Tag: Aviliani

  • Ekonom Minta Skema MBG Diubah, UMKM Harus Dilibatkan – Page 3

    Ekonom Minta Skema MBG Diubah, UMKM Harus Dilibatkan – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta – Ekonom Senior Indef Aviliani menilai program Makan Bergizi Gratis (MBG) masih memiliki banyak kelemahan dalam pelaksanaannya. Menurutnya, program ini berpotensi baik untuk memperbaiki gizi anak-anak, tetapi model yang dipakai saat ini perlu untuk diubah.

    “Jadi, saya melihat program ini paling tidak untuk generasi ke depan itu bagus. Tapi mungkin metodenya perlu diubah,” kata Aviliani dalam Diskusi Publik INDEF: Menakar RAPBN 2026, ditulis Jumat (5/9/2025).

    Salah satu kelemahan yang disorot adalah persyaratan teknis yang terlalu berat. Misalnya, adanya kewajiban penyediaan dapur khusus dan pengelola tertentu, yang membuat pelaku usaha kecil sulit terlibat. Padahal, UMKM bisa menjadi tulang punggung dalam mendistribusikan makanan bergizi jika mekanisme program lebih sederhana.

    “MBG itu sebenarnya kalau kita lihat, kalau itu berdampaknya juga pada UMKM, itu akan membantu peningkatan pendapatan mereka. Tapi sayangnya kalau kita lihat persyaratannya terlalu berat, harus ada dapur, kemudian juga orang yang menangani itu tidak mungkin yang UMKM,” jelasnya.

    Aviliani menegaskan, jika MBG hanya dijalankan sebagai proyek distribusi makanan tanpa mengaitkannya dengan struktur ekonomi rakyat, manfaatnya akan terbatas.

    “Oleh karena itu, mungkin program ini perlu dikaitkan juga, selain tadi makanan bergizi, dikaitkan juga dengan UMKM. Mungkin perlu dirubah model dalam pelaksanaannya,” usulnya.

    Menurutnya, sudah saatnya MBG tidak hanya dipandang sebagai program sosial semata, melainkan sebagai bagian dari strategi pemulihan ekonomi. Caranya adalah dengan mengaitkan langsung MBG dengan aktivitas ekonomi rakyat, terutama UMKM.

     

  • RAPBN 2026 Abaikan Kelas Menengah Bawah yang Kian Terjepit – Page 3

    RAPBN 2026 Abaikan Kelas Menengah Bawah yang Kian Terjepit – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta – Ekonom Senior INDEF Aviliani menyoroti bahwa kelompok kelas menengah bawah menjadi pihak paling rentan dalam kondisi ekonomi saat ini.

    “Sekarang kan problemnya adalah pada kelas menengah bawah. Nah jadi kebijakan di dalam RAPBN seharusnya memang sudah harus ada keberpihakan di dalam peningkatan pendapatan masyarakat,” kata Aviliani dalam Diskusi Publik INDEF: Menakar RAPBN 2026, Kamis (4/9/2025).

    Lantaran kelompok ini tidak masuk dalam kategori miskin sehingga tidak mendapat bantuan langsung tunai (BLT), tetapi juga tidak cukup kuat secara finansial untuk menanggung beban hidup tanpa bantuan. Akibatnya, kelompok ini semakin terhimpit oleh tekanan ekonomi.

    Menurut Aviliani, kelompok menengah bawah umumnya masih membayar BPJS secara mandiri. Berbeda dengan masyarakat miskin yang mendapat subsidi dari pemerintah, mereka harus mengalokasikan pendapatan untuk kebutuhan dasar sekaligus iuran kesehatan. Kondisi ini semakin berat ketika pendapatan mereka justru menurun.

    “Yang sekarang sedang butuh bantuan itu adalah menengah bawah. Yang mereka tidak tersentuh BLT, mereka tidak tersentuh dengan BPJS yang dibayarkan oleh pemerintah, tapi mereka biasa cenderung bayar BPJS sendiri,” ujarnya.

    Menurutnya, situasi tersebut memaksa banyak rumah tangga kelas menengah bawah mengandalkan tabungan untuk bertahan hidup. Fenomena ini populer disebut “mantab” atau makan tabungan, di mana masyarakat tidak lagi bisa mengandalkan penghasilan utama. Jika berlangsung lama, kondisi ini bisa memicu kerentanan sosial-ekonomi baru.

    “Mereka sedang menghadapi penurunan pendapatan yang akhirnya orang katakan mantab atau makan tabungan,” Ujar Aviliani.

    Aviliani menegaskan, RAPBN seharusnya tidak hanya fokus pada kelompok miskin, tetapi juga menyentuh persoalan kelas menengah bawah. Jika dibiarkan, daya beli masyarakat akan terus melemah dan berpotensi memperlambat pemulihan ekonomi nasional.

     

     

  • Indef nilai peran swasta harus diperkuat guna dukung peneriman pajak

    Indef nilai peran swasta harus diperkuat guna dukung peneriman pajak

    Jakarta (ANTARA) – Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Aviliani menilai peran sektor swasta perlu diperkuat untuk mengoptimalkan penerimaan pajak negara.

    Menurutnya, selama ini pemerintah cenderung lebih menitikberatkan pada program langsung ke masyarakat, sementara kontribusi swasta sebagai mitra pembangunan belum digarap optimal.

    “Selama ini kita hanya konsen pada MBG (Makan Bergizi Gratis), koperasi (KDMP) gitu, tapi bagaimana sektor swasta itu menjadi partner daripada program-program pemerintah. Saya rasa ini juga menjadi hal yang penting,” ujar Aviliani dalam webinar Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) secara daring, Jakarta, Selasa.

    Aviliani menekankan bahwa keterlibatan swasta sangat penting karena penerimaan negara dari pajak tidak hanya bergantung pada kepatuhan wajib pajak perorangan atau badan usaha milik negara (BUMN). Perusahaan swasta, baik skala besar, menengah, maupun kecil, juga memiliki kontribusi signifikan terhadap penerimaan pajak.

    Ia menerangkan, perusahaan besar relatif sudah lebih patuh dalam membayar pajak, apalagi dengan adanya sistem Coretax yang nantinya diharapkan bisa memperkuat transparansi.

    Meski demikian, di sisi UMKM, pendampingan pajak masih perlu ditingkatkan.

    “Di sini UMKM yang nanti perlu pendampingan supaya mereka bayar pajaknya itu benar-benar memang atas pengetahuan mereka, karena selama ini sosialisasi mungkin terhadap UMKM ini masih perlu ditingkatkan. Mungkin orang mengatakan sudah sering, ya sudah sering tetapi yang namanya UMKM,” ujarnya.

    Lebih lanjut, Aviliani juga mengingatkan bahwa pemerintah tidak bisa terus mengandalkan penerimaan dari komoditas.

    Harga komoditas global yang fluktuatif membuat penerimaan negara rentan turun. Karena itu, insentif perlu diarahkan pada sektor-sektor yang mampu menyerap tenaga kerja dan memperkuat basis pajak, seperti pertanian, manufaktur, dan pertambangan.

    “Oleh karena itu kalau diberikan insentif harus lebih pada sektor yang menciptakan lapangan kerja, tidak pada semua sektor. Harus ada kontribusi terhadap sektor yang berpengaruh terhadap ekonomi lebih cepat,” jelas Aviliani.

    Menurutnya, penguatan sektor swasta akan memberi efek ganda: memperluas kesempatan kerja sekaligus memperluas basis pajak. Dengan demikian, stabilitas fiskal bisa lebih terjaga tanpa harus mengubah tarif pajak yang berlaku.

    Pewarta: Bayu Saputra
    Editor: Biqwanto Situmorang
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Indef sebut sektor UMKM berpotensi sumbang pajak Rp56 triliun

    Indef sebut sektor UMKM berpotensi sumbang pajak Rp56 triliun

    Menimbang potensi tersebut, sektor UMKM seharusnya bisa berkontribusi lebih besar terhadap perpajakan tanah air.

    Jakarta (ANTARA) – Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Aviliani menilai, potensi penerimaan negara dari sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) bisa mencapai Rp56 triliun per tahun.

    Hal itu bisa dicapai melalui skema pajak penghasilan (PPh) final sebesar 0,5 persen dari omzet untuk UMKM dengan pendapatan hingga Rp4,8 miliar per tahun. Meski demikian, saat ini kepatuhan pajak dari pelaku UMKM masih rendah.

    “Tetapi juga ini kepatuhannya (pajak) masih sangat rendah karena memang kita sosialisasinya perlu lebih banyak, kemudian sistem kita juga mungkin perlu diperbaiki agar memudahkan orang untuk membayar pajak,” ujar Aviliani dalam webinar Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI), di Jakarta, Selasa.

    Berdasarkan data yang ia paparkan, saat ini UMKM berkontribusi sekitar 60,5 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia, atau setara Rp12.639,9 triliun dari total PDB Rp20.892,4 triliun.

    Menimbang potensi tersebut, sektor UMKM seharusnya bisa berkontribusi lebih besar terhadap perpajakan tanah air.

    Aviliani juga menilai insentif tarif 0,5 persen dari omzet tidak bisa diterapkan terlalu lama. Sebab, kebijakan tersebut berpotensi menimbulkan moral hazard, yakni pelaku usaha bisa saja memecah usaha mereka agar tetap berada di bawah batas omzet Rp4,8 miliar.

    UMKM dikenai PPh final 0,5 persen apabila memiliki omzet (peredaran bruto) tidak melebihi Rp4,8 miliar dalam satu tahun pajak. Aturan ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 55 Tahun 2022.

    “Karena juga bisa terjadi moral hazard dari pelaku lain, di mana mereka bisa membuat perusahaan banyak dengan (omzet) di bawah Rp4,8 miliar, bikin lagi perusahaan (omzet) Rp4,8 miliar,” ujarnya pula.

    Lebih lanjut, selain UMKM, Aviliani menyoroti sektor digital yang berkembang pesat. Ia menegaskan pentingnya penerapan pajak secara adil pada ekonomi digital untuk menghindari ketimpangan dan menjaga keadilan bagi seluruh pelaku usaha.

    “Saya rasa itu juga perlu karena jangan sampai akhirnya merugikan. Di satu sisi karena kena pajak, di sisi yang lain tidak kena pajak. Jadi saya mendukung pajak terhadap digitalisasi, sehingga ini juga akan bukan hanya menambah pendapatan negara, tapi menurut saya kesejahteraan masyarakat juga perlu diperhatikan dari kontribusi pajak,” ujar Aviliani.

    Pewarta: Bayu Saputra
    Editor: Budisantoso Budiman
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Ekonom: Kopdes Merah Putih Jangan Cuma Jadi Simpan Pinjam

    Ekonom: Kopdes Merah Putih Jangan Cuma Jadi Simpan Pinjam

    Bisnis.com, JAKARTA – Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Aviliani mewanti-wanti pemerintah menyoal upaya mendongkrak kualitas usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) lewat koperasi.

    Menurut dia, koperasi harus fokus menjalankan peran sebagai badan hukum yang mempertemukan usaha besar dan kecil seperti dipraktikkan oleh Jepang lewat model koperasi Japan Agricultural Cooperatives (JA Group).

    “Lihat Jepang, koperasi punya peran strategis dari input hingga output. Jangan sampai koperasi hanya jadi tempat simpan pinjam semata,” kata Aviliani, baru-baru ini.

    Mengacu kepada model tersebut, Aviliani mengatakan idealnya koperasi tidak hanya diisi oleh usaha kecil, tapi juga oleh perusahaan besar sebagai anggota.

    Misalnya, di sektor pertanian. Koperasi berperan membeli pupuk, menyediakan benih, mendampingi produksi petani, serta menjual hasil panen. Dengan demikian, petani cukup fokus dalam melakukan produksi.

    “Kalau ini jalan, koperasi benar-benar bisa membantu 30 juta petani kita keluar dari kemiskinan,” ujarnya.

    Kehadiran Koperasi Merah Putih pun dinilai bisa jadi momentum penting. Dengan catatan harus berbeda dari koperasi biasa dan tidak hanya menjadi penyalur pinjaman dengan bunga 6% semata. Apabila tidak demikian, Aviliani menyebut kehadiran koperasi hanya menambah pembiayaan tanpa melahirkan pelaku usaha baru.

    Selain itu, dia menilai pelaku UMKM di dalam negeri masih dihadapkan dengan masalah perizinan yang ruwet. Menurut dia, UMKM seharusnya cukup mengurus satu perizinan, sedangkan urusan antardepatermen mestinya diatur oleh sistem.

    “Ini penting jika kita ingin mendorong pertumbuhan cepat, seperti visi Presiden Prabowo Subianto yang ingin semuanya cepat, tapi faktanya di lapangan tidak semudah itu,” kata dia.

  • Perbanas proyeksi kredit tumbuh 8,7 persen plus minus 1 persen yoy

    Perbanas proyeksi kredit tumbuh 8,7 persen plus minus 1 persen yoy

    Jakarta (ANTARA) – Kepala Bidang Riset dan Kajian Ekonomi Perbankan Perhimpunan Bank Nasional (Perbanas) Aviliani memperkirakan pertumbuhan kredit pada 2025 sebesar 8,7 persen plus minus 1 persen year on year (yoy).

    “Memang kredit itu berbagai lembaga menunjukkan bahwa memang untuk mencapai 10 persen itu agak susah. Jadi kita semua ‘pengen’ 10 persen tapi ini proyeksi kita sampai akhir tahun itu itu diperkirakan sekitar 8,7 persen. Mungkin ada bank-bank yang memang bisa cenderung ‘double digit’, tapi tidak semuanya,” katanya dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Jumat.

    Kesulitan mencapai angka di atas 10 persen karena permintaan bisnis berpotensi terbatas, sehingga tak mungkin bank menawarkan kredit.

    Bank Indonesia (BI) disebut telah memberikan insentif untuk sektor tertentu dan menyediakan repo, sementara bank sudah siap memberikan kredit, tetapi yang menjadi masalah adalah permintaan dari pasar.

    Karena itu, menurut dia, sektor-sektor yang hendak dikembangkan pemerintah seperti Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih perlu memiliki arah jelas karena pasti akan diikuti oleh perbankan.

    Ke depan, pertumbuhan kredit dinilai akan berasal dari antara lain sektor pertambangan dan penggalian, konstruksi, akomodasi makanan dan minuman, perdagangan besar dan eceran, listrik, gas dan air. Lalu transportasi, pergudangan dan komunikasi, hingga pertanian, perburuan dan kehutanan.

    “Jadi ini yang harus diikuti oleh pengusaha. Makanya kalau anda lihat, pengusaha itu ada yang bisa lanjut, ada yang enggak, tergantung bagaimana dia bisa melihat perubahan yang begitu cepat dan mereka bisa mengikuti. Tapi kalau dia enggak bisa berubah, cenderung mereka akan jatuh atau ya dia jual kepada perusahaan lain,” kata Aviliani.

    Menurut dia, pertumbuhan kredit harus diarahkan pada sektor padat karya seperti pertanian dan bernilai tambah tinggi seperti manufaktur maupun informasi dan komunikasi (Infokom) dengan potensi penguatan struktural jangka panjang.

    Perbanas mencatat sektor pertambangan diproyeksikan tumbuh 23,4 persen, lalu listrik, gas dan air sebesar 14,9 persen, sedangkan infokom sekitar 10 persen.

    Namun, Aviliani juga mengingatkan bahwa beberapa sektor seperti transportasi mengalami perlambatan signifikan dan perlu pendekatan kredit yang lebih cermat.

    “Kita harus cermat dalam menyalurkan kredit, mengedepankan kualitas dan selektivitas. Fokus pada sektor unggulan dan esensial seperti pertanian, manufaktur, pertambangan dan energi, serta infokom akan memperkuat portofolio kita, namun tidak lupa menjaga dukungan bagi konsumsi masyarakat agar momentum pertumbuhan ekonomi tetap terjaga,” ujar dia.

    Pewarta: M Baqir Idrus Alatas
    Editor: Virna P Setyorini
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Perbanas prediksi rupiah Rp16.300–Rp16.700 per dolar AS pada 2025

    Perbanas prediksi rupiah Rp16.300–Rp16.700 per dolar AS pada 2025

    Jakarta (ANTARA) – Perhimpunan Bank Nasional (Perbanas) memproyeksikan nilai tukar (kurs) rupiah berkisar Rp16.300–Rp16.700 per dolar Amerika Serikat (AS) pada tahun 2025.

    “Nilai tukar memang masih akan berfluktuasi, karena kita tahu dong Trump (Presiden AS Donald Trump) ini 5 tahun ke depan gak punya kepastian. Mungkin tanggal 1 Agustus besok gak jadi lagi tuh aturan yang disampaikan kepada semua negara (terkait pengenaan tarif AS),” ucap Kepala Bidang Riset dan Kajian Ekonomi Perbankan Perbanas Aviliani dalam PERBANAS Review of Indonesia’s Mid-Year Economy (PRIME) 2025 di Jakarta, Kamis.

    Seperti diketahui, Trump sempat menunda batas waktu tarif resiprokal dari 9 Juli menjadi pada 1 Agustus. Batas waktu tarif sebelumnya ditetapkan pada 9 Juli, menandai berakhirnya jeda 90 hari pada tarif tinggi yang diumumkan sebelumnya yang awalnya diberlakukan pada 2 April 2025.

    Kebijakan penundaan batas waktu tersebut diumumkan di tengah upaya pemerintahan Trump untuk menargetkan banyak negara dengan langkah-langkah perdagangan.

    “Kalau Indonesia per 1 Agustus belum berlaku yang 19 persen, masih ada negosiasi-negosiasi apa saja barangnya dan yang lain-lain,” ungkapnya.

    Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto sudah menegaskan bahwa penerapan tarif impor AS yang sebelumnya direncanakan mulai berlaku pada 1 Agustus 2025 sudah tidak lagi berlaku bagi Indonesia. Hal ini dikarenakan Indonesia telah mencapai kesepakatan baru dengan pemerintah AS, menggantikan kebijakan tarif yang semula diumumkan oleh Trump.

    Sebelumnya, Presiden AS mengusulkan penerapan tarif resiprokal sebesar 32 persen terhadap seluruh produk asal Indonesia yang dijadwalkan mulai berlaku pada 1 Agustus 2025. Namun, hasil negosiasi antara kedua negara menghasilkan tarif baru sebesar 19 persen, serta disepakatinya sejumlah komitmen dagang.

    Kesepakatan itu meliputi komitmen pembelian energi dari AS senilai 15 miliar dolar AS, produk pertanian sebesar 4,5 miliar dolar AS, serta pembelian 50 unit pesawat Boeing, mayoritas model Boeing 777 oleh Indonesia.

    Meski demikian, tarif dasar atau baseline sebesar 10 persen yang dikenakan AS kepada semua negara mitra dagang tetap berlaku.

    Menurut Aviliani, walaupun Trump telah menentukan batas akhir penerapan tarif hingga 1 Agustus terhadap sejumlah negara, tetapi bisa jadi sikap itu berubah jelang hari itu tiba dengan pernyataan Trump di platform Truth Social.

    “Jadi artinya, fluktuasi nilai tukar masih akan terus berlangsung,” kata dia.

    Pewarta: M Baqir Idrus Alatas
    Editor: Biqwanto Situmorang
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Perbanas proyeksi ekonomi 2025 tumbuh 4,8 persen plus minus 0,1 persen

    Perbanas proyeksi ekonomi 2025 tumbuh 4,8 persen plus minus 0,1 persen

    Jakarta (ANTARA) – Perhimpunan Bank Nasional (Perbanas) memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2025 berkisar antara 4,8 persen plus minus 0,1 persen year on year (yoy) dengan inflasi tetap rendah pada level 1,9 persen plus minus 0,5 persen yoy.

    Adapun nilai tukar rupiah diprediksi stabil dengan kisaran Rp16.300–Rp16.700 per dolar Amerika Serikat (AS).

    “Pertumbuhannya pastinya di bawah 5 persen karena kita melihat masih banyak kendala, baik itu eksternal maupun juga internal,” kata Kepala Bidang Riset dan Kajian Ekonomi Perbankan Perbanas Aviliani dalam PERBANAS Review of Indonesia’s Mid-Year Economy (PRIME) 2025 di Jakarta, Kamis.

    Perbanas menilai kondisi ini membuka ruang bagi pelonggaran kebijakan moneter, meski tantangan likuiditas masih membayangi, mengingat proyeksi pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) yang relatif rendah, hanya sekitar 4,38 persen plus minus 1 persen yoy, sedangkan pertumbuhan kredit sebesar 8,7 persen 1 persen yoy.

    Pihaknya menekankan lima pilar utama perekonomian yang saling berkaitan, yakni inflasi dan daya beli, transmisi kebijakan moneter, kinerja sektor strategis, pertumbuhan kredit dan DPK, serta stabilitas nilai tukar.

    Berdasarkan data kuartal 1 dan 2 tahun 2025, penurunan suku bunga global dan inflasi yang sangat rendah dianggap membuka ruang untuk ekspansi usaha yang secara bersamaan hal tersebut dapat mempengaruhi efisiensi penghimpunan dana masyarakat.

    Tren inflasi rendah dan suku bunga yang melandai disebut membuka peluang sekaligus tantangan bagi perbankan, sehingga momentum ini harus dimanfaatkan untuk mendorong pertumbuhan. Namun, perlu juga diwaspadai perlambatan yang sedang terjadi dan memastikan strategi kredit kita adaptif terhadap perubahan ekonomi.

    “Jadi memang kita tidak dengan satu angka (terkait proyeksi inflasi), karena biasanya kalau pemerintah bisa beri alokasi stimulus itu bisa di atas, artinya itu sekitar (hampir mencapai) 5 persen,” ungkap Aviliani.

    “Nah inflasi kalau kita lihat, cenderung masih bisa diatasi, apalagi sekarang bahan pokok mulai pemerintah mencoba untuk bisa mengatasinya. Jadi ada kontrol supaya mereka tidak terjadi inflasi yang melonjak. Seharusnya ini salah satu hal yang baik jadi inflasi kita rendah,” ucapnya.

    Pewarta: M Baqir Idrus Alatas
    Editor: Biqwanto Situmorang
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • RI Perlu Tiru Thailand-Korsel, Gandeng UMKM untuk Rantai Pasok Industri Besar

    RI Perlu Tiru Thailand-Korsel, Gandeng UMKM untuk Rantai Pasok Industri Besar

    Bisnis.com, JAKARTA — Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia mendorong pengusaha nasional untuk mencontoh Thailand dan Korea Selatan untuk menggandeng Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) sebagai rantai pasok produksi. 

    Wakil Ketua Umum Bidang Analisis Kebijakan Makro-Mikro Ekonomi Kadin Aviliani mengatakan penyerapan produk UMKM sebagai bahan baku dari industri besar dapat menjadi langkah meningkatkan daya beli masyarakat yang saat ini melemah. 

    “Kita mungkin bisa contoh seperti Thailand, Korea, bagaimana UMKM itu menjadi bagian dari supply chain dari perusahaan besar,” kata Aviliani dalam Bisnis Indonesia Midyear Challenges 2025, Selasa (29/7/2025). 

    Menurut Avi, model bisnis UMKM di Indonesia juga perlu diperbaiki, utamanya terkait dengan pemanfaatan Kredit Usaha Rakyat (KUR). Pasalnya, di tengah situasi yang sulit dan bisnis yang berdiri sendiri maka penggunaan KUR hanya akan menyebabkan kredit macet. 

    “Kenapa? Karena dia gak naik kelas tapi pembiayaannya dikasih terus,” imbuhnya. 

    Tak hanya itu, dia juga menyoroti UMKM yang belakangan terlihat menyiasati penghindaran pajak 0,5% untuk usaha yang pendapatannya Rp4,8 miliar. Terdapat usaha menengah yang justru membangun perusahaan baru untuk menghindari pajak tersebut. 

    Di samping itu, untu mendukung sinergitas dari UMKM dengan industri besar, maka diperlukan insentif dari pemerintah. Dalam hal ini, Koperasi Merah Putih (Kopdes) bisa menjadi jembatan antara UMKM dan perusahaan besar. 

    “Karena dia akan menjadi badan hukum yang menjembatani mereka berdua, kalau ini bisa dilakukan saya rasa kita bisa meningkatkan daya beli masyarakat melalui penggerakan UMKM yang berbasis supply chain,” jelasnya. 

    Dengan UMKM yang menjadi bagian dari rantai pasok, maka dinilai akan ada bank-bank akan berebut memberikan pinjaman. Bagi perusahaan besar, kolaborasi ini dapat menjadi subtitusi impor. 

    Artinya, perusahaan besar bisa menggunakan bahan baku lokal yang diambil dari UMKM atau petani nasional. Hal ini mendukung kebutuhan huluisasi untuk memperkuat industri hulu. 

    “Tidak hanya hilirisasi, kalau hilirisasi itu kan menambah nilai tambah aja tapi kan 70% masih impor. Yang kita butuhkan juga huluisasi yaitu membangun hulunya agar hilirisasi tadi Itu tidak perlu impor atau kalaupun impor tidak sebanyak yang sekarang,” pungkasnya. 

  • Pemerintah Dorong UMKM Naik Kelas Lewat Percepatan NIB-Rekayasa Sosial

    Pemerintah Dorong UMKM Naik Kelas Lewat Percepatan NIB-Rekayasa Sosial

    Jakarta

    Deputi Usaha Mikro Kementerian Koperasi dan UKM, Riza Damanik menekankan pentingnya pendekatan menyeluruh dalam memberdayakan sektor usaha, mikro, kecil, dan menengah (UMKM).

    Adapun sektor UMKM memerlukan ekosistem yang sehat dan terintegrasi untuk bisa naik kelas serta berkontribusi lebih besar terhadap pertumbuhan ekonomi nasional.

    Riza mengungkapkan strategi yang hanya fokus pada satu aspek seperti pembiayaan atau pelatihan saja tidak cukup efektif untuk mendorong pelaku usaha naik kelas. Menurutnya, pendekatan parsial pada pemberdayaan UMKM tidak membawa dampak maksimum.

    “Jika pendekatannya parsial, hanya pembiayaan atau pelatihan saja, itu kurang tepat. Terbatas pada pemasaran atau modal saja juga tidak pas,” ujar Riza dalam keterangannya, Senin (28/7/2025).

    Hal ini disampaikannya dalam diskusi Bisnis Indonesia Forum bertajuk “Peran Pembiayaan Ultra Mikro Terhadap Perekonomian Nasional dalam Membantu Pengentasan Kemiskinan” yang digelar di Jakarta, Rabu (23/7).

    Riza menambahkan, cara lain yang dilakukan oleh pemerintah dalam mendukung UMKM adalah memudahkan perizinan. Menurutnya, perizinan ini penting untuk memperkuat pemasaran, mengurus sertifikasi hingga mendapatkan fasilitas permodalan.

    Hingga kuartal II/2025, lanjut Riza, sudah diterbitkan sekitar 1,4 juta Nomor Induk Berusaha (NIB). Dengan demikian, total akumulasi penerbitan NIB dari 2021 sampai saat ini sudah mencapai 12,98 juta atau mencapai 83,72% dari target RPJMN 2025-2029.

    “PT PNM (Permodalan Nasional Madani) mendukung percepatan NIB. Hingga kini total jadi 12,98 juta pelaku usaha yang sudah mendapatkan NIB. Dengan NIB maka UMKM bisa mendapatkan sertifikasi halal, termasuk fasilitasi sertifikasi halal gratis, mendapatkan akses pembiayaan, dan seterusnya,” jelasnya.

    Sebagai informasi, PT PNM, perusahaan pembiayaan milik negara, hingga kini sudah berhasil memfasilitasi penerbitan NIB bagi 2.252.850 nasabah. Bagi PNM, fasilitas ini bukan sekadar dokumen administratif, tetapi juga merupakan langkah strategis dalam meningkatkan daya saing pengusaha mikro.

    Riza menuturkan UMKM juga membutuhkan sertifikat standar nasional Indonesia (SNI). Pasalnya, mayoritas UMKM Indonesia masih sulit mendapatkan sertifikat ini.

    Pada kesempatan yang sama, Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Aviliani menyoroti banyaknya sertifikat perizinan usaha yang harus dikantongi para pelaku mikro, kecil, dan menengah (UMKM).

    Ia menilai semestinya pemerintah mempermudah dan menyederhanakan sertifikat perizinan agar tidak mempersulit pengusaha UMKM.

    “Izin, habis itu izin halal, habis itu izin lagi. Ternyata izinnya banyak banget sertifikatnya. Menurut saya, kenapa nggak UMKM itu apa saja yang dibutuhkan, yang ngurus satu saja,” kata Aviliani.

    Menurutnya, pemerintah memiliki opsi mempermudah birokrasi perizinan usaha UMKM menjadi lebih efisien. “Jadi menurut saya, kita itu ‘kalau bisa dipersulit ngapain dipermudah itu’ jangan dilakukan lagi. Harus dibalik,” tuturnya.

    Lebih lanjut, Aviliani mengatakan perizinan sertifikasi ini justru tak sejalan dengan keinginan Presiden Prabowo Subianto agar semua hal dipercepat.

    “Jadi mungkin ini juga perlu, karena kalau Pak Prabowo itu keinginannya cepat-cepat, tapi ternyata dalam proses perizinan juga enggak segampang itu. Jadi ini saya rasanya juga satu masukan yang sudah dilakukan,” paparnya.

    Sementara itu, Direktur Utama Pusat Investasi Pemerintah (PIP) Ismed Saputra menargetkan penyaluran pembiayaan ultra mikro atau UMi pada 1,47 juta debitur sebesar Rp9,4 triliun.

    Dari target tersebut pada semester I/2025, total penyaluran pembiayaan ultra mikro telah mencapai Rp3,79 triliun dengan total debitur sebanyak 745.653 orang, atau 50,7% dari target 2025.

    PT PNM juga menjadi salah satu mitra yang bisa menyalurkan langsung pada debitur. Oktober tahu lalu, PT PNM dan PIP menandatangani perjanjian pembiayaan ultramikro dengan plafon Rp2,5 triliun.

    “Sampai akhir tahun sebenarnya sudah ada pipeline-nya. Pencairan ini kan tidak sekaligus. Misalnya dengan penyalur PNM, bulan kemarin Rp2 triliun. Itu kan cairnya misal 40% tahap pertama, kemudian 40% tahap kedua, lalu ada tahap ketiga,” ujar Ismed.

    Rekayasa Sosial

    Direktur Utama PT Permodalan Nasional Madani (PNM) Arief Mulyadi mengatakan satu kunci pemberdayaan pengusaha ultramikro yang dilakukannya adalah rekayasa sosial, yaitu menciptakan ekosistem yang mendukung pertumbuhan usaha, bukan sekadar menyediakan akses permodalan.

    Arief mengungkapkan rekayasa sosial ini penting karena alam pikir masyarakat, terutama di pedesaan, perlu didukung untuk agar lebih percaya diri berani mengambil keputusan menjadi pengusaha, termasuk menghadapi risikonya.

    “Rekayasa sosial untuk pemberdayaan semacam ini ada di kelompok nasabah. Saat ini ada sekitar 920.000 kelompok nasabah PNM Mekaar. Nasabah yang kami biayai ada yang belum pernah sekalipun menjalani usaha,” kata dia.

    Arief menjelaskan PNM Mekaar kini sudah melayani 22,4 juta nasabah. Produk pembiayaan ini sejak awal ditujukan untuk mengentaskan kemiskinan, yang menyasar masyarakat prasejahtera dan rentan sejahtera.

    Dengan kelompok-kelompok nasabah sebagai basis aktivitas, PNM melakukan berbagai aktivitas untuk menyalurkan pembiayaan sekaligus memberdayakan masyarakat.

    “Kami coba upayakan multiaktivitas. Kami dorong aktivitas literasi, inklusi sekaligus pemberdayaan. Karena ini menyasar segmen itu,” jelasnya.

    Saat ini, PNM mempunyai 46 bank sebagai debitur dan Pusat Investasi Pemerintah (PIP), selain itu PNM juga menghimpun dari pasar modal dan bond.

    Belum lama ini, PNM menerbitkan Orange bond, instrumen investasi untuk mendanai program-program pemberdayaan masyarakat terutama kaum perempuan.

    “Kita harus naik kelas, kami punya obligasi moral untuk memastikan mereka sustain dalam usaha,” pungkas Arief.

    Tonton juga video “SRC Ungkap Tingkatkan Ekonomi UMKM” di sini:

    (ega/ega)