Tag: Barack Obama

  • Trump Gagal Setop Bantuan Luar Negeri

    Trump Gagal Setop Bantuan Luar Negeri

    Bisnis.com, JAKARTA — Kebijakan Presiden AS Donald Trump untuk menyetop pengiriman bantuan luar negeri berpotensi batal usai kalah dalam putusan hakim terbaru. 

    Pemerintahan Trump tetap terikat perintah pengadilan untuk menghabiskan miliaran dolar dana bantuan luar negeri AS yang akan kedaluwarsa pada akhir bulan ini, setelah pengadilan banding federal menolak permohonan pemerintah untuk campur tangan.

    Melansir dari Bloomberg, Sabtu (6/9/2025), bahwa putusan 2-1 pada Jumat (5/9/2025) dari panel tiga hakim pengadilan banding merupakan perselisihan terhadap ‘kemunduran kebijakan’ Trump, apakah Trump dapat menolak menghabiskan dana yang disetujui Kongres untuk program bantuan di seluruh dunia.

    Departemen Kehakiman telah memberi sinyal dalam dokumen pengadilan bahwa kemungkinan mereka akan meminta Mahkamah Agung AS untuk mempertimbangkan kasus ini secara darurat dan menangguhkan perintah pengadilan federal Washington dalam beberapa hari ke depan.

    Sekitar US$12 miliar dari US$30 miliar yang menjadi sengketa di pengadilan akan kedaluwarsa setelah 30 September jika Departemen Luar Negeri dan Badan Pembangunan Internasional AS atau US Agency for International Development (USAID) tidak ada rencana penggunaan dana tersebut. 

    Sementara itu, Gedung Putih tidak segera menanggapi permintaan komentar.

    Penarikan Kembali Bantuan

    Adapun, langkah terbaru dari Pengadilan Banding AS untuk Sirkuit DC bukanlah putusan akhir mengenai keabsahan upaya Trump dan pejabat AS lainnya untuk menarik kembali dana bantuan luar negeri, yang merupakan bagian dari upaya lebih besar administrasinya untuk membongkar USAID dan secara drastis mengurangi keterlibatan AS di luar negeri.

    Hakim Sirkuit DC Cornelia Pillard dan Florence Pan—yang ditunjuk oleh mantan presiden Barack Obama dan Joe Biden masing-masing—memutuskan untuk menolak permintaan pemerintah untuk sementara mencabut perintah pengadilan tingkat bawah terkait penarikan bantuan luar negeri tersebut. Sementara Hakim Justin Walker, yang dikonfirmasi selama masa jabatan pertama Trump, mencatat bahwa dia akan berpihak pada pemerintah. 

    Hakim Distrik AS Amir Ali memutuskan pada 3 September bahwa penolakan pemerintahan untuk menghabiskan dana bantuan kemungkinan melanggar undang-undang AS yang mengatur cara lembaga federal mengambil keputusan. Dia sebelumnya menghentikan pemblokiran dana berdasarkan prinsip pemisahan kekuasaan dalam Konstitusi, tetapi beralih ke klaim lain setelah panel banding yang terbagi membatalkan perintah pengadilan tersebut.

    Ali berpendapat bahwa pemerintah tidak memberikan alasan untuk menggantikan harapan dasar bahwa anggaran Kongres harus diikuti. Dirinya menyimpulkan bahwa keputusan penghentian pendanaan melanggar Undang-Undang Prosedur Administrasi.

    Sebelum putusan dari Ali dikeluarkan, Trump meminta Kongres untuk menarik kembali lebih dari US$4 miliar dana bantuan luar negeri yang akan kedaluwarsa tahun ini, termasuk US$3,2 miliar dari undang-undang anggaran 2024 yang menjadi objek putusan terbaru, menurut berkas pengadilan. 

    Langkah Trump, yang dikenal sebagai “pocket rescission,” dirancang untuk memungkinkan dia menghindari pengeluaran dana tersebut jika Kongres tidak bertindak hingga akhir September, dan secara luas dianggap sebagai uji coba kemampuannya menggunakan manuver tersebut untuk mengelak dari wewenang legislatif di masa depan, seperti dilaporkan sebelumnya oleh Bloomberg.

    Dalam meminta Pengadilan Banding DC untuk campur tangan lagi, Departemen Kehakiman menyatakan bahwa mereka memiliki niat penuh untuk mengikat. Artinya, lembaga-lembaga akan berkomitmen untuk menghabiskan dana yang akan berakhir masa berlakunya yang belum diajukan Trump ke Kongres untuk ditarik kembali.

    Apakah cabang eksekutif dapat menolak menghabiskan dana yang dialokasikan Kongres “adalah masalah yang harus diselesaikan oleh cabang-cabang politik, bukan oleh pengadilan yang campur tangan atas permintaan penggugat swasta,” tulis pengacara pemerintah.

    Perkara tersebut adalah Global Health Council v. Trump, 25-5319, dan Aids Vaccine Advocacy Coalition v. Department of State, 25-5317, Pengadilan Banding AS, DC Circuit (Washington, DC).

  • Warga AS Khawatir Kehilangan Pekerjaan Selamanya Karena AI

    Warga AS Khawatir Kehilangan Pekerjaan Selamanya Karena AI

    Bisnis.com, JAKARTA – Mayoritas warga Amerika Serikat diliputi kekhawatiran atas pesatnya perkembangan kecerdasan buatan (AI) yang akan menghilangkan jutaan lapangan kerja secara permanen.

    Hal ini terungkap dalam jajak pendapat terbaru Reuters/Ipsos yang digelar secara  daring selama enam hari dan berakhir Senin (18/8/2025). Survei tersebut menunjukkan 71% responden khawatir AI akan menggantikan terlalu banyak pekerja untuk selamanya.

    Kekhawatiran publik meningkat meski angka pengangguran nasional pada Juli tercatat hanya 4,2%.

    AI pertama kali menguasai percakapan publik pada akhir 2022 ketika OpenAI meluncurkan ChatGPT. Dalam tempo singkat, aplikasi tersebut menjadi yang tercepat tumbuh dalam sejarah. Raksasa teknologi seperti Meta, Google, dan Microsoft segera menyusul dengan produk serupa, memicu gelombang baru persaingan dan investasi.

    Namun, perkembangan itu juga menimbulkan keresahan. Sebanyak 77% responden khawatir AI dapat dimanfaatkan untuk menimbulkan kekacauan politik, seiring maraknya video manipulatif yang terlihat nyata.

    Kekhawatiran tersebut semakin menguat setelah bulan lalu Presiden Donald Trump mengunggah video buatan AI yang memperlihatkan mantan Presiden Barack Obama ditangkap—peristiwa yang sebenarnya tidak pernah terjadi.

    Aspek militer menjadi sumber kecemasan lain. Survei menunjukkan 48% warga menolak penggunaan AI untuk menentukan target serangan militer, sementara hanya 24% yang mendukung, dan sisanya tidak yakin.

    Di sisi lain, euforia terhadap AI memicu arus investasi baru, termasuk rencana Foxconn dan SoftBank membangun pabrik peralatan pusat data di Ohio. Namun, dominasi teknologi ini juga menggeser prioritas kebijakan keamanan nasional, terutama dalam rivalitas strategis AS-China.

    Kekhawatiran publik juga tertuju pada isu energi. Sekitar 61% responden resah terhadap besarnya konsumsi listrik untuk menopang teknologi yang berkembang pesat ini. Menanggapi hal itu, Google baru-baru ini meneken kesepakatan dengan dua perusahaan utilitas listrik AS untuk memangkas penggunaan daya pusat datanya ketika permintaan listrik melonjak.

    AI juga menuai kritik atas sejumlah penyalahgunaan, mulai dari bot yang bisa bercakap secara romantis dengan anak-anak, menyebarkan informasi medis palsu, hingga menjadi alat untuk membenarkan argumen rasis.

    Sebanyak dua pertiga responden mengaku takut manusia akan meninggalkan relasi sosial demi “pasangan” AI. Pandangan soal pendidikan pun terbelah: 36% percaya AI akan membantu, 40% menilai sebaliknya, dan sisanya ragu.

    Jajak pendapat ini melibatkan 4.446 orang dewasa dari seluruh AS secara daring dengan margin kesalahan sekitar dua poin persentase.

  • Tak Gabung NATO, Tak Dapat Crimea

    Tak Gabung NATO, Tak Dapat Crimea

    Jakarta

    Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump berbicara mengenai nasib Ukraina yang saat ini berperang dengan Rusia. Trump mengatakan Ukraina tidak akan bergabung dengan kelompok NATo dan tidak akan mengambil kembali Crimea yang dianeksasi Rusia.

    Dilansir BBC, Senin (18/8/2025), hal tersebut disampaikan Trump beberapa jam sebelum ia dijadwalkan menjamu Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky di Gedung Putih. Trump juga mengatakan tidak akan ada pengembalian semenanjung Crimea, yang dianeksasi Moskow pada tahun 2014, delapan tahun sebelum melancarkan invasi skala penuh ke Ukraina.

    Pernyataan Trump ini menyusul pertemuan puncaknya dengan pemimpin Rusia Vladimir Putin di Alaska, yang mengakibatkan presiden AS tersebut membatalkan tuntutan gencatan senjata, dan menyerukan kesepakatan damai permanen.

    Dalam unggahan di platform Truth Social miliknya pada Minggu (17/8) malam waktu setempat, Trump menuliskan: “Presiden Zelensky dari Ukraina dapat segera mengakhiri perang dengan Rusia, jika ia mau, atau ia dapat terus berjuang.”

    “Ingat bagaimana semuanya bermula. Tidak ada pengembalian Crimea yang diberikan oleh Obama dan TIDAK ADA UKRAINA MASUK NATO. Beberapa hal tidak pernah berubah!!!” tambah Trump.

    Sebelum Trump kembali berkuasa pada bulan Januari lalu, negara-negara NATO menyepakati “jalur yang tidak dapat diubah” bagi Kyiv untuk menjadi anggota aliansi tersebut.

    Sekretaris Jenderal NATO Mark Rutte, bersama para pemimpin Eropa termasuk Perdana Menteri Inggris Sir Keir Starmer, akan bergabung dengan Zelensky di Washington, AS untuk membahas masa depan Ukraina pada hari Senin (18/8).

    Trump kemudian menambahkan: “Besok adalah hari besar di Gedung Putih. Tidak pernah ada begitu banyak pemimpin Eropa sekaligus. Kehormatan besar bagi saya untuk menjamu mereka!!!”

    Zelensky mengunggah postingan di media sosial yang mengatakan bahwa ia “bersyukur” atas undangan Trump. “Kita semua memiliki keinginan kuat untuk mengakhiri perang ini dengan cepat dan andal”.

    Ia juga menegaskan kembali perlunya jaminan keamanan yang efektif dari sekutu, “tidak seperti bertahun-tahun yang lalu… ketika Ukraina diberi apa yang disebut ‘jaminan keamanan’ pada tahun 1994 tetapi tidak berhasil”.

    “Tentu saja, Krimea seharusnya tidak diserahkan saat itu,” tambahnya. “Sama seperti Ukraina yang tidak menyerahkan Kyiv, Odesa, atau Kharkiv setelah tahun 2022”.

    Putin Ungkap Ada ‘Kesepahaman’ dengan Trump Soal Ukraina

    Presiden Rusia Vladimir Putin mengatakan ada “kesepahaman” yang dicapai dengan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump setelah keduanya melakukan pertemuan di Alaska. Putin menyebut bahwa “kesepahaman” itu dapat membawa perdamaian di Ukraina.

    Putin dan Trump melakukan pertemuan yang sangat dinantikan di Alaska pada Jumat (15/8) waktu setempat, yang dimaksudkan untuk membahas perang di Ukraina dan langkah-langkah menuju perdamaian.

    Namun kedua pemimpin mengakhiri pertemuan tanpa ada kesepakatan apa pun soal Ukraina, setelah melakukan pembicaraan selama tiga jam di Joint Base Elmendorf-Richardson di Anchorage, Alaska. Kendati demikian, Putin menyebut ada “kesepahaman” antara dirinya dan Trump mengenai Ukraina dalam pertemuan itu.

    “Kami berharap kesepahaman yang telah kami capai akan… membuka jalan bagi perdamaian di Ukraina,” kata Putin dalam konferensi pers bersama dengan Trump setelah pembicaraan keduanya, seperti dilansir AFP, Sabtu (16/8/2025).

    Putin tidak menjelaskan lebih lanjut soal “kesepahaman” yang dimaksudnya tersebut.

    Dalam konferensi pers yang digelar singkat dengan backdrop sederhana bertuliskan “Pursuing Peace” tersebut, Putin mengatakan bahwa Rusia berharap agar “Kyiv dan ibu kota Eropa akan memandang semua ini secara konstruktif dan tidak akan menciptakan hambatan apa pun”.

    Putin juga memperingatkan terhadap “upaya-upaya untuk mengganggu kemajuan yang telah muncul melalui provokasi atau intrik di-balik-layar”.

    Halaman 2 dari 2

    (lir/lir)

  • Geger “Surat Cinta” Melania Trump untuk Putin Diduga Ditulis AI

    Geger “Surat Cinta” Melania Trump untuk Putin Diduga Ditulis AI

    Jakarta, CNBC Indonesia – Surat pribadi Melania Trump kepada Presiden Rusia Vladimir Putin yang disebut sebagai surat perdamaian memicu perdebatan publik tentang kemungkinan pembuatannya menggunakan kecerdasan buatan (AI).

    Dalam unggahan di media sosial resminya, ibu negara AS itu menyerukan agar Putin dapat “seorang diri mengembalikan tawa melodi anak-anak” yang telah lama hilang akibat perang besar yang berlangsung lebih dari tiga tahun di Ukraina. Surat tersebut kemudian diserahkan langsung oleh Presiden Donald Trump kepada Putin dalam pertemuan puncak di Alaska, Jumat lalu, menurut laporan Reuters yang mengutip dua pejabat Gedung Putih.

    Di balik pesan penuh harapan dari Melania Trump itu, spekulasi lain muncul. Sejumlah komentator mempertanyakan apakah surat tersebut benar-benar ditulis langsung oleh sang ibu negara atau dihasilkan oleh AI.

    Keith Edwards, seorang strategi Demokrat, menulis di platform X bahwa surat itu “mengatakan banyak hal tanpa makna konkret” dan “mungkin ditulis oleh AI.” Chris Jackson, pendukung lama Joe Biden sekaligus aktivis Demokrat, mengeklaim dirinya telah menjalankan surat itu melalui perangkat AI yang menyimpulkan pesan ke Kremlin tersebut dihasilkan mesin.

    Perusahaan xAI milik Elon Musk, lewat sistem analisis Grok, menyatakan surat itu “menunjukkan tanda-tanda kuat sebagai hasil generasi AI dengan sedikit penyuntingan manusia untuk nada.”

    Meski begitu, tidak ada bukti konkret bahwa surat tersebut memang dibuat menggunakan AI. Pakar AI yang dimintai tanggapan menyebut gaya tulisan surat itu cenderung idealistis dan abstrak.

    “Kata-kata seperti kemurnian, kepolosan, kemanusiaan, cinta, kemungkinan, dan martabat ditumpuk rapat tanpa rincian kebijakan nyata. Model AI cenderung menggunakan nilai universal semacam ini ketika diminta menulis dengan nada inspirasional,” kata salah satu analisis, dilansir Newsweek, Senin (18/8/2025).

    Namun pakar itu juga mencatat surat tersebut tidak memperlihatkan perubahan nada atau frasa janggal khas konten buatan AI.

    Adapun isu AI bukan hal baru bagi Melania Trump. Baru-baru ini ia merilis audiobook berdurasi tujuh jam yang dipasarkan sebagai karya dengan teknologi audio AI sepenuhnya, menggunakan “suara resmi AI Melania Trump” sebagai narator.

    Selain itu, pada 2016, Melania pernah dituduh menjiplak pidato Michelle Obama dalam Konvensi Nasional Partai Republik. Saat itu tim Trump membela diri dengan menyatakan ia hanya menggunakan “kata-kata umum” dan tidak menyalin pidato ibu negara AS sebelumnya.

    Respons Ukraina

    Meski dipenuhi kontroversi, surat Melania Trump ternyata mendapat apresiasi dari Ukraina. Menteri Luar Negeri Andrii Sybiha menyampaikan bahwa Presiden Volodymyr Zelensky berterima kasih kepada Donald Trump atas “perhatian tulus” ibu negara terhadap nasib anak-anak Ukraina.

    Namun, versi surat yang dipublikasikan Melania di Instagram tidak secara eksplisit menyinggung tentang anak-anak Ukraina yang dideportasi ke Rusia.

    Sejak awal invasi skala penuh, Kyiv menuduh Moskow menculik ribuan anak dan memindahkan mereka ke wilayah Rusia atau daerah yang dikuasai pasukan Kremlin. Ukraina menyebut tindakan itu sebagai kejahatan perang.

    Mahkamah Pidana Internasional (ICC) pada Maret 2023 mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Putin dan Maria Lvova-Belova, komisaris anak Rusia, karena diduga bertanggung jawab atas deportasi ilegal anak-anak dari Ukraina ke Rusia.

    Moskow menolak tuduhan tersebut, dengan alasan bahwa anak-anak dipindahkan demi melindungi mereka dari bahaya konflik. Namun laporan PBB menunjukkan kenyataan yang lebih suram: anak-anak di wilayah Ukraina yang dianeksasi Rusia mengalami eksekusi singkat, penahanan sewenang-wenang, kekerasan seksual terkait konflik, hingga penyiksaan.

     

    (luc/luc)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Pemerintah Israel Wacanakan Perluasan Pendudukan di Tepi Barat

    Pemerintah Israel Wacanakan Perluasan Pendudukan di Tepi Barat

    Jakarta

    Menteri Keuangan Israel Bezalel Smotrich pada hari Kamis (14/8) mengungkap rencana perluasan pemukiman di Tepi Barat yang diduduki Israel. Ekspansi pemukiman akan semakin menggerogoti wilayah Palestina dan dipandang sebagai batu sandungan terbesar bagi kedaulatan Palestina.

    Pendudukan Israel di Tepi Barat telah berlangsung sejak tahun 1967.

    Smotrich mengisyaratkan, ekspansi juga diniatkan untuk mencegah lebih banyak negara mengakui kedaulatan Palestina.

    Juru bicara PBB sebabnya mendesak Israel untuk membatalkan rencana ekspansi pemukiman karena akan mengakhiri prospek Solusi Dua Negara. PBB kembali menegaskan bahwa pemukiman Israel di Tepi Barat bertentangan dengan hukum internasional.

    Bagaimana rencana perluasan pemukiman?

    Menteri keuangan dari blok ekstrem kanan itu mengumumkan rencana perluasan pemukiman Israel, Maale Adumim, dengan membangun 3500 apartemen baru di sebidang tanah seluas 12 km2 di sebelah timur Yerusalem, yang dikenal sebagai wilayah East 1 (E1).

    Rencana perluasan area pemukiman Israel ini menurut para pakar akan “secara efektif” membelah wilayah Tepi barat, Israel menjadi dua bagian. Dalam pernyataan yang dirilis Smotrich, pihaknya akan “mengubur gagasan tentang negara Palestina.”

    Pengumuman Smotrich datang bersamaan dengan rencana Prancis, Inggris, dan Kanada untuk secara formal mengakui kedaulatan Palestina pada Sidang Umum PBB di bulan September mendatang.

    “Siapa pun di dunia yang saat ini mencoba mengakui negara Palestina, akan mendapat jawaban dari kami di lapangan,” tambahnya.

    Smotrich, yang juga pemimpin Partai Religious Zionism, mengancam akan menegaskan kedaulatan penuh Israel di semua wilayah Yudea dan Samaria, jika Prancis, Inggris, dan Kanada melanjutkan rencana pengakuan mereka atas negara Palestina.

    Istilah “Yudea dan Samaria” sering digunakan Israel merujuk wilayah Tepi Barat yang diduduki.

    Apa reaksi AS terhadap rencana Smotrich?

    Rencana perluasan pemukiman Yahudi di wilayah E1 sempat dibekukan sebelumnya pada masa pemerintahan AS di bawah Presiden Obama dan Biden dari partai Demokrat.

    Dalam konferensi pers tersebut, Smotrich menyebut Presiden Trump dan Duta Besar AS untuk Israel, Mike Huckabee, sebagai “sahabat sejati”, yang selalu memperkuat posisi Israel.

    Namun juru bicara Departemen Luar Negeri AS, mengelak memberikan tanggapen terkait ekspansi pemukiman, dan hanya mengatakan bahwa “Tepi Barat yang stabil ikut menjaga keamanan Israel ,dan sejalan dengan hal tersebut perdamaian di kawasan dapat tercapai.”

    Meski demikian, Trump dan Huckabee belum memberikan komentar atas rencana tersebut.

    Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu juga belum memberikan tanggapan resmi kepada publik terkait rencana Smotrich, meski Smotrich mengklaim Netanyahu dan Trump telah mendukung pembangunan unit perumahan baru.

    Posisi Smotrich sebagai menteri keuangan dalam pemerintahan koalisi, memberinya ruang untuk mendulang dukungan dari pemilih konservatif dan pemukim Yahudi garis keras.

    Meski belum mendapat persetujuan resmi dari Netanyahu atau Trump, agenda Smotrich berpotensi memperkuat pengaruh sayap kanan, dan mempengaruhi arah kebijakan pemerintah Israel.

    Rencana E1 masih membutuhkan persetujuan resmi dari pemerintah. Jika disetujui, pembangunan perumahan baru di pemukiman Maale Adumim bisa dimulai dalam waktu sekitar satu tahun.

    Bagaimana reaksi Palestina?

    Manuver untuk pembangunan kawasan E1 mendapat kecaman dari pejabat Palestina, kelompok hak asasi, dan negara-negara Arab.

    Kementerian Luar Negeri Otonomi Palestina di Tepi Barat dan kaum ekspatriat Palestina juga mengecam rencana tersebut, dan menuntut “pemberian sanksi” pada Israel untuk menghentikan pendudukan baru di E1. Mereka menyebut rencana ini sebagai kelanjutan rencana Israel untuk “menghancurkan eksistensi negara Palestina.”

    Organisasi kemanusiaan Israel Peace Now, yang memantau pemukiman Yahudi di Tepi Barat, menyebut rencana pemerintah “membunuh masa depan Israel, dan mematikan setiap peluang tercapainya solusi-dua negara yang damai.”

    Solusi-dua negara mengacu pada visi dua negara merdeka, Israel dan Palestina, yang hidup berdampingan secara damai.

    Kecaman negara-negara Arab

    Kritik juga datang dari kawasan Teluk. Qatar menilai rencana perluasan pemukiman di Tepi Barat sebagai “pelanggaran nyata terhadap legitimasi internasional,” dan menekankan urgensi “tindakan dari komunitas internasional untuk bersatu menghentikan Israel memperluas pemukiman dan, untuk mematuhi resolusi internasional.”

    Kementerian Luar Negeri Mesir mengecam keras rencana perluasan pemukiman Yahudi tersebut, dan mengecam “pernyataan ekstrem menteri Israel yang menyerukan perluasan pemukiman dan kedaulatan Israel di Tepi Barat.”

    Artikel ini pertama kali terbit dalam bahasa Inggris

    Diadaptasi oleh Sorta Caroline

    Editor :Rizki Nugraha/Agus Setiawan

    Lihat juga Video ‘Trump Ingin Jurnalis Dapat Akses Masuk Gaza’:

    (ita/ita)

  • 6 Fakta Petemuan Trump dan Putin, Nasib Ukraina Bakal Ditentukan

    6 Fakta Petemuan Trump dan Putin, Nasib Ukraina Bakal Ditentukan

    Daftar Isi

    Jakarta, CNBC Indonesia – Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dan Presiden Rusia Vladimir Putin akan menggelar pertemuan puncak di Alaska pada 15 Agustus. KTT ini diharapkan menjadi langkah besar menuju penghentian perang Ukraina yang telah berlangsung sejak Februari 2022.

    Trump sebelumnya telah menghabiskan bulan-bulan pertamanya menjabat untuk mencoba menengahi perdamaian, setelah sesumbar bahwa ia dapat mengakhiri perang dalam 24 jam. Namun beberapa putaran perundingan damai, panggilan telepon, dan kunjungan diplomatik gagal menghasilkan terobosan.

    Berikut fakta-fakta terkait rencana pertemuan kedua kepala negara tersebut:

    Lokasi Pertemuan

    Trump mengumumkan KTT akan digelar di Alaska pada 15 Agustus melalui Truth Social, yang kemudian dikonfirmasi Kremlin.

    “Mereka ingin bertemu dengan saya, saya akan melakukan apa pun untuk menghentikan pembunuhan itu,” kata Trump.

    Ia juga menyebut akan ada “pertukaran wilayah untuk kebaikan” Ukraina dan Rusia, namun tanpa merinci lebih lanjut. Kremlin menilai lokasi ini “cukup logis” untuk pertemuan kedua pemimpin.

    Mengapa Alaska?

    Alaska adalah wilayah yang dibeli AS dari Rusia pada 1867 dan terletak dekat dengan Rusia, hanya dipisahkan oleh Selat Bering. Ajudan Kremlin Yuri Ushakov mengatakan wilayah ini memiliki potensi kerja sama ekonomi besar.

    “Namun, tentu saja, para presiden akan fokus membahas opsi penyelesaian damai jangka panjang atas krisis Ukraina,” ujarnya. Ushakov menambahkan, Putin berharap pertemuan berikutnya dapat digelar di Rusia.

    Hambatan Lokasi

    Rencana KTT ini dibatasi oleh surat perintah penangkapan Mahkamah Pidana Internasional (ICC) terhadap Putin, yang membuatnya sulit bepergian ke negara anggota ICC. Sebelumnya, muncul kandidat lokasi lain seperti Uni Emirat Arab, Turki, China, atau India, namun akhirnya Alaska dipilih.

    Keterlibatan Zelensky

    Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky mendorong agar KTT ini menjadi pertemuan tiga pihak. Utusan khusus Trump, Steve Witkoff, mengusulkan format tersebut saat bertemu Putin pekan ini, namun Moskow menolak.

    Dalam perundingan di Istanbul pada Juni lalu, Rusia menegaskan pertemuan Putin-Zelensky hanya bisa dilakukan pada tahap akhir negosiasi setelah ada kesepakatan prinsip perdamaian.

    Sejarah Pertemuan Putin-Trump

    Trump dan Putin terakhir kali bertemu pada KTT G20 di Jepang pada 2019. Pertemuan sebelumnya di Helsinki pada 2018 menuai kritik karena Trump dinilai membela Putin terkait temuan intelijen AS mengenai campur tangan Rusia dalam Pemilu AS.

    Terakhir kali Putin bertemu presiden AS di wilayah AS adalah saat berunding dengan Barack Obama pada Sidang Umum PBB 2015.

    Posisi Negosiasi Saat Ini

    Rusia menuntut Ukraina menarik pasukan dari empat wilayah yang dianeksasi, bersikap netral, tidak bergabung dengan NATO, dan menolak bantuan militer Barat. Sementara Ukraina menegaskan tidak akan mengakui klaim Rusia atas wilayahnya, namun siap mengembalikan wilayah tersebut melalui diplomasi. Kyiv uga meminta jaminan keamanan dari Barat, termasuk pengerahan pasukan penjaga perdamaian.

    (fab/fab)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Nasib Harga iPhone Usai Apple Setuju Bangun Pabrik di Amerika

    Nasib Harga iPhone Usai Apple Setuju Bangun Pabrik di Amerika

    Jakarta, CNBC Indonesia – Pemerintahan Donald Trump berhasil menekan Apple untuk meningkatkan fasilitas manufakturnya di Amerika Serikat (AS). Apple mengumumkan penambahan investasi dari US$500 miliar menjadi US$600 miliar selama 4 tahun ke depan di AS.

    CEO Apple Tim Cook mengatakan Apple berkomitmen untuk lebih mengoptimalkan rantai pasok global dengan memperbesar peran AS. Kendati demikian, penambahan investasi baru ini belum secara gamblang disebut untuk membangun pabrik iPhone.

    Wacana pembangunan pabrik iPhone di AS sudah lama menjadi sorotan. Bahkan, sejak era kepemimpinan Barrack Obama. Namun, selama ini Apple masih bisa ‘mangkir’ dan mengandalkan rantai pasokan di China.

    Belakangan, Apple mulai meningkatkan diversifikasi produksi iPhone di negara-negara lain seperti India. China mulai ditinggalkan karena ancaman tarif tinggi dari Trump.

    Namun, pemindahan fasilitas produksi Apple dari China ke India belum bisa memuaskan Trump. Bahkan, Trump mengancam akan menerapkan tarif tambahan 25% untuk iPhone yang dijual di AS tetapi diproduksi di negara lain.

    Sejak Trump dilantik untuk masa jabatan keduanya pada Januari 2025, hubungannya dengan Cook bisa dibilang naik-turun. Trump menegaskan sikapnya ingin iPhone diproduksi di AS, bukan China atau India.

    Lantas, apa dampaknya jika iPhone diproduksi di AS?

    Beberapa saat lalu, Profesor Emeritus Duke University, Gary Gereffi, mengatakan pendekatan paling realistis untuk memindahkan produksi iPhone ke AS adalah dengan merekonstruksi rantai pasokan. Apple disebut bisa mengalihkan manufaktur komponen utama ke Amerika Utara.

    Namun, masih ada masalah lain terkait tenagar kerja. Perakitan di AS akan membutuhkan banyak tenaga kerja manusia dan robot.

    “Kita mengalami kekurangan tenaga kerja yang sangat parah. Dan telah kehilangan seni manufaktur skala besar,” jelas profesor bisnis Universitas Johns Hopkins, Tinglong Dai, dikutip dari Wall Street Journal.

    Sebagai contoh, pabrikan perakit iPhone di China, Foxconn, memperkerjakan 300 ribu pekerja. Di sisi lain, perekrutan akan menjadi salah satu masalah paling besar yang ada di pabrik-pabrik AS.

    Belum lagi soal uang yang harus digelontorkan Apple. Perlu banyak biaya membangun iPhone asli AS.

    Meski harganya murah jika diproduksi AS, namun kualitasnya akan lebih buruk. Setidaknya pada awal pabrikan AS berjalan.

    “AS memiliki kapasitas memproduksi komponen smartphone di sejumlah area, namun bukan yang terbaik,” jelas Dai.

    Harga iPhone Terancam Naik Gila-gilaan

    Analis Bank of America Securities, Wamsi Mohan, mengatakan iPhone 16 Pro yang saat ini dijual US$1.199 (Rp19.5 jutaan) bisa meningkat harganya sampai 25% menjadi sekitar US$1.500 (Rp24,4 jutaan). Perkiraan itu hanya didasarkan pada penambahan biaya tenaga kerja yang lebih mahal di AS.

    Bahkan, analis Wedbush Dan Ives pernah menyebut harga iPhone buatan pabrik AS bisa mencapai US$3.500 (Rp57 jutaan), dikutip dari CNBC International.

    Ia mengestimasikan Apple akan mengeluarkan US$30 miliar (Rp489 triliun) selama 3 tahun ke depan untuk memindahkan 10% rantai pasokannya ke AS.

    Sebagai informasi, Apple merancang produk-produknya di California, tetapi produksi dan perakitannya mengandalkan para manufaktur kontrak. Salah satu rekanan terbesar Apple adalah Foxconn.

    Jika Apple membujuk Foxconn dan mitra-mitra manufaktur lainnya untuk memproduksi iPhone di AS, akan butuh waktu bertahun-tahun untuk membangun fasilitas pabrik dan memasang alat.

    Di samping itu, tak ada jaminan kebijakan perdagangan tak akan berubah lagi di masa depan.

    Kendati demikian, sekali lagi belum ada detail yang lebih perinci dari Apple terkait investasi manufaktur yang dibangun di AS, apakah untuk produksi iPhone atau hal-hal lainnya. Kita tunggu saja!

    (fab/fab)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Roy Suryo Desak Kapolri dan Presiden Copot Penasihat Polri Aryanto karena Menyebut Rismon Keledai

    Roy Suryo Desak Kapolri dan Presiden Copot Penasihat Polri Aryanto karena Menyebut Rismon Keledai

    GELORA.CO –  Pernyataan kontroversial yang dilontarkan oleh Aryanto Sutadi, seorang tokoh yang disebut-sebut sebagai penasihat Kapolri, tengah menuai sorotan tajam publik.

    Aryanto diduga menyebut Dr. Rismon P. sebagai “keledai” dalam sebuah tayangan publik yang disaksikan banyak orang, termasuk rekan Rismon, Roy Suryo.

    Ucapan itu dinilai menghina dan tidak etis, apalagi disampaikan oleh seseorang yang berada dalam posisi strategis.

    “Pernyataannya sangat tidak sopan. Semua orang di studio mendengarnya pada 30 April 2025 lalu. Saya dengar langsung dia menyebut rekan saya dengan sebutan keledai,” ujar Roy Suryo dalam pernyataannya.

    Roy menegaskan bahwa pihaknya akan menempuh jalur hukum untuk melaporkan Aryanto, yang selama ini dikenal sebagai tokoh berlatar belakang akademi kepolisian dan sempat disebut-sebut sebagai lulusan terbaik.

    Namun, rekam jejak Aryanto kini dipertanyakan, terutama setelah dugaan ketidakjujurannya dalam pelaporan harta kekayaan (LHKPN) yang menyebabkan dirinya tak lolos uji integritas di KPK.

    “Dia selama ini tampil di media seolah sebagai tokoh intelektual, tapi ucapannya kasar dan cenderung menyerang pribadi. Sungguh tidak layak menjadi penasihat Kapolri,” imbuh Roy.

    Dalam pernyataannya, Roy juga menyinggung keterlibatan tokoh-tokoh tertentu dalam kasus dugaan ijazah palsu Presiden Joko Widodo.

    Ia menilai bahwa berbagai pihak, termasuk pengacara dan simpatisan telah dimobilisasi untuk menyerang balik para peneliti yang mempertanyakan keaslian ijazah Jokowi, termasuk Dr. Rismon dan Dr. Tifa.

    Roy menyebut gaya politik Jokowi sebagai “nabok nyilih tangan”, alias menyerang menggunakan tangan orang lain untuk tetap terlihat bersih.

    Ia juga menuding bahwa postingan yang viral di media sosial, termasuk unggahan ijazah berwarna yang diduga milik Jokowi, berasal dari lingkaran dalam.

    “Kalau memang asli, tunjukkan saja dengan transparan. Seperti Barack Obama waktu menunjukkan akta kelahirannya,” ujar Roy.

    Lebih lanjut, Roy juga menyoroti kejanggalan dalam data pemilu yang dimiliki oleh KPU.

    Ia menyatakan bahwa berdasarkan putusan hukum yang telah inkrah, KPU diwajibkan membuka data CSV terkait daftar pemilih, namun hingga kini belum diberikan secara lengkap.

    “Ini bukan spekulasi, kami datang langsung ke KPU bersama ahli dari ITB dan perwakilan Yayasan Akuntabilitas. Tapi data yang kami minta tidak diberikan. Ini ada indikasi manipulasi,” ujarnya.

    Roy turut menanggapi hasil survei dari LSI Denny JA yang menyebut mayoritas responden percaya bahwa ijazah Jokowi asli, dengan mayoritas responden berasal dari kelompok lulusan SD atau lebih rendah.

    “Kalau mayoritasnya lulusan SD, berarti memang target manipulasi informasi itu adalah kelompok dengan akses informasi rendah. Ini menyedihkan dan berbahaya bagi demokrasi,” tegasnya.

    Puncaknya, Roy Suryo mendesak kepada Presiden Prabowo Subianto dan Kapolri agar mencopot Aryanto Sutadi dari jabatannya sebagai penasihat Polri.

    Ia menilai pernyataan kasar dan tendensius Aryanto tidak mencerminkan etika pejabat negara.

    “Orang seperti itu tak layak berada dalam lingkaran kekuasaan. Jika dibiarkan, institusi Polri akan kehilangan kepercayaan publik,” tutup Roy.

  • Tuduhan Serius Trump ke Obama soal Pimpin Upaya Kudeta

    Tuduhan Serius Trump ke Obama soal Pimpin Upaya Kudeta

    Donald Trump tiba-tiba melontarkan tuduhan serius terhadap mantan Presiden Amerika Serikat (AS) Barack Obama. Trump tak hanya menuduh adanya pengkhianatan, tapi juga menyebut Obama memimpin upaya kudeta dirinya dari kursi Presiden AS.

    Dirangkum detikcom, Rabu (23/7/2025), Donald Trump mulanya menuduh Obama melakukan pengkhianatan. Lalu tanpa bukti yang jelas, Trump juga menuduh Obama memimpin upaya kudeta terhadap dirinya. Trump mengisyaratkan harus ada konsekuensi berat dan mendesak otoritas AS memburu Obama.

    Tuduhan itu dilontarkan Trump ditanya oleh wartawan di Ruang Oval Gedung Putih, pada Selasa (22/7), soal mendiang Jeffrey Epstein, pemodal AS dan bekas sahabat Trump yang menjadi tersangka perdagangan seks anak di bawah umur. Epstein tewas bunuh diri di penjara tahun 2019.

    Trump, seperti dilansir Anadolu Agency dan Reuters, dengan cepat mengalihkan fokus kepada Obama ketika ditanya soal Epstein dan kekasihnya, Ghislaine Maxwell, yang kini menjadi terpidana kasus perdagangan seks anak.

    “Perburuan penyihir yang seharusnya Anda bicarakan adalah mereka benar-benar menangkap basah Presiden Obama,” kata Trump, yang berbicara di samping Presiden Filipina Ferdinand Marcos Jr yang sedang berkunjung ke Gedung Putih.

    Tonton juga Video: Blak-blakan Michelle Obama soal Keputusan Tak Hadiri Pelantikan Trump

    Pernyataan Trump ini merujuk pada penyelidikan intelijen AS era Obama terhadap dugaan campur tangan Rusia dalam pemilu tahun 2016 lalu, yang disebut Trump sebagai tindakan pengkhianatan.

    “Apa yang mereka lakukan terhadap negara ini … mulai tahun 2016 … hingga tahun 2020 … mereka berusaha mencurangi pemilu, dan mereka ketahuan, dan harus ada konsekuensi yang sangat berat untuk itu,” ucapnya.

    “Sudah waktunya untuk memulai, setelah apa yang mereka lakukan kepada saya, dan terlepas apakah itu benar atau salah, sudah waktunya untuk memburu orang-orang. Obama telah tertangkap basah … Perintahnya ada di atas kertas. Dokumennya sudah ditandatangani,” ujarnya tanpa menjelaskan lebih lanjut.

    Trump kemudian menyinggung soal apa yang dimiliki para pejabat AS lebih dari sekadar bukti, melainkan “Bukti tak terbantahkan bahwa Obama seorang penghasut, bahwa Obama … sedang berupaya memimpin kudeta.”

    Tuduhan liar itu dilontarkan saat Trump diduga berupaya mengalihkan perhatian ke isu-isu lain setelah dirinya mendapat tekanan dari basis konservatifnya untuk merilis lebih banyak informasi mengenai Epstein.

    Tonton juga Video: Blak-blakan Michelle Obama soal Keputusan Tak Hadiri Pelantikan Trump

    Obama Sebut Tuduhan Trump ‘Konyol’

    Kantor Obama menyebut tuduhan Trump itu sebagai klaim “konyol” dan “keterlaluan”.

    “Demi menghormati jabatan kepresidenan, kantor kami biasanya tidak menganggap omong kosong dan misinformasi yang terus-menerus mengalir dari Gedung Putih dengan sebuah tanggapan. Namun klaim-klaim ini cukup keterlaluan untuk ditanggapi,” demikian pernyataan kantor Obama.

    “Tuduhan-tuduhan aneh ini konyol dan merupakan upaya pengalihan perhatian yang lemah,” sebut pernyataan tersebut.

    Tonton juga Video: Blak-blakan Michelle Obama soal Keputusan Tak Hadiri Pelantikan Trump

  • Kasus Lama Mencuat, Orang Terkaya Dunia Diminta Ganti Rugi Rp 130 T

    Kasus Lama Mencuat, Orang Terkaya Dunia Diminta Ganti Rugi Rp 130 T

    Jakarta, CNBC Indonesia – Gugatan class action melawan pendiri dan CEO Meta Mark Zuckerberg senilai US$8 miliar (Rp130 triliun) digelar pada Rabu (16/7) waktu setempat. Persidangan dilaporkan akan berlangsung hingga 25 Juli 2025.

    Gugatan tersebut diajukan oleh sekelompok investor Meta kepada para petinggi Meta, baik yang masih aktif ataupun sudah mundur/pindah, atas skandal besar yang melibatkan konsultan politik Cambridge Analytica dan terkuak pada 2018 silam.

    Dalam gugatannya, para investor menuduh Meta tidak sepenuhnya mengungkapkan risiko penyalahgunaan informasi pribadi pengguna Facebook oleh Cambridge Analytica.

    Sebagai informasi, Cambridge Analytica merupakan perusahaan yang mendukung kampanye presidensial Partai Republik Donald Trump yang sukses pada 2016 silam.

    Para pemegang saham mengatakan bahwa pejabat Facebook berulang kali dan terus-menerus melanggar perintah persetujuan tahun 2012 dengan Komisi Perdagangan Federal (FTC), dikutip dari AP, Kamis (17/7/2025).

    Facebook kemudian menjual data pengguna ke mitra komersil dan secara langsung melanggar perintah persetujuan pengguna.

    Dampaknya menyebabkan Facebook setuju membayar denda sebesar US$5,1 miliar untuk menyelesaikan tuntutan FTC. Raksasa media sosial ini juga menghadapi denda yang signifikan di Eropa dan mencapai kesepakatan privasi senilai US$725 juta dengan para pengguna.

    Zuckerberg Diminta Ganti Rugi

    Kini, para pemegang saham menuntut Zuckerberg dan pihak lainnya untuk mengganti rugi Meta atas denda FTC dan biaya hukum lainnya, yang diperkirakan totalnya lebih dari US$8 miliar oleh para penggugat.

    Dalam persidangan pertama, pakar privasi Neil Richards memberikan testimoni sebagai saksi. Ia mengatakan pengungkapan privasi Facebook menyesatkan.

    Selanjutnya, Jeffrey Zients yang menjadi anggota dewan Facebook pada 2018-2020 juga memberikan testimoni. Ia mengatakan privasi dan data pengguna merupakan prioritas dewan direksi dan manajemen.

    Kendati demikian, Zients mendukung penyelesaian perkara dengan FTC, ketika lembaga tersebut menyelidiki potensi pelanggaran terkait perintah persetujuan pada 2012 silam.

    “Ini adalah hal sulit karena jumlah uangnya sangat besar, tetapi menurut saya itu lebih baik daripada alternatifnya,” kata Zients, dikutip dari AP, Kamis (17/7/2025).

    Ketika ditanya apakah dewan direksi mempertimbangkan untuk menjadikan pendirinya sebagai pihak dalam penyelesaian tersebut, ia mengatakan Zuckerberg “esensial” dalam menjalankan perusahaan.

    Zients yang pernah menjabat di pemerintahan Obama dan Biden, mengatakan tidak ada indikasi bahwa ia [Zuckerberg] telah melakukan kesalahan.

    Persidangan ini akan meliputi testimoni dari Zuckerberg dan mantan Chief Operating Officer (COO) Sheryl Sandberg. Saksi lain yang diperkirakan hadir di Pengadilan Kanselir Delaware, tempat perusahaan induk Facebook didirikan, termasuk anggota dewan Marc Andreessen dan mantan anggota dewan Peter Thiel.

    Nama-nama tersebut dikenal sebagai tokoh kawakan di industri teknologi dan memiliki harta luar biasa banyak. Pantauan CNBC Indonesia di Forbes, Mark Zuckerberg merupakan orang terkaya ke-3 di dunia dengan harta US$242,6 miliar (Rp3.964 triliun).

    Sheryl Sandberg merupakan orang terkaya ke-1.583 di dunia dengan harta kekayaan US$2,4 miliar (Rp39 triliun).

    Marc Andreessen yang merupakan pendiri Andreessen Horowitz adalah orang terkaya ke-1.893 di dunia dengan harta US$2 miliar (Rp32 triliun).

    Lantas, Peter Thiel yang merupakan investor kawakan di industri teknologi tercatat sebagai orang terkaya ke-93 di dunia. Hartanya US$23 miliar (Rp375 triliun).

    Hakim diperkirakan baru akan memutuskan dalam beberapa bulan mendatang. Meta berharap Mahkamah Agung akan membatalkan kasus tersebut.

    Para hakim mendengarkan argumen pada November lalu, sebelum memutuskan bahwa mereka seharusnya tidak melanjutkan kasus tersebut. Pengadilan Tinggi menolak banding perusahaan, sehingga putusan banding tetap berlaku dan memungkinkan kasus tersebut dilanjutkan.

    (fab/fab)

    [Gambas:Video CNBC]