Bisnis.com, JAKARTA – Setiap bangsa memiliki masa, kejujuran informasi menentukan arah sejarahnya. Kita pernah mengalami itu di masa pergerakan, ketika kabar dan surat-surat perjuangan menjadi alat penyatu tekad kemerdekaan. Kini, di abad ke-21, bangsa Indonesia kembali dihadapkan pada ujian yang serupa namun dalam wujud yang berbeda, yakni krisis makna di tengah melimpahnya informasi.
Informasi yang dulu menjadi sumber pencerahan kini bisa berubah menjadi sumber kebingungan. Ketika setiap orang dapat menjadi penyampai pesan, batas antara fakta dan opini, antara data dan narasi, semakin kabur. Dalam situasi seperti itu, komunikasi publik bukan hanya soal kecepatan menyampaikan pesan, tetapi tentang bagaimana menjaga makna agar tidak terdistorsi di tengah kebisingan digital.
Di sinilah peran Humas (Hubungan Masyarakat) dan Pustakawan menjadi sangat strategis. Keduanya merupakan komunikator publik yang berada di garda depan penyebaran pengetahuan dan pembentukan kepercayaan sosial. Meskipun berasal dari disiplin yang berbeda, keduanya memiliki tanggung jawab moral yang sama, yaitu memastikan bahwa informasi yang sampai kepada publik bersumber dari niat baik, disampaikan dengan etika, dan berorientasi pada kepentingan bangsa. Humas sebagai penjaga kredibilitas badan publik, Pustakawan sebagai komunikator pengetahuan.
Dalam pandangan Harold D. Lasswell (1948), komunikasi yang efektif dapat diringkas dalam pertanyaan sederhana. Who says what, in which channel, to whom, and with what effect? Pertanyaan itu menegaskan bahwa kualitas komunikasi sangat ditentukan oleh siapa yang berbicara dan bagaimana ia menyampaikan pesannya.
Humas adalah representasi dari lembaga. Wajah dan suara yang menentukan apakah publik akan percaya atau justru curiga. Fungsi utamanya bukan sekadar menyampaikan informasi, melainkan membangun dan memelihara kepercayaan publik (public trust). Dalam konteks lembaga negara seperti Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (Perpusnas RI), kepercayaan itu dibangun melalui komunikasi yang transparan, konsisten, dan berorientasi pelayanan.
Humas lembaga publik dituntut untuk menjadi komunikator yang adaptif. Mereka harus mampu mengelola pesan di berbagai saluran. Misalnya, mulai dari pernyataan resmi di situsnya, hingga informasi populer di kanal media sosialnya. Tidak hanya itu, kolaborasi Humas dengan Pustakawan dapat dibuktikan dalam kerja-kerja komunikator, mulai dari klarifikasi isu hingga kampanye literasi digital. Mereka tidak hanya bekerja dalam ranah informasi, tetapi juga mengelola persepsi dan reputasi.
Cutlip, Center, dan Broom (2006) dalam Effective Public Relations menyebut Humas sebagai fungsi manajemen yang membangun dan memelihara hubungan saling pengertian antara organisasi dan publiknya. Dalam era disinformasi, fungsi itu bergeser dari sekadar hubungan ke arah tanggung jawab moral: bagaimana memastikan masyarakat memperoleh informasi yang benar, tidak menyesatkan, dan memberi manfaat sosial.
Ketika terjadi krisis informasi, misalnya penyebaran hoaks, kesalahan data, atau miskomunikasi kebijakan, Humas dituntut untuk bertindak cepat, akurat, dan beretika. Di sinilah profesionalitas komunikator diuji. Bukan hanya bagaimana ia menenangkan situasi, menguraikan informasi agar public teredikasi, melainkan juga bagaimana ia menjaga kepercayaan publik agar tetap utuh.
Jika Humas adalah komunikator pesan, maka pustakawan adalah komunikator makna. Mereka tidak hanya menyimpan buku atau naskah, melainkan mengelola pengetahuan. Di tangan pustakawan, informasi mentah diubah menjadi pengetahuan yang terorganisasi, tervalidasi, dan mudah diakses.
McQuail (2010) dalam Mass Communication Theory menekankan bahwa fungsi komunikator publik tidak sekadar menyampaikan pesan, tetapi menciptakan shared understanding atau kesepahaman bersama yang menjadi dasar bagi kohesi sosial. Pustakawan melaksanakan fungsi ini melalui literasi informasi, pelestarian sumber pengetahuan, dan pendidikan publik.
Dalam konteks Perpusnas RI, pustakawan menjadi jembatan antara masa lalu dan masa depan. Melalui pengelolaan naskah-naskah Nusantara, mereka menjaga warisan pengetahuan bangsa agar tidak hilang ditelan zaman. Pengarsipan, digitalisasi, dan promosi naskah bukan semata kegiatan teknis, tetapi bagian dari komunikasi kebangsaan. Naskah-naskah itu berisi nilai moral, etika sosial, dan filosofi hidup yang membentuk identitas nasional.
Di era digital, pustakawan tidak lagi hanya berada di balik meja, melainkan aktif di ruang publik. Pustakawan mengedukasi masyarakat tentang cara menilai kredibilitas sumber, memverifikasi informasi, dan menggunakan media digital dengan bijak. Mereka adalah “silent educators” yang menanamkan literasi sebagai bentuk ketahanan nasional terhadap arus disinformasi.
Humas dan pustakawan sesungguhnya memiliki tiga nilai fundamental yang sama, yaitu kepercayaan publik, integritas, dan etika komunikasi. Mereka bekerja untuk melayani masyarakat, bukan sekadar menyenangkan atasan. Baik Humas maupun pustakawan beroperasi di atas landasan etika profesional dan kebenaran data.
Sinergi keduanya menciptakan ekosistem komunikasi yang sehat. Humas memastikan pesan lembaga disampaikan dengan kredibel, sementara pustakawan memastikan isi pengetahuan yang dibagikan benar dan terverifikasi.
Perpusnas RI telah menjadi contoh bagaimana kolaborasi dua profesi ini bisa membangun ekosistem literasi yang kuat. Dalam program Kelas Literasi Anak (KELANA) Spesial Hari Sumpah Pemuda, misalnya, pendekatan literasi tidak hanya dilakukan lewat membaca, tetapi juga melalui psikoedukasi dan keterampilan olah wicara. Di sini, pustakawan, humas, dan komunitas bekerja bersama menanamkan nilai keberanian berbicara, empati, serta kecintaan terhadap pengetahuan sejak usia dini.
Program semacam ini membuktikan bahwa komunikasi publik tidak berhenti pada penyebaran informasi, tetapi meluas menjadi pendidikan karakter. Itulah makna terdalam dari fungsi komunikator publik dalam lembaga literasi negara: menjadi penjaga makna, bukan sekadar penyampai berita.
Sumpah Pemuda dan Literasi Digital
Ketika para pemuda tahun 1928 mengikrarkan Sumpah Pemuda, mereka tidak hanya menyatukan bahasa, bangsa, dan tanah air, tetapi mereka juga menyatukan makna. Mereka memahami bahwa bangsa yang tercerai secara makna akan mudah goyah secara politik dan sosial.
Kini, Indonesia kembali berada di persimpangan serupa, bahwa tantangan terbesar bukan lagi kolonialisme asing, melainkan kolonialisme informasi. Jika dulu bangsa ini berjuang melawan penjajahan fisik, kini ia berjuang melawan penjajahan algoritma, bias media, dan banjir hoaks yang menyesatkan.
Dalam konteks kekinian, makna “Satu Nusa” dapat dibaca sebagai komitmen menjaga kedaulatan informasi nasional. Tanah air tidak hanya sebidang wilayah geografis, tetapi juga ruang pengetahuan tempat warga bangsa membangun kesadaran bersama.
Humas menjadi penjaga agar ruang itu tidak tercemar oleh informasi palsu. Mereka memastikan bahwa komunikasi publik yang keluar dari lembaga negara, termasuk Perpusnas, berbasis data dan memperkuat rasa percaya terhadap institusi publik. Pustakawan memastikan isi pengetahuan yang menjadi referensi publik tetap orisinal dan dapat dipertanggungjawabkan.
Ketika kedua peran ini berjalan seiring, bangsa memiliki fondasi kuat. Fondasi itu adalah informasi yang akurat dan publik yang literat. Itulah bentuk baru dari “kemerdekaan berpikir” yang menjadi cita-cita para pendiri bangsa.
Makna “Satu Bangsa” kini menemukan relevansinya dalam kolaborasi lintas profesi dan generasi. Humas tidak bisa bekerja sendiri; mereka memerlukan pustakawan, peneliti, dan pendidik untuk memastikan bahwa pesan publik didukung oleh data dan sumber tepercaya. Sebaliknya, pustakawan membutuhkan dukungan Humas agar hasil kerjanya diketahui dan dimanfaatkan publik secara luas.
Dengan pendekatan komunikasi publik yang efektif, nilai-nilai kearifan lokal dari naskah-naskah lama dapat dihidupkan Kembali, dalam konteks kebangsaan masa kini. Bahkan nilai-nilai tersebut dapat menjadi sumber inspirasi etika, spiritualitas, dan tanggung jawab sosial. Itulah esensi dalam kolaborasi kebangsaan, ketika setiap profesi menyumbangkan keahliannya untuk memperkuat collective intelligence bangsa.
Bahasa menjadi sarana pemersatu. Namun, di era media sosial, bahasa juga bisa menjadi sumber perpecahan. Komentar tajam, ujaran kebencian, dan disinformasi kerap mengaburkan empati yang menjadi dasar komunikasi kebangsaan. Di titik ini, humas dan pustakawan memegang tanggung jawab penting. Kedua profesi tersebut bertugas mengembalikan bahasa publik ke fungsi aslinya, yaitu bahasa yang mencerdaskan dan menenangkan.
Bahasa komunikasi publik seharusnya membangun pengertian, bukan mengadu domba. Ia harus inklusif, jernih, dan mengandung kejujuran. Humas mengelola pesan dengan etika, pustakawan mengelola pengetahuan dengan integritas. Keduanya mengajarkan publik untuk menggunakan bahasa yang berempati, untuk membaca dan berbicara dengan hati.
Semangat Sumpah Pemuda bukan sekadar romantika sejarah. ia adalah kompas moral untuk menghadapi tantangan komunikasi modern. Dalam dunia yang dipenuhi informasi instan dan opini tak terbatas, semangat itu mengingatkan kita bahwa keutuhan bangsa hanya bisa dijaga jika kebenaran dijaga bersama.
Humas dan pustakawan adalah dua penjaganya. Mereka mungkin tidak berada di barisan depan politik, tetapi merekalah yang memastikan agar bangsa ini tidak kehilangan jati dirinya di tengah perang makna. Di situlah semangat “pemuda bergerak” menemukan makna baru. Bukan lagi sekadar turun ke jalan, tetapi bergerak dalam literasi, komunikasi, dan tanggung jawab sosial.
Pada akhirnya, Humas dan pustakawan adalah dua wajah dari satu panggilan, yaitu menjaga bangsa agar tetap bersatu dalam pengetahuan dan kebenaran. Keduanya bekerja di ruang yang berbeda, tetapi memiliki tujuan yang sama, membangun kepercayaan publik yang menjadi dasar kemajuan bangsa.
Di tengah krisis informasi global, mereka berperan sebagai penuntun arah moral komunikasi, di mana Humas menjaga agar pesan publik tetap etis dan kredibel dan pustakawan menjaga agar isi pengetahuan tetap jernih dan terbuka. Keduanya menjadi manifestasi modern dari semangat Sumpah Pemuda, semangat untuk berpikir jernih, berkolaborasi, dan menjaga persatuan.
Puluhan tahun setelah ikrar itu dikumandangkan, tantangan bangsa telah berubah dari perang senjata menjadi perang makna. Namun selama masih ada mereka yang bekerja dengan hati, yang menjaga kebenaran dengan tenang, dan yang berkomunikasi dengan empati, bangsa ini tidak akan kehilangan arah.
Humas dan pustakawan mungkin bukan para orator di podium besar, tetapi merekalah penjaga nalar publik di tengah badai informasi. Selama semangat Sumpah Pemuda terus mengalir dalam kerja mereka, Indonesia akan tetap bersatu dalam bahasa yang jernih, dalam ilmu yang benar, dan dalam keyakinan bahwa pengetahuan adalah wujud paling tinggi dari cinta pada Tanah Air.