi-provinsi pesisir Suriah pada Maret lalu dikabarkan telah menewaskan ratusan anggota komunitas minoritas Alawi. Mantan penguasa Bashar al-Assad berasal dari komunitas tersebut.

    Pertikaian yang mematikan ini, ditambah dengan serangan udara Israel, telah memicu kembali kekhawatiran soal gangguan keamanan di Suriah setelah pengambilalihan Damaskus oleh kelompok pemberontak pada Desember 2024.

    Pemimpin Suriah saat ini, Ahmed al-Sharaa, telah berjanji untuk melindungi minoritas Suriah.

    Siapa komunitas Druze?

    Separuh dari sekitar satu juta pengikutnya tinggal di Suriah, sekitar 3% dari populasi negara tersebut.

    Komunitas Druze di Israel dianggap loyal, karena banyak anggota komunitasnya menjalani dinas militer Israel. Ada sekitar 152.000 orang Druze yang tinggal di Israel dan Dataran Tinggi Golan yang diduduki Israel, menurut Biro Pusat Statistik Israel.

    Secara historis, mereka menempati posisi yang genting dalam tatanan politik Suriah. Selama perang saudara Suriah yang berlangsung hampir 14 tahun, Druze punya milisi sendiri di Suriah selatan.

    Sejak Assad dijatuhkan pada Desember, komunitas Druze telah menentang upaya negara Suriah untuk memaksakan otoritas atas Suriah selatan.

    Banyak di antara mereka yang keberatan dengan kehadiran militer resmi Suriah di Suweida dan menolak bergabung dengan tentara Suriah. Mereka memilih mengandalkan milisi lokal.

    BBC

    Meskipun pemerintah Suriah mengutuk serangan terbaru terhadap penduduk Druze dan berjanji memulihkan ketertiban di Suriah selatan, pasukannya juga dituduh menyerang minoritas tersebut.

    Observatorium Suriah untuk Hak Asasi Manusia (SOHR) yang berbasis di UK mendokumentasikan “eksekusi” terhadap penduduk Druze oleh pasukan pemerintah Suriah.

    Laporan semacam itu telah memicu ketidakpercayaan di antara beberapa anggota komunitas Druze terhadap pihak berwenang di Damaskus.

    Setelah kejatuhan Assad, Israel telah menjangkau komunitas Druze di dekat perbatasan utaranya dalam upaya untuk menjalin aliansi dengan minoritas Suriah.

    Israel semakin memposisikan dirinya sebagai pelindung regional bagi kaum minoritas, termasuk Kurdi, Druze, dan Alawi di Suriah, sambil menyerang lokasi militer di Suriah dan pasukan pemerintah.

    Selama bentrokan sektarian pada Mei, Israel melakukan serangan di dekat Istana Presiden Suriah di Damaskus. Israel mengatakan aksi itu adalah peringatan kepada pemerintah Suriah agar tidak menyerang komunitas Druze.

    Di sisi lain, ada beberapa tokoh Druze di Suriah dan Lebanon yang menuduh Israel mengobarkan perpecahan sektarian untuk memajukan aksi ekspansionis di wilayah tersebut.

    Mengapa Israel menyerang Suriah?

    Serangan terbaru Israel merupakan cara Israel memperingatkan sekaligus mencegah Suriah mengerahkan tentara ke Suriah selatan. Sebab, Israel berupaya menciptakan zona demiliterisasi di wilayah tersebut.

    Israel khawatir dengan keberadaan kelompok Islam di dekat perbatasan utaranya, di sepanjang Dataran Tinggi Golan.

    Meskipun serangan udara Israel pada 15 Juli berfokus pada pasukan keamanan dan kendaraan di Suweida, militer Israel memperluas cakupan serangannya pada 16 Juli dengan menyerang Kementerian Pertahanan dan markas besar tentara Suriah di Damaskus. Suriah mengutuk serangan tersebut.

    Serangan tersebut merupakan eskalasi Israel paling serius di Suriah sejak Desember 2024, saat Israel menghancurkan ratusan lokasi militer di seluruh negeri dan merebut zona penyangga yang dipatroli PBB di Dataran Tinggi Golan Suriah.

    Israel telah menyerang Suriah beberapa kali dengan tujuan mencegah pemerintah baru Suriah membangun kapasitas militernya yang dipandang sebagai ancaman potensial bagi keamanan Israel.

    “Peringatan di Damaskus telah berakhir – kini pukulan berat akan datang,” tulis Menteri Luar Negeri Israel, Israel Katz, di media sosial pada 16 Juli, tak lama setelah serangan Israel di Damaskus dimulai.

    Penargetan markas militer Suriah disiarkan langsung oleh saluran TV terkemuka Suriah, dari studionya yang terletak di seberang Gedung.

    Bagaimana reaksi dunia?

    Menteri Luar Negeri AS, Marco Rubio, mengatakan AS “sangat prihatin” atas kekerasan tersebut.

    Pada 16 Juli, dia merilis pernyataan:

    “Kami telah menyepakati langkah-langkah spesifik yang akan mengakhiri situasi yang meresahkan dan mengerikan ini malam ini.”

    Beberapa negara Arab, termasuk Lebanon, Irak, Qatar, Yordania, Mesir, dan Kuwait, telah mengutuk serangan Israel yang menargetkan pemerintah dan pasukan keamanan Suriah.

    Kementerian Luar Negeri Arab Saudi mengecam apa yang disebutnya sebagai “serangan terang-terangan Israel” terhadap Suriah. Adapun Iran menggambarkan serangan itu sebagai “sangat mudah ditebak”.

    Turki, pemangku kepentingan utama di Suriah pasca-Assad, menggambarkan serangan itu sebagai “tindakan sabotase terhadap upaya Suriah untuk mengamankan perdamaian, stabilitas, dan keamanan”.

    Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres juga mengutuk serangan “eskalasi” Israel di Suweida dan Damaskus.

    Apa yang mungkin terjadi selanjutnya?

    Kekerasan tersebut telah menggarisbawahi rapuhnya lanskap keamanan dan politik di Suriah pascaperang saudara. Rentetan kekerasan terbaru memicu kekhawatiran pertikaian SARA akan muncul lagi di seluruh Suriah.

    Ketika Sharaa berupaya menguasai Suriah dan menyatukan berbagai kelompoknya, masih harus dilihat apakah pemerintahannya yang didominasi kaum Islamis akan mampu mendamaikan perpecahan sektarian yang mengakar di Suriah, akibat perang saudara selama bertahun-tahun.

    Bentrokan SARA tersebut, ditambah serangan Israel, mengancam akan menggagalkan upaya pembangunan negara dan pemulihan pascaperang.

    Israel, di sisi lain, kemungkinan akan terus menganggap pemerintah baru, dan para petempur Islamis yang berafiliasi dengan Sharaa di selatan, sebagai ancaman keamanan yang signifikan.

    Israel bisa terdorong untuk menjalin aliansi dengan kelompok-kelompok yang mungkin merasa terasing oleh pemerintah baru di Suriah.

    (ita/ita)

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • Israel Serang Gedung Kementerian Pertahanan Suriah, Satu Tewas

    Israel Serang Gedung Kementerian Pertahanan Suriah, Satu Tewas

    GELORA.CO – Militer Israel menyerang Kementerian Pertahanan Suriah di Damaskus dua kali pada Rabu 16 Juli 2025. Serangan dilakukan Israel saat mengintervensi bentrokan antara tentara Suriah dan pejuang Druze di Suriah selatan, yang merupakan kekerasan paling mematikan di negara itu dalam beberapa bulan terakhir.

    “Serangan tersebut meruntuhkan empat lantai kementerian dan merusak fasadnya. Serangan tersebut menewaskan satu orang dan melukai 18 orang,” kata pejabat Suriah, seperti dikutip AFP, Kamis 17 Juli 2025.

    Ini adalah pertama kalinya Israel menargetkan Damaskus sejak Mei dan hari ketiga berturut-turut Israel melancarkan serangan udara terhadap militer Suriah.

    Seorang juru bicara militer Israel mengatakan, serangan terhadap Kementerian Pertahanan tersebut merupakan pesan kepada Presiden Suriah, Ahmed al-Sharaa “mengenai peristiwa di Suweyda”. Militer Israel menyerang tank-tank Suriah pada hari Senin dan terus melancarkan puluhan serangan pesawat tak berawak terhadap pasukan, menewaskan beberapa tentara.

    Israel telah menyatakan tidak akan mengizinkan tentara Suriah ditempatkan di wilayah selatan negara itu, dan akan melindungi komunitas Druze dari pemerintah Damaskus. Banyak anggota komunitas Druze menolak klaim patronase Israel karena takut dianggap sebagai proksi asing.

    Pengeboman Israel menambah kerumitan konflik yang sudah meningkat antara pasukan pemerintah Suriah, suku-suku Arab Badui, dan pejuang Druze. Lebih dari 250 orang tewas dalam bentrokan selama empat hari, menurut Observatorium Suriah untuk Hak Asasi Manusia (SOHR) yang berbasis di Inggris.

    Pada hari Rabu, pemerintah Suriah dan salah satu dari tiga pemimpin spiritual komunitas Druze Suriah mengumumkan gencatan senjata. Namun, belum jelas apakah gencatan senjata tersebut akan bertahan, karena pemimpin spiritual lainnya, Sheikh Hikmat al-Hijri, bersumpah untuk terus berjuang, menyebut pemerintah sebagai kumpulan “geng bersenjata”.

    Gencatan senjata yang diumumkan pada hari Selasa juga gagal dalam situasi serupa.

    Pada Rabu malam, Reuters melaporkan bahwa Dewan Keamanan PBB akan bertemu pada hari Kamis untuk membahas situasi tersebut. Bentrokan yang melibatkan sebagian besar pasukan pemerintah Sunni melawan pejuang Druze telah memicu kekhawatiran akan konflik sektarian yang lebih luas. Serangan pada bulan Maret oleh sisa-sisa rezim terguling Bashar al-Assad terhadap pasukan keamanan menyebabkan kekerasan yang menewaskan lebih dari 1.500 orang, sebagian besar dari mereka berasal dari komunitas minoritas Alawi.

    Kekerasan ini merupakan tantangan paling serius bagi pemerintahan Damaskus sejak pembantaian pesisir dan mengancam akan semakin menjauhkan warga Druze dari negara tersebut.

    Druze, minoritas agama di Suriah dan Timur Tengah yang lebih luas, merupakan mayoritas penduduk provinsi Sweida di selatan negara itu. Mereka telah bernegosiasi dengan otoritas yang dipimpin kelompok Islamis di Damaskus sejak jatuhnya Assad, dalam upaya untuk mencapai suatu bentuk otonomi. Mereka belum mencapai kesepakatan yang mendefinisikan hubungan mereka dengan negara Suriah yang baru.

    Tentara Suriah memasuki Sweida pada hari Minggu dalam upaya untuk memulihkan ketenangan antara pejuang Druze dan suku-suku Badui Arab.

    Perkelahian pecah setelah anggota suku Badui merampok seorang pria Druze di jalan utama selatan Damaskus, memicu siklus kekerasan balas dendam antara kedua kelompok. Kekerasan berkala antara anggota komunitas Druze dan Badui telah umum terjadi di wilayah tersebut dalam beberapa tahun terakhir.

    Beberapa milisi Druze telah berjanji untuk mencegah pasukan pemerintah Suriah memasuki Sweida dan telah menyerang mereka, yang menyebabkan eskalasi bentrokan.

    Ketika pasukan pemerintah memasuki Sweida, laporan pelanggaran hak asasi manusia mulai bermunculan.

    Pada hari Selasa sekitar tengah hari, orang-orang bersenjata memasuki ruang resepsi milik keluarga Radwan di Sweida dan menewaskan 15 pria tak bersenjata dan seorang wanita, tiga anggota keluarga tersebut mengatakan kepada Guardian. SOHR juga melaporkan pembunuhan tersebut, meskipun menyebutkan jumlah korban tewas sebanyak 12 orang. (*)

  • Suriah Umumkan Perdamaian di Wilayah Konflik Sekte Usai Israel Mau Intervensi

    Suriah Umumkan Perdamaian di Wilayah Konflik Sekte Usai Israel Mau Intervensi

    Jakarta – Menteri Pertahanan Suriah, Murhaf Abu Qasra, mengumumkan gencatan senjata tak lama setelah pasukan pemerintah memasuki ibu kota provinsi Suwaida hari ini. Langkah ini diambil menyusul bentrokan sektarian yang menewaskan puluhan orang, serta laporan dari kantor berita pemerintah tentang serangan Israel di wilayah tersebut.

    Dalam pernyataannya, Abu Qasra mengatakan, setelah tercapainya “kesepakatan dengan para tokoh dan pemuka kota Suwaida,” pasukan pemerintah hanya akan merespons terhadap “sumber tembakan” dan menangani setiap serangan dari kelompok-kelompok di luar hukum.

    Bentrokan dimulai akibat serangkaian penculikan, dan serangan balasan antara anggota suku Badui Sunni lokal dan faksi bersenjata Drusen di provinsi selatan, yang merupakan pusat komunitas Drusen. Pasukan keamanan pemerintah yang dikerahkan pada Senin (14/6/2025) untuk memulihkan ketertiban, juga sempat terlibat bentrokan dengan kelompok bersenjata Drusen.

    Di tengah kekacauan, Israel meluncurkan serangan terhadap tank militer Suriah, dan menyatakan tindakan itu dilakukan untuk melindungi minoritas agama Drusen. Di Israel sendiri, komunitas Drusen dikenal sebagai kelompok minoritas loyal yang sering bertugas di angkatan bersenjata.

    Kantor berita pemerintah Suriah, SANA, tidak memberikan rincian lebih lanjut mengenai serangan Israel pada Selasa. Namun, Syrian Observatory for Human Rights yang berbasis di Inggris melaporkan, Israel menyerang sebuah tank militer Suriah saat pasukan mulai bergerak lebih jauh ke dalam kota Suwaida. Hingga kini, militer Israel belum mengeluarkan pernyataan resmi.

    Damai, lalu berbalik marah

    Para pemuka agama Drusen di Suriah pada Selasa (15/7) pagi, awalnya menyerukan agar faksi-faksi bersenjata menghentikan perlawanan terhadap pasukan pemerintah, dan menyerahkan senjata. Namun, salah satu otoritas agama utama merilis pernyataan video yang mencabut seruan tersebut.

    Pernyataan awal menyerukan, agar kelompok bersenjata Drusen di Suwaida “bekerja sama dengan pasukan Kementerian Dalam Negeri, tidak melawan kedatangan mereka, dan menyerahkan senjata.” Mereka juga mendorong “dialog terbuka dengan pemerintah Suriah untuk mengatasi dampak dari peristiwa yang terjadi.”

    Namun, Sheikh Hikmat al-Hijri, pemimpin spiritual Drusen yang selama ini menentang pemerintah Damaskus, menyatakan dalam sebuah video, bahwa pernyataan sebelumnya dikeluarkan setelah kesepakatan dengan pihak berwenang, namun “mereka mengingkari janji dan terus membombardir warga sipil yang tidak bersenjata.”

    “Kami sedang mengalami perang pemusnahan total,” katanya.

    Ketegangan komunal dan kekhawatiran regional

    Drusen merupakan sekte agama minoritas yang muncul pada abad ke-10 sebagai cabang dari Ismailiyah, salah satu aliran Syiah. Dari sekitar satu juta penganut Drusen di dunia, lebih dari setengahnya tinggal di Suriah. Sisanya tersebar di Lebanon dan Israel, termasuk di Dataran Tinggi Golan yang direbut Israel dari Suriah dalam Perang Timur Tengah 1967 dan dianeksasi pada 1981.

    Sejak jatuhnya Presiden Bashar al-Assad pada Desember lalu, bentrokan antara pasukan pro-pemerintah dan gerilyawan Drusen telah berulang kali terjadi. Aksi kekerasan terbaru menimbulkan kekhawatiran terhadap lingkaran kekerasan sektarian yang lebih luas.

    Pada Maret lalu, penyergapan terhadap pasukan keamanan pemerintah oleh loyalis Assad juga memicu tindak kekerasan dan pembalasan sektarian yang menewaskan ratusan warga sipil, sebagian besar dari kalangan minoritas Alawit, kelompok yang menaungi dinasti Assad.

    Pemerintah pusat lalu membentuk komisi khusus, untuk menyelidiki serangan tersebut, namun hasilnya hingga kini belum diumumkan ke publik.

    Ketegangan ini juga meningkatkan kekhawatiran akan eskalasi campur tangan Israel di wilayah Suriah.

    Menteri Pertahanan Israel, Israel Katz, pada Senin menyatakan, militer Israel “menyerang target di Suriah sebagai pesan dan peringatan yang jelas kepada rezim Suriah—kami tidak akan membiarkan kaum Drusen di Suriah disakiti.”

    Meskipun banyak warga Drusen di Suriah menyatakan penolakan terhadap intervensi Israel atas nama mereka, kecurigaan terhadap otoritas baru di Damaskus tetap tinggi, terutama setelah serangan terhadap kelompok Alawit dan minoritas lain dalam beberapa bulan terakhir.

    rzn/as (AP, Reuters)

    (haf/haf)

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • Ketakutan Umat Kristen Suriah Usai Bom Bunuh Diri di Gereja

    Ketakutan Umat Kristen Suriah Usai Bom Bunuh Diri di Gereja

    Jakarta

    Peringatan: Artikel ini mengandung detail yang dapat mengganggu kenyamanan Anda

    “Abangmu gugur sebagai pahlawan.”

    Kalimat itu didengar Emad saat mengetahui abangnya, Milad, tewas dalam ledakan bom bunuh diri di sebuah gereja di Damaskus, ibu kota Suriah.

    Saat kejadian, Milad dan dua orang lainnya berjuang mendorong pelaku bom bunuh diri keluar dari gedung gereja. Milad tewas seketika di tempat kejadian bersama 24 jemaat lainnya.

    Selain korban tewas, 60 orang menderita luka dalam serangan di Gereja Ortodoks Yunani Nabi Elia pada 22 Juni silam. Tempat ibadah itu terletak di pinggiran timur Damaskus, Dweila.

    Serangan itu menjadi yang pertama kalinya terjadi di Damaskus sejak pasukan pemberontak yang dipimpin kelompok Islam menggulingkan Bashar al-Assad pada bulan Desember.

    Penggulingan itu sekaligus mengakhiri perang saudara yang menghancurkan selama 13 tahun.

    Pihak berwenang Suriah menuding kelompok Negara Islam (ISIS) sebagai dalang di balik serangan ini.

    Kelompok ekstremis Sunni yang kurang dikenal, Saraya Ansar al-Sunnah, kemudian mengklaim bertanggung jawab atas serangan. Namun, pejabat pemerintah mengatakan operasi kelompok ini terkait langsung dengan ISIS.

    Milad tengah mengikuti kebaktian Minggu malam ketika seorang pria tiba-tiba melepaskan tembakan ke arah jemaat sebelum meledakkan rompi berisi bom.

    Emad mendengar ledakan dari rumahnya. Selama berjam-jam, abangnya tidak bisa dihubungi.

    “Saya pergi ke rumah sakit untuk mengidentifikasi jenazah, tapi saya tidak bisa mengenali abang saya. Separuh wajahnya hangus,” tutur Emad saat ditemui di tempat tinggalnya.

    Hanya ada dua kamar tidur di rumah kecil itu. Emad tinggal di sana bersama beberapa kerabatnya.

    Baca juga:

    Emad yang berusia 40-an tahun punya postur tinggi kurus. Wajahnya yang tegas memancarkan guratan kehidupan keras.

    Seperti abangnya, Emad bekerja sebagai petugas kebersihan di salah satu sekolah di permukiman miskin tersebut. Area ini memang banyak ditinggali para keluarga kelas ekonomi menengah ke bawah dan kebanyakan memeluk agama Kristen.

    Selama pemerintahan Bashar al-Assad, anggota berbagai komunitas minoritas agama dan etnis di Suriah percaya bahwa negara melindungi mereka.

    Namun, pemerintahan baru yang dipimpin kelompok Islam yang dibentuk para pemberontak yang menggulingkan Assad pada Desember lalu dikhawatirkan tidak akan melakukan hal yang sama.

    Di satu sisi, Presiden interim Ahmed al-Sharaa dan pemerintahannya berjanji untuk melindungi semua warga negara.

    Akan tetapi, kekerasan sektarian mematikan baru-baru ini terjadi di wilayah pesisir Alawi. Hal yang sama menimpa komunitas Druze di sekitar Damaskus.

    Perkembangan ini membuat orang-orang meragukan kemampuan pemerintah untuk mengendalikan situasi.

    Banyak anggota keluarga Emad yang menyuarakan sentimen ini.

    “Kami tidak aman lagi di sini,” kata mereka.

    Dua bulan sebelum wisuda, Angie Awabde, 23 tahun, terjebak dalam serangan di gereja. Dia mendengar suara tembakan sebelum ledakan besar.

    “Semuanya terjadi dalam hitungan detik,” tuturnya sembari terbaring di ranjang rumah sakit.

    Dia mengalami luka serpihan di wajah, tangan, dan kakinya, serta patah tulang kaki.

    Angie kini sangat ketakutan dan merasa tidak ada masa depan bagi umat Kristen di Suriah.

    “Saya hanya ingin meninggalkan negara ini. Saya sudah melewati krisis, perang, ledakan mortir. Saya tidak pernah menyangka sesuatu akan terjadi pada saya di dalam gereja,” ujarnya.

    “Saya tidak punya solusi. Mereka yang harus mencari solusi, ini bukan tugas saya. Jika mereka tidak bisa melindungi kami, kami ingin pergi.”

    Sebelum perang saudara selama 13 tahun, umat Kristen mencakup sekitar 10% dari 22 juta penduduk Suriah. Namun, jumlah ini menyusut drastis karena ratusan ribu orang memilih kabur ke luar negeri.

    Selama perang, gereja-gereja memang tidak luput dari pemboman pemerintah Suriah dan pasukan sekutu Rusia. Namun, serangan berlangsung ketika tidak ada jemaat di dalamnya.

    Ribuan umat Kristen juga terpaksa meninggalkan rumah mereka karena ancaman dari kelompok Islamis garis keras dan jihadis, seperti ISIS.

    Di luar rumah sakit tempat Angie dirawat, deretan peti mati beberapa korban serangan gereja siap untuk dikebumikan. Orang-orang dari berbagai lapisan masyarakat Suriah menghadiri upacara di bawah pengamanan ketat di gereja terdekat.

    Dalam khotbahnya, Patriark Gereja Ortodoks Yunani di Suriah, John Yazigi, menegaskan “pemerintah memikul tanggung jawab penuh”.

    Dia menyatakan bahwa telepon belasungkawa dari Presiden Ahmed al-Sharaa “tidak cukup bagi kami,” yang disambut tepuk tangan jemaat.

    “Kami berterima kasih atas teleponnya. Tapi kejahatan yang terjadi sedikit lebih besar dari itu.”

    Sharaa sendiri minggu lalu telah berjanji bahwa mereka yang terlibat dalam serangan “keji” itu akan dibawa ke pengadilan.

    Sehari setelah pengeboman, dua tersangka tewas dan enam lainnya ditangkap dalam operasi keamanan terhadap sel ISIS di Damaskus.

    Namun, langkah ini belum banyak meredakan kekhawatiran di sini tentang situasi keamanan, terutama bagi pemeluk agama minoritas.

    Baca juga:

    Suriah juga mengalami pengetatan kebebasan sosial, termasuk dekrit tentang cara perempuan berpakaian di pantai.

    Selain itu, terjadi serangan terhadap pria yang mengenakan celana pendek di tempat umum, serta penutupan bar dan restoran karena menyajikan alkohol.

    Banyak pihak di Suriah khawatir bahwa ini bukan kasus tunggal, melainkan tanda-tanda dari rencana yang lebih luas untuk mengubah masyarakat Suriah.

    Archimandrite Meletius Shattahi, direktur jenderal badan amal dari Patriarkat Ortodoks Yunani Antiokia, merasa pemerintah tidak berbuat cukup banyak untuk menangani perubahan ini.

    Dia merujuk pada video-video yang beredar secara daring yang menunjukkan para ulama bersenjata menyerukan Islam melalui pengeras suara di permukiman Kristen.

    Shattahi menambahkan bahwa ini bukanlah “insiden individu”.

    “Ini terjadi secara terbuka di depan semua orang, dan kami tahu betul bahwa pemerintah kami tidak mengambil tindakan apa pun terhadap [mereka] yang melanggar hukum dan aturan,” katanya.

    Kelambanan tindakan inilah, menurut dia, yang diduga menyebabkan serangan di Gereja Nabi Elias.

    Lihat juga Video: Bom Bunuh Diri ISIS Meledak di Gereja Suriah, 20 Orang Tewas

    (ita/ita)

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • Setelah Puluhan Tahun, Trump Akhirnya Cabut Sanksi Suriah

    Setelah Puluhan Tahun, Trump Akhirnya Cabut Sanksi Suriah

    Jakarta

    Presiden Amerika Serikat Donald Trump pada hari Senin (30/6) waktu setempat, secara resmi mencabut sanksi-sanksi AS terhadap Suriah, yang telah berlangsung puluhan tahun.

    Trump sebelumnya telah mencabut sebagian besar sanksi terhadap Suriah pada bulan Mei lalu, menanggapi seruan dari Arab Saudi dan Turki setelah mantan gerilyawan Ahmed al-Sharaa mengakhiri setengah abad kekuasaan Presiden Suriah Bashar al-Assad.

    Dalam perintah eksekutif, Trump mengakhiri “darurat nasional” yang berlaku sejak tahun 2004 yang memberlakukan sanksi-sanksi yang luas terhadap Suriah, yang berdampak pada sebagian besar lembaga yang dikelola negara termasuk bank sentral.

    “Tindakan ini mencerminkan visi presiden untuk membina hubungan baru antara Amerika Serikat dan Suriah yang stabil, bersatu, dan damai dengan dirinya sendiri dan negara-negara tetangganya,” kata Menteri Luar Negeri AS, Marco Rubio dalam sebuah pernyataan, dilansir dari kantor berita AFP, Selasa (1/7/2025).

    Rubio mengatakan bahwa ia akan memulai proses yang berpotensi panjang untuk memeriksa apakah akan menghapus Suriah sebagai negara sponsor terorisme, sebuah penetapan yang berasal dari tahun 1979 yang telah sangat menghambat investasi.

    Menlu AS itu juga mengatakan akan mempertimbangkan untuk menghapus klasifikasi teroris terhadap Sharaa dan gerakannya Hayat Tahrir al-Sham (HTS), yang pernah dikaitkan dengan jaringan Al-Qaeda. Sebelumnya, pemerintah Amerika Serikat telah menghapus hadiah untuk pembunuhan Sharaa setelah ia berkuasa.

    Menteri Luar Negeri Suriah Assad al-Shibani memuji langkah AS tersebut sebagai “titik balik yang besar.”

    “Dengan dicabutnya hambatan utama bagi pemulihan ekonomi ini, pintu yang telah lama ditunggu-tunggu terbuka untuk rekonstruksi dan pembangunan, sebagaimana juga kondisi untuk pemulangan warga Suriah yang mengungsi secara bermartabat ke tanah air mereka,” tulisnya di media sosial X.

    Sebelumnya pada hari Senin (30/6), pemerintah Israel mengatakan bahwa mereka tertarik untuk menormalisasi hubungan dengan Suriah serta Lebanon, dalam perluasan apa yang disebut “Perjanjian Abraham,” yang akan menandai transformasi besar Timur Tengah.

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • Presiden Suriah Janji Tangkap-Adili Pihak Terlibat Bom Bunuh Diri di Gereja

    Presiden Suriah Janji Tangkap-Adili Pihak Terlibat Bom Bunuh Diri di Gereja

    Jakarta

    Presiden sementara Suriah Ahmed al-Sharaa buka suara soal penembakan dan bom bunuh diri di sebuah gereja di Damaskus, ibu kota Suriah. Ia berjanji akan menangkap semua pihak yang terlibat dalam peristiwa itu.

    “Kami berjanji bahwa kami akan bekerja siang dan malam, mengerahkan semua badan keamanan khusus kami, untuk menangkap semua orang yang berpartisipasi dalam dan merencanakan kejahatan keji ini dan membawa mereka ke pengadilan,” kata Sharaa dilansir AFP, Senin (23/6/2025).

    Serangan itu “mengingatkan kita akan pentingnya solidaritas dan persatuan pemerintah dan rakyat dalam menghadapi semua yang mengancam keamanan dan stabilitas negara kita”, tambahnya.

    Penembakan dan bom bunuh diri terjadi di sebuah gereja di Damaskus, ibu kota Suriah saat berlangsung kebaktian pada hari Minggu (22/6) waktu setempat. Sedikitnya 22 orang tewas dalam serangan itu. Otoritas Suriah menyalahkan seorang anggota ISIS atas serangan itu.

    Masyarakat internasional mengutuk serangan di gereja Ortodoks itu, yang pertama kali terjadi di ibu kota Suriah sejak pasukan yang dipimpin Islamis menggulingkan penguasa lama Bashar al-Assad pada bulan Desember lalu.

    Itu juga merupakan serangan yang pertama di dalam sebuah gereja di Suriah sejak perang saudara negara itu meletus pada tahun 2011.

    “Seorang pelaku bom bunuh diri yang berafiliasi dengan kelompok teroris Daesh (ISIS) memasuki gereja Saint Elias di daerah Dwelaa… melepaskan tembakan lalu meledakkan dirinya dengan sabuk peledak,” kata pernyataan kementerian dalam negeri Suriah, dilansir kantor berita AFP, Senin (23/6/2025).

    Tonton juga “Bom Bunuh Diri ISIS Meledak di Gereja Suriah, 20 Orang Tewas” di sini:

    (eva/azh)

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • Israel Tak Bisa Menang di Iran Tanpa Bantuan AS, Ini Buktinya

    Israel Tak Bisa Menang di Iran Tanpa Bantuan AS, Ini Buktinya

    Jakarta, CNBC Indonesia – Kendali Israel atas wilayah udara Iran membuka jalan bagi serangan udara yang semakin meluas terhadap target-target strategis di Republik Islam itu. Namun, para analis meyakini pasukan Tel Aviv akan kesulitan untuk menghancurkan fasilitas nuklir terdalam Iran tanpa campur tangan langsung militer Amerika Serikat.

    Sejak kampanye serangan dimulai Jumat lalu, jet-jet tempur Israel telah menyasar fasilitas nuklir, gudang peluru kendali, para ilmuwan, dan jenderal-jenderal senior Iran. Militer Israel bahkan menyatakan telah mencapai dominasi udara atas Iran, sebuah langkah besar yang digambarkan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu sebagai “pengubah permainan”.

    “Kontrol udara atas Iran adalah perubahan besar dalam permainan,” kata Netanyahu, dilansir dari Reuters, Rabu (18/6/2025).

    Penasehat Keamanan Nasional Tzachi Hanegbi menambahkan bahwa para pilot Israel kini dapat “menyerang jauh lebih banyak target di Tehran” berkat hancurnya “puluhan dan puluhan” sistem pertahanan udara Iran.

    Militer Israel menyamakan kendali udaranya atas Iran dengan kontrol udara yang telah lama mereka miliki atas wilayah-wilayah konflik yang dihuni kelompok sekutu Iran, seperti Gaza dan Lebanon. Dalam perang sebelumnya, Israel dapat menyerang kapan saja di dua wilayah itu.

    Sumber intelijen regional menyebut keberhasilan Israel menembus ibu kota Iran sebagai sesuatu yang “benar-benar mengejutkan”, dengan jaringan agen rahasia yang telah dibangun dan serangan yang sangat terarah terhadap tokoh-tokoh penting, mirip dengan pola serangan Israel terhadap Hizbullah di Lebanon pada 2024, yang menewaskan pemimpin kelompok itu, Hassan Nasrallah.

    Meski Iran mengeklaim telah menembak jatuh beberapa pesawat tempur Israel, pihak Israel menyangkalnya. Israel menyatakan tidak ada pesawat atau awaknya yang terluka dalam misi-misi udara, yang menempuh jarak pulang-pergi lebih dari 3.000 kilometer.

    Seorang sumber pertahanan Barat mengatakan, jet-jet tempur Israel telah mengisi bahan bakar di wilayah udara Suriah, negara yang dulu merupakan benteng pengaruh Iran hingga Presiden Bashar al-Assad terguling pada Desember lalu. Kini, Israel dikabarkan beroperasi di Suriah dengan “kebebasan hampir total”.

    Israel juga menerbitkan peringatan evakuasi untuk area tertentu di Tehran pada Senin, menyatakan rencana untuk menyerang “infrastruktur militer rezim Iran” di ibu kota.

    Sejumlah media Israel juga melaporkan bahwa pengiriman besar-besaran bom dari Amerika Serikat tiba pada April, termasuk bom penghancur bunker. Serangan-serangan awal pekan lalu diyakini telah difasilitasi oleh pasukan khusus Mossad di darat yang menghancurkan sistem anti-pesawat Iran.

    Justin Bronk dari lembaga riset RUSI di London mengatakan, Iran memiliki “sedikit solusi teknis” untuk menghadapi kombinasi jet siluman F-35 Israel yang mampu melakukan peperangan elektronik terhadap sistem anti-pesawat, ditambah dengan F-16 dan F-15 yang membawa rudal balistik presisi.

    Sementara itu, Barin Kayaoglu, analis pertahanan asal Turki, menyebut bahwa meskipun Israel memang unggul secara militer, kecepatan dan efektivitas serangan udara kali ini telah mengejutkan banyak pihak. “Militer Iran seperti tertidur di kemudi,” katanya.

    Namun, ia mengingatkan bahwa mempertahankan ritme serangan akan menjadi tantangan tersendiri bagi Israel karena stok amunisi dan perawatan pesawat.

    Bom Fasilitas Nuklir

    Dua gedung yang menjadi lokasi produksi komponen sentrifus untuk program nuklir Iran telah hancur di Karaj, tepat di luar ibu kota Teheran, kata Badan Tenaga Atom Internasional, Rabu (18/6/2025). Pengumuman badan PBB itu muncul beberapa jam setelah militer Israel mengatakan telah melancarkan serangkaian serangan udara di Teheran dan sekitarnya.

    “IAEA memiliki informasi bahwa dua fasilitas produksi sentrifus di Iran, bengkel TESA Karaj dan Pusat Penelitian Teheran, terkena serangan,” kata IAEA dalam sebuah unggahan di X.

    “Kedua lokasi itu sebelumnya berada di bawah pemantauan dan verifikasi IAEA sebagai bagian dari JCPOA,” tambahnya, merujuk pada kesepakatan tahun 2015 tentang program nuklir Iran.

    Dalam serangan lain di sebuah lokasi di Teheran, “satu gedung terkena serangan di mana rotor sentrifus canggih diproduksi dan diuji”, badan itu menambahkan dalam sebuah posting di X.

    Bantuan AS

    Kendati kerusakan yang ditimbulkan signifikan, sebelumnya Israel secara terbuka mengakui bahwa mereka tidak dapat sepenuhnya melumpuhkan program nuklir Iran. Satu-satunya fasilitas nuklir Iran yang paling terlindungi, seperti Fordow yang dibangun di bawah gunung di selatan Tehran, belum menjadi target serangan.

    Seorang mantan pejabat keamanan senior Israel menyatakan kepada Reuters bahwa hanya Amerika Serikat yang memiliki kemampuan militer, terutama melalui bom penghancur bunker kelas berat dan pesawat pengebom strategis, untuk menghantam fasilitas semacam Fordow.

    Namun demikian, pejabat itu mengatakan Israel telah cukup merusak program nuklir Iran.

    “Jika setelah konflik berakhir Iran masih memiliki sedikit kemampuan pengayaan uranium, tapi tidak memiliki orang dan fasilitas untuk membuatnya berbahaya, maka itu sudah merupakan pencapaian besar,” katanya, tanpa ingin disebut namanya karena isu yang sensitif.

    Andreas Krieg dari King’s College London menyebut bahwa Israel telah mencapai banyak kesuksesan taktis dan operasional, namun keberhasilan strategis memerlukan lebih dari sekadar kekuatan udara.

    Bahkan jika AS terlibat, katanya, bom bunker terbesar sekalipun bisa kesulitan menembus fasilitas terdalam Iran. “Mungkin dibutuhkan operasi pasukan khusus di darat,” ujarnya.

    Meski begitu, Krieg menegaskan, “Israel kini bisa bertindak tanpa halangan, sebagaimana mereka lakukan di Lebanon.”

     

    (luc/luc)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Cerita Wartawan Disekap Tentara Israel di Suriah

    Cerita Wartawan Disekap Tentara Israel di Suriah

    Jakarta

    Pada pagi hari tanggal 9 Mei 2025, saya menjadi bagian dari tim BBC Arabic yang berangkat dari ibu kota Suriah, Damaskus, menuju Deraa.

    Dari provinsi di selatan Suriah itu, kami berencana untuk pergi ke wilayah perbatasan Dataran Tinggi Golan yang diduduki Israel.

    Kami ingin mendekati wilayah Suriah yang telah direbut oleh militer Israel, sejak Desember 2025 tersebut.

    Akhir tahun lalu, Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, menyebut negaranya akan mengambil alih kendali zona penyangga demiliterisasi dan wilayah di sekitar Dataran Tinggi Golan, usai rezim Bashar al-Assad tumbang.

    Rombongan liputan kami terdiri dari tujuh orang: saya sendiri (warga negara Inggris) dan dua staf BBC berkewarganegaraan Irak. Empat lainnya berpaspor Suriah, yakni seorang juru kamera BBC dan tiga pekerja lepas.

    Kami sedang merekam video di dekat salah satu pos pengamatan Pasukan Pengamat Pelepasan PBB (UNDOF), dekat kota al-Rafeed, ketika seorang pejabat PBB memberi tahu kami bahwa pihak Israel telah menanyakan identitas kami.

    Pejabat PBB itu bilang, pasukan Israel itu telah diberi tahu bahwa kami adalah jurnalis BBC.

    Sebagai konteks, Israel merebut Golan selama perang Timur Tengah tahun 1967.

    Sekitar 200 meter dari kota itu, sebuah pos pemeriksaan yang tidak dijaga menutup akses jalan. Di sisi pos pemeriksaan kami melihat tank-tank Merkava, salah satunya mengibarkan bendera Israel.

    Dari menara di dekat pos ini, dua tentara Israel mengawasi kami, satu di antaranya melalui teropong. Kolega saya menunjukkan kartu identitas BBC agar tentara itu dapat melihatnya.

    BBC telah mengajukan protes kepada militer Israel tentang apa yang terjadi selanjutnya kepada tim saya. Namun Israel belum memberi tanggapan.

    Israel mengirim pasukan ke zona penyangga demiliterisasi yang diawasi PBB di Dataran Tinggi Golan sejak Desember 2024. (AFP)

    Satu menit setelah kami mulai merekam di sekitar pos pemeriksaan tersebut, sebuah mobil putih mendekat dari sisi lain pos.

    Empat tentara Israel keluar dari mobil itu, lalu mengepung kami.

    Mereka mengarahkan senapan ke kepala kami. Mereka juga memerintahkan kami untuk meletakkan kamera di sisi jalan.

    Saya mencoba menjelaskan bahwa kami adalah jurnalis BBC, tapi tiba-tiba keadaan bereskalasi dengan cepat.

    Saya sempat mengirim pesan kepada rekan-rekan di kantor pusat BBC di London. Saya mengabarkan bahwa kami telah dihentikan oleh militer Israel.

    Setelahnya, pasukan Israel itu menyita ponsel dan semua peralatan kami. Lebih banyak tentara Israel kemudian datang dengan kendaraan militer Humvee.

    Saat itu mobil kami telah digeledah secara menyeluruh.

    Para tentara itu mengawal kami melalui gerbang pemeriksaan, lalu beranjak menuju kota Quneitra. Kami berhenti di titik persimpangan yang memisahkan Quneitra dari Golan yang diduduki Israel.

    Di sana, para tentara mulai meninjau rekaman saat kami duduk di mobil. Pada saat itu, seorang tentara mengarahkan senapannya ke kepala saya dari jarak beberapa meter.

    Setelah lebih dari dua jam, salah satu tentara meminta saya untuk keluar dari mobil dan berbicara di telepon genggam.

    Saya tidak tahu siapa orang di ujung telepon itu. Dia berbicara bahasa Arab yang tidak lancar. Dia bertanya mengapa kami merekam posisi militer Israel.

    Saya mengatakan kepadanya bahwa saya adalah wartawan BBC berkewarganegaraan Inggris. Saya menjelaskan kepadanya tentang apa yang kami kerjakan di daerah itu.

    BBC

    BBC News Indonesia hadir di WhatsApp.

    Jadilah yang pertama mendapatkan berita, investigasi dan liputan mendalam dari BBC News Indonesia, langsung di WhatsApp Anda.

    BBC

    Saya lalu kembali ke mobil saya dan senapan itu kembali diarahkan ke kepala saya.

    Setelah menunggu satu jam lagi, satu kendaraan lainnya tiba. Sekelompok tentara keluar dari mobil sambil membawa penutup mata dan tali pengikat plastik. Mereka meminta saya untuk keluar terlebih dahulu.

    Pimpinan kelompok tentara itu, yang berbicara dengan fasih dalam dialek Arab Palestina, menuntun saya ke salah satu ruangan di titik penyeberangan yang sebelumnya digunakan oleh tentara Suriah.

    Lantai ruangan itu dipenuhi pecahan kaca dan sampah. Dia berkata kepada saya bahwa mereka akan memperlakukan saya secara berbeda. Artinya, saya tidak akan diborgol dan mata saya tidak akan ditutup. Perlakuan sebaliknya dialami seluruh anggota tim saya yang lain.

    Saya terkejut. Saya bertanya mengapa mereka melakukan ini ketika mereka tahu kami adalah jurnalis BBC.

    Dia berkata bahwa dia ingin membantu kami keluar dengan cepat dan bahwa kami harus mematuhi instruksi mereka.

    BBCSeorang anggota tim BBC memotret sepotong kain yang digunakan untuk menutup matanya.

    Beberapa saat kemudian, tentara yang lain masuk dan menyuruh saya melepas semua pakaian saya, kecuali celana dalam.

    Awalnya saya menolak, tapi mereka bersikeras dan mengancam saya. Tak punya pilihan lain, saya menurutinya.

    Tentara itu bahkan memeriksa bagian dalam celana dalam saya, baik bagian depan maupun belakang. Dia menggeledah pakaian saya, lalu menyuruh saya mengenakannya kembali dan mulai menginterogasi saya.

    Sejumlah pertanyaan yang mereka ajukan berkaitan dengan kehidupan pribadi saya: tentang anak-anak saya dan usia mereka.

    Ketika mereka akhirnya membiarkan saya keluar dari ruangan, saya menyaksikan pemandangan mengerikan dari anggota tim saya: mereka diikat dan mata mereka ditutup.

    Saya memohon kepada para tentara itu untuk melepaskan mereka. Salah satu tentara berjanji akan melakukannya setelah interogasi usai.

    Kolega saya dibawa satu per satu ke ruangan yang sama untuk ditelanjangi dan diinterogasi.

    Mereka kembali dengan tangan masih terikat tetapi mata mereka tidak lagi ditutup. Interogasi berlangsung lebih dari dua jam. Semua ponsel dan laptop kami diperiksa. Banyak foto, termasuk yang berkaitan dengan kehidupan pribadi kami, dihapus.

    Tentara itu mengancam kami dengan konsekuensi yang lebih buruk jika kami mendekati perbatasan dari sisi Suriah lagi. Dia berkata, tentara Israel tahu segalanya tentang kami dan akan melacak kami, jika kami menyembunyikan foto atau mempublikasikan foto yang belum mereka hapus.

    Sekitar tujuh jam setelah penahanan kami, saat itu sekitar pukul 21:00, kami dibawa dengan penjagaan dua kendaraan, satu di depan mobil kami dan yang lainnya di belakang kami, ke daerah pedesaan sekitar dua kilometer di luar Quneitra.

    Di sana, kendaraan berhenti dan tas berisi ponsel kami dilemparkan ke arah kami sebelum kendaraan itu pergi.

    Tersesat dalam kegelapan tanpa sinyal, tanpa internet, dan tidak tahu di mana kami berada, kami terus mengemudi hingga kami mencapai sebuah desa kecil.

    Sekelompok anak mengarahkan kami ke jalan raya. Mereka memperingatkan jika kami salah jalan, kami bakal menghadapi tembakan tentara Israel.

    Setelah sepuluh menit yang menegangkan, kami akhirnya menemukan jalan raya. Empat puluh lima menit setelah itu, kami tiba di Damaskus.

    Lihat juga Video ‘Dalih Israel Tembak Warga Gaza saat Antre Bantuan’:

    (ita/ita)

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • Suriah Senang Trump Resmi Cabut Sanksi Ekonomi: Langkah Positif!

    Suriah Senang Trump Resmi Cabut Sanksi Ekonomi: Langkah Positif!

    Damaskus

    Suriah memuji pencabutan sanksi secara resmi oleh pemerintahan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump. Otoritas Damaskus memujinya sebagai “langkah positif” yang akan membantu pemulihan pascaperang.

    “Republik Arab Suriah menyambut baik keputusan pemerintah Amerika untuk mencabut sanksi yang dijatuhkan kepada Suriah dan rakyatnya selama bertahun-tahun,” demikian pernyataan Kementerian Luar Negeri Suriah, seperti dilansir AFP, Sabtu (24/5/2025).

    AS secara resmi mencabut sanksi ekonomi secara menyeluruh terhadap Suriah pada Jumat (24/5), setelah Menteri Keuangan Scott Bessent menyampaikan pengumuman yang meresmikan keputusan mengejutkan yang disampaikan oleh Trump pekan lalu, selama berkunjung ke kawasan Timur Tengah.

    Langkah ini menandai perubahan kebijakan AS secara dramatis menyusul tumbangnya rezim mantan Presiden Bashar al-Assad pada akhir tahun lalu, dan membuka pintu bagi investasi baru di Suriah.

    Kementerian Luar Negeri Suriah menggambarkan langkah AS itu sebagai “langkah positif ke arah yang benar untuk mengurangi kesulitan kemanusiaan dan ekonomi di negara tersebut.

    Pencabutan sanksi ini berlaku untuk pemerintahan baru Suriah, yang menurut Departemen Keuangan AS, memiliki syarat yakni negara tersebut tidak menyediakan tempat berlindung bagi organisasi teroris dan memastikan keamanan bagi minoritas agama dan etnis.

    Departemen Luar Negeri AS, secara bersamaan, mengeluarkan keringanan yang memungkinkan mitra dan sekutu asing untuk berpartisipasi dalam rekonstruksi Suriah. Hal ini berarti memberikan lampu hijau kepada perusahaan-perusahaan untuk berbisnis di negara tersebut.

    Lihat juga Video: Warga Suriah Berpesta Sambut Pencabutan Sanksi Trump

    Otorisasi tersebut mencakup investasi baru di Suriah, penyediaan layanan keuangan, dan transaksi yang melibatkan produk minyak bumi Suriah.

    “Tindakan hari ini merupakan langkah pertama dalam mewujudkan visi presiden tentang hubungan baru antara Suriah dan Amerika Serikat,” kata Rubio.

    AS memberlakukan pembatasan besar-besaran terhadap transaksi keuangan dengan Suriah selama perang sipil berkecamuk selama 14 tahun di negara tersebut. Washington sebelumnya menegaskan akan menggunakan sanksi untuk menghukum siapa pun yang terlibat dalam rekonstruksi selama Assad masih berkuasa.

    Setelah penyerbuan yang dipimpin kelompok pemberontak Islamis tahun lalu berhasil menggulingkan rezim Assad, pemerintahan baru Suriah berupaya membangun kembali hubungan dengan pemerintah Barat dan mendorong pencabutan sanksi.

    Lihat juga Video: Warga Suriah Berpesta Sambut Pencabutan Sanksi Trump

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • Trump Resmi Cabut Semua Sanksi Ekonomi untuk Suriah

    Trump Resmi Cabut Semua Sanksi Ekonomi untuk Suriah

    Washington DC

    Pemerintahan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump secara resmi mencabut sanksi ekonomi secara menyeluruh terhadap Suriah. Langkah ini menandai perubahan kebijakan dramatis menyusul tumbangnya rezim mantan Presiden Bashar al-Assad dan membuka pintu bagi investasi baru di Suriah.

    Pencabutan sanksi Suriah oleh pemerintahan Trump ini, seperti dilansir AFP, Sabtu (24/5/2025), diumumkan oleh Menteri Keuangan AS, Scott Bessent, pada Jumat (23/5) waktu setempat.

    “Suriah harus terus berupaya untuk menjadi negara yang stabil dan damai, dan tindakan hari ini diharapkan akan menempatkan negara tersebut pada jalur menuju masa depan yang cerah, makmur, dan stabil,” kata Bessent dalam pernyataannya.

    Pernyataan Bessent ini meresmikan keputusan yang diumumkan oleh Trump pekan lalu. Saat melakukan kunjungan kenegaraan ke Timur Tengah, Trump secara tak terduga mengumumkan keputusannya mencabut sanksi-sanksi “brutal dan melumpuhkan” terhadap Suriah sebagai respons atas permintaan Arab Saudi dan Turki.

    Pencabutan sanksi ini berlaku untuk pemerintahan baru Suriah, yang menurut Departemen Keuangan AS, memiliki syarat yakni negara tersebut tidak menyediakan tempat berlindung bagi organisasi teroris dan memastikan keamanan bagi minoritas agama dan etnis.

    Departemen Luar Negeri AS, secara bersamaan, mengeluarkan keringanan yang memungkinkan mitra dan sekutu asing untuk berpartisipasi dalam rekonstruksi Suriah. Hal ini berarti memberikan lampu hijau kepada perusahaan-perusahaan untuk berbisnis di negara tersebut.

    Menteri Luar Negeri (Menlu) AS Marco Rubio, pada Jumat (23/5), mengatakan bahwa keringanan itu akan “memfasilitasi penyediaan listrik, energi, air dan sanitasi, dan memungkinkan respons kemanusiaan yang lebih efektif di seluruh Suriah”.

    Tonton juga “Trump Ancam Apple dengan Tarif 25%, Minta iPhone Dibuat di AS” di sini:

    Otorisasi tersebut mencakup investasi baru di Suriah, penyediaan layanan keuangan, dan transaksi yang melibatkan produk minyak bumi Suriah.

    “Tindakan hari ini merupakan langkah pertama dalam mewujudkan visi presiden tentang hubungan baru antara Suriah dan Amerika Serikat,” kata Rubio.

    AS memberlakukan pembatasan besar-besaran terhadap transaksi keuangan dengan Suriah selama perang sipil berkecamuk selama 14 tahun di negara tersebut. Washington sebelumnya menegaskan akan menggunakan sanksi untuk menghukum siapa pun yang terlibat dalam rekonstruksi selama Assad masih berkuasa.

    Setelah penyerbuan yang dipimpin kelompok pemberontak Islamis tahun lalu berhasil menggulingkan rezim Assad, pemerintahan baru Suriah berupaya membangun kembali hubungan dengan pemerintah Barat dan mendorong pencabutan sanksi.

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini