Tag: Bashar al-Assad

  • Isi Istana Presiden Suriah yang Dijarah: Pil Anti-Kecemasan, Cangkir Kopi hingga Buku tentang Rusia – Halaman all

    Isi Istana Presiden Suriah yang Dijarah: Pil Anti-Kecemasan, Cangkir Kopi hingga Buku tentang Rusia – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Setelah runtuhnya kekuasaan Presiden Suriah Bashar al-Assad, oposisi bersenjata dan warga sipil Suriah memasuki halaman kepresidenan pada Selasa (10/12/2024).

    Mereka menyebarkan gambar dan video di media sosial yang memperlihatkan kekayaan tempat tinggal keluarga Assad, sementara masyarakat Suriah semakin miskin.

    Assad jatuh dari kekuasaannya setelah aliansi oposisi bersenjata, Hayat Tahrir al-Sham (HTS), mengumumkan keberhasilannya merebut ibu kota, Damaskus pada 8 Desember 2024.

    Keluarga Assad dikabarkan kabur ke luar negeri, namun keberadaannya masih belum diketahui.

    Setelah jatuhnya kekuasaan Assad, seorang reporter dari surat kabar Wall Street Journal (WSJ) meliput kondisi istana Assad di Damaskus.

    Ia mengunjungi bekas rumah, kantor, dan bunker bawah tanah milik rezim Assad.

    “Di kantor Assad yang terbengkalai, meja dan lantainya dipenuhi buku dan kertas: sejarah militer Rusia, peta Suriah timur laut, biografi dirinya sendiri,” lapornya.

    “Potongan pil anti-kecemasan ada di dalam kemasannya di atas meja,” lanjutnya.

    Sementara itu, reporter New York Times melaporkan ada sebuah meja di salah satu kantor yang di atasnya terdapat secangkir kopi setengah jadi, lusinan puntung rokok, dan sebuah remote control.

    Karpet merah masih terhampar di sepanjang koridor luas istana presiden.

    Selain itu, lampu gantung besar tergantung di ruang resepsi penuh hiasan yang dipenuhi perabotan kayu Damaskus yang mahal.

    Kamar Mandi untuk Buthaina Shaaban

    Menurut laporan New York Times, istana tersebut memiliki kamar mandi dalam untuk Buthaina Shaaban yang bekerja sebagai penasihat keluarga Assad selama beberapa dekade.

    Ada juga foto-foto berbingkai yang tampaknya merupakan pesta ulang tahunnya yang ke-70 di salah satu meja.

    Selain itu, ada majalah Time edisi tahun 1983 yang menampilkan ayahnya, Hafez al-Assad, dengan judul “Suriah: Bentrok dengan Amerika Serikat, Mencari Peran yang Lebih Besar.”

    Ruang Bawah Tanah

    Istana tersebut memiliki setidaknya dua ruangan untuk rapat kabinet, satu di atas tanah dan yang lainnya di bawah tanah.

    Tampaknya, ruang bawah tanah dibangun untuk situasi yang mirip dengan hari-hari terakhir Assad di istananya.

    “Di lantai tiga bawah tanah, saya menemukan – di seluruh ruang tamu – plakat tembaga yang menandai kursi Menteri Pertahanan dan berbagai komandan militer, dan mengklasifikasikan Assad sebagai Panglima Tertinggi,” lapor reporter New York Times.

    Runtuhnya Rezim Assad dalam Perang Saudara Suriah

    Rezim Assad dari Partai Ba’ath runtuh pada 8 Desember 2024, setelah oposisi bersenjata mengumumkan keberhasilannya merebut ibu kota Suriah, Damaskus.

    Sebelumnya, aliansi oposisi bersenjata, Hayat Tahrir al-Sham (HTS), meluncurkan serangan pada 27 November 2024 di Idlib, hingga berhasil merebut kota Aleppo, Hama, Homs, dan Damaskus dalam waktu kurang dari dua minggu.

    Pemimpin HTS, Abu Muhammad Al-Julani, mendeklarasikan runtuhnya rezim Assad melalui pidato di Damaskus pada Minggu (8/12/2024).

    Runtuhnya rezim Assad adalah buntut dari perang saudara di Suriah yang berlangsung sejak 2011 ketika rakyat Suriah menuntut turunnya Presiden Suriah Bashar al-Assad.

    Iran mulai membantu rezim Assad pada 2011 dan Rusia mulai terlibat pada tahun 2015.

    Pertempuran sempat meredup pada 2020 setelah Rusia dan Turki menengahi perjanjian gencatan senjata antara rezim Assad dan oposisi di Idlib, sebelum meletus lagi pada 27 November lalu.

    Bashar al-Assad berkuasa sejak 2000, setelah meneruskan kekuasaan ayahnya, Hafez al-Assad yang berkuasa pada 1971-2000.

    (Tribunnews.com/Yunita Rahmayanti)

  • Kelompok Islamis Seluruh Dunia Beri Selamat Kemenangan HTS di Suriah

    Kelompok Islamis Seluruh Dunia Beri Selamat Kemenangan HTS di Suriah

    Jakarta, CNBC Indonesia – Organisasi dan militan Islam di seluruh dunia telah mengucapkan selamat kepada pemberontak Suriah atas kemenangan mereka dalam merobohkan rezim Presiden Bashar al-Assad.

    Melansir The Guardian pada Kamis (12/12/2024), banyak cabang Ikhwanul Muslimin mengeluarkan pernyataan gembira merayakan kemenangan HTS, memuji “rakyat Suriah atas penggulingan rezim Assad”.

    Ikhwanul Muslimin sendiri merupakan gerakan Islamis veteran yang berupaya membawa pemerintahan berdasarkan interpretasi hukum Islam yang ketat ke negara-negara di seluruh dunia Muslim dan telah menolak kekerasan.

    Cabang Ikhwanul Muslimin di Lebanon mengucapkan selamat dan memberkati “rakyat Suriah karena telah menggulingkan tiran mereka dan mencapai tujuan pertama revolusi mereka”.

    Di Yordania, Front Aksi Islam, partai politik yang mewakili kepentingan Ikhwanul Muslimin di kerajaan itu, juga mengucapkan selamat kepada rakyat Suriah. Beberapa pejabat seniornya juga menyatakan dukungannya terhadap HTS dan kampanyenya.

    Dalam sebuah unggahan Facebook yang kemudian dihapus, salah seorang mengatakan keberhasilan HTS sedang “dipelajari taktiknya, operasi intelijen, teknologi, penanganan media, manajemen tahanan, persiapan, dan strategi kejutannya”.

    “Ikhwanul Muslimin … memandang HTS sebagai model pemerintahan. HTS adalah penyelamat bagi proyek Islamis nasionalis,” kata Katrina Sammour, seorang analis yang berbasis di Amman.

    Para pengamat menyebut ucapan selamat kepada rakyat Suriah – bukan hanya kepada HTS – memungkinkan terciptanya persatuan di antara kelompok-kelompok yang telah lama terpecah belah oleh ideologi, metode, sponsor, dan sekte.

    Hamas dan sekutunya Jihad Islam didukung oleh Iran, yang memiliki hubungan kuat dengan rezim Assad dan sebelumnya sangat kritis terhadap para pemberontak.

    Namun, kelompok tersebut, yang akar ideologinya berasal dari Ikhwanul Muslimin, menjauhkan diri dari Assad – seorang anggota sekte minoritas Alawi, cabang dari Syiah Islam – saat ia menindak para pengunjuk rasa dan pemberontak yang sebagian besar beragama Muslim Sunni.

    Dalam beberapa hari terakhir, Hamas mengucapkan selamat kepada rakyat Suriah karena telah mencapai “aspirasi mereka untuk kebebasan dan keadilan” dan menambahkan bahwa mereka berharap Suriah pasca-Assad akan melanjutkan “perannya yang historis dan penting dalam mendukung rakyat Palestina”.

    Jihad Islam Palestina yang didukung Iran mengeluarkan pernyataan yang hampir identik.

    Taliban Afghanistan, yang kembali berkuasa pada tahun 2021 setelah pemberontakan selama 20 tahun, adalah penguasa pertama yang memberi selamat kepada HTS secara langsung dan mengakui faksi tersebut sebagai pemerintahan baru Suriah.

    Dalam sebuah pernyataan pada Minggu, Kementerian Luar Negeri Taliban mengatakan bahwa mereka mengharapkan “pemerintahan Islam yang berdaulat dan berorientasi pada pelayanan sesuai dengan aspirasi rakyat Suriah, yang menyatukan seluruh penduduk tanpa diskriminasi dan pembalasan”.

    Afiliasi al-Qaeda telah membuat pernyataan yang mendukung HTS, tetapi ISIS, yang dipimpin oleh Abu Mohammed al-Jolani sekitar satu dekade lalu, telah bersikap sangat kritis, menuduh kelompok tersebut mengkhianati tujuan jihad dan bekerja sama dengan musuh-musuh umat Islam.

    Respons positif Hamas terhadap jatuhnya Assad berbeda dengan Hizbullah, gerakan Syiah Islam yang berbasis di Lebanon yang memainkan peran utama dalam mendukung Assad selama bertahun-tahun perang. Suriah yang dipimpin Assad telah lama menjadi jalur penting bagi Iran untuk memasok senjata kepada kelompok tersebut.

    Pernyataan pertama Hizbullah tentang peristiwa di Suriah – yang disampaikan oleh anggota parlemen Lebanon Hassan Fadlallah – menggambarkan sebuah “transformasi besar, berbahaya, dan baru”.

    Kelompok yang didukung Iran tersebut telah membawa kembali para pejuangnya ke Lebanon selama setahun terakhir untuk bertempur dalam perang dengan Israel.

     

    (luc/luc)

  • Penuturan Warga Suriah di RI: Saya Merayakan Kejatuhan Assad

    Penuturan Warga Suriah di RI: Saya Merayakan Kejatuhan Assad

    Jakarta

    Sebagian warga Suriah yang tinggal di berbagai negara merayakan kejatuhan rezim Presiden Bashar al-Assad. Apa makna peristiwa ini bagi masa depan mereka?

    Seperti banyak warga Suriah, Youssef, yang sekarang tinggal di Malang, Jawa Timur, merayakan kabar penggulingan rezim Bashar al-Assad. Namun, dia mengaku tidak berkeinginan untuk kembali ke negaranya.

    Laki-laki berusia 25 tahun yang meminta agar nama depannya tidak dipublikasikan itu datang ke Indonesia pada tahun 2021. Dia pergi dari negaranya untuk menjadi pelajar di bidang farmasi.

    “Saya sudah mau lulus,” ujar Youssef kepada wartawan Amahl Azwar yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Selasa (10/12).

    Youssef berasal dari Kota Al Qardahahtempat kelahiran Bashar al-Assad dan ayahnya, Hafez al-Assad, yang meninggal dunia tahun 2000.

    Umur Youssef baru menginjak 11 tahun ketika perang saudara Suriah pecah pada 2011. Kala itu banyak orang terpaksa pindah atau mengungsi dari Suriah.

    “Setengah hidup saya dihabiskan dalam konflik,” ujarnya.

    Pasukan pemerintah Suriah berlindung di balik tembok saat bentrokan dengan kelompok militan di Aleppo, 3 November 2012. Pada periode Maret 2011 hingga November 2012, lebih dari 36.000 orang tewas sejak pemberontakan kelompok militan terhadap pemerintahan Assad (AFP)

    Bashar al-Assad baru saja digulingkan kelompok militan Hayat Tahrir al-Sham (HTS) dan faksi-faksi pemberontak sekutu mereka.

    Dengan begitu, berakhir sudah rezim keluarga Assad yang dikenal tangan besi selama lebih dari lima dekade.

    Sama seperti banyak orang Suriah di penjuru dunia, termasuk jutaan di antara mereka yang mengungsi, Youssef bersuka cita atas kejatuhan rezim Assad.

    Walaupun begitu, Youssef menyebut masih banyak hal sumber duka dari Suriah yang membuatnya enggan untuk kembali ke negaranya.

    Youssef justru berharap suatu saat dapat memindahkan dua anggota keluarganya yang masih berada di Suriah ke Indonesia.

    “Saya merayakan kejatuhan al-Assad. 50 tahun terakhir tidak bisa dikatakan sebagai kehidupan [yang layak],” ujar Youssef.

    “Tapi ke mana kita pergi dari sini?”

    Youssef menyamakan kondisi Suriah sekarang seperti ketika masyarakat Afghanistan merayakan hengkangnya tentara AS pada Agustus 2021.

    Kebahagiaan itu tidak berlangsung lama karena setelahnya rezim Taliban menguasai negara itu.

    “Saya tidak tahu apakah ini akan terjadi atau tidak, tapi saya tahu kelompok Muslim radikal tidak pernah suka dengan kelompok-kelompok minoritas,” ujar Youssef.

    “Kami punya sekte minoritas [di Suriah]. Jadi, ya, saya tidak yakin situasinya akan membaik.”

    Youssef mengklaim dirinya memperoleh foto-foto dan video penjarahan yang terjadi di negaranya setelah penggulingan Assad.

    Koresponden BBC yang melaporkan dari Suriah, Lina Sinjab, menjadi saksi mata aksi penjarahan, termasuk yang terjadi di kediaman Bashar al-Assad.

    Pengungsi Suriah yang tinggal di Turki kembali ke tanah airnya pada 10 Desember 2024 melalui Gerbang Perbatasan Cilvegz di Hatay, Turki (Getty Images)

    Dibandingkan dengan pengungsi dari negara-negara seperti Afghanistan dan Myanmar yang mencapai ratusan hingga ribuan orang, jumlah pengungsi dari Suriah di Indonesia berjumlah puluhan orang.

    Merujuk data Komisioner Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR), terdapat 60 warga Suriah yang telah mendapat status pengungsi di Indonesia.

    Angka ini tidak termasuk warga Suriah yang berada di Indonesia, tapi masih tergolong sebagai pencari suaka.

    Adapun menurut catatan Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan, ada 713 warga negara Suriah yang punya izin tinggal aktif di Indonesia per Desember 2024. Mereka memegang izin tinggal sebagai diplomat, pekerja, dan pelajar.

    Seorang perempuan bersenjata mengacungkan tanda V yang berarti kemenangan saat warga Kurdi Suriah merayakan jatuhnya ibu kota Damaskus ke tangan pemberontak di Qamishli pada 8 Desember 2024 (Getty Images)

    Apa pendapat orang-orang Suriah di negara-negara lainnya

    Di Ankara, Turki, ratusan warga Suriah bersiul, menari, bernyanyi, dan meneriakkan yel-yel dalam perayaan di Altnda. Sejak dini hari, mereka merayakan kabar penggulingan rezim Bashar al-Assad.

    “Bahagia sekali rasanya baru pertama kalinya dalam hidup saya bisa sesenang ini,” ujar Asif, laki-laki berumur sekitar 20 tahun yang berasal dari kota Hama, Suriah.

    Asif mengibarkan bendera Turki dan bendera oposisi Suriah dengan kedua tangannya.

    BBC

    BBC News Indonesia hadir di WhatsApp.

    Jadilah yang pertama mendapatkan berita, investigasi dan liputan mendalam dari BBC News Indonesia, langsung di WhatsApp Anda.

    BBC

    “Sejak tadi malam, kami belum tidur. Rasanya tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata,” ujarnya.

    “Tidak ada lagi yang akan tinggal di sini. Semuanya ingin pulang karena perang di negara kami sudah berakhir. Kami sungguh-sungguh berterima kasih kepada Turki.”

    Ayham, teman Asif yang berasal dari Aleppo, mengungkapkan perasaan yang sama.

    “Kami tidak bisa pulang akibat kekejaman Assad. Semuanya kabur dari tangan tirani Assad. Orang-orang mesti hengkang karena kami tidak mau dipaksa menghabisi warga kami sendiri. Sekarang, kami bisa kembali karena semua ini sudah berakhir,” tuturnya.

    Para pejuang pemberontak Suriah merayakan kemenangan di Homs pada 8 Desember 2024 (Getty Images)

    Seorang pria muda lainnya yang sudah tinggal di Turki selama 14 tahun bertekad untuk segera kembali ke Suriah.

    “Tidak ada lagi yang tersisa bagi kami [di Turki]. Saatnya kembali ke Suriah. Jika perlu, kami akan kembali membangun bahkan dari nol sekalipun. Pada hari saya berencana untuk menikah, Suriah merdeka. Saya tidak akan pernah melupakan tanggal ini.”

    Selebrasi dan keriaan serupa terlihat di kota-kota Turki lainnya yang memiliki populasi orang Suriah dalam jumlah besar, termasuk Istanbul.

    Di Sisli, orang-orang berkerumun di depan gedung konsulat Suriah. Mereka menurunkan bendera rezim Assad.

    Turki sudah menjadi rumah bagi sedikitnya tiga juta pengungsi Suriah sejak perang sipil di negara itu pecah pada tahun 2011.

    Rasa bingung dan kekhawatiran

    Di tengah semua keriaan dan perasaan penuh harap, ada juga orang Suriah yang tidak terlalu ingin cepat-cepat kembali ke negaranya.

    Di sebuah kereta Berlin yang hening, Rasha dengan suara pelan merekam suaranya di telepon genggam. Dia berhati-hati agar tidak mengganggu penumpang lain.

    Sampai baru-baru ini, Rasha sudah pasrah bahwa dirinya tidak akan lagi bisa melihat rumah keluarganya di Damaskus.

    Selama lebih dari satu dekade terakhir, konflik Suriah yang berkelanjutan memaksa jutaan orang Suriah termasuk Rasha untuk menerima kenyataan bahwa sebagian dari masa lalu mereka akan musnah. Namun, kabar penggulingan Assad mengubah segalanya.

    Bagi banyak pengungsi Suriah, berita itu memicu berbagai emosi yang saling kontradiksi: tidak percaya, bahagia, penuh harapan, bingung, dan takut.

    Warga Suriah yang tinggal di Essen, Jerman, merayakan runtuhnya rezim Assad pada Minggu, 8 Desember 2024 (Getty Images)

    Kebahagiaan yang dirasakan Rasha berbenturan dengan realita. Dia mengaku awalnya ingin segera “mengepak koper dan pulang”.

    Akan tetapi, Rasha kemudian memikirkan apakah keputusan itu benar-benar dapat dilakukan secara tergesa-gesa.

    “Saya tahu bahwa tidak ada lagi perasaan waswas tatkala melewati perbatasan dan ketakutan akan ditangkap atau bahkan hilang,” jelas Rasha.

    “Tapi sekarang ada rasa takut yang baru: kemungkinan serangan balasan, ketegangan di antara sekte, dan balas dendam.”

    Rasha merupakan penganut agama minoritas di Suriah. Dia benar-benar memikirkan potensi risiko dengan waspada sekalipun belum ada laporan kekerasan yang menargetkan kelompok tertentu.

    Baca juga:

    “Saat ini kita masih merasakan momen-momen bahagia yang dini,” ujar Rasha perlahan.

    “Kita harus berpikir rasional.”

    Situasi Rasha semakin rumit karena statusnya sebagai pengungsi di Jerman. Setelah menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk mengintegrasikan diri ke komunitas barunya, Rasha berada di jalur yang tepat untuk menerima kewarganegaraan Jerman dalam satu tahun ke depan.

    Jika Rasha mendapatkan ini, dia akan bisa lebih bebas untuk pindah ke mana pun dia mau.

    “Kami ingin kembali ke Suriah tanpa kehilangan semua pencapaian di sini,” terangnya.

    Warga Suriah merayakan jatuhnya rezim Assad di Istanbul (Azra Tosuner/BBC)

    Rasha merujuk ke keterampilan bahasa, pendidikan, dan stabilitas yang telah dibangunnya.

    “Jika kembali sekarang dan kehilangan status legal, saya barangkali akan kehilangan segalanya.”

    Rasha juga mengkhawatirkan nasib rumah keluarganya di Damaskus.

    “Sebelum kemarin, saya tidak menyangka bisa melihat rumah kami lagi,” akunya. “Harapan itu kini ada. Tapi bagaimana kalau sudah ada yang merebut rumah kami?”

    Sama seperti Youssef di Indonesia, Rasha juga mengkhawatirkan kelompok radikal di negaranya.

    “Saya senang rezim itu sudah runtuh,” ujarnya, “tetapi saya kini mengkhawatirkan adanya bentrokan serta kemunculan ekstremisme dan fanatisme.”

    Rasha hanyalah satu dari setidaknya 14 juta orang Suriah yang harus meninggalkan negara mereka sejak konflik pecah pada tahun 2011.

    Menurut UNHCR, krisis pengungsi di Suriah adalah pemindahan paksa terbesar pada masa kini.

    Lebih dari 5,5 juta pengungsi Suriah menetap di negara-negara tetangga termasuk Turki, Lebanon, Yordania, Irak, dan Mesir.

    Jerman merupakan negara non-tetangga Suriah dengan populasi pengungsi Suriah terbesar, sekitar 850.000 orang.

    Bagi banyak pengungsi, tinggal di luar negeri merupakan suatu tantangan tersendiri.

    Selama bertahun-tahun, mereka mesti menghadapi rintangan hukum, menanggung kesulitan ekonomi, dan menghadapi serangan xenofobia.

    Pulang ke Suriah ‘bukan perkara sepele’

    Ayah Majzoub, Wakil Direktur Regional untuk Timur Tengah dan Afrika Utara di Amnesty International, menekankan bahwa tidak akan mudah bagi orang-orang Suriah untuk kembali ke negaranya.

    “Banyak orang Suriah yang menimbang-nimbang untuk pulang telah kehilangan rumah, pekerjaan, dan orang-orang tercinta,” kata perempuan itu.

    “Perekonomian di Suriah sudah hancur akibat konflik dan sanksi asing selama bertahun-tahun.”

    “Organisasi-organisasi kemanusiaan harus segera memastikan bahwa pemulangan dilakukan secara sukarela, aman, dan bermartabat.”

    “Para pengungsi yang kembali membutuhkan akses ke tempat penampungan, makanan, air, sanitasi, dan perawatan kesehatan,” ujarnya.

    Seorang pengungsi Suriah di Ankara, Turki (Getty Images)

    Majzoub juga menekankan pentingnya untuk menghindari repatriasi secara paksa.

    “Pemerintah-pemerintah tuan rumah tidak boleh memaksa siapa pun untuk pulang,” ujarnya.

    “Kepulangan orang Suriah harus dilakukan sepenuhnya sukarela. Kami akan terus mengawasi risiko-risiko yang dihadapi para pengungsi yang kembali tanpa memandang agama, etnis, atau sikap politik mereka.”

    Mahmoud Bouaydani, pengungsi Suriah di Turki, mengaku berita dari Damaskus membawa kembali banyak memori.

    “Rasanya seperti menonton rekaman sepuluh tahun terakhir setiap peluru mortir, setiap serangan kimia, setiap serangan udara,” kenangnya.

    Baca juga:

    Pada tahun 2018, Mahmoud melarikan diri dari Douma setelah bertahun-tahun merasa terkepung. Dia sekarang menjadi mahasiswa teknik komputer di Universitas Kocaeli dekat Istanbul.

    Meski optimis, Mahmoud menyadari betapa besarnya tantangan menanti jika dirinya kembali.

    “Hal pertama yang ada di benak saya adalah harta benda keluarga. Kami tidak tahu bagaimana nasibnya. Barangkali sudah dijual tanpa sepengetahuan kami.”

    Mahmoud juga ingin tetap fokus untuk menyelesaikan pendidikannya.

    “Saya ingin mengunjungi Suriah terlebih dahulu,” katanya.

    “Saya butuh kejelasan tentang keamanan, pemerintahan, dan aturan hukum. Saya tidak bisa melepaskan status perlindungan sementara saya. Saya juga tidak bisa mengambil risiko kehilangan pendidikan atau stabilitas di sini.”

    Warga Suriah di Turki merayakan berakhirnya kekuasaan Assad di Suriah setelah pemberontak menguasai Damaskus pada malam hari, di Masjid Fatih, di Istanbul, pada 8 Desember 2024 (Getty Images)

    Di Zarqa, Yordania, perempuan Suriah bernama Um Qasim mengenang tahun-tahunnya sebagai pengungsi.

    “Kami sudah menghabiskan 12 tahun di Yordania,” katanya.

    “Walau kami disambut bak keluarga, pengasingan tetaplah pengasingan.”

    Dia menggambarkan momen-momen kegembiraan yang diwarnai dengan kepedihan. Baik ketika merayakan sesuatu seperti ulang tahun, maupun ketika ada yang meninggal.

    Ketiadaan sanak saudara untuk berbagi sangat terasa baginya.

    Um Qasim bermimpi untuk kembali ke Suriah yang damai. Akan tetapi, dia mengaku realistis dengan kondisi ekonomi yang mengerikan di negara tersebut.

    “Keluarga saya di sana masih menderita. Tidak ada listrik yang konsisten, tidak ada air, dan harga-harga yang tidak terjangkau. Bagaimana orang bisa hidup?”

    Perasaannya yang campur aduk mencerminkan perasaan banyak orang di diaspora.

    “Kami senang rezim telah jatuh, tetapi akan pilu rasanya meninggalkan Yordania apalagi setelah membangun keluarga kedua di sini.”

    Warga Suriah di Lebanon berbondong-bondong ke Perbatasan Masnaa yang terletak di antara Lebanon dan Suriah untuk pulang ke rumah setelah runtuhnya rezim Assad, pada 8 Desember 2024 (Getty Images)

    Di perbatasan Masnaa, Lebanon, ratusan warga Suriah telah berkumpul dalam beberapa hari terakhir. Mereka menunggu untuk bisa menyeberang pulang ke Suriah.

    Lebanon adalah negara dengan jumlah pengungsi per kapita tertinggi di dunia dan saat ini memiliki 768.353 pengungsi Suriah yang terdaftar di UNHCR meskipun diyakini masih banyak yang belum terdaftar.

    Juru bicara UNHCR di Lebanon, Dalal Harb, mengatakan bahwa lembaga itu mengamati beberapa pemulangan, termasuk melalui penyeberangan tidak resmi di daerah-daerah seperti Wadi Khaled, sebuah wilayah di perbatasan timur laut Lebanon.

    “UNHCR menegaskan kembali bahwa semua pengungsi memiliki hak fundamental untuk kembali ke negara asal mereka pada waktu yang mereka pilih, dan semua pemulangan harus dilakukan secara sukarela, bermartabat, dan aman.”

    Harb menambahkan bahwa UNHCR siap untuk mendukung para pengungsi yang kembali jika kondisinya memungkinkan.

    Kerumunan orang Suriah di Tripoli, Lebanon (EPA-EFE/REX/Shutterstock)

    Di sisi lain, dia menggarisbawahi bahwa selama masa-masa yang tidak menentu sekarang ini, para pengungsi Suriah harus diberi keleluasaan untuk menilai kondisi Suriah dengan mata kepala mereka sendiri.

    “Situasi di internal Suriah masih terus berkembang. Banyak warga Suriah yang mencoba menilai dalam beberapa minggu terakhir, seberapa amankah situasi di sana dan apakah ini waktu yang tepat bagi mereka untuk kembali atau tidak,” imbuhnya.

    Bagi banyak warga Suriah, ketidakpastian tentang apa yang akan terjadi selanjutnya sangat membebani pikiran mereka.

    Kenangan akan perang, kehilangan, dan pengungsian tetap membayangi mereka. Sekarang pun mereka masih berusaha membayangkan bagaimana rasanya pulang ke negaranya.

    Untuk saat ini, mereka hanya bisa melihat dan menunggu.

    Bagi Youssef di Malang, Jawa Timur, yang memperoleh beasiswa pendidikan di sini, yang terpenting saat ini adalah menyelamatkan keluarganya.

    “Saya ingin bisa menghasilkan banyak uang supaya keluarga saya tidak menderita. Setidaknya mereka bisa kembali dapat akses air bersih.”

    Laporan tambahan oleh Sanaa Alkhoury dan Fundanur ztrk.

    Baca juga:

    Tonton juga video: Dampak Jatuhnya Rezim Assad ke Ekonomi, Pasar di Suriah Hidup Lagi

    (nvc/nvc)

  • Sekutu Amerika Tak Sengaja Tembak Jatuh Drone MQ-9 Reaper AS Seharga Rp 478 M di Suriah – Halaman all

    Sekutu Amerika Tak Sengaja Tembak Jatuh Drone MQ-9 Reaper AS Seharga Rp 478 M di Suriah – Halaman all

    Sekutu Amerika Tak Sengaja Tembak Jatuh Drone MQ-9 Reaper AS Seharga Rp 478 M di Suriah

    TRIBUNNEWS.COM – Sebuah drone MQ-9 Reaper milik Angkatan Udara Amerika Serikat secara tidak sengaja ditembak jatuh oleh sekutunya, Pasukan Demokratik Suriah (SDF) di Suriah utara beberapa hari lalu.

    “Insiden penembakan drone secara tidak sengaja yang diperkirakan bernilai US$30 juta (sekitar Rp 478 M) oleh pasukan sahabat militer Amerika Serikat disebabkan oleh pasukan SDF yang beroperasi di wilayah tersebut yang mengidentifikasi pesawat tak berawak tersebut sebagai ancaman,” kata seorang pejabat pertahanan AS kepada media dilansir DSA, Kamis (12/12/2024).

    Drone MQ-9 Reaper beroperasi dalam misi “Operation Inherent Resolve”, yang merupakan kampanye militer dan keamanan melawan kelompok teroris Negara Islam (IS/DAESH), kata pejabat pertahanan AS tersebut.
     
    Jatuhnya drone MQ-9 AS oleh pasukan sekutunya ini pertama kali dilaporkan oleh CNN.

    Wakil Sekretaris Pers Pentagon Sabrina Singh membenarkan penembakan jatuh drone MQ-9 Reaper milik SDF.

    “Tidak ada perubahan dalam kerja sama dan kemitraan kami dengan SDF dalam memastikan kekalahan ISIS,” kata Singh.

    Sebuah gambar yang muncul di media sosial pada tanggal 9 Desember menunjukkan apa yang tampak seperti puing-puing MQ-9 di Suriah utara.

    Puing Drone Reaper MQ-9 Amerika Serikat yang Jatuh ditembak Pasukan SDF di Suriah.

    Puing-puing itu kemudian dihancurkan dengan sengaja, mungkin oleh anggota militer Amerika Serikat untuk mencegahnya jatuh ke tangan oposisi Amerika.”

    “Angkatan Udara AS telah memulihkan komponen-komponen pesawat dan menghancurkan bagian-bagian pesawat yang tersisa,” kata pejabat itu.

    “Pusat Angkatan Udara AS secara aktif mengevaluasi tindakan yang menyebabkan insiden tersebut dan akan menyesuaikan taktik, teknik, dan prosedur untuk melindungi pasukan AS, koalisi, dan mitra serta aset terkait.”

    Komandan Komando Pusat AS (CENTCOM) Jenderal Michael “Erik” Kurilla mengunjungi Suriah dan bertemu dengan para pemimpin SDF dan personel militer AS pada 10 Desember.
     
    Amerika Serikat menempatkan sekitar 900 tentara di Suriah sebagai bagian dari misi dan operasi untuk menghadapi kelompok teroris ISIS dan mencegah kelompok tersebut mendapatkan kembali kekuasaan di wilayah Suriah yang pernah mereka kuasai.

    Puing Reaper MQ-9 yang Jatuh (dsa)

    SDF Terancam Seiring Bergantinya Rezim Suriah

    Dengan adanya perubahan kepemimpinan di Suriah setelah tergulingnya Bashar al-Assad, kelompok Kurdi yang didukung Amerika Serikat mungkin akan terancam, menurut analis, dilansir NBC News.

    Pasukan Demokratik Suriah (SDF) yang dipimpin Kurdi, telah membantu AS memukul mundur kelompok ISIS selama bertahun-tahun.

    Saat ini, SDF menahan ribuan anggota ISIS.

    Pada hari Selasa (10/12/2024), SDF menerima gencatan senjata dengan Tentara Nasional Suriah (SNA) yang didukung Turki dan menyerahkan kendali atas kota utara Manbij, benteng Kurdi.

    “Kami telah mencapai kesepakatan gencatan senjata di Manbij dengan mediasi Amerika untuk menjaga keamanan dan keselamatan warga sipil,” kata komandan umum SDF, Mazloum Abdi, dalam sebuah postingan di X.

    “Para pejuang … akan segera dipindahkan dari daerah itu.”

    “Tujuan kami adalah untuk menghentikan tembakan di seluruh Suriah dan memasuki proses politik untuk masa depan negara ini.”

    Komandan umum SDF, Abdi Mazloum (YouTube Sky News)

    Pengambilalihan Manbij, yang dipimpin oleh Hayat Tahrir al-Sham (HTS), yang berakar pada gerakan-gerakan ekstremis, mencerminkan situasi yang berubah dengan cepat di seluruh Suriah, termasuk bagi pasukan Kurdi.

    Israel mengambil kesempatan untuk menghancurkan kapal-kapal angkatan laut Suriah di barat, serta bangunan-bangunan yang terkait dengan senjata kimia di luar Damaskus.

    Jatuhnya Assad dan bangkitnya HTS juga menjadi kabar baik bagi pemerintahan Turki di bawah Presiden Recep Tayyip Erdogan.

    Erdogan adalah pendukung utama HTS.

    Erdogan telah lama memandang SDF sebagai “cabang” dari Partai Pekerja Kurdistan (PKK) di Turki dan menganggap keduanya sebagai organisasi teroris.

    Sementara itu, suku Kurdi Suriah sejak 2011 telah mempertahankan otonomi mereka di sudut timur laut Suriah yang berbatasan dengan Turki dan Irak.

    Namun kini angin politik telah berubah menentang SDF.

    “Suku Kurdi di Suriah, setelah bertahun-tahun berada dalam pemerintahan otonom, mungkin berada dalam lingkungan yang paling genting dan tidak stabil sejak mereka membangun struktur tersebut,” kata Renad Mansour, peneliti senior program Timur Tengah dan Afrika Utara di lembaga pemikir Chatham House yang berpusat di London.

    Pasukan Kurdi telah membuat kesepakatan dengan beberapa kelompok berbeda selama dekade terakhir, kata Mansour kepada NBC News.

    “Tetapi perubahan besar di Suriah saat ini akan membuat mereka harus merundingkan ulang hal ini, dan kemungkinan besar negosiasi akan dilakukan melalui kekerasan,” tambahnya.

    Maka diperlukan mediasi AS untuk menengahi gencatan senjata antara SDF dan SNA.

    “Kami telah bekerja sama dengan SDF selama beberapa waktu. Pekerjaan itu terus berlanjut,” kata Menteri Pertahanan Lloyd Austin kepada wartawan di Jepang pada hari Rabu (11/12/2024).

    “Kami memiliki hubungan yang baik dengan mereka, dan saya pikir itu akan tetap ada.”

    Namun, pernyataan dari presiden terpilih Amerika Serikat tidak luput dari perhatian para pemimpin SDF.

    “Suriah memang kacau, tetapi Suriah bukan teman kita,” kata Donald Trump dalam sebuah posting di X minggu lalu.

    Ia menambahkan dengan huruf kapital: “Amerika Serikat seharusnya tidak ada hubungannya dengan ini. Ini bukan pertarungan kita. Biarkan saja. Jangan ikut campur!”

    Tanda-tanda awal dari pemerintahan Trump mendatang menunjukkan bahwa akan ada dua aliran pemikiran mengenai Suriah, kata Mansour.

    “Satu kubu mengakui pertarungan bersejarah AS bersama Kurdi melawan ISIS, dan tentu saja kubu lainnya, yang mungkin menjadi tujuan Trump, adalah mencoba keluar dari Suriah,” katanya.

    Diperkirakan ada ribuan anggota ISIS yang ditahan di penjara dan kamp pengungsi internal yang dipantau oleh kelompok Kurdi dan pasukan AS di timur laut Suriah, wilayah yang dulunya merupakan bagian dari wilayah ISIS.

    Jika pemerintahan Trump kali ini lepas tangan mengenai apapun yang terjadi di Suriah, maka pasukan Kurdi akan kehilangan sekutu internasional utamanya.

    Sementara itu, HTS dan sekutunya mendapat dukungan dari Turki dan Erdogan.

    “Sudah ada tanda-tanda bentrokan lebih lanjut. Kobani, di timur laut Manbij, tetap berisiko mengalami perang karena provokasi terus-menerus oleh Turki dan tentara bayarannya,” kata kepala media SDF Farhad Shami kepada NBC News pada hari Rabu.

    4 Kelompok Kunci dalam Konflik Suriah

    Pejuang oposisi Suriah mengatakan mereka telah mengambil alih kota Deir Az Zor di timur laut dari pasukan Kurdi, Rabu (11/12/2024).

    Hal ini menyusul pengumuman gencatan senjata oleh Pasukan Demokratik Suriah (SDF) yang dipimpin Kurdi dan Tentara Nasional Suriah (SNA) yang didukung Turki setelah pertempuran selama berhari-hari di sekitar Manbij.

    Mengutip Al Jazeera, ada empat kelompok utama yang bersaing untuk menguasai wilayah Suriah. 

    Mereka adalah:

    1. Pasukan pemerintah Suriah

    Angkatan Darat, pasukan militer utama pemerintah, bertempur bersama Pasukan Pertahanan Nasional, kelompok paramiliter pro-pemerintah.

    Pasukan ini melemah seiring jatuhnya Assad.

    2.  Pasukan Demokratik Suriah (SDF)

    Kelompok ini didominasi suku Kurdi dan didukung Amerika Serikat, menguasai sebagian wilayah Suriah timur.

    3. Hayat Tahrir al-Sham (HTS) dan kelompok oposisi sekutu lainnya.

    HTS adalah pasukan tempur terbesar terkuat di Idlib yang dikuasai oposisi.

    Kelompok inilah yang mengambil peran terbanyak dalam menggulingkan pemerintah Assad.

    4. Pasukan pemberontak Suriah yang didukung Turki atau beraliansi dengan Turki

    Tentara Nasional Suriah (SNA) adalah pasukan pemberontak yang didukung Turki di Suriah utara.

    Berikut peta yang menunjukkan kendali teritorial berbagai kelompok di Suriah per 11 Desember 2024.

    lihat foto
    Peta Suriah dan kelompok-kelompok yang berkuasa. 11 Desember 2024

     

     

    (oln/shlv/DSA/tribunnews/*)

  • Rusia Cabut Status Taliban Afghanistan dari Daftar Teroris, Putin Cari Sekutu Baru di Timur Tengah? – Halaman all

    Rusia Cabut Status Taliban Afghanistan dari Daftar Teroris, Putin Cari Sekutu Baru di Timur Tengah? – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Rusia segera mengakui pemerintah Taliban di Afghanistan dan menghapusnya dari daftar teroris yang dilarang Rusia.

    Sebelumnya, parlemen Rusia memberikan suara mendukung rancangan undang-undang (RUU) yang memungkinkan penghapusan Taliban Afghanistan dari daftar teroris dalam pertemuan pada Selasa (10/12/2024).

    “Majelis rendah parlemen, Duma Rusia, menyetujui RUU tersebut dalam pembacaan pertama dari tiga pembacaan yang diperlukan,” kata kantor berita Interfax.

    Taliban menggulingkan kekuasaan Presiden Afghanistan Ashraf Ghani pada Agustus 2021 dan pasukan pimpinan AS yang mendukung pemerintah Afghanistan menarik diri setelah 20 tahun berperang melawan Taliban.

    Ketika tidak ada negara yang mengakui Taliban sebagai pemerintah di Afghanistan, Rusia secara bertahap membangun hubungan dengan Taliban.

    Presiden Rusia Vladimir Putin pada bulan Juli lalu memberikan sinyal bahwa Taliban menjadi sekutunya dalam memerangi terorisme.

    Taliban mengatakan pihaknya berupaya memberantas keberadaan organisasi ISIS (Islamic State of Iraq and Syria) di Afghanistan.

    Sebelumnya, Taliban ditambahkan ke daftar hitam Rusia pada tahun 2003 karena mendukung separatis di Kaukasus Utara.

    Kabar penghapusan Taliban Afghanistan dari daftar teroris ini muncul setelah Rusia kehilangan sekutunya di Timur Tengah ketika oposisi bersenjata Suriah menggulingkan Presiden Suriah Bashar al-Assad yang didukungnya sejak tahun 2015.

    Taliban Sambut Keputusan Rusia

    Kementerian Luar Negeri pemerintah sementara Afghanistan menyambut baik keputusan Duma Negara Rusia yang menghapus Taliban dari daftar kelompok teroris.

    Duma Negara Rusia menyetujui RUU dalam pembacaan pertama dari tiga pembacaan wajib untuk menghapus Taliban dari daftar kelompok terlarang.

    “Kementerian Luar Negeri Emirat Islam Afghanistan menyambut baik keputusan parlemen Federasi Rusia untuk menyetujui usulan yang bertujuan menghapus ‘Gerakan Taliban’, yang sebelumnya disebut sebagai Emirat Islam Afghanistan, dari daftar organisasi terlarang di Rusia,” kata juru bicara kementerian Taliban, Abdul Qahar Balkhi, dalam sebuah pernyataan yang diunggah di akun X miliknya pada Rabu (11/12/2024) malam.

    “Langkah ini merupakan perkembangan besar dan dimaksudkan untuk menghilangkan hambatan dalam meningkatkan hubungan bilateral antara Afghanistan dan Federasi Rusia,” tambah pernyataan itu.

    Senada dengan itu, Zabihullah Mujahid, juru bicara pemerintah sementara Afghanistan, mengatakan keputusan itu adalah langkah penting dalam meningkatkan hubungan bilateral antara Afghanistan dan Rusia.

    (Tribunnews.com/Yunita Rahmayanti)

  • Putin Tolak Temui Assad, Menlu Rusia: Kembalilah ke Suriah, Selesaikan Masalahmu Sendiri – Halaman all

    Putin Tolak Temui Assad, Menlu Rusia: Kembalilah ke Suriah, Selesaikan Masalahmu Sendiri – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Presiden Rusia Vladimir Putin dikabarkan menolak untuk bertemu dengan Presiden Suriah Bashar al-Assad setelah ia kabur ke Rusia.

    Kabar kaburnya keluarga Assad ke Rusia menyusul runtuhnya rezim Assad setelah oposisi merebut ibu kota Suriah, Damaskus pada 8 Desember lalu.

    Setelah kekuasaannya runtuh, Bashar al-Assad dikabarkan berupaya mencari bantuan kepada sekutunya, Rusia.

    “Pada hari ketiga peluncuran operasi ‘Pencegahan Agresi’ yang diluncurkan oleh faksi oposisi Suriah untuk menggulingkan Bashar al-Assad, tersebar informasi rezim itu tiba di Moskow untuk bertemu Putin dan meminta bantuannya dalam menghadapi faksi oposisi,” lapor Al Arab TV, mengutip laporan koresponden, Saad Khalaf, Kamis (12/12/2024).

    Namun, upaya tersebut ditolak oleh Putin dan hanya Menteri Luar Negeri Rusia, Sergei Lavrov, yang menemuinya.

    “Putin menolak menerima Assad. Menteri Luar Negeri Rusia yang menemuinya kemudian menolaknya,” kata sumber itu.

    Menurut laporan itu, Sergei Lavrov mengatakan, “Kembalilah dan selesaikan sendiri masalah Anda.”

    Sementara itu, juru bicara Kremlin Dmitry Peskov menekankan jika keluarga Assad mendapatkan suaka di Rusia maka itu adalah keputusan Putin.

    “Jika Rusia memberikan suaka kepada Assad dan keluarganya, ini akan menjadi keputusan yang diambil oleh Presiden Rusia Vladimir Putin,” kata Dmitry Peskov.

    “Tentu saja, keputusan serupa tidak dapat dibuat tanpa kepala negara, dan keputusan ini adalah keputusannya,” lanjutnya.

    Ia menegaskan tidak ada pertemuan antara Putin dan Assad yang dijadwalkan baru-baru ini.

    “Tidak ada pertemuan (yang diantisipasi antara Putin dan Assad) dalam agenda resmi presiden Rusia,” katanya.

    Sementara itu, Rusia yang mendukung rezim Assad sejak tahun 2015 untuk melawan oposisi, telah membangun sejumlah pangkalan militer di Suriah.

    Nasib pangkalan militer itu kini sedang dalam upaya perlindungan.

    “Keamanan kedua pangkalan itu sangat penting. Kami melakukan segala yang mungkin dan diperlukan untuk berkomunikasi dengan mereka yang dapat memberikan keamanan. Tentara kami juga mengambil tindakan pencegahan,” kata Dmitry Peskov.

    Sebelumnya, dikabarkan bahwa oposisi yang menggulingkan rezim Assad menjamin keamanan pangkalan militer Rusia dan lembaga diplomatik di Suriah.

    Runtuhnya Rezim Assad dalam Perang Saudara Suriah

    Rezim Assad yang berada di bawah Partai Baath runtuh pada 8 Desember 2024, setelah oposisi mengumumkan perebutan ibu kota Suriah, Damaskus.

    Sebelumnya, oposisi bersenjata Suriah yang terdiri dari banyak faksi, meluncurkan serangan pada 27 November 2024 di Idlib, hingga berhasil merebut kota Aleppo, Hama, Homs, dan Damaskus dalam waktu kurang dari dua minggu.

    Aliansi oposisi bersenjata, Hayat Tahrir al-Sham (HTS), yang dipimpin oleh Abu Muhammad Al-Julani mendeklarasikan runtuhnya rezim Assad melalui pidato di Damaskus pada Minggu (8/12/2024).

    Runtuhnya rezim Assad ini adalah buntut dari perang saudara yang berlangsung sejak tahun 2011.

    Iran mulai membantu rezim Assad pada tahun 2011 dan Rusia mulai terlibat pada tahun 2015.

    Pertempuran sempat meredup pada tahun 2020 setelah Rusia dan Turki menengahi perjanjian gencatan senjata antara rezim Assad dan oposisi di Idlib, sebelum meletus lagi pada 27 November lalu.

    Rezim Bashar al-Assad berkuasa sejak tahun 2000, setelah meneruskan kekuasaan ayahnya, Hafez al-Assad pada 1971-2000.

    (Tribunnews.com/Yunita Rahmayanti)

  • Menlu Iran Abbas Araghchi Serukan Persatuan Regional untuk Hentikan Serangan Israel ke Suriah – Halaman all

    Menlu Iran Abbas Araghchi Serukan Persatuan Regional untuk Hentikan Serangan Israel ke Suriah – Halaman all

    Menteri Luar Negeri Iran Abbas Araghchi menggarisbawahi perlunya persatuan regional dalam menghadapi agresi pendudukan Israel di Suriah.

    Tayang: Kamis, 12 Desember 2024 13:07 WIB

    AFP/JALAA MAREY

    Gambar ini menunjukkan pasukan militer Israel mengemudi di zona penyangga Suriah, dekat desa Druze Majdal Shams di Dataran Tinggi Golan yang dianeksasi Israel, pada 11 Desember 2024. – Setelah serangan kilat oleh pejuang pemberontak Islam menggulingkan presiden Bashar al-Assad , Israel, yang berbatasan dengan Suriah, mengirim pasukan ke zona penyangga di sebelah timur Dataran Tinggi Golan yang dianeksasi Israel, yang digambarkan oleh Menteri Luar Negeri Gideon Saar sebagai “langkah terbatas dan sementara” untuk “alasan keamanan”. (Photo by Jalaa MAREY / AFP) 

    Menlu Iran Abbas Araghchi Serukan Persatuan Regional untuk Hentikan Serangan Israel ke Suriah

    TRIBUNNEWS.COM- Menteri Luar Negeri Iran Abbas Araghchi menggarisbawahi perlunya persatuan regional dalam menghadapi agresi pendudukan Israel di Suriah.

    Menteri Luar Negeri Iran Abbas Araghchi menyoroti urgensi mobilisasi segera dan efektif negara-negara regional dan persatuan mereka untuk menghentikan agresi Israel dan penghancuran Suriah.

    Araghchi menyatakan bahwa rezim Israel telah berusaha menghancurkan hampir setiap infrastruktur pertahanan dan sipil di Suriah dan telah menduduki lebih jauh wilayah Suriah yang melanggar perjanjian pelepasan tahun 1974 dan Resolusi Dewan Keamanan PBB 350.

    Ia mengkritik Dewan Keamanan PBB karena gagal bertindak tegas, dengan mengatakan, 
    “Dewan Keamanan PBB—yang memiliki tanggung jawab utama untuk menghentikan agresi yang melanggar hukum—dipersempit menjadi pengamat yang diborgol karena hambatan yang dilakukan AS.”

    Araghchi menekankan bahwa tetangga Suriah, serta dunia Arab dan Muslim dan bahkan setiap negara anggota PBB yang peduli terhadap supremasi hukum, prinsip-prinsip dasar Piagam PBB dan hukum internasional, tidak dapat bersikap acuh tak acuh.

    SUMBER: AL MAYADEEN

    “);
    $(“#latestul”).append(“”);
    $(“.loading”).show();
    var newlast = getLast;
    $.getJSON(“https://api.tribunnews.com/ajax/latest_section/?callback=?”, {start: newlast,section:’15’,img:’thumb2′}, function(data) {
    $.each(data.posts, function(key, val) {
    if(val.title){
    newlast = newlast + 1;
    if(val.video) {
    var vthumb = “”;
    var vtitle = ” “;
    }
    else
    {
    var vthumb = “”;
    var vtitle = “”;
    }
    if(val.thumb) {
    var img = “”+vthumb+””;
    var milatest = “mr140”;
    }
    else {
    var img = “”;
    var milatest = “”;
    }
    if(val.subtitle) subtitle = “”+val.subtitle+””;
    else subtitle=””;
    if(val.c_url) cat = “”+val.c_title+””;
    else cat=””;

    $(“#latestul”).append(“”+img+””);
    }
    else{
    $(“#latestul”).append(‘Tampilkan lainnya’);
    $(“#test3”).val(“Done”);
    return false;
    }
    });
    $(“.loading”).remove();
    });
    }
    else if (getLast > 150) {
    if ($(“#ltldmr”).length == 0){
    $(“#latestul”).append(‘Tampilkan lainnya’);
    }
    }
    }
    });
    });

    function loadmore(){
    if ($(“#ltldmr”).length > 0) $(“#ltldmr”).remove();
    var getLast = parseInt($(“#latestul > li:last-child”).attr(“data-sort”));
    $(“#latestul”).append(“”);
    $(“.loading”).show();
    var newlast = getLast ;
    if($(“#test3”).val() == ‘Done’){
    newlast=0;
    $.getJSON(“https://api.tribunnews.com/ajax/latest”, function(data) {
    $.each(data.posts, function(key, val) {
    if(val.title){
    newlast = newlast + 1;
    if(val.video) {
    var vthumb = “”;
    var vtitle = ” “;
    }
    else
    {
    var vthumb = “”;
    var vtitle = “”;
    }
    if(val.thumb) {
    var img = “”+vthumb+””;
    var milatest = “mr140”;
    }
    else {
    var img = “”;
    var milatest = “”;
    }
    if(val.subtitle) subtitle = “”+val.subtitle+””;
    else subtitle=””;
    if(val.c_url) cat = “”+val.c_title+””;
    else cat=””;
    $(“#latestul”).append(“”+img+””);
    }else{
    return false;
    }
    });
    $(“.loading”).remove();
    });
    }
    else{
    $.getJSON(“https://api.tribunnews.com/ajax/latest_section/?callback=?”, {start: newlast,section:sectionid,img:’thumb2′,total:’40’}, function(data) {
    $.each(data.posts, function(key, val) {
    if(val.title){
    newlast = newlast+1;
    if(val.video) {
    var vthumb = “”;
    var vtitle = ” “;
    }
    else
    {
    var vthumb = “”;
    var vtitle = “”;
    }
    if(val.thumb) {
    var img = “”+vthumb+””;
    var milatest = “mr140”;
    }
    else {
    var img = “”;
    var milatest = “”;
    }
    if(val.subtitle) subtitle = “”+val.subtitle+””;
    else subtitle=””;

    $(“#latestul”).append(“”+img+””);
    }else{
    return false;
    }
    });
    $(“.loading”).remove();
    });
    }
    }

    Berita Terkini

  • Israel Babat Kemampuan Militer Suriah, Luncurkan 350 Serangan dalam 48 Jam – Halaman all

    Israel Babat Kemampuan Militer Suriah, Luncurkan 350 Serangan dalam 48 Jam – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Pada Selasa (10/12/2024), sebuah laporan mengejutkan datang dari lembaga pemantau perang oposisi Suriah.

    Israel membabat kemampuan militer Suriah dengan meluncurkan lebih dari 350 serangan udara dalam rentang waktu 48 jam, BBC melaporkan.

    Serangan tersebut mengakibatkan kehancuran signifikan di seluruh Suriah.

    “Angkatan Laut Suriah telah hancur total akibat serangan tersebut,” kata Menteri Pertahanan Israel, Israel Katz.

    Serangan ini dilakukan dengan tujuan untuk mencegah jatuhnya senjata strategis ke tangan pihak oposisi yang ingin menggulingkan rezim Bashar Assad.

    Dalam rangka menjaga stabilitas dan keamanan, Israel mengeklaim bahwa serangan ini dilakukan untuk menghancurkan stok senjata yang ada di Suriah.

    Hal ini juga sebagai respons terhadap ancaman militan Hizbullah yang beroperasi di wilayah perbatasan Suriah-Lebanon.

    Menurut pejabat militer Israel, sasaran serangan termasuk sistem pertahanan udara, depot rudal, serta lokasi produksi senjata di Damaskus dan kota-kota lainnya.

    Rudal Israel menyerang dua fasilitas angkatan laut di Suriah, menghancurkan setidaknya enam kapal rudal era Soviet.

    Meskipun rincian lengkap tidak diumumkan, aksi ini menegaskan niat Israel untuk tidak membiarkan musuh-musuhnya memiliki akses terhadap kemampuan militer yang memadai.

    Reaksi Internasional

    Serangan Israel ini tidak lepas dari perhatian internasional.

    Mesir, Yordania, dan Arab Saudi mengutuk aksi tersebut, menyebutnya sebagai eksploitasi terhadap kekacauan di Suriah dan pelanggaran hukum internasional.

    Sementara itu, PBB juga meminta Israel dan Suriah untuk menghormati perjanjian pelepasan yang telah ada sejak 1974.

    Walaupun kehidupan di Suriah menunjukkan tanda-tanda normalisasi, laporan tentang pencurian bantuan kemanusiaan masih terus bermunculan.

    Situasi ini menunjukkan bahwa meskipun rezim lama telah runtuh, tantangan untuk membangun kembali negara masih sangat besar.

    Kehidupan di Suriah Pasca Serangan

    Di tengah gejolak yang terjadi, masyarakat Suriah perlahan-lahan menemukan harapan baru setelah penggulingan rezim Assad.

    Kehidupan di Damaskus mulai kembali normal, dengan bank-bank dan toko-toko dibuka kembali.

    Kota Damaskus kini dipenuhi dengan semangat baru.

    Banyak warga yang merayakan kejatuhan rezim Assad, berharap untuk mengakhiri praktik suap yang selama ini membebani mereka.

    Pengungsi Suriah Balik Kampung

    Baru-baru ini, Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan mengumumkan bahwa negaranya akan membuka perbatasan baru bagi pengungsi Suriah yang ingin kembali ke tanah air mereka.

    Pengumuman ini memicu banyak warga Suriah berbondong-bondong menuju penyeberangan perbatasan, berusaha untuk pulang, Al Jazeera melaporkan.

    Pemandangan di perbatasan saat ini menunjukkan perubahan yang signifikan dibandingkan beberapa tahun lalu.

    Sebelumnya, antrean panjang orang-orang terlihat melarikan diri dari Suriah menuju Turki.

    Namun, kini untuk pertama kalinya, mereka tampak ingin pulang.

    Menurut pengamatan di lapangan, pemerintah Turki berupaya memfasilitasi kepulangan pengungsi dengan menambah jumlah titik perbatasan.

    Hal ini memungkinkan pengungsi untuk diperiksa dan diizinkan masuk kembali dengan lebih mudah.

    Dengan dibukanya penyeberangan perbatasan baru, semakin banyak pengungsi merasa memiliki kesempatan untuk kembali ke rumah mereka.

    Langkah ini tentu membawa harapan baru bagi banyak pengungsi Suriah yang telah lama berada di Turki.

    lihat foto
    Anggota masyarakat Suriah meneriakkan slogan-slogan saat berkumpul di Lapangan Syntagma di Athena untuk merayakan berakhirnya rezim diktator Suriah Bashar al-Assad setelah pejuang pemberontak menguasai ibu kota Suriah, Damaskus, pada malam hari, 8 Desember 2024. – Pemberontak yang dipimpin kaum Islamis menggulingkan penguasa lama Suriah, Bashar al-Assad, dalam serangan kilat yang disebut utusan PBB sebagai “momen penting” bagi negara yang dirusak oleh perang saudara. (Photo by Angelos TZORTZINIS / AFP)

    Kembalinya mereka ke tanah air setelah bertahun-tahun dapat memberikan kesempatan untuk memulai hidup baru di kampung halaman.

    Namun, meskipun banyak yang ingin kembali, tantangan tetap ada.

    Keamanan, stabilitas, dan kondisi di Suriah masih menjadi pertimbangan utama bagi mereka yang ingin pulang.

    Keputusan untuk kembali bukanlah hal yang sepele, dan setiap pengungsi tentu memiliki pertimbangan yang mendalam mengenai langkah ini.

    (Tribunnews.com, Andari Wulan Nugrahani)

  • KBRI Damaskus Evakuasi 37 WNI dari Suriah

    KBRI Damaskus Evakuasi 37 WNI dari Suriah

    loading…

    Kelompok pemberontak Suriah menggulingkan pemerintahan Bashar al-Assad. Foto/X @MiddleEastEye

    JAKARTA – Sebanyak 37 Warga Negara Indonesia (WNI) dievakuasi dari Suriah . Evakuasi tersebut dilakukan sejak Selasa, 10 Desember 2024.

    “Sebagai bagian dari upaya perlindungan WNI dalam situasi Suriah saat ini, KBRI Damaskus melaksanakan evakuasi gelombang pertama sebanyak 37 orang WNI dari Suriah,” bunyi keterangan tertulis KBRI Damaskus melalui akun Instagram @indonesiadamascus dilihat Kamis (12/12/2024).

    Para WNI yang dilakukan evakuasi tersebut dijadwalkan tiba di Jakarta pada hari ini. “Rombongan akan singgah di Beirut sebelum melanjutkan penerbangan ke Indonesia pada Rabu 11 Desember 2024. Rombongan dijadwalkan tiba di Jakarta pada tanggal 12 Desember 2024,” ujar Dubes RI untuk Suriah, Wajid Fauzi saat proses evakuasi itu.

    Sebelumnya, Kementerian Luar Negeri (Kemlu) menyoroti perang yang terjadi di Suriah. Dalam keterangannya, Kemlu meminta seluruh pihak yang terlibat perang untuk melindungi warga sipil.

    “Indonesia menyerukan kepada semua pihak untuk menjamin perlindungan warga sipil sesuai dengan hukum internasional, terutama Hukum Humaniter Internasional dan Hukum HAM Internasional,” demikian keterangan yang disampaikan Kementerian Luar Negeri melalui akun X-nya pada Senin, 9 Desember 2024.

    Kemlu menyebutkan Indonesia mengikuti secara seksama perkembangan di Suriah dan mengkhawatirkan pengaruhnya terhadap keamanan regional serta dampak kemanusiaan yang ditimbulkan.

    “Krisis di Suriah hanya dapat diselesaikan melalui suatu proses transisi yang inklusif, demokratis, dan damai yang mengedepankan kepentingan dan keselamatan rakyat Suriah yang tetap menjaga kedaulatan, kemerdekaan, dan keutuhan wilayah Suriah,” ujarnya.

    Terkait kondisi WNI di Suriah, Kemlu menuturkan KBRI Damaskus telah menyiapkan semua langkah yang dinilai perlu untuk memastikan keselamatan WNI.

    “KBRI Damaskus telah mengambil semua langkah yang dipandang perlu untuk memastikan keselamatan WNI, termasuk mempersiapkan kemungkinan evakuasi ke tempat yang lebih aman, jika situasi keamanan memburuk,” jelas dia.

    Sebelumnya, Oposisi atau pemberontak Suriah pada hari Minggu, 8 Desember 2024 mengumumkan rezim pemerintahan Presiden Bashar al-Assad sudah berakhir. Ini menandai kegagalan Rusia dan Iran dalam menyokong sekutu mereka.

    (cip)

  • Alasan Konflik Suriah Bisa Rugikan Iran dan Rusia, Penerus Bashar al-Assad Jadi Kunci – Halaman all

    Alasan Konflik Suriah Bisa Rugikan Iran dan Rusia, Penerus Bashar al-Assad Jadi Kunci – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Konflik di Suriah yang berhasil menggulingkan rezim Bashar al-Assad justru bisa menjadi kerugian Iran dan Rusia. Mengapa demikian?

    Pengamat dunia Internasional sekaligus Kepala Program Studi Magister Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Ahmad Sahide menyebut Iran dan Rusia menjadi dua pihak yang dirugikan atas berakhirnya rezim Bashar al-Assad.

    Ahmad mengatakan, sejak 1979 terdapat dua kubu yang membangun kekuatan politik di Suriah.

    “Satu kubu dipimpin oleh Iran, dan itu di sana ada Suriah dulu, ada Libya, Hamas, dan Hizbullah.”

    “Kemudian ada kubu yang dipimpin oleh Arab Saudi yang itu tentu pro dengan Amerika Serikat dan Israel,” ungkap Ahmad Sahide dalam talkshow Overview Tribunnews, Rabu (11/12/2024).

    Suriah, lanjut Ahmad, merupakan negara mayoritas Sunni yang dipimpin oleh kelompok Syiah.

    “Itulah yang membuat Suriah dengan Iran mudah untuk membangun aliansi politik karena di Iran kita tahu mayoritas Syiah kurang lebih 90 persen.”

    “Tetapi uniknya di Suriah Bashar al-Assad mampu membangun dan mempertahankan rezimnya sekian lama,” ujarnya.

    Setelah Bashar al-Assad jatuh, Ahmad menyebut yang menjadi pertanyaan adalah siapa yang akan akan menjadi pemimpin Suriah berikutnya?

    “Apakah kemudian dari kelompok Sunni? Nah kalau kemudian dari kelompok Sunni nantinya yang berkuasa memberi ruang itu tentu akan menjadi kerugian bagi Iran,” ungkapnya.

    Bagaimana dengan Rusia?

    Ahmad Sahide mengungkapkan, apabila kelompok Sunni yang menjadi pemimpin Suriah dan tidak pro dengan Rusia, maka itu akan merugikan kepentingan negara yang dipimpin Vladimir Putin itu.

    “Kita tahu bahwa dari Suriah ke Rusia itu kan ada pipa minyak di bawah laut, nah itu pasti akan terganggu kalau kemudian rezim yang berkuasa nantinya itu tidak pro dengan dengan Rusia.”

    “Maka kemarin kan Putin mengatakan ya, jangan sampai kemudian kepentingan Rusia itu diganggu dengan adanya dinamika politik yang terjadi di Suriah,” ungkapnya.

    “Nah ke depannya tentu pertanyaannya adalah siapa yang akan menjadi menjadi pemimpin Suriah berikutnya, apakah kelompok yang pro dengan Iran dan Rusia atau kemudian yang pro dengan Amerika Serikat,” ujar Ahmad Sahide.

    Diketahui sebelumnya, Pada 8 Desember 2024, rezim Bashar al-Assad runtuh setelah pasukan oposisi berhasil merebut ibu kota, Damaskus.

    Serangan kilat ini dimulai pada akhir November 2024, dipimpin oleh Hayat Tahrir al-Sham (HTS) dan didukung oleh kelompok pemberontak lainnya.

    Mereka berhasil menguasai kota-kota penting seperti Aleppo, Hama, dan Homs sebelum akhirnya mencapai Damaskus.

    Setelah itu, Bashar al-Assad meninggalkan Suriah menuju Rusia.

    (Tribunnews.com/Gilang Putranto)