Tag: Barack Obama

  • Trump Rombak Kebijakan Siber Era Biden dan Obama

    Trump Rombak Kebijakan Siber Era Biden dan Obama

    Bisnis.com, JAKARTA — Presiden AS Donald Trump resmi menandatangani perintah eksekutif yang merevisi dan mencabut sejumlah kebijakan keamanan siber yang dibuat oleh pendahulunya, Presiden Joe Biden dan Barack Obama. 

    Dalam laporan lembar fakta White House, dikutip dari Tech Crunch, Minggu (8/6/2025) pemerintahan Trump menilai kebijakan di era Joe Biden justru mengganggu keamanan siber. 

    Salah satu poin utama yang ditolak Trump adalah ketentuan untuk menerima dokumen identitas digital sebagai bentuk verifikasi dalam program bantuan publik.

    Menurut Trump dan timnya, kebijakan tersebut dapat membuka celah bagi imigran ilegal untuk secara tidak sah mengakses berbagai manfaat publik. 

    “Ini adalah risiko nyata dari penyalahgunaan sistem secara luas,” tulis keterangan resmi Gedung Putih.

    Namun, sejumlah pengamat kebijakan siber menilai langkah ini sebagai bentuk politisasi isu keamanan digital.

    Direktur Senior Pusat Inovasi Siber dan Teknologi di Foundation for Defense of Democracies, Mark Montgomery mengatakan bahwa pendekatan Trump cenderung mengorbankan manfaat keamanan siber yang sudah terbukti. 

    “Fokus berlebihan pada isu imigrasi membuat kita kehilangan peluang penting untuk memperkuat sistem digital negara,” ujarnya. 

    Dalam kebijakan barunya, Trump juga membatalkan sejumlah inisiatif Biden yang bertujuan memperkuat keamanan siber melalui kecerdasan buatan (AI). 

    Beberapa kebijakan yang dicabut antara lain pengujian penggunaan AI untuk melindungi infrastruktur energi nasional, pendanaan riset federal di bidang keamanan AI, serta instruksi kepada Departemen Pertahanan (Pentagon) untuk mengintegrasikan model AI ke dalam sistem keamanan siber militer.

    Gedung Putih menyatakan bahwa langkah Trump ini adalah bagian dari reorientasi strategi AI ke arah yang lebih teknis dan realistis. Fokusnya kini bergeser ke identifikasi serta pengelolaan kerentanan siber, dan bukan ke arah yang menurut Trump berisiko memunculkan praktik sensor digital.

    Selain AI, Trump juga mencabut persyaratan enkripsi tahan kuantum yang sebelumnya diminta untuk segera diterapkan oleh semua lembaga federal.

    Kebijakan Biden yang mewajibkan kontraktor pemerintah membuktikan keamanan perangkat lunak mereka juga dihapus, dengan alasan dianggap terlalu memberatkan dan berorientasi pada daftar periksa kepatuhan alih-alih investasi nyata dalam sistem keamanan.

    “Ini adalah proses akuntansi yang tidak terbukti efektivitasnya,” jelas pernyataan resmi dari Gedung Putih.

    Lebih jauh lagi, Trump mencabut kebijakan era Obama yang mengizinkan penerapan sanksi terhadap pelaku serangan siber—baik asing maupun domestik. 

    Kini, sanksi hanya dapat dikenakan kepada oknum asing. Pemerintah berpandangan langkah ini bertujuan melindungi kebebasan politik dalam negeri dan mencegah penyalahgunaan wewenang terhadap lawan politik.

    “Sanksi tidak boleh digunakan terhadap kegiatan yang terkait pemilihan umum,” tegas pernyataan Gedung Putih.

  • Hasil Survei Sebut 69,7% Masyarakat Yakin Ijazahnya Asli, Jokowi: Artinya Punya Logika Sehat

    Hasil Survei Sebut 69,7% Masyarakat Yakin Ijazahnya Asli, Jokowi: Artinya Punya Logika Sehat

    GELORA.CO –  Lembaga Survei Indikator Politik Indonesia merilis hasil survei yang menunjukkan mayoritas masyarakat Indonesia tidak percaya bahwa Presiden Ke-7 RI Joko Widodo memalsukan ijazahnya.

    Prof. Burhanuddin Muhtadi dari Indikator Politik Indonesia menjelaskan bahwa survei dilakukan secara sistematik pada tanggal 17-20 Mei 2025 melalui metode survei telepon nasional.

    Dengan teknik double sampling yang memanfaatkan database jutaan responden yang telah dikumpulkan melalui survei tatap muka sebelumnya.

     

    Hasil survei menunjukkan bahwa 75,9% responden mengetahui kasus dugaan ijazah palsu Jokowi, sementara 24,1% mengaku tidak mengetahui kasus tersebut.

    “Isu ijazah Jokowi ini membetot perhatian publik yang cukup luas, bahkan mengalahkan sebagian besar kasus-kasus korupsi yang sedang disidik oleh aparat hukum. Ada 75% warga yang mengaku tahu kasus dugaan ijazah palsu Pak Jokowi dan ini sangat luar biasa besar, tidak ada kasus sebesar ini,” ungkap Prof. Burhanuddin.

    Yang lebih signifikan lagi, dari responden yang mengetahui kasus ini, sebanyak 69,7% tidak percaya bahwa Jokowi memalsukan ijazahnya, sementara hanya 18,7% yang percaya akan tuduhan tersebut.

    Ketika ditanyakan kepada seluruh responden (baik yang tahu maupun tidak tahu kasus ini), angka ketidakpercayaan mencapai 66,9%.

    Prof. Burhanuddin menegaskan bahwa komposisi demografis menunjukkan pola yang merata di semua kelompok masyarakat,

     

    “Misalnya kelompok laki-laki yang tidak percaya bahwa Jokowi memalsukan ijazah itu 63%, perempuan 70,3%. Generasi berdasarkan Gen Z, milenial, Gen X dan seterusnya itu mayoritas juga tidak percaya.”

    Menariknya, berdasarkan akses informasi media sosial, pengguna Twitter/X menunjukkan tingkat kepercayaan tertinggi terhadap tuduhan pemalsuan ijazah.

    Sementara pengguna platform lain seperti TikTok, Instagram, YouTube, dan Facebook mayoritas tidak percaya akan tuduhan tersebut.

    Menanggapi hasil survei tersebut, Presiden Joko Widodo memberikan komentar singkat yang menyatakan, “Artinya masyarakat memiliki logika dan penalaran yang sehat. Memiliki logika dan penalaran yang sehat artinya itu karena logikanya memang enggak masuk akal.”

    Jokowi juga menegaskan bahwa meskipun ada yang pro dan kontra, “semuanya nanti kita serahkan pada proses hukum. Nanti di pengadilan akan terbuka semuanya secara jelas dan gamblang, karena di situ pasti nanti ada fakta-fakta, ada bukti-bukti, ada saksi-saksi semuanya akan dibuka di sidang pengadilan.”

    Prof. Burhanuddin mengapresiasi logika masyarakat yang menilai isu ini tidak masuk akal, mengingat banyaknya verifikasi yang telah dilakukan berbagai lembaga.

     

    “Ada banyak warga yang rasional yang bukan fansnya Pak Jokowi yang menganggap bahwa isu ini terlalu dibuat-buat.

    Ada banyak teman Pak Jokowi yang masih hidup yang bisa kita tanya, ada institusi UGM yang bisa kita klarifikasi, ada institusi seperti KPU karena Pak Jokowi maju dalam proses kontestasi elektoral dua kali di tingkat Pilkada Kota Surakarta, di tingkat Pilgub 2012, kemudian di Pilpres 2014 dan 2019, dan masing-masing KPU melakukan verifikasi,” jelasnya.

    Namun, Prof. Burhanuddin juga menganalisis mengapa masih ada 18,7-19% masyarakat yang percaya akan tuduhan tersebut.

    Analisisnya menunjukkan adanya faktor partisan politik yang kuat, terutama dari basis pendukung Anies Baswedan dalam Pilpres 2024.

    “Pendukung Mas Anis paling banyak yang percaya, meskipun mayoritas pendukung Mas Anis tidak percaya Pak Jokowi memalsukan (51% tidak percaya).

    Tapi ada 40% pendukung beliau di 2024 yang lalu yang percaya bahwa ada proses pemalsuan ijazah Pak Jokowi.

    40,2% basis pendukung Mas Anis ini jauh lebih besar ketimbang basis pendukung Mas Ganjar atau Pak Prabowo yang percaya bahwa ijazah Pak Jokowi palsu,” ungkapnya.

    Ia juga mencatat adanya kekecewaan dari sebagian basis PDI Perjuangan terhadap sikap Jokowi di Pemilu 2024.

    Terutama terkait putusan nomor 90 yang memungkinkan Gibran Rakabuming maju sebagai calon wakil presiden.

     Prof. Burhanuddin menganalogikan kasus ini dengan kontroversi akta kelahiran Barack Obama yang dipertanyakan Donald Trump.

    Di mana meskipun Obama telah menunjukkan akta kelahirannya, sebagian pendukung partai Republik tetap ragu akan keasliannya.

    Prof. Burhanuddin Muhtadi menyerukan agar publik dan media beralih fokus pada isu-isu yang lebih substansial ketimbang perdebatan ijazah yang dinilainya tidak produktif.

    “Sebaiknya kita lebih fokus pada isu-isu yang jauh lebih penting, jauh lebih substantif. Misalnya berkaitan dengan pelemahan ekonomi, berkaitan dengan isu fungsi TNI, isu pelemahan atau regresi demokrasi itu jauh lebih krusial ketimbang isu ijazah,” tegasnya.

    Menurutnya, survei opini publik yang dilakukan mengkonfirmasi bahwa isu ijazah pada dasarnya dianggap tidak terlalu krusial oleh warga.

    Ia juga menekankan bahwa secara implikasi politik, isu ini sudah tidak relevan lagi mengingat Jokowi sudah tidak menjabat sebagai presiden.

    “Buat apa kita menghabiskan energi untuk hal-hal yang secara implikasi politiknya juga sudah tidak ada karena beliau sudah tidak lagi menjadi pejabat publik sebagai presiden,” ujarnya.

    Lebih lanjut, Prof. Burhanuddin menyoroti isu-isu yang seharusnya mendapat perhatian lebih besar dari publik.

    Seperti ketidakpastian geopolitik global, economic uncertainty, tekanan terhadap rupiah yang mengalami penurunan sekitar 10% meskipun belakangan sedikit menguat, serta isu PHK yang semakin mengkhawatirkan.

    “Isu global economic uncertainty, rupiah kita mengalami tekanan meskipun belakangan agak menguat tetapi overall agak turun 10% dibanding sebelumnya, kemudian isu PHK saya kira itu isu yang jauh lebih penting yang menurut saya membutuhkan perhatian publik lebih keras dalam rangka membantu pemerintah agar masalah-masalah kebangsaan yang lebih substantif ini bisa segera teratasi,” pungkasnya.

    Hasil survei ini memberikan gambaran bahwa meskipun isu ijazah Jokowi mendapat perhatian luas dari publik.

    Mayoritas masyarakat Indonesia tetap menunjukkan sikap rasional dan tidak mudah terprovokasi oleh isu yang dinilai tidak memiliki dasar logis yang kuat.

    Sekaligus menjadi indikator bahwa masyarakat Indonesia memiliki kematangan politik dalam menyikapi berbagai isu kontroversial.***

  • Begini Cara Mendeteksi Batu Akik Bacan Asli – jabarekspres.com

    Begini Cara Mendeteksi Batu Akik Bacan Asli – jabarekspres.com

    JABAR EKSPRES – Ada banyak batu akik yang asli dari Indonesia, salah satunya yang paling terkenal adalah batu bacan.

    Bahkan batu bacan ini diklaim memiliki popularitas yang lebih tinggi dibanding dengan batu akik yang lainnya.

    Di sisi harga pun batu bacan ini melonjak drastis, karena sulit ditambang dan menjadi burun para kolektor batu akik.

    Baca Juga:Persib Sudah Fix Rekrut Berguinho untuk Musim Depan?3 Ciri Batu Akik Giok yang Asli, Hati-hati Barang Palsu

    Kemudian batu asal Maluku Utara ini memiliki skala kekerasan yang cukup tinggi berada di angka 7,5 skala mohs.

    Ada beberapa jenis batu bacan ini, di antaranya bacan doko, bacan palamea, bacan cincau, bacan kembang, dan masih banyak yang lainnya.

    Sebelumnya, harga batu bacan ini tidak semahal seperti sekarang karena ketika itu belum banyak dikenal.

    Akan tetapi setelah ada pembeli seorang turis dari Singapura pada tahun 90-an, nama batu ini menjadi terkenal.

    Bukan hanya itu, batu bacan juga pernah dijadikan oleh Susilo Bambang Yudhoyono ketika menjabat sebagai presiden kepada Barack Obama.

    Cara Mendeteksi Bacan Asli

    Karena banyak peminat dan cenderung susah untuk ditambang, batu ini menjadi rawan akan pemalsuan.

    Sehingga kalian harus berhati-hati ketika hendak membeli batu bacan agar tidak mendapatkan barang sintetis.

    Baca Juga:Cara Membedakan Batu Akik Kalimaya yang Asli dan Palsu4 Cara Mudah Membedakan Batu Akik Kecubung yang Asli dan Palsu

    Berikut ini sebagaimana dilansir dari buku “Hobi & Investasi Batu Mulia”, beberapa cara mendeteksi batu bacan yang asli.

    1. Batu bacan yang asli dapat menggores kaca saat digesekkan

    2. Batu yang asli akan terlihat memiliki warna dan serat khas yang berbeda dengan jenis batu lain ketika dilihat menggunakan senter atau kaca pembesar

    3. Kemudian bisa juga dengan mengeceknya melalui laboratorium khusus agar lebih mendapatkan hasil yang akurat

    4. Lalu bisa dengan cara membakarnya, batu yang asli akan mengeluarkan minyak setelah dibakar. Ketika dilap, minyak tersebut akan hilang dan kembali mengkilap.

    5. Terakhir batu bacan yang asli akan mengalami perubahan warna seiring berjalannya waktu.

    Itulah sejumlah cara untuk mendeteksi batu akik bacan yang asli agar terhindar dari batu palsu alias sintetis.*

  • Harvard Melawan saat Trump Terus Menekan

    Harvard Melawan saat Trump Terus Menekan

    Jakarta

    Harvard University melawan kebijakan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dengan melayangkan gugatan di pengadilan federal Massachusetts. Salah satu universitas terbaik dunia ini meradang karena kebijakan Trump yang melarang penerimaan mahasiswa asing alias non warga negara AS.

    Dilansir AFP pada Sabtu (24/5/2025), Harvard menduga larangan penerimaan mahasiswa asing adalah balasan dari Trump karena pihaknya menolak tuntutan pemerintah untuk mengendalikan tata kelola, kurikulum, dan ‘ideologi’ fakultas dan mahasiswa. Harvard mengatakan penolakan pihaknya terhadap kebijakan Trump merupakan hak amandemen pertama.

    “Ini adalah tindakan terbaru pemerintah sebagai balasan yang jelas terhadap Harvard yang menjalankan hak Amandemen Pertama dengan menolak tuntutan pemerintah untuk mengendalikan tata kelola, kurikulum, dan ‘ideologi’ fakultas dan mahasiswa Harvard,” tulis dokumen gugatan yang diajukan di pengadilan federal Massachusetts dilansir kantor berita AFP, Sabtu (24/5/2025).

    Sebelumnya Trump melalui menuduh Harvard telah “mendorong kekerasan, anti-Semitisme, dan berkoordinasi dengan Partai Komunis China”. Maka isi gugatan Harvard yakni meminta hakim AS untuk “menghentikan tindakan pemerintah yang sewenang-wenang, tidak masuk akal, melanggar hukum, dan inkonstitusional”.

    Lalu apa bagaimana hasil gugatan tersebut?

    Hakim Tangguhkan Larangan Trump

    Donald Trump (Foto: Getty Images via AFP/ANDREW HARNIK)

    Hakim Distrik AS Allison Burroughs memerintahkan penangguhan sementara terhadap larangan HarvardUniversity menerima mahasiswa asing. DilansirAFPdanReuters, perintah hakim Burroughs ini akan menangguhkan kebijakan Trump itu selama dua pekan ke depan.

    Sidang lanjutan dijadwalkan berlangsung pada 27 Mei dan 29 Mei untuk mempertimbangkan langkah selanjutnya dalam perkara ini.

    Di sisi lain, perintah hakim Burroughs ini sedikit memberikan keringanan kepada ribuan mahasiswa asing Harvard yang dipaksa pindah universitas, atau terancam kehilangan status hukum mereka.

    Gedung Putih memberikan reaksi keras terhadap perintah hakim AS tersebut. Jurubicara Gedung Putih Abigail Jackson menyebut hakim Burroughs tidak memiliki hak untuk menghentikan kebijakan pemerintahan Trump.

    “Hakim yang tidak dipilih, tidak memiliki hak untuk menghentikan pemerintahan Trump dalam menjalankan kendali yang sah atas kebijakan imigrasi dan kebijakan keamanan nasional,” tegas Jackson dalam pernyataannya.

    Hakim Burroughs Disebut Hakim Komunis

    Pemerintahan Trump memberi sinyal akan mengajukan banding atas putusan hakim Burroughs tersebut. Kemudian Wakil kepala staf Gedung Putih, Stephen Miller, dalam tanggapan terpisah menyebut hakim Burroughs sebagai ‘hakim komunis’.

    Dia mengatakan bahwa dengan mengabulkan penangguhan sementara, seorang hakim komunis telah menciptakan hak konstitusional untuk warga negara asing untuk diterima di universitas-universitas Amerika yang didanai oleh pajak warga Amerika.

    Hakim Burroughs merupakan seorang hakim distrik AS yang bertugas di Pengadilan Distrik AS untuk Massachusetts. Dia ditunjuk menjadi hakim distrik AS sejak tahun 2015 lalu oleh mantan Presiden Barack Obama pada era pemerintahannya.

    Diketahui Harvard menerima hampir 6.800 mahasiswa asing untuk tahun ajaran saat ini. Angka itu setara dengan 27 persen dari total pendaftaran untuk tahun ajaran saat ini.

    Oleh sebab itu langkah ini membuat masa depan ribuan mahasiswa asing menjadi tidak jelas, dan aliran pendapatan menguntungkan yang didapat dari penerimaan mahasiswa asing menjadi diragukan.

    Halaman 2 dari 2

    (aud/lir)

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • Larangan Harvard Terima Mahasiswa Asing Ditangguhkan, Ini Kata Gedung Putih

    Larangan Harvard Terima Mahasiswa Asing Ditangguhkan, Ini Kata Gedung Putih

    Washington DC

    Kebijakan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump melarang Universitas Harvard menerima mahasiswa asing ditangguhkan sementara oleh seorang hakim distrik AS, menyusul gugatan hukum yang diajukan universitas bergengsi tersebut. Gedung Putih memberikan reaksi keras terhadap perintah hakim AS tersebut.

    Harvard dalam gugatannya menyebut langkah pemerintahan Trump mencabut hak universitas itu untuk menerima mahasiswa asing sebagai “pelanggaran terang-terangan” terhadap Konstitusi AS dan hukum-hukum federal AS lainnya. Gugatan diajukan terhadap pengadilan federal Boston, Massachusetts, pada Jumat (23/5).

    Setelah gugatan hukum diajukan, hakim distrik AS Allison Burroughs menjatuhkan putusan awal yang memerintahkan penangguhan sementara kebijakan Trump itu.

    Hakim Burroughs memerintahkan agar “pemerintahan Trump dengan ini dilarang melaksanakan… pencabutan sertifikasi SEVP (Program Mahasiswa dan Pengunjung Pertukaran) dari penggugat” — dalam hal ini Harvard. SEVP menjadi sistem utama yang mengizinkan mahasiswa asing menempuh pendidikan di AS.

    Perintah hakim Burroughs ini akan menangguhkan kebijakan Trump itu selama dua pekan ke depan. Hakim Burroughs menjadwalkan sidang lanjutan pada 27 Mei dan 29 Mei untuk mempertimbangkan langkah selanjutnya dalam kasus tersebut.

    Menanggapi perintah hakim AS tersebut, seperti dilansir Reuters dan AFP, Sabtu (24/5/2025), juru bicara Gedung Putih Abigail Jackson menyebut hakim Burroughs tidak memiliki hak untuk menghentikan kebijakan pemerintahan Trump.

    “Hakim yang tidak dipilih, tidak memiliki hak untuk menghentikan pemerintahan Trump dalam menjalankan kendali yang sah atas kebijakan imigrasi dan kebijakan keamanan nasional,” tegas Jackson dalam pernyataannya.

    Wakil kepala staf Gedung Putih, Stephen Miller, dalam tanggapan terpisah menyebut hakim Burroughs sebagai “hakim komunis”.

    Dia mengatakan bahwa dengan mengabulkan penangguhan sementara, “seorang hakim komunis telah menciptakan hak konstitusional untuk warga negara asing… untuk diterima di universitas-universitas Amerika yang didanai oleh pajak warga Amerika”.

    Hakim Burroughs merupakan seorang hakim distrik AS yang bertugas di Pengadilan Distrik AS untuk Massachusetts. Dia ditunjuk menjadi hakim distrik AS sejak tahun 2015 lalu oleh mantan Presiden Barack Obama pada era pemerintahannya.

    Putusan yang dijatuhkan hakim Burroughs ini sedikit memberikan keringanan kepada ribuan mahasiswa asing Harvard yang dipaksa pindah universitas berdasarkan kebijakan pemerintahan Trump, atau terancam kehilangan status hukum mereka.

    Harvard menerima hampir 6.800 mahasiswa asing untuk tahun ajaran 2024-2025. Angka itu setara dengan 27 persen dari total pendaftaran untuk tahun ajaran tersebut.

    Larangan menerima mahasiswa asing ini diberlakukan Trump karena dia marah pada Harvard yang menolak pengawasan Washington atas penerimaan dan perekrutan di tengah tuduhan soal universitas bergengsi itu menjadi sarang anti-Semitisme dan ideologi liberal “woke”.

    Pemerintahan Trump mengancam akan meninjau kembali pendanaan pemerintah untuk Harvard sebesar US$ 9 miliar, sebelum membekukan hibah sebesar US$ 2,2 miliar pada tahap pertama. Pemerintahan Trump juga mendeportasi seorang peneliti Sekolah Kedokteran Harvard.

    “Ini adalah tindakan terbaru pemerintah sebagai balas dendam yang jelas terhadap langkah Harvard menjalankan hak Amandemen Pertama dengan menolak tuntutan pemerintah untuk mengendalikan tata kelola, kurikulum, dan ‘ideologi’ fakultas dan para mahasiswanya,” tegas Harvard dalam gugatan hukumnya.

    Gugatan Harvard itu meminta hakim AS untuk “menghentikan tindakan pemerintah yang sewenang-wenang, tidak masuk akal, melanggar hukum, dan inkonstitusional.”

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • Michelle Obama Blak-blakan soal Terapi dan Fase Baru dalam Hidupnya

    Michelle Obama Blak-blakan soal Terapi dan Fase Baru dalam Hidupnya

    JAKARTA – Michelle Obama mengungkap ia kembali menjalani terapi sebagai bagian dari proses transisi menuju fase baru dalam hidupnya.

    Dalam penampilannya di podcast On Purpose bersama Jay Shetty pada 28 April lalu, mantan Ibu Negara Amerika Serikat yang kini berusia 61 tahun ini membagikan bahwa ia tengah menjalani terapi untuk membantunya menavigasi kehidupan setelah masa publiknya di Gedung Putih bersama sang suami, Barack Obama.

    “Di fase hidup saya sekarang, saya sedang menjalani terapi karena saya sedang bertransisi, tahu kan?” ujar Michelle, dikutip dari laman People.

    “Saya sudah 60 tahun, saya telah menyelesaikan sesuatu yang sangat berat dalam hidup dan keluarga saya tetap utuh. Sekarang saya seorang ‘empty nester’. Anak-anak saya sudah mandiri, mereka sudah diluncurkan. Dan untuk pertama kalinya, setiap pilihan yang saya buat sepenuhnya adalah pilihan saya sendiri,” lanjutnya.

    Tanpa lagi alasan seperti ‘anak-anak butuh ini’ atau ‘negara butuh itu’, Michelle mengaku mulai bertanya pada dirinya sendiri soal arah hidup ke depan. Ia pun memilih menjalani terapi untuk membantu menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.

    “Saya butuh bantuan untuk memikirkan fase berikutnya. Biar saya luruskan kebiasaan lama, urai perasaan bersalah yang saya bawa, dan renungkan bagaimana hubungan saya dengan ibu saya memengaruhi cara saya berpikir,” tuturnya.

    Michelle menggambarkan terapi sebagai bentuk ‘tune-up’, semacam servis rutin bagi dirinya dan percaya bahwa saat inilah waktu yang tepat untuk itu. Ia merasa fase baru yang dijalaninya kini membutuhkan perspektif baru, bahkan dari orang yang tidak terlalu mengenalnya.

    “Saya punya seseorang baru yang sedang mengenal saya dari nol, melihat saya secara segar, dan mendengar semua emosi saya,” kata Michelle.

    Dalam kesempatan lain, Michelle juga sempat membicarakan kebebasan barunya di podcast Work in Progress milik Sophia Bush. Di sana ia mengaku bahwa kini dirinya bisa melakukan apa pun yang diinginkannya, sebuah hal  belum pernah dirasakan sebelumnya.

    “Untuk pertama kalinya dalam hidup saya, semua pilihan saya adalah untuk diri saya sendiri,” ujarnya.

    Meski begitu, ia menyadari keputusan-keputusan pribadinya kerap disalahartikan publik, termasuk isu seputar pernikahannya dengan Barack Obama.

    “Banyak orang tak bisa menerima bahwa saya membuat pilihan untuk diri saya sendiri. Mereka langsung mengira saya dan suami saya akan bercerai. Tak mungkin ini hanya tentang seorang perempuan dewasa yang mengambil keputusan untuk dirinya sendiri, kan?” ucap Michelle dengan menyoroti ekspektasi sosial yang kerap membebani perempuan.

    Dengan terbukanya Michelle Obama soal kesehatan mental dan pentingnya terapi, ia sekali lagi menunjukkan bahwa meski telah melewati panggung dunia. Michelle tetap terus belajar dan bertumbuh menjadi lebih baik lagi.

  • Michelle Obama Sampai Terapi, Begini Kondisinya Hadapi Fase Baru Kehidupan

    Michelle Obama Sampai Terapi, Begini Kondisinya Hadapi Fase Baru Kehidupan

    Jakarta

    Mantan Ibu Negara AS Michelle Obama mengungkapkan dirinya yang sedang menjalani terapi untuk menjalani fase kehidupan berikutnya di dalam hidupnya. Dalam podcast On Purpose milik Jay Shetty, terapi ini dilakukannya untuk membantu mengarahkan hidupnya setelah suaminya, Barack Obama, tidak menjabat lagi sebagai Presiden Amerika Serikat.

    “Pada fase kehidupan saya ini, saya sedang menjalani terapi karena sedang bertransisi. Saya berusia 61 tahun, telah menyelesaikan hal yang sangat sulit dalam hidup dengan keluarga yang utuh,” terang Michelle, dikutip dari People.

    “Saya seorang ibu yang anaknya sudah dewasa. Anda tahu, anak-anak perempuan saya sudah dewasa, mereka sudah siap. Dan sekarang untuk pertama kalinya, seperti yang saya katakan sebelumnya, setiap pilihan yang saya buat sepenuhnya adalah milik saya,” sambungnya.

    Sebelumnya, muncul rumor perceraian antara Barack Obama dengan Michelle. Tetapi, hal itu ia tepis dan mengaku pernah mengalami kesepian dalam rumah tangganya karena sang suami yang sibuk dengan pekerjaannya sebagai presiden.

    Kini, Michelle mengaku sudah tidak punya alasan lagi untuk memikirkan apa yang dibutuhkan anak-anaknya, suami, bahkan negara. Wanita 61 tahun hanya perlu memikirkan dirinya sendiri dengan bantuan terapi.

    Michelle telah menjalani terapi selama bertahun-tahun dan menyebutnya sebagai ‘penyegaran’.

    “Biarkan saya menghilangkan beberapa kebiasaan lama. Biarkan saya memilah-milah rasa bersalah lama yang telah saya bawa. Hubungan dengan ibu saya telah mempengaruhi cara berpikir tentang berbagai hal,” tuturnya.

    “Jadi, saya mendapat penyegaran untuk fase berikutnya ini karena saya percaya ini adalah fase yang sama sekali berbeda dalam hidup saya,” tambah Michelle.

    Michelle mengaku kini sudah dapat melakukan apapun yang diinginkannya. Ia merasa bebas dari apa saja yang selama ini dipendam.

    Dia juga menyinggung bagaimana kebebasan yang baru ditemukannya ini berpapasan dengan pengawasan publik yang terus-menerus memicu gosip dan spekulasi tentang status pernikahannya dengan Obama.

    “Itulah yang kami sebagai wanita perjuangkan, mengecewakan orang lain. Maksud saya, begitu mengecewakannya sampai-sampai tahun ini orang-orang bahkan tidak dapat memahami bahwa saya membuat pilihan untuk diri sendiri. Mereka malah berasumsi bahwa saya dan suami saya akan bercerai,” jelas Michelle.

    “Tidak mungkin seorang wanita dewasa hanya membuat rangkaian keputusan sendiri, bukan? Tetapi, itulah yang dilakukan masyarakat pada kami. Jika keputusan itu tidak sesuai dengan stereotip mereka, itu akan dicap sebagai sesuatu yang negatif dan mengerikan,” pungkasnya.

    (sao/suc)

  • Sosok Fumio Kishida, Utusan Khusus PM Jepang yang Temui Prabowo Tadi Malam di Kertanegara – Halaman all

    Sosok Fumio Kishida, Utusan Khusus PM Jepang yang Temui Prabowo Tadi Malam di Kertanegara – Halaman all

     

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Mantan Perdana Menteri (PM) Jepang Fumio Kishida beserta delegasi menemui Presiden RI Prabowo Subianto di kediamannya di Kertanegara, Jakarta Selatan, Minggu (4/5/2025) malam.

    Fumio Kishida yang hadir selaku utusan khusus PM Jepang tersebut menyampaikan surat dari PM Jepang Shigeru Ishiba untuk Prabowo.

    Dikutip dari keterangan pers Setpres,   Menko Perekonomian Airlangga Hartarto yang hadir dalam pertemuan itu mengatakan selain menyampaikan pesan resmi dari Pemerintah Jepang, kedua pihak juga membahas perkembangan proyek kerja sama dalam kerangka AZEC.

    Menurut Airlangga, saat ini  Indonesia memiliki lebih dari 170 MoU (perjanjian kerjasama) dengan Jepang.

    Setelah pertemuan di ruang kerja, agenda dilanjutkan dengan jamuan santap malam bersama.

    PM Jepang Fumio Kishida saat jumpa pers pada 9 Agustus 2024 lalu. (Mainichi)

    Sosok Fumio Kishida

    Fumio Kishida lahir pada 29 Juli 1957.

    Dia menjabat PM Jepang dari tahun 2021-2024.

    Fumio Kishida juga berasal dari keluarga politisi.

    Sang ayah (Fumitake) dan kakeknya (Masaki) merupakan mantan politikus anggota majelis rendah.

    Fumio Kishida mengenyam pendidikan di Universitas Waseda jurusan ilmu hukum.

    Dikutip dari mofa.go.jp, setelah lulus pada tahun 1982, Fumio Kishida bergabung dengan Long-Term Credit Bank di Jepang.

     Karir politik Fumio Kishida dimulai pada tahun 1987, ia menjadi sekretaris ayahnya yang merupakan anggota parlemen dari majelis rendah.

    Pada pemilihan umum tahun 1993, Fumio Kishida terpilih menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat di domisilinya yakni Hiroshima.

    Pada tahun 2007, Fumio Kishida menjabat Menteri Urusan Okinawa di Kabinet Abe pertama dan kabinet Fukuda.

    Ia kemudian diangkat menjadi menteri negara yang bertanggung jawab atas urusan konsumen dan kebijakan antariksa pada kabinet Fukuda pada tahun 2008.

    Tahun 2011 Fumio Kishida menjabat sebagai ketua Komite Urusan Diet Liberal Democratic Party (LDP).

    Fumio Kishida berperan penting dalam mengatur kunjungan Presiden Obama ke Hiroshima pada tahun 2016, dikutip dari tokyoweekender.com.

     

  • Trump Kecewa dengan Rusia, Minta Putin Setop Menembak dan Menandatangani Kesepakatan dengan Ukraina – Halaman all

    Trump Kecewa dengan Rusia, Minta Putin Setop Menembak dan Menandatangani Kesepakatan dengan Ukraina – Halaman all

    Trump Kecewa dengan Rusia, Minta Putin Setop Menembak dan Menandatangani Kesepakatan dengan Ukraina

    TRIBUNNEWS.COM- Presiden Trump pada hari Minggu menyuarakan kekecewaannya terhadap Rusia sambil mendesak Presiden Rusia Vladimir Putin untuk “berhenti menembak” dan menandatangani perjanjian damai yang ditengahi AS untuk mengakhiri perang dengan Ukraina.

    “Baiklah, saya ingin dia berhenti menembak, duduk, dan menandatangani kesepakatan,” kata Trump kepada wartawan saat ditanya apa yang dia inginkan dari pemimpin Rusia itu saat ini.

    “Kami memiliki batasan kesepakatan, saya yakin, dan saya ingin dia menandatanganinya dan menyelesaikannya,” tambah presiden.

    Trump kembali menegaskan rasa frustrasinya terhadap Putin setelah Rusia minggu lalu melancarkan serangan paling mematikan di kota Kyiv dalam sembilan bulan. Serangan rudal dan pesawat nirawak tersebut menewaskan sedikitnya sembilan orang dan melukai lebih dari 70 orang, termasuk enam anak-anak, menurut pejabat Ukraina.

    “Saya sangat kecewa dengan rudal yang ditembakkan Rusia,” kata Trump, kemudian menambahkan bahwa ia “terkejut dan kecewa, sangat kecewa, bahwa mereka melakukan pemboman di tempat-tempat tersebut setelah berdiskusi.”

    Pernyataan tersebut muncul saat Trump dan para pembantunya berupaya meningkatkan tekanan pada kedua belah pihak untuk menyetujui kesepakatan damai, dengan peringatan jika tidak segera tercapai kesepakatan, AS mungkin akan “beralih” dari upaya memfasilitasi negosiasi.

    Rincian proposal tersebut belum dipublikasikan, tetapi laporan menunjukkan kesepakatan tersebut akan mencakup pengakuan AS atas Krimea sebagai bagian dari Rusia, sebuah prospek yang ditolak mentah-mentah oleh Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky.

    “Ukraina tidak akan mengakui pendudukan Krimea secara hukum,” kata Zelensky minggu lalu. “Tidak ada yang perlu dibicarakan di sini.”

    Trump ditanya pada hari Minggu apakah Zelensky mengangkat isu Krimea ketika kedua pemimpin bertemu menjelang pemakaman Paus Fransiskus di Roma pada hari sebelumnya.

    “Ya, sangat singkat,” jawab Trump.

    “Namun, Krimea diserahkan oleh Barack Hussein Obama dan Biden,” lanjut Trump, merujuk pada pendahulu presiden Demokratnya. “Itu 11 atau 12 tahun yang lalu; itu sudah lama sekali. Saya tidak tahu bagaimana Anda bisa mengungkit Krimea, karena itu sudah lama sekali. Tidak ada yang mengungkitnya selama 12 tahun, dan sekarang mereka mengungkitnya lagi.”

    “Mungkin kembalilah ke Obama, tanyakan padanya mengapa mereka menyerahkannya,” imbuhnya, mengulangi kritik yang disuarakannya minggu lalu ketika Zelensky menolak gagasan untuk mengakui Krimea sebagai bagian dari Rusia.

    Trump pada hari Minggu menggambarkan pertemuannya dengan Zelensky di dalam Basilika Santo Petrus di Vatikan pada hari sebelumnya sebagai “baik,” “manis” dan “indah,” tetapi mengatakan ada “jalan yang sulit di depan.”

    Presiden AS mengatakan Zelensky menegaskan kembali permintaannya akan senjata, sementara Trump menambahkan, “Namun dia telah mengatakan hal itu selama tiga tahun, [bahwa] dia membutuhkan lebih banyak senjata.”

    “Kita akan lihat apa yang terjadi,” lanjut Trump. “Saya ingin melihat apa yang terjadi dengan Rusia.”

     

     

     

     

    SUMBER: THE HILL

  • Trump Ancam Pimpin Serang Iran Jika Tak Ada Kesepakatan Baru soal Nuklir

    Trump Ancam Pimpin Serang Iran Jika Tak Ada Kesepakatan Baru soal Nuklir

    Jakarta

    Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengatakan AS akan memimpin dalam menyerang Iran jika pembicaraan mengenai program nuklir Teheran tidak menghasilkan kesepakatan baru. Trump mengungkapkan hal itu dalam wawancara Majalah Time.

    Dilansir AFP, Jumat (25/4/2025), Presiden AS dalam wawancara Majalah Time tetap menyatakan harapan bahwa kesepakatan tersebut dapat dicapai, sementara juga mengatakan bahwa ia terbuka untuk bertemu langsung dengan pemimpin tertinggi atau presiden Iran.

    “Ada kemungkinan kita harus menyerang karena Iran tidak akan memiliki senjata nuklir,” kata Trump kepada Time.

    Ancaman baru itu muncul saat Washington dan Teheran melanjutkan pembicaraan mengenai program nuklir negara itu, dengan putaran ketiga dijadwalkan pada Sabtu (26/4), di Oman. Kedua belah pihak menyatakan optimisme pada akhir pertemuan terakhir di Roma, tanpa memberikan rincian apa pun.

    Negosiasi sejauh ini telah mengecualikan musuh bebuyutan Iran, Israel, meskipun Trump pada Selasa (22/4), mengatakan setelah panggilan telepon dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu bahwa “kami berada di pihak yang sama dalam setiap isu.”

    Trump, ditanya oleh Time tentang laporan bahwa ia telah menghalangi Israel untuk melakukan serangan sepihak terhadap Iran, menjawab: “Itu tidak benar.”

    “Akhirnya saya akan menyerahkan pilihan itu kepada mereka, tetapi saya katakan saya lebih suka kesepakatan daripada bom yang dijatuhkan.”

    Trump membantah bahwa ia khawatir Netanyahu akan menyeret Amerika Serikat ke dalam perang dengan Iran, dengan mengatakan: “Ia mungkin akan berperang. Tetapi kita tidak akan terseret ke dalamnya.”

    Trump pada tahun 2018 membatalkan kesepakatan nuklir dengan Iran yang dinegosiasikan di bawah Presiden Barack Obama dan memberlakukan kembali sanksi besar-besaran terhadap Teheran.

    Kekuatan Barat dan Israel, yang oleh para ahli dianggap sebagai satu-satunya negara bersenjata nuklir di Timur Tengah, telah lama menuduh Teheran berupaya mengembangkan senjata nuklir.

    Iran selalu membantah tuduhan tersebut, bersikeras bahwa program nuklirnya hanya untuk tujuan sipil. Ketika ditanya apakah ia bersedia bertemu dengan Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei atau Presiden Masoud Pezeshkian, Trump menjawab: “Tentu.”

    (rfs/aud)

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini