Tag: Barack Obama

  • Geger Kabar Orang Kaya AS Ramai-ramai Bawa Duit ke Swiss

    Geger Kabar Orang Kaya AS Ramai-ramai Bawa Duit ke Swiss

    Jakarta

    Kebijakan ekonomi Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump membuat orang kaya di negeri Paman Sam gerah. Banyak dari mereka dikabarkan mulai membuka rekening bank di Swiss dan memindahkan kekayaannya.

    Menurut laporan CNBC, dikutip Senin (21/4/2025), minat dari warga Amerika dengan kekayaan bersih tinggi untuk menyimpan uangnya di Swiss datang dalam beberapa gelombang. Fenomena ini diungkap langsung oleh Pierre Gabris, CEO Alpen Partners International.

    Menurutnya sudah ada tiga gelombang besar perpindahan kekayaan dari Amerika ke Swiss. Pertama, ketika Barrack Obama terpilih jadi Presiden AS, kedua ketika COVID-19 menjadi pandemi yang menghantam di seluruh dunia. Gelombang terakhir terjadi saat ini setelah Trump mengumumkan kebijakan tarif tinggi ke berbagai negara di dunia.

    “Ketika Obama terpilih, kami melihat gelombang besar. Kemudian, COVID adalah gelombang lainnya. Sekarang tarif menyebabkan gelombang baru,” sebut Pierre Gabris.

    Berbagai motif diungkapkan orang-orang Amerika untuk memindahkan kekayaannya dari AS. Banyak dari mereka yang khawatir bahwa dolar AS akan melemah dan memilih untuk melakukan diversifikasi dolar.

    Mereka banyak mengandalkan ekonomi Swiss yang stabil, mata uang yang kuat, dan sistem hukum yang andal untuk mengamankan kekayaannya.

    Beberapa lainnya, termotivasi oleh alasan politik dan apa yang mereka anggap sebagai penurunan supremasi hukum di bawah Trump. Yang lain masih memilih untuk membuka rekening dan membeli emas Swiss.

    Orang-orang Amerika ini bahkan disebut bisa jadi mencari tempat tinggal atau kewarganegaraan di Eropa dan tertarik untuk berinvestasi di bidang real estat.

    Memiliki rekening di bank Swiss juga disebut-sebut dapat membuat seseorang mendapatkan penghindaran pajak ilegal dalam beberapa dekade terakhir, meskipun kini hal itu diatur dengan ketat.

    Tonton juga Video Joe Biden: Kurang dari 100 Hari, Pemerintahan Trump Buat Banyak Kerusakan

    (acd/acd)

  • Anak Perempuan Elon Musk Ungkap Kebohongan Terbesar Ayahnya

    Anak Perempuan Elon Musk Ungkap Kebohongan Terbesar Ayahnya

    Jakarta, CNBC Indonesia – Vivian Wilson, putri Elon Musk dari pernikahannya dengan Justine Musk, menyebut ambisi ayahnya untuk membangun koloni di Mars hanyalah “skema pemasaran” belaka.

    Pernyataan ini disampaikan Vivian dalam wawancara bersama streamer progresif Hasan Piker di platform Twitch.

    “Misi ke Mars itu tidak akan terjadi, teman-teman… Itu hanya skema marketing yang entah kenapa semua orang percaya, padahal bisa dibantah cuma dengan Google search,” ujar Vivian.

    Ambisi membangun koloni di Mars telah lama menjadi visi besar Elon Musk, bahkan sejak ia mendirikan SpaceX.

    Dalam berbagai kesempatan, Musk menyampaikan bahwa tujuan jangka panjang perusahaannya adalah membawa umat manusia ke Mars sebagai upaya menyelamatkan spesies dari kemungkinan kepunahan.

    Bulan ini, Musk kembali membuat pernyataan ambisius bahwa prototipe terbaru pesawat luar angkasa Starship akan dikirim ke Mars pada akhir 2026, membawa serta robot humanoid “Optimus”.

    Ia menambahkan bahwa misi manusia ke Mars bisa terjadi secepatnya pada 2029, meskipun 2031 dianggap lebih realistis.

    Namun, klaim tersebut tidak lepas dari kritik berbagai pihak, termasuk mantan Presiden AS Barack Obama, yang menyarankan agar fokus dialihkan ke perlindungan bumi terlebih dahulu.

    Astrofisikawan Inggris Lord Martin Rees bahkan menyebut impian Musk sebagai delusi berbahaya. Ia menegaskan, tinggal di Mars tak lebih baik dari hidup di Kutub Selatan atau puncak Gunung Everest.

    Senada dengan itu, astrofisikawan terkenal Neil deGrasse Tyson menyatakan bahwa menjadikan Mars layak huni akan jauh lebih sulit dibanding mengembalikan bumi ke kondisi ideal.

    “Jauh lebih mudah menyelamatkan bumi ketimbang mengubah Mars jadi bumi,” ujarnya.

    Vivian menambahkan bahwa pencitraan Musk di mata publik sangat bergantung pada narasi yang dibangun oleh media dan pengikut setianya.

    “Kalau kamu berbohong dan orang-orang percaya, maka mereka akan mengira kamu Tony Stark sungguhan,” kata Vivian.

    Pernyataan Vivian Wilson makin memperpanjang daftar kritik terhadap Elon Musk, yang kini tak hanya datang dari para ilmuwan dan publik, tapi juga dari dalam keluarganya sendiri.

    (dem/dem)

  • Orang Kaya AS Berbondong-bondong Pindahkan Uang ke Bank Swiss

    Orang Kaya AS Berbondong-bondong Pindahkan Uang ke Bank Swiss

    Jakarta, Beritasatu.com – Orang kaya Amerika Serikat (AS) kini semakin banyak yang memindahkan dananya ke bank-bank Swiss. Langkah ini disebut sebagai bagian dari upaya de-Amerikanisasi portofolio mereka.

    Mengutip CNBC International, Minggu (20/4/2025), sejumlah bank Swiss melaporkan peningkatan tajam dalam pembukaan rekening investasi oleh warga kaya AS dalam beberapa bulan terakhir.

    “Fenomena ini datang dalam gelombang. Saat (Barack) Obama terpilih, kami melihat lonjakan. Lalu muncul lagi saat pandemi. Sekarang, suku bunga memicu gelombang baru,” ujar Pierre Gabris CEO Alpen Partners International, sebuah firma konsultan keuangan berbasis di Swiss.

    Alasan mereka bervariasi. Sebagian ingin melepas ketergantungan terhadap dolar AS, yang mereka anggap rentan karena meningkatnya utang nasional.

    Stabilitas politik dan ekonomi Swiss, kekuatan mata uang franc Swiss, serta sistem hukum yang dapat diandalkan menjadi faktor penarik utama.

    Ada pula yang termotivasi oleh kondisi politik domestik AS, terutama ketidakpuasan terhadap arah kebijakan dan penegakan hukum di bawah pemerintahan Presiden Donald Trump.

    Beberapa orang kaya AS lainnya tertarik membuka rekening Swiss untuk membeli emas fisik, memanfaatkan reputasi Swiss sebagai pusat penyimpanan dan pemurnian emas kelas dunia.

    Menurut Gabris, banyak kliennya juga mempertimbangkan untuk memiliki tempat tinggal atau kewarganegaraan kedua di Eropa, sembari berinvestasi properti sebagai rencana cadangan.

    Meski tergolong mudah, pembukaan rekening bank Swiss bagi warga AS tetap harus mematuhi regulasi ketat dari pemerintah AS, termasuk aturan pelaporan dan perpajakan.

    Bank-bank besar AS memang tak bisa langsung membuka rekening Swiss untuk nasabahnya, tetapi banyak yang menjalin kemitraan dengan firma keuangan Swiss yang terdaftar di SEC.

    Bank swasta Pictet, melalui entitas Pictet North America Advisors yang terdaftar di SEC, mencatat lonjakan permintaan dari klien asal AS. Sementara itu, Vontobel SFA, bank Swiss terbesar untuk klien AS menolak berkomentar.

    Jika dahulu rekening Swiss kerap dikaitkan dengan penghindaran pajak ilegal, kini praktik tersebut telah berubah menjadi legal dan transparan, dengan kepatuhan penuh pada aturan pelaporan pajak.

    “Banyak orang kaya AS mulai sadar bahwa seluruh kekayaan mereka ada dalam bentuk dolar. Jadi mereka mulai berpikir mungkin sudah waktunya diversifikasi,” pungkas Gabris.

  • Ramai Orang Kaya AS Buka Rekening Bank di Swiss, Fenomena Apa?

    Ramai Orang Kaya AS Buka Rekening Bank di Swiss, Fenomena Apa?

    Jakarta, CNBC Indonesia – Sejumlah bank di Swiss melaporkan peningkatan signifikan terhadap pembukaan rekening orang kaya asal Amerika Serikat (AS) dalam beberapa bulan terakhir. Menurut investor dan pihak perbankan, ini merupakan bagian dari upaya “de-Amerikanisasi” atau melalukan diversifikasi dalam portofolio mereka.

    “Mereka datang dalam beberapa gelombang,” kata Pierre Gabris, CEO Alpen Partners International, sebuah perusahaan konsultan keuangan asal Swiss, mengutip CNBC International, Sabtu (19/5/2025).

    “Saat Obama terpilih, kami melihat gelombang besar. Covid juga pemicu gelombang berikutnya. Kini tarif dan ketegangan ekonomi menciptakan gelombang baru,” sambungnya.

    Menurutnya banyak investor tertarik memindahkan dana mereka ke Swiss karena ingin melakukan diversifikasi terhadap portofolio mereka dari dolar AS. Mereka meyakini dolar AS akan terus melemah akibat beban utang nasional AS yang terus membengkak.

    Sedangkan daya tarik Swiss terletak pada stabilitas ekonomi, politik yang netral, mata uang yang kuat, serta sistem hukum yang andal.

    Selain alasan ekonomi, banyak warga kaya AS ini juga termotivasi situasi politik di dalam negeri. Mereka khawatir terhadap penurunan supremasi hukum di bawah pemerintah Donald Trump.

    Kemudian, tak sedikit juga alasan warga kaya AS untuk membeli emas fisik dengan memanfaatkan reputasi Swiss sebagai pusat penyimpanan emas

    Gabris juga mengungkapkan ini merupakan “rencana cadangan”. Mereka berkeinginan mencari peluang izin tinggal atau kewarganegaraan kedua di Eropa dan mempertimbangkan pembelian properti.

    Membuka rekening di bank Swiss dinilai cukup mudah, namun tetap harus mematuhi peraturan pengungkapan data yang ketat dari pemerintah AS. Meskipun bank besar AS tidak bisa langsung membuka rekening Swiss bagi klien mereka, mitra Swiss yang terdaftar di Komisi Sekuritas dan Bursa AS dapat menerima investor asal Amerika.

    Salah satu bank swasta Swiss, Pictet, mengungkapkan telah mengalami peningkatan signifikan dalam permintaan dari klien asal AS. Sementara Vontobel SFA yang diyakini sebagai bank Swiss terbesar yang terdaftar di SEC untuk klien asal AS, menolak untuk berkomentar.

    Pembukaan rekening di Swiss sering dikaitkan dengan upaya menghindari pajak, namun proses itu kini telah diatur secara hukum dan lebih umum dengan formulir pajak yang transparan.

    “Banyak orang Amerika mulai menyadari bahwa 100% portofolio mereka dalam bentuk dolar AS, mereka mulai berpikir, ‘mungkin saya harus mendiversifikasi’,” kata Gabris.

    (hsy/hsy)

  • AS-Iran Bahas Perjanjian Nuklir, Trump Ancam Aksi Militer Jika Gagal

    AS-Iran Bahas Perjanjian Nuklir, Trump Ancam Aksi Militer Jika Gagal

    Jakarta,CNBC Indonesia – Iran dan Amerika Serikat memulai putaran baru perundingan nuklir di Roma pada Sabtu (19/4/2025) untuk menyelesaikan kebuntuan mereka selama puluhan tahun. Perundingan ini dilanjutkan di bawah bayang-bayang ancaman Presiden Donald Trump untuk melancarkan aksi militer jika diplomasi gagal.

    Laporan Reuters menyebut Menteri Luar Negeri Iran Abbas Araqchi dan utusan Trump untuk Timur Tengah Steve Witkoff akan berunding secara tidak langsung melalui seorang pejabat Oman yang akan menyampaikan pesan-pesan antara kedua belah pihak.

    Pejabat dari kedua negara belum mengadakan negosiasi langsung sejak 2015 di bawah mantan Presiden AS Barack Obama.

    Araqchi mengatakan Iran selalu berkomitmen pada diplomasi dan meminta “semua pihak yang terlibat dalam pembicaraan untuk memanfaatkan kesempatan guna mencapai kesepakatan nuklir yang masuk akal dan logis”.

    “Kesepakatan semacam itu harus menghormati hak-hak sah Iran dan mengarah pada pencabutan sanksi yang tidak adil terhadap negara sambil mengatasi keraguan apa pun tentang program nuklirnya,” kata Araqchi seperti dikutip oleh media pemerintah Iran.

    Sebelumnya, ia mengatakan bahwa Iran yakin mereka bisa mencapai kesepakatan mengenai program nuklirnya dengan AS asalkan Washington bersikap realistis.

    “Roma menjadi ibu kota perdamaian dan dialog,” tulis Menteri Luar Negeri Italia Antonio Tajani di X. “Saya mendorong (Araqchi) untuk mengikuti jalur negosiasi melawan senjata nuklir. Harapan pemerintah Italia adalah bahwa semua pihak bersama-sama dapat menemukan solusi positif untuk Timur Tengah.”

    Sementara itu, Trump mengatakan kepada wartawan pada Jumat: “Saya mendukung Iran tak lagi memiliki senjata nuklir. Mereka tidak dapat memiliki senjata nuklir. Saya ingin Iran menjadi besar, makmur, dan hebat.”

    Trump menghidupkan kembali kampanye “tekanan maksimum” terhadap Iran sejak kembali ke Gedung Putih pada bulan Januari.

    Washington ingin Iran menghentikan produksi uranium yang diyakininya ditujukan untuk membuat bom atom.

    Sementara Teheran, yang selalu menyatakan bahwa program nuklirnya bersifat damai, mengatakan bersedia menegosiasikan beberapa pembatasan sebagai imbalan atas pencabutan sanksi, tetapi menginginkan jaminan yang kuat bahwa Washington tidak akan mengingkarinya lagi.

    Sejak 2019, Iran telah melanggar dan melampaui batas kesepakatan 2015 mengenai pengayaan uraniumnya. Negara tersebut terus menghasilkan stok uranium yang jauh di atas ambang batas yang menurut Barat diperlukan untuk program energi sipil.

    (hsy/hsy)

  • Bendera Palestina Berkibar saat Wisuda Universitas Harvard, Begini Aksi Lulusan Harvard Saat Wisuda – Halaman all

    Bendera Palestina Berkibar saat Wisuda Universitas Harvard, Begini Aksi Lulusan Harvard Saat Wisuda – Halaman all

    Bendera Palestina Berkibar saat Wisuda Universitas Harvard, Begini Aksi Lulusan Harvard Saat Wisuda

    TRIBUNNEWS.COM-  Bendera Palestina dikibarkan oleh para wisudawan selama upacara wisuda di Universitas Harvard. 

    Mereka tidak tinggal diam menanggapi kondisi ketidakadilan di dunia yang sedang tidak baik-baik saja.

    Perayaan wisuda pun diwarnai dengan aksi bela Palestina. Banyak wisudawan yang memakai Keffieh Palestina, syal persegi yang menjadi simbol penting dalam budaya Palestina. 

    Hal ini terjadi setelah universitas tertua di Amerika itu menjadi yang pertama menolak usulan kebijakan dari Pemerintahan Donald Trump.

    Donald Trump menindak keras terhadap kegiatan solidaritas Palestina di antara staf dan mahasiswa. 

    Hal ini berisiko terhadap pendanaan federal universitas senilai $2 miliar.

    Sebuah video yang beredar daring menunjukkan para mahasiswa Harvard merayakan kelulusan mereka dengan bersorak untuk mendukug Palestina.

    Mereka mengibarkan bendera Palestina saat pidato yang tampaknya pro-Palestina disampaikan. 

    Pada tanggal 31 Maret, pemerintahan Trump mengatakan sedang meninjau sekitar $9 miliar dalam bentuk hibah dan kontrak dengan Universitas Harvard untuk memastikan universitas tersebut tunduk mematuhi peraturan federal, termasuk tanggung jawab hak-hak sipilnya. 

     

     

     

    Harvard Melawan Donald Trump

    Universitas Harvard Membalas ketika Donald Trump Menargetkan Universitas Terkait Aksi Pro-Palestina

    Universitan Harvard, salah satu universitas elit di AS telah memberi tahu pemerintahan Donald Trump bahwa mereka tidak akan tunduk pada tekanan politik, meskipun pendanaan federalnya terancam.

    Bentrokan tersebut meletus setelah pihak administrasi menuntut perubahan besar-besaran pada kebijakan internal Harvard—mulai dari peraturan seputar protes kampus pro-Palestina hingga program keberagaman dan inklusi—atau menghadapi risiko kehilangan pendanaan.

    “Tidak ada pemerintah – terlepas dari partai mana yang berkuasa – yang boleh mendikte apa yang dapat diajarkan oleh universitas swasta, siapa yang dapat mereka terima dan pekerjakan, dan bidang studi dan penyelidikan apa yang dapat mereka tekuni,” kata Presiden Alan Garber dalam sebuah pesan kepada para mahasiswa dan staf.

    Pengacara universitas tersebut kembali menegaskan dalam surat resminya kepada Washington, menuduh pemerintah federal menginjak-injak kebebasan akademis yang telah lama berlaku dan berupaya mengabaikan perlindungan yang tercantum dalam Amandemen Pertama.

    Langkah ini dilakukan beberapa hari setelah Universitas Columbia, yang berada di bawah tekanan serupa, setuju untuk melakukan perubahan yang diminta oleh pemerintahan Trump dalam upaya untuk memulihkan dana yang dibekukan sebesar $400 juta.  Perjudian itu menjadi bumerang. Bukan hanya uang yang ditahan, tetapi pemerintahan tersebut juga memangkas lebih banyak dana.

    Universitas Harvard, seperti beberapa lembaga pendidikan lainnya di AS, telah menjadi lokasi utama bagi pengunjuk rasa pro-Palestina sejak perang Israel di Gaza dimulai pada Oktober 2023.

     

    Barack Obama Dukung Harvard karena Berani Melawan Donald Trump

    Barack Obama telah menyatakan dukungannya terhadap Harvard setelah pemerintahan Donald Trump memutuskan untuk memangkas $2 miliar dana hibah federal setelah sekolah Ivy League di Massachusetts itu menolak apa yang disebutnya sebagai upaya “regulasi pemerintah” terhadap universitas tersebut.

    Harvard menghadapi pembekuan dana karena fakultas Yale meminta pimpinan ‘untuk menolak dan menantang secara hukum setiap tuntutan yang melanggar hukum’.

    Sementara itu, staf pengajar di Universitas Yale – institusi Ivy League terkemuka lainnya – telah meminta pimpinannya “untuk menolak dan menantang secara hukum setiap tuntutan yang melanggar hukum yang mengancam kebebasan akademik dan … pemerintahan sendiri”.

    Pernyataan dari Obama , presiden AS dari tahun 2009 hingga 2017, berbunyi: 

    “Harvard telah memberikan contoh bagi lembaga pendidikan tinggi lainnya – dengan menolak upaya yang tidak sah dan tidak adil untuk mengekang kebebasan akademis, sembari mengambil langkah konkret untuk memastikan semua mahasiswa di Harvard dapat memperoleh manfaat dari lingkungan yang penuh dengan penyelidikan intelektual, perdebatan yang ketat, dan rasa saling menghormati.

    “Mari berharap lembaga lain mengikuti langkah ini.”

    Kebuntuan antara beberapa universitas paling bergengsi di AS dan pemerintah federal semakin dalam pada hari Senin setelah Harvard menolak tuntutan tinggi dari pemerintahan Donald Trump , yang oleh presiden disebut sebagai upaya untuk mengekang antisemitisme di kampus. 

    Namun, banyak pendidik melihat tuntutan tersebut sebagai upaya terselubung untuk mengekang kebebasan akademis secara lebih luas.

    “Tidak ada pemerintah – terlepas dari partai mana yang berkuasa – yang boleh mendikte apa yang dapat diajarkan oleh universitas swasta, siapa yang dapat mereka terima dan pekerjakan, dan bidang studi dan penyelidikan apa yang dapat mereka tekuni,” kata presiden Harvard, Alan Garber.

    Mahasiswa berjalan menaiki tangga perpustakaan

    Pejabat Trump memangkas miliaran dana Harvard setelah universitas menentang tuntutan

    Pemerintahan Trump , melalui gugus tugas gabungan multi-lembaga federal untuk memerangi anti-semitisme, menanggapi dengan membekukan hibah multi-tahun senilai $2,2 miliar dan nilai kontrak multi-tahun senilai $60 juta untuk Harvard.

    Pada hari Selasa, Trump sendiri menerbitkan sebuah postingan di platform Truth Social miliknya yang mengatakan “mungkin Harvard harus kehilangan Status Bebas Pajaknya dan Dikenakan Pajak sebagai Entitas Politik”.

    Intervensi oleh Obama terjadi setelah 876 anggota fakultas di Yale menerbitkan surat kepada pimpinan mereka yang menyatakan dukungan untuk menentang pemerintahan Trump.

    “Kita berdiri bersama di persimpangan jalan,” demikian bunyi surat itu . 

    “Universitas-universitas Amerika menghadapi serangan-serangan luar biasa yang mengancam prinsip-prinsip dasar masyarakat demokratis, termasuk hak-hak kebebasan berekspresi, berasosiasi, dan kebebasan akademis. Kami menulis sebagai satu fakultas, untuk meminta Anda untuk berdiri bersama kami sekarang.”

    Meskipun surat itu tidak menyebutkan Harvard secara spesifik, surat itu juga meminta pimpinan Yale untuk “bekerja dengan penuh tujuan dan proaktif dengan perguruan tinggi dan universitas lain dalam pertahanan kolektif”.

    Universitas Columbia di New York, lokasi protes pro-Palestina pada tahun 2024, telah setuju untuk mematuhi sebagian serangkaian tuntutan dari pemerintahan Trump tentang bagaimana ia akan menangani demonstrasi, departemen akademik, dan antisemitisme tersebut setelah menerima peringatan bahwa ia akan kehilangan dana federal, tetapi juga membela kebebasan akademik.

    Princeton di New Jersey mengatakan belum menerima daftar tuntutan khusus dari pemerintah. Presiden universitas, Christopher Eisgruber, mengatakan dalam email kepada masyarakat pada awal April bahwa meskipun alasan di balik ancaman pemerintah untuk menahan dana belum jelas, universitas “akan mematuhi hukum”.

    “Kami berkomitmen untuk memerangi antisemitisme dan segala bentuk diskriminasi, dan kami akan bekerja sama dengan pemerintah dalam memerangi antisemitisme,” imbuh Eisgruber. “Princeton juga akan dengan gigih membela kebebasan akademis dan hak proses hukum universitas ini.”

    “Pemerintahan Trump menggunakan ancaman pemotongan dana sebagai taktik untuk memaksa universitas tunduk pada kendali pemerintah atas penelitian, pengajaran, dan pidato di kampus swasta. Hal itu jelas melanggar hukum,” kata pernyataan dari Rachel Goodman, penasihat hukum Protect Democracy yang mewakili American Association of University Professors dalam tantangannya terhadap penghentian pendanaan federal di Columbia.

    Universitas Columbia menyetujui pelarangan penggunaan masker untuk tujuan menyembunyikan identitas seseorang, melarang protes di dalam gedung akademik, dan meninjau ulang bagaimana program studi Timur Tengah dikelola. Universitas ini juga menyetujui perluasan “keragaman intelektual”, termasuk dengan mengangkat anggota fakultas baru ke departemen Institut Israel dan Studi Yahudi.

    Sasaran yang dinyatakan dari gugus tugas antisemitisme pemerintahan Trump adalah untuk “membasmi pelecehan antisemit di sekolah dan kampus”. 

    Namun banyak yang percaya bahwa itu adalah kedok untuk berbagai sasaran konservatif, termasuk menghilangkan kuota ras dalam penerimaan mahasiswa – dan mengatur ulang apa yang dilihat pemerintahan sebagai bias paling kiri dalam dunia akademis.

    “Kami akan menghentikan dana untuk sekolah-sekolah yang membantu serangan Marxis terhadap warisan Amerika dan peradaban Barat itu sendiri,” kata Trump pada tahun 2023. “Hari-hari mensubsidi indoktrinasi komunis di perguruan tinggi kita akan segera berakhir.”

    Pada hari Selasa, sekretaris pers Gedung Putih, Karoline Leavitt, mengatakan Trump “ingin melihat Harvard meminta maaf” atas apa yang disebutnya “antisemitisme mengerikan yang terjadi di kampus mereka”.

    “Mengenai Harvard … presiden sudah cukup jelas: mereka harus mematuhi hukum federal,” kata Leavitt.

    Pada bulan Maret, pemimpin gugus tugas, Leo Terrell, mantan komentator Fox News, mengatakan: “Kami akan membuat universitas-universitas ini bangkrut” jika mereka tidak “bermain sesuai aturan”.

    Pemerintah, secara keseluruhan, telah membekukan atau membatalkan lebih dari $11 miliar dana dari sedikitnya tujuh universitas sebagai bagian dari upayanya untuk mengakhiri apa yang disebutnya “pengambilalihan ideologis”. Sedikitnya 300 mahasiswa, lulusan baru, dan mahasiswa pascadoktoral telah dicabut visa dan status imigrasi resminya sebagai bagian dari tindakan keras tersebut.

    Presiden Massachusetts Institute of Technology , Sally Kornbluth, mengatakan pada hari Senin bahwa sembilan mahasiswa MIT telah kehilangan visa mereka selama seminggu terakhir – pencabutan yang menurutnya akan berdampak buruk pada “bakat terbaik” di seluruh dunia dan akan “merusak daya saing Amerika dan kepemimpinan ilmiah selama bertahun-tahun mendatang”.

    Namun, menteri pendidikan Trump , Linda McMahon, mengatakan kepada Wall Street Journal bahwa pemerintah federal berwenang meminta universitas membuat perubahan pada kebijakan kampus.

    “Jika Anda menerima dana federal, maka kami ingin memastikan bahwa Anda mematuhi hukum federal,” kata McMahon, meskipun ia menolak bahwa pemerintah berupaya untuk mengekang kebebasan akademis dan hak untuk melakukan protes atau ketidaksetujuan secara damai.

    Juru bicara Gedung Putih, Kush Desai, mengatakan kepada media tersebut bahwa gugus tugas tersebut “dimotivasi oleh satu hal dan hanya satu hal: mengatasi antisemitisme”.

    Desai berkata: “Para pengunjuk rasa antisemit yang melakukan kekerasan dan mengambil alih seluruh gedung kampus bukan hanya merupakan bentuk kefanatikan yang kasar terhadap orang Amerika keturunan Yahudi, tetapi juga sepenuhnya mengganggu penyelidikan dan penelitian intelektual yang seharusnya didukung oleh pendanaan federal untuk perguruan tinggi.”

     

    SUMBER: MIDDLE EAST MONITOR, MIDDLE EAST EYE, THE GUARDIAN

  • Harvard Menolak Tunduk pada Donald Trump, Sekalipun Hibah Rp 38 Triliun Harus Dibekukan – Halaman all

    Harvard Menolak Tunduk pada Donald Trump, Sekalipun Hibah Rp 38 Triliun Harus Dibekukan – Halaman all

    Harvard Menolak Tunduk pada Donald Trump, Sekalipun Hibah Rp 38 Triliun Dibekukan

    TRIBUNNEWS.COM- Upaya Presiden Donald Trump untuk merombak pendidikan tinggi melalui tuduhan anti-Semitisme yang dijadikan senjata telah mendapat pukulan besar setelah Universitas Harvard menolak untuk mematuhi tuntutan federal yang luas, yang memicu pembekuan pendanaan sebesar $2,3 miliar.

    Bentrokan ini menandai momen yang menentukan dalam kampanye yang meningkat oleh pemerintahan Trump untuk membentuk kembali nilai-nilai dan prioritas universitas-universitas Amerika, khususnya yang dipandang sebagai benteng pemikiran progresif.

    Harvard adalah salah satu dari 60 universitas yang menjadi sasaran pemotongan dana oleh pemerintahan Trump dalam tindakan keras yang lebih luas terhadap kampus-kampus atas tuduhan anti-Semitisme.

    Inti pertikaian ini adalah tuduhan bahwa lembaga-lembaga elit telah gagal mengatasi anti-Semitisme, tuduhan yang menurut para kritikus digunakan untuk menekan aktivisme politik, membubarkan inisiatif-inisiatif keberagaman, dan membungkam pandangan-pandangan yang berbeda, terutama setelah terjadinya protes mahasiswa pro-Palestina menyusul serangan militer Israel ke Gaza.

    Dalam surat beberapa halaman yang dikirim oleh pemerintah federal, Harvard diperintahkan untuk membubarkan semua program keberagaman, kesetaraan, dan inklusi (DEI), mengakhiri apa yang digambarkan oleh administrasi sebagai pertimbangan berbasis ras dalam penerimaan atau perekrutan dan departemen audit untuk memastikan apa yang disebutnya “keberagaman sudut pandang.” 

    Surat itu juga menuntut asosiasi pengacara dan organisasi mahasiswa pro-Palestina di universitas tersebut, menyeleksi mahasiswa internasional yang “memiliki sikap bermusuhan terhadap nilai-nilai Amerika,” dan memberikan laporan kemajuan rutin dan akses ke proses pengambilan keputusan internal kepada otoritas federal.

    Pemerintahan tersebut juga memerintahkan Harvard untuk mengeluarkan mahasiswa yang terlibat dalam demonstrasi pro-Palestina di masa lalu, dan untuk mengidentifikasi dan berpotensi memberikan sanksi kepada anggota fakultas yang bekerja di departemen yang diklaim terkait dengan pandangan anti-Semit.

    Sebagai tanggapan, Harvard menolak tuntutan tersebut secara langsung, menyebutnya sebagai serangan terhadap kebebasan akademis dan “melanggar hak Amandemen Pertama Harvard dan melampaui batas kewenangan pemerintah yang ditetapkan undang-undang.” 

    Dalam balasan resminya, universitas tersebut menyatakan bahwa “tidak akan menyerahkan independensinya atau melepaskan hak konstitusionalnya,” menambahkan bahwa usulan pemerintah tersebut “melampaui kewenangan sah dari administrasi ini atau administrasi mana pun” dan melanggar kebebasan yang telah lama dilindungi oleh Mahkamah Agung.

    Universitas tersebut mengakui perlunya mengatasi anti-Semitisme dan bentuk-bentuk diskriminasi lainnya, dan menyoroti serangkaian inisiatif yang telah dilakukan untuk meningkatkan iklim kampus dan menegakkan hukum federal. 

    Namun, universitas tersebut menegaskan bahwa kepatuhan terhadap ultimatum federal akan berarti pengambilalihan lembaga akademis swasta oleh pemerintah, yang akan merusak perlindungan konstitusional dan kebebasan akademis.

    Pembekuan pendanaan diumumkan beberapa jam setelah penolakan universitas dan merupakan bagian dari tinjauan federal yang lebih luas yang menargetkan hampir $9 miliar dalam kontrak dan hibah yang diberikan kepada institusi tersebut.

    Kampanye untuk membentuk kembali pendidikan tinggi di sepanjang garis ideologis yang menguntungkan Israel telah membuat beberapa universitas patuh di bawah tekanan. Universitas Columbia telah mengajukan tuntutan serupa setelah menghadapi ancaman pemotongan dana. 

    Sebaliknya, Harvard telah menjadi institusi Ivy League pertama yang mengambil sikap publik dan tanpa kompromi, menolak apa yang oleh para kritikus digambarkan sebagai upaya “McCarthyite” untuk menekan perbedaan pendapat dan aktivisme politik di kampus.

    Tindakan pemerintah ini muncul di tengah perubahan besar dalam sentimen publik AS. Jajak pendapat terkini menunjukkan adanya perbedaan tajam antara partai dan generasi dalam sikap terhadap Israel, dengan mayoritas anak muda Amerika menyatakan penentangan terhadap negara pendudukan tersebut dan semakin mendukung hak-hak Palestina. 

    Di antara para pemilih Demokrat, dukungan untuk Israel telah menurun drastis sejak genosida di Gaza.

    Penelitian Pew terbaru menunjukkan bahwa di antara kelompok usia 18–49 tahun, hanya di antara kaum Republikan yang lebih tua, Israel masih mendapat dukungan mayoritas.

    Sementara pemerintahan Trump menampilkan tindakannya sebagai tindakan keras terhadap anti-Semitisme, para kritikus berpendapat bahwa tindakannya mengaburkan batasan antara anti-Semitisme dan kritik yang sah terhadap Israel. 

    Mereka menyoroti desakan pemerintahan agar universitas mengadopsi definisi Aliansi Mengenang Holocaust Internasional (IHRA) yang kontroversial, dengan mencatat bahwa tujuh dari sebelas contoh ilustrasi yang disertakan dalam definisi tersebut menyamakan bentuk-bentuk kritik tertentu terhadap Israel dengan anti-Semitisme.

    Dalam pernyataan publik yang jarang terjadi mengenai masalah ini, mantan Presiden AS Barack Obama memuji sikap universitas tersebut, dengan mengatakan bahwa universitas tersebut “memberikan contoh” bagi universitas lain dengan menolak “upaya ceroboh untuk mengekang kebebasan akademis.”

     

    SUMBER: MIDDLE EAST MONITOR 

  • Harvard Menolak Tunduk pada Donald Trump, Sekalipun Hibah Rp 38 Triliun Harus Dibekukan – Halaman all

    Universitas Harvard Melawan Donald Trump, Rela Hilang Rp 37 Triliun, Berapa Lama akan Bertahan? – Halaman all

    Universitas Harvard Melawan Donald Trump, Rela Hilang Rp 37 Triliun, Berapa Lama akan Bertahan?

    TRIBUNNEWS.COM- Universitas Harvard mengatakan pihaknya tidak akan menuruti tuntutan Presiden AS Donald Trump – ada pendanaan federal atau tidak.

    “Tidak ada pemerintah – terlepas dari partai mana yang berkuasa – yang boleh mendikte apa yang dapat diajarkan oleh universitas swasta,” kata presiden Harvard Alan Garber dalam sebuah surat yang diunggah di situs web universitas tersebut.

    Tidak lama setelah Harvard menolak menyetujui daftar tuntutan Gedung Putih – yang mencakup arahan tentang cara mengatur, merekrut, dan mengajar – pemerintahan Trump membekukan dana federal sebesar $2,2 miliar (Rp 37 Triliun) untuk institusi tersebut.

    Banyak mahasiswa dan alumni memuji keputusan universitas untuk mempertahankan pendiriannya, meskipun ada konsekuensinya. 

    Mantan Presiden Barack Obama, yang juga seorang alumni, menyebut langkah Trump “tidak masuk akal” dan memuji Harvard sebagai “contoh bagi lembaga pendidikan tinggi lainnya”.

    Namun dengan miliaran yang dipertaruhkan, perebutan posisi yang lebih tinggi mungkin hanya serangan pembuka dalam perang gesekan antara pemerintah federal dan pendidikan tinggi.

    Serangan Trump terhadap Harvard tidaklah terisolasi – satuan tugas antisemitisme pemerintah telah mengidentifikasi sedikitnya 60 universitas untuk ditinjau.

    Masalahnya, kata pemerintah, adalah protes kampus pro-Palestina tahun lalu, yang mengguncang kampus-kampus di seluruh negeri, dan yang menurut pemerintahan Trump berkontribusi terhadap pelecehan terhadap mahasiswa Yahudi.

    Bulan lalu, Universitas Columbia menyetujui banyak tuntutan pemerintah pasca protes – setelah pemerintah memotong dana sebesar $400 juta.

    Harvard juga membuat konsesi. Universitas itu setuju untuk bekerja sama dengan gugus tugas administrasi untuk memerangi antisemitisme. 

    Universitas itu memberhentikan para pemimpin Pusat Studi Timur Tengah dan menangguhkan Prakarsa Agama, Konflik, dan Perdamaian atas tuduhan bias anti-Israel.

    Dan pada bulan Januari, Harvard menyelesaikan dua tuntutan hukum yang diajukan oleh mahasiswa Yahudi yang menuduh adanya antisemitisme. 

    Universitas tersebut tidak mengakui adanya kesalahan, dan mengatakan bahwa penyelesaian tersebut menunjukkan komitmennya untuk mendukung mahasiswa dan staf Yahudinya.

    Namun, universitas tersebut menarik garis pada daftar tuntutan Gedung Putih pada hari Jumat.

    Mahasiswa Harvard Sa’maia Evans, yang merupakan aktivis dan anggota Organisasi Perlawanan Afrika dan Afrika Amerika di universitas tersebut, mengatakan keputusan universitas untuk mengambil sikap sudah lama diambil.

    “Harvard hanya akan melakukan apa yang menjadi tanggung jawabnya,” katanya kepada BBC. 

    Ia menunjuk protes di kampus dalam beberapa minggu terakhir – dan kritik luas atas kesepakatan Columbia dengan pemerintahan Trump – sebagai faktor yang membantu menekan pejabat universitas.

    “Mereka tahu publik – mereka akan menghadapi reaksi keras publik” jika mereka menyerah, kata Evans.

    “Akan menjadi hal yang tidak lazim bagi Harvard untuk melakukan sesuatu di luar kepentingannya sendiri.”

    Dengan dana abadi sebesar $53,2 miliar – angka yang lebih besar dari PDB beberapa negara kecil – Harvard secara unik mampu bertahan menghadapi badai. Namun para ahli mengatakan bahwa universitas tersebut masih dalam kondisi terdesak.

    “Sebagian besar pembuat kebijakan menganggap dana abadi sebagai rekening giro, kartu debit tempat Anda dapat menarik uang dan menggunakannya untuk tujuan apa pun,” kata Steven Bloom, juru bicara American Council on Education. “Tetapi sebenarnya tidak demikian.”

    Meskipun dana abadi Harvard sangat besar, disebutkan bahwa 70 persen uangnya dialokasikan untuk proyek-proyek tertentu – yang merupakan hal umum untuk dana abadi pendidikan, menurut Tn Bloom.

    Harvard harus membelanjakan uang sesuai dengan arahan para donatur, atau mereka akan menghadapi tanggung jawab hukum.

    Dan pengeluaran Harvard sangat besar – anggaran operasionalnya tahun 2024 sebesar $6,4 miliar. 

    Sekitar sepertiganya didanai oleh dana abadi – dengan 16?rasal dari pemerintah federal, sering kali untuk membantu hal-hal yang seharusnya memberikan manfaat bagi seluruh AS, seperti penelitian biomedis.

    Tn. Bloom mengatakan aturan emas untuk pendanaan dana abadi adalah bahwa universitas tidak boleh menghabiskan lebih dari 5?ri total dana abadi mereka setiap tahun. Untuk menutupi kerugian sebesar $2 miliar, universitas harus meningkatkan dana abadinya sebesar $40 miliar.

    “Anda tidak dapat menemukan 40 miliar dolar di bawah batu,” kata Tn. Bloom.

    Dan penderitaan itu hanya akan bertambah jika Trump mampu mewujudkan ancamannya untuk mencabut status bebas pajak Harvard. 

    Status itu membantu sekolah tersebut terhindar dari membayar pajak atas investasi dan propertinya. 

    Harvard memiliki kampus di seluruh wilayah Greater Boston, dan diperkirakan oleh Bloomberg telah menghemat $158 juta untuk tagihan pajak propertinya pada tahun 2023.

    Realitas situasi ini membuat sebagian pelajar skeptis tentang berapa lama hal ini dapat berlangsung.

    “Pemerintah dapat berbuat lebih banyak jika ingin menyerang Harvard, dan saya tidak optimistis hal itu akan berhenti setelah memotong $2,2 miliar,” kata Matthew Tobin, perwakilan akademis di dewan mahasiswa Harvard.

    Tn. Tobin mengatakan gagasan bahwa pemerintahan Trump membuat tuntutan ini untuk membantu Harvard adalah “omong kosong”.

    “Ini adalah serangan yang tidak beritikad baik,” katanya kepada BBC. 

    “Pemotongan dana ini ada hubungannya dengan Trump yang menyerang sebuah institusi yang menurutnya liberal, dan ingin melakukan kontrol lebih besar terhadap apa yang diajarkan orang dan bagaimana siswa belajar dan berpikir.”

    SUMBER: BBC

  • Obama Puji Harvard Tolak Tunduk ke Trump Meski Diancam Dana Kampus Disetop

    Obama Puji Harvard Tolak Tunduk ke Trump Meski Diancam Dana Kampus Disetop

    Jakarta

    Mantan Presiden Amerika Serikat (AS) Barack Obama memuji keputusan Universitas Harvard menolak tuntutan Gedung Putih agar universitas tersebut mengubah kebijakannya usai terancam kehilangan dana federal. Obama, yang juga seorang alumni Harvard, menilai pembekuan tersebut melanggar hukum dan tidak adil.

    “Harvard telah memberi contoh bagi lembaga pendidikan tinggi lainnya – menolak upaya yang melanggar hukum dan tidak adil untuk mengekang kebebasan akademis, sambil mengambil langkah konkret untuk memastikan semua mahasiswa di Harvard dapat memperoleh manfaat dari lingkungan analitis intelektual, perdebatan yang ketat, dan rasa saling menghormati,” tulis Obama di media sosialnya seperti dilansir dari kantor berita AFP, Rabu (16/4/2025).

    Obama meminta lembaga lain untuk mengikuti langkah Harvard dengan tidak mengalah pada tuntutan Trump. Mantan presiden yang lulus dari Sekolah Hukum Harvard pada tahun 1991 itu diketahui jarang mengkritik atau menegur pejabat pemerintah atau kebijakan pemerintah di media sosial sejak meninggalkan Gedung Putih hampir satu dekade lalu.

    Obama menjadi salah satu dari segelintir tokoh politik AS dan pejabat universitas yang sekarang menentang upaya pemerintahan Trump untuk membentuk kembali universitas-universitas top negara itu melalui tekanan, salah satunya dengan ancaman memotong dana penelitian.

    Sebelumnya Trump mendorong Universitas Harvard meminta maaf buntut kegiatan aktivisme yang membuat dana kampus itu terancam disetop. Trump menganggap kampus itu menoleransi anti-Semitisme terkait aktivisme kampus terhadap isu Palestina.

    “(Trump) ingin melihat Harvard meminta maaf. Dan Harvard harus meminta maaf,” kata Sekretaris Pers Karoline Leavitt dilansir kantor berita AFP, Rabu.

    Adapun Trump membekukan lebih dari $2 miliar (£1,5 miliar) dana federal untuk Harvard karena universitas tersebut tidak akan membuat perubahan pada perekrutan, penerimaan, dan praktik pengajaran yang menurut pemerintahannya merupakan kunci untuk memerangi antisemitisme di kampus.

    (fca/fca)

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • Politik Kita Semakin Gemoy?

    Politik Kita Semakin Gemoy?

    Oleh: M. Adnan Arsyad, 3d artist mahasiswa Magister Ilmu Politik Universitas Diponegoro

    TRIBUNJATENG.COM – Industri kreatif dan politik, dua dunia yang dahulu berjalan sejajar, kini kian berjalin erat.

    Dalam lanskap demokrasi digital, kreativitas tak lagi sekadar estetika—ia adalah senjata politik.

    Pemilu bukan hanya tentang visi-misi, tetapi juga soal kemasan yang mampu mengundang emosi dan disebar ulang dalam sekali klik.

    Menurut Katadata Insight Center (2023), sekitar 79 persen pemilih muda Indonesia pertama kali mengenal kandidat politik melalui media sosial, bukan media konvensional.

    Ini mengindikasikan bahwa Instagram, TikTok, dan YouTube telah menjadi medan tempur narasi politik.

    Konten kreatif tak hanya menjadi jembatan komunikasi, tetapi juga alat persuasi.

    Fenomena “Gemoy 2024” yang melekat pada sosok Prabowo Subianto menjadi contoh transformasi citra politik melalui strategi visual.

    Dari sosok militer yang dahulu terkesan keras, Prabowo kini direka ulang sebagai figur yang hangat dan lucu—menggemaskan.

    Istilah “gemoy”, yang dipinjam dari kultur internet K-pop, digunakan secara strategis untuk menciptakan kedekatan emosional dengan pemilih muda, melalui meme, jingle, dan ekspresi visual yang viral.

    Pendekatan ini mengafirmasi teori emotional branding dari Marc Gobé (2001), bahwa keterikatan emosional lebih efektif dalam membangun loyalitas dibandingkan komunikasi rasional semata.

    Figur politik, seperti brand, harus mampu menyentuh sisi afektif audiensnya.

    Kampanye Barack Obama pada 2008 menjadi preseden global. Dengan ikon visual “HOPE” karya Shepard Fairey, Obama menunjukkan bahwa kekuatan visual dapat melampaui narasi konvensional.

    Studi Wheeler (2011) mencatat bahwa pemilih cenderung mengingat simbol lebih kuat daripada isi debat. Kini, pendekatan serupa diadopsi di Indonesia, dengan kolaborasi politisi dan kreator konten, dari musisi hingga pembuat film pendek.

    Namun, keberhasilan estetika kampanye ini mengundang pertanyaan etis. Apakah publik memilih karena memahami, atau hanya karena “terhibur”? 

    Dalam bukunya Amusing Ourselves to Death, Neil Postman (1985) memperingatkan bahwa ketika politik berubah menjadi hiburan, demokrasi terancam kehilangan substansi. “We are amusing ourselves to death,” tulisnya.

    Lebih dalam, kita perlu bertanya: Siapa yang mengarahkan wacana? Politisi, atau algoritma? Demokrasi algoritmik saat ini menyisakan ruang gelap: dari konten viral tanpa sumber, microtargeting psikografis, hingga penggunaan deepfake.

    Belum ada regulasi ketat di Indonesia yang menjamin kampanye digital tetap etis dan mendidik.

    Di titik ini, industri kreatif seharusnya tak hanya menjadi eksekutor visual, melainkan penjaga integritas demokrasi. Pekerja kreatif bukan semata perpanjangan tangan politisi, tapi juga kurator narasi yang jujur.

    Kreativitas politik seharusnya mengangkat kualitas wacana, bukan menenggelamkannya dalam sensasi.

    Lalu, sebagai pemilih dan pembuat konten, kita patut bertanya: Apakah “gemoy” cukup untuk memilih masa depan bangsa? (*)