Tag: Azmi Syahputra

  • Beras Fortifikasi Disebut Bukti Perlawanan Mafia Pangan & Langgar UU

    Beras Fortifikasi Disebut Bukti Perlawanan Mafia Pangan & Langgar UU

    Jakarta, CNBC Indonesia – Belakangan, beras khusus dengan klaim label mengandung sederet vitamin dan zinc jadi sorotan. Di tengah hampir langkanya pasokan beras di gerai-gerai ritel modern, pasokan beras-beras fortifikasi dengan label khusus ini tampak normal mengisi rak-rak ritel modern.

    Soal harga, sudah tentu lebih mahal. Bahkan, ada yang sampai tembus Rp140.000 per kemasan 5 kg. Artinya, berkisar Rp28.000 per kg. Sementara, harga eceran tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah adalah Rp13.500 per kg medium dan Rp14.900 per kg premium.

    Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas) Arief Prasetyo Adi pun mengaku, pemerintah membuka ruang untuk evaluasi. Dan, bukan tidak mungkin akan dilakukan pengaturan, meski tidak dijelaskan pengaturan yang dimaksud.

    Keberadaan beras fortifikasi ini mengundang respons pengamat pangan dan pakar hukum. Yang menyebut keberadaan beras fortifikasi adalah aksi perlawanan mafia pangan dan berpotensi langgar UU Pidana.

    “Ini jelas perlawanan mafia pangan. Produsen mendapat keuntungan dari subsidi pemerintah yang nilainya Rp155,5 triliun tahun ini, termasuk pupuk bersubsidi hingga 9,5 juta ton. Tapi rakyat justru dipaksa membeli beras mahal. Negara tidak boleh kalah,” katanya dalam keterangan tertulis, Rabu (3/9/2025).

    “Beras fortifikasi yang dijual dengan harga Rp20.000-35.000 per kilogram telah mendominasi pasar, sementara beras medium dan beras premium semakin langka. Kondisi ini membuktikan adanya upaya sistematis untuk menggeser konsumsi masyarakat dari beras terjangkau ke beras mahal,” ujar Debi.

    Karena itu, Debi mendesak Satgas Pangan Polri segera turun tangan memeriksa produsen dan pasar ritel yang terbukti menolak kembali menjual beras medium dan premium.

    “Satgas Pangan harus bertindak cepat. Jangan biarkan mafia pangan mengendalikan pasar sesuka hati. Pemerintah sudah menyalurkan subsidi besar, hasilnya harus dirasakan rakyat, bukan dinikmati segelintir pelaku usaha,” tukasnya.

    Terpisah, Pakar Hukum Universitas Trisakti Azmi Syahputra menilai praktik produsen beras yang semakin memprioritaskan penjualan beras khusus fortifikasi di pasar retail modern merupakan bentuk kejahatan ekonomi yang menyusahkan masyarakat.

    “Produsen memanfaatkan subsidi negara yang nilainya melonjak dari Rp114,3 triliun pada 2024 menjadi Rp155,5 triliun pada 2025, termasuk subsidi pupuk hingga 9,5 juta ton. Subsidi itu seharusnya menjamin ketersediaan beras murah bagi masyarakat. Tetapi faktanya, justru dialihkan ke pasar beras khusus dengan harga Rp 20.000-35.000/kg. Ini adalah bentuk pengkhianatan terhadap tujuan dan fungsi subsidi,” katanya.

    “Praktik ini berpotensi melanggar berbagai aturan pidana: UU Pangan (larangan manipulasi distribusi), UU Perlindungan Konsumen (perbuatan curang), UU Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (penguasaan pasar secara tidak wajar), hingga UU Tipikor jika terdapat keadaan dan perbuatan yang terbukti menimbulkan kerugian keuangan atau perekonomian negara,” beber Azmi.

    Azmi mendesak Kementerian Perdagangan, Kementerian Pertanian, dan Badan Pangan Nasional untuk segera memperkuat pengawasan distribusi beras medium dan premium, serta membuka transparansi jalur subsidi agar beras subsidi benar-benar sampai dan dapat diperuntukkan kepada masyarakat secara tepat guna.

    “Mereka memanfaatkan subsidi pemerintah yang ditujukan untuk petani dan swasembada pangan, tapi justru membatasi akses rakyat terhadap beras berkualitas dengan harga wajar. Ini adalah bentuk eksploitasi yang sistematis,” ujar Azmi.

    Kepala Bapanas Ungkap Penyebab Beras Premium Langka

    Sebelumnya, Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas) Arief Prasetyo Adi mengatakan, tersendatnya pasokan beras ke ritel modern, bahkan sampai terjadi kekosongan stok karena penggilingan padi tengah melakukan penyesuaian agar produk yang disalurkan sesuai dengan standar label beras premium.

    “Pasokan beras di pasar tradisional saya melihatnya ada, hanya sedang menyesuaikan. Beberapa pasokan ke ritel modern memang sempat mengalami penurunan, karena teman-teman penggilingan padi ingin comply sesuai dengan informasi yang ada di label. Misalnya broken 15%, kadar air 14%, dan derajat sosoh minimal 95%. Kalau sudah sesuai, mereka akan kembali kirim ke modern market,” ungkap Arief dalam keterangannya, Selasa (2/9//2025).

    Arief menambahkan, peristiwa terkait beras oplosan yang sempat mencuat menjadi pelajaran penting bagi seluruh pihak.

    “Kejadian kemarin menjadi review buat kita semua, salah satunya supaya penggilingan padi lebih disiplin memproduksi sesuai dengan keterangan yang ada di label,” imbuhnya.

    Seperti diketahui, Satgas Pangan Polri tengah melakukan proses hukum atas sejumlah perusahaan beras yang diduga melakukan praktik produksi dan memperdagangkan beras premium tak sesuai mutu dan label kemasan.

    Penindakan ini berawal dari laporan Kementerian Pertanian yang mengungkapkan ratusan merek beras tidak memenuhi aturan. Mulai dari masalah tak sesuai label hingga beras oplosan.

    (dce/dce)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Budi Arie Tak Kunjung Diperiksa, Hakim Diminta Bersikap

    Budi Arie Tak Kunjung Diperiksa, Hakim Diminta Bersikap

    GELORA.CO – Kejaksaan didorong segera memeriksa mantan Menteri Komunikasi dan Informatika Budi Arie Setiadi terkait dugaan keterlibatannya dalam kasus judi online (judol). 

    Menurut Dosen Hukum Pidana Universitas Trisakti, Azmi Syahputra, fakta-fakta yang terungkap di persidangan sudah cukup menjadi dasar untuk menghadirkan Budi Arie dalam proses hukum.

    “Kalau melihat fakta persidangan, sebenarnya tidak ada alasan bagi Kejaksaan untuk tidak menghadirkan Budi Arie dalam perkara judi online,” kata Azmi dalam kanal YouTube Abraham Samad SPEAK UP, Selasa, 3 Juni 2025.

    Ia menyoroti lemahnya koordinasi dalam sistem peradilan pidana, yang melibatkan polisi, jaksa, dan hakim. Azmi menyayangkan sikap pasif dari lembaga peradilan, terutama hakim, yang seharusnya memegang peran tertinggi dalam sistem tersebut.

    “Harusnya hakim sebagai subsistem daripada sistem peradilan tadi harus berani mengkoreksi. Sayangnya hakim kita nggak mau masuk di situ. Padahal, hakim punya kewenangan membuat penetapan dan putusan,” jelasnya.

    Azmi mengkritik praktik penegakan hukum yang dinilainya masih tebang pilih. Ia menggunakan istilah “tarik bambu” di mana hanya pihak-pihak yang lemah yang disasar aparat penegak hukum.

    Dia menegaskan, kalau jaksa tidak mau mengembangkan kasus, harusnya hakim ambil alih untuk buat penetapan. Atau bisa juga KPK dan Kejaksaan Agung berani memperdalam perkara ini secara independen.

    Azmi lantas menyinggung soal penyebutan Budi Arie yang disebut menerima 50 persen aliran dana dari aktivitas judi online. Ia mendesak agar hal itu diusut lebih lanjut.

    “Harus didalami, dari mana uang itu, ke mana alirannya,” pungkasnya.

  • Gurita Bisnis Tomy Winata, Anggota ‘9 Naga’ yang Disorot di Tengah Kasus Jak TV

    Gurita Bisnis Tomy Winata, Anggota ‘9 Naga’ yang Disorot di Tengah Kasus Jak TV

    GELORA.CO – Direktur Pemberitaan JakTV Tian Bahtiar (TB) bersama advokat Marcella Santoso (MS), Junaidi Saibih (JS) ditetapkan sebagai tersangka terkait kasus dugaan perintangan penyidikan maupun penuntutan atau obstruction of justice.

    Kejaksaan Agung menyebut advokat Marcella Santoso dan Junaedi Saibih membiayai demonstrasi untuk menggagalkan penyidikan sejumlah kasus.

    Direktur Penyidikan pada Jampidsus Kejagung, Abdul Qohar mengatakan, upaya penggagalan tersebut diduga mereka lakukan dalam penyidikan kasus korupsi pengelolaan tata niaga komoditas timah di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) di PT Timah Tbk 2015-2022.

    Tak hanya kasus itu, mereka juga disebut terlibat merintangi penyidikan perkara importasi gula yang menjerat eks Menteri Perdagangan Tom Lembong.

    “Tersangka MS dan JS membiayai demonstrasi-demonstrasi dalam upaya untuk menggagalkan penyidikan, penuntutan, dan pembuktian perkara a quo di persidangan,” kata Qohar, dalam konferensi pers, Selasa (22/4/2025) dini hari.

    Kemudian, Marcella dan Junaedi membiayai kegiatan seminar-seminar, podcast, dan talk show mengenai kasus-kasus tersebut di beberapa media online. Kegiatan-kegiatan itu diduga untuk menarasikan secara negatif dalam pemberitaan untuk mempengaruhi pembuktian perkara di persidangan.

    “Kemudian diliput oleh tersangka TB dan menyiarkannya melalui JakTV dan akun-akun official JakTV, termasuk di media Tik Tok dan YouTube,” jelasnya.

    Konten-konten negatif tersebut, menurut Qohar, merupakan pesanan langsung dari Marcella dan Junaedi kepada Tian Bahtiar. “Tersangka JS membuat narasi-narasi dan opini-opini positif bagi timnya, yaitu MS dan JS. Kemudian membuat metodologi perhitungan kerugian negara dalam penanganan perkara a quo yang dilakukan Kejaksaan adalah tidak benar dan menyesatkan,” ucapnya.

    Dosen Hukum Pidana Universitas Trisakti, Azmi Syahputra berpandangan Pasal 21 Undang-Undang (UU) Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) tentang perintangan penyidikan bisa disangkakan terhadap Direktur Pemberitaan JAK TV Tian Bahtiar (TB). 

    Diketahui, Tian ditetapkan tersangka karena diduga secara sengaja membuat narasi dan konten-konten negatif untuk menjatuhkan Kejaksaan Agung (Kejagung). Sehingga, dinilai merintangi proses penyidikan, penuntutan, hingga pengadilan dalam kasus dugaan korupsi PT Timah, impor gula, dan ekspor crude palm oil (CPO). 

    Untuk hal itu, Tian diduga menerima uang sebesar Rp 478.500.000 yang masuk kantong pribadi setelah memuat konten-konten negatif terkait Kejagung. Menurut Azmi, terhadap Tian bisa dikenakan pasal perintangan penyidikan karena ada hubungan kasualitas antara para pelaku dengan hasil nyata berupa pemberitaan yang bertujuan mengganggu proses jalannya proses hukum oleh Kejagung. 

    “Perbuatan makna Pasal 21 dimaksud dapat dikatakan terjadi sepanjang adanya kausalitas dan di antara para pelaku terjalin kepentingan saling melindungi dan menjadi serangan balik bagi Kejagung, termasuk jika ditemukan upaya-upaya dan keadaan yang nyata hasil produksi berita tersebut guna menghambat, menghalangi, menggangu atau mempersulit jalannya proses hukum dalam kasus tersebut,” kata Azmi kepada Monitorindonesia.com, Selasa (22/4/2025). 

    “Karena dalam kasus ini, jika para penyidik menemukan bahwa perbuatan pelaku yang fokus bertujuan dari adanya pemesanan kegiatan-kegiatan produksi pemberitaan tersebut berhubungan guna menggangu proses hukum agar tidak berhasil sesuai tujuan penyidikan,” jelasnya.

    Azmi menambahkan bahwa ditemukan adanya aliran dana yang membuktikan adanya pemufakatan jahat untuk mengganggu proses hukum oleh Kejagung melalui pemberitaan yang dihasilkan. 

    “Dapat terlihat pula apakah ada pula tindakan yang secara sadar dan sengaja dalam kehendaknya para pelaku untuk menghambat proses baik secara langsung atau tidak langsung. Dalam kasus ini diketahui atau ditemukan bukti yang sekaligus menandakan adanya strategi sekaligus metting of mind dari para pihak yang sengaja menginginkan pembuatan, pemberitaan maupun opini tersebut ditujukan dalam rangka melemahkan penegakan hukum,” jelas Azmi.

    Namun, Azmi menyebut bahwa kebebasan pers tetap harus diapresiasi dan dihormati. Pasal 21 UU Tipikor berbunyi, “Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan disidang pengadilan terhadap tersangka atau terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan atau 33 denda paling sedikit Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah)”

    Terkait kasus itu, seorang pengusaha bernama Tomy Winata menjadi sorotan. Hal ini disebabkan stasiun televisi swasta JAKTV itu  berada di bawah naungan Artha Graha, bisnis dari anggota ‘9 naga’ itu. JAKTV sendiri memulai siarannya pada Oktober 2004 dalam sebuah uji coba. Lalu baru diresmikan pada Oktober 2005.

    Dengan bos Artha Graha Group, Tommy Winata, Menteri BUMN Erick Thohir diketahui pernah berkongsi mendirikan Jaktv pada 2005. Bisnis televisi lokal dengan motto ‘My City, My Tv’ itu langgeng hingga kini.

    Diketahui bahwa Tommy Winata merupakan pendiri dari Artha Graha Group, sebuah perusahan besar yang memiliki ratusan anak perusahaan. Ia juga memiliki berbagai gurita bisnis lainnya sehingga banyak orang yang mencantumkan namanya dalam jajaran ‘9 Naga’.

     

    Memiliki latar belakang yang serupa dengan Dato’ Sri Tahir, Tommy banyak menghabiskan masa kecilnya di sebuah gang di kawasan Kemayoran, Jakarta Pusat. Namun saat ini, Tommy memiliki kekayaan sekitar USD2,4 miliar atau sekitar Rp37 triliun.

     

    Gurita bisnis Tommy Winata, seperti PT Makmur Elok Nugraha (MEG) merupakan salah satu perusahan yang bergerak di bidang properti dan pengembangan kawasan. PT MEG berada dibawah naungan Artha Group yang dikelola atau dimiliki Tomy Winata.

     

    Memiliki investasi jangka panjang di Pulau Rempang, pelaksanaan investasi PT MEG menyentuh angka Rp381 triliun hingga 2080 mendatang. Dengan demikian, perusahaan tersebut diperkirakan bisa mempekerjakan 306 ribu orang.

     

    Bsnis Tomy Winata yang selanjutnya yakni telekomunikasi. Tomy Winata mengelola PT Artha Telekomindo yang menyediakan layanan dan solusi Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK). Tak hanya itu, JAKTV yang mulai diuji coba tayang perdana pada 2004, kemudian diresmikan pada 2005 silam juga berada dibawah naungan Artha Graha.

      

    Untuk bisnis berikutnya mencakup sektor industri. Tommy Winata melalui AG Network memiliki anak perusahaan, yang terdiri dari PT Sumber Agro Semesta, PT Multiagro Pangan Lestari, PT Harmoni Nirwana Lestari, PT Danatel Pratama, Artha Industrial Hill, Kiara Artha Park, dan Pasifik Agro Sentosa.  

    Sementara pada sektor bisnis perbankan, Tommy Winata memiliki tiga bisnis di bawah Grup Artha Graha, yakni: AG General Insurance, Graha Sentosa Memorial Park, dan Bank Artha Graha Internasional.

    Mengapa Tian Bahtiar tersangka?

    Direktur Pemberitaan Jak TV, Tian Bahtiar (TB), resmi ditetapkan sebagai tersangka karena diduga menjadi kaki tangan dari dua advokat Marcella Santoso (MS) dan Junaedi Saibih (JS)—dalam menyebarkan konten-konten negatif terhadap institusi Kejagung.

    Menurut Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus, Abdul Qohar, TB secara sengaja membuat narasi provokatif dan menyerang reputasi Kejagung atas pesanan MS dan JS.

    Tujuannya jelas: menghalangi proses penyidikan, penuntutan, bahkan pengadilan sejumlah perkara besar yang tengah ditangani. “Tersangka MS dan JS memerintahkan TB memproduksi berita yang menyudutkan Kejaksaan. Semua itu mereka biayai dengan dana mencapai Rp478.500.000,” tegas Qohar dalam konferensi pers di Gedung Kejagung, Jakarta, Selasa (22/4/2025).

    Dana ratusan juta rupiah itu digunakan TB untuk menyebarkan berita-berita manipulatif melalui media sosial dan kanal digital yang terafiliasi dengan Jak TV. Konten-konten ini kerap mengangkat isu kerugian keuangan negara secara sepihak dan tanpa dasar perhitungan valid.

    Tak berhenti di situ, MS dan JS bahkan mendanai rangkaian seminar, demonstrasi, podcast, dan talkshow yang menarasikan propaganda hitam. Semua acara itu diliput oleh TB dan disiarkan ulang di media Jak TV serta disebarkan masif di platform seperti TikTok dan YouTube.

    Kejagung menilai aksi trio tersangka ini dirancang untuk membentuk opini publik negatif terhadap institusi penegak hukum. Mereka berupaya melemahkan fokus penyidik dan menciptakan kesan seolah perkara yang tengah disidik sarat kejanggalan.

    “Mereka ingin perkara ini bebas, atau setidaknya menyabotase konsentrasi penyidik dengan opini-opini menyesatkan,” kata Qohar.

    Dalam upaya menutupi jejak, para tersangka diketahui menghapus sejumlah konten dan berita yang sebelumnya telah tersebar luas. Skandal ini menjadi bukti bahwa informasi dapat menjadi senjata. Namun, teknologi penyadapan Kejagung justru membalikkan arah permainan.

    Dengan ditetapkan Tia sebagai tersangka menjadi pintu masuk tim penyidik gedung bundar Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung membuka lebar penyidikannya. Sebab menurut pakar hukum pidana dari Universitas Bung Karno (UBK) Kurnia Zakaria menegaskan tidak menutup kemungkinan hanya fenomena gunung es.

    “Kejagung mesti terus mengembangkan kasus ini, bisa jadi ini hanya fenomena gunung es. Kita tak bisa lagi tutup mata soal oknum-oknum yang merintangi penyidikan kasus dugaan rasuah yang disidik Kejagung. Saya duga bukan hanya kasus timah dan impor gula. Maka perlu penelusuran lebih jauh lagi,” kata Kurnia kepada Monitorindonesia.com, Seladsa (22/4/2025).

    Bila perlu, tegas Kurnia, Kejagung memeriksa mereka yang menempati level tertinggi di Jak TV itu. “Pemilik saham atau pun pemilk perusahaan tersebut harus juga diperiksa. Hal ini tak lain membuat terang kasus tersebut. Jangan hanya bawahan saja yang dikorbankan atai jadi korban. Kita dukung Kejagung menyikat habis para mafia ini,” tandasnya. 

    Sementara saat akan dibawa ke mobil tahanan pada Selasa (22/4/2025) dini hari, Tian sempat ditanyai wartawan soal keterlibatannya atas kasus itu. Namun, ia tak banyak bicara. “Enggak ada, enggak ada. Kita sama-sama satu profesi,” kata Tian.

  • RKUHAP, Pakar Hukum Tekankan Ada Keseimbangan dalam Sistem Peradilan Pidana

    RKUHAP, Pakar Hukum Tekankan Ada Keseimbangan dalam Sistem Peradilan Pidana

    loading…

    FGD Membedah RKUHAP: Implikasi dan Tantangan dalam Penegakan Hukum di Indonesia yang diselenggarakan Koalisi Indonesia Anti Korupsi di Jakarta, Jumat (21/3/2025). Foto/Dok. SindoNews

    JAKARTA – Adanya tumpang tindih kewenangan dalam RKUHAP menjadi sorotan banyak pihak. Integritas sistem peradilan pidana di Indonesia dinilai dapat terganggu.

    Ahli Hukum Pidana Universitas Trisakti Azmi Syahputra mengatakan, di dalam RKUHAP belum ada keserasian dan keseimbangan wewenang antar aparat penegak hukum. Dengan demikian, seharusnya memang RKUHAP ada sedikit pembaharuan.

    Menurutnya, KUHAP baru mengandung banyak perbaikan, namun hal-hal esensial yang harus disikapi dan diperhatikan. Misalnya terkait prosedur dan batasan koordinasi penyidik dan jaksa penuntut umum. Karena selama ini yang terjadi hanya koordinasi formal.

    ”Misalnya, pada kasus salah satu pimpinan KPK, sudah ditetapkan tersangka oleh kepolisian, namun kasusnya tertahan d kejaksaan dan tidak pernah digelar persidangan,” katanya dalam acara focus group discussion dengan tema Membedah RKUHAP: Implikasi dan Tantangan dalam Penegakan Hukum di Indonesia yang diselenggarakan Koalisi Indonesia Anti Korupsi di Jakarta, Jumat (21/3/2025).

    Azmi menjelaskan, sistem peradilan pidana yang mau dituju diletakkan atas prinsip difrensiasi fungsional. Alasannya, sebenarnya maksud UU adalah gabungan fungsi untuk menegakkan fungsi, menjalankan, dan memutuskan hukum pidana.

    “Jadi dalam RKUHAP harus ada keseimbangan, jangan sampai terjadi rebut merebut dan tumpang tindih kewenangan akibat tidak klik dan tidak terpadunya RKUHAP sebagai satu kesatuan Sistem Peradilan Pidana,” ujarnya.

    Dalam forum yang sama, Guru Besar Universitas Djuanda Henny Nuraeny juga menyoroti dalam RKUHAP terdapat kedudukan yang tidak sejajar antarlembaga penegak hukum . Bahkan mengarah pada dominasi aparat penegak hukum tertentu.

    Henny mengatakan, reformasi perubahan KUHAP dalam perjalanannya memunculkan kritik dari berbagai pihak terutama dalam proses penyidikan. Adanya perbedaan penafsiran seolah-olah aparat penegak hukum dalam RKUHAP kedudukannya tidak sejajar, tidak seimbang, tidak sebanding.

    ”Padahal, seyogyanya aparat penegak hukum itu harus selaras, serasi, dan berimbang kalau menurut hukum. Jadi, tidak boleh kalau satu mengatakan satu lebih dan satu di bawah,” terangnya.

    Acara tersebut juga dihadiri Direktur Eksekutif Koalisi Indonesia Anti Korupsi Rizki Abdul Rahman Wahid, Korpresnas Koalisi Indonesia Muda Onky Fachrur Rozie serta para akademisi, pakar hukum, dan mahasiswa lintas perguruan tinggi di Jakarta.

    (poe)

  • Asas Dominus Litis di RUU KUHAP Timbulkan Tumpang Tindih Kewenangan

    Asas Dominus Litis di RUU KUHAP Timbulkan Tumpang Tindih Kewenangan

    loading…

    CMPRO menggelar FGD dengan tema Penguatan Penegak Hukum dalam KUHAP di Jakarta, Sabtu (22/2/2025). Sejumlah akademisi menyoroti penerapan asas dominus litis dalam draf RUU KUHAP. Foto/Dok. SINDOnews

    JAKARTA – Sejumlah akademisi menyoroti penerapan asas dominus litis dalam draf RUU KUHAP . Asas tersebut berpotensi menimbulkan tumpang tindih kewenangan dalam penegakan hukum di Indonesia.

    Guru Besar Ilmu Hukum Pidana Universitas Trunojoyo Prof Deni Setya Bagus Yuherawan menjelaskan apa itu asas dominus litis. Yakni, asas yang menempatkan lembaga tertentu sebagai pihak penentu, apakah suatu perkara layak dilanjutkan atau dihentikan dalam proses peradilan.

    “Pandangan kami, apabila kewenangan tersebut dimiliki oleh jaksa tentu akan menimbulkan tumpang tindih dalam penegakan kepastian hukum, dan dapat menimbulkan carut-marut,” katanya saat FGD yang digelar Centrum Muda Proaktif (CMPRO) dengan tema Penguatan Penegak Hukum dalam KUHAP di Jakarta, Sabtu (22/2/2025).

    Deni menyebut fungsi kepolisian bakal bergeser jika dominus litis diterapkan. Menurut dia, jaksa cukup berperan sebagai penuntut dalam suatu perkara. Selebihnya RUU KUHAP lebih kepada penguatan fungsi penegak hukum.

    “Kewenangan jaksa sudah jelas dalam penuntutan pidana. Kami mengingatkan bahwa kewenangan jaksa dalam sistem hukum Indonesia sudah ada. Sementara kepolisian memiliki peran dalam penyelidikan dan penyidikan tindak pidana. Tinggal dikuatkan saja,” ungkapnya.

    Ketua Umum CMPRO Onky Fachrur Rozie menekankan agar RUU KUHAP bisa mengakomodir keseimbangan antar lembaga dan kepentingan masyarakat. Bukan kepentingan satu lembaga yang dapat menimbulkan praktik monopolistik dalam penegakan hukum.

    Ia menambahkan, jika RUU KUHAP disahkan, kewenangan jaksa dalam menghentikan atau melanjutkan perkara berpotensi membingungkan masyarakat dalam mencari kepastian hukum. Hal ini akan menimbulkan masalah baru dalam penegakan hukum.

    “Sehingga apabila jaksa diberi wewenang untuk menghentikan suatu perkara yang dilimpahkan oleh kepolisian tentunya akan menimbulkan masalah baru. Jaksa bisa berpotensi menyalahgunakan wewenang atau abuse of power,” terangnya.

    Hadir dalam FGD yakni Onky Fachrur Rozie dan Deni Setya Bagus Yuherawan. Kemudian Ketua Harian CMPRO Rizki Abdul Rahman Wahid; Thabita Napitupulu Puteri Indonesia, Prof Ilyas Indra (Ketua Umum Persatuan Pengacara Syariah dan Hukum seluruh Indonesia DPP PPSHI), Azmi Syahputra (Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti), dan Herman (Dekan Fakultas Hukum Universitas Halu Oleo, Kendari).

    (poe)

  • Ahli Hukum Pidana di Sidang Praperadilan Mbak Ita: Hasil Penyadapan Bisa Dijadikan Alat Bukti – Halaman all

    Ahli Hukum Pidana di Sidang Praperadilan Mbak Ita: Hasil Penyadapan Bisa Dijadikan Alat Bukti – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Ahli Hukum Pidana dari Universitas Trisakti, Azmi Syahputra menyatakan hasil penyadapan dalam pengusutan suatu perkara bisa dijadikan alat bukti untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka.

    Hal itu diungkapkan Azmi saat dihadirkan oleh tim hukum dari Komisis Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai saksi ahli di sidang Praperadilan yang diajukan Wali Kota Semarang Hevearita Gunaryanti Rahayu alias Mbak Ita di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jumat (10/1/2025).

    Azmi menjelaskan, dalam menetapkan seseorang sebagai tersangka diperlukan bukti petunjuk yang mencukupi dalam proses penyelidikan hingga penyidikan.

    “Serapan petunjuk itu adalah dari 5 alat bukti dia bisa katakanlah berdasarkan keterangan saksi, mungkin ada juga keterangan terdakwa dan juga surat,” kata Azmi di ruang sidang.

    Terkait surat, lanjut dia, hal itu bisa meliputi beberapa unsur yakni semua dokumen elektronik, hasil sadap atau kloningan dari ponsel milik seseorang yang tengah terbelit kasus.

    Azmi menyatakan bahwa hasil penyadapan atau ekstraksi dari ponsel yang sebelumnya disita oleh penyidik itu bisa dijadikan suatu alat bukti.

    “Itu juga bisa dijadikan alat bukti karena termasuk dokumen elektronik,” kata dia.

    Hanya saja Azmi menggarisbawahi, hasil penyadapan atau ekstraksi dari ponsel tersebut meski memiliki kesesuaian dengan seseorang yang menjadi subjek suatu kasus.

    Sebab apabila hal itu tidak terpenuhi, maka hasil penyadapan itu haruslah dikesampingkan oleh penyidik.

    “Jadi pada objek atau subjek orang yang dituju ini ada hubungannya tidak, tapi kalau tidak ada hubungannya antara subjek dan objek tentu harus dikesampingkan,” jelasnya.

    Terkait hal ini Azmi pun memiliki alasan, sebab kata dia KPK selaku lembaga penegak hukum yang fokus menangani perkara korupsi, memiliki peraturan bersifat khusus atau Lex Spesialis yang tertuang dalam Undang-Undang KPK.

    Sehingga menurutnya, KPK sesuai namanya yakni Komisi Pemberantasan memiliki arti melakukan serangkaian tindakan baik itu berupa penyelidikan hingga proses penuntutan.

    “Saya selalu mengilustrasikan Yang Mulia mohon maaf, ini seperti berada di sirkuit percepatan. Karena di KUHAP konvensional itu ada pemisahan antara penyelidikan dan penyidikan, maka di KPK ini tidak,” pungkasnya.