Tag: Badai

  • Dahsyatnya Efek Polusi Karbon Jauh Lebihi Prediksi

    Dahsyatnya Efek Polusi Karbon Jauh Lebihi Prediksi

    Jakarta, CNN Indonesia

    Polusi karbon dioksida memiliki dampak yang jauh lebih brutal dari yang dibayangkan, bahkan ketika dikonversikan dalam nilai uang, dampak polusi tersebut bernilai sangat besar.

    Dalam sebuah makalah yang diterbitkan di jurnal Nature pada Kamis (1/9), peneliti menyebut setiap ton karbon dioksida yang keluar dari cerobong asap atau knalpot menyebabkan kerusakan yang jauh lebih besar daripada yang diperhitungkan oleh pemerintah.

    Intensitas perubahan iklim yang semakin besar menyebabkan badai besar, kebakaran hutan yang ekstrem, kekeringan, dan hujan lebat. Sederet kejadian alam ini berujung pada rusaknya rumah serta banyak kehidupan di seluruh dunia.

    Para peneliti menyebut dampak sains, ekonomi, dan kesehatan yang disebabkan oleh jejak karbon ini sebagai biaya sosial karbon. Artinya, harga yang mewakili total kerusakan iklim yang ditimbulkan kepada masyarakat melalui emisi karbon.

    Pemerintah Amerika Serikat (AS) memperkirakan harga US$51 (sekitar Rp752 ribu) untuk biaya sosial karbon per ton karbon dioksida yang dikeluarkan. Dengan kata lain, ada kerusakan senilai US$51 di tahun-tahun berikutnya akibat emisi karbon.

    Sementara itu, provinsi New York memiliki biaya sosial karbon yang jauh lebih tinggi, yakni US$125 untuk setiap ton emisi karbon yang dikeluarkan. Biaya ini merupakan biaya sosial karbon yang diperbarui otoritas wilayah tersebut pada 2020.

    Meski demikian, para peneliti mengatakan biaya sosial karbon yang berlaku di AS ternyata lebih tinggi, mencapai US$185 per ton emisi karbon. Angka tersebut hampir empat kali lipat lebih besar dari yang dinyatakan pemerintahan yang dipimpin Biden.

    “Hasil kami menunjukkan bahwa kami sangat meremehkan bahaya dari setiap tambahan ton karbon dioksida di atmosfer,” kata Kevin Rennert, seorang penulis studi dan direktur inisiatif kebijakan iklim federal di Resources for the Future, sebuah organisasi nirlaba lingkungan yang berbasis di Washington, D.C, seperti dikutip AP News.

    “Dan implikasinya adalah bahwa manfaat dari kebijakan pemerintah dan tindakan lain yang mengurangi polusi pemanasan global lebih besar dari yang diperkirakan,” imbuhnya.

    Rennert dan koleganya mengatakan perlu adanya tambahan seperti perhitungan yang lebih baik dari ketidakpastian kebijakan iklim di masa depan, pertumbuhan ekonomi dan fenomena lingkungan seperti kenaikan permukaan laut.

    Tambahan ini termasuk juga kerusakan ekosistem, keanekaragaman hayati, dan kesehatan manusia, yang sebelumnya tidak diperhitungkan dalam biaya sosial karbon.

    “Kerusakan paling substansial dari perubahan iklim didorong oleh tingkat kematian yang lebih besar dari peningkatan suhu dan dampak pada sektor pertanian,” kata Rennert, seperti dikutip Japan Times.

    Lebih lanjut, para peneliti mulai menghitung dampak kerusakan dari emisi karbon pada 1980-an, tetapi pembaruan terakhir untuk pemodelan ini dilakukan pada awal hingga pertengahan 1990-an.

    “Banyak hal telah terjadi dalam ilmu pengetahuan,” kata Max Auffhammer, profesor pembangunan berkelanjutan internasional di University of California, Berkeley yang tidak terlibat dalam penelitian jurnal Nature.

    “Banyak kumpulan data yang luar biasa telah datang online bagi kami untuk mempelajari bagaimana perubahan lingkungan diterjemahkan menjadi hasil yang kami pedulikan. Jadi, itu ada di sana sekarang,” imbuhnya.

    (lom/lth)

  • Misi Artemis 1 NASA Ke Bulan Dijadwalkan Ulang pada 3 September

    Misi Artemis 1 NASA Ke Bulan Dijadwalkan Ulang pada 3 September

    Jakarta, CNN Indonesia

    Misi Artemis 1 NASA ke Bulan resmi dijadwalkan ulang untuk peluncuran pada Sabtu (3/9) pukul 14:17 ET atau Minggu (4/9) 1:17 WIB.

    Sebelumnya misi ini sempat dikabarkan berpotensi diluncurkan ulang pada Jumat (2/9). Namun NASA memutuskan memundurkan jadwal tersebut.

    Peluncuran roket SLS yang membawa pesawat antariksa Orion pada Senin (29/8) terpaksa dibatalkan karena ada masalah pada beberapa bagian roket.

    Setelah peluncuran dibatalkan, tim Artemis 1 tengah mengevaluasi data yang dikumpulkan selama upaya tersebut. Sementara roket Space Launch System (SLS) dan pesawat ruang angkasa Orion masih berada di Launchpad 39B di Kennedy Space Center di Florida.

    Salah satu dari empat mesin RS-25 roket, yang disebut sebagai mesin #3 tidak dapat mencapai suhu tepat yang diperlukan mesin untuk memulai lepas landas, sehingga peluncuran dibatalkan.

    Dilansir dari CNN, mesin perlu dikondisikan secara termal sebelum propelan superdingin mengalir melaluinya sebelum lepas landas. Kemudian untuk mencegah mesin mengalami guncangan suhu, pengontrol peluncuran meningkatkan tekanan tangki hidrogen cair tahap inti untuk mengirim sedikit hidrogen cair ke mesin, atau proses yang dikenal sebagai “bleed.”

    Hidrogen cair yang digunakan tersebut memiliki suhu sekitar minus 252 derajat Celcius.

    Manajer Program Sistem Peluncuran Luar Angkasa di Pusat Penerbangan Luar Angkasa Marshall NASA di Alabama John Honeycutt menyebut mesin #3 mungkin sekitar 30 hingga 40 derajat lebih hangat daripada mesin lainnya yang mencapai sekitar minus 245 derajat Celcius.

    “Cara sensor bekerja tidak sejalan dengan situasi fisik,” kata Honeycutt.

    Dalam peluncuran Sabtu nanti, tim berencana memulai bleed 30 sampai 45 menit lebih awal dalam hitungan mundur dibandingkan proses peluncuran pada Senin dan memantau suhu mesin selama bleed.

    Manajer misi Artemis di Markas Besar NASA Mike Sarafin mengatakan jika mereka tidak dapat mengondisikan mesin secara termal, mereka tidak akan meluncurkannya

    “Itu adalah syarat yang sama yang akan kita lakukan pada hari Sabtu,” tuturnya.

    Sementara itu, Direktur peluncuran Artemis di Program Sistem Tanah Eksplorasi NASA Charlie Blackwell-Thompson menyebut melepas dan mengganti sensor akan sulit di landasan peluncuran, jadi satu-satunya alternatif adalah menggulungnya kembali ke Gedung Perakitan Kendaraan untuk diservis.

    Selain masalah suhu, beberapa masalah lain, seperti badai, kebocoran pada saluran 8 inci yang digunakan untuk mengisi dan mengalirkan hidrogen cair tahap inti roket dan kebocoran hidrogen dari katup ventilasi pada intertank tahap inti juga menyebabkan penundaan pada peluncuran.

    “Kami menyetujui apa yang disebut opsi satu, yaitu mengubah prosedur pemuatan secara operasional dan memulai pendinginan mesin kami lebih awal. Kami juga setuju untuk melakukan beberapa pekerjaan di pad untuk mengatasi kebocoran yang kami lihat di pusat layanan hidrogen,” kata Sarafin.

    Prakiraan saat ini untuk hari Sabtu mencakup kemungkinan hujan dan badai petir di pagi dan sore hari, sehingga tim peluncuran akan terus memantau prakiraan tersebut.

    Ada kemungkinan 60 persen cuaca buruk akan terjadi selama peluncuran.

    Maka dari itu masih ada kemungkinan peluncuran diundur kembali menjadi 5 September.

    Misi Artemis 1 merupakan tahap awal dari sebuah program yang bertujuan untuk membawa manusia ke Bulan dan akhirnya mendaratkan misi berawak di Mars.

    (lom/fea)

    [Gambas:Video CNN]

  • Suar Matahari Bikin Kacau Sinyal di Eropa dan Afrika

    Suar Matahari Bikin Kacau Sinyal di Eropa dan Afrika

    Jakarta, CNN Indonesia

    Fenomena suar Matahari kuat menghantam Bumi dan mengacaukan sinyal di Eropa dan Afrika pada Jumat (26/8) lalu.

    “Sunspot AR3089 bergerak dengan serangkaian semburan matahari kelas M [sedang] yang semakin intensif,” kata SpaceWeather.com pada Jumat (26/8).

    Solar Dynamics Observatory Badan Penerbangan dan Antariksa Amerika Serikat (NASA) menangkap suar yang sangat kuat pada pukul 07:16 EDT (18:16 WIB). Suar Matahari ini disebut membuat masyarakat di Eropa dan Afrika mengalami pemadaman radio singkat, seperti dikutip Live Science.

    Aktivitas matahari cukup kuat dalam beberapa waktu ke belakang, setelah bintang ini mengeluarkan sederet cuaca luar angkasa yang menandai dimulainya aktivitas maksimum siklus 11 tahunan Matahari.

    Samantha Cristoforetti dari Badan Antariksa Eropa yang tengah berada di luar angkasa pada awal pekan lalu mengatakan dirinya melihat sejumlah aurora di kutub utara dan selatan Bumi.

    Fenomena langit yang disebabkan cuaca luar angkasa ini bahkan terlihat dari luar angkasa, menandakan fenomena yang sangat kuat.

    Sebagian besar cuaca luar angkasa biasanya memberi pertunjukan luar biasa bagi orang-orang di atau dekat Bumi, tetapi beberapa badai yang sangat kuat dapat merusak saluran listrik, satelit, dan infrastruktur vital lainnya yang menjadi tumpuan teknologi planet kita.

    Matahari lebih rentan terhadap temper tantrum ketika mencapai aktivitas maksimumnya, karena bintik matahari menyebar di permukaan dan garis magnet berputar dan patah. Badai Matahari yang mengarah ke Bumi dapat menyebabkan aurora, pemadaman, dan efek lainnya.

    Selain pada Jumat (26/8), suar Matahari juga diketahui menghantam Bumi pada Senin (29/8). Suar Matahari kelas M8 tersebut menghantam Bumi pada 7:07 a.m. EDT (18:07 WIB), seperti dikutip Space.

    Sebagai informasi, para ilmuwan mengurutkan suar Matahari dalam lima kategori huruf, di mana M adalah yang terkuat keempat. Dalam setiap kategori, angka yang lebih tinggi mewakili ledakan yang lebih besar.

    (lom/fea)

    [Gambas:Video CNN]

  • NASA Tunda Peluncuran Roket Artemis 1 Akibat Masalah Pendinginan Mesin

    NASA Tunda Peluncuran Roket Artemis 1 Akibat Masalah Pendinginan Mesin

    Jakarta, CNN Indonesia

    Masalah pendinginan mesin pada roket raksasa Artemis 1 memaksa badan penerbangan dan antariksa AS (NASA) membatalkan peluncurannya yang dijadwalkan hari ini, Senin pagi waktu setempat atau malam WIB.

    Sebelumnya, NASA telah mengisi bahan bakar megaroket Space Launch System (SLS) pertamanya itu untuk meluncurkan misi bulan Artemis 1 yang dijadwalkan pada 08:33 EDT (19.33 WIB).

    Namun, pengontrol peluncuran tidak dapat mendinginkan salah satu dari empat mesin utama ke suhu yang dibutuhkan untuk menangani propelan atau peluncur super dinginnya.

    Dikutip dari Space, masalah ini menghentikan rencana peluncuran roket SLS dan pesawat ruang angkasa Orion yang tidak berawak untuk uji terbang 42 hari di sekitar bulan.

    Pejabat NASA menyebut pendinginan mesin roket SLS sebelum mengalirkan hidrogen cair kriogenik dan oksigen cair adalah langkah yang dibutuhkan sebelum roket dapat diluncurkan. Menurutnya, tiga mesin lulus proses itu. Namun, mesin No. 3 gagal.

    “Pengontrol peluncuran mengkondisikan mesin dengan meningkatkan tekanan pada tangki tahap inti untuk mengalirkan beberapa propelan kriogenik ke mesin agar mencapai kisaran suhu yang tepat untuk memulainya,” kata pejabat NASA dalam sebuah pernyataan.

    “Mesin 3 tidak dikondisikan dengan benar melalui proses pembuangan, dan para insinyur sedang memecahkan masalah,” lanjut dia.

    Keempat mesin ini terbang pada program pesawat ulang-alik NASA dari kendaraan yang dapat digunakan kembali.

    Menurut juru bicara NASA Derrol Nail, pengkondisian mesin bukanlah sesuatu yang dapat diverifikasi tim selama proses “latihan pakaian basah” (wet dress) yang berakhir pada bulan Juni.

    “Ini adalah hal yang ingin mereka uji selama Wet Dress 4 tetapi tidak bisa,” kata Nail.

    “Jadi ini adalah kesempatan pertama bagi tim untuk melihatnya secara langsung. Masalahnya sangat rumit bahkan untuk mendapatkan suhu yang ditentukan, menurut para insinyur,” urainya.

    Masalah pengkondisian Mesin No. 3 ini muncul saat NASA bekerja melalui serangkaian gangguan selama hitungan mundur, termasuk kebocoran hidrogen cair di awal proses pengisian bahan bakar dan kemungkinan retakan di bagian penguat inti yang dikenal sebagai flensa antartank.

    Bagian irtu menghubungkan tangki hidrogen cair dan oksigen cair raksasa SLS. Tangki tersebut dapat menampung 730.000 galon (3,3 juta liter) propelan gabungan.

    “Flensa adalah sambungan sambungan yang berfungsi seperti jahitan pada kemeja, ditempelkan di bagian atas dan bawah intertank sehingga kedua tangki dapat dilampirkan,” kata NASA dalam pembaruan.

    Insinyur NASA menemukan bahwa retakan itu sebenarnya pada busa isolasi pada flensa, bukan pada struktur logam roket.

    “Es yang terbentuk pada dasarnya adalah udara yang didinginkan oleh tangki yang terperangkap di dalam celah busa tetapi bukan tangki sebenarnya,” kata Nail.

    Personel NASA, katany, telah melihat retakan serupa pada busa ketika digunakan pada pesawat ulang-alik sebelum pensiun pada 2011.

    Masalah Mesin No. 3 dan keretakan itu sejalan kekhawatiran tentang kebocoran hidrogen cair roket. Kebocoran selama proses pengisian bahan bakar tampak mirip dengan yang terjadi selama tes pengisian bahan bakar SLS awal tahun ini, kata Nail.

    “Meskipun masalah serupa diidentifikasi dalam latihan wet dress sebelumnya, itu mungkin tidak selalu menjadi penyebab yang sama,” tulis pejabat NASA.

    NASA menghentikan dan memulai kembali aliran hidrogen cair ke dalam tangki dalam upaya untuk memverifikasi kebocoran dan bahkan melanjutkan dengan mengisi bahan bakar tahap atas roket setinggi 322 kaki (98 meter) sementara para insinyur mengerjakan masalah tersebut.

    Badai

    Sebelum masalah pendinginan, NASA menghadapi tantangan selama hitungan mundur peluncuran. Badai lepas pantai dan kilat menunda pengisian bahan bakar roket SLS hampir satu jam, memaksa pengontrol peluncuran bekerja ngebut.

    Dengan pembatalan peluncuran hari ini, NASA bisa mencoba setidaknya dua hari berikutnya untuk menerbangkan Artemis 1 ke bulan.

    Jika masalah Mesin No. 3 terpecahkan, lembaga ini dapat mencoba meluncurkan lagi Jumat (2/9) atau Senin (5/9), jika cuaca memungkinkan.

    Jika NASA tidak dapat meluncurkan pada 5 September, percobaan peluncuran berikutnya kemungkinan akan dilakukan pada Oktober, kata manajer misi. Peluang peluncuran terutama dibatasi oleh fase Bulan dan kondisi pencahayaan saat proses masuk kembali.

    “Kesempatan paling awal, tergantung pada apa yang terjadi dengan mesin ini, akan terjadi pada 2 September,” kata Nail. “Namun, kami akan menunggu penentuan seperti apa rencananya ke depan.”

    (tim/arh)

    [Gambas:Video CNN]

  • Jerat ‘Bom Waktu’ UMP Tahunan, Kendalikan Inflasi namun Berujung Badai PHK

    Jerat ‘Bom Waktu’ UMP Tahunan, Kendalikan Inflasi namun Berujung Badai PHK

    PIKIRAN RAKYAT – Kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) selalu dikaitkan dengan tingkat inflasi, meskipun sering kali UMP meningkat lebih cepat daripada inflasi, terutama setelah lonjakan inflasi pada tahun 2022. Kebijakan ini diambil untuk menjaga daya beli masyarakat dan mendukung stabilitas ekonomi nasional.

    Daya beli ekonomi yang melemah membuat pemerintah memberikan berbagai insentif dalam sektor-sektor tulang punggung negara seperti otomotif, UMKM, dan lain-lain. 

    Kenaikan UMP dalam 3 tahun terakhir menandakan bahwa pemerintah lebih cenderung mendukung daya beli masyarakat terutama pekerja agar roda ekonomi terus berjalan. Namun sayangnya ini menimbulkan resiko, salah satunya adalah merebaknya wabah PHK alias pemberhentian hubungan kerja karena perusahaan tidak lagi dapat gaji karyawan yang terus naik.

    INFOGRAFIS – Perbandingan UMP dan Inflasi dari tahun ke tahun. Tahun 2022 menjadi yang terberat kala covid, angka inflasi lebih tinggi dari UMP.

    Melonjaknya inflasi pada tahun 2022 menjadi salah satu alasan terus meningkatnya UMP dalam tiga tahun terakhir. Pandemi Covid menjadi pukulan telak bagi pelaku industri yang kini digerogoti perlahan dengan melemahnya daya beli masyarakat ditambah biaya produksi yang tinggi. 

    Triwulan pertama 2025 menjadi bukti kala raksasa-raksasa industri Tanah Air tumbang dan ribuan karyawan terdampak PHK. 

    Bagaimana langkah bijak pemerintah dalam hal ini Kementerian Ketenagakerjaan dan Pemerintah Daerah dalam mengatasi hal ini? Semoga badai ini cepat berlalu dan situasi ekonomi perlahan membaik.***

    Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News