Tag: Barack Obama

  • Israel Memiliki Bom Nukir, tapi Ketakutan pada Iran yang Tak Memilikinya

    Israel Memiliki Bom Nukir, tapi Ketakutan pada Iran yang Tak Memilikinya

    GELORA.CO – Israel meluncurkan perang melawan Iran sejak Jumat pekan lalu dengan dalih ketakutan rezim Zionis bahwa Teheran akan memiliki senjata nuklir. Ironisnya, rezim Zionis justru memiliki bom nuklir sejak puluhan tahun lalu dan memilih bungkam.

    Iran membantah bahwa mereka berusaha memproduksi senjata nuklir, dan bahwa program nuklirnya saat ini ditujukan untuk tujuan sipil.

    Iran merupakan penanda tangan Perjanjian Non-Proliferasi Nuklir (NPT), yang menyatakan bahwa negara-negara yang belum memiliki senjata nuklir tidak dapat memperolehnya.

    NPT memberikan wewenang kepada Badan Energi Atom Internasional (IAEA) untuk memantau dan memverifikasi bahwa negara-negara non-nuklir mematuhinya. Minggu lalu, IAEA mengatakan bahwa Iran telah melanggar kewajibannya—sebuah tuduhan yang dikecam keras oleh Teheran, dan diklaim sebagai dalih untuk serangan mendadak Israel.

    Beberapa situs nuklir dan militer Iran telah dibombardir Israel sejak Jumat pekan lalu dalam Operasi Rising Lion. Hingga hari ini, lebih dari 200 orang tewas akibat agresi militer Zionis.

    Iran telah membalas dengan meluncurkan gelombang serangan rudal dan drone ke Israel dengan nama sandi Operasi True Promise III. Situs militer dan intelijen Zionis diserang, lebih dari 20 orang tewas.

    Sejarah Israel Memiliki Bom Nuklir

    Tidak seperti Iran, Israel tidak menandatangani NPT, dan merupakan satu dari lima negara yang tidak menjadi pihak dalam perjanjian 1968. Ini berarti bahwa IAEA tidak memiliki cara untuk memantau atau memverifikasi persenjataan nuklir Israel.

    Sedikit yang diketahui tentang program nuklir Israel, yang memiliki kebijakan untuk tidak mengonfirmasi atau menyangkalnya.

    Namun, dokumen yang dideklasifikasi, dokumen investigasi, dan pengungkapan whistleblower dari tahun 1980-an telah menunjukkan Israel memiliki bom nuklir.

    Israel adalah satu dari sembilan negara yang diketahui memiliki senjata nuklir, bersama dengan AS, Rusia, Inggris, Prancis, China, India, Pakistan, dan Korea Utara.

    Israel diyakini memiliki sekitar 90 hulu ledak nuklir dan cukup plutonium untuk menghasilkan sekitar 200 senjata nuklir lagi, menurut Nuclear Threat Initiative.

    Menurut laporan Middle East Eye, Kamis (19/6/2025), Israel memiliki antara 750 dan 1.110 kg plutonium, yang cukup untuk membuat 187 hingga 277 senjata nuklir.

    Senjata-senjata nuklir Israel dapat ditembakkan dari udara, laut, dan darat.

    Israel memiliki pesawat F-15, F-16, dan F-35 produksi AS, yang semuanya dapat dimodifikasi untuk membawa bom nuklir. Israel juga diyakini memiliki enam kapal selam kelas Dolphin, yang diproduksi oleh perusahaan Jerman, yang kemungkinan mampu meluncurkan rudal jelajah nuklir.

    Rezim Zionis juga memiliki beragam rudal balistik Jericho yang berbasis di darat dengan jangkauan hingga 4.000 km. Para peneliti memperkirakan bahwa sekitar 24 di antaranya dapat membawa hulu ledak nuklir, meskipun jumlah pastinya tidak jelas.

    Bagaimana program nuklir Israel dimulai? David Ben Gurion, perdana menteri pertama Israel, meluncurkan proyek nuklir pada pertengahan hingga akhir 1950-an. Sebuah kompleks besar dibangun di Dimona, sebuah kota di gurun Negev (situs tersebut disebut sebagai Dimona).

    Di sanalah produksi plutonium tahap pertama, dengan bantuan dari pemerintah Prancis.

    “Sebagian besar catatan yang kredibel menunjukkan peran Prancis pada akhir 1950-an,” kata Shawn Rostker, seorang analis riset di Pusat Pengendalian Senjata dan Non-Proliferasi, kepada Middle East Eye.

    “Prancis membantu membangun reaktor Dimona, memasok teknologi reaktor utama, dan mendukung kemampuan pemrosesan ulang plutonium, yang menjadi dasar bagi kemajuan nuklir Israel,” paparnya.

    Koordinasi antara Paris dan Israel lahir dari permusuhan bersama terhadap Gamal Abdel Nasser, presiden Mesir saat itu, menurut para sejarawan Prancis.

    Kerja sama Prancis-Israel dirahasiakan. Bahkan Amerika Serikat; sekutu terdekat Israel, awalnya tidak mengetahuinya.

    Avner Cohen, seorang sejarawan dan profesor Israel-Amerika, adalah salah satu peneliti paling terkemuka tentang sejarah nuklir Israel dan telah menulis beberapa buku tentang subjek tersebut, termasuk “Israel and the Bomb”.

    “Sekitar setengah abad yang lalu Israel memperoleh kemampuan senjata nuklir, tetapi telah melakukannya dengan cara yang tidak seperti yang dilakukan negara pemilik senjata nuklir lainnya, baik sebelum maupun sesudahnya,” katanya kepada Middle East Eye.

    Penelitiannya, yang mencakup analisis dokumen AS yang baru-baru ini dideklasifikasi, menemukan bahwa Washington selama akhir tahun 1950-an dan awal tahun 1960-an berulang kali menanyai Israel tentang apa yang dilakukan di Dimona.

    Akhirnya, di bawah tekanan AS, Ben Gurion mengatakan kepada Knesset (Parlemen Israel) pada bulan Desember 1960 bahwa reaktor Dimona adalah “reaktor penelitian” yang akan melayani “industri, pertanian, kesehatan, dan sains”.

    Maka dimulailah penipuan yang rumit dan berlangsung lama, karena pejabat AS memeriksa lokasi tersebut sebanyak delapan kali antara tahun 1961 dan 1969.

    Selama kunjungan tersebut, pabrik pemisahan bawah tanah, yang penting untuk produksi plutonium tingkat senjata, disembunyikan. Bagian lain dari lokasi tersebut disamarkan untuk menyamarkan tujuan kompleks tersebut.

    Israel membuat kemajuan yang signifikan di antara kunjungan tersebut.

    Diyakini bahwa Israel telah menyelesaikan pabrik pemisahan bawah tanah rahasianya pada tahun 1965; telah mulai memproduksi plutonium tingkat senjata pada tahun 1966; dan telah merakit senjata nuklir sebelum bulan Juni 1967 dan dimulainya perang Timur Tengah.

    Misteri Kesepakatan Nixon-Meir Tahun 1969?

    Pada akhir tahun 1960-an, AS akhirnya mengetahui tujuan sebenarnya dari Dimona. Menurut Cohen, sebuah kesepakatan rahasia telah dibuat, yang masih berlaku, bahwa Washington tidak akan mengajukan pertanyaan jika Israel tetap diam.

    “Pada tahun 1969, AS menerima status nuklir Israel yang luar biasa, selama Israel berkomitmen untuk menjaga kehadirannya tetap tidak terlihat dan tidak transparan. Ini dikenal sebagai kesepakatan nuklir Nixon-Meir tahun 1969,” kata Cohen kepada Middle East Eye, merujuk pada para pemimpin saat itu, Presiden AS Richard Nixon dan Perdana Menteri Israel Golda Meir.

    Sejak saat itu, Israel tetap berada di pihaknya dan menjalankan kebijakan yang sengaja dibuat samar, dengan para pejabat tidak mengakui atau menyangkal keberadaan persenjataan nuklir.

    AS pun menyetujuinya, bahkan dilaporkan mengeluarkan ancaman tindakan disipliner terhadap pejabat AS mana pun yang secara terbuka mengakui program tersebut.

    Pada tahun 2009, Presiden AS Barack Obama ditanya apakah ada negara di Timur Tengah yang memiliki senjata nuklir. Dia menjawab bahwa dia tidak akan berspekulasi.

    Apakah Israel Telah Menguji Senjata Nuklir?

    Dari sembilan negara pemilik senjata nuklir, Israel adalah satu-satunya yang tidak secara terbuka melakukan uji coba nuklir.

    Bukti terdekat adalah apa yang dikenal sebagai “insiden Vela” pada bulan September 1979, ketika Israel dan Afrika Selatan era apartheid mungkin telah melakukan uji coba nuklir bersama di sebuah pulau tempat Atlantik Selatan bertemu dengan Samudra Hindia.

    Satelit AS pada saat itu mendeteksi kilatan cahaya ganda yang tidak dapat dijelaskan, yang biasanya merupakan tanda ledakan nuklir.

    Pemerintah apartheid Afrika Selatan mengembangkan senjata pemusnah massal selama lima dekade, tetapi mengakhiri program nuklirnya pada tahun 1989. Negara ini adalah satu-satunya yang telah mencapai kemampuan senjata nuklir tetapi melepaskannya secara sukarela.

    Jimmy Carter, yang menjabat sebagai presiden AS pada saat insiden tersebut, mengatakan bahwa dia yakin insiden Vela adalah uji coba nuklir Israel.

    “Kami memiliki keyakinan yang berkembang di antara para ilmuwan kami bahwa Israel memang melakukan uji coba ledakan nuklir di lautan dekat ujung selatan Afrika Selatan,” tulisnya dalam White House Diary, versi jurnal beranotasi yang ditulis selama masa jabatannya sebagai presiden yang diterbitkan pada tahun 2010.

    Kapan Senjata Nuklir Israel Mulai Dikenal?

    Program nuklir Israel menjadi berita utama pada bulan Oktober 1986, ketika mantan teknisi nuklir Mordechai Vanunu mengungkapkan rincian tentang Dimona kepada Sunday Times.

    Vanunu, yang telah bekerja di lokasi tersebut selama sembilan tahun, mengatakan bahwa lokasi tersebut mampu memproduksi 1,2 kg plutonium seminggu, yang cukup untuk sekitar 12 hulu ledak nuklir setahun.

    Dia mengatakan bahwa selama kunjungan AS pada tahun 1960-an, pejabat Amerika telah ditipu oleh dinding palsu dan lift tersembunyi, dan bahwa mereka tidak menyadari bahwa ada enam lantai tersembunyi di bawah tanah.

    Vanunu mengambil 60 foto Dimona, beberapa di antaranya diterbitkan oleh surat kabar Inggris.

    Pada tahun-tahun menjelang kebocoran informasi, Vanunu menjadi kecewa dengan tindakan Israel, menentang invasinya ke Lebanon pada tahun 1982 dan menyerukan hak yang sama bagi warga Palestina.

    Namun sebelum ceritanya dipublikasikan, Vanunu diculik oleh agen Israel. Tinggal di London dengan biaya The Sunday Times, dia dibujuk oleh seorang agen Mossad wanita untuk pergi ke Roma. Di sanalah dia, dibius, dibawa ke Israel, dinyatakan bersalah atas spionase dan menjalani hukuman 18 tahun penjara—lebih dari separuhnya di sel isolasi.

    Setelah dibebaskan pada tahun 2004, dia dilarang bepergian ke luar negeri atau bertemu wartawan asing. Pembatasan tersebut tetap berlaku.

    Apa Strategi Israel dalam Menggunakan Senjata Nuklir?

    Pada tahun 2011, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu diminta oleh Piers Morgan untuk mengonfirmasi bahwa Israel tidak memiliki senjata nuklir. Dia menjawab: “Itu kebijakan kami. Bukan menjadi yang pertama memperkenalkan senjata nuklir ke Timur Tengah.”

    Itu adalah kalimat yang sering diulang oleh pejabat Israel ketika didesak mengenai masalah tersebut.

    “Israel tidak pernah menjelaskan secara terbuka apa arti ‘pengenalan’,” kata Cohen, seraya menambahkan bahwa Israel memperlakukan aktivitas nuklir sebagai sesuatu yang rahasia dan di luar kebijakan pertahanan dan luar negerinya.

    “Oleh karena itu, Israel tidak memiliki strategi publik yang melibatkan penggunaan nuklir. Dapat dipahami bahwa Israel tidak melihat penggunaan senjata nuklir kecuali dalam skenario paling ekstrem dari ‘upaya terakhir’,” paparnya.

    “Juga dipahami secara luas bahwa selama Israel mempertahankan monopoli regionalnya yang jinak, ia tidak melihat kemampuannya sebagai senjata.”

    “Skenario pilihan terakhir” terkadang disebut sebagai “Opsi Samson”, merupakan sebuah frasa yang diyakini dicetuskan oleh para pemimpin Israel pada pertengahan tahun 1960-an. Prinsipnya adalah Israel akan menggunakan pembalasan nuklir jika menghadapi ancaman eksistensial.

    Samson adalah tokoh Yahudi dalam Alkitab yang, dirantai oleh musuh-musuhnya; orang Filistin, di sebuah kuil, menggunakan kekuatan yang diberikan Tuhan untuk merobohkan sebuah pilar, membunuh dirinya sendiri dan para penculiknya.

    Menurut para analis, hal ini sangat kontras dengan doktrin Mutually Assured Destruction (MAD), di mana jika satu kekuatan nuklir menyerang yang lain terlebih dahulu, maka negara yang menjadi sasaran masih akan punya waktu untuk membalas, memastikan tidak ada yang akan selamat.

    Namun secara teori, Opsi Samson dapat diterapkan jika Israel menghadapi kekalahan militer yang dianggapnya eksistensial, bahkan dari kekuatan non-nuklir.

    Cohen dan beberapa peneliti lain mengatakan bahwa selama perang Timur Tengah tahun 1973, ketika Mesir dan Suriah melancarkan serangan mendadak, Israel mempertimbangkan pilihan.

    Namun, meski tidak pernah mengakui keberadaan senjata nuklir, para pemimpin Israel menyiratkan bahwa senjata itu dapat digunakan jika diperlukan.

    “Armada kapal selam kami bertindak sebagai pencegah bagi musuh-musuh kami,” kata Netanyahu dalam pidatonya tahun 2016. “Mereka perlu tahu bahwa Israel dapat menyerang, dengan kekuatan besar, siapa pun yang mencoba melukainya.”

    Baru-baru ini, pada bulan November 2023, seorang menteri pemerintah Israel secara terbuka menyatakan bahwa menjatuhkan bom nuklir di Jalur Gaza oleh Israel adalah “sebuah pilihan”.

    Amichai Eliyahu, menteri warisan Israel, sempat diskors dari rapat-rapat pemerintah karena komentarnya itu, dan kemudian menggunakan media sosial untuk menyatakan bahwa komentar itu dimaksudkan sebagai “metaforis”.

  • Trump Ogah Teken Pernyataan soal Perang Israel vs Iran di KTT G7

    Trump Ogah Teken Pernyataan soal Perang Israel vs Iran di KTT G7

    Jakarta

    Presiden Donald Trump tidak berniat untuk menandatangani pernyataan bersama yang menyerukan de-eskalasi antara Israel dan Iran yang telah disusun oleh para pemimpin G7 di Kanada. Meskipun para pejabat yang mempersiapkan dokumen tersebut berharap bahwa ia pada akhirnya dapat diyakinkan untuk menambahkan namanya.

    Dilansir CNN, Selasa (17/6/2025), keputusan Trump untuk tidak menandatangani pernyataan tersebut menimbulkan perpecahan dengan rekan-rekannya saat KTT berlangsung di Canadian Rockies.

    Rancangan pernyataan yang dipelopori oleh para pejabat Eropa di KTT tersebut mengatakan bahwa Israel memiliki hak untuk mempertahankan diri dan bahwa Iran tidak dapat memperoleh senjata nuklir.

    Beberapa jam sebelum konferensi dimulai, pembicaraan berlangsung di antara delegasi G7 tentang bahasa dalam rancangan pernyataan tersebut.

    Para pejabat Eropa, yang dipimpin oleh Presiden Prancis Emmanuel Macron, Kanselir Jerman Friedrich Merz, dan Perdana Menteri Inggris Keir Starmer, berharap dapat menyelesaikan konsensus di antara para pemimpin tentang situasi Timur Tengah bersama dengan tuan rumah KTT, Perdana Menteri Kanada Mark Carney.

    Namun, Trump yang telah mempertanyakan manfaat organisasi multilateral seperti G7, untuk saat ini tidak berniat untuk menandatangani tersebut.

    “Di bawah kepemimpinan yang kuat dari Presiden Trump, Amerika Serikat kembali memimpin upaya untuk memulihkan perdamaian di seluruh dunia. Presiden Trump akan terus berupaya untuk memastikan Iran tidak dapat memperoleh senjata nuklir,” demikian pernyataan resmi Gedung Putih.

    Ketika ditanya apakah sebuah pernyataan akan menunjukkan persatuan di antara para pemimpin dunia dalam masalah ini, pejabat senior tersebut menjawab bahwa kehadiran Trump di KTT tersebut adalah caranya untuk menunjukkan persatuan.

    Para pejabat Eropa berharap bahwa pikiran Trump dapat diubah pada pernyataan bersama, tetapi mengakui bahwa vetonya akan menggagalkan harapan untuk menunjukkan konsensus mengenai masalah ini.

    “Kita lihat saja nanti, pada akhirnya, terserah pihak Amerika untuk memutuskan apakah kita akan memiliki pernyataan G7 mengenai Timur Tengah atau tidak,” ujar juru bicara pemerintah Jerman, Stefan Kornelius kepada para wartawan yang berkumpul di lokasi KTT.

    Seorang pejabat senior Kanada mengatakan bahwa delegasi-delegasi yang mewakili ketujuh pemimpin G7 akan terus bekerja untuk menyusun verbatim pernyataan tersebut, dan para pemimpin Eropa khususnya masih terlibat dengan harapan untuk mencapai sebuah konsensus.

    “Ini belum menjadi kesepakatan, ini adalah sesuatu yang akan didiskusikan di tingkat pemimpin. Kami berharap bahwa sebagian besar pembicaraan itu akan terjadi dalam sesi keamanan global malam ini. Masih terlalu dini untuk berspekulasi mengenai apa yang akan atau tidak akan dihasilkan dari pembicaraan tersebut,” ujar pejabat senior Kanada tersebut.

    Berbicara kepada para wartawan di KTT setelah bertemu dengan Starmer, Trump menyatakan bahwa ia akan segera mencapai kesepakatan diplomatik dengan Iran yang akan mengakhiri konflik dengan Israel.

    “Saya pikir Iran pada dasarnya berada di meja perundingan di mana mereka ingin membuat kesepakatan, dan segera setelah saya pergi dari sini, kami akan melakukan sesuatu,” kata Trump tanpa menjelaskan lebih lanjut tentang apa yang akan dilakukannya.

    Ketika ditanya mengenai keterlibatan AS dalam perang ini, Trump mengatakan bahwa tujuannya adalah untuk memastikan bahwa Iran tidak mengembangkan senjata nuklir.

    “Saya tidak ingin melihat adanya senjata nuklir di Iran, dan kami sedang dalam perjalanan untuk memastikan hal itu terjadi,” katanya.

    Ketika ditanya apakah dia yakin Israel dapat menekan ancaman nuklir yang ditimbulkan oleh Iran tanpa bantuan AS, Trump menjawab “Itu tidak relevan. Sesuatu akan terjadi.”

    Sebelumnya pada hari Senin sebelum KTT dimulai, Trump mengatakan bahwa ia yakin Iran ingin meredakan konfliknya dengan Israel.

    “Mereka ingin berbicara, tetapi mereka seharusnya melakukan itu sebelumnya. Saya punya waktu 60 hari, dan mereka punya waktu 60 hari, dan pada hari ke-61, saya berkata, ‘Kita tidak punya kesepakatan,” kata dia.

    “Mereka harus membuat kesepakatan, dan ini menyakitkan bagi kedua belah pihak, tetapi menurut saya Iran tidak akan memenangkan perang ini, dan mereka harus berbicara, dan mereka harus segera berbicara, sebelum semuanya terlambat,” tambahnya.

    Trump mengeluarkan ultimatum dua bulan pada musim semi ini bagi Iran untuk mmebuat kesepakatan nuklir atau menghadapi konsekuensi.

    Presiden AS menolak untuk mengatakan apa, yang akan mendorong keterlibatan militer AS dalam konflik tersebut.

    “Saya tidak ingin membicarakan hal itu,” katanya. Dia tidak menjelaskan ketika didesak mengenai informasi intelijen apa yang diberikan AS kepada Israel.

    Sementara, rekan-rekan di G7 berencana untuk menekan pemimpin AS tersebut mengenai strateginya dalam menangani konflik Israel dan Iran. Para pejabat dari berbagai delegasi mengatakan, konflik Timur Tengah yang semakin memanas membayangi hari pertama KTT.

    Tidak jelas bagi para pejabat Eropa apa yang membuat Trump yakin bahwa pembicaraan dapat dilanjutkan, mengingat skala dan cakupan serangan Israel.

    Mengingat pengaruh AS terhadap Israel, mereka menginginkan gambaran yang lebih jelas mengenai berapa lama AS berniat untuk membiarkan konflik ini berlanjut, atau apakah Trump berencana untuk memberikan tekanan kepada Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu untuk meredakan ketegangan, kata para pejabat tersebut.

    Sudah ada perbedaan antara Trump dan Macron mengenai peran Presiden Rusia Vladimir Putin dalam menengahi konflik ini.

    Setelah melakukan panggilan telepon dengan Putin akhir pekan ini, Trump mengatakan bahwa dia yakin pemimpin Rusia itu dapat bertindak sebagai mediator. Namun Macron menolak gagasan tersebut selama kunjungan ke Greenland, dengan mengatakan bahwa pelanggaran yang dilakukan Moskow terhadap Piagam PBB di Ukraina telah mendiskualifikasinya untuk bertindak sebagai perantara perdamaian.

    Perbedaan kedua pemimpin itu atas Putin terlihat jelas pada hari Senin saat penampilan publik pertama Trump di G7, di mana ia mengkritik blok tersebut karena mengeluarkan Rusia sebelas tahun yang lalu.

    Ini adalah pembukaan yang agresif untuk kunjungan presiden di Kanada, di mana ia akan bertemu dengan para pemimpin selama dua hari ke depan untuk membahas berbagai topik.

    “Barack Obama dan seseorang bernama Trudeau tidak ingin Rusia masuk. Dan menurut saya itu adalah sebuah kesalahan, karena saya rasa Anda tidak akan mengalami perang saat ini jika Anda mengikutsertakan Rusia,” ujar Trump dalam pertemuannya dengan Carney.

    Rusia dikeluarkan dari G8 setelah mencaplok Krimea pada tahun 2014. Justin Trudeau, yang dikritik Trump berulang kali pada hari Senin karena memutuskan untuk tidak memasukkan Rusia, menjadi perdana menteri setahun kemudian.

    “Mereka mengusir Rusia, yang menurut saya merupakan kesalahan yang sangat besar, meskipun saya tidak berkecimpung di dunia politik,” kata Trump. Ia mengatakan bahwa tidak adanya Putin di meja perundingan “membuat hidup menjadi lebih rumit.”

    Ketika kemudian ditanya tentang bergabungnya Putin, ia berkata, “Saya tidak mengatakan dia harus bergabung pada saat ini, karena terlalu banyak air yang masuk ke dalam bendungan.”

    (wnv/imk)

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • Ramalan Suram Baba Vanga di 2025 dan Tahun Mendatang

    Ramalan Suram Baba Vanga di 2025 dan Tahun Mendatang

    Jakarta

    Baba Vanga atau sering disebut sebagai ‘Nostradamus of the Balkans’ memberikan beberapa ramalannya untuk tahun 2025 dan mendatang. Peramal buta asal Bulgaria ini beberapa kali meramal dan tak sedikit yang jadi kenyataan.

    Misalnya, peramal kelahiran 31 Januari 1911 dan meninggal pada 1996 tersebut sudah menyebut Presiden ke-44 Amerika Serikat akan memiliki ras Afrika-Amerika, yang mana tepat yakni Barrack Obama.

    Mungkin kebetulan, tapi banyak yang mulai penasaran dengan ramalan Vangeliya Pandeva Surcheva. Berikut ramalan Baba Vanga di 2025 dan tahun mendatang dikutip dari Money Control.

    1. Krisis ekonomi global (2025)

    Vanga konon meramalkan keruntuhan ekonomi yang melanda Eropa dan sebagian Amerika Utara. Dengan inflasi saat ini, meningkatnya utang, dan pasar yang tidak stabil, beberapa orang percaya ramalan ini akan bakal terwujud.

    2. Gempa bumi dan bencana alam (2025-2026)

    Baba Vanga mewanti-wanti tremor lintas benua dan pulau yang ditelah oleh air. Seakan sejalan, para ahli kini menunjuk adanya peningkatan aktivitas seismik di Asia dan Lingkar Pasifik.

    3. Eropa ‘hampir kosong’ (2025)

    Prediksi yang sangat suram menunjukkan bahwa Eropa akan jarang penduduknya pada akhir tahun 2025. Meskipun samar, penyebabnya mungkin melibatkan perang, migrasi, atau krisis kesehatan.

    4. Organ dari lab (2025)

    Ini adalah salah satu ramalan baik Baba Vanga. Ia meramalkan bahwa organ yang dihasilkan dari laboratorium akan mengubah perawatan kesehatan. Dengan kemajuan yang berkelanjutan dalam bioprinting, ramalan ini semakin mendekati kenyataan.

    5. Penemuan energi bersih dan eksplorasi Venus (2028)

    Ia meramalkan munculnya sumber energi baru yang mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil, dan bahkan meramalkan misi berawak ke Venus. Ini merupakan sebuah mimpi yang perlahan-lahan dikejar oleh perusahaan dan badan antariksa swasta seperti ESA.

    6. Akhir dari kelaparan di dunia (2028-2029)

    Ramalan Vanga untuk diberantasnya kelaparan pada akhir dekade ini sejalan dengan tujuan global seperti SDG 2 PBB dan inovasi dalam pertanian AI dan pertanian vertikal. Semoga saja ramalan ini menjadi nyata dalam waktu dekat.

    7. Kontak dengan alien dan peradaban bawah laut (2030+)

    Pada tahun 2030, Vanga dilaporkan melihat kontak dengan makhluk luar angkasa dan penemuan peradaban bawah laut. Meskipun spekulatif, laju eksplorasi ruang angkasa dan penelitian laut menyisakan ruang untuk lebih banyak dieksplor.

    8. Kecerdasan buatan mengambil alih (akhir 2020-an)

    Vanga diyakini telah memperingatkan bahwa ‘mesin akan berpikir untuk kita’. Dengan ledakan AI saat ini dalam keuangan, kesehatan, dan keamanan, ramalan ini bisa dibilang benar adanya.

    Prediksi Baba Vanga yang Gagal

    Meskipun terkenal, tidak semua prediksi menjadi kenyataan. Contohnya adalah ramalan berikut ini:

    Perang Dunia III (diramalkan terjadi pada tahun 2010 atau 2016) tidak pernah terjadiDia mengatakan Obama akan menjadi presiden AS terakhir, yang terbukti salahVanga meramalkan Eropa akan menjadi gurun pada tahun 2016, yang tidak terjadiIa meramalkan kebangkitan China sebagai negara adikuasa berikutnya di dunia pada tahun 2018. Ini masih jadi suatu hal yang diperdebatkanIa menyebutkan kedatangan alien pada tahun 2130 dan kiamat dunia pada tahun 5079 — peristiwa yang belum diverifikasi.

    (ask/ask)

  • Trump Rombak Kebijakan Siber Era Biden dan Obama

    Trump Rombak Kebijakan Siber Era Biden dan Obama

    Bisnis.com, JAKARTA — Presiden AS Donald Trump resmi menandatangani perintah eksekutif yang merevisi dan mencabut sejumlah kebijakan keamanan siber yang dibuat oleh pendahulunya, Presiden Joe Biden dan Barack Obama. 

    Dalam laporan lembar fakta White House, dikutip dari Tech Crunch, Minggu (8/6/2025) pemerintahan Trump menilai kebijakan di era Joe Biden justru mengganggu keamanan siber. 

    Salah satu poin utama yang ditolak Trump adalah ketentuan untuk menerima dokumen identitas digital sebagai bentuk verifikasi dalam program bantuan publik.

    Menurut Trump dan timnya, kebijakan tersebut dapat membuka celah bagi imigran ilegal untuk secara tidak sah mengakses berbagai manfaat publik. 

    “Ini adalah risiko nyata dari penyalahgunaan sistem secara luas,” tulis keterangan resmi Gedung Putih.

    Namun, sejumlah pengamat kebijakan siber menilai langkah ini sebagai bentuk politisasi isu keamanan digital.

    Direktur Senior Pusat Inovasi Siber dan Teknologi di Foundation for Defense of Democracies, Mark Montgomery mengatakan bahwa pendekatan Trump cenderung mengorbankan manfaat keamanan siber yang sudah terbukti. 

    “Fokus berlebihan pada isu imigrasi membuat kita kehilangan peluang penting untuk memperkuat sistem digital negara,” ujarnya. 

    Dalam kebijakan barunya, Trump juga membatalkan sejumlah inisiatif Biden yang bertujuan memperkuat keamanan siber melalui kecerdasan buatan (AI). 

    Beberapa kebijakan yang dicabut antara lain pengujian penggunaan AI untuk melindungi infrastruktur energi nasional, pendanaan riset federal di bidang keamanan AI, serta instruksi kepada Departemen Pertahanan (Pentagon) untuk mengintegrasikan model AI ke dalam sistem keamanan siber militer.

    Gedung Putih menyatakan bahwa langkah Trump ini adalah bagian dari reorientasi strategi AI ke arah yang lebih teknis dan realistis. Fokusnya kini bergeser ke identifikasi serta pengelolaan kerentanan siber, dan bukan ke arah yang menurut Trump berisiko memunculkan praktik sensor digital.

    Selain AI, Trump juga mencabut persyaratan enkripsi tahan kuantum yang sebelumnya diminta untuk segera diterapkan oleh semua lembaga federal.

    Kebijakan Biden yang mewajibkan kontraktor pemerintah membuktikan keamanan perangkat lunak mereka juga dihapus, dengan alasan dianggap terlalu memberatkan dan berorientasi pada daftar periksa kepatuhan alih-alih investasi nyata dalam sistem keamanan.

    “Ini adalah proses akuntansi yang tidak terbukti efektivitasnya,” jelas pernyataan resmi dari Gedung Putih.

    Lebih jauh lagi, Trump mencabut kebijakan era Obama yang mengizinkan penerapan sanksi terhadap pelaku serangan siber—baik asing maupun domestik. 

    Kini, sanksi hanya dapat dikenakan kepada oknum asing. Pemerintah berpandangan langkah ini bertujuan melindungi kebebasan politik dalam negeri dan mencegah penyalahgunaan wewenang terhadap lawan politik.

    “Sanksi tidak boleh digunakan terhadap kegiatan yang terkait pemilihan umum,” tegas pernyataan Gedung Putih.

  • Hasil Survei Sebut 69,7% Masyarakat Yakin Ijazahnya Asli, Jokowi: Artinya Punya Logika Sehat

    Hasil Survei Sebut 69,7% Masyarakat Yakin Ijazahnya Asli, Jokowi: Artinya Punya Logika Sehat

    GELORA.CO –  Lembaga Survei Indikator Politik Indonesia merilis hasil survei yang menunjukkan mayoritas masyarakat Indonesia tidak percaya bahwa Presiden Ke-7 RI Joko Widodo memalsukan ijazahnya.

    Prof. Burhanuddin Muhtadi dari Indikator Politik Indonesia menjelaskan bahwa survei dilakukan secara sistematik pada tanggal 17-20 Mei 2025 melalui metode survei telepon nasional.

    Dengan teknik double sampling yang memanfaatkan database jutaan responden yang telah dikumpulkan melalui survei tatap muka sebelumnya.

     

    Hasil survei menunjukkan bahwa 75,9% responden mengetahui kasus dugaan ijazah palsu Jokowi, sementara 24,1% mengaku tidak mengetahui kasus tersebut.

    “Isu ijazah Jokowi ini membetot perhatian publik yang cukup luas, bahkan mengalahkan sebagian besar kasus-kasus korupsi yang sedang disidik oleh aparat hukum. Ada 75% warga yang mengaku tahu kasus dugaan ijazah palsu Pak Jokowi dan ini sangat luar biasa besar, tidak ada kasus sebesar ini,” ungkap Prof. Burhanuddin.

    Yang lebih signifikan lagi, dari responden yang mengetahui kasus ini, sebanyak 69,7% tidak percaya bahwa Jokowi memalsukan ijazahnya, sementara hanya 18,7% yang percaya akan tuduhan tersebut.

    Ketika ditanyakan kepada seluruh responden (baik yang tahu maupun tidak tahu kasus ini), angka ketidakpercayaan mencapai 66,9%.

    Prof. Burhanuddin menegaskan bahwa komposisi demografis menunjukkan pola yang merata di semua kelompok masyarakat,

     

    “Misalnya kelompok laki-laki yang tidak percaya bahwa Jokowi memalsukan ijazah itu 63%, perempuan 70,3%. Generasi berdasarkan Gen Z, milenial, Gen X dan seterusnya itu mayoritas juga tidak percaya.”

    Menariknya, berdasarkan akses informasi media sosial, pengguna Twitter/X menunjukkan tingkat kepercayaan tertinggi terhadap tuduhan pemalsuan ijazah.

    Sementara pengguna platform lain seperti TikTok, Instagram, YouTube, dan Facebook mayoritas tidak percaya akan tuduhan tersebut.

    Menanggapi hasil survei tersebut, Presiden Joko Widodo memberikan komentar singkat yang menyatakan, “Artinya masyarakat memiliki logika dan penalaran yang sehat. Memiliki logika dan penalaran yang sehat artinya itu karena logikanya memang enggak masuk akal.”

    Jokowi juga menegaskan bahwa meskipun ada yang pro dan kontra, “semuanya nanti kita serahkan pada proses hukum. Nanti di pengadilan akan terbuka semuanya secara jelas dan gamblang, karena di situ pasti nanti ada fakta-fakta, ada bukti-bukti, ada saksi-saksi semuanya akan dibuka di sidang pengadilan.”

    Prof. Burhanuddin mengapresiasi logika masyarakat yang menilai isu ini tidak masuk akal, mengingat banyaknya verifikasi yang telah dilakukan berbagai lembaga.

     

    “Ada banyak warga yang rasional yang bukan fansnya Pak Jokowi yang menganggap bahwa isu ini terlalu dibuat-buat.

    Ada banyak teman Pak Jokowi yang masih hidup yang bisa kita tanya, ada institusi UGM yang bisa kita klarifikasi, ada institusi seperti KPU karena Pak Jokowi maju dalam proses kontestasi elektoral dua kali di tingkat Pilkada Kota Surakarta, di tingkat Pilgub 2012, kemudian di Pilpres 2014 dan 2019, dan masing-masing KPU melakukan verifikasi,” jelasnya.

    Namun, Prof. Burhanuddin juga menganalisis mengapa masih ada 18,7-19% masyarakat yang percaya akan tuduhan tersebut.

    Analisisnya menunjukkan adanya faktor partisan politik yang kuat, terutama dari basis pendukung Anies Baswedan dalam Pilpres 2024.

    “Pendukung Mas Anis paling banyak yang percaya, meskipun mayoritas pendukung Mas Anis tidak percaya Pak Jokowi memalsukan (51% tidak percaya).

    Tapi ada 40% pendukung beliau di 2024 yang lalu yang percaya bahwa ada proses pemalsuan ijazah Pak Jokowi.

    40,2% basis pendukung Mas Anis ini jauh lebih besar ketimbang basis pendukung Mas Ganjar atau Pak Prabowo yang percaya bahwa ijazah Pak Jokowi palsu,” ungkapnya.

    Ia juga mencatat adanya kekecewaan dari sebagian basis PDI Perjuangan terhadap sikap Jokowi di Pemilu 2024.

    Terutama terkait putusan nomor 90 yang memungkinkan Gibran Rakabuming maju sebagai calon wakil presiden.

     Prof. Burhanuddin menganalogikan kasus ini dengan kontroversi akta kelahiran Barack Obama yang dipertanyakan Donald Trump.

    Di mana meskipun Obama telah menunjukkan akta kelahirannya, sebagian pendukung partai Republik tetap ragu akan keasliannya.

    Prof. Burhanuddin Muhtadi menyerukan agar publik dan media beralih fokus pada isu-isu yang lebih substansial ketimbang perdebatan ijazah yang dinilainya tidak produktif.

    “Sebaiknya kita lebih fokus pada isu-isu yang jauh lebih penting, jauh lebih substantif. Misalnya berkaitan dengan pelemahan ekonomi, berkaitan dengan isu fungsi TNI, isu pelemahan atau regresi demokrasi itu jauh lebih krusial ketimbang isu ijazah,” tegasnya.

    Menurutnya, survei opini publik yang dilakukan mengkonfirmasi bahwa isu ijazah pada dasarnya dianggap tidak terlalu krusial oleh warga.

    Ia juga menekankan bahwa secara implikasi politik, isu ini sudah tidak relevan lagi mengingat Jokowi sudah tidak menjabat sebagai presiden.

    “Buat apa kita menghabiskan energi untuk hal-hal yang secara implikasi politiknya juga sudah tidak ada karena beliau sudah tidak lagi menjadi pejabat publik sebagai presiden,” ujarnya.

    Lebih lanjut, Prof. Burhanuddin menyoroti isu-isu yang seharusnya mendapat perhatian lebih besar dari publik.

    Seperti ketidakpastian geopolitik global, economic uncertainty, tekanan terhadap rupiah yang mengalami penurunan sekitar 10% meskipun belakangan sedikit menguat, serta isu PHK yang semakin mengkhawatirkan.

    “Isu global economic uncertainty, rupiah kita mengalami tekanan meskipun belakangan agak menguat tetapi overall agak turun 10% dibanding sebelumnya, kemudian isu PHK saya kira itu isu yang jauh lebih penting yang menurut saya membutuhkan perhatian publik lebih keras dalam rangka membantu pemerintah agar masalah-masalah kebangsaan yang lebih substantif ini bisa segera teratasi,” pungkasnya.

    Hasil survei ini memberikan gambaran bahwa meskipun isu ijazah Jokowi mendapat perhatian luas dari publik.

    Mayoritas masyarakat Indonesia tetap menunjukkan sikap rasional dan tidak mudah terprovokasi oleh isu yang dinilai tidak memiliki dasar logis yang kuat.

    Sekaligus menjadi indikator bahwa masyarakat Indonesia memiliki kematangan politik dalam menyikapi berbagai isu kontroversial.***

  • Begini Cara Mendeteksi Batu Akik Bacan Asli – jabarekspres.com

    Begini Cara Mendeteksi Batu Akik Bacan Asli – jabarekspres.com

    JABAR EKSPRES – Ada banyak batu akik yang asli dari Indonesia, salah satunya yang paling terkenal adalah batu bacan.

    Bahkan batu bacan ini diklaim memiliki popularitas yang lebih tinggi dibanding dengan batu akik yang lainnya.

    Di sisi harga pun batu bacan ini melonjak drastis, karena sulit ditambang dan menjadi burun para kolektor batu akik.

    Baca Juga:Persib Sudah Fix Rekrut Berguinho untuk Musim Depan?3 Ciri Batu Akik Giok yang Asli, Hati-hati Barang Palsu

    Kemudian batu asal Maluku Utara ini memiliki skala kekerasan yang cukup tinggi berada di angka 7,5 skala mohs.

    Ada beberapa jenis batu bacan ini, di antaranya bacan doko, bacan palamea, bacan cincau, bacan kembang, dan masih banyak yang lainnya.

    Sebelumnya, harga batu bacan ini tidak semahal seperti sekarang karena ketika itu belum banyak dikenal.

    Akan tetapi setelah ada pembeli seorang turis dari Singapura pada tahun 90-an, nama batu ini menjadi terkenal.

    Bukan hanya itu, batu bacan juga pernah dijadikan oleh Susilo Bambang Yudhoyono ketika menjabat sebagai presiden kepada Barack Obama.

    Cara Mendeteksi Bacan Asli

    Karena banyak peminat dan cenderung susah untuk ditambang, batu ini menjadi rawan akan pemalsuan.

    Sehingga kalian harus berhati-hati ketika hendak membeli batu bacan agar tidak mendapatkan barang sintetis.

    Baca Juga:Cara Membedakan Batu Akik Kalimaya yang Asli dan Palsu4 Cara Mudah Membedakan Batu Akik Kecubung yang Asli dan Palsu

    Berikut ini sebagaimana dilansir dari buku “Hobi & Investasi Batu Mulia”, beberapa cara mendeteksi batu bacan yang asli.

    1. Batu bacan yang asli dapat menggores kaca saat digesekkan

    2. Batu yang asli akan terlihat memiliki warna dan serat khas yang berbeda dengan jenis batu lain ketika dilihat menggunakan senter atau kaca pembesar

    3. Kemudian bisa juga dengan mengeceknya melalui laboratorium khusus agar lebih mendapatkan hasil yang akurat

    4. Lalu bisa dengan cara membakarnya, batu yang asli akan mengeluarkan minyak setelah dibakar. Ketika dilap, minyak tersebut akan hilang dan kembali mengkilap.

    5. Terakhir batu bacan yang asli akan mengalami perubahan warna seiring berjalannya waktu.

    Itulah sejumlah cara untuk mendeteksi batu akik bacan yang asli agar terhindar dari batu palsu alias sintetis.*

  • Harvard Melawan saat Trump Terus Menekan

    Harvard Melawan saat Trump Terus Menekan

    Jakarta

    Harvard University melawan kebijakan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dengan melayangkan gugatan di pengadilan federal Massachusetts. Salah satu universitas terbaik dunia ini meradang karena kebijakan Trump yang melarang penerimaan mahasiswa asing alias non warga negara AS.

    Dilansir AFP pada Sabtu (24/5/2025), Harvard menduga larangan penerimaan mahasiswa asing adalah balasan dari Trump karena pihaknya menolak tuntutan pemerintah untuk mengendalikan tata kelola, kurikulum, dan ‘ideologi’ fakultas dan mahasiswa. Harvard mengatakan penolakan pihaknya terhadap kebijakan Trump merupakan hak amandemen pertama.

    “Ini adalah tindakan terbaru pemerintah sebagai balasan yang jelas terhadap Harvard yang menjalankan hak Amandemen Pertama dengan menolak tuntutan pemerintah untuk mengendalikan tata kelola, kurikulum, dan ‘ideologi’ fakultas dan mahasiswa Harvard,” tulis dokumen gugatan yang diajukan di pengadilan federal Massachusetts dilansir kantor berita AFP, Sabtu (24/5/2025).

    Sebelumnya Trump melalui menuduh Harvard telah “mendorong kekerasan, anti-Semitisme, dan berkoordinasi dengan Partai Komunis China”. Maka isi gugatan Harvard yakni meminta hakim AS untuk “menghentikan tindakan pemerintah yang sewenang-wenang, tidak masuk akal, melanggar hukum, dan inkonstitusional”.

    Lalu apa bagaimana hasil gugatan tersebut?

    Hakim Tangguhkan Larangan Trump

    Donald Trump (Foto: Getty Images via AFP/ANDREW HARNIK)

    Hakim Distrik AS Allison Burroughs memerintahkan penangguhan sementara terhadap larangan HarvardUniversity menerima mahasiswa asing. DilansirAFPdanReuters, perintah hakim Burroughs ini akan menangguhkan kebijakan Trump itu selama dua pekan ke depan.

    Sidang lanjutan dijadwalkan berlangsung pada 27 Mei dan 29 Mei untuk mempertimbangkan langkah selanjutnya dalam perkara ini.

    Di sisi lain, perintah hakim Burroughs ini sedikit memberikan keringanan kepada ribuan mahasiswa asing Harvard yang dipaksa pindah universitas, atau terancam kehilangan status hukum mereka.

    Gedung Putih memberikan reaksi keras terhadap perintah hakim AS tersebut. Jurubicara Gedung Putih Abigail Jackson menyebut hakim Burroughs tidak memiliki hak untuk menghentikan kebijakan pemerintahan Trump.

    “Hakim yang tidak dipilih, tidak memiliki hak untuk menghentikan pemerintahan Trump dalam menjalankan kendali yang sah atas kebijakan imigrasi dan kebijakan keamanan nasional,” tegas Jackson dalam pernyataannya.

    Hakim Burroughs Disebut Hakim Komunis

    Pemerintahan Trump memberi sinyal akan mengajukan banding atas putusan hakim Burroughs tersebut. Kemudian Wakil kepala staf Gedung Putih, Stephen Miller, dalam tanggapan terpisah menyebut hakim Burroughs sebagai ‘hakim komunis’.

    Dia mengatakan bahwa dengan mengabulkan penangguhan sementara, seorang hakim komunis telah menciptakan hak konstitusional untuk warga negara asing untuk diterima di universitas-universitas Amerika yang didanai oleh pajak warga Amerika.

    Hakim Burroughs merupakan seorang hakim distrik AS yang bertugas di Pengadilan Distrik AS untuk Massachusetts. Dia ditunjuk menjadi hakim distrik AS sejak tahun 2015 lalu oleh mantan Presiden Barack Obama pada era pemerintahannya.

    Diketahui Harvard menerima hampir 6.800 mahasiswa asing untuk tahun ajaran saat ini. Angka itu setara dengan 27 persen dari total pendaftaran untuk tahun ajaran saat ini.

    Oleh sebab itu langkah ini membuat masa depan ribuan mahasiswa asing menjadi tidak jelas, dan aliran pendapatan menguntungkan yang didapat dari penerimaan mahasiswa asing menjadi diragukan.

    Halaman 2 dari 2

    (aud/lir)

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • Larangan Harvard Terima Mahasiswa Asing Ditangguhkan, Ini Kata Gedung Putih

    Larangan Harvard Terima Mahasiswa Asing Ditangguhkan, Ini Kata Gedung Putih

    Washington DC

    Kebijakan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump melarang Universitas Harvard menerima mahasiswa asing ditangguhkan sementara oleh seorang hakim distrik AS, menyusul gugatan hukum yang diajukan universitas bergengsi tersebut. Gedung Putih memberikan reaksi keras terhadap perintah hakim AS tersebut.

    Harvard dalam gugatannya menyebut langkah pemerintahan Trump mencabut hak universitas itu untuk menerima mahasiswa asing sebagai “pelanggaran terang-terangan” terhadap Konstitusi AS dan hukum-hukum federal AS lainnya. Gugatan diajukan terhadap pengadilan federal Boston, Massachusetts, pada Jumat (23/5).

    Setelah gugatan hukum diajukan, hakim distrik AS Allison Burroughs menjatuhkan putusan awal yang memerintahkan penangguhan sementara kebijakan Trump itu.

    Hakim Burroughs memerintahkan agar “pemerintahan Trump dengan ini dilarang melaksanakan… pencabutan sertifikasi SEVP (Program Mahasiswa dan Pengunjung Pertukaran) dari penggugat” — dalam hal ini Harvard. SEVP menjadi sistem utama yang mengizinkan mahasiswa asing menempuh pendidikan di AS.

    Perintah hakim Burroughs ini akan menangguhkan kebijakan Trump itu selama dua pekan ke depan. Hakim Burroughs menjadwalkan sidang lanjutan pada 27 Mei dan 29 Mei untuk mempertimbangkan langkah selanjutnya dalam kasus tersebut.

    Menanggapi perintah hakim AS tersebut, seperti dilansir Reuters dan AFP, Sabtu (24/5/2025), juru bicara Gedung Putih Abigail Jackson menyebut hakim Burroughs tidak memiliki hak untuk menghentikan kebijakan pemerintahan Trump.

    “Hakim yang tidak dipilih, tidak memiliki hak untuk menghentikan pemerintahan Trump dalam menjalankan kendali yang sah atas kebijakan imigrasi dan kebijakan keamanan nasional,” tegas Jackson dalam pernyataannya.

    Wakil kepala staf Gedung Putih, Stephen Miller, dalam tanggapan terpisah menyebut hakim Burroughs sebagai “hakim komunis”.

    Dia mengatakan bahwa dengan mengabulkan penangguhan sementara, “seorang hakim komunis telah menciptakan hak konstitusional untuk warga negara asing… untuk diterima di universitas-universitas Amerika yang didanai oleh pajak warga Amerika”.

    Hakim Burroughs merupakan seorang hakim distrik AS yang bertugas di Pengadilan Distrik AS untuk Massachusetts. Dia ditunjuk menjadi hakim distrik AS sejak tahun 2015 lalu oleh mantan Presiden Barack Obama pada era pemerintahannya.

    Putusan yang dijatuhkan hakim Burroughs ini sedikit memberikan keringanan kepada ribuan mahasiswa asing Harvard yang dipaksa pindah universitas berdasarkan kebijakan pemerintahan Trump, atau terancam kehilangan status hukum mereka.

    Harvard menerima hampir 6.800 mahasiswa asing untuk tahun ajaran 2024-2025. Angka itu setara dengan 27 persen dari total pendaftaran untuk tahun ajaran tersebut.

    Larangan menerima mahasiswa asing ini diberlakukan Trump karena dia marah pada Harvard yang menolak pengawasan Washington atas penerimaan dan perekrutan di tengah tuduhan soal universitas bergengsi itu menjadi sarang anti-Semitisme dan ideologi liberal “woke”.

    Pemerintahan Trump mengancam akan meninjau kembali pendanaan pemerintah untuk Harvard sebesar US$ 9 miliar, sebelum membekukan hibah sebesar US$ 2,2 miliar pada tahap pertama. Pemerintahan Trump juga mendeportasi seorang peneliti Sekolah Kedokteran Harvard.

    “Ini adalah tindakan terbaru pemerintah sebagai balas dendam yang jelas terhadap langkah Harvard menjalankan hak Amandemen Pertama dengan menolak tuntutan pemerintah untuk mengendalikan tata kelola, kurikulum, dan ‘ideologi’ fakultas dan para mahasiswanya,” tegas Harvard dalam gugatan hukumnya.

    Gugatan Harvard itu meminta hakim AS untuk “menghentikan tindakan pemerintah yang sewenang-wenang, tidak masuk akal, melanggar hukum, dan inkonstitusional.”

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • Michelle Obama Blak-blakan soal Terapi dan Fase Baru dalam Hidupnya

    Michelle Obama Blak-blakan soal Terapi dan Fase Baru dalam Hidupnya

    JAKARTA – Michelle Obama mengungkap ia kembali menjalani terapi sebagai bagian dari proses transisi menuju fase baru dalam hidupnya.

    Dalam penampilannya di podcast On Purpose bersama Jay Shetty pada 28 April lalu, mantan Ibu Negara Amerika Serikat yang kini berusia 61 tahun ini membagikan bahwa ia tengah menjalani terapi untuk membantunya menavigasi kehidupan setelah masa publiknya di Gedung Putih bersama sang suami, Barack Obama.

    “Di fase hidup saya sekarang, saya sedang menjalani terapi karena saya sedang bertransisi, tahu kan?” ujar Michelle, dikutip dari laman People.

    “Saya sudah 60 tahun, saya telah menyelesaikan sesuatu yang sangat berat dalam hidup dan keluarga saya tetap utuh. Sekarang saya seorang ‘empty nester’. Anak-anak saya sudah mandiri, mereka sudah diluncurkan. Dan untuk pertama kalinya, setiap pilihan yang saya buat sepenuhnya adalah pilihan saya sendiri,” lanjutnya.

    Tanpa lagi alasan seperti ‘anak-anak butuh ini’ atau ‘negara butuh itu’, Michelle mengaku mulai bertanya pada dirinya sendiri soal arah hidup ke depan. Ia pun memilih menjalani terapi untuk membantu menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.

    “Saya butuh bantuan untuk memikirkan fase berikutnya. Biar saya luruskan kebiasaan lama, urai perasaan bersalah yang saya bawa, dan renungkan bagaimana hubungan saya dengan ibu saya memengaruhi cara saya berpikir,” tuturnya.

    Michelle menggambarkan terapi sebagai bentuk ‘tune-up’, semacam servis rutin bagi dirinya dan percaya bahwa saat inilah waktu yang tepat untuk itu. Ia merasa fase baru yang dijalaninya kini membutuhkan perspektif baru, bahkan dari orang yang tidak terlalu mengenalnya.

    “Saya punya seseorang baru yang sedang mengenal saya dari nol, melihat saya secara segar, dan mendengar semua emosi saya,” kata Michelle.

    Dalam kesempatan lain, Michelle juga sempat membicarakan kebebasan barunya di podcast Work in Progress milik Sophia Bush. Di sana ia mengaku bahwa kini dirinya bisa melakukan apa pun yang diinginkannya, sebuah hal  belum pernah dirasakan sebelumnya.

    “Untuk pertama kalinya dalam hidup saya, semua pilihan saya adalah untuk diri saya sendiri,” ujarnya.

    Meski begitu, ia menyadari keputusan-keputusan pribadinya kerap disalahartikan publik, termasuk isu seputar pernikahannya dengan Barack Obama.

    “Banyak orang tak bisa menerima bahwa saya membuat pilihan untuk diri saya sendiri. Mereka langsung mengira saya dan suami saya akan bercerai. Tak mungkin ini hanya tentang seorang perempuan dewasa yang mengambil keputusan untuk dirinya sendiri, kan?” ucap Michelle dengan menyoroti ekspektasi sosial yang kerap membebani perempuan.

    Dengan terbukanya Michelle Obama soal kesehatan mental dan pentingnya terapi, ia sekali lagi menunjukkan bahwa meski telah melewati panggung dunia. Michelle tetap terus belajar dan bertumbuh menjadi lebih baik lagi.

  • Michelle Obama Sampai Terapi, Begini Kondisinya Hadapi Fase Baru Kehidupan

    Michelle Obama Sampai Terapi, Begini Kondisinya Hadapi Fase Baru Kehidupan

    Jakarta

    Mantan Ibu Negara AS Michelle Obama mengungkapkan dirinya yang sedang menjalani terapi untuk menjalani fase kehidupan berikutnya di dalam hidupnya. Dalam podcast On Purpose milik Jay Shetty, terapi ini dilakukannya untuk membantu mengarahkan hidupnya setelah suaminya, Barack Obama, tidak menjabat lagi sebagai Presiden Amerika Serikat.

    “Pada fase kehidupan saya ini, saya sedang menjalani terapi karena sedang bertransisi. Saya berusia 61 tahun, telah menyelesaikan hal yang sangat sulit dalam hidup dengan keluarga yang utuh,” terang Michelle, dikutip dari People.

    “Saya seorang ibu yang anaknya sudah dewasa. Anda tahu, anak-anak perempuan saya sudah dewasa, mereka sudah siap. Dan sekarang untuk pertama kalinya, seperti yang saya katakan sebelumnya, setiap pilihan yang saya buat sepenuhnya adalah milik saya,” sambungnya.

    Sebelumnya, muncul rumor perceraian antara Barack Obama dengan Michelle. Tetapi, hal itu ia tepis dan mengaku pernah mengalami kesepian dalam rumah tangganya karena sang suami yang sibuk dengan pekerjaannya sebagai presiden.

    Kini, Michelle mengaku sudah tidak punya alasan lagi untuk memikirkan apa yang dibutuhkan anak-anaknya, suami, bahkan negara. Wanita 61 tahun hanya perlu memikirkan dirinya sendiri dengan bantuan terapi.

    Michelle telah menjalani terapi selama bertahun-tahun dan menyebutnya sebagai ‘penyegaran’.

    “Biarkan saya menghilangkan beberapa kebiasaan lama. Biarkan saya memilah-milah rasa bersalah lama yang telah saya bawa. Hubungan dengan ibu saya telah mempengaruhi cara berpikir tentang berbagai hal,” tuturnya.

    “Jadi, saya mendapat penyegaran untuk fase berikutnya ini karena saya percaya ini adalah fase yang sama sekali berbeda dalam hidup saya,” tambah Michelle.

    Michelle mengaku kini sudah dapat melakukan apapun yang diinginkannya. Ia merasa bebas dari apa saja yang selama ini dipendam.

    Dia juga menyinggung bagaimana kebebasan yang baru ditemukannya ini berpapasan dengan pengawasan publik yang terus-menerus memicu gosip dan spekulasi tentang status pernikahannya dengan Obama.

    “Itulah yang kami sebagai wanita perjuangkan, mengecewakan orang lain. Maksud saya, begitu mengecewakannya sampai-sampai tahun ini orang-orang bahkan tidak dapat memahami bahwa saya membuat pilihan untuk diri sendiri. Mereka malah berasumsi bahwa saya dan suami saya akan bercerai,” jelas Michelle.

    “Tidak mungkin seorang wanita dewasa hanya membuat rangkaian keputusan sendiri, bukan? Tetapi, itulah yang dilakukan masyarakat pada kami. Jika keputusan itu tidak sesuai dengan stereotip mereka, itu akan dicap sebagai sesuatu yang negatif dan mengerikan,” pungkasnya.

    (sao/suc)