Tag: Bashar al-Assad

  • Israel Serang Suriah Selatan, 4 Orang Tewas

    Israel Serang Suriah Selatan, 4 Orang Tewas

    Damaskus

    Militer Israel melakukan penyerang ke wilayah Suriah Selatan. Sebanyak empat orang dilaporkan tewas akibat serangan tersebut.

    Dilansir AFP, Rabu (27/8/2025), Israel terus menyerang para pemimpin baru negara itu bahkan di tengah upaya perundingan. Israel telah melancarkan ratusan serangan di Suriah sejak aliansi yang dipimpin kelompok Islamis menggulingkan penguasa lama Bashar al-Assad pada bulan Desember.

    “Tiga tentara tewas dalam serangan di dekat Damaskus,” kata seorang pejabat di Kementerian Pertahanan kepada AFP.

    “Sebuah pesawat nirawak Israel menargetkan salah satu bangunan militer divisi ke-44 tentara Suriah di Kiswah, sebelah barat Damaskus, menewaskan tiga anggota divisi tersebut,” kata pejabat tersebut, yang berbicara dengan syarat anonim.

    Sebelumnya pada hari itu, kantor berita resmi SANA melaporkan bahwa “seorang pemuda tewas dalam serangan Israel di sebuah rumah di desa Taranja”, di sisi garis gencatan senjata yang sebelumnya dikuasai Suriah di Dataran Tinggi Golan.

    Suriah pun mengutuk serangan Israel. “Serangan Israel baru-baru ini mengakibatkan gugurnya seorang pemuda”, kata Kementerian Luar Negeri Suriah.

    Suriah juga mengutuk serangan pasukan Israel ke sebuah kota di pedesaan Quneitra, “kampanye penangkapan mereka terhadap warga sipil”, dan “pengumuman mereka tentang kelanjutan kehadiran ilegal mereka di puncak Gunung Hermon dan zona penyangga”.

    “Praktik-praktik agresif ini merupakan pelanggaran berat terhadap Piagam PBB, hukum internasional, dan resolusi Dewan Keamanan yang relevan, serta merupakan ancaman langsung terhadap perdamaian dan keamanan di kawasan tersebut”.

    Militer Israel mengatakan pada hari Minggu bahwa mereka telah melakukan “beberapa kegiatan pekan lalu di Suriah selatan untuk menemukan senjata dan menangkap tersangka”.

    Kementerian Luar Negeri Saudi mengatakan serangan Israel merupakan “pelanggaran mencolok terhadap kedaulatan Republik Arab Suriah dan hukum internasional”.

    Kementerian Luar Negeri Qatar menyerukan “masyarakat internasional untuk mengambil tindakan tegas terhadap pendudukan Israel dan memaksanya menghentikan serangan berulang kali di wilayah Suriah”.

    Halaman 2 dari 2

    (maa/maa)

  • Amerika Tetapkan Tarif Impor dari Indonesia 19%, Menko Airlangga: Ketidakpastian Menurun

    Amerika Tetapkan Tarif Impor dari Indonesia 19%, Menko Airlangga: Ketidakpastian Menurun

    Bisnis.com, JAKARTA – Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menilai pengumuman tarif impor terbaru yang dikeluarkan Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump pada Kamis (31/7/2025).

    Sebagai informasi, pada pengumuman tersebut AS resmi akan mengenakan tarif impor untuk produk Indonesia sebesar 19%, sesuai kesepakatan dagang yang telah dicapai kedua negara. Tarif tersebut akan mulai berlaku pada 7 Agustus 2025 mendatang.

    Airlangga menjelaskan, kebijakan tarif Trum menimbulkan ketidakpastian sekaligus ketidakstabilan kondisi perekonomian dunia. 

    Meski demikian, pengumuman tarif terbaru Trump terhadap 92 negara, termasuk di kawasan Asia Tenggara seperti Indonesia dan VIetnam, dinilai dapat menurunkan ketidakpastian tersebut

    “Angka-angka kita memang belum ideal, tetapi setidaknya ketidakpastian soal tarif kini sudah bisa kita tinggalkan. Sehingga kita bisa melangkah maju menghadapi situasi ini,” jelas Airlangga dalam IVFA Members’ Gathering & Forum di Jakarta pada Jumat (1/8/2025).

    Airlangga melanjutkan Indonesia masih mampu menjaga kestabilan ekonomi di tengah Volatilitas global. Dia mencontohkan, produk domestik bruto (PDB) Indonesia pada kuartal I/2025 berada di kisaran 4,87%. 

    Sementara itu, laju inflasi juga masih terjaga pada kisaran 2,3% per Juli 2025. Menurutnya, laju inflasi tersebut menunjukkan bahwa permintaan mulai kembali ke pasar.

    Selain itu, Indonesia mencatat surplus neraca perdagangan sebesar US$3,3 miliar per Juli 2025. Sementara itu, peringkat utang Indonesia oleh S&P juga tetap stabil di level BBB

    Sebelumnya, Presiden AS Donald Trump mengumumkan rencana revisi tarif global dan menjadikan Suriah sebagai negara dengan pungutan terbesar, yakni 41%. Sementara itu, Laos dan Myanmar dikenakan bea masuk sebesar 40%. 

    Gedung Putih belum memberikan penjelasan terkait alasan kebijakan tersebut, sementara nilai perdagangan AS dengan ketiga negara itu relatif kecil dibandingkan mitra dagang utamanya.

    Melansir Bloomberg pada Jumat (1/8/2025) Myanmar hingga kini masih berada di bawah sanksi AS sejak kudeta militer pada 2021. Sementara itu, Laos mendapat sorotan Washington karena mempererat hubungan dengan China.  

    Adapun, Suriah sebelumnya dikenai sanksi atas pelanggaran HAM di bawah rezim Bashar Al-Assad. Pada saat yang sama, sejak penggulingan Assad tahun lalu, AS mulai melonggarkan pembatasan tersebut.

  • Trump Umumkan Tarif Impor Tertinggi ke AS, Suriah jadi 41%, Myanmar, dan Laos dapat 40%

    Trump Umumkan Tarif Impor Tertinggi ke AS, Suriah jadi 41%, Myanmar, dan Laos dapat 40%

    Bisnis.com, JAKARTA — Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengumumkan rencana revisi tarif global dan menjadikan Suriah sebagai negara dengan pungutan terbesar, yakni 41%. Sementara itu, Laos dan Myanmar dikenakan bea masuk sebesar 40%.

    Gedung Putih belum memberikan penjelasan terkait alasan kebijakan tersebut, sementara nilai perdagangan AS dengan ketiga negara itu relatif kecil dibandingkan mitra dagang utamanya.

    Melansir Bloomberg pada Jumat (1/8/2025) Myanmar hingga kini masih berada di bawah sanksi AS sejak kudeta militer pada 2021. Sementara itu, Laos mendapat sorotan Washington karena mempererat hubungan dengan China. 

    Adapun, Suriah sebelumnya dikenai sanksi atas pelanggaran HAM di bawah rezim Bashar Al-Assad. Pada saat yang sama, sejak penggulingan Assad tahun lalu, AS mulai melonggarkan pembatasan tersebut.

    Bagi Myanmar, perdagangan dengan AS tercatat mencapai US$734 juta tahun lalu. Namun, tarif baru ini diperkirakan semakin memperburuk krisis ekonomi yang dimulai sejak Jenderal Min Aung Hlaing merebut kekuasaan lebih dari empat tahun lalu. Washington menuding junta menggunakan kekerasan terhadap warga sipil dan menekan aktivis prodemokrasi.

    Pengumuman tarif ini muncul hanya sehari setelah junta Myanmar mencabut status darurat, membuka jalan bagi pemilu yang dijadwalkan akhir tahun ini. Namun, AS dan sejumlah negara lain menilai pemilu tersebut tidak akan berlangsung bebas dan adil.

    Dalam surat langka bulan lalu, Min Aung Hlaing memuji Trump dan membandingkan kudeta militernya dengan klaim tidak berdasar Trump soal kecurangan pemilu, menyebut keduanya sebagai korban pemilu yang dicurangi. 

    Dia juga meminta pengurangan tarif dan menawarkan untuk mengirim delegasi dagang tingkat tinggi ke Washington.

    Wakil Menteri Perdagangan Myanmar Min Min mengatakan melalui sambungan telepon bahwa pemerintah belum mengetahui perkembangan tersebut dan menolak memberikan komentar.

    Sementara itu, nilai ekspor AS ke Laos mencapai US$40,4 juta tahun lalu, sedangkan impor dari Laos sebesar US$803,3 juta. Washington menyoroti ketergantungan ekonomi Laos terhadap China serta utang yang terus meningkat terkait proyek infrastruktur Tiongkok.

    Di sisi lain, Trump baru-baru ini menandatangani perintah eksekutif untuk melonggarkan sanksi terhadap Suriah guna mendukung pembangunan kembali negara yang dilanda perang serta menopang pemerintahan barunya.

    Menurut pengamat, tingginya tarif mungkin dipicu alasan sederhana.

    “Bukan berarti Washington sengaja menyasar tiga negara ini. Kemungkinan, keterbatasan kapasitas di DC membuat pejabat lebih fokus pada negara-negara besar,” ujar Simon Evenett, pendiri St. Gallen Endowment for Prosperity Through Trade, lembaga asal Swiss yang memantau kebijakan perdagangan global.

  • Ledakan Guncang Gudang Senjata Suriah, 12 Orang Tewas-100 Luka

    Ledakan Guncang Gudang Senjata Suriah, 12 Orang Tewas-100 Luka

    Damaskus

    Serangkaian ledakan mengguncang sebuah gudang senjata di wilayah Suriah bagian barat laut. Sedikitnya 12 orang tewas akibat ledakan-ledakan ini, dengan lebih dari 100 orang lainnya mengalami luka-luka.

    Ledakan mematikan ini, seperti dilansir AFP, Jumat (25/7/2025), terjadi di area Maaret Misrin yang ada di Provinsi Idlib pada Kamis (24/7) waktu setempat. Penyebab ledakan ini belum diketahui secara jelas.

    “Beberapa ledakan di gudang senjata dan amunisi milik Partai Islam Turkistan (TIP) menewaskan sedikitnya 12 orang dan melukai lebih dari 100 orang lainnya di Maaret Misrin, di Provinsi Idlib bagian utara,” sebut kelompok pemantau konflik Suriah, Syrian Observatory for Human Rights, dalam laporannya.

    Para korban tewas akibat ledakan itu termasuk seorang wanita dan seorang anak.

    TIP merupakan kelompok jihadis yang aktif di wilayah Idlib, yang terdiri atas para petempur Uighur yang bergabung dalam perang sipil Suriah untuk melawan rezim mantan Presiden Bashar al-Assad.

    Kementerian Kesehatan Suriah, berdasarkan data yang dipublikasikan oleh kantor berita SANA, melaporkan sedikitnya tujuh orang tewas dan sebanyak 157 orang lainnya mengalami luka-luka akibat ledakan tersebut.

    Sejumlah gambar yang diambil AFP menunjukkan kepulan asap putih tebal menjulang di atas kota, dengan beberapa anak terlihat di antara korban luka.

    Otoritas Suriah belum mengungkapkan kemungkinan penyebab ledakan mematikan tersebut.

    Kementerian Dalam Negeri Suriah, dalam pernyataannya, mengatakan pihaknya telah meluncurkan “investigasi yang mendesak dan mendalam untuk menentukan keadaan dan penyebab ledakan serta meminta pertanggungjawaban pihak-pihak yang bertanggung jawab”.

    Ditambahkan oleh Kementerian Dalam Negeri Suriah bahwa mereka “mengambil semua langkah yang diperlukan untuk mencegah insiden serupa terulang di masa mendatang”.

    Tonton juga video “AS Bantah Ikut Terlibat dalam Serangan Israel ke Suriah” di sini:

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/ita)

  • Suriah Membara, Tekanan Memuncak pada Presiden Ahmed al-Sharaa

    Suriah Membara, Tekanan Memuncak pada Presiden Ahmed al-Sharaa

    Damaskus

    Gencatan senjata di Suweida bertahan, tetapi konflik antara para aktor jauh dari terselesaikan. Kantor Berita Suriah SANA melaporkan, sebagai tindakan pencegahan, otoritas Suriah sejak hari Minggu (20/07) mulai mengevakuasi banyak keluarga kelompok sosial-budaya Badawi (Badui atau Badouine).

    Dengan demikian, ada 1.500 orang yang dievakuasi dengan bus dan kendaraan lain dari kota-kota di selatan Suriah.

    Sejak konflik berdarah antara kelompok etnoreligius Druze (Drusian) dan Badui di Suweida pecah hampir sepuluh hari yang lalu, sudah sekitar 1250 orang tewas terbunuh.

    Demikian informasi menurut Pusat Pengamatan Suriah untuk Hak Asasi Manusia (Observatorium Suriah untuk Hak Asasi Manusia, SOHR). Informasi tersebut tidak dapat diverifikasi, tetapi angka dari SOHR -lembaga yang didirikan pada awal Perang Sipil Suriah di London itu, umumnya dapat diandalkan.

    SOHR merinci, ada lebih dari 600 penduduk Provinsi al-Suwaida di terenggut nyawanya. 194 orang dieksekusi oleh pasukan dari Kementerian Pertahanan dan Interior dalam Prosedur Cepat Suriah.

    Selain itu, lebih dari 400 anggota pasukan pemerintah dan 23 orang Badui terbunuh. Tiga warga sipil Badui dikatakan telah dieksekusi oleh pejuang Drusian, lanjut SOHR.

    Kekerasan fatal menghimpit pemimpin politik sementara negara itu, Ahmed al-Sharaa. Tugasnya yang paling mendesak: Mengakhiri kekerasan secara permanen di Suweida – dan juga negara secara keseluruhan.

    Alawi dan Assad

    Keluarga bekas pemimpin Suriah Bashar al-Assadjuga berasal dari jajaran komunitas Alawi. Banyak warga Alawi yang dianggap sebagai pendukung rezim yang tumbang tersebut. Laporan investigasi yang diumumkan oleh pemerintah tentang insiden Maret lalu, masih dapat ditemukan hari ini.

    Al-Sharaa menghadapi tantangan besar, kata pakar Timur Tengah dan penasihat politik Carsten Wieland dalam wawancara dengan DW. Peristiwa-peristiwa beberapa minggu dan bulan terakhir telah melemahkan klaimnya sebagai presiden untuk semua warga Suriah tanpa terkecuali, serta usahanya untuk menciptakan Suriah yang bersatu dan mencakup semua kelompok masyarakat.

    Tidak di bawah kendali pasukan keamanan?

    “Pada banyaknya warga Suriah tumbuh skeptisisme terhadap negara yang tampaknya tidak bisa mengendalikan pasukan keamanannya sendiri. Semakin penting bahwa laporan investigasi kekerasan terhadap komunitas Alawi segera diumumkan,” ujarnya lebih lanjut.

    Ditambahkannya: “Sangat penting bahwa secara publik dijelaskan siapa yang bertanggung jawab atas apa yang terjadi dan juga dimintai pertanggungjawaban.”

    Semua ini harus dilakukan dengan cepat, ujar Ronja Herrschner, seorang ilmuwan politik di Universitas Tbingen. Suriah masih memiliki jalan panjang, papar Herrschner ke DW.

    “Namun, saya dengar bahwa meskipun banyak kekurangan, Al-Sharaa masih tetap dihormati di kalangan Sunni. Karena dia masih dipandang sebagai pembebas Suriah dari rezim Assad. Oleh sebab itu, dia masih memiliki kepercayaan lebih di antara kaum Sunni. Namun, hal ini tidak selalu berlaku bagi kelompok minoritas,” imbuhnya.

    Tekanan dari dua arah

    Pada saat yang bersamaan, kedua belah pihak juga memberi tekanan terhadap pemerintah. Demikian menurut komentar dari surat kabar berbahasa Arab Sharq al-Awsat. Kelompok pertama terdiri dari mantan pendukung rezim Assad yang jatuh, kekuatan yang terhubung dengan Iran serta kelompok kriminal, terutama dari bidang perdagangan narkoba.

    Kelompok kedua berasal dari lingkaran dalam rezim dan secara aktif memanaskan krisis. Kelompok ini terutama merupakan kekuatan yang termotivasi secara jihadis bahwa pemerintah dapat berkonfrontasi dengan kelompok-kelompok lokal, tambah laporan surat kabar itu. Sehingga pada gilirannya dapat mengundang aktor asing untuk memicu perang saudara baru di Suriah.

    Carsten Wieland mengatakan bahwa basis kekuasaan al-Sharaa sebenarnya tipis. Hanya ada sedikit tenaga profesional yang berada di bawah kendalinya. Sebaliknya, ada proporsi besar milisi muda yang sudah terradikalisasi, yang berpikiran sektarian atau salafi, dan menjadi ekstremis akibat perang saudara.

    “Kelompok ini merupakan bagian berbahaya dari generasi muda tersebut. Mereka membentuk realitas politik saat ini. Pertanyaannya adalah bagaimana al-Sharaa bisa menyingkirkan kelompok ini tanpa dirinya sendiri menjadi korban,” tegasnya.

    Belum lagi ada pula jihadis asing dalam konflik itu, lanjut Wieland. Mereka juga tidak berada di bawah kontrol al-Sharaa. “Terakhir, ada pula sebagian dari Badui Sunni, yaitu pejuang yang ingin membalas dendam terhadap kelompok minoritas. Al-Sharaa juga harus segera mengendalikan mereka.”

    Dukungan dari mancanegara

    Meski begitu, Amerika Serikat dan beberapa negara Teluk — terutama Arab Saudi dan Uni Emirat Arab — masih terus mendukung al-Sharaa, jelas Ronja Herrschner.

    “AS ingin menarik pasukannya dari Suriah dalam jangka menengah. Syarat utamanya tentu agar negara itu tetap stabil secara politik.”

    Saat ini, Amerika Serikat yang paling percaya bahwa al-Sharaa mampu menjamin hal itu. Oleh karena itu, mereka tetap mendukungnya.

    “Hal yang sama juga berlaku pula bagi negara-negara Teluk,” lanjut Herrschner. “Mereka tentu juga menginginkan stabilitas di Suriah, dan karena itu mereka juga mendukung al-Sharaa.”

    Pandangan serupa diungkapkan Carsten Wieland. Bagi negara-negara Teluk, sama seperti AS, tujuan mereka adalah menjaga Suriah sebagai negara yang stabil dan bersatu, serta mencegah perang proksi sebisa mungkin.

    “Namun, Israel tampaknya memiliki tujuan sebaliknya, yaitu memecah-belah sebagian penduduk untuk melemahkan negara,” ujar Carsten Wieland.

    “Hal ini harus menjadi alarm bagi kawasan yang sering mengalami keruntuhan negara dan perang saudara,” tambahnya.

    Karena itu, AS juga menentang tindakan Israel di Suriah.

    Baru-baru ini, Israel ikut campur dengan berposisi di pihak komunitas Druze dalam kekerasan di sekitar Suwaida. Namun kemudian mencapai kesepakatan gencatan senjata dengan pemerintah Suriah.

    Keruntuhan negara bukanlah kepentingan AS — begitu pula Eropa, pungkas Wieland. “Karena saat ini tidak ada negara yang melihat alternatif lain selain al-Sharaa.”

    Latar belakang konflik

    Perang di Suriah bermula pada tahun 2011 dengan protes damai menuntut agar Presiden Bashar al-Assad turun dari kekuasaan. Namun, pemerintahannya menolak dan membalas dengan keras, sehingga protes berubah menjadi perang saudara yang berkepanjangan.

    Setelah bertahun-tahun konflik, rezim Bashar akhirnya tumbang, tetapi Suriah tidak langsung damai. Berbagai kelompok bersenjata seperti pemberontak Sunni, milisi Kurdi, kelompok Alawi, dan ekstremis seperti Islamic State- ISIS mulai berperang satu sama lain untuk menguasai wilayah dan memperebutkan kekuasaan.

    Konflik ini semakin rumit karena dukungan berbagai negara asing yang mendukung pihak berbeda-beda, membuat perang di Suriah sulit diselesaikan dan menyebabkan penderitaan besar bagi rakyatnya.

    Artikel ini terbit pertama kali dalam bahasa Inggris

    Diadaptasi oleh Ayu Purwaningsih

    Editor: Rizki Nugraha

    (nvc/nvc)

  • Siapa Druze dan Mengapa Israel Menyerang Suriah?

    Siapa Druze dan Mengapa Israel Menyerang Suriah?

    Jakarta

    Gelombang aksi kekerasan SARA yang baru-baru ini berlangsung di Suriah menyoroti kerapuhan negara tersebut.

    Pada Minggu, 13 Juli, kabar mengenai penculikan seorang pedagang dari kelompok minoritas Druze memicu bentrokan mematikan selama berhari-hari antara milisi Druze dan suku Badui yang beragama Islam Sunni di Suriah selatan.

    Kemudian pada Selasa, 15 Juli, Israel menyerang pasukan propemerintah yang dituduh menyerang komunitas Druze di Suweida. Setidaknya 350 orang dilaporkan tewas di Suweida sejak Minggu (13/07), menurut Observatorium Suriah untuk Hak Asasi Manusia.

    Kekerasan ini merupakan yang pertama di Suweida yang mayoritas penduduknya Druze sejak pertempuran pada April dan Mei antara pejuang Druze dan pasukan keamanan Suriah.

    Sebelumnya, bentrokan di provinsi-provinsi pesisir Suriah pada Maret lalu dikabarkan telah menewaskan ratusan anggota komunitas minoritas Alawi. Mantan penguasa Bashar al-Assad berasal dari komunitas tersebut.

    Pertikaian yang mematikan ini, ditambah dengan serangan udara Israel, telah memicu kembali kekhawatiran soal gangguan keamanan di Suriah setelah pengambilalihan Damaskus oleh kelompok pemberontak pada Desember 2024.

    Pemimpin Suriah saat ini, Ahmed al-Sharaa, telah berjanji untuk melindungi minoritas Suriah.

    Siapa komunitas Druze?

    Separuh dari sekitar satu juta pengikutnya tinggal di Suriah, sekitar 3% dari populasi negara tersebut.

    Komunitas Druze di Israel dianggap loyal, karena banyak anggota komunitasnya menjalani dinas militer Israel. Ada sekitar 152.000 orang Druze yang tinggal di Israel dan Dataran Tinggi Golan yang diduduki Israel, menurut Biro Pusat Statistik Israel.

    Secara historis, mereka menempati posisi yang genting dalam tatanan politik Suriah. Selama perang saudara Suriah yang berlangsung hampir 14 tahun, Druze punya milisi sendiri di Suriah selatan.

    Sejak Assad dijatuhkan pada Desember, komunitas Druze telah menentang upaya negara Suriah untuk memaksakan otoritas atas Suriah selatan.

    Banyak di antara mereka yang keberatan dengan kehadiran militer resmi Suriah di Suweida dan menolak bergabung dengan tentara Suriah. Mereka memilih mengandalkan milisi lokal.

    BBC

    Meskipun pemerintah Suriah mengutuk serangan terbaru terhadap penduduk Druze dan berjanji memulihkan ketertiban di Suriah selatan, pasukannya juga dituduh menyerang minoritas tersebut.

    Observatorium Suriah untuk Hak Asasi Manusia (SOHR) yang berbasis di UK mendokumentasikan “eksekusi” terhadap penduduk Druze oleh pasukan pemerintah Suriah.

    Laporan semacam itu telah memicu ketidakpercayaan di antara beberapa anggota komunitas Druze terhadap pihak berwenang di Damaskus.

    Setelah kejatuhan Assad, Israel telah menjangkau komunitas Druze di dekat perbatasan utaranya dalam upaya untuk menjalin aliansi dengan minoritas Suriah.

    Israel semakin memposisikan dirinya sebagai pelindung regional bagi kaum minoritas, termasuk Kurdi, Druze, dan Alawi di Suriah, sambil menyerang lokasi militer di Suriah dan pasukan pemerintah.

    Selama bentrokan sektarian pada Mei, Israel melakukan serangan di dekat Istana Presiden Suriah di Damaskus. Israel mengatakan aksi itu adalah peringatan kepada pemerintah Suriah agar tidak menyerang komunitas Druze.

    Di sisi lain, ada beberapa tokoh Druze di Suriah dan Lebanon yang menuduh Israel mengobarkan perpecahan sektarian untuk memajukan aksi ekspansionis di wilayah tersebut.

    Mengapa Israel menyerang Suriah?

    Serangan terbaru Israel merupakan cara Israel memperingatkan sekaligus mencegah Suriah mengerahkan tentara ke Suriah selatan. Sebab, Israel berupaya menciptakan zona demiliterisasi di wilayah tersebut.

    Israel khawatir dengan keberadaan kelompok Islam di dekat perbatasan utaranya, di sepanjang Dataran Tinggi Golan.

    Meskipun serangan udara Israel pada 15 Juli berfokus pada pasukan keamanan dan kendaraan di Suweida, militer Israel memperluas cakupan serangannya pada 16 Juli dengan menyerang Kementerian Pertahanan dan markas besar tentara Suriah di Damaskus. Suriah mengutuk serangan tersebut.

    Serangan tersebut merupakan eskalasi Israel paling serius di Suriah sejak Desember 2024, saat Israel menghancurkan ratusan lokasi militer di seluruh negeri dan merebut zona penyangga yang dipatroli PBB di Dataran Tinggi Golan Suriah.

    Israel telah menyerang Suriah beberapa kali dengan tujuan mencegah pemerintah baru Suriah membangun kapasitas militernya yang dipandang sebagai ancaman potensial bagi keamanan Israel.

    “Peringatan di Damaskus telah berakhir – kini pukulan berat akan datang,” tulis Menteri Luar Negeri Israel, Israel Katz, di media sosial pada 16 Juli, tak lama setelah serangan Israel di Damaskus dimulai.

    Penargetan markas militer Suriah disiarkan langsung oleh saluran TV terkemuka Suriah, dari studionya yang terletak di seberang Gedung.

    Bagaimana reaksi dunia?

    Menteri Luar Negeri AS, Marco Rubio, mengatakan AS “sangat prihatin” atas kekerasan tersebut.

    Pada 16 Juli, dia merilis pernyataan:

    “Kami telah menyepakati langkah-langkah spesifik yang akan mengakhiri situasi yang meresahkan dan mengerikan ini malam ini.”

    Beberapa negara Arab, termasuk Lebanon, Irak, Qatar, Yordania, Mesir, dan Kuwait, telah mengutuk serangan Israel yang menargetkan pemerintah dan pasukan keamanan Suriah.

    Kementerian Luar Negeri Arab Saudi mengecam apa yang disebutnya sebagai “serangan terang-terangan Israel” terhadap Suriah. Adapun Iran menggambarkan serangan itu sebagai “sangat mudah ditebak”.

    Turki, pemangku kepentingan utama di Suriah pasca-Assad, menggambarkan serangan itu sebagai “tindakan sabotase terhadap upaya Suriah untuk mengamankan perdamaian, stabilitas, dan keamanan”.

    Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres juga mengutuk serangan “eskalasi” Israel di Suweida dan Damaskus.

    Apa yang mungkin terjadi selanjutnya?

    Kekerasan tersebut telah menggarisbawahi rapuhnya lanskap keamanan dan politik di Suriah pascaperang saudara. Rentetan kekerasan terbaru memicu kekhawatiran pertikaian SARA akan muncul lagi di seluruh Suriah.

    Ketika Sharaa berupaya menguasai Suriah dan menyatukan berbagai kelompoknya, masih harus dilihat apakah pemerintahannya yang didominasi kaum Islamis akan mampu mendamaikan perpecahan sektarian yang mengakar di Suriah, akibat perang saudara selama bertahun-tahun.

    Bentrokan SARA tersebut, ditambah serangan Israel, mengancam akan menggagalkan upaya pembangunan negara dan pemulihan pascaperang.

    Israel, di sisi lain, kemungkinan akan terus menganggap pemerintah baru, dan para petempur Islamis yang berafiliasi dengan Sharaa di selatan, sebagai ancaman keamanan yang signifikan.

    Israel bisa terdorong untuk menjalin aliansi dengan kelompok-kelompok yang mungkin merasa terasing oleh pemerintah baru di Suriah.

    (ita/ita)

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • Israel Serang Gedung Kementerian Pertahanan Suriah, Satu Tewas

    Israel Serang Gedung Kementerian Pertahanan Suriah, Satu Tewas

    GELORA.CO – Militer Israel menyerang Kementerian Pertahanan Suriah di Damaskus dua kali pada Rabu 16 Juli 2025. Serangan dilakukan Israel saat mengintervensi bentrokan antara tentara Suriah dan pejuang Druze di Suriah selatan, yang merupakan kekerasan paling mematikan di negara itu dalam beberapa bulan terakhir.

    “Serangan tersebut meruntuhkan empat lantai kementerian dan merusak fasadnya. Serangan tersebut menewaskan satu orang dan melukai 18 orang,” kata pejabat Suriah, seperti dikutip AFP, Kamis 17 Juli 2025.

    Ini adalah pertama kalinya Israel menargetkan Damaskus sejak Mei dan hari ketiga berturut-turut Israel melancarkan serangan udara terhadap militer Suriah.

    Seorang juru bicara militer Israel mengatakan, serangan terhadap Kementerian Pertahanan tersebut merupakan pesan kepada Presiden Suriah, Ahmed al-Sharaa “mengenai peristiwa di Suweyda”. Militer Israel menyerang tank-tank Suriah pada hari Senin dan terus melancarkan puluhan serangan pesawat tak berawak terhadap pasukan, menewaskan beberapa tentara.

    Israel telah menyatakan tidak akan mengizinkan tentara Suriah ditempatkan di wilayah selatan negara itu, dan akan melindungi komunitas Druze dari pemerintah Damaskus. Banyak anggota komunitas Druze menolak klaim patronase Israel karena takut dianggap sebagai proksi asing.

    Pengeboman Israel menambah kerumitan konflik yang sudah meningkat antara pasukan pemerintah Suriah, suku-suku Arab Badui, dan pejuang Druze. Lebih dari 250 orang tewas dalam bentrokan selama empat hari, menurut Observatorium Suriah untuk Hak Asasi Manusia (SOHR) yang berbasis di Inggris.

    Pada hari Rabu, pemerintah Suriah dan salah satu dari tiga pemimpin spiritual komunitas Druze Suriah mengumumkan gencatan senjata. Namun, belum jelas apakah gencatan senjata tersebut akan bertahan, karena pemimpin spiritual lainnya, Sheikh Hikmat al-Hijri, bersumpah untuk terus berjuang, menyebut pemerintah sebagai kumpulan “geng bersenjata”.

    Gencatan senjata yang diumumkan pada hari Selasa juga gagal dalam situasi serupa.

    Pada Rabu malam, Reuters melaporkan bahwa Dewan Keamanan PBB akan bertemu pada hari Kamis untuk membahas situasi tersebut. Bentrokan yang melibatkan sebagian besar pasukan pemerintah Sunni melawan pejuang Druze telah memicu kekhawatiran akan konflik sektarian yang lebih luas. Serangan pada bulan Maret oleh sisa-sisa rezim terguling Bashar al-Assad terhadap pasukan keamanan menyebabkan kekerasan yang menewaskan lebih dari 1.500 orang, sebagian besar dari mereka berasal dari komunitas minoritas Alawi.

    Kekerasan ini merupakan tantangan paling serius bagi pemerintahan Damaskus sejak pembantaian pesisir dan mengancam akan semakin menjauhkan warga Druze dari negara tersebut.

    Druze, minoritas agama di Suriah dan Timur Tengah yang lebih luas, merupakan mayoritas penduduk provinsi Sweida di selatan negara itu. Mereka telah bernegosiasi dengan otoritas yang dipimpin kelompok Islamis di Damaskus sejak jatuhnya Assad, dalam upaya untuk mencapai suatu bentuk otonomi. Mereka belum mencapai kesepakatan yang mendefinisikan hubungan mereka dengan negara Suriah yang baru.

    Tentara Suriah memasuki Sweida pada hari Minggu dalam upaya untuk memulihkan ketenangan antara pejuang Druze dan suku-suku Badui Arab.

    Perkelahian pecah setelah anggota suku Badui merampok seorang pria Druze di jalan utama selatan Damaskus, memicu siklus kekerasan balas dendam antara kedua kelompok. Kekerasan berkala antara anggota komunitas Druze dan Badui telah umum terjadi di wilayah tersebut dalam beberapa tahun terakhir.

    Beberapa milisi Druze telah berjanji untuk mencegah pasukan pemerintah Suriah memasuki Sweida dan telah menyerang mereka, yang menyebabkan eskalasi bentrokan.

    Ketika pasukan pemerintah memasuki Sweida, laporan pelanggaran hak asasi manusia mulai bermunculan.

    Pada hari Selasa sekitar tengah hari, orang-orang bersenjata memasuki ruang resepsi milik keluarga Radwan di Sweida dan menewaskan 15 pria tak bersenjata dan seorang wanita, tiga anggota keluarga tersebut mengatakan kepada Guardian. SOHR juga melaporkan pembunuhan tersebut, meskipun menyebutkan jumlah korban tewas sebanyak 12 orang. (*)

  • Suriah Umumkan Perdamaian di Wilayah Konflik Sekte Usai Israel Mau Intervensi

    Suriah Umumkan Perdamaian di Wilayah Konflik Sekte Usai Israel Mau Intervensi

    Jakarta – Menteri Pertahanan Suriah, Murhaf Abu Qasra, mengumumkan gencatan senjata tak lama setelah pasukan pemerintah memasuki ibu kota provinsi Suwaida hari ini. Langkah ini diambil menyusul bentrokan sektarian yang menewaskan puluhan orang, serta laporan dari kantor berita pemerintah tentang serangan Israel di wilayah tersebut.

    Dalam pernyataannya, Abu Qasra mengatakan, setelah tercapainya “kesepakatan dengan para tokoh dan pemuka kota Suwaida,” pasukan pemerintah hanya akan merespons terhadap “sumber tembakan” dan menangani setiap serangan dari kelompok-kelompok di luar hukum.

    Bentrokan dimulai akibat serangkaian penculikan, dan serangan balasan antara anggota suku Badui Sunni lokal dan faksi bersenjata Drusen di provinsi selatan, yang merupakan pusat komunitas Drusen. Pasukan keamanan pemerintah yang dikerahkan pada Senin (14/6/2025) untuk memulihkan ketertiban, juga sempat terlibat bentrokan dengan kelompok bersenjata Drusen.

    Di tengah kekacauan, Israel meluncurkan serangan terhadap tank militer Suriah, dan menyatakan tindakan itu dilakukan untuk melindungi minoritas agama Drusen. Di Israel sendiri, komunitas Drusen dikenal sebagai kelompok minoritas loyal yang sering bertugas di angkatan bersenjata.

    Kantor berita pemerintah Suriah, SANA, tidak memberikan rincian lebih lanjut mengenai serangan Israel pada Selasa. Namun, Syrian Observatory for Human Rights yang berbasis di Inggris melaporkan, Israel menyerang sebuah tank militer Suriah saat pasukan mulai bergerak lebih jauh ke dalam kota Suwaida. Hingga kini, militer Israel belum mengeluarkan pernyataan resmi.

    Damai, lalu berbalik marah

    Para pemuka agama Drusen di Suriah pada Selasa (15/7) pagi, awalnya menyerukan agar faksi-faksi bersenjata menghentikan perlawanan terhadap pasukan pemerintah, dan menyerahkan senjata. Namun, salah satu otoritas agama utama merilis pernyataan video yang mencabut seruan tersebut.

    Pernyataan awal menyerukan, agar kelompok bersenjata Drusen di Suwaida “bekerja sama dengan pasukan Kementerian Dalam Negeri, tidak melawan kedatangan mereka, dan menyerahkan senjata.” Mereka juga mendorong “dialog terbuka dengan pemerintah Suriah untuk mengatasi dampak dari peristiwa yang terjadi.”

    Namun, Sheikh Hikmat al-Hijri, pemimpin spiritual Drusen yang selama ini menentang pemerintah Damaskus, menyatakan dalam sebuah video, bahwa pernyataan sebelumnya dikeluarkan setelah kesepakatan dengan pihak berwenang, namun “mereka mengingkari janji dan terus membombardir warga sipil yang tidak bersenjata.”

    “Kami sedang mengalami perang pemusnahan total,” katanya.

    Ketegangan komunal dan kekhawatiran regional

    Drusen merupakan sekte agama minoritas yang muncul pada abad ke-10 sebagai cabang dari Ismailiyah, salah satu aliran Syiah. Dari sekitar satu juta penganut Drusen di dunia, lebih dari setengahnya tinggal di Suriah. Sisanya tersebar di Lebanon dan Israel, termasuk di Dataran Tinggi Golan yang direbut Israel dari Suriah dalam Perang Timur Tengah 1967 dan dianeksasi pada 1981.

    Sejak jatuhnya Presiden Bashar al-Assad pada Desember lalu, bentrokan antara pasukan pro-pemerintah dan gerilyawan Drusen telah berulang kali terjadi. Aksi kekerasan terbaru menimbulkan kekhawatiran terhadap lingkaran kekerasan sektarian yang lebih luas.

    Pada Maret lalu, penyergapan terhadap pasukan keamanan pemerintah oleh loyalis Assad juga memicu tindak kekerasan dan pembalasan sektarian yang menewaskan ratusan warga sipil, sebagian besar dari kalangan minoritas Alawit, kelompok yang menaungi dinasti Assad.

    Pemerintah pusat lalu membentuk komisi khusus, untuk menyelidiki serangan tersebut, namun hasilnya hingga kini belum diumumkan ke publik.

    Ketegangan ini juga meningkatkan kekhawatiran akan eskalasi campur tangan Israel di wilayah Suriah.

    Menteri Pertahanan Israel, Israel Katz, pada Senin menyatakan, militer Israel “menyerang target di Suriah sebagai pesan dan peringatan yang jelas kepada rezim Suriah—kami tidak akan membiarkan kaum Drusen di Suriah disakiti.”

    Meskipun banyak warga Drusen di Suriah menyatakan penolakan terhadap intervensi Israel atas nama mereka, kecurigaan terhadap otoritas baru di Damaskus tetap tinggi, terutama setelah serangan terhadap kelompok Alawit dan minoritas lain dalam beberapa bulan terakhir.

    rzn/as (AP, Reuters)

    (haf/haf)

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • Ketakutan Umat Kristen Suriah Usai Bom Bunuh Diri di Gereja

    Ketakutan Umat Kristen Suriah Usai Bom Bunuh Diri di Gereja

    Jakarta

    Peringatan: Artikel ini mengandung detail yang dapat mengganggu kenyamanan Anda

    “Abangmu gugur sebagai pahlawan.”

    Kalimat itu didengar Emad saat mengetahui abangnya, Milad, tewas dalam ledakan bom bunuh diri di sebuah gereja di Damaskus, ibu kota Suriah.

    Saat kejadian, Milad dan dua orang lainnya berjuang mendorong pelaku bom bunuh diri keluar dari gedung gereja. Milad tewas seketika di tempat kejadian bersama 24 jemaat lainnya.

    Selain korban tewas, 60 orang menderita luka dalam serangan di Gereja Ortodoks Yunani Nabi Elia pada 22 Juni silam. Tempat ibadah itu terletak di pinggiran timur Damaskus, Dweila.

    Serangan itu menjadi yang pertama kalinya terjadi di Damaskus sejak pasukan pemberontak yang dipimpin kelompok Islam menggulingkan Bashar al-Assad pada bulan Desember.

    Penggulingan itu sekaligus mengakhiri perang saudara yang menghancurkan selama 13 tahun.

    Pihak berwenang Suriah menuding kelompok Negara Islam (ISIS) sebagai dalang di balik serangan ini.

    Kelompok ekstremis Sunni yang kurang dikenal, Saraya Ansar al-Sunnah, kemudian mengklaim bertanggung jawab atas serangan. Namun, pejabat pemerintah mengatakan operasi kelompok ini terkait langsung dengan ISIS.

    Milad tengah mengikuti kebaktian Minggu malam ketika seorang pria tiba-tiba melepaskan tembakan ke arah jemaat sebelum meledakkan rompi berisi bom.

    Emad mendengar ledakan dari rumahnya. Selama berjam-jam, abangnya tidak bisa dihubungi.

    “Saya pergi ke rumah sakit untuk mengidentifikasi jenazah, tapi saya tidak bisa mengenali abang saya. Separuh wajahnya hangus,” tutur Emad saat ditemui di tempat tinggalnya.

    Hanya ada dua kamar tidur di rumah kecil itu. Emad tinggal di sana bersama beberapa kerabatnya.

    Baca juga:

    Emad yang berusia 40-an tahun punya postur tinggi kurus. Wajahnya yang tegas memancarkan guratan kehidupan keras.

    Seperti abangnya, Emad bekerja sebagai petugas kebersihan di salah satu sekolah di permukiman miskin tersebut. Area ini memang banyak ditinggali para keluarga kelas ekonomi menengah ke bawah dan kebanyakan memeluk agama Kristen.

    Selama pemerintahan Bashar al-Assad, anggota berbagai komunitas minoritas agama dan etnis di Suriah percaya bahwa negara melindungi mereka.

    Namun, pemerintahan baru yang dipimpin kelompok Islam yang dibentuk para pemberontak yang menggulingkan Assad pada Desember lalu dikhawatirkan tidak akan melakukan hal yang sama.

    Di satu sisi, Presiden interim Ahmed al-Sharaa dan pemerintahannya berjanji untuk melindungi semua warga negara.

    Akan tetapi, kekerasan sektarian mematikan baru-baru ini terjadi di wilayah pesisir Alawi. Hal yang sama menimpa komunitas Druze di sekitar Damaskus.

    Perkembangan ini membuat orang-orang meragukan kemampuan pemerintah untuk mengendalikan situasi.

    Banyak anggota keluarga Emad yang menyuarakan sentimen ini.

    “Kami tidak aman lagi di sini,” kata mereka.

    Dua bulan sebelum wisuda, Angie Awabde, 23 tahun, terjebak dalam serangan di gereja. Dia mendengar suara tembakan sebelum ledakan besar.

    “Semuanya terjadi dalam hitungan detik,” tuturnya sembari terbaring di ranjang rumah sakit.

    Dia mengalami luka serpihan di wajah, tangan, dan kakinya, serta patah tulang kaki.

    Angie kini sangat ketakutan dan merasa tidak ada masa depan bagi umat Kristen di Suriah.

    “Saya hanya ingin meninggalkan negara ini. Saya sudah melewati krisis, perang, ledakan mortir. Saya tidak pernah menyangka sesuatu akan terjadi pada saya di dalam gereja,” ujarnya.

    “Saya tidak punya solusi. Mereka yang harus mencari solusi, ini bukan tugas saya. Jika mereka tidak bisa melindungi kami, kami ingin pergi.”

    Sebelum perang saudara selama 13 tahun, umat Kristen mencakup sekitar 10% dari 22 juta penduduk Suriah. Namun, jumlah ini menyusut drastis karena ratusan ribu orang memilih kabur ke luar negeri.

    Selama perang, gereja-gereja memang tidak luput dari pemboman pemerintah Suriah dan pasukan sekutu Rusia. Namun, serangan berlangsung ketika tidak ada jemaat di dalamnya.

    Ribuan umat Kristen juga terpaksa meninggalkan rumah mereka karena ancaman dari kelompok Islamis garis keras dan jihadis, seperti ISIS.

    Di luar rumah sakit tempat Angie dirawat, deretan peti mati beberapa korban serangan gereja siap untuk dikebumikan. Orang-orang dari berbagai lapisan masyarakat Suriah menghadiri upacara di bawah pengamanan ketat di gereja terdekat.

    Dalam khotbahnya, Patriark Gereja Ortodoks Yunani di Suriah, John Yazigi, menegaskan “pemerintah memikul tanggung jawab penuh”.

    Dia menyatakan bahwa telepon belasungkawa dari Presiden Ahmed al-Sharaa “tidak cukup bagi kami,” yang disambut tepuk tangan jemaat.

    “Kami berterima kasih atas teleponnya. Tapi kejahatan yang terjadi sedikit lebih besar dari itu.”

    Sharaa sendiri minggu lalu telah berjanji bahwa mereka yang terlibat dalam serangan “keji” itu akan dibawa ke pengadilan.

    Sehari setelah pengeboman, dua tersangka tewas dan enam lainnya ditangkap dalam operasi keamanan terhadap sel ISIS di Damaskus.

    Namun, langkah ini belum banyak meredakan kekhawatiran di sini tentang situasi keamanan, terutama bagi pemeluk agama minoritas.

    Baca juga:

    Suriah juga mengalami pengetatan kebebasan sosial, termasuk dekrit tentang cara perempuan berpakaian di pantai.

    Selain itu, terjadi serangan terhadap pria yang mengenakan celana pendek di tempat umum, serta penutupan bar dan restoran karena menyajikan alkohol.

    Banyak pihak di Suriah khawatir bahwa ini bukan kasus tunggal, melainkan tanda-tanda dari rencana yang lebih luas untuk mengubah masyarakat Suriah.

    Archimandrite Meletius Shattahi, direktur jenderal badan amal dari Patriarkat Ortodoks Yunani Antiokia, merasa pemerintah tidak berbuat cukup banyak untuk menangani perubahan ini.

    Dia merujuk pada video-video yang beredar secara daring yang menunjukkan para ulama bersenjata menyerukan Islam melalui pengeras suara di permukiman Kristen.

    Shattahi menambahkan bahwa ini bukanlah “insiden individu”.

    “Ini terjadi secara terbuka di depan semua orang, dan kami tahu betul bahwa pemerintah kami tidak mengambil tindakan apa pun terhadap [mereka] yang melanggar hukum dan aturan,” katanya.

    Kelambanan tindakan inilah, menurut dia, yang diduga menyebabkan serangan di Gereja Nabi Elias.

    Lihat juga Video: Bom Bunuh Diri ISIS Meledak di Gereja Suriah, 20 Orang Tewas

    (ita/ita)

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • Setelah Puluhan Tahun, Trump Akhirnya Cabut Sanksi Suriah

    Setelah Puluhan Tahun, Trump Akhirnya Cabut Sanksi Suriah

    Jakarta

    Presiden Amerika Serikat Donald Trump pada hari Senin (30/6) waktu setempat, secara resmi mencabut sanksi-sanksi AS terhadap Suriah, yang telah berlangsung puluhan tahun.

    Trump sebelumnya telah mencabut sebagian besar sanksi terhadap Suriah pada bulan Mei lalu, menanggapi seruan dari Arab Saudi dan Turki setelah mantan gerilyawan Ahmed al-Sharaa mengakhiri setengah abad kekuasaan Presiden Suriah Bashar al-Assad.

    Dalam perintah eksekutif, Trump mengakhiri “darurat nasional” yang berlaku sejak tahun 2004 yang memberlakukan sanksi-sanksi yang luas terhadap Suriah, yang berdampak pada sebagian besar lembaga yang dikelola negara termasuk bank sentral.

    “Tindakan ini mencerminkan visi presiden untuk membina hubungan baru antara Amerika Serikat dan Suriah yang stabil, bersatu, dan damai dengan dirinya sendiri dan negara-negara tetangganya,” kata Menteri Luar Negeri AS, Marco Rubio dalam sebuah pernyataan, dilansir dari kantor berita AFP, Selasa (1/7/2025).

    Rubio mengatakan bahwa ia akan memulai proses yang berpotensi panjang untuk memeriksa apakah akan menghapus Suriah sebagai negara sponsor terorisme, sebuah penetapan yang berasal dari tahun 1979 yang telah sangat menghambat investasi.

    Menlu AS itu juga mengatakan akan mempertimbangkan untuk menghapus klasifikasi teroris terhadap Sharaa dan gerakannya Hayat Tahrir al-Sham (HTS), yang pernah dikaitkan dengan jaringan Al-Qaeda. Sebelumnya, pemerintah Amerika Serikat telah menghapus hadiah untuk pembunuhan Sharaa setelah ia berkuasa.

    Menteri Luar Negeri Suriah Assad al-Shibani memuji langkah AS tersebut sebagai “titik balik yang besar.”

    “Dengan dicabutnya hambatan utama bagi pemulihan ekonomi ini, pintu yang telah lama ditunggu-tunggu terbuka untuk rekonstruksi dan pembangunan, sebagaimana juga kondisi untuk pemulangan warga Suriah yang mengungsi secara bermartabat ke tanah air mereka,” tulisnya di media sosial X.

    Sebelumnya pada hari Senin (30/6), pemerintah Israel mengatakan bahwa mereka tertarik untuk menormalisasi hubungan dengan Suriah serta Lebanon, dalam perluasan apa yang disebut “Perjanjian Abraham,” yang akan menandai transformasi besar Timur Tengah.

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini