Tag: Aziz Yanuar

  • KPK Minta Waktu Dua Bulan Dalami Dugaan Suap Pemilihan Ketua DPD RI – Halaman all

    KPK Minta Waktu Dua Bulan Dalami Dugaan Suap Pemilihan Ketua DPD RI – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui Direktorat Penerimaan Layanan dan Pengaduan Masyarakat (PLPM) masih menelaah laporan dugaan suap pemilihan ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI periode 2024–2029.

    Juru Bicara KPK Tessa Mahardhika Sugiarto menjelaskan, proses telaah dan verifikasi suatu laporan membutuhkan waktu 1,5 hingga 2 bulan.

    “Secara umum bila ada laporan yang masuk ke Direktorat PLPM maka apabila lengkap bukti permulaannya itu kurang lebih memakan waktu antara 1,5 sampai 2 bulan. Untuk proses baik itu verifikasi, penelaahan, sampai dengan pengumpulan bahan keterangan atau yang jamak kita sebut pulbaket,” kata Tessa dalam pernyataannya, Jumat (28/2/2025).

    Dalam rentang waktu itu, kata Tessa, pelapor masih bisa memperkaya barang bukti untuk kemudian diserahkan kepada KPK.

    Setelah bukti dirasa cukup oleh KPK, maka hasil verifikasi akan dipresentasikan oleh Tim PLPM kepada pimpinan. 

    Tindak lanjut berikutnya adalah menentukan apakah laporan tersebut bisa naik ke tahap penindakan.

    “Kalau seandainya semuanya lancar dan cukup, waktunya tadi saya sudah sampaikan antara 1,5 sampai dengan 2 bulan. Untuk bisa dipresentasikan ke atasan dan diekspose, bisa dinaikkan ke Direktorat Penyelidikan atau tidak,” ujar Tessa.

    Sebelumnya, Ketua KPK Setyo Budiyanto mengatakan pihaknya melalui Direktorat PLPM sedang memverifikasi laporan adanya dugaan suap dalam proses pemilihan ketua DPD RI periode 2024–2029.

    “DPD ya? DPD sekarang tahapannya sedang diverifikasi dan divalidasi oleh Tim PLPM. Harapannya proses itu bisa ditentukan apakah jadi kewenangan KPK. Kemudian apakah menyangkut penyelenggara negara, (hasil verifikasi) itu kemudian dipresentasikan apakah bisa ditingkatkan ke tahap selanjutnya,” kata Setyo kepada wartawan, Jumat (21/2/2025).

    Dalam laporan yang masuk ke KPK disebut bahwa 95 senator diduga terlibat proses suap pemilihan ketua DPD RI. 

    Aliran uang disinyalir masuk ke kantong mereka.

    Kata Setyo, KPK membuka peluang mengklarifikasi 95 senator tersebut.

    “Iya nanti kan mengarah seperti itu (klarifikasi), yang mengetahui atau bahkan mengalami secara langsung, mendengar, nah itu pasti dibutuhkan oleh para tim penyelidik dan dumas,” katanya.

    Setyo menegaskan pihaknya tidak pandang bulu. 

    Kendati ditengarai melibatkan 95 senator, KPK memastikan setiap orang memiliki kedudukan yang sama di mata hukum.

    “Kami menempatkan semua perkara tentunya sama. Kalau misalnya tahapan verifikasi dan validasi itu yg dilakukan dumas akurat, ya kami juga memastikan bahwa setiap orang memiliki kedudukan yang sama di mata hukum,” ujar Setyo.

    Sebelumnya, seorang mantan staf di DPD RI melaporkan dugaan suap terkait pemilihan ketua DPD periode 2024–2029 ke KPK. 

    Mantan staf DPD bernama Fithrat Irfan itu menduga terdapat 95 senator atau anggota DPD yang menerima aliran uang suap itu. 

    Hal itu disampaikan Irfan saat melaporkan dugaan korupsi itu ke KPK, Selasa (18/2/2025). 
    Irfan didampingi oleh kuasa hukumnya, Azis Yanuar. 

    Dalam laporannya, Irfan menyebut senator asal Sulawesi Tengah (Sulteng) berinisial RAA yang disebut sebagai mantan bosnya turut menerima suap pemilihan ketua DPD. 

    Tak hanya pemilihan ketua DPD, Irfan menyebut pemilihan wakil ketua MPR dari unsur DPD juga diwarnai praktik suap. 

    “Saya melaporkan salah satu anggota DPD asal Sulawesi Tengah inisial RAA. Indikasinya itu beliau menerima dugaan suap dari untuk kompetisi pemilihan ketua DPD dan wakil ketua MPR unsur DPD. Itu melibatkan 95 orang yang ada, anggota dewan yang ada di DPD dari 152 totalnya,” kata Irfan di Gedung KPK, Jakarta.

    Irfan membeberkan seorang anggota DPD diduga mendapat 13 ribu dolar Amerika Serikat (AS). 
    Uang sebesar 5 ribu dolar AS untuk memberikan suara pada pemilihan ketua DPD, sementara 8 ribu dolar AS lainnya untuk pemilihan wakil ketua MPR dari unsur DPD. 

    “Untuk Ketua DPD RI itu ada nominal 5 ribu dolar AS per orang dan untuk wakil ketua MPR itu ada 8 ribu dolar AS. Jadi ada 13 ribu dolar AS total yang diterima (mantan) bos saya,” kata Irfan. 

    Irfan pun membeberkan modus pemberian uang suap ini. 

    Dikatakannya, uang itu diserahkan secara door to door ke tiap ruangan anggota DPD. 

    Kemudian uang haram itu disetorkan ke rekening bank.

    “Saya berempat semuanya, saya, saudara RAA bos saya, ada dua perwakilan yang dititipkan dari ketua DPD yang terpilih ini. Nah, itu diposisikan sebagai bodyguard. Satu bodyguard, satu driver untuk mengawal uang ini biar enggak bisa tertangkap OTT di jalan. Jadi uang itu ditukarkan dengan suara hak mereka untuk memilih salah satu dari pasangan calon ini,” tutur Irfan.

    Azis Yanuar yang menjadi kuasa hukum Irfan sempat memperlihatkan tanda bukti penerimaan laporan masyarakat. 

    Aziz Yanuar menyatakan telah memberikan bukti-bukti tambahan kepada KPK untuk mengusut kasus dugaan suap ini. 

    Bahkan, katanya, terdapat rekaman suara antara Irfan dengan petinggi partai. 

    “Buktinya tadi ada rekaman pembicaraan antara Pak Irfan dengan seorang petinggi partai. Jadi di sini bukan hanya terkait DPD, ternyata ada juga petinggi partai yang diduga terlibat. Rekaman suara,” katanya.

  • Kasus Dugaan Suap Pemilihan Pimpinan DPD, Komeng: Enggak Ngerti, Saya Orang Baru

    Kasus Dugaan Suap Pemilihan Pimpinan DPD, Komeng: Enggak Ngerti, Saya Orang Baru

    Kasus Dugaan Suap Pemilihan Pimpinan DPD, Komeng: Enggak Ngerti, Saya Orang Baru
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Anggota Dewan Perwakilan (DPD) Alfiansyah
    Komeng
    mengaku tidak tahu soal kasus
    dugaan suap
    terkait pemilihan
    Ketua DPD
    periode 2024-2029 yang kini tengah ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
    Komeng mengaku tidak tahu soal sosok 95 orang yang diduga terlibat dalam suap ini.
    “Saya enggak ngerti, orang baru masuk terus staf enggak ada yang incumbent,” ujar Komeng, saat dihubungi Kompas.com, Rabu (19/2/2025).
    Komeng mengaku, pada masa awal-awal dilantik dulu, dia masih belum mengenal banyak orang.
    “Saya kan enggak hafal tuh orang baru. Maksudnya, ketemu orang-orang tuh, belum kenal banget pada saat itu ya,” lanjut dia.
    Komeng mengatakan, ketika berada di Jakarta pada saat pelantikan, 1 Oktober 2024, dia lebih banyak berkumpul dengan sesama anggota DPD dari daerah pemilihan (Dapil) Jawa Barat.
    “Jadi, cuman datang pagi pulang, paling kadang-kadang saja lah nongkrong di restonya gitu. Paling dari Jabar yang kenal, waktu itu pas awal-awal,” kata Komeng.
    Diberitakan, seorang mantan staf di Dewan Perwakilan Daerah (DPD),
    Muhammad Fithrat Irfan
    , melaporkan kasus dugaan suap terkait pemilihan Ketua DPD periode 2024-2029 ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
    Irfan mengaku melaporkan mantan atasannya, dalam hal ini senator asal Sulawesi Tengah (Sulteng) berinisial RAA, yang diduga menerima suap dalam proses pemilihan Ketua DPD.
    “Saya melaporkan salah satu anggota DPD asal Sulawesi Tengah inisial RAA. Indikasinya itu beliau menerima dugaan suap untuk kompetisi pemilihan
    ketua DPD
    dan wakil ketua MPR unsur DPD. Itu melibatkan 95 orang yang ada, anggota dewan yang ada di DPD dari 152 totalnya,” kata Irfan bersama kuasa hukumnya, Aziz Yanuar, di Gedung Merah Putih, Jakarta, Selasa (18/2/2025).
    Irfan mengatakan, seorang anggota DPD diduga mendapat 13.000 Dollar Amerika Serikat (AS), di mana uang sebesar 5.000 Dollar AS untuk memberikan suara pada pemilihan ketua DPD, sementara 8.000 Dollar AS lainnya untuk pemilihan wakil ketua MPR dari unsur DPD.
    “Untuk Ketua DPD RI itu ada nominal 5.000 Dollar AS per orang dan untuk wakil ketua MPR itu ada 8.000 Dollar AS. Jadi ada 13.000 Dollar AS total yang diterima (mantan) bos saya,” ujarnya.
    Irfan menjelaskan, pemberian uang dilakukan secara door to door ke tiap ruangan anggota DPD.
    Kemudian, uang suap itu disetorkan ke rekening bank.
    “Saya berempat semuanya, saya, Saudara RAA bos saya, ada dua perwakilan yang dititipkan dari ketua DPD yang terpilih ini. Nah, itu diposisikan sebagai bodyguard. Satu bodyguard, satu driver untuk mengawal uang ini biar enggak bisa tertangkap OTT di jalan. Jadi uang itu ditukarkan dengan suara hak mereka untuk memilih salah satu dari pasangan calon ini,” ucap dia.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Eks Staf Laporkan Dugaan Suap Pemilihan Pimpinan DPD ke KPK

    Eks Staf Laporkan Dugaan Suap Pemilihan Pimpinan DPD ke KPK

    Eks Staf Laporkan Dugaan Suap Pemilihan Pimpinan DPD ke KPK
    Tim Redaksi
     
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Seorang mantan staf di Dewan Perwakilan Daerah (DPD),
    Muhammad Fithrat Irfan
    melaporkan kasus
    dugaan suap
    terkait pemilihan
    Ketua DPD
    periode 2024-2029 ke
    Komisi Pemberantasan Korupsi
    (KPK).
    Irfan mengaku melaporkan mantan atasannya, dalam hal ini senator asal Sulawesi Tengah (Sulteng) berinisial RAA, yang diduga menerima suap dalam proses pemilihan Ketua DPD.
    “Saya melaporkan salah satu anggota DPD asal Sulawesi Tengah inisial RAA. Indikasinya itu beliau menerima dugaan suap untuk kompetisi pemilihan
    ketua DPD
    dan wakil ketua MPR unsur DPD. Itu melibatkan 95 orang yang ada, anggota dewan yang ada di DPD dari 152 totalnya,” kata Irfan bersama kuasa hukumnya, Aziz Yanuar, di Gedung Merah Putih, Jakarta, Selasa (18/2/2025).
    Irfan mengatakan, seorang anggota DPD diduga mendapat 13.000 Dollar Amerika Serikat (AS), di mana uang sebesar 5.000 Dollar AS untuk memberikan suara pada pemilihan ketua DPD, sementara 8.000 Dollar AS lainnya untuk pemilihan wakil ketua MPR dari unsur DPD.
    “Untuk Ketua DPD RI itu ada nominal 5.000 Dollar AS per orang dan untuk wakil ketua MPR itu ada 8.000 Dollar AS. Jadi ada 13.000 Dollar AS total yang diterima (mantan) bos saya,” ujarnya.
    Irfan menjelaskan, pemberian uang dilakukan secara
    door to door
    ke tiap ruangan anggota DPD. Kemudian, uang suap itu disetorkan ke rekening bank.
    “Saya berempat semuanya, saya, Saudara RAA bos saya, ada dua perwakilan yang dititipkan dari ketua DPD yang terpilih ini. Nah, itu diposisikan sebagai
    bodyguard
    . Satu
    bodyguard
    , satu
    driver
    untuk mengawal uang ini biar enggak bisa tertangkap OTT di jalan. Jadi uang itu ditukarkan dengan suara hak mereka untuk memilih salah satu dari pasangan calon ini,” ucap dia.
    Secara terpisah, Juru Bicara KPK Tessa Mahardhika Sugiarto mengatakan, pihaknya tidak memiliki akses untuk mengetahui laporan yang diadukan ke Pelayanan Laporan Pengaduan Masyarakat (PLPM) karena bersifat rahasia.
    Namun, Tessa mengatakan, laporan tersebut biasanya akan diverifikasi terlebih dahulu.
    “Secara umum, pelaporan yang masuk akan diverifikasi, telaah, dan pulbaket terlebih dahulu. Dan akan dinilai apakah ada yang perlu dilengkapi dari pelapor atau bisa ditindaklanjuti ke tahap Penyelidikan,” kata Tessa saat dihubungi, Selasa (18/7/2025).
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • 95 Senator Diduga Terima Suap untuk Pemilihan Ketua DPD, Eks Staf Klaim Punya Rekaman Suara

    95 Senator Diduga Terima Suap untuk Pemilihan Ketua DPD, Eks Staf Klaim Punya Rekaman Suara

    Laporan Wartawan TribunJakarta.com Elga Hikari Putra

    TRIBUNJAKARTA.COM – Sebanyak 95 Anggota DPD RI atau senator diduga menerima suap untuk pemilihan Ketua DPD RI periode 2024-2029.

    Hal itu diungkapkan oleh Muhammad Fithrat Irfan, yang mengaku mantan staf dari Anggota DPD RI asal Sulawesi Tengah, Rafiq Al Amri.

    Selasa (18/2/2025), Irfan menyampaikan bukti tambahan yang dimilikinya ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas laporan yang telah dibuatnya pada Desember 2024 lalu.

    Ia menyebut bukti yang diserahkan kepada KPK yakni rekaman suara antara dirinya dengan salah satu petinggi partai terkait uang suap tersebut.

    “Tanggal 6 Desember itu saya melaporkan salah satu anggota DPD RI asal Sulawesi Tengah inisial RAA Rafiq Al-Amri. Indikasinya itu beliau menerima dugaan suap dari untuk kompetisi pemilihan Ketua DPD RI dan Wakil Ketua MPR RI unsur DPD.

    Itu melibatkan 95 orang yang ada, yang anggota Dewan yang ada di DPD RI dari 152 totalnya,” kata Irfan usai menyerahkan bukti laporan di KPK.

    Irfan menjelaskan, uang suap yang diduga diterima oleh 95 senator itu dalam mata uang dolar Amerika Serikat.

    Untuk membeli suara dalam pemilihan Ketua DPD RI, Irfan menyebut 95 senator masing-masing menerima 5.000 dolar Amerika Serikat.

    Sedangkan untuk pemilihan Wakil Ketua MPR dari unsur DPD, uang suap yang diterima ke-95 senator itu senilai 8.000 dolar Amerika Serikat sehingga total keseluruhan ada 13.000 dolar Amerika Serikat yang diterima dari dua pemilihan tersebut. 

    “Transaksinya itu door to door ke kamar-kamar dari anggota Dewan itu. Jadi dari dolar ke rupiah konversinya. 

    Setelah itu masing-masing dari kita, para staf ini diminta untuk setorkan diri di bank anggota dewan itu,” tuturnya.

    Sementara itu, pengacara Aziz Yanuar yang turut mendampingi Irfan mengatakan bahwa pelapor sempat mengalami intimidasi saat hendak membawa kasus ini ke KPK.

    “Soal bahwa proses gratifikasi itu, itu melibatkan beberapa pihak dan juga dalam hal tersebut ada dana-dana yang disediakan.

    Kemudian juga pihak tersebut meminta Pak Irvan untuk tidak melanjutkan hal ini. Ada intimidasi dan dugaan ancaman,” kata Aziz.

    Aziz pun meyakini dalam waktu dekat lembaga antirasuah itu akan memanggil pihak yang terlibat dalam kasus tersebut.

    “Tadi alhamdulillah juga pihak KPK memeriksanya juga mengapresiasi, dan dalam waktu dekat Insya Allah akan melanjutkan proses ini kepada pemeriksaan lebih lanjut kepada pihak-pihak yang terkait, baik itu dari anggota DPD ataupun pihak-pihak yang ada hubungan dengan pelaporan tersebut,” paparnya.

    Akses TribunJakarta.com di Google News atau WhatsApp Channel. Pastikan Tribunners sudah install aplikasi WhatsApp ya

  • Mediasi Pertama Gugatan Rp 5.246 T Habib Rizieq dkk ke Jokowi Buntu

    Mediasi Pertama Gugatan Rp 5.246 T Habib Rizieq dkk ke Jokowi Buntu

    Jakarta

    Mediasi pertama gugatan perdata Rp 5.246,75 triliun yang diajukan Habib Rizieq Shihab (HRS) dkk melawan Presiden RI ke-7 Joko Widodo (Jokowi) telah digelar. Namun, belum ada kesepakatan yang dicapai dalam mediasi tersebut.

    Mediasi digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Selasa (26/11/2024). Mediator nonhakim yang memimpin mediasi itu adalah Jaury Hukom.

    Pihak Habib Rizieq dkk selaku penggugat diwakili oleh kuasa hukumnya. Jokowi selaku tergugat juga diwakili oleh kuasa hukumnya.

    Mediasi berlangsung tertutup dan belum menemukan kesepakatan bersama. Mediasi akan dilanjutkan pada Selasa (3/12).

    “Belum (ada kesepakatan), karena kan ini mediasi hari pertama. Para pihak hadir diwakili oleh kuasa hukum masing-masing, selanjutnya ada mediasi kedua pada tanggal 3 Desember,” kata mediator nonhakim, Jaury Hukom, di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

    Jaury mengatakan kuasa Habib Rizieq dkk dan Jokowi menyebut kliennya akan hadir. Dia mengatakan mediasi akan dilakukan selama 1 bulan.

    Sebelumnya, Habib Rizieq Shihab bersama enam orang lainnya melayangkan gugatan perdata ke Jokowi. Dalam salah satu petitum gugatannya, pihak penggugat menuntut Jokowi selaku tergugat untuk membayar ganti rugi sebesar Rp 5.246,75 triliun. Dari mana kalkulasi angka itu muncul?

    “Kalkulasinya dari utang luar negeri Indonesia sejak beliau menjabat yang diduga menimbulkan kerugian sebesar itu,” kata pengacara HRS, Aziz Yanuar, saat dihubungi, Jumat (4/10).

    “Gugatannya perihal dugaan kebohongan dengan menggunakan instrumen ketatanegaraan,” kata Aziz.

    Total ada tujuh orang yang menjadi penggugat dalam gugatan perdata tersebut. Selain HRS, ada Munarman yang masuk sebagai salah satu penggugat. Berikut ini nama-namanya:

    Habib Rizieq Shihab
    Mayjen TNI (Purn) Soenarko
    Eko Santjojo
    Edy Mulyadi
    M Mursalim R
    Marwan Batubara
    Munarman

    Berikut ini petitum gugatan HRS dkk ke Jokowi:

    1. Menerima dan mengabulkan gugatan para penggugat untuk seluruhnya
    2. Menyatakan tergugat (Joko Widodo) telah melakukan perbuatan melanggar hukum
    3. Menghukum tergugat (Joko Widodo) membayar ganti kerugian materiil sebesar Rp 5.246,75 triliun untuk disetorkan kepada kas negara.

    (mib/haf)