Tag: Asvi Warman Adam

  • PDIP ajak santri teladani ketekunan intelektual Bung Karno

    PDIP ajak santri teladani ketekunan intelektual Bung Karno

    Jakarta (ANTARA) – Ketua DPP PDI Perjuangan (PDIP) Bidang Agama dan Kepercayaan (nonaktif) Zuhairi Misrawi mengajak para santri untuk meneladani dan mendalami pemikiran Presiden Pertama Republik Indonesia Soekarno tentang Islam.

    Menurutnya, Bung Karno memiliki pandangan yang kokoh, visioner, dan berkemajuan dalam memadukan nilai-nilai keislaman dengan semangat kebangsaan.

    “Kalau kita membaca tulisan dan pidato-pidato Bung Karno tentang keislaman, kita akan menemukan satu visi yang kokoh, yang visioner, futuristik, dan jauh ke depan tentang bagaimana membangun negeri ini,” kata Zuhairi di Sekolah Partai Lenteng Agung, Jakarta, Rabu.

    Hal itu disampaikan Zuhairi dalam peringatan Hari Santri Nasional 2025 yang diadakan DPP PDIP dengan tema Santri Berjuang: Ajaran Bung Karno, Warisan Kemerdekaan dan Kontribusi Generasi Muda.

    Duta Besar Indonesia untuk Tunisia ini menilai, Hari Santri adalah waktu yang tepat untuk menggali kembali gagasan-gagasan Islam Bung Karno yang berakar pada spiritualitas dan nasionalisme.

    Dia menuturkan, perjalanan intelektual keislaman Bung Karno dimulai dari interaksinya dengan KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah. Bung Karno kerap mengikuti ceramahnya saat di Surabaya. Dari situ, tumbuh pandangan keislaman yang progresif dan berkemajuan.

    Selain itu, Bung Karno juga banyak belajar dari H.O.S. Cokroaminoto, tempat ia berinteraksi dengan tokoh-tokoh pergerakan seperti Haji Agus Salim. Puncak pendalaman spiritual Bung Karno terjadi saat masa pengasingannya di Ende, di mana ia memperdalam kajian tafsir, hadis, dan sejarah Islam.

    “Para santri harus meneladani semangat Bung Karno yang tekun belajar tafsir, hadis, dan sejarah. Dari situ beliau menemukan kekuatan spiritual yang menjadi dasar perjuangan kemerdekaan,” ujanya.

    Zuhairi juga mengungkapkan Bung Karno banyak berinteraksi dengan Syaikhona Kholil Bangkalan, dan dari Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari pernah mendapat restu menjelang proklamasi kemerdekaan.

    “Kenapa visi Islam Bung Karno paket sempurna? Karena menggabungkan dua kekuatan besar yaitu Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama. Itulah yang menjadikan visi Islam Bung Karno, Islam yang mempersatukan seluruh elemen bangsa,” tuturnya.

    Pada kesempatan yang sama, Sekjen Nasyiatul Aisyiyah Muhammadiyah 2012-2016, Ulfa Mawardi mengatakan pesantren harus bisa bertransformasi dari ruang ibadah ke ruang peradaban, dari penjaga tradisi keagamaan menjadi arsitek masa depan.

    “Momentum Pesantren (tradisional) mampu membaca relasi antara media, agama dan kebudayaan,” kata dia.

    Selain itu, Ulfa juga berharap, Pesantren sebagai laboratorium yang melahirkan ulama dengan 3 dimensi.

    “Spritualitas islam (iman dan adab), rasionalitas pengetahuan yang mencerahkan dan Kemanusiaan sosial progresif (berkemajuan),” tutur dia.

    Sementara, sejarahwan Asvi Warman Adam memandang momentum Hari Santri ini, untuk mengingat kembali peran besar kalangan santri dan ulama dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Salah satu tonggak sejarah yang lahir dari kalangan pesantren adalah Resolusi Jihad yang dicetuskan oleh KH Hasyim Asy’ari pada 22 Oktober 1945 di Surabaya.

    Pasalnya, peran penting Resolusi Jihad tersebut sempat dihilangkan dari penulisan sejarah resmi Indonesia, khususnya selama masa Orde Baru.

    “Selama Orde Baru tidak pernah ditulis di sejarah Indonesia, ada aspek yang lain, yang membuat rakyat Surabaya berjuang, yaitu resolusi jihad yang dikeluarkan KH Hasyim Asy’ari. Sepanjang 30 tahun tidak pernah disinggung, tidak pernah ditulis sejarah Indonesia, baru era reformasi ini baru diungkapkan,” jelas dia.

    Karenanya, dari niatan pemerintah sekarang yang ingin menulis ulang sejarah, perlu dikawal agar peran KH Hasyim Asy’ari dan Resolusi Jihad ini tetap dimasukkan.

    “Sekarang, pemerintah sedang membuat buku sejarah nasional yang baru, kita perlu mengawasi bahwa ini bisa dimasukkan ini, Resolusi Jihad itu dicatat dalam sejarah,” tuturnya.

    Pewarta: Fianda Sjofjan Rassat
    Editor: Tasrief Tarmizi
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • 12 Maret 1966: Aksi Soeharto membubarkan PKI

    12 Maret 1966: Aksi Soeharto membubarkan PKI

    12 Maret 1966: Aksi Soeharto membubarkan PKI

    12 Maret 1966: Aksi Soeharto membubarkan PKI
    Dalam Negeri   
    Editor: Novelia Tri Ananda   
    Rabu, 12 Maret 2025 – 06:02 WIB

    Elshinta.com – Pada tanggal 12 Maret 1966, mengatasnamakan Presiden Soekarno, Soeharto mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 1/3/1966 perihal pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI). Yang berisi membubarkan Partai Komunis Indonesia termasuk bagian-bagian organisasinya dari tingkat pusat sampai ke daerah beserta semua organisasi yang seasas, berlindung, dan bernaung di bawahnya.

    Kedua, Soeharto menyatakan PKI sebagai organisasi terlarang di seluruh wilayah kekuasaan negara Republik Indonesia. Dikutip dari harian Kompas, Senin 14 Maret 1966, keputusan presiden tersebut dikeluarkan dengan memperhatikan hasil pemeriksaan serta putusan Mahkamah Militer Luar Biasa terhadap tokoh-tokoh PKI yang dituduh terlibat dalam peristiwa Gerakan 30 September. Keputusan tersebut kemudian diperkuat dengan Ketetapan MPRS Nomor XXV/1966. Langkah ini merupakan kebijakan pertama Soeharto setelah menerima Surat Perintah 11 Maret sebagai upaya mengembalikan stabilitas negara. Sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Asvi Warman Adam mengatakan, upaya pembubaran PKI bisa dilihat dari sisi politis dan bukan dari sisi ideologi.
     

    Menurut Asvi, dengan dibubarkannya PKI, berarti upaya pengalihan atau perebutan kekuasaan dari Soekarno akan semakin mudah. Asvi melihat saat itu Soeharto berusaha untuk memisahkan Soekarno dengan orang-orang terdekat nya dan para pendukungnya yang setia.

    “PKI itu pendukung Soekarno. PKI itu dibubarkan bukan karena ideologinya, tetapi karena partai yang mendukung Soekarno,” ujar Asvi ketika ditemui akhir pekan lalu, (6/3/2016). “Kabarnya anggotanya mencapai 3 juta orang. Artinya, 3 juta pendukung Soekarno itu sudah bubar,” kata dia.

    Upaya menghabisi kekuatan Soekarno bisa dilihat dari serangkaian peristiwa berikutnya. Pada tanggal 18 Maret 1966, menurut versi Asvi, Soeharto atas nama Soekarno mengeluarkan perintah penahanan sementara terhadap 15 menteri yang setia kepada Soekarno.  Menteri yang ditahan itu adalah Oe Cu Tat, Setiadi Reksoprodjo, Sumarjo, Soebandrio, Chairul Saleh, Soerachman, Yusuf Muda Dalam, Armunanto, Sutomo Martiprojo, Astrawinata, Mayjen TNI Achmadi, Moch Achadi, Letkol Inf Imam Syafei, J Tumakaka, dan Mayjen TNI Sumarno.

    Sementara itu, menurut versi buku biografi Soeharto, penahanan tersebut dilakukan karena ada sejumlah demonstran menuntut perombakan kabinet. Mereka menduga ada beberapa menteri yang terindikasi terlibat peristiwa G30S dan dekat dengan PKI. Mereka juga meminta menteri-menteri tersebut ditangkap dan diserahkan ke Makostrad. Rangkaian hari-hari sesudah itu, Soeharto melakukan pembubaran pasukan pengawal Presiden Tjakrabirawa.

    Mereka dipulangkan ke daerah masing-masing pada 20 Maret 1966. Pemulangan itu dilakukan terhadap empat batalyon dan satuan detasemen atau sekitar 3.000 sampai 4.000 pasukan. “Orang-orang yang menjaga dan loyal kepada Soekarno itu disingkirkan. Mereka adalah kekuatan pendukung Bung Karno. Kemudian, tugasnya diserahkan kepada Pomdam Jaya. Seakan Soeharto ingin mengurung dan mengawasi Soekarno, bukan mengamankan,” tutur Asvi.
     

    Sumber : Sumber Lain

  • Sejarah Hari Pers Nasional 9 Februari

    Sejarah Hari Pers Nasional 9 Februari

    Liputan6.com, Yogyakarta – Hari Pers Nasional (HPN) diperingati setiap 9 Februari. Peringatan ini bertepatan dengan HUT Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), organisasi profesi wartawan pertama di Indonesia.

    Hari Pers Nasional memiliki landasan utama untuk membangun sinergi antara pers, masyarakat, dan penyelenggara negara demi kemajuan bangsa. Mengutip dari berbaga sumber, gagasan Hari Pers Nasional muncul pertama kali dalam Kongres ke-28 PWI yang berlangsung di Padang, Sumatera Barat, pada 1978.

    Ide awal peringatan ini bermula dari keinginan para insan pers untuk membuat hari khusus dalam memperingati peran dan kontribusi pers. Gagasan tersebut kemudian disetujui pada 19 Februari 1981, dalam sidang ke-21 Dewan Pers di Bandung.

    Setelah diajukan kepada pemerintah dan melalui berbagai pertimbangan, Hari Pers Nasional akhirnya resmi ditetapkan setiap 9 Februari.

    Dalam perjalanannya, insan pers di mengalami berbagai dinamika dan tantangan. Pada masa kolonialisme, mereka mengalami pembungkaman oleh kolonialisme. Pun pada masa Orde Baru, pers mengalami keterbatasan kebebasan pers.

    Pada era reformasi, insan pers masih harus berhadapan dengan tantangan kebebasan pers. Lahirnya Hari Pers Nasional menjadi salah satu upaya untuk memperbaiki dan menjaga kebebasan serta independensi jurnalistik.

    Meski demikian, ditetapkannya Hari Pers Nasional setiap 9 Februari sempat mendapat kritik dari berbagai pihak. Pada 7 Desember 2007, sekelompok penulis muda mendeklarasikan Hari Pers Indonesia di Gedung Indonesia Menggugat, Bandung.

    Tanggal tersebut bertepatan dengan hari pemakaman Tirto Adhi Soerjo, tokoh pers nasional sekaligus salah satu pelopor jurnalisme di Indonesia. Adapun deklarasi ini dilakukan sebagai bentuk kritik terhadap Hari Pers Nasional yang dianggap warisan Orde Baru.

    Kritik juga datang dari sebagian kalangan yang mengusulkan agar Hari Pers Nasional disesuaikan dengan tanggal terbitnya surat kabar Medan Prijaji pada Januari 1907. Surat kabar tersebut dianggap sebagai tonggak awal pers nasional.

    Selanjutnya, sejarawan Asvi Warman Adam mengusulkan kompromi dengan menjadikan bulan Januari sebagai Bulan Pers Nasional. Sementara 9 Februari dijadikan sebagai puncak peringatannya.

    Pada 16 Februari 2017, dalam seminar yang diadakan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), muncul gagasan untuk menetapkan Hari Jurnalis Indonesia pada 7 Desember. Gagasan ini diusulkan sebagai alternatif bagi para jurnalis yang merasa bahwa Hari Pers Nasional masih terkait dengan warisan masa lalu.

    Meski menuai banyak pro dan kontra, peringatan Hari Pers Nasional masih rutin diselenggarakan pada 9 Februari. Peringatan tersebut sesuai dengan penetapan resmi berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 5 Tahun 1985 yang ditandatangani oleh Presiden Soeharto pada 23 Januari 1985. Keputusan tersebut menerangkan bahwa pers nasional Indonesia memiliki sejarah perjuangan dan peran penting dalam pembangunan nasional sebagai bentuk pengamalan Pancasila.

    Penulis: Resla

  • Midian Sirait Diusulkan Jadi Pahlawan Nasional oleh Universitas Kristen Indonesia – Page 3

    Midian Sirait Diusulkan Jadi Pahlawan Nasional oleh Universitas Kristen Indonesia – Page 3

    Dalam Seminar Nasional untuk mencari dukungan mengusulkan Midian Sirait sebagai Pahlawan Nasional, UKI dan YPDT melakukan nota kesepahaman. Tampak Dekan Fisipol UKI Verdinand Robertua dan Ketua Umum YPDY Matuap Siahaan menandatangani nota kesepahaman tersebut.

    “Pada bulan Oktober tahun ini Fisipol UKI sudah memasuki 30 tahun, dan Prof. Midian Sirait salah satu pelopor Fisipol UKI,” tandas Verdinand.

    Sebelumnya, Universitas Negeri Medan (Unimed) menggelar seminar nasional dengan menghadirkan sejumlah pakar dan sejarahwan mengkaji secara ilmiah terkait kelayakan mengusulkan Prof. Dr. Midian Sirait sebagai pahlawan nasional dari Sumatera Utara kepada pemerintah pusat.

    Sejumlah pakar yang menjadi pemateri dalam seminar yang digelar di Biro Rektor Unimed, Selasa 29 Oktober 2024, di antaranya Guru Besar Sejarah, BRIN Jakarta Asvi Warman Adam, Guru Besar Unimed Syawal Gultom, Guru Besar Sejarah Unimed Phil Ichwan Azhari, Dirjen Pemberdayaan Sosial Kemensos RI Mira Riyati Kurniasih, dan Ahli Farmasi, Jakarta Sampurno.

    Midian Sirait lahir di Lumban Sirait, Sumatera Utara pada 12 November 1928. Di usia 83 tahun, tepatnya Minggu, 9 Desember 2011 sekitar pukul 09.25, meninggal di Rumah Sakit Pondok Indah, Jakarta.

    Midian meninggalkan tiga anak, diantaranya Sondang Sirait (61), Poltak Sirait (60), dan Sinta Sirait (55), serta empat cucu.

    Midian dimakamkan di tanah kelahirannya di Porsea, Sumatera Utara, Rabu, 12 Januari 2011. “Bapak bisa bisa di makamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, tapi permintaan beliau dimamakamkan di tanah kelahirannya bersama mama kami (Dra. Ellen Kunze boru Situmorang-red),”ujar Poltak.

    Midian dianugerahi Tanda Kehormatan RI Bintang Mahaputera Utama yang diserahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pada Jumat 13 Agustus 2010 di Istana Merdeka. Tanda Kehormatan ini dianugerahkan kepada tokoh yang dianggap berjasa dalam meningkatkan kesejahteraan dan kemajuan bangsa.

  • BPIP dan MPR Tegaskan Pentingnya Restorasi Nama Baik Sukarno

    BPIP dan MPR Tegaskan Pentingnya Restorasi Nama Baik Sukarno

    Jakarta: Tidak berlakunya Ketetapan MPRS Nomor XXXIII/MPRS/1967 yang mencabut kekuasaan Presiden Sukarno dinilai sebagai momentum penting untuk memulihkan nama baik Presiden pertama Indonesia. Penegasan ini disampaikan dalam diskusi yang digelar Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) di Jakarta, Selasa, 19 November 2024. 

    Kepala BPIP Yudian Wahyudi menyatakan, pencabutan TAP MPRS tersebut melalui TAP MPR Nomor I/MPR/2003 harus ditindaklanjuti dengan langkah konkret untuk meluruskan sejarah Indonesia. Menurutnya, Sukarno kerap dikaitkan secara tidak tepat dengan Gerakan 30 September (G30S/PKI).

    “Sukarno sudah dianugerahi gelar Pahlawan Nasional melalui Keppres Nomor 83/TK/2012. Itu berarti negara mengakui jasanya yang luar biasa bagi bangsa. Namun, narasi sejarah yang keliru masih menyudutkan beliau. Pemulihan nama baik dan hak-hak restoratif harus menjadi agenda penting,” tegas Yudian.

    Ia menambahkan, Sukarno adalah tokoh utama dalam sejarah Indonesia, termasuk sebagai proklamator kemerdekaan dan penggali Pancasila.

    Penegasan mengenai tidak berlakunya TAP MPRS Nomor XXXIII/MPRS/1967 juga dikuatkan melalui surat pimpinan MPR RI pada 26 Agustus 2024 kepada Menteri Hukum dan HAM. Surat tersebut menjadi bagian dari upaya formal untuk memulihkan nama baik Sukarno.

    Ahmad Basarah, Wakil Ketua MPR periode 2019-2024, mengatakan, meskipun secara yuridis TAP tersebut telah dicabut, dampaknya terhadap psikologi politik bangsa masih terasa.

    “Dugaan keterlibatan Sukarno dalam G30S/PKI tidak terbukti secara ilmiah. Banyak penelitian menunjukkan peristiwa 1965 penuh dengan konspirasi. Surat pimpinan MPR ini adalah tanggung jawab moral untuk membersihkan nama baik beliau,” ujarnya.

    Basarah juga mengingatkan bahwa keputusan untuk memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada Sukarno membuktikan bahwa beliau tidak pernah mengkhianati bangsa, sesuai syarat dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan.
    Pendapat Ahli dan Akademisi
    Guru Besar Hukum Universitas Indonesia, Maria Farida Indrati, menyoroti adanya masalah pada Pasal 6 TAP MPRS XXXIII/1967 yang menyerahkan penyelesaian persoalan hukum terkait Sukarno kepada Pejabat Presiden.

    “Walau TAP itu sudah tidak berlaku, persoalan hukumnya belum selesai. Perlu ada konsensus untuk benar-benar memulihkan nama baik Sukarno,” kata Maria.

    Sejarawan BRIN, Asvi Warman Adam, menambahkan bahwa Sukarno mengalami tekanan berat di akhir hayatnya. “Beliau hidup dalam kondisi seperti tahanan di Wisma Yaso, bahkan kesulitan memenuhi kebutuhan dasar,” ujarnya.

    Anindito Aditomo, Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan Kementerian Pendidikan, menyatakan fakta sejarah mengenai pencabutan TAP MPRS XXXIII/1967 harus masuk dalam kurikulum pendidikan.

    “Kami siap bekerja sama dengan BPIP untuk memastikan sejarah Sukarno yang benar dapat diajarkan di sekolah,” katanya.

    Upaya pelurusan sejarah ini diharapkan menjadi langkah penghormatan terhadap jasa besar Sukarno sebagai salah satu tokoh terpenting dalam sejarah Indonesia.

    Jakarta: Tidak berlakunya Ketetapan MPRS Nomor XXXIII/MPRS/1967 yang mencabut kekuasaan Presiden Sukarno dinilai sebagai momentum penting untuk memulihkan nama baik Presiden pertama Indonesia. Penegasan ini disampaikan dalam diskusi yang digelar Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) di Jakarta, Selasa, 19 November 2024. 
     
    Kepala BPIP Yudian Wahyudi menyatakan, pencabutan TAP MPRS tersebut melalui TAP MPR Nomor I/MPR/2003 harus ditindaklanjuti dengan langkah konkret untuk meluruskan sejarah Indonesia. Menurutnya, Sukarno kerap dikaitkan secara tidak tepat dengan Gerakan 30 September (G30S/PKI).
     
    “Sukarno sudah dianugerahi gelar Pahlawan Nasional melalui Keppres Nomor 83/TK/2012. Itu berarti negara mengakui jasanya yang luar biasa bagi bangsa. Namun, narasi sejarah yang keliru masih menyudutkan beliau. Pemulihan nama baik dan hak-hak restoratif harus menjadi agenda penting,” tegas Yudian.
    Ia menambahkan, Sukarno adalah tokoh utama dalam sejarah Indonesia, termasuk sebagai proklamator kemerdekaan dan penggali Pancasila.
     
    Penegasan mengenai tidak berlakunya TAP MPRS Nomor XXXIII/MPRS/1967 juga dikuatkan melalui surat pimpinan MPR RI pada 26 Agustus 2024 kepada Menteri Hukum dan HAM. Surat tersebut menjadi bagian dari upaya formal untuk memulihkan nama baik Sukarno.
     
    Ahmad Basarah, Wakil Ketua MPR periode 2019-2024, mengatakan, meskipun secara yuridis TAP tersebut telah dicabut, dampaknya terhadap psikologi politik bangsa masih terasa.
     
    “Dugaan keterlibatan Sukarno dalam G30S/PKI tidak terbukti secara ilmiah. Banyak penelitian menunjukkan peristiwa 1965 penuh dengan konspirasi. Surat pimpinan MPR ini adalah tanggung jawab moral untuk membersihkan nama baik beliau,” ujarnya.
     
    Basarah juga mengingatkan bahwa keputusan untuk memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada Sukarno membuktikan bahwa beliau tidak pernah mengkhianati bangsa, sesuai syarat dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan.
    Pendapat Ahli dan Akademisi
    Guru Besar Hukum Universitas Indonesia, Maria Farida Indrati, menyoroti adanya masalah pada Pasal 6 TAP MPRS XXXIII/1967 yang menyerahkan penyelesaian persoalan hukum terkait Sukarno kepada Pejabat Presiden.
     
    “Walau TAP itu sudah tidak berlaku, persoalan hukumnya belum selesai. Perlu ada konsensus untuk benar-benar memulihkan nama baik Sukarno,” kata Maria.
     
    Sejarawan BRIN, Asvi Warman Adam, menambahkan bahwa Sukarno mengalami tekanan berat di akhir hayatnya. “Beliau hidup dalam kondisi seperti tahanan di Wisma Yaso, bahkan kesulitan memenuhi kebutuhan dasar,” ujarnya.
     
    Anindito Aditomo, Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan Kementerian Pendidikan, menyatakan fakta sejarah mengenai pencabutan TAP MPRS XXXIII/1967 harus masuk dalam kurikulum pendidikan.
     
    “Kami siap bekerja sama dengan BPIP untuk memastikan sejarah Sukarno yang benar dapat diajarkan di sekolah,” katanya.
     
    Upaya pelurusan sejarah ini diharapkan menjadi langkah penghormatan terhadap jasa besar Sukarno sebagai salah satu tokoh terpenting dalam sejarah Indonesia.
     
    Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
    dan follow Channel WhatsApp Medcom.id

    (ALB)