Tag: Asep Guntur

  • KPK mulai penyidikan perkara kuota dan penyelenggaraan ibadah haji

    KPK mulai penyidikan perkara kuota dan penyelenggaraan ibadah haji

    Pelaksana Tugas Deputi Penindakan dan Eksekusi Komisi Pemberantasan Korupsi Asep Guntur Rahayu saat memberikan keterangan di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Sabtu (9/8/2025). (ANTARA/Rio Feisal)

    KPK mulai penyidikan perkara kuota dan penyelenggaraan ibadah haji
    Dalam Negeri   
    Editor: Calista Aziza   
    Sabtu, 09 Agustus 2025 – 08:20 WIB

    Elshinta.com – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memulai penyidikan perkara dugaan korupsi dalam penentuan kuota dan penyelenggaraan ibadah haji pada Kementerian Agama tahun 2023-2024.

    “KPK telah menemukan peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana korupsi terkait dengan penentuan kuota dan penyelenggaraan ibadah haji pada Kementerian Agama pada tahun 2023-2024, sehingga disimpulkan untuk dilakukan penyidikan,” ujar Pelaksana Tugas Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Sabtu dini hari.

    Lebih lanjut Asep mengatakan KPK telah menerbitkan surat perintah penyidikan (sprindik) umum terkait perkara tersebut.

    “Dengan pengenaan Pasal 2 ayat (1) dan/atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana,” katanya.

    Sebelumnya, KPK pada 7 Agustus 2025, mengumumkan penyelidikan perkara tersebut sudah memasuki babak akhir setelah meminta keterangan kepada mantan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas.

    Sementara itu, Pansus Angket Haji DPR RI sebelumnya mengklaim menemukan sejumlah kejanggalan yang terjadi dalam penyelenggaraan ibadah haji tahun 2024.

    Titik poin utama yang disorot pansus adalah perihal pembagian kuota 50:50 dari alokasi 20.000 kuota tambahan yang diberikan Pemerintah Arab Saudi.

    Saat itu, Kementerian Agama membagi kuota tambahan 10.000 untuk haji reguler dan 10.000 untuk haji khusus.

    Hal tersebut tidak sesuai dengan Pasal 64 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah, yang mengatur kuota haji khusus sebesar delapan persen sedangkan 92 persen untuk kuota haji reguler.

    Sumber : Antara

  • Gandeng BPK, KPK Hitung Potensi Kerugian Negara di Kasus Kuota Haji – Page 3

    Gandeng BPK, KPK Hitung Potensi Kerugian Negara di Kasus Kuota Haji – Page 3

    Diketahui, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menemukan dugaan tindak pidana korupsi dalam pengaturan kuota haji di Kementerian Agama tahun 2023-2024. KPK saat ini mulai melakukan penyidikan untuk mengusut kasus tersebut.

    “KPK telah menemukan peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana korupsi terkait dengan penentuan kuota dan penyelenggaraan ibadah haji pada Kementerian Agama pada tahun 2023-2024, sehingga disimpulkan untuk dilakukan penyidikan,” ujar Pelaksana Tugas Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Sabtu (9/8/2025) dini hari.

    Asep mengatakan KPK telah menerbitkan surat perintah penyidikan (sprindik) umum terkait korupsi kuota haji tersebut.

    “Dengan pengenaan Pasal 2 ayat (1) dan/atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana,” katanya.

  • Fakta-fakta Baru Dana Kasus CSR BI-OJK, Banyak Komisi XI DPR Terlibat

    Fakta-fakta Baru Dana Kasus CSR BI-OJK, Banyak Komisi XI DPR Terlibat

    Bisnis.com, JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan mendalami aliran dana CSR BI-OJK. Tersangka yang diperiksa KPK menyebutkan bahwa banyak anggota Komisi XI juga mendapatkan dana tersebut.

    Hal itu disampaikan oleh Plt. Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu saat konferensi pers penetapan tersangka terkait dugaan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) program CSR BI dan OJK

    “Bahwa menurut pengakuan tersangka ST, sebagian besar anggota Komisi XI DPR RI lainnya juga menerima dana bantuan sosial tersebut,” kata Asep, Kamis (7/8/2025).

    Asep menekankan penyidik akan mengembangkan kasus tersebut untuk menemukan fakta-fakta baru. Adapun aliran dana CSR BI-OJK dibahas dalam rapat tertutup di DPR.
    “Tentunya kami akan mendalami keterangan dari saudara ST ini siapa saja yang menerima dana bantuan sosial dari Komisi XI ini,” jelas dia.

    Dari hasil penyidikan sementara, KPK menemukan ada dugaan korupsi dalam penyaluran dana CSR BI-OJK. Selain tersangka ST (Satori), KPK juga menetapkan HG (Heri Gunadi). Keduanya merupakan anggota Komisi XI periode 2019-2024. Mereka menggunakan uang untuk kebutuhan pribadi seperti membangun rumah makan hingga showroom.

    Asep menuturkan, HG diduga menerima Rp15,8 miliar yang digunakan untuk kebutuhan pribadi, seperti seperti pembangunan rumah, pengelolaan outlet minuman, hingga pembelian tanah dan kendaraan.

    Sementara total ST menerima uang Rp12,52 miliar. Uang itu digunakan untuk deposito, pembelian tanah, pembangunan showroom, hingga pembelian kendaraan.

    Atas perbuatannya, para tersangka dijerat dengan Pasal 12 B UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.

    Selain itu, mereka juga dijerat dengan UU Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) juncto Pasal 55 ayat 1 ke-(1) KUHP.

  • Tersangka Kasus Korupsi CSR BI-OJK, Berakhir di DPR?

    Tersangka Kasus Korupsi CSR BI-OJK, Berakhir di DPR?

    Bisnis.com, JAKARTA – Tersangka kasus korupsi CSR Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mulai terkuak. KPK mendapati tersangka berasal dari anggota DPR yang menyelewengkan dana.

    Plt. Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu mengatakan penyidik sedang mengembangkan kasus tersebut untuk menemukan fakta-fakta baru. KPK menetapkan dua anggota DPR sebagai tersangka terkait dugaan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) program CSR BI dan OJK

    “Bahwa menurut pengakuan ST, sebagian besar anggota Komisi XI DPR RI lainnya juga menerima dana bantuan sosial tersebut,” kata Asep, Kamis (7/8/2025).

    Temuan KPK adalah 2 anggota Komisi XI periode 2019-2024 ditetapkan tersangka terduga kasus pencucian uang yakni Heri Gunawan alias HG dan Satori alias ST. Mereka menggunakan uang untuk kebutuhan pribadi seperti membangun rumah makan hingga showroom.

    Plt. Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu mengatakan HG menerima total uang Rp15,58 miliar, sedangkan ST sebesar Rp12,52 miliar.

    “Penyidik telah menemukan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang cukup dan kemudian dua hari ke belakang menetapkan dua orang tersangka sebagai berikut yaitu HG anggota Komisi XI periode 2019-2024, kemudian ST anggota Komisi XI periode 2019-2024,” ujar Plt. Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu pada konferensi pers, Kamis (7/8/2025).

    Asep menyebutkan HG dan ST mengantongi total uang yang berbeda. HG menerima Rp15,86 miliar, sedangkan ST Rp12,52 miliar. Uang korupsi CSR BI dan OJK, diduga digunakan untuk keperluan pribadi, bukan penyaluran kegiatan sosial sebagaimana ketentuan yang berlaku. 

    Lebih rinci, tersangka HG menggunakan dana tersebut untuk pembangunan rumah makan, pengelolaan outlet minuman, pembelian tanah dan bangunan, hingga pembelian mobil.

    Selanjutnya, ST menerima Rp6,30 miliar dari BI melalui kegiatan Program Bantuan Sosial Bank Indonesia, Rp5,14 miliar dari OJK melalui kegiatan Penyuluhan Keuangan, dan Rp1,04 miliar dari Mitra Kerja Komisi XI DPR RI.

    Asep menuturkan tersangka ST menggunakan uang kegiatan sosial untuk deposito pribadi, pembelian tanah, pembangunan showroom, pembelian kendaraan roda dua, dan pembelian aset lainnya

    Meski telah menetapkan tersangka, Asep mengatakan penyidik masih melakukan pendalaman kasus karena diduga ada pihak-pihak lain yang terlibat.

    “Tentunya kami akan mendalami keterangan dari saudara ST ini siapa saja yang menerima dana bantuan sosial dari Komisi XI ini,” jelas dia.

    Adapun KPK menjerat tersangka dengan pasal 12B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo.

    Pasal 64 ayat (1) KUHP; serta Tindak Pidana Pencucian Uang Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Jo Pasal 55 ayat 1 ke-(1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

    Kronologi Dana CSR BI dan OJK, Mengalir ke Yayasan Fiktif 

    Kejahatan korupsi terselubung ini bermula dari pembentukan Panitia Kerja (Panja) Komisi XI DPR untuk membahas pendapatan dan pengeluaran anggaran mitra kerja, termasuk BI dan OJK. Mereka membahas ini dalam rapat-rapat tertutup sejak 2020.

    Anehnya, sejak 2020, pembahasan dan kesepakatan penyaluran dana CSR dari OJK dan BI untuk kegiatan sosial juga lahir di dalam rapat tertutup. BI mengalokasikan sekitar 10 kegiatan per tahun, sedangkan OJK 18–24 kegiatan CSR. 

    Namun, menurut KPK, alokasi tersebut justru menjadi celah. HG dan ST diduga memanfaatkan yayasan yang mereka kelola—empat milik HG dan delapan milik ST—sebagai penampung dana. Proposal diajukan, dana dicairkan, lalu mengalir ke rekening pribadi atau rekening baru yang dibuka oleh staf kepercayaan mereka.

    “Uang yang seharusnya untuk memperbaiki rumah rakyat, pendidikan, atau kesehatan, malah digunakan untuk kepentingan pribadi,” ujar Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, di Jakarta, Kamis (7/8/2025).

    Dari hasil penyidikan, HG menerima total Rp15,86 miliar, yang terdiri dari Rp6,26 miliar dari BI, Rp7,64 miliar dari OJK, dan Rp1,94 miliar dari mitra kerja lainnya.

    Uang ini digunakan HG untuk membangun rumah makan, membeli mobil, tanah, bangunan, hingga mengelola outlet minuman.

    ST, di sisi lain, mengantongi Rp12,52 miliar: Rp6,30 miliar dari BI, Rp5,14 miliar dari OJK, dan Rp1,04 miliar dari mitra kerja lain. Modusnya lebih rumit sebab dia meminta salah satu bank menyamarkan transaksi deposito sehingga pencairan tak terdeteksi di rekening koran.

    “Dana itu kemudian dipakai untuk membeli tanah, membangun showroom, hingga kendaraan bermotor,” ujar Asep. 

    KPK belum berhenti pada dua nama ini. Penyidik tengah menelusuri kemungkinan keterlibatan pejabat BI, OJK, dan anggota DPR lain. Sejumlah saksi sudah dipanggil, termasuk mantan pejabat BI, pejabat aktif OJK, dan anggota DPR dari berbagai fraksi.

    Bahkan, ruang kerja Gubernur BI Perry Warjiyo sempat digeledah pada Desember 2024. Meski begitu, Perry hingga kini belum dipanggil untuk dimintai keterangan. BI sendiri menyatakan menghormati proses hukum dan berkomitmen mendukung penyidikan.

    “Kami akan mendalami peran gubernur BI, deputi gubernur, juga pihak OJK. Tidak menutup kemungkinan ada temuan tindak pidana korupsi lainnya,” kata Asep.

    Kasus ini menyoroti lemahnya pengawasan dana CSR di lembaga negara. Dana yang diharapkan menjadi motor kegiatan sosial ternyata rawan diselewengkan lewat pertanggungjawaban fiktif.

    Contoh yang diungkap KPK: satu proposal pengajuan dana PSBI senilai Rp250 juta untuk membangun 50 rumah rakyat, namun di lapangan hanya terbangun 8–10 unit. Sisa anggaran miliaran rupiah menguap.

    Pengamat tata kelola publik menilai skema penyaluran melalui yayasan tanpa verifikasi independen membuat program CSR rentan menjadi “ladang basah” bagi oknum.

    “Tanpa transparansi dan kontrol publik, dana sosial bisa berubah menjadi dana pribadi,” ujar seorang akademisi.

  • Bancakan Dana CSR BI-OJK dan Bantahan Anggota Komisi XI soal Tuduhan Terima Uang
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        9 Agustus 2025

    Bancakan Dana CSR BI-OJK dan Bantahan Anggota Komisi XI soal Tuduhan Terima Uang Nasional 9 Agustus 2025

    Bancakan Dana CSR BI-OJK dan Bantahan Anggota Komisi XI soal Tuduhan Terima Uang
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Pada Kamis (7/8/2025), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan dua Anggota DPR, yakni Heri Gunawan (HG) dan Satori (ST), sebagai tersangka kasus dugaan korupsi dana Corporate Social Responsibility (CSR) Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) 2020-2023.
    Pelaksana Tugas (Plt) Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu menuturkan, perkara ini bermula dari Laporan Hasil Analisis (LHA) PPATK dan Pengaduan Masyarakat.
    Komisi XI DPR pernah membentuk Panitia Kerja (Panja) dan mengadakan rapat tertutup.
    Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, Komisi XI memiliki beberapa mitra kerja, di antaranya BI dan OJK.
    “Adapun khusus terhadap BI dan OJK, Komisi XI memiliki kewenangan tambahan yaitu mewakili DPR memberikan persetujuan terhadap rencana anggaran masing-masing lembaga tersebut setiap tahunnya,” ujar Asep di Gedung Merah Putih, Jakarta, Kamis.
    KPK mengatakan, rapat tertutup menghasilkan sejumlah kesepakatan, di antaranya sebagai berikut:
    1. BI dan OJK memberikan dana program sosial kepada masing-masing anggota Komisi XI DPR RI dengan alokasi kuota yaitu dari BI sekitar 10 kegiatan per tahun dan OJK sekitar 18 sampai dengan 24 kegiatan per tahun.
    2. Dana program sosial diberikan kepada anggota Komisi XI DPR RI melalui yayasan yang dikelola oleh anggota DPR Komisi XI.
    3. Teknis pelaksanaan penyaluran dana bantuan sosial dibahas lebih lanjut oleh Tenaga Ahli (TA) dari masing-masing anggota DPR Komisi XI dan pelaksana dari BI dan OJK dalam rapat lanjutan.
    Kemudian, rapat lanjutan dilakukan untuk membahas beberapa hal, di antaranya jumlah yayasan, teknis pengajuan proposal, teknis pencairan uang, dokumen laporan pertanggungjawaban (LPJ), serta alokasi dana yang diperoleh dari setiap anggota DPR RI Komisi XI per tahunnya.
    Setelah rapat panja, Komisi XI DPR RI akan melaksanakan rapat kerja terkait persetujuan rencana anggaran.
    Dari rapat ini, Heri Gunawan dan Satori melancarkan aksinya.
    Heri disebut menugaskan tenaga ahli, sedangkan Satori menugaskan orang kepercayaannya.
    Heri mengajukan 4 yayasan, sementara Satori mengajukan 8 yayasan.
    Namun, keduanya tidak melaksanakan kegiatan sosial seperti yang disyaratkan dalam proposal.
    Asep mengatakan, Heri Gunawan diduga menerima uang Rp 15,86 miliar.
    Politikus Partai Gerindra ini disebut meminta anak buahnya untuk membuka rekening baru yang akan digunakan menampung dana pencairan tersebut melalui metode setor tunai.
    Rincian uang yang diterima Heri sebanyak Rp 6,26 miliar dari BI melalui kegiatan PSBI, senilai Rp 7,64 miliar dari OJK melalui kegiatan Penyuluhan Keuangan, serta senilai Rp 1,94 miliar dari mitra kerja Komisi XI DPR RI lainnya.
    “HG (Heri Gunawan) menggunakan dana dari rekening penampung untuk kepentingan pribadi, di antaranya pembangunan rumah makan, pengelolaan outlet minuman, pembelian tanah dan bangunan, hingga pembelian kendaraan roda empat,” ujar dia.
    Sementara, Satori diduga menerima uang senilai Rp 12,52 miliar.
    Ia diduga melakukan pencucian uang dengan menggunakannya untuk keperluan pribadi.
    Dengan rincian, sejumlah Rp 6,30 miliar dari BI melalui kegiatan PSBI, senilai Rp 5,14 miliar dari OJK melalui kegiatan Penyuluhan Keuangan, serta sejumlah Rp 1,04 miliar dari mitra kerja Komisi XI DPR RI lainnya.
    “Seperti deposito, pembelian tanah, pembangunan showroom, pembelian kendaraan roda dua, serta pembelian aset lainnya,” tutur dia.
    Perkara ini tidak berhenti di Heri dan Satori.
    KPK mendalami dugaan bahwa mayoritas Anggota Komisi XI DPR menerima CSR dari BI dan OJK untuk periode 2020-2023.
    Dugaan tersebut didalami KPK berangkat dari pengakuan Satori yang menyebut sebagian besar anggota Komisi XI DPR juga menerima dana tersebut.
    “Bahwa menurut pengakuan ST (Satori), sebagian besar anggota Komisi XI DPR RI lainnya juga menerima dana bantuan sosial tersebut. KPK akan mendalami keterangan ST tersebut,” kata Asep.
    Menanggapi dugaan itu, Ketua Komisi XI DPR RI Mukhamad Misbakhun menyatakan, pihaknya menghormati langkah KPK menetapkan Heri Gunawan dan Satori sebagai tersangka.
    “Kita hormati proses hukum yang sedang dijalankan oleh KPK terkait penetapan tersangka dua anggota DPR RI yang berkaitan dengan Program Sosial Bank Indonesia,” kata Misbakhun, Kamis malam.
    Namun, Misbakhun belum menjelaskan lebih lanjut apakah Komisi XI bakal memanggil BI dalam rapat di DPR RI untuk evaluasi atau penjelasan.
    Sementara itu, Anggota Komisi XI DPR Fraksi Golkar Melchias Markus Mekeng membantah dugaan tersebut.
    Mekeng mengeklaim bahwa anggaran CSR tidak pernah dibagikan kepada anggota Komisi XI DPR, tetapi langsung dibagikan kepada pihak yang meminta.
    “Jadi, anggaran CSR itu tidak dibagikan ke anggota. Itu dibagikan langsung kepada yang minta, misalnya rumah ibadah, gereja, masjid, atau UMKM. Anggota tidak pernah megang uang sama sekali,” ujar Mekeng, di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Jumat (8/8/2025).
    Mekeng mengatakan, anggota hanya menyampaikan kepada Bank Indonesia terkait rumah ibadah yang membutuhkan dana untuk renovasi.
    “Itu diproses langsung oleh Bank Indonesia, uangnya langsung ke masjidnya. Jadi, enggak ada anggaran dikasih ke anggota,” sambung Mekeng.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Tanggapi Surya Paloh, KPK Anggap OTT Bupati Kolaka Timur Sesuai Aturan
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        9 Agustus 2025

    Tanggapi Surya Paloh, KPK Anggap OTT Bupati Kolaka Timur Sesuai Aturan Nasional 9 Agustus 2025

    Tanggapi Surya Paloh, KPK Anggap OTT Bupati Kolaka Timur Sesuai Aturan
    Editor
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menanggapi Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh yang mempersoalkan terminologi operasi tangkap tangan (OTT) dalam penangkapan Bupati Kolaka Timur Abdul Azis (ABZ). KPK menganggap OTT Bupati Abdul Azis telah sesuai aturan.
    “Tangkap tangan itu sendiri misalkan karena ditemukan pada saat terjadinya tindak pidana orang itu, atau sesaat setelahnya diteriakkan oleh khalayak ramai bahwa dia adalah pelakunya, atau pada saat ditemukan bukti-bukti padanya,” ujar Pelaksana Tugas Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Sabtu (9/8/2025) dini hari.
    Menurut Asep, KPK mulanya menerbitkan surat perintah penyelidikan kasus dugaan korupsi terkait pembangunan rumah sakit umum daerah di Kolaka Timur, Sulawesi Tenggara, pada awal 2025.
    Pada pertengahan Juli 2025 hingga beberapa waktu lalu, kata dia, KPK mendapatkan informasi terjadi peningkatan komunikasi dan terdapat proses penarikan sejumlah uang untuk diberikan kepada sejumlah pihak.
    “Menindaklanjuti hal tersebut, kami melakukan atau membagi tim menjadi tiga tim,” katanya.
    Tiga tim tersebut bertugas untuk melakukan OTT di tiga lokasi, yakni Jakarta; Kendari, Sulawesi Tenggara; dan Makassar, Sulawesi Selatan.
    “Jakarta disentuh dulu dapat orangnya, kemudian di Kendari disentuh dulu dapat orangnya. Dari situ didapatkan informasi bahwa penyerahan uang maupun barang kemudian juga perintah-perintah yang diberikan itu kepada saudara ABZ juga. Walaupun memang dari informasi awal sudah kami ketahui,” ujarnya.
    “Informasi tambahan dari para terduga yang kami amankan di Jakarta maupun Kendari membuat kami sangat yakin bahwa saudara ABZ ini adalah juga terduga yang harus kami amankan. Untuk itu, tim yang ada di Makassar bergerak untuk melakukan kegiatan tangkap tangan kepada saudara ABZ,” tambah dia.
    Sebelumnya, Surya Paloh setelah menghadiri Rakernas NasDem di Makassar, Jumat (8/8), menginstruksikan kadernya di Komisi III DPR RI untuk memanggil KPK dalam rapat dengar pendapat dan memperjelas terminologi OTT.
    Menurut dia, OTT semestinya merupakan peristiwa penangkapan yang terjadi di satu tempat, dan ada transaksi antara pemberi dan penerima yang melanggar norma hukum.
    “Akan tetapi, kalau yang satu melanggar normanya di Sulawesi Utara, katakanlah si pemberi, dan yang menerima di Sulawesi Selatan, ini OTT apa? OTT plus?,” katanya.
    Bupati Kolaka Timur, Abdul Azis, ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kasus dugaan korupsi proyek pembangunan rumah sakit umum daerah (RSUD) Kolaka Timur, Sulawesi Tenggara (Sultra).
    Abdul Azis ditetapkan sebagai tersangka bersama empat orang lainnya usai serangkaian Operasi Tangkap Tangan (OTT) di Sulawesi Tenggara (Sultra), Jakarta, dan Sulawesi Selatan (Sulsel) pada Kamis (7/8/2025).
    Di antaranya, Andi Lukman Hakim selaku PIC Kemenkes untuk Pembangunan RSUD; Ageng Dermanto selaku pejabat pembuat komitmen (PPK) proyek Pembangunan RSUD di Kolaka Timur; Deddy Karnady selaku pihak swasta PT PCP; dan Arif Rahman selaku pihak swasta PT PCP.
    “Menetapkan lima orang tersangka sebagai berikut: ABZ (Bupati Kolaka Timur Abdul Azis), ALH (Andi Lukman Hakim), AGD (Ageng Dermanto), DK (Deddy Karnady), AR (Arif Rahman),” kata Pelaksana Tugas (Plt) Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, di Gedung Merah Putih, Jakarta, pada Sabtu (9/8/2025).
    Bupati Kolaka Abdul Azis, Andi Lukman Hakim, dan Ageng Dermanto selaku tersangka penerima suap dijerat Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 dan Pasal 12B UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
    Sementara itu, para tersangka pemberi suap, yakni Deddy Karnady dan Arif Rahman, dijerat Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Jadi Tersangka Suap, Bupati Koltim Abdul Azis Minta Fee Proyek Rp9 Miliar

    Jadi Tersangka Suap, Bupati Koltim Abdul Azis Minta Fee Proyek Rp9 Miliar

    GELORA.CO  – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Bupati Kolaka Timur (Koltim), Abdul Azis sebagai tersangka suap proyek pembangunan peningkatan fasilitas RSUD Kelas D/Pratama menjadi Kelas C di Kabupaten Kolaka Timur. Terungkap, ia meminta fee proyek hingga Rp9 miliar.

    Menurut Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu kejadian ini bermula pada Desember 2024. Saat itu, diduga terjadi pertemuan antara pihak Kemenkes dengan lima konsultan perencana untuk membahas Basic Design RSUD yang didanai oleh dana alokasi khusus (DAK). 

    Pihak Kemenkes kemudian membagi pekerjaan pembuatan basic design 12 RSUD ke para rekanan, dengan cara penunjukkan langsung di masing-masing daerah. Sedangkan, basic design proyek pembangunan RSUD Kab. Koltim dikerjakan oleh Nugroho Budiharto selaku pihak swasta dari PT Patroon Arsindo. 

    Lalu, pada Januari 2025 terjadi pertemuan antara Pemkab Koltim dengan pihak Kemenkes untuk membahas pengaturan lelang pembangunan rumah sakit tipe C di Kolaka Timur. 

    Diketahui, PPK proyek pembangunan RSUD di Koltim, Ageng Dermanto (AGD) juga memberikan sejumlah uang kepada PIC Kemenkes untuk Pembangunan RSUD, Andi Lukman Hakim. 

    Setelah itu, Abdul Azis bersama Kepala Bagian PBJ Pemkab Koltim Gusti Putu Artana, Kasubbag TU Pemkab Koltim Danny Adirekson, dan Kepala Dinas Kesehatan Koltim Nasri menuju ke Jakarta untuk melakukan pengkondisian agar PT PCP agar memenangkan lelang Pembangunan RSUD.

    “Pada Maret 2025, AGD selaku PPK melakukan penandatanganan Kontrak Pekerjaan Pembangunan RSUD Kab. Koltim dengan PT PCP senilai Rp126,3 miliar,” kata Asep. 

    “Pada akhir April 2025, Sdr. AGD berkonsultasi dan memberikan uang senilai Rp30 juta kepada ALH di Bogor. Kemudian, pada periode Mei Juni, PT PCP melalui DK (Deddy Karnadi) melakukan penarikan uang sekitar Rp2,09 miliar,” sambungnya.

    Asep menjelaskan, uang tersebut selanjutnya diserahkan kepada Ageng Dermanto senilai Rp500 juta, di lokasi pembangunan RSUD Kab. Koltim. 

    Selain itu, Deddy Karnadi juga menyampaikan permintaan dari AGD kepada rekan-rekan di PT PCP, terkait komitmen fee sebesar 8 persen. Pada Agustus 2025, Deddy Karnadi kemudian melakukan penarikan cek Rp1,6 miliar yang selanjutnya diserahkan kepada Ageng Darmanto. 

    “AGD kemudian menyerahkannya kepada YS selaku staf saudara ABZ. Penyerahan dan pengelolaan uang tersebut diketahui oleh saudara ABZ, yang diantaranya untuk membeli kebutuhan saudara ABZ,” ucapnya. 

    Deddy Karnadi juga melakukan penarikan tunai sebesar Rp200 juta yang kemudian diserahkan kepada Ageng Dermanto. Selain itu, PT PCP juga melakukan penarikan cek sebesar Rp3,3 miliar.

    “Tim KPK kemudian menangkap saudara AGD dengan barang bukti uang tunai sejumlah Rp200 juta, yang diterimanya sebagai kompensasi atau bagian dari komitmen fee sebesar 8 persen atau sekitar Rp9 miliar, dari nilai proyek pembangunan RSUD Kab. Koltim sebesar Rp126,3 miliar,” tuturnya. 

    Dalam perkara ini, KPK menetapkan lima orang sebagai tersangka, salah satunya Bupati Kolaka Timur (Koltim), Abdul Azis. Ia ditetapkan sebagai tersangka bersama empat orang lain, yakni PIC Kemenkes untuk Pembangunan RSUD, Andi Lukman Hakim (ALH); PPK proyek pembangunan RSUD di Koltim, Ageng Dermanto (AGD); serta dua orang pihak swasta yang terdiri dari Deddy Karnadi (DK) dan Arif Rahman (AR). 

    Dalam perkara ini, tersangka DK dan AR sebagai pihak pemberi, diduga melakukan perbuatan TPK sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

    Sementara itu, tersangka ABZ, AGD, dan ALH, sebagai pihak penerima, diduga melakukan perbuatan TPK sebagaimana diatur dalam Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 dan Pasal 12B UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

  • 5 Fakta Kasus Pembangunan RSUD Rp 126 M yang Jerat Bupati Koltim Abdul Azis

    5 Fakta Kasus Pembangunan RSUD Rp 126 M yang Jerat Bupati Koltim Abdul Azis

    Jakarta

    Operasi tangkap tangan (OTT) KPK di Sulawesi Tenggara (Sultra) menjerat lima orang termasuk Bupati Kolaka Timur (Koltim) Abdul Azis. OTT itu ternyata terkait kasus dugaan korupsi Pembangunan RSUD di Kabupaten Kolaka Timur yang nilainya mencapai Rp 126,3 miliar.

    Dirangkum detikcom, Sabtu (9/8/2025), OTT ini dilakukan Sultra lalu bergerak ke Sulawesi Selatan (Sulsel). OTT di Sultra ini berkembang ke Jakarta. Dari OTT itu, KPK mengamankan tujuh orang.

    OTT di Sultra diketahui sempat memunculkan polemik terkait keterangan pihak yang ditangkap. Informasi OTT di Sultra ini awalnya disampaikan Wakil Ketua KPK Johanis Tanak. Dia membenarkan adanya OTT di wilayah tersebut.

    Awak media lalu bertanya sosok pejabat yang ditangkap dalam OTT itu. Saat ditanyakan apakah Bupati Kolaka Timur Abdul Azis menjadi salah satu pihak yang ditangkap, Tanak lagi-lagi membenarkan.

    Abdul Azis pun membantah terjaring OTT. Namun, pada Jumat (8/8) KPK akhirnya mengamankan Abdul Azis di Sulsel.

    Penetapan tersangka terhadap Abdul Azis pun disampaikan dalam jumpa pers semalam. Berikut fakta-faktanya:

    1. Ada 5 Tersangka

    Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu mengatakan ada 5 orang yang ditetapkan sebagai tersangka termasuk Abdul Azis. Berikut daftarnya:

    Pemberi:

    – Deddy Karnady (DK), selaku pihak swasta-PT PCP
    – Arif Rahman (AR), selaku pihak swasta-KSO PT PCP

    Penerima:

    – Abdul Azis (ABZ) selaku Bupati Koltim
    – Andi Lukman Hakim (ALH), PIC Kemenkes untuk Pembangunan RSUD
    – Ageng Dermanto (AGD) selaku PPK proyek pembangunan RSUD di Koltim

    2. Kasus Terkait Pembangunan RSUD Koltim

    Kasus yang menjerat Abdul Azis ini terkait dengan proyek pembangunan RSUD di Kelas C Kabupaten Koltim. Bermula pada Desember 2024, diduga terjadi pertemuan antara pihak Kemenkes dengan 5 konsultan perencana untuk membahas basic design RSUD yang didanai oleh dana alokasi khusus (DAK).

    Kemenkes kemudian membagi pekerjaan pembuatan basic design 12 RSUD ke para rekanan, dengan cara penunjukkan langsung di masing-masing daerah. Sementara, basic design proyek pembangunan RSUD Kabupaten Koltim dikerjakan Nugroho Budiharto dari PT Patroon Arsindo.

    Singkat cerita, pada Januari 2025 terjadi pertemuan antara Pemkab Koltim dengan pihak Kemenkes untuk membahas pengaturan lelang pembangunan rumah sakit tipe C di Kolaka Timur. Di sini, Ageng Dermanto selaku PPK proyek pembangunan RSUD di Koltim memberikan sejumlah uang kepada Andi Lukman Hakim selaku PIC Kemenkes untuk pembangunan RSUD.

    Selanjutnya, Abdul Azis bersama jajarannya di Pemkab Koltim terbang ke Jakarta. Abdul Azis diduga kongkalikong agar PT Pilar Cerdas Putra (PCP) memenangkan lelang Pembangunan RSUD Kelas C Kabupaten Koltim, yang telah diumumkan pada website LPSE Koltim.

    “Selanjutnya, Saudara ABZ bersama GPA selaku Kepala Bagian PBJ Pemkab Koltim, DA, dan NS selaku Kepala Dinas Kesehatan Koltim, menuju ke Jakarta, diduga untuk melakukan pengkondisian agar PT. PCP memenangkan lelang Pembangunan RSUD Kelas C Kabupaten. Koltim, yang telah diumumkan pada website LPSE Koltim,” ujar Asep.

    3. Abdul Azis Minta Fee Proyek Rp 9 M

    Pada Maret 2025, PPK melakukan penandatanganan kontrak pekerjaan pembangunan RSUD Kabupaten Koltim dengan PT. PCP senilai Rp 126,3 miliar. Kata Asep, Abdul Azis meminta fee senilai 8% atau senilai Rp 9 miliar dari proyek itu.

    “AGD meminta commitment fee sebesar 8% saudara ABZ dengan saudara AGD yaitu kira-kira Rp 9 miliar,” ujar Asep.

    4. Abdul Azis Sudah Terima Rp 1,6 M

    Deddy Karnady dari PT Pilar Cerdas Putra kemudian melakukan penarikan cek Rp 1,6 miliar yang selanjutnya diserahkan kepada Ageng Dermanto. Kemudian Ageng menyerahkan uang itu ke Yasin staf Abdul Azis atas sepengetahuan Abdul Azis.

    “Pada Agustus 2025, Saudara DK kemudian melakukan penarikan cek Rp 1,6 miliar yang selanjutnya diserahkan kepada Sdr. AGD. Sdr. AGD kemudian menyerahkannya kepada YS selaku staf Saudara ABZ. Penyerahan dan pengelolaan uang tersebut diketahui oleh Saudara ABZ, yang di antaranya untuk membeli kebutuhan Saudara ABZ,” ujar Asep.

    Abdul Azis, Andi Lukman Hakim dan Ageng Dermanto (AGD) dijerat Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 dan Pasal 12B UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

    Sementara itu, Deddy Karnady dan Arif Rahman dijerat Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

    5. KPK Sita Rp 200 Juta

    KPK menyita uang tunai Rp 200 juta saat OTT kasus ini. Barang bukti uang itu pun ditampilkan dalam konferensi pers. Terlihat ada 2 tumpuk uang pecahan Rp 50 ribu.

    “Tim KPK kemudian menangkap saudara AGD dengan barang bukti uang tunai sejumlah Rp 200 juta,” kata Asep.

    Kemudian ada 1 tumpukan uang pecahan Rp 100 ribu. Selain itu ada juga handphone yang diamankan sebagai barang bukti.

    Halaman 2 dari 5

    (whn/dhn)

  • Drama Penangkapan Bupati Kolaka Timur Abdul Azis: Sempat Dibantah, Kini Jadi Tersangka
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        9 Agustus 2025

    Drama Penangkapan Bupati Kolaka Timur Abdul Azis: Sempat Dibantah, Kini Jadi Tersangka Nasional 9 Agustus 2025

    Drama Penangkapan Bupati Kolaka Timur Abdul Azis: Sempat Dibantah, Kini Jadi Tersangka
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Penangkapan Bupati Kolaka Timur Abdul Azis oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diwarnai kontroversi. 
    Sejak awal, beredar kabar bahwa Azis ditangkap dalam operasi tangkap tangan (OTT) di Sulawesi Tenggara itu. Namun kabar tersebut langsung dibantah. 
    Partai Nasdem tempat Azis bernaung bahkan sempat menggelar konferensi pers untuk membantah kabar itu. 
    Namun satu hari kemudian, Azis benar-benar ditangkap KPK. Bagaimana ceritanya? 
    Azis membantah kabar yang menyebut dirinya terjaring OTT KPK pada Kamis (7/8/2025). Ketika itu, Abdul Azis mengaku dirinya dalam kondisi baik dan tidak mengetahui perihal OTT tersebut hingga beberapa jam sebelumnya.
    “Terkait adanya berita ini sejauh ini saya baru dengar tiga jam lalu, saya baru dapat kabar terkait masalah OTT. Saya hadir di sini dalam kondisi baik,” ujar Azis.
    Purnawirawan Polri ini menegaskan bahwa pemberitaan soal keterlibatannya dalam OTT sangat mengganggu dirinya dan keluarga. Bahkan, ia menyebut narasi yang berkembang sudah seperti drama.
    “Tapi terkait dengan drama atau framing ini, dari kami secara keluarga tidak menerima. Secara psikologi terganggu kita,” ucap Azis.
    Meski membantah, faktanya ruang kerja Abdul Azis serta sejumlah ruang di kantor Pemerintah Kabupaten Kolaka Timur sudah disegel KPK pada saat itu.
    Kabar penangkapan Abdul Azis tersebar ketika Partai Nasdem sedang menggelar rakernas di Makassar. Bendahara Umum DPP Partai NasDem, Ahmad Sahroni, pun turut memberikan klarifikasi dalam kesempatan yang sama.
    “Dengan ini kami menyampaikan bahwa Abdul Azis ada di sebelah saya. Kiranya teman-teman pahami bahwa OTT itu adalah kejadian di mana pada satu tempat terjadi tindak pidana,” kata Sahroni.
    Sahroni juga menyayangkan pernyataan pimpinan KPK yang menyebut salah satu kader Partai NasDem ditangkap, tanpa informasi yang akurat.
    “Abdul Azis ada di sebelah saya dan sedang mengikuti Rakernas Partai NasDem di Makassar,” tegasnya. 
    Namun hanya beberapa jam setelah konferensi pers itu, Abdul Azis benar-benar ditangkap KPK. Wakil Ketua KPK Fitroh Rohcahyanto mengatakan, Abdul Azis ditangkap setelah mengikuti Rakernas Partai Nasdem di Makassar pada Kamis malam.  
    “Setelah selesai Rakernas (Abdul Azis ditangkap),” kata Fitroh pada Jumat (8/8/2025).
     
    Abdul Azis langsung dibawa ke Gedung Merah Putih di Jakarta pada hari yang sama.
    Pantauan Kompas.com, Abdul Azis tiba di Gedung KPK pukul 16.30 WIB. Dia terlihat mengenakan jaket cokelat, topi putih, dan masker.
    Abdul Azis berjalan ke dalam gedung KPK sambil membawa koper hitam tanpa menggunakan rompi tahanan dan tangan yang tidak diborgol.
    Kepada wartawan, Abdul Azis sempat membantah dirinya terkena OTT. 
    “Enggak,” kata dia. 
    Pada Sabtu (9/8/2025) dini hari, Abdul Azis ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi proyek pembangunan RSUD Kolaka Timur.
    Dia ditetapkan sebagai tersangka bersama empat orang lainnya usai serangkaian OTT di Sulawesi Tenggara (Sultra), Jakarta, dan Sulawesi Selatan (Sulsel) pada Kamis (7/8/2025).
    Di antaranya, Andi Lukman Hakim selaku PIC Kemenkes untuk Pembangunan RSUD; Ageng Dermanto selaku pejabat pembuat komitmen (PPK) proyek Pembangunan RSUD di Kolaka Timur; Deddy Karnady selaku pihak swasta PT PCP; dan Arif Rahman selaku pihak swasta PT PCP.
    “Menetapkan lima orang tersangka sebagai berikut: ABZ (Bupati Kolaka Timur Abdul Azis), ALH (Andi Lukman Hakim), AGD (Ageng Dermanto), DK (Deddy Karnady), AR (Arif Rahman),” kata Pelaksana Tugas (Plt) Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, di Gedung Merah Putih, Jakarta, pada Sabtu.
     
    Abdul Azis, Andi Lukman Hakim, dan Ageng Dermanto selaku tersangka penerima suap dijerat Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 dan Pasal 12B UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
    Sementara itu, para tersangka pemberi suap, yakni Deddy Karnady dan Arif Rahman, dijerat Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
    Abdul Azis diduga meminta komitmen fee sebesar 8 persen dari proyek pembangunan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kolaka Timur.
    “Saudara ABZ dengan saudara AGD mintanya 8 persen. Yaitu kira-kira sekitar Rp9 miliar lah,” kata Asep.
    ABZ yang disebut Asep adaalah Abdul Azis selaku Bupati Kolaka Timur. Adapun AGD adalah Ageng Dermanto selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) proyek pembangunan RSUD Kolaka Timur.
    Ada pula nama inisial DK yakni Deddy Karnady selaku pihak swasta dari PT Pilar Cerdas Putra.
     
    “Saudara DK juga menyampaikan permintaan dari Saudara AGD kepada rekan-rekan di PT PCP, terkait komitmen fee sebesar 8 persen,” kata Asep.
    Kasus ini berkaitan dengan pemenangan satu perusahaan swasta dalam lelang pengerjaan pembangunan RSUD Kolaka Timur.
    Asep Guntur Rahayu mengatakan bahwa pada Januari 2025, terjadi pertemuan antara Pemkab Kolaka Timur (Koltim) dengan pihak Kemenkes untuk membahas pengaturan lelang pembangunan rumah sakit tipe C di Kolaka Timur.
    Ageng Darmanto selaku PPK proyek RSUD Kolaka Timur memberi sejumlah uang kepada Andi Lukman Hakim selaku PIC Kemenkes di proyek ini.
    Bupati Koltim ke Jakarta diduga untuk mengkondisikan agar PT Pilar Cerdas Putra atau PT PCP memenangkan lelang pembangunan RSUD Kelas C Kabupaten Koltim itu.
    Pemenang lelang itu sudah diumumkan di situs web LPSE Koltim. Nilai proyek RSUD Koltim ini adalah Rp126,3 miliar.
    Ageng Darmanto selaku PPK memberi uang Rp30 juta kepada Andi Lukman Hakim di Bogor pada April 2025.
    Pada Mei hingga Juni 2025, Deddy Karnady dari PT PCP menarik uang Rp2,09 miliar. Sebanyak Rp500 juta dari 2,09 miliar itu diserahkan ke Ageng Dermanto di lokasi proyek RSUD Koltim.
    “Selain itu, Saudara DK (Deddy Karnady) juga menyampaikan permintaan dari Saudara AGD (Ageng Dermanto) kepada rekan-rekan di PT PCP, terkait komitmen fee sebesar 8%,” kata Asep Guntur Rahayu.
    “Saudara ABZ dengan saudara AGD mintanya 8 persen. Yaitu kira-kira sekitar Rp9 miliar lah,” kata Asep.
    Deddy Karnady dari PT PCP kemudian melakukan penarikan cek Rp 1,6 miliar yang selanjutnya diserahkan ke Ageng Dermanto.
    Ageng Dermanto kemudian menyerahkan uang itu kepada Yasin selaku staf Bupati Kolaka Timur Abdul Azis.
    “Penyerahan dan pengelolaan uang tersebut diketahui oleh Saudara ABZ (Abdul Azis) yang di antaranya untuk membeli kebutuhan Saudara ABZ,” kata Asep.
    Deddy Karnady juga menarik Rp200 juta, diserahkan kepada Ageng Dermanto. PT PCP juga menarik cek sebesar Rp3,3 miliar.
    “Tim KPK kemudian menangkap Saudara AGD (Ageng Dermanto) dengan barang bukti uang tunai sejumlah Rp200 juta, yang diterimanya sebagai kompensasi atau bagian dari komitmen fee sebesar 8% atau sekitar Rp9 miliar, dari nilai proyek pembangunan RSUD Kabupaten Koltim sebesar Rp126,3 miliar,” papar Asep.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Bupati Koltim Abd Azis Akal-akalin Duit Proyek RSUD Rp126,3 Miliar

    Bupati Koltim Abd Azis Akal-akalin Duit Proyek RSUD Rp126,3 Miliar

    GELORA.CO -Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) resmi menetapkan Bupati Kolaka Timur (Koltim), Abd Azis bersama empat orang lainnya sebagai tersangka kasus dugaan tindak pidana korupsi pembangunan RSUD di Kolaka Timur.

    Plt Deputi Bidang Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu mengatakan, Abd Azis dkk terjaring operasi tangkap tangan (OTT) atas penyelidikan kasus dugaan korupsi pembangunan atau peningkatan rumah sakit yang anggarannya bersumber dari dana alokasi khusus (DAK).

    “Dugaan suap proyek pembangunan atau peningkatan kualitas rumah sakit yang anggarannya bersumber dari DAK (Dana Alokasi Khusus),” kata Asep dalam keterangannya, Sabtu dini hari, 9 Agustus 2025.

    Asep mengatakan, dana alokasi Kementerian Kesehatan (Kemenkes) tahun 2025 untuk program peningkatan kualitas Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dari tipe D menjadi tipe C mencapai Rp4,5 triliun.

    Di antaranya untuk proyek peningkatan kualitas pada 12 RSUD dengan menggunakan dana Kemenkes dan 20 RSUD yang menggunakan DAK bidang kesehatan. 

    “Salah satunya pembangunan RSUD Kabupaten Kolaka Timur dengan nilai proyek sebesar Rp126,3 miliar, yang bersumber dari DAK,” kata Asep.

    Namun sayangnya, kata Asep, proyek RSUD Kabupaten Kolaka Timur itu justru disalahgunakan oleh pihak-pihak tertentu untuk melakukan tindak pidana korupsi. 

    “Kegiatan tangkap tangan yang dilakukan KPK ini, sekaligus untuk mencegah supaya pembangunan rumah sakit atau pelaksanaan program Quick Wins kedepannya dapat dimitigasi dan dicegah potensi terjadinya korupsi,” kata Asep.

    Asep menyebut ada tujuh orang dari swasta dan PNS ditangkap, empat orang di antaranya ditangkap di Sulawesi Tenggara (Sultra) yakni Ageng Dermanto selaku PPK proyek pembangunan RSUD di Koltim, Harry Ilmar selaku PPTK proyek pembangunan RSUD di Koltim, Nova Ashtreea selaku pihak swasta dari Staf PT. Pilar Cerdas Putra, Danny Adirekson selaku Kasubbag TU Pemkab Koltim.

    Sementara enam orang yang yang diamankan di Jakarta adalah Andi Lukman Hakim selaku PIC Kemenkes untuk Pembangunan RSUD, Deddy Karnady selaku pihak swasta – PT Pilar Cerdas Putra, Nugroho Budiharto selaku pihak swasta – PT Patroon Arsindo, Arif Rahman selaku pihak swasta – KSO PT  Pilar Cerdas Putra, Aswin selaku pihak swasta – KSO PT  Pilar Cerdas Putra, dan Cahyana selaku pihak swasta – KSO PT Pilar Cerdas Putra.

    Selanjutnya dua orang diamankan di Makassar, yakni Abdul Aziz selaku Bupati Koltim 2024-2029 dan Fauzan selaku ajudan Bupati Koltim 2024-2029.  

    Abdul Azis ditangkap petugas KPK saat menghadiri Rakernas Nasdem di Makassar, Sulawesi Selatan (Sulsel), Kamis malam, 7 Agustus 2025.

    Abdul Azis, Andi Lukman Hakim, dan Ageng Dermanto selaku tersangka penerima suap dijerat Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 dan Pasal 12B UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. 

    Sementara itu, para tersangka pemberi suap, yakni Deddy Karnady dan Arif Rahman, dijerat Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.