Tag: Ayatollah Ali Khamenei

  • Khamenei Puji ‘Kemenangan’ Iran, Klaim Israel Nyaris Hancur

    Khamenei Puji ‘Kemenangan’ Iran, Klaim Israel Nyaris Hancur

    Teheran

    Pemimpin tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei, menyampaikan komentar pertamanya sejak negaranya menyepakati gencatan senjata dengan Israel yang mengakhiri perang selama 12 hari antara kedua negara. Khamenei memuji apa yang disebutnya sebagai “kemenangan” Iran atas Israel.

    Khamenei, seperti dilansir AFP dan CNN, Kamis (26/6/2025), juga menyebut Israel “nyaris kolaps dan hancur” saat menghadapi serangan balasan Iran.

    “Saya ingin mengucapkan selamat kepada bangsa Iran yang hebat… atas kemenangannya atas rezim Zionis yang sesat,” kata Khamenei dalam pernyataan publik pertamanya sejak gencatan senjata berlaku pada Selasa (24/6) waktu setempat.

    Dalam pernyataannya, yang dilaporkan kantor berita IRNA dan disiarkan televisi pemerintah Iran ini, Khamenei mengklaim Iran nyaris “menghancurkan” Israel.

    “Terlepas dari semua kegaduhan, dan dengan semua klaim tersebut, rezim Zionis hampir runtuh dan hancur di bawah serangan-serangan Republik Islam (Iran),” sebut Khamenei.

    Perang antara Iran dan Israel meletus pada 13 Juni lalu ketika Tel Aviv melancarkan serangan udara besar-besaran menargetkan fasilitas nuklir dan militer Teheran, yang diklaim bertujuan mencegah musuh bebuyutannya itu mengembangkan senjata nuklir. Iran telah berulang kali membantah tuduhan semacam itu.

    Pertempuran diakhiri dengan gencatan senjata yang mulai berlaku sejak Selasa (24/6), yang menghentikan pertempuran udara yang sengit selama 12 hari.

    Tonton juga “Khamenei: Pernyataan Presiden AS Konyol, Iran Tak Takut Ancaman!” di sini:

    Menurut data terbaru Kementerian Kesehatan Iran, rentetan serangan udara Israel telah menewaskan sedikitnya 627 orang dan melukai lebih dari 4.800 orang lainnya selama perang berlangsung.

    Gelombang serangan balasan Iran, menurut data otoritas Tel Aviv, dilaporkan menewaskan sedikitnya 28 orang di wilayah Israel.

    Khamenei Sebut AS Tak Dapat Apa Pun dari Serangan ke Iran

    Khamenei, dalam pernyataannya, juga menyebut bahwa Amerika Serikat (AS), yang mengebom fasilitas nuklir Iran, “tidak memperoleh apa pun” dari seranganya tersebut.

    Disebutkan oleh Khamenei bahwa AS “terlibat langsung dalam perang tersebut, meyakini bahwa penolakan untuk melakukan intervensi akan menyebabkan kehancuran total rezim Zionis”.

    “Amerika Serikat tidak memperoleh apa pun dari perang ini,” tegas Khamenei.

    Dia mengklaim Iran telah memberikan “tamparan keras” dengan membalas serangan AS tersebut melalui serangan terhadap pangkalan militer Washington yang ada di Qatar.

    “Republik Islam (Iran) menang, dan sebagai balasannya, telah memberikan tamparan keras di wajah Amerika,” sebutnya.

    Tonton juga “Khamenei: Pernyataan Presiden AS Konyol, Iran Tak Takut Ancaman!” di sini:

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • Korea Utara Pelajari Serangan AS terhadap Iran

    Korea Utara Pelajari Serangan AS terhadap Iran

    Jakarta

    Korea Utara mengecam keras serangan militer Amerika Serikat terhadap tiga situs nuklir utama Iran, sebagai pelanggaran terhadap kedaulatan wilayah dan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa.

    “Masyarakat internasional yang adil harus menyuarakan kecaman dan penolakan bulat terhadap tindakan konfrontatif AS dan Israel,” demikian pernyataan Kementerian Luar Negeri Korea Utara seperti dikutip kantor berita Yonhap.

    Pyongyang sebelumnya juga telah menyebut serangan rudal Israel terhadap Iran sebagai “tindakan keji.”

    Aliansi Korea Utara–Iran

    Korea Utara yang bersenjata nuklir selama ini menjalin hubungan erat dengan Iran. Selama puluhan tahun, kedua negara diduga mengadakan kerja sama militer, termasuk dalam pengembangan rudal balistik.

    Ilmuwan Iran diketahui telah meningkatkan teknologi hasil kolaborasi tersebut.

    Sekitar dua dekade lalu, Korea Utara mulai mengirimkan tenaga ahli spesialis terowongan bawah tanah ke Iran. Pengalaman mereka berasal dari Perang Korea yang berlangsung pada 1950, di mana Korea Utara membangun banyak fasilitas militer strategis di bawah tanah untuk menghindari deteksi dan serangan musuh.

    Kini, Pyongyang diyakini mengkaji efektivitas desain perlindungan fasilitas bawah tanahnya menyusul penggunaan senjata GBU-57 “massive ordnance penetrator” oleh AS dalam Operation Midnight Hammer terhadap fasilitas nuklir bawah tanah Fordow di Iran.

    “Saya percaya kesimpulan yang akan diambil Korea Utara adalah bahwa mereka harus mempercepat kemampuan senjata nuklir dan semakin memperkuat lokasi penyimpanan mereka,” lanjutnya.

    Chun juga mengatakan bahwa Korea Utara kemungkinan akan menambah pertahanan udara serta opsi balasan serangan sebagai langkah perlindungan tambahan.

    Peluang kecil bagi dialog

    Ketika ditanya apakah serangan tersebut dapat mendorong Pyongyang kembali ke meja perundingan, Chun menjawab tegas, “Sama sekali tidak. Itu bukan sifat mereka.”

    Namun dia menambahkan, Korea Utara kemungkinan besar juga terkejut dengan ketegasan pemerintahan Donald Trump.

    “Ini adalah Amerika yang belum pernah kita lihat selama bertahun-tahun, dan jelas mengejutkan Korea Utara,” ujarnya. “Prioritas Korut sekarang adalah memastikan hal serupa tidak terjadi terhadap mereka, dan karena itu Pyongyang akan mengamati dengan seksama dan mempercepat program senjata mereka.”

    Leif-Eric Easley, profesor studi internasional di Universitas Ewha Womans, Seoul, mengatakan bahwa Pyongyang memahami situasinya berbeda dengan Teheran, baik secara geografis, dukungan sekutu, maupun kemajuan program nuklir.

    “Program nuklir Korea Utara jauh lebih maju, dengan senjata yang mungkin sudah siap diluncurkan melalui berbagai sistem, termasuk ICBM,” kata Easley, merujuk pada rudal balistik atarbenua.

    “Rezim Kim dapat mengancam wilayah dataran AS, dan Seoul berada dalam jangkauan berbagai jenis senjata Korea Utara.”

    Sementara dalam kasus Iran, Israel memanfaatkan keunggulan intelijen, teknologi, dan pelatihan, untuk melumpuhkan pertahanan udara, mengeliminasi personel penting, dan kemampuan serangan balik Iran.

    “Korea Utara akan belajar dari kesalahan Iran. Korea Selatan lebih berhati-hati daripada Israel, dan Cina serta Rusia berada dalam posisi lebih baik untuk membantu Pyongyang dibanding posisi Iran saat ini,” ujar Easley.

    Koordinasi Rusia dengan Iran dan Korea Utara

    Easley menambahkan bahwa pemimpin Korea Utara Kim Jong Un juga akan semakin bergantung pada aliansinya dengan Presiden Rusia Vladimir Putin untuk memperoleh teknologi senjata terbaru dalam jumlah cukup guna mempertahankan rezimnya.

    “Tidak mengherankan jika Moskow segera menjamu menteri luar negeri Iran setelah serangan AS, dan Putin mengirim Sergei Shoigu untuk bertemu Kim Jong Un saat para pemimpin G7 berkumpul di Kanada,” katanya.

    “Koordinasi Rusia dengan Iran dan Korea Utara menunjukkan bahwa isu keamanan di berbagai kawasan kini semakin saling terkait.”

    Meski begitu, Chun menegaskan bahwa prioritas utama Kim tetaplah keselamatannya sendiri serta kelangsungan satu-satunya dinasti komunis di dunia.

    Kim dikabarkan sangat terkejut ketika Presiden Trump memberi isyarat bahwa militer AS mengetahui lokasi persembunyian pemimpin tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei, dan mendukung perubahan rezim di Teheran.

    “Kim kini sangat terlindungi dari ancaman ‘serangan asasinasi’, dengan sistem kerahasiaan tinggi atas lokasi dan pergerakannya,” kata Chun.

    “Saya yakin dia akan mempertahankan tingkat kerahasiaan itu, dan memastikan informasi tentang keberadaannya sangat terbatas.”

    Artikel ini pertama kali terbit dalam Bahasa Inggris

    Diadaptasi oleh Rizki Nugraha

    Editor: Yuniman Farid

    Tonton juga “Kenapa Ya Kim Jong Un Selalu Mengenakan Jaket Kulit?” di sini:

    (ita/ita)

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • Iran Akan Gelar Pemakaman Kenegaraan untuk Komandan-Ilmuwan yang Tewas

    Iran Akan Gelar Pemakaman Kenegaraan untuk Komandan-Ilmuwan yang Tewas

    Teheran

    Iran akan menggelar seremoni pemakaman kenegaraan untuk para komandan militer senior dan para ilmuwan nuklir mereka yang tewas akibat rentetan serangan militer Israel selama perang berkecamuk selama 12 hari. Pemakaman kenegaraan itu akan digelar pada Sabtu (28/6) mendatang.

    “Seremoni pemakaman nasional untuk… para komandan dan ilmuwan yang menjadi martir dalam agresi rezim Zionis akan digelar pada hari Sabtu (28/5) mulai pukul 08.00 pagi waktu setempat,” demikian dilaporkan kantor berita resmi Iran, IRNA, seperti dilansir AFP, Rabu (25/6/2025).

    Pemakaman kenegaraan itu dijadwalkan akan digelar di ibu kota Teheran.

    Pengumuman kantor berita Iran soal pemakaman kenegaraan ini disampaikan setelah gencatan senjata mulai berlaku antara Iran dan Israel pada Selasa (24/6) waktu setempat, menyusul pengumuman mengejutkan oleh Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump yang bertindak sebagai mediator.

    Kantor berita IRNA juga melaporkan bahwa Hossein Salami, Kepala Garda Revolusi Iran yang tewas dalam serangan hari pertama Israel pada 13 Juni lalu, akan dimakamkan pada Kamis (26/6) besok di wilayah Iran bagian tengah.

    Serangan udara besar-besaran yang dilancarkan militer Israel terhadap target nuklir dan militer Iran pada 13 Juni lalu, atau hari pertama dari 12 hari perang, menewaskan sejumlah pejabat tinggi Teheran, termasuk Salami, yang dekat dengan pemimpin tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei.

    Area-area permukiman di berbagai wilayah Iran juga terkena dampak pertempuran udara tersebut, dengan Kementerian Kesehatan Teheran melaporkan sedikitnya 610 orang tewas akibat rentetan serangan Israel selama perang berkecamuk. Lebih dari 4.700 orang lainnya dilaporkan mengalami luka-luka.

    Lihat juga Video ‘Peristiwa Besar dalam Hubungan Iran-AS Sejak 1953 Hingga Kini’:

    Sementara itu, menurut angka resmi otoritas Tel Aviv, serangan balasan Iran terhadap Israel telah menewaskan sedikitnya 28 orang.

    Setelah gencatan senjata yang rapuh akhirnya berlaku antara kedua negara, Perdana Menteri (PM) Israel Benjamin Netanyahu memuji “kemenangan bersejarah” negaranya dalam perang 12 hari melawan Iran. Netanyahu berjanji untuk mencegah Teheran membangun kembali fasilitas nuklirnya.

    Sementara Presiden Iran Masoud Pezeshkian, saat mengumumkan berakhirnya perang 12 hari melawan Israel, menyatakan bahwa negaranya akan terus “menegaskan hak-haknya yang sah” untuk penggunaan tenaga nuklir secara damai.

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • Iran Diam-Diam Siapkan Pengganti Khamenei, Ini 2 Calon Terkuat

    Iran Diam-Diam Siapkan Pengganti Khamenei, Ini 2 Calon Terkuat

    Daftar Isi

    Jakarta, CNBC Indonesia – Proses pencarian pengganti Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei mengalami percepatan signifikan di tengah lonjakan eskalasi militer dengan Israel dan Amerika Serikat.

    Lima sumber yang mengetahui langsung diskusi-diskusi internal menyebut kepada Reuters bahwa komite rahasia beranggotakan tiga ulama senior, yang dibentuk oleh Khamenei sendiri dua tahun lalu, kini mengintensifkan perencanaan suksesi.

    Khamenei, yang kini berusia 86 tahun, dilaporkan telah mengungsi bersama keluarganya dan berada di bawah perlindungan pasukan elite Garda Revolusi, Vali-ye Amr. Ia menerima pengarahan rutin mengenai perkembangan diskusi suksesi, menurut seorang pejabat keamanan tinggi Iran.

    “Jika Khamenei terbunuh, sistem pemerintahan akan segera menunjuk penerusnya untuk menunjukkan stabilitas dan kesinambungan,” ujar salah satu sumber yang meminta identitasnya dirahasiakan mengingat sensitivitas isu ini, dikutip Selasa (24/6/2025).

    Dua Nama yang Mencuat

    Dalam diskusi internal, dua kandidat utama muncul sebagai calon kuat pengganti Khamenei: Mojtaba Khamenei (56), putra sang pemimpin tertinggi, dan Hassan Khomeini (53), cucu dari pendiri Republik Islam Iran, Ayatollah Ruhollah Khomeini.

    Mojtaba Khamenei dikenal sebagai figur konservatif yang memiliki pandangan serupa dengan ayahnya dalam berbagai isu, mulai dari sikap keras terhadap oposisi hingga terhadap negara-negara Barat. Ia tak pernah memegang jabatan resmi dalam pemerintahan Iran, namun diyakini berpengaruh kuat sebagai pengatur akses ke Khamenei.

    Sebaliknya, Hassan Khomeini dikenal lebih moderat dan memiliki hubungan dekat dengan faksi reformis yang mengadvokasi pelonggaran sosial-politik. Meski demikian, ia tetap dihormati oleh ulama senior dan Garda Revolusi karena garis keturunannya.

    Sabtu lalu, sebelum fasilitas nuklir Iran dibombardir AS, Hassan menyatakan dalam pesan publik: “Saya sekali lagi menyatakan dengan rendah hati bahwa hamba kecil dan tidak berarti ini siap hadir dengan bangga di medan mana pun yang Anda anggap perlu.”

    Lima sumber menyebut bahwa di tengah konflik terbaru dengan Israel dan Amerika, nama Hassan Khomeini menguat karena dianggap sebagai figur yang bisa menghadirkan wajah yang lebih bisa diterima baik secara domestik maupun internasional.

    Dinasti dan Keterbukaan Politik

    Meski Mojtaba disebut sebagai pilihan kesinambungan, sejumlah pihak di internal kekuasaan menyadari bahwa penerus bergaris keturunan langsung dari Khamenei bisa memunculkan kekhawatiran rakyat Iran akan kembalinya sistem monarki yang justru ditumbangkan Revolusi Islam Iran pada 1979. Bahkan, Khamenei sendiri disebut beberapa kali menolak ide suksesi dari ayah ke anak.

    “Apakah Republik Islam akan bertahan atau tidak, yang jelas akan menjadi sangat berbeda, karena konteks eksistensinya telah berubah secara mendasar,” kata analis politik Iran berbasis di London, Hossein Rassam.

    Ia menilai Hassan Khomeini bisa menjadi figur transisi yang membawa perubahan pelan namun stabil.

    Namun begitu, Khomeini sebelumnya sempat dilarang mencalonkan diri dalam pemilu Majelis Ahli pada 2016 oleh Dewan Penjaga yang didominasi faksi garis keras. Para perancang suksesi menyadari bahwa meski memiliki daya tarik luas di dalam negeri, ia juga membawa risiko politik internal dari kelompok konservatif.

    Tantangan Penunjukan Pemimpin Baru

    Ancaman terhadap Khamenei bukan hanya berasal dari usianya yang menua, tetapi juga dari luar negeri. Presiden AS Donald Trump pekan lalu mengeklaim di media sosial bahwa pihaknya mengetahui lokasi persembunyian Khamenei.

    “Kami tahu persis di mana si ‘Pemimpin Tertinggi’ itu bersembunyi. Dia target yang mudah,” tulisnya.

    Situasi menjadi makin genting sejak pembunuhan pemimpin Hizbullah Sayyed Hassan Nasrallah oleh Israel pada September lalu, serta serangan rudal terbaru AS terhadap fasilitas nuklir Iran.

    Jika Khamenei wafat, instalasi pemimpin baru bisa menjadi proses yang penuh tantangan. Sejumlah komandan senior Garda Revolusi telah terbunuh dalam serangan udara Israel, yang dapat memperumit transisi kekuasaan mengingat militer elite itu selama ini berperan penting menjaga otoritas pemimpin tertinggi.

    “Bisa saja muncul nama yang tidak dikenal, dan hanya dijadikan boneka oleh Garda Revolusi,” kata Ali Vaez dari International Crisis Group. Ia mengingatkan bahwa pemimpin baru bisa saja tidak memiliki kekuatan sekuat Khamenei.

    Tantangan Legitimasi

    Secara konstitusional, pemimpin tertinggi Iran dipilih oleh Majelis Ahli yang beranggotakan 88 ulama senior. Anggota majelis ini dipilih melalui pemilu nasional, namun hanya kandidat yang disetujui oleh Dewan Penjaga, yang berpihak pada Khamenei, yang bisa maju.

    Sumber menyebut bahwa selain Mojtaba dan Hassan, beberapa nama lain telah tersingkir dari bursa suksesi. Mantan Presiden Ebrahim Raisi tewas dalam kecelakaan helikopter tahun 2024, sedangkan tokoh senior seperti Hashemi Rafsanjani dan Mahmoud Hashemi Shahroudi telah wafat sebelumnya.

    Ayatollah Sadegh Amoli Larijani juga disebut telah tersisih dari perhitungan. Nama lain seperti Ayatollah Alireza Arafi masih disebut, namun dianggap tidak sekuat dua kandidat utama.

    Proses suksesi ini mencerminkan sejarah Iran saat Ruhollah Khomeini wafat pada 1989. Saat itu, Khamenei yang hanya seorang ulama menengah dan mantan presiden, dipilih meski awalnya diragukan banyak kalangan.

    Namun dalam waktu tiga dekade, ia berhasil memusatkan kekuasaan dan mengandalkan Garda Revolusi untuk menekan lawan-lawan politiknya.

    Kini, siapapun yang menggantikan Khamenei akan menghadapi tantangan yang jauh lebih kompleks, baik dari dalam negeri yang dilanda krisis ekonomi dan ketidakpuasan rakyat, maupun dari luar negeri yang terus menekan Iran melalui sanksi dan tekanan militer.

     

    (luc/luc)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Amerika Serikat Panen Protes Usai Hantam Iran

    Amerika Serikat Panen Protes Usai Hantam Iran

    FAJAR.CO.ID, INTERNASIONAL– Usai melakukan serangan ke situs nuklir Iran, Amerika Serikat tidak mendapatkan dukungan, justru menuai protes.

    Aksi protes berdatangan dari sejumlah negara di berbagai belahan dunia, seperti para demonstran yang berbaris dan berkumpul di Times Square di New York City, Amerika Serikat, 22 Juni 2025.

    Spanduk bertuliskan “Tidak ada lagi perang!” yang dipegang oleh seorang demonstran, hal ini menandakan tindakan Trump sangat ditentang oleh warganya.

    Tidak hanya di Amerika Serikat, aksi penolakan juga digelar di dekat Kedutaan Besar AS di Tokyo, Jepang.

    Aksi protes di Tokyo sangat mengecam serangan AS terhadap fasilitas nuklir Iran, bahkan sejumlah poster hingga bendera Palestina berkibar saat aksi berlangsung.

    Selanjutnya, aksi proses atas serangan Amerika Serikat terhadap Iran datang dari Athena, Yunani. Seorang wanita tampak memegang poster yang berisi ketidaksetujuan yang digelar oleh Pemuda Komunis Yunani.

    Tidak hanya itu, sebagai bentuk solidaritas terhadap Iran di tengah konflik Iran-Israel. Demonstrasi juga digelar di distrik Syiah Kadhimiya, Baghdad, dan Irak.

    Dalam protes tersebut, massa mengibarkan bendera Iran serta Irak dan juga membawa poster Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei.

    Sebagai informasi, konflik belum juga redam sejak 13 Juni 2025, dimana terjadinya serangan Israel ke Iran.

    Serangan yang dilakukan mengakibatkan 3.000 lebih orang yang terluka, hingga400 orang dinyatakan tewas.

    Sementara itu, Israel mencatat 25 orang dinyatakan tewas dan 2.500 luka pada konflik tersebut.

  • ‘Putra Mahkota’ Iran Siap Ambil Alih Kekuasaan dari Khamenei

    ‘Putra Mahkota’ Iran Siap Ambil Alih Kekuasaan dari Khamenei

    Paris

    Reza Pahlavi, putra Shah terakhir Iran yang diasingkan sejak revolusi tahun 1979 silam, menawarkan diri sebagai pemimpin sementara untuk mengambil alih kekuasaan dari pemimpin tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei. Pahlavi meminta negara-negara Barat untuk mendukung penuh perubahan rezim di Teheran.

    Pahlavi yang dijuluki “Putra Mahkota Iran” oleh para pendukungnya, seperti dilansir Politico, Selasa (24/6/2025), mengimbau masyarakat internasional untuk membantu rakyat Iran dalam menggulingkan Khamenei dan kediktatoran keagamaannya.

    Pahlavi, dalam wawancara di Paris, Prancis pada Senin (23/6) mengatakan bahwa dibutuhkan tindakan militer untuk menyingkirkan aparatus teror rezim tersebut dan juga langkah-langkah praktis untuk mendukung kelompok oposisi dengan internet dan komunikasi lebih baik, serta aksi massa secara besar-besaran.

    “Saya ada di sini pada hari ini untuk menyerahkan diri kepada rekan-rekan senegara saya untuk memimpin mereka di jalan perdamaian,” kata Pahlavi dalam konferensi pers pada Senin (23/6) waktu setempat.

    “Kami adalah orang-orang yang bangga, orang-orang tua, dan orang-orang tangguh … Inilah momen kita. Saya bersama Anda. Mari kita membangun Iran yang baru ini bersama-sama,” cetusnya.

    Pahlavi yang kini berusia 64 tahun, sudah menghabiskan 46 tahun terakhir di luar Iran setelah revolusi Islam menggulingkan monarki pada tahun 1979 silam. Pemerintahan Shah mencakup polisi keamanan negara yang ditakuti, dan Pahlavi menuai banyak kritikan dari para aktivis oposisi yang tidak ingin monarki kembali.

    Namun, dia juga memiliki basis pendukung yang bersemangat dari para penganut monarki di dalam dan di luar Iran, serta telah mengadvokasi perubahan rezim di Teheran selama beberapa dekade.

    Simak berita selengkapnya di halaman selanjutnya.

    Sekarang, Pahlavi melihat peluang terbaik yang pernah dimilikinya untuk mewujudkan tujuannya itu.

    Perang udara yang berlangsung antara Iran dan Israel sejak 13 Juni lalu, ditambah keterlibatan Amerika Serikat (AS) yang mengebom fasilitas nuklir Teheran pada akhir pekan, semakin memicu kekacauan di negara Syiah tersebut.

    Meskipun perubahan rezim bukan tujuan resmi bagi Israel atau AS, namun Pahlavi menilai aksi militer mampu mendorong kediktatoran Khamenei ke ambang kehancuran dan konsep perubahan rezim semakin menguat di masyarakat internasional.

    Dia menilai “peluangnya sangat besar” bahwa rezim Khamenei akan tumbang pada akhir tahun ini.

    Lebih lanjut, Pahlavi menilai sikap negara-negara Barat, terutama di Eropa, yang menyerukan deeskalasi konflik dan kembali ke meja perundingan adalah sebuah kesalahan.

    “Perundingan adalah sia-sia karena rezim ini telah membuktikan berkali-kali bahwa mereka tidak akan pernah mengubah perilakunya. Anda telah berunding cukup lama dengan rezim ini. Sudah saatnya kita berinvestasi pada rakyat Iran sebagai jaminan yang Anda untuk otoritas yang akan menjamin perdamaian bagi Anda, keamanan bagi dunia, dan yang terpenting kebebasan bagi negara saya sendiri,” ujarnya.

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • Yang Terjadi Jika Iran Benar-benar Tutup Selat Hormuz

    Yang Terjadi Jika Iran Benar-benar Tutup Selat Hormuz

    Teheran

    Dewan Keamanan Nasional Tertinggi Iran mengancam akan menutup Selat Hormuz usai serangan Israel dan Amerika Serikat (AS). Meski keputusan akhir belum dibuat, namun ada laporan parlemen Iran menyetujui penutupan Selat Hormuz.

    Selat Hormuz adalah jalur perairan strategis bagi pasokan energi global. Media Iran, Press TV mengutip Esmail Kosari, anggota parlemen dan komandan Korps Garda Revolusi Islam (IRGC) Iran, yang mengatakan bahwa penutupan selat tersebut ada dalam agenda dan “akan dilakukan kapan pun diperlukan.”

    Dilansir Al Arabiya, Senin (23/6/2025), Selat Hormuz yang menghubungkan Teluk Arab dengan Laut Arab, bisa dibilang merupakan rute maritim paling penting bagi transit energi global. Sekitar 20 persen pasokan minyak dan gas alam dunia melewati selat tersebut, yang terletak di antara Iran dan Oman.

    Kapal berlayar di Selat Hormuz (Foto: NurPhoto via Getty Images/NurPhoto)

    Gangguan apa pun terhadap selat ini akan mengirimkan gelombang kejut ke pasar energi global, yang berpotensi memicu lonjakan tajam harga minyak, dan semakin mengganggu stabilitas kawasan yang sudah bergejolak.

    Selat ini telah lama menjadi titik api geopolitik. Iran telah mengancam untuk menutupnya di masa lalu, terutama selama periode meningkatnya ketegangan dengan Amerika Serikat. Namun, meskipun ada banyak ancaman selama bertahun-tahun, Iran tidak pernah bertindak sejauh itu dengan menutupnya, sebuah tindakan yang secara luas akan dilihat sebagai tindakan eskalasi dengan konsekuensi global.

    Yang membuat momen kali ini berbeda adalah konteksnya: perang yang meningkat dengan Israel dan meningkatnya tekanan dari Amerika Serikat. Penutupan Selat Hormuz – bahkan untuk sementara – dapat membuat harga minyak melonjak dalam semalam. Ancaman gangguan saja sudah sering kali mengguncang pasar, apalagi penutupan yang sebenarnya akan jauh lebih mengganggu stabilitas.

    Negara-negara yang sangat bergantung pada minyak Teluk, termasuk China, Jepang, India, dan negara-negara Eropa, akan terkena dampak langsung. Selain itu, hal tersebut akan menguji respons angkatan laut negara-negara Barat, khususnya Angkatan Laut AS, yang mempertahankan kehadiran di wilayah tersebut justru untuk memastikan kebebasan navigasi.

    Meskipun parlemen Iran dilaporkan telah menyetujui tindakan penutupan selat tersebut, keputusan akhir berada di tangan Dewan Keamanan Nasional Tertinggi, yang pada akhirnya diawasi oleh Pemimpin Tertinggi Ayatollah Ali Khamenei.

    Masih belum jelas seberapa dekat Iran untuk menerapkan tindakan penutupan tersebut, atau apakah Iran menggunakan ancaman tersebut sebagai alat tawar-menawar di tengah meningkatnya ketegangan.

    Dalam beberapa hari mendatang, banyak hal akan bergantung pada bagaimana konflik antara Iran dan Israel berlangsung, bagaimana Iran merespons serangan terbaru AS terhadap situs-situs nuklirnya, dan apakah jalan keluar diplomatik muncul. Namun satu hal yang jelas: jika Selat Hormuz ditutup, bahkan untuk sementara, dampaknya akan terasa jauh melampaui Teluk Arab.

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • Ada Gangguan di Selat Hormuz, Goldman Sachs Prediksi Harga Minyak Sentuh Level Segini – Page 3

    Ada Gangguan di Selat Hormuz, Goldman Sachs Prediksi Harga Minyak Sentuh Level Segini – Page 3

    Ketegangan juga meningkat di negara tetangga Irak, produsen OPEC terbesar kedua, tempat milisi pro-Teheran sebelumnya mengancam Washington, jika negara itu menargetkan pemimpin tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei.

    Pada Minggu, Garda Revolusi Iran memperingatkan “pangkalan AS di wilayah tersebut bukanlah kekuatan mereka, melainkan kerentanan terbesar mereka” tanpa menyebutkan lokasi tertentu, demikian dikutip CNBC dari kantor berita Iran Fars.

    Hubungan diplomatik yang baru terbentuk, tetapi bangkit kembali antara mantan rival Iran dan Arab Saudi sementara itu dapat meredakan kemungkinan gangguan dalam pasokan eksportir minyak mentah terbesar di dunia.

    “Kerajaan Arab Saudi mengikuti dengan penuh kekhawatiran perkembangan di Republik Islam Iran, khususnya penargetan fasilitas nuklir Iran oleh Amerika Serikat,” kata kementerian luar negeri Saudi pada hari Minggu. Riyadh, sekutu dekat AS di Timur Tengah, telah membatasi keterlibatannya dalam serangan Iran-Israel.

    Kembali pada 2019, empat tahun sebelum melanjutkan hubungan diplomatik dengan Iran, fasilitas instalasi minyak Arab Saudi di Abqaiq dan Khurais mengalami kerusakan selama serangan yang diklaim oleh Houthi, tetapi Riyadh dan AS mengatakan Iran bertanggung jawab atas hal tersebut. Teheran membantah terlibat.

    Saat dimulainya kembali serangan Israel-Iran minggu lalu, kepala Badan Energi Internasional Fatih Birol mengatakan lembaga tersebut memantau perkembangan dan bahwa “pasar dipasok dengan baik hari ini tetapi kami siap bertindak jika diperlukan,” dengan 1,2 miliar barel stok darurat dalam keadaan siaga.

  • Lemhannas siapkan skenario jika perang Iran-Israel berlarut-larut

    Lemhannas siapkan skenario jika perang Iran-Israel berlarut-larut

    Jakarta (ANTARA) – Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) RI Ace Hasan Syadzily mengatakan bahwa lembaganya telah menyiapkan skenario langkah Indonesia jika perang antara Iran dan Israel terjadi berlarut-larut.

    Ace saat jumpa pers di Jakarta, Senin, menjelaskan salah satu kajian yang dilakukan Lemhannas adalah kajian krisis, termasuk penyusunan peta jalan (roadmap) atau skenario yang berhubungan dengan ketahanan negara dalam merespons kondisi geopolitik dunia.

    “Kajian yang dilakukan oleh Lemhannas itu kajian krisis, termasuk juga roadmap, proyeksi, dan prediksi dengan apa yang kita sebut misalnya kuadran 1, kuadran 2, kuadran 3, kuadran 4, kemudian skenario, termasuk juga pada kuadran apa kita menempatkan skenario tersebut. Itu semua di Lemhannas sudah biasa kita lakukan,” kata Ace.

    Jenis kajian Lemhannas, imbuh Ace, terdiri atas kajian cepat, menengah, dan jangka panjang. Hasil kajian tersebut disampaikan sebagai masukan kepada Pemerintah, terutama Presiden Prabowo Subianto.

    Selama konflik Iran dan Israel bergejolak, Ace mengatakan lembaganya telah melakukan monitoring. Selain itu, Lemhannas juga secara intens memberikan maupun menyusun berbagai masukan.

    “Tentu itu semua (masukan) harus kami sampaikan bahwa itu pasti tertutup karena sebagaimana yang diatur oleh regulasi, apa yang dimasukkan oleh Lemhannas kepada pemerintah sifatnya tertutup,” tuturnya.

    Selain memonitor dan memberikan masukan, Lemhannas juga menyampaikan perkembangan berkala situasi dunia kepada Pemerintah dan Presiden.

    “Tentu kami menyampaikan secara update terhadap situasi perkembangan dari dinamika geopolitik, kemudian geoekonomi global, dan pengaruhnya terhadap ketahanan nasional kita, terutama aspek ekonomi,” ucap Ace.

    Diketahui, tentara Israel (IDF), Jumat (13/6) dini hari, melancarkan operasi militer besar-besaran terhadap Iran. Angkatan Udara Israel menghantam sejumlah target militer dan fasilitas program nuklir.

    Otoritas Israel menyatakan bahwa operasi itu bertujuan untuk mencegah ancaman terhadap eksistensi negara zionis tersebut. Menurut militer dan intelijen Israel, Iran sudah semakin mendekati “titik tanpa kembali” dalam mengembangkan senjata nuklir dalam waktu dekat.

    Media Iran melaporkan bahwa sejumlah pejabat militer senior dan ilmuwan nuklir tewas dalam serangan itu. Serangan juga ditujukan ke fasilitas nuklir di Natanz, Fordow, dan Isfahan, serta basis militer Iran di wilayah barat laut negara itu.

    Sementara itu, Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei menyatakan serangan tersebut sebagai kejahatan dan memperingatkan bahwa Israel akan menghadapi “nasib pahit dan mengerikan”. Sebagai respons, Republik Islam Iran meluncurkan Operasi Janji Sejati (Operation True Promise) 3.

    Pewarta: Fath Putra Mulya
    Editor: Didik Kusbiantoro
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Untuk Pertama Kalinya sejak Serangan Amerika, Khamenei Buka Suara dan Ancam Israel

    Untuk Pertama Kalinya sejak Serangan Amerika, Khamenei Buka Suara dan Ancam Israel

    GELORA.CO  – Pemimpin Tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei akhirnya angkat bicara untuk pertama kalinya sejak Amerika Serikat meluncurkan serangan besar-besaran terhadap fasilitas nuklir Iran. 

    Namun bukan AS yang langsung menjadi sasaran pernyataannya, melainkan Israel yang kembali disebut sebagai ‘musuh Zionis’ yang harus dihukum.

    Dalam sebuah pernyataan keras yang dipublikasikan lewat akun X (dulu Twitter) resmi miliknya pada Senin (23/6/2025), Khamenei bersumpah bahwa hukuman terhadap Israel akan terus berlanjut.

    “#RightNow. Hukuman terus berlanjut,” tulis Khamenei, dikutip dari Iran International.

    “Musuh Zionis telah melakukan kesalahan besar, melakukan kejahatan besar; mereka harus dihukum—dan mereka sedang dihukum. Mereka sedang dihukum sekarang. #AllahuAkbar.”

    Pernyataan ini muncul setelah serangan militer AS pada pekan lalu yang menghantam tiga fasilitas nuklir utama Iran, Fordo, Natanz, dan Isfahan dalam operasi bertajuk Midnight Hammer. 

    AS Serang 3 Fasilitas Nuklir Iran

    Amerika Serikat melancarkan serangan besar-besaran terhadap 3 fasilitas nuklir Ian yaitu  Fordo, Natanz, dan Isfahan.

    Presiden AS Donald Trump mengumumkan bahwa serangan tersebut ditujukan untuk melumpuhkan potensi ancaman nuklir Iran.

    Dalam keterangannya, Trump menyatakan bahwa fasilitas nuklir Fordow yang sangat dijaga “telah hilang.”

    Operasi ini melibatkan 125 pesawat militer, termasuk tujuh pembom siluman B-2. 

    Menurut Jenderal Dan Caine dari Kepala Staf Gabungan AS, serangan dimulai dengan peluncuran lebih dari dua lusin rudal jelajah Tomahawk dari kapal selam AS ke lokasi di Isfahan, dikutip dari BBC.

    Serangan udara dilanjutkan oleh pesawat B-2 yang menjatuhkan total 14 bom penghancur bunker GBU-57 Massive Ordnance Penetrator ke dua target strategis, termasuk Fordow.

    Citra satelit yang diperoleh pada 22 Juni menunjukkan dampak signifikan di lokasi Fordow: enam kawah besar, debu tebal, dan puing-puing berserakan di lereng gunung. Lokasi di Isfahan dan Natanz juga menunjukkan kerusakan akibat rudal dan bom penembus tanah.

    Namun Iran mengatakan bahwa serangan tersebut tidak menghancurkan beberapa lokasi tersebut.

    Organisasi Energi Atom Iran menyatakan tidak ada indikasi radiasi atau bahaya bagi masyarakat sekitar ketiga lokasi nuklir.

    Penasihat Ketua Parlemen Iran, Mahdi Mohammadi, menyebut bahwa fasilitas Fordow telah lama dievakuasi sebelum serangan.

    “Pengetahuan tidak bisa dibom, dan penjudi akan kalah kali ini,” tulisnya di media sosial.

    Sementara itu, dalam pidatonya di pertemuan Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) di Istanbul, Menteri Luar Negeri Iran Abbas Araghchi menuduh AS telah melewati “garis merah besar” dan menyebut serangan itu sebagai pelanggaran berat terhadap hukum internasional dan Perjanjian Non-Proliferasi Nuklir (NPT).

    Usai Serangan AS, Israel Dilaporkan Serang Iran

    Militer Israel mengklaim telah menyerang puluhan target strategis di seluruh Iran, termasuk untuk pertama kalinya lokasi rudal jarak jauh di provinsi Yazd, Iran tengah.

    Dalam pernyataan resminya, militer Israel menyebut bahwa sekitar 30 jet tempur Angkatan Udara Israel (IAF) dikerahkan dalam serangan tersebut, dikutip dari Al-Arabiya.

    Serangan ini diklaim menyasar berbagai fasilitas militer, termasuk Pusat Komando Rudal Strategis ‘Imam Hussein’ di Yazd, yang diyakini menjadi tempat penyimpanan rudal jarak jauh Khorramshahr milik Iran.

    Serangan tambahan juga terjadi di Ahwaz di bagian barat daya serta wilayah strategis lainnya di Isfahan, Iran tengah.

    Namun beberapa saat kemudian Iran telah menembak jatuh pesawat tak berawak Hermes 900 Israel di atas Iran tengah.

    Menurut surat kabar Shargh Iran, pesawat tak berawak Hermes 900 ditembak jatuh oleh Korps Garda Revolusi Islam (IRGC) di atas provinsi Markazi, di barat daya Teheran.

    IRGC mengerahkan “sistem pertahanan udara dalam negeri” untuk menangkis serangan itu, kata Shargh dalam sebuah posting di X