Tag: Bambang Wuryanto

  • Arsul Sani Dilaporkan terkait Dugaan Ijazah Palsu, Bambang Pacul: Secara Asas Legitimasi Clear

    Arsul Sani Dilaporkan terkait Dugaan Ijazah Palsu, Bambang Pacul: Secara Asas Legitimasi Clear

    GELORA.CO  – Mantan Ketua Komisi III DPR RI Bambang Wuryanto, buka suara soal tudingan ijazah palsu yang menyasar hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Arsul Sani.

    Bambang Pacul, sapaan akrab Bambang Wuryanto, merupakan Ketua Komisi III DPR RI periode 2019-2024, yang ikut melakukan uji kelayakan dan kepaturan terhadap Arsul Sani, sebagai calon hakim MK usulan DPR.

    Bambang Pacul menegaskan secara asas legitimasi tidak ada permasalahan.

    “Secara asas legitimasi clear. Jelas. Asas legalitas ya clear. Memenuhi syarat. Tetapi tentu tidak pakai forensik, enggak ada,” kata Bambang kepada wartawan, Senin (17/11/2025).

    Asas legitimasi adalah prinsip dalam hukum yang menyatakan bahwa setiap tindakan pemerintah atau pejabat publik harus memiliki dasar hukum yang sah.

    Dengan kata lain, pemerintah tidak boleh bertindak sewenang-wenang, tetapi harus selalu berlandaskan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.

     

    Bambang mengungkapkan, Arsul sudah menunjukkan ijazah, saat mengikuti fit and proper test di Komisi III DPR.

    Namun dia mengatakan Komisi III DPR tidak memiliki kemampuan forensik untuk mengecek ijazah tersebut.

    “Legalisasinya sudah ada. Menunjukkan ijazah asli, legalisasi. Itu udah clear di Komisi III. Tapi tentu kita tidak punya ahli forensik,” ujarnya.

    Bambang menilai seharusnya hal tersebut bisa dibawa ke mekanisme yang ada di MKMK terlebih dahulu.

    “Supaya enggak bikin kegaduhan,” pungkasnya.

    Sebelumnya, Aliansi Masyarakat Pemerhati Konstitusi melaporkan Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Arsul Sani ke Bareskrim Polri terkait terkait dugaan ijazah palsu.

    Pelaporan itu dilakukan pada Jumat (14/11/2025).

    Pengadu mengeklaim memiliki bukti-bukti berkenaan ijazah program doktor Arsul Sani yang diduga palsu.

    MKMK Lakukan Pendalaman

    Sementara itu Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) tengah melakukan pendalaman isu terkait ijazah hakim konstitusi Arsul Sani.

    Ketua MKMK I Dewa Gede Palguna mengatakan hingga saat ini pihaknya masih melakukan pendalaman berkenaan adanya tudingan ijazah palsu Arsul Sani itu.

    Pendalaman itu dimulai sejak kemunculan pertama berita yang menyoal isu tersebut dimuat oleh sebuah media sosial sekira satu bulan yang lalu.

    “MKMK telah mendalaminya hingga saat ini,” kata Palguna, kepada Tribunnews.com, Minggu (16/11/2025).

    “Dengan segala keterbatasan yang ada pada kami (MKMK), kami berusaha menemukan jawaban atas pertanyaan perihal ada tidaknya persoalan isu dan/atau pelanggaran etik yang dilakukan oleh hakim konstitusi Yang Mulia Arsul Sani,” tambahnya.

    Palguna mengatakan hasil pendalaman MKMK belum bisa disampaikan saat ini. 

    Sebab Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) mengatur hal itu harus dilakukan secara tertutup.

    Selain itu, MKMK juga perlu menjaga harkat, martabat, dan kehormatan Arsul Sani dari sesuatu yang sama sekali belum jelas kebenarannya.

    Mantan hakim konstitusi itu menyebut hasil pendalaman akan diumumkan ke publik nantinya.

    “Pasti akan dirilis ke publik. Itu wajib. Tetapi belum bisa kami sampaikan sekarang. Selain karena PMK-nya menyatakan harus tertutup, jika belum apa-apa sudah diberitakan, khawatirnya yang bersangkutan telah dihakimi untuk sesuatu yang sama sekali belum jelas. Padahal kami harus menjaga harkat, martabat, dan kehormatannya,” tuturnya.

    Sosok Arsul Sani

    Arsul Sani diangkat jadi hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Republik Indonesia sejak 18 Januari 2024.

    Sebelumnya Arsul Sani dikenal sebagai politisi senior Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Wakil Ketua MPR RI.

    Pemilik nama lengkap Dr. H. Arsul H. Arsul Sani, SH, M.Si., Pr.M ini lahir di Pekalongan, Jawa Tengah, 8 Januari 1964.

    Karier politik:

    Sekjen DPP PPP (2016–2021)

    Anggota DPR RI (2014–2024)

    Wakil Ketua MPR RI (2019–2024)

    Ijazah doktor yang disorot

    Arsul Sani menempuh pendidikan hukum di Universitas Indonesia (UI) dan melanjutkan studi di berbagai negara, termasuk Australia, Jepang, Inggris, Skotlandia, dan Polandia.

    Ia juga disebut sebagai lulusan University of Cambridge. Namun gelar doktor yang diklaimnya kini dipersoalkan.

    Aliansi Masyarakat Pemerhati Konstitusi melaporkan Arsul ke Bareskrim Polri pada 14 November 2025.

    Dengan dugaan ijazah doktor yang diduga palsu, terutama terkait universitas di Polandia

  • Kemenkum Sahkan Kepengurusan DPP PDIP Periode 2025-2030 – Page 3

    Kemenkum Sahkan Kepengurusan DPP PDIP Periode 2025-2030 – Page 3

    Berikut struktur lengkap DPP PDI Perjuangan 2025–2030

    Ketua Umum : Megawati Soekarnoputri

    Struktur Pengurus DPP PDI Perjuangan 2025–2030

    1. Ketua Bidang Kehormatan Partai – Komarudin Watubun

    2. Ketua Bidang Sumber Daya – Said Abdulla

    3. Ketua Bidang Luar Negeri – Ahmad Basarah

    4. Ketua Bidang Pemenangan Pemilu Legislatif – Bambang Wuryanto

    5. Ketua Bidang Ideologi dan Kaderisasi – Djarot Saiful Hidayat

    6. Ketua Bidang Pemenangan Pemilu Eksekutif – Deddy Yevri Hanteru Sitorus

    7. Ketua Bidang Politik – Puan Maharani

    8. Ketua Bidang Pemerintahan dan Otonomi Daerah – Ganjar Pranowo

    9. Ketua Bidang Reformasi Hukum dan HAM – Yasonna H. Laoly

    10. Ketua Bidang Perekonomian – Basuki Tjahaja Purnama

    11. Ketua Bidang Kebudayaan – Rano Karno

    12. Ketua Bidang Pendidikan dan Kebudayaan – Puti Guntur Soekarno

    13. Ketua Bidang Kebijakan Publik dan Reformasi Birokrasi Kerakyatan – Abdullah Azwar Anas

    14. Ketua Bidang Penanggulangan Bencana – Tri Rismaharini

    15. Ketua Bidang Industri, Perdagangan, dan Tenaga Kerja – Darmadi Durianto

    16. Ketua Bidang Kesehatan – Ribka Tjiptaning

    17. Ketua Bidang Jaminan Sosial – Charles Honoris

    18. Ketua Bidang Perempuan dan Anak – I Gusti Ayu Bintang Darmawati

    19. Ketua Bidang Koperasi dan UMKM – Andreas Eddy Susetyo

    20. Ketua Bidang Pariwisata – Wiryanti Sukamdani

    21. Ketua Bidang Pemuda dan Olahraga – MY Esti Wijayanti

    22. Ketua Bidang Keagamaan dan Kepercayaan kepada Tuhan YME – Zuhairi Misrawi

    23. Ketua Bidang Ekonomi Kreatif dan Ekonomi Digital – Muhammad Prananda Prabowo

    24. Ketua Bidang Pertanian dan Pangan – Sadarestuwati

    25. Ketua Bidang Kelautan dan Perikanan – Rokhmin Dahuri

    26. Ketua Bidang Kehutanan dan Lingkungan Hidup – Eriko Sotarduga

    27. Ketua Bidang Hukum dan Advokasi – Ronny Talapessy

    28. Ketua Bidang Keanggotaan dan Organisasi – Andreas Hugo Pareira

     

  • Ketika Rakyat Berjuang Sendirian

    Ketika Rakyat Berjuang Sendirian

    OLEH: MUHAMMAD FADHIL BILAD*

    AGUSTUS, bulan kemerdekaan, seharusnya menjadi momen rakyat menikmati hasil perjuangan leluhur. Namun, realitanya jauh dari harapan. Rakyat masih harus berjuang: mengejar kesejahteraan, melawan ketimpangan ekonomi, dan memperjuangkan martabat kemanusiaan. 

    Ibu Pertiwi menangis melihat anak-anaknya berjuang menuntut keadilan, yang kerap bertransformasi menjadi gerakan sosial. Sayangnya, gerakan organik ini sering dimanfaatkan pihak tak bertanggung jawab: fasilitas publik dirusak, rumah-rumah dijarah, kantor dibakar, bahkan rakyat tak berdosa menjadi korban kekerasan dengan dalih “pembelaan diri”. Kemurnian aspirasi rakyat pun ternoda, isu besar yang diperjuangkan menjadi kabur dan tak terarah.

     

    Hilangnya Partisipasi yang Bermakna

     

     

    Idealnya, DPR sebagai wakil rakyat mengadopsi prinsip “meaningful participation”, partisipasi bermakna, yang menjamin hak rakyat untuk didengar, dipertimbangkan, dan mendapat penjelasan atas aspirasinya. Keputusan DPR seharusnya lahir dari proses terbuka bersama rakyat. Jika prinsip ini diterapkan sungguh-sungguh, demonstrasi di jalanan tak perlu terjadi karena suara rakyat sudah terwakili. Namun, realitas berbicara lain. Maraknya aksi protes menjadi indikasi nyata bahwa DPR gagal mewujudkan partisipasi bermakna. 

     

    Lalu, kepada siapa DPR meminta pertimbangan dalam pengambilan keputusan? Bambang Wuryanto, atau akrab disapa Bambang Pacul, anggota DPR dari Fraksi PDIP, secara jujur mengungkap realitas pahit. Dalam Rapat Dengar Pendapat Komisi III DPR dengan Menko Polhukam pada Maret 2023, ia blak-blakan menyatakan bahwa keputusan DPR diambil berdasarkan instruksi pimpinan partai. 

    Sistem pengambilan keputusan di Rapat Paripurna DPR pun memperkuat pernyataan ini: suara diwakilkan oleh fraksi, bukan individu anggota DPR atau daerah pemilihan. Artinya, pimpinan partai, bukan wakil rakyat yang kita pilihlah yang menentukan arah kebijakan. Anggota DPR hanyalah “pemain orkestra” yang menari mengikuti irama sang maestro: pimpinan partai.

     

    Chile vs. Prancis: Pelajaran dari Dua Dunia

     

    Untuk memahami peran partai politik dalam merespons gejolak sosial, mari kita lihat dua kasus berbeda. Di Chile pada 2019, kenaikan harga tiket transportasi umum memicu protes massa yang meluas ke isu pendidikan dan ketimpangan ekonomi. Pemerintahan Bastian Piñera awalnya merespons dengan tindakan represif, namun tekanan rakyat memaksa mereka membuka dialog. Partai oposisi, seperti Partido Socialista dan Frente Amplio, mendorong reformasi struktural, menghasilkan kesepakatan lintas partai yang memberikan kanal politik formal bagi rakyat untuk menyalurkan aspirasi. 

     

    Sebaliknya, di Prancis pada 2018, gerakan “Yellow Vests” dipicu kenaikan pajak bahan bakar, yang memicu demonstrasi besar, penjarahan, dan bentrokan dengan aparat. Partai oposisi seperti La France Insoumise dan Rassemblement National berusaha mengambil peran, tetapi ditolak massa yang tidak ingin gerakan mereka diklaim sebagai agenda partai. Presiden Macron akhirnya mencabut pajak bahan bakar dan meluncurkan “Grand Débat National”, sebuah forum dialog langsung dengan rakyat. 

     

    Dari kedua kasus ini, kita belajar bahwa partai politik bisa menjadi jembatan penyelesaian konflik, seperti di Chile, atau justru kehilangan relevansi jika gagal merangkul rakyat, seperti di Prancis.

     

     

    Di Indonesia, partai politik bukan hanya berkuasa di parlemen, tetapi juga di setiap lini pemerintahan. Mulai dari penyusunan kabinet, penempatan pejabat di lembaga negara, kepala daerah, hingga posisi direksi dan komisaris, semua dipengaruhi rekomendasi partai. Realitas ini diperparah dengan praktik di bawah meja yang menjadi “ciri khas” Indonesia. Dengan kekuatan sebesar ini, pertanyaannya: apa peran partai dalam mendamaikan gejolak sosial-politik? Apakah partai hanya sibuk mengumpulkan “setoran” dari gaji, tunjangan, atau proyek-proyek yang digarap kadernya? 

     

    Di tingkat akar rumput, partai politik juga punya pengaruh besar. Keberadaan mereka di parlemen dan pemerintahan tak lepas dari dukungan rakyat saat pemilu, yang sering disebut sebagai “pesta demokrasi”. Saat kampanye, partai mendekati rakyat, membentuk komunitas kecil untuk menjaga simpati pemilih dengan janji-janji kesejahteraan, keadilan, dan pemerataan. Namun, setelah pemilu, komunikasi ini meredup. Partai seolah hanya hadir saat butuh suara, bukan saat rakyat butuh didengar. Apakah sarasehan dengan rakyat hanya agenda musiman menjelang pemilu? Mengapa partai tidak menggelar dialog serupa di tengah situasi krisis seperti sekarang? 

     

    September Hitam: Ancaman Ketidakstabilan

     

    Hari ini, kita memasuki bulan yang kelam dalam sejarah Indonesia: “September Hitam”. Tragedi Semanggi II, pembunuhan Munir Said Thalib, dan peristiwa G30S/PKI menjadi pengingat betapa rapuhnya keadilan sosial di negeri ini. Di tengah dinamika politik saat ini, kabar tentang partai politik lebih banyak berputar pada manuver elit: Nasdem menonaktifkan Ahmad Sahroni dan Nafa Urbach, PAN menonaktifkan Eko Patrio dan Uya Kuya, Golkar menonaktifkan Adies Kadir, sementara Gerindra, PDIP, dan PKS setuju menghapus tunjangan rumah DPR setelah protes publik. Bahkan, Presiden memanggil ketua umum partai ke Istana Negara. Semua ini mengesankan bahwa partai politik adalah penguasa sejati republik ini, tapi apakah mereka benar-benar bekerja untuk rakyat? 

     

    Upaya partai saat ini masih jauh dari optimal, terutama jika dibandingkan dengan kekuatan besar yang mereka miliki di setiap lini pemerintahan. Jika eskalasi ketidakstabilan sosial-politik terus diabaikan, rakyat didiskriminasi, kebebasan berekspresi dibatasi, dan aspirasi tidak terpenuhi, maka risiko terburuk mengintai: revolusi rakyat. Partai politik bisa kehilangan legitimasi, digantikan oleh gerakan rakyat yang akan menentukan arah bangsa.

     

    Ke Mana Partai Harus Melangkah?

     

    Partai politik harus kembali ke akarnya: rakyat. Mereka harus membuka ruang dialog yang intensif, bukan hanya saat pemilu, tetapi juga di saat krisis. DPR perlu menjalankan prinsip partisipasi bermakna dengan sungguh-sungguh, mendengar dan mempertimbangkan aspirasi rakyat, bukan sekedar menjalankan instruksi pimpinan partai, sekalipun tidak bisa dilepaskan karena realitas yang tersistemik dan sudah menjadi tradisi antara partai dengan kadernya di parlemen, maka sebaik-baiknya instruksi ‘pimpinan partai’ adalah untuk membersamai dan mendengarkan secara utuh aspirasi rakyat. 

    Jika partai gagal menjadi jembatan antara rakyat dan negara, mereka tidak hanya kehilangan kepercayaan, tetapi juga relevansi di mata rakyat. September ini, partai politik punya pilihan: menjadi solusi atau bagian dari masalah. Pilihan ada di tangan mereka, dan waktu terus berjalan. 

    *(Penulis adalah Director of Diplomacy and Foreign Affairs, Indonesia South-South Foundation)

  • Gerak cepat FX Rudy pimpin DPD PDI Perjuangan Jawa Tengah

    Gerak cepat FX Rudy pimpin DPD PDI Perjuangan Jawa Tengah

    Sumber foto: Agung Santoso/elshinta.com.

    Gerak cepat FX Rudy pimpin DPD PDI Perjuangan Jawa Tengah
    Dalam Negeri   
    Editor: Sigit Kurniawan   
    Selasa, 26 Agustus 2025 – 15:10 WIB

    Elshinta.com – Usai resmi ditunjuk sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Ketua DPD PDI Perjuangan Jawa Tengah, FX Hadi Rudyatmo langsung bergerak cepat melakukan penataan internal partai. Sehari setelah bertemu dengan Bambang Wuryanto alias Bambang Pacul, ketua sebelumnya, Rudy mengagendakan konsolidasi bersama jajaran pengurus.

    “Hari ini, Selasa (26/8/2025), bersama seluruh DPC se-Jawa Tengah kami dipanggil Ibu Ketum (Megawati Soekarnoputri) ke DPP. Ketua, sekretaris, dan bendahara semua DPC akan hadir bersama pengurus DPD,” ujar Rudyatmo saat dikonfirmasi. 

    Ia menegaskan, sesuai Surat Keputusan DPP PDI Perjuangan tertanggal 15 Agustus 2025 yang menunjuknya sebagai Plt Ketua DPD, konsolidasi internal menjadi prioritas utama.

     “Makanya setelah diberi tugas, saya langsung mengagendakan bertemu dengan Mas Pacul, kemudian dilanjutkan rapat di DPD,” tambahnya seperti dilaporkan Kontributor Elshinta, Agung Santoso, Selasa (26/8).

    Rudyatmo juga menyiapkan langkah lanjutan berupa roadshow ke 35 DPC PDI Perjuangan se-Jawa Tengah. Jadwal sudah disusun agar dirinya bersama pengurus DPD bisa bertemu langsung dengan seluruh jajaran DPC.

    “Instruksi Ketum jelas, semua kader harus Turba (turun ke bawah). Saat bertemu DPC, tidak hanya KSB (ketua, sekretaris, bendahara), tetapi juga seluruh pengurus. Kalau memungkinkan, sekaligus dengan PAC,” jelasnya.

    Menurut Rudy, pertemuan langsung dengan pengurus DPC penting untuk menjaga soliditas dan memastikan komunikasi tetap lancar. Selain menyampaikang regulasi terbaru terkait Konferda, Konfercab, dan Musancab partai, ia menilai momentum tersebut dapat memperkuat koordinasi antara DPD dan DPC. 

    Sumber : Radio Elshinta

  • Noel dan Kegagalan Memaknai Amnesti
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        26 Agustus 2025

    Noel dan Kegagalan Memaknai Amnesti Nasional 26 Agustus 2025

    Noel dan Kegagalan Memaknai Amnesti
    Analis Hukum dan Politik dari Gajah Mada Analitika

    Constitution is a flexible and pragmatic charter, not a fixed and immutable artifact
    ” – Farah Peterson (2020).
    PETERSON
    tepat, perubahan konstitusi memang suatu keniscayaan sebab ia bukan artefak yang tetap.
    Sehubungan itu, publik kembali dikejutkan oleh operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menjerat Immanuel “Noel” Ebenezer, Wakil Menteri Ketenagakerjaan.
    Tak lama setelah ditetapkan sebagai tersangka, ia menyampaikan permintaan maaf sekaligus harapan agar Presiden Prabowo Subianto memberinya amnesti.
    Seturutnya, dalam Seminar Konstitusi bertema Dialektika Konstitusi yang diselenggarakan MPR, Bambang Wuryanto alias Bambang Pacul selaku salah satu narasumber turut menyinggung ihwal abolisi dan amnesti sebagai ‘terobosan’ yang menyiratkan adanya peran “Korea” di baliknya.
    Ada relasi implisit yang terhubung antara harapan Amnesti Noel, “Korea”, dan amandemen konstitusi.
    Sebetulnya, harapan Noel bukan tanpa alasan. Publik tentu mengingat, beberapa waktu sebelumnya, Presiden Prabowo telah memberikan pengampunan berupa abolisi dan amnesti kepada Tom Lembong dan Hasto Kristiyanto. Dua figur politik yang bukan loyalis pemerintahan saat ini.
    Ucapan Noel jelas sarat makna. Baginya, jika pihak yang berada di luar lingkaran politik presiden saja bisa mendapat pengampunan, maka sebagai loyalis tentu tidak mustahil ia berharap mendapat perlakuan serupa.
    Namun, harapan itu justru memunculkan problem tidak sederhana: apakah kewenangan konstitusional presiden memberi abolisi dan amnesti memang sepenuhnya dapat digunakan atas dasar pertimbangan politik, nir-indikator hukum yang jelas?
    Hal demikian menjadi relevan di tengah wacana keinginan MPR untuk melakukan amandemen konstitusi seperti terefleksi dalam kegiatan Seminar Konstitusi yang diselenggarakan oleh MPR di Gedung Nusantara V belum lama ini (21/8/2025).
    Pasal 14 ayat (2) UUD 1945 telah menegaskan: “Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat”. Rumusannya sederhana, bahkan minim kriteria substantif.
    Di sinilah ruang tafsir menjadi terbuka. Padahal, dalam teori konstitusi, setiap teks konstitusi adalah janji yang harus ditafsirkan dalam bingkai keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum (Alexander Bickel, 1986).
    Jimly Asshiddiqie (2005) menekankan, konstitusi tidak boleh dipahami semata sebagai teks normatif, melainkan sebagai
    living constitution
    yang senantiasa ditafsirkan sesuai semangat zaman.
    Maka, pemberian pengampunan oleh presiden semestinya ditafsirkan bukan hanya sebagai hak prerogatif politik, melainkan sebagai kewenangan konstitusional yang terikat pada prinsip keadilan publik.
    Dari perspektif teori penafsiran konstitusi, memang ada ruang elastis untuk memberikan makna baru atas pasal-pasal UUD 1945.
    Tidak heran bila Alexander Bickel dalam uraiannya yang lain menyebut: konstitusi selalu lebih besar daripada teksnya, sebab nilainya hidup dalam tafsir.
    Dalam episentrum itu, maka butuh tafsir yang sehat guna melahirkan praktik ketatanegaraan yang adil. Namun sebaliknya, tafsir yang politis berpotensi menggerus legitimasi demokrasi konstitusional.
    Di titik inilah pernyataan Bambang Pacul dalam forum Seminar Konstitusi menjadi relevan. Ia menyatakan bahwa kebijakan pengampunan Prabowo terhadap Tom Lembong dan Hasto Kristiyanto tak lepas dari peran “Korea” di balik hak prerogatif presiden itu.
    Istilah “korea” merupakan metafora yang menggambarkan mereka yang selalu melompat lebih maju dibanding orang lain, berusaha keras menaikkan derajat sosial melalui kerja keras, bukan jalan pintas.
    Dalam tafsir simbolik ini, seorang “Korea” sebetulnya menyiratkan kita pada konsep negarawan: sosok yang menempatkan kepentingan bangsa di atas kepentingan pribadi. Boleh jadi, ia justru menjadi salah satu ciri dari kenegarawanan itu sendiri.
    Dalam kaitan itu, kasus korupsi yang menjerat Noel sesungguhnya menunjukkan kebalikan dari semangat kenegarawanan dalam konstitusi. Sebagai pejabat negara, dengan segala fasilitas dan kepercayaan publik, korupsi sama sekali tidak bisa dibenarkan.
    Lompatan status sosial, sebagaimana menjadi ciri “Korea” yang acapkali digaungkan Bambang Pacul, yang mestinya dicapai melalui kerja keras dan integritas, malah ditempuh dengan jalan tikus bernama korupsi. Makna “korea” dalam kasus Noel pun mengalami degradasi.
    Jika konsep “Korea” hendak dijadikan pijakan, maka perubahan konstitusi yang kini didiskusikan semestinya mengarah pada perumusan syarat negarawan bagi jabatan-jabatan publik.
    Ini menjadi momen mengonstruksi makna “korea” sejati: seorang negarawan yang menjauhi korupsi.
    Selama ini, hanya hakim Mahkamah Konstitusi yang secara eksplisit dipersyaratkan sebagai negarawan (Pasal 24C ayat 5). Jabatan menteri dan wakil menteri pun luput dari syarat kenegarawanan.
    Di sisi lain, amat mungkin aspek kenegarawanan dijadikan sebagai salah satu indikator konstitusional bagi presiden dalam memberikan pengampunan melalui abolisi dan amnesti.
    Dengan begitu, jabatan publik akan diisi oleh orang-orang yang menghayati integritas, bukan sekadar mencari celah untuk memperkaya diri. Pun demikian, amnesti yang diberikan dapat benar-benar mengarah hanya kepada mereka yang memang pantas untuk mendapatkannya.
    Kasus pengampunan yang diberikan kepada Hasto Kristiyanto dan Tom Lembong telah menunjukkan pro dan kontra.
    Di satu sisi, ia dipuji sebagai langkah berani presiden untuk menutup polemik hukum yang berbau politik. Di sisi lain, publik khawatir amnesti dan abolisi bisa menjadi instrumen politisasi hukum.
    Pada titik inilah gagasan amandemen konstitusi relevan dilakukan: merumuskan kriteria obyektif agar pengampunan tidak semata-mata bergantung pada selera politik.
    Manakala mereka “para Korea” mengalami kriminalisasi berbau politik kuasa, maka jalan pengampunan melalui amnesti atau abolisi dengan indikator konstitusional yang jelas terbuka lebar.
    Amnesti dalam makna “Korea”—memang bisa saja dimaknai bahwa pengampunan itu sebagai terobosan politik. Namun, dalam optik kenegarawanan, “Korea” boleh dimaknai dalam konteks bahwa seorang negarawan adalah mereka yang menjauhi segala tindakan koruptif.
    Kerja keras, berfikir “out of the box”, dan konsistensi untuk melakukan lompatan bukan berarti harus melanggar konstitusi, termasuk korupsi.
    Seorang “Korea sejati” akan memaknainya sebagai instrumen keadilan restoratif yang mengembalikan marwah hukum.
    Jika syarat negarawan ini diperluas dalam konstitusi, maka pemberian pengampunan pun akan lebih legitimate dan terjaga dari manipulasi politik.
    Kasus Noel seharusnya menjadi pelajaran kolektif. Sebagai wakil menteri, ia sudah menapaki tangga sosial tertinggi yang mestinya tidak lagi memerlukan korupsi. Namun, jalan pintas tetap dipilih dan kini ia justru berharap presiden mau menurunkan “tali pengampunan.”
    Di sinilah publik melihat kontras tajam antara mereka yang “Korea sejati” dengan yang bukan. Tak ayal, ini momentum untuk memaknai kembali apa sebetulnya “korea” dalam optik ketatanegaraan dan kenegarawanan.
    Momentum Seminar Konstitusi oleh MPR baru-baru ini yang membicarakan amandemen UUD 1945 tidak boleh berhenti pada wacana.
    Ia mesti menjadi kesempatan berharga untuk menyempurnakan aturan tentang abolisi dan amnesti, memperluas syarat kenegarawanan, dan memperkuat integritas jabatan publik.
    Dengan begitu, konstitusi benar-benar hadir sebagai benteng yang melindungi rakyat dari politisasi hukum. Sekaligus, mencegah lahirnya pejabat “setengah Korea” yang mudah tergelincir dalam korupsi.
    Karena itu, pertanyaan paling menggugah hari ini bukanlah apakah Noel akan mendapat amnesti, melainkan: apakah bangsa ini berani memastikan hanya “Korea” sejati—negarawan yang berintegritas—yang layak duduk di kursi kekuasaan?
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Pesan Bambang Pacul ke FX Rudy yang Kini Pimpin PDIP Jateng

    Pesan Bambang Pacul ke FX Rudy yang Kini Pimpin PDIP Jateng

    Jakarta

    FX Hadi Rudyatmo yang ditunjuk sebagai Plt Ketua DPD PDIP Jawa Tengah (Jateng) bertemu dengan Bambang Wuryanto atau Bambang Pacul di Semarang. Pacul menitipkan sejumlah pesan kepada FX Rudy untuk PDIP Jateng.

    Pertemuan keduanya berlangsung di Panti Marhaen atau kantor DPD PDIP Jateng di Kecamatan Semarang Timur. Pacul berharap kader di Jateng semakin solid dan bisa menang dalam pemilihan umum selanjutnya.

    “Harapan kepada Pak Rudy, semua kader partai harapannya sama. Bagaimana partai itu solid dan di dalam pertemuan-pertemuan elektoral kita menang. Kan gitu loh. Ya, kalau Jawa Tengah walaupun masih menang tapi turun suara untuk Pilegnya,” kata Bambang Pacul usai pertemuan, dilansir detikJateng, Senin (25/8/2025).

    “Untuk pilgub belum pernah kalah, baru kemarin. Kalau sebelumnya kita menang terus, kemarin kalah. Di Pilpres biasanya juga menang, terus ini kemarin kalah. Jadi situasi ini tentu partai harus evaluasi lah,” tambahnya.

    Kemudian, Pacul menjelaskan penggantian jabatan ini sudah sesuai jalur hasil Kongres VI PDI Perjuangan di Bali. Dalam keputusan kongres menurut Pacul disebutkan tidak boleh merangkap jabatan.

    “Maka salah satunya yang ngerangkap jabatan itu Pak Bambang Pacul, karena menjadi ketua DPP sekaligus ketua DPD. Ada Pak Olly Dondokambey, Sulawesi Utara, Pak Said Abdullah Jawa Timur, kemudian Esti Nugraheni, Bengkulu. Pak Rudy misalnya ketua DPC Solo, ini juga ada Plt, diganti Plt-nya sekretaris, Pak Teguh, kemudian sekretaris juga di-Plt oleh Mas Budi,” imbuhnya.

    (azh/azh)

  • 3
                    
                        Duduk Perkara Pencopotan Pacul hingga Olly dari Kursi Ketua PDIP di Daerah
                        Nasional

    3 Duduk Perkara Pencopotan Pacul hingga Olly dari Kursi Ketua PDIP di Daerah Nasional

    Duduk Perkara Pencopotan Pacul hingga Olly dari Kursi Ketua PDIP di Daerah
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – PDI Perjuangan menjelaskan duduk perkara pencopotan sejumlah kader dari kursi jabatan Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) PDI-P di sejumlah wilayah, termasuk Bambang Wuryanto alias Bambang Pacul.
    Ketua DPP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Bidang Sumber Daya, Said Abdullah mengatakan, para kader banteng itu tidak dipecat, melainkan mengikuti aturan organisasi pasca-Kongres VI PDI-P di Nusa Dua, Bali, 2025.
    Aturan tersebut tertuang dalam Anggaran Dasar dan Peraturan Partai (PDI Perjuangan) Nomor 1 Tahun 2025.
    Dalam aturan itu disebutkan bahwa kader yang terpilih sebagai pengurus Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PDI-P tidak boleh merangkap jabatan, baik di atas maupun di bawah struktur partai.
    “Menyebutkan ketentuan sebagaimana berikut, ‘Anggota Partai atau kader Partai yang terpilih dan ditetapkan menjadi DPP dan Pengurus Partai tidak boleh merangkap jabatan struktural di atas maupun di bawahnya dan secara otomatis dianggap telah mengundurkan diri dari jabatan sebelumnya, kecuali Ketua Umum Partai menentukan lain’,” kata Said saat membacakan aturan tersebut, dikutip dari siaran pers, Sabtu (23/8/2025).
    Menurut Said, aturan itu menjadi dasar pemberhentian beberapa kader yang sebelumnya menjabat Ketua DPD, yakni Olly Dondokambey (Sulawesi Utara), MY Esti Wijayanti (Plt Bengkulu), Bambang “Pacul” Wuryanto (Jawa Tengah), dan dirinya sendiri di Jawa Timur.
    “Jadi, proses pemberhentian keempat Ketua DPD PDI Perjuangan di atas sebagai mekanisme yang memang telah diatur oleh Anggaran Dasar dan Peraturan Partai,” ucap Said.
    “Karena normanya begitu, maka hal itu harus dilaksanakan oleh Ibu Ketua Umum dan DPP Partai,” sambungnya.
    Kini keempat nama tersebut sudah resmi masuk dalam struktur DPP PDI-P periode 2025-2030 yang dibentuk langsung oleh Ketua Umum Megawati Soekarnoputri.
    Ia menyebutkan, aturan larangan rangkap jabatan ini bertujuan agar struktur partai di setiap tingkatan dapat lebih fokus dalam menjalankan tugas dan fungsi masing-masing.
    Sebelum Said Abdullah, Ketua DPP PDI-P Andreas Hugo Pareira lebih dulu mengungkap adanya aturan larangan rangkap jabatan dalam AD/ART terbaru.
    Andreas menerangkan, hal ini berlaku bagi semua kader, termasuk Bambang Pacul yang kini sudah ditetapkan sebagai Ketua Badan Pemenangan Pemilu (Bappilu) PDI-P periode 2025-2030.
    “Anggota atau kader partai yang telah diputuskan dan ditetapkan menjadi dewan pimpinan partai tidak boleh merangkap jabatan pada struktur pengurus partai di atasnya atau di bawahnya,” ujar Andreas saat dihubungi, Kamis (21/8/2025).
    Akibat pencopotan Pacul, posisi Ketua DPD PDI-P Jawa Tengah kini diisi oleh FX Hadi Rudyatmo (FX Rudy) sebagai pelaksana tugas (Plt).
    Andreas menegaskan, aturan ini tidak hanya berdampak pada Pacul, tetapi juga bagi pengurus DPP lainnya yang sempat merangkap jabatan.
    “Juga bagi Ibu Esty Wijayanti yang masih merangkap Plt Ketua DPD Bengkulu, juga Ibu Sadarestuwati yang juga merangkap menjadi Plt Ketua DPC Kabupaten Jombang,” kata Wakil Ketua Komisi XIII DPR itu.
    Kursi Ketua DPD Jawa Tengah memiliki bobot politik yang penting.
    Daerah yang pernah diduduki Bambang Pacul itu selama ini dikenal sebagai “kandang banteng” karena memang menjadi lumbung suara terbesar PDI-P.
    Pada Pemilu 2019, PDI-P meraih 5,76 juta suara atau 29,71 persen dari keseluruhan perolehan suara di Jawa Tengah.
    Di ajang Pilpres 2019, pasangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin yang diusung PDI-P juga menang telak dengan 16,82 juta suara (77,29 persen).
    Namun, pada Pemilu 2024, dukungan terhadap PDI-P di Jawa Tengah menurun.
    PDI-P meraih 5,2 juta suara pada pemilihan legislatif, lebih rendah dibandingkan lima tahun sebelumnya.
    Di Pilpres 2024, pasangan Ganjar Pranowo-Mahfud Md yang diusung PDI-P hanya mendapat 7,82 juta suara (34,34 persen).
    Angka ini terpaut jauh dari hasil Pilpres 2019.
    Sebaliknya, pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka berhasil memenangkan Jawa Tengah dengan 12,09 juta suara, sementara pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar hanya meraih 2,86 juta suara.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Dua Hal Menurut Bambang Pacul Harus Dihindari Politisi Agar Kariernya Tidak Hancur

    Dua Hal Menurut Bambang Pacul Harus Dihindari Politisi Agar Kariernya Tidak Hancur

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Politikus senior PDI Perjuangan, Bambang Wuryanto atau yang akrab disapa Bambang Pacul, melontarkan pernyataan sindiran soal dunia politik.

    Dikatakan Pacul, menjaga nama baik bagi seorang politisi bukan perkara mudah.

    Bahkan, ia menyebut reputasi yang baik adalah sebuah kemewahan.

    “Politisi punya nama baik itu barang mewah, luxury,” ucap Pacul dikutip dari Instagram @komandanpatjul (22/8/2025).

    Ia menegaskan, dalam dunia politik, risiko dihantam kritik atau hujatan sudah biasa.

    Namun, ada dua hal yang menurutnya harus benar-benar dihindari oleh politisi agar kariernya tidak hancur.

    “Pokoknya gini aja kalau dibully jangan dua hal. Jangan dibully karena skandal seks, skandal kriminal. Kalau dibully karena pendapatan nggak apa-apa,” tegasnya.

    Pacul menjelaskan, anggota Dewan memang tugasnya menyampaikan pendapat, sehingga jika menuai kontroversi terkait opini politik, hal itu masih wajar.

    “Wong anggota Dewan itu tugasnya berpendapat. Ya kalau itu kemudian dibully karena konflik nggak apa-apa,” tandasnya.

    Ia kembali mengingatkan bahwa konflik terkait tindak pidana atau skandal asusila harus dihindari sejauh mungkin.

    “Cuma konflik dua aja, jangan skandal seks, jangan kriminal. Tindak pidana itu dihindari sebisa-bisanya,” kuncinya.

    (Muhsin/fajar)

  • PDIP: Bambang Pacul Sang Komandan Korea Dibutuhkan di Skala Nasional 
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        22 Agustus 2025

    PDIP: Bambang Pacul Sang Komandan Korea Dibutuhkan di Skala Nasional Nasional 22 Agustus 2025

    PDIP: Bambang Pacul Sang Komandan Korea Dibutuhkan di Skala Nasional
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Juru Bicara PDI-P, Guntur Romli, menyebut politikus senior Bambang Wuryanto alias Bambang Pacul dicopot dari Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Jawa Tengah karena dibutuhkan di skala nasional.
    Guntur menyebut, saat ini Bambang Pacul dipercaya oleh Ketua Umum PDI-P, Megawati Soekarnoputri, menjadi Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) bidang Pemenangan Pemilu Legislatif.
    PDI-P memandang Pemilu 2029 memiliki tantangan tersendiri, sehingga partai membutuhkan pengurus yang fokus di tingkat nasional.
    “Mas Pacul adalah kader senior, dikenal sebagai ‘Komandan Korea’, dibutuhkan pengalaman dan keahliannya untuk fokus skala nasional dalam Pemenangan Pemilu Legislatif 2029,” kata Guntur kepada
    Kompas.com
    , Jumat (22/8/2025).
    Dilansir akun Instagram PDIP Jateng, istilah “korea” bukan bermakna nama negara di Asia Timur, namun merupakan sebutan untuk golongan masyarakat.
    Korea-korea, demikian PDIP Jateng menulis, adalah mereka yang berupaya mencapai lapisan sosial yang lebih tinggi dengan lompatan signifikan, dan terus bergerak menuju peningkatan status sosial.
    Menurut Guntur, karena perlu fokus skala nasional, maka pengurus DPP PDI-P tidak boleh merangkap jabatan.
    Sejumlah pengurus DPP dicopot dari jabatan pimpinan DPD dan digantikan dengan pelaksana tugas (Plt).
    “Karena itulah beliau ditarik dan difokuskan ke pusat untuk benar-benar merancang strategi pemenangan pemilu 2029,” ujar Guntur.
    Lebih lanjut, Guntur menyebut Megawati telah menunjuk FX Hadi Rudyatmo menjadi Ketua DPD PDI-P Jawa Tengah.
    “Keduanya sama-sama kader senior, loyalis partai, loyalis Bu Mega, dan murid Bung Karno,” tutur Guntur.
     
    Sebelumnya, Ketua DPP PDI-P, Andreas Hugo Pareira, mengungkapkan dasar pencopotan Bambang dari Ketua DPD PDI-P Jawa Tengah.
    Menurutnya, pencopotan itu berdasar pada anggaran dasar/anggaran rumah tangga (AD/ART) PDI-P.
    “Pertimbangannya dijelaskan dalam Surat DPP Nomor 16 Tahun 2025 tentang Instruksi Pelaksanaan PLT. Berdasarkan AD/ART 2025 dan Peraturan Partai No. 1/2025, dalam rangka konsolidasi struktural untuk pelaksanaan Konferensi Daerah, Konferensi Cabang Partai,” ujar Hugo, Kamis (21/8/2025).
    Dilansir akun Instagram PDIP Jateng, istilah “korea” bukan bermakna nama negara di Asia Timur, namun merupakan sebutan untuk golongan masyarakat.
    Korea-korea, demikian PDIP Jateng menulis, adalah mereka yang berupaya mencapai lapisan sosial yang lebih tinggi dengan lompatan signifikan, dan terus bergerak menuju peningkatan status sosial.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Pimpinan MPR tegaskan fasilitasi dikusi menuju amendemen UUD

    Pimpinan MPR tegaskan fasilitasi dikusi menuju amendemen UUD

    Jakarta (ANTARA) – Wakil Ketua MPR RI Bambang Wuryanto menegaskan pihaknya berkomitmen memfasilitasi diskusi rutin yang membicarakan menuju perubahan atau amendemen UUD NRI Tahun 1945.

    “Sebagai pimpinan MPR, saya pastikan untuk menuju perubahan UUD NRI Tahun 1945, MPR akan memfasilitasi dengan menggelar diskusi rutin untuk amendemen UUD NRI Tahun 1945,” kata Bambang Pacul, sapaan karibnya, dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Jumat.

    Hal itu disampaikannya dalam Seminar Konstitusi dengan tema “Dialektika Konstitusi: Refleksi UUD NRI Tahun 1945 Menjelang 25 Tahun Reformasi Konstitusi” di Gedung Nusantara V, Komplek Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (21/8).

    Dia mengatakan diskusi itu nantinya diisi oleh mereka yang sudah memiliki pemahaman terhadap sejarah perubahan konstitusi sejak UUD 1945.

    “Menuju amandemen UUD NRI Tahun 1945 ini didukung tim yang terdiri dari para pakar,” ujarnya.

    Pacul mengatakan bahwa usulan amendemen terhadap UUD NRI Tahun 1945 sudah pasti ada karena perubahan sendiri adalah suatu keniscayaan.

    “Perubahan atau amandemen UUD merupakan kewenangan MPR RI sesuai Pasal 3 UUD NRI Tahun 1945,” ucapnya.

    Sementara itu, pakar hukum tata negara Jimly Asshiddiqie mengatakan bahwa UUD adalah buatan manusia, apalagi dibuat melalui kesepakatan bersama, sehingga dalam UUD pasti memiliki ruang ketidaksempurnaan.

    “Sehebat apapun perumus konstitusi akan tetap tidak sempurna,” ujar Jimly yang hadir sebagai narasumber dalam seminar.

    Jimly mengatakan Bung Karno sudah menegaskan bahwa UUD 1945 adalah UUD kilat atau sementara yang akan disempurnakan, lalu pada tahun 1950 diupayakan penyempurnaan melalui UUD Sementara.

    “Jadi jangan membayangkan UUD 1945 sempurna,” katanya.

    Lebih lanjut, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu mengatakan perubahan UUD 1945 empat tahap tahun 1999-2002 juga tidak lah sempurna.

    Dia menambahkan UUD NRI Tahun 1945 hasil dari perubahan empat tahap UUD tahun 1999-2002 itu harus dievaluasi secara menyeluruh.

    “Konstitusi kita tidak sempurna, Dari waktu ke waktu, konstitusi harus menampung nilai-nilai dan norma baru. Caranya melalui amandemen UUD, tetapi tidak mungkin konstitusi selalu diubah, maka diperlukan adanya konvensi ketatanegaraan,” tuturnya.

    Meski demikian, dia mengatakan apabila dilakukan kembali amendemen UUD maka jangan hanya dilakukan untuk memasukkan ketentuan tentang Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN).

    Dia memandang evaluasi menyeluruh terhadap konstitusi itu perlu dilakukan menjelang 25 tahun reformasi, misalnya penataan lembaga DPD dan kewenangan Komisi Yudisial (KY).

    “Momentum kepemimpinan MPR periode 2024-2029 di bawah Ketua MPR Ahmad Muzani sesudah terbentuknya pemerintahan baru Prabowo Subianto adalah saat tepat untuk memperbaiki sistem konstitusi kita,” ujarnya.

    Sependapat dengan Jimly, Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi Saldi Isra menambahkan sesempurna apapun konstitusi dirumuskan maka tidak akan selalu menjawab perkembangan ketatanegaraan kita.

    “Kalau konstitusi diubah terus menerus maka tidak ada bedanya dengan UU maka biasanya dibangun tradisi positif yang dikenal dengan konvensi ketatanegaraan,” ujarnya.

    Dia lantas berkata, “Perubahan UUD memang hasil kompromistis, tetapi kalau tidak disepakati maka akan ada kelompok yang tidak terwakili dalam perubahan konstitusi.”

    Seminar Konstitusi yang dibuka oleh Ketua MPR RI Ahmad Muzani itu dihadiri pula oleh Wakil Ketua MPR RI lainnya yakni Rusdi Kirana dan Hidayat Nur Wahid.

    Pewarta: Melalusa Susthira Khalida
    Editor: Tasrief Tarmizi
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.