KPK Tetapkan Pemilik PT SMJL Hendarto Tersangka Baru di Kasus Korupsi LPEI
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Hendarto, pemilik PT Sakti Mait Jaya Langit (PT SMJL) dan PT Mega Alam Sejahtera (PT MAS), sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pemberian fasilitas pembiayaan di Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI).
“KPK kembali menetapkan dan menahan satu orang tersangka yakni Sdr. HD selaku pemilik PT SMJL dan PT MAS pada grup BJU (PT Bara Jaya Utama) sebagai penerima manfaat kredit,” kata Pelaksana Tugas (Plt) Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu di Gedung Merah Putih, Jakarta, Kamis (28/8/2025).
Asep mengatakan, kasus korupsi ini bermula saat Hendarto selaku pemilik PT SMJL dan PT MAP ingin mendapatkan pencairan fasilitas kredit dari LPEI.
Hendarto melakukan pertemuan dengan Kukuh Wirawan selaku Kadiv Pembiayaan I dan Dwi Wahyudi selaku Direktur Pelaksana I LPEI untuk memuluskan proses pencairan fasilitas kredit oleh LPEI.
“Permohonan tersebut ditanggapi positif oleh Sdr. DW yang selanjutnya memerintahkan Sdr. KW untuk memproses pemberian pembiayaan melalui pengkondisian pengajuan Memorandum Analisis Pembiayaan (MAP) atas perusahaan milik Sdr. HD,” ujarnya.
Kemudian, PT SMJL dan PT MAP mendapatkan fasilitas kredit dari LPEI berupa Kredit Investasi Ekspor (KIE) dan Kredit Modal Kerja Ekspor (KMKE).
Rinciannya, pada periode Oktober 2014 hingga Oktober 2015, PT SMJL mendapatkan fasilitas KIE sebanyak dua kali dengan total Rp950 miliar untuk refinancing kebun kelapa sawit dengan luas lahan inti sekitar 13.075 Ha di Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah, dengan jangka waktu 9 tahun sejak 25 November 2014 hingga 25 Oktober 2023.
Sementara itu, PT SMJL mendapat KMKE senilai Rp115 miliar, yang diperuntukkan untuk refinancing kebun kelapa sawit milik PT SMJL.
Kemudian, untuk PT MAS, pada April 2015, mendapat fasilitas dari LPEI sebesar USD 50 juta (sekitar Rp670 miliar – berdasarkan kurs dollar di tahun 2015).
Asep mengatakan, Hendarto tetap mengajukan permohonan fasilitas kredit untuk kedua perusahaannya.
Padahal, lahan sawit PT SMJL berada di kawasan hutan lindung yang tidak mengantongi izin dan Sertifikat Hak Guna Usaha (SHGU).
“Bahwa dalam pemberian fasilitas pembiayaan kepada PT SMJL diketahui adanya niat jahat (mens rea), baik dari pihak debitur maupun dari pihak kreditur,” ujarnya.
Di sisi lain, LPEI memproses dan menyetujui MAP untuk PT SMJL.
Padahal, isi dari MAP tersebut sengaja mengabaikan ketentuan dan prinsip-prinsip pembiayaan yang telah diatur dalam peraturan LPEI.
“Sementara PT MAS, diketahui tidak layak mendapat pembiayaan sebesar USD 50 juta salah satunya karena terjadi eksposur dana besar-besaran kepada grup PT BJU pada saat harga batu bara sedang mengalami penurunan yang berpotensi ketidakmampuan membayar kewajiban pinjaman,” tuturnya.
Asep juga mengatakan, KPK menemukan bahwa Hendarto menggunakan fasilitas kredit itu untuk kebutuhan pribadi, membeli aset, dan bermain judi.
“Saudara HD tidak menggunakan pembiayaan dimaksud sepenuhnya untuk kebutuhan dua perusahaan miliknya, melainkan digunakan untuk kepentingan pribadi, seperti: pembelian aset, kendaraan, kebutuhan keluarga, hingga bermain judi,” kata dia.
Atas kejahatannya, Hendarto disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Selanjutnya, Hendarto dilakukan penahanan selama 20 hari ke depan mulai 28 Agustus sampai dengan 16 September 2025 di Rutan KPK Gedung Merah Putih.
Dalam perkara ini, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan lima orang tersangka dalam kasus dugaan korupsi pemberian fasilitas kredit oleh Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) pada Senin (3/3/2025).
Lima tersangka tersebut yaitu Dwi Wahyudi (DW) selaku Direktur Pelaksana LPEI; Arif Setiawan (AS) selaku Direktur Pelaksana LPEI; Jimmy Masrin (JM) selaku pemilik PT Petro Energy; Newin Nugroho (NN) selaku Direktur Utama PT Petro Energy; dan Susy Mira Dewi (SMD) selaku Direktur Keuangan PT Petro Energy.
Mereka ditetapkan sebagai tersangka lantaran melakukan perbuatan melawan hukum sehingga menimbulkan kerugian negara sebesar 60 juta dollar Amerika Serikat (AS) atau setara Rp 900 miliar.
KPK mengatakan, masih ada debitur lainnya yang masih dalam proses penyidikan dan penyelidikan lanjut oleh KPK.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Tag: Asep Guntur
-

KPK Panggil Komisaris Utama Inhutani V jadi Saksi Dugaan Suap Pengelolaan Hutan
Bisnis.com, JAKARTA – KPK memanggil beberapa pihak sebagai saksi kasus dugaan suap pengelolaan lahan di lingkungan PT Inhutani V, salah satunya adalah Komisaris Utama Inhutani V berinisial AK.
Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, mengatakan pemanggilan ini untuk mengusut perkara yang menyeret Direktur Utama PT Inhutani V, Dicky Yuana Rady sebagai tersangka penerima suap izin pengelolaan hutan di Lampung.
“Hari ini Selasa (26/8), KPK menjadwalkan pemeriksaan terhadap saksi dugaan TPK terkait suap pengelolaan kawasan hutan di lingkungan Inhutani V,” kata Budi dalam keterangan tertulis, Selasa (26/8/2025).
Saksi yang akan diperiksa KPK adalah, WAR staf PT Paramitra Mulia Langgeng, OL staf Sungai Budi grup, AK PNS/Komisaris Utama PT. Inhhtani V, dan MH Karyawan PT Inhutani V.
Budi menyampaikan materi pemeriksaan baru dapat disampaikan setelah pemeriksaan dilakukan. Pada perkara ini, KPK menemukan dugaan suap dari pihak swasta ke PT Inhutani V untuk pengelolaan izin hutan di Lampung.
KPK menetapkan 3 tersangka, yaitu; Direktur PT INH V Dicky Yuana Rady (DIC); Direktur PT PML Djunaidi (DJN); dan staf perizinan SB Grup Aditya (ADT).
“Tim KPK juga mengamankan sejumlah barang bukti, berupa uang tunai senilai SGD189.000 [atau sekitar Rp2,4 miliar], uang tunai senilai Rp8,5 juta, satu unit mobil RUBICON di rumah DIC; serta satu unit mobil Pajero milik Sdr. DIC di rumah ADT,” kata Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu, Kamis (14/8/2025).
PT PML melalui DJN memberikan Rp4,2 miliar untuk pengamanan tanaman ke rekening PT Inhutani V. Adapun dari dana tersebut, DIC diduga menerima uang tunai dari DJN sebesar Rp100 juta.
Alhasil, DIC menyetujui permintaan PT PML dengan mengelola hutan tanaman seluas lebih dari 2 juta hektare di wilayah register 42 dan lebih dari 600 hektare di register 46.
Atas perbuatannya, DJN dan ADT sebagai pihak pemberi, diduga melakukan perbuatan TPK sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Sedangkan DIC, sebagai pihak penerima, diduga melakukan perbuatan TPK sebagaimana diatur dalam Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
KPK selanjutnya melakukan penahanan untuk 20 hari pertama, terhitung tanggal 14 Agustus s.d 1 September 2025 di Rumah Tahanan (Rutan) Cabang KPK Gedung Merah Putih.
-
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5315879/original/077966800_1755175028-20250814-Asep_Guntur-HEL_2.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
KPK Telusuri Alur Perintah Pemerasan Sertifikasi K3 yang Libatkan Immanuel Ebenezer – Page 3
KPK mengatakan Immanuel Ebenezer saat menjabat sebagai Wakil Menteri Ketenagakerjaan mengaku menerima motor terkait kasus dugaan pemerasan dalam pengurusan sertifikat keselamatan dan kesehatan kerja (K3) di lingkungan Kementerian Ketenagakerjaan.
“Setelah kami ke yang bersangkutan, menghampiri ke rumahnya, yang bersangkutan mengakui bahwa menerima motor,” ujar Pelaksana Tugas Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Senin (25/8).
Asep mengatakan, setelah itu KPK menanyakan keberadaan kendaraan tersebut kepada Immanuel Ebenezer.
“Kami tanya, ‘mana motornya?’ Oh, disimpan di tempat putranya. Jadi, disimpan di rumah putranya, ya kami minta supaya itu diantarkan, dan itu diantarkan,” ujarnya.
-

Sudah Antre Lebih dari 14 Tahun
GELORA.CO – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengatakan 8.400 jemaah haji menjadi korban imbas korupsi kuota haji di 2024. Padahal, mereka sudah antre lebih dari 14 tahun untuk berangkat.
“Ada 8.400 orang jemaah haji, yang sudah mengantre lebih dari 14 tahun yang seharusnya berangkat di tahun 2024 menjadi tidak berangkat, akibat praktik tindak pidana korupsi ini,” ucap Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu dikutip Selasa (26/8/2025).
Asep menjelaskan, para jemaah seharusnya berangkat dengan kuota tambahan yang diberikan pemerintah Arab Saudi. Namun, pembagiannya tak dilakukan secara adil sesuai aturan di mana 92 persen haji reguler dan 8 persen haji khusus.
“Harusnya hanya sekitar 1.600 yang mendapat kuota khusus, tapi ini kemudian 8.400-nya itu yang harusnya menjadi kuota reguler itu dipindahkan jadi kuota khusus,” katanya.
Sebelumnya, Asep mengungkapkan, permasalahan tersebut terkait pembagian 20.000 kuota tambahan yang diterima Indonesia pada pelaksanaan haji 2024.
Asep mengatakan, berdasarkan aturan yang berlaku, kuota tambahan tersebut dibagi dengan persentase 92 persen haji reguler dan 8 persen haji khusus. Namun, kuota tersebut justru dibagi rata, tidak sesuai dengan aturan.
“Kenapa 92 persen? Karena yang banyak, ini saudara-saudara kita yang ada di seluruh Indonesia, yang mendaftar haji itu menggunakan kuota reguler, sedangkan kuota khusus ini memang berbayarnya lebih besar dibandingkan dengan kuota reguler, jadi penyediaannya hanya 8 persen,” kata Asep pada Rabu (6/8/2025).
-
/data/photo/2025/07/09/686e5f8621d30.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Gara-gara Kasus Korupsi Kuota Haji, 8.400 Calon Jemaah yang Antre 14 Tahun Gagal Berangkat Nasional 25 Agustus 2025
Gara-gara Kasus Korupsi Kuota Haji, 8.400 Calon Jemaah yang Antre 14 Tahun Gagal Berangkat
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengatakan, sebanyak 8.400 calon jemaah haji yang sudah mengantre selama 14 tahun gagal berangkat karena adanya dugaan korupsi kuota haji 2024.
“Ada 8.400 orang jemaah haji yang sudah mengantre lebih dari 14 tahun yang seharusnya berangkat di tahun 2024, menjadi tidak berangkat, akibat praktik tindak pidana korupsi ini,” kata Pelaksana Tugas (Plt) Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu di Gedung Merah Putih, Jakarta, Senin (25/8/2025).
Asep mengatakan, hal ini menjadi ironi dan tidak boleh terulang kembali.
Dia menambahkan, pembagian kuota haji tambahan 2024 seharusnya dibagi 92 persen untuk haji reguler dan 8 persen untuk haji khusus.
“Ini menjadi sebuah ironi gitu ya, dan tentunya kita berharap praktik-praktik seperti ini tidak lagi terjadi,” ujarnya.
KPK tengah menyidik kasus dugaan korupsi terkait penentuan kuota haji tahun 2023-2024 di Kementerian Agama yang terjadi pada masa Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas.
Dalam perkara ini, KPK menduga terdapat penyelewengan dalam pembagian 20.000 kuota tambahan yang diberikan pemerintah Arab Saudi.
Asep menjelaskan, berdasarkan Pasal 64 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah, diatur bahwa kuota haji khusus ditetapkan sebesar 8 persen, sedangkan kuota haji reguler ditetapkan sebesar 92 persen.
Dengan demikian, 20.000 kuota tambahan haji itu seharusnya dibagi menjadi 18.400 atau setara 92 persen untuk haji reguler dan 1.600 atau setara 8 persen untuk haji khusus.
Namun, dalam perjalanannya, aturan tersebut tidak dilaksanakan oleh Kementerian Agama.
“Tetapi kemudian, ini tidak sesuai, itu yang menjadi perbuatan melawan hukumnya. Itu tidak sesuai aturan, tetapi dibagi dua (yaitu) 10.000 untuk reguler, 10.000 lagi untuk kuota khusus,” ujar Asep.
“Jadi kan berbeda, seharusnya 92 persen dengan 8 persen, ini menjadi 50 persen, 50 persen. Itu menyalahi aturan yang ada,” imbuh dia.
KPK menaksir kerugian negara dalam perkara ini mencapai Rp 1 triliun.
KPK pun sudah mencegah tiga orang bepergian ke luar negeri demi kepentingan penyidikan, yakni eks Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas; eks staf khusus Yaqut, Ishfah Abidal Aziz; dan pengusaha biro perjalanan haji dan umrah, Fuad Hasan Masyhur.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -

Ngaku Diperas Anak Buah Rp10 Miliar
GELORA.CO – Pengusaha tambang asal Kalimantan Timur (Kaltim), Rudy Ong Chandra (ROC), tersangka kasus dugaa pemberian suap Izin Usaha Pertambangan (IUP), mengaku diperas anak buahnya bernama Sugeng untuk narkoba sebesar Rp10 miliar.
Peristiwa itu terjadi ketika KPK menggelar jumpa pers terkait penahanan Rudy Ong. Dengan mengenakan kacamata, rompi oranye, dan tangan terborgol, Rudy digiring petugas masuk ke ruang konferensi pers.
Saat juru bicara KPK, Budi Prasetyo hendak mempersilakan Plt Deputi Bidang Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu memaparkan konstruksi perkara, Rudy tiba-tiba menyela dan bersuara lantang.
Di hadapan awak media, Rudy menyebut kasus yang menjeratnya sudah terjadi delapan tahun lalu. Ia juga menuding Sugeng, anak buahnya, telah memeras dirinya untuk kebutuhan narkoba serta mengancam melaporkan kasus suap itu ke KPK.
“Perkara saya 8 tahun, ya, itu pegawai saya Sugeng namanya orang sana. Memeras saya atas nama KPK,” teriak Rudy saat baru masuk ke ruang konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Senin (25/8/2025).
“Narkoba Rp10 miliar,” tambahnya singkat, sebelum petugas KPK berusaha menenangkannya dan membawanya keluar dari ruang konferensi pers.
Pernyataan serupa kembali ia lontarkan ketika hendak masuk ke mobil tahanan.
“8 tahun. Jadi pegawai saya, Sugeng itu memeras saya untuk narkoba Rp10 miliar. Terus lapor ke KPK justru saya yang kena,” ucapnya berulang kali.
Dalam perkara ini, KPK menetapkan tiga orang tersangka dalam kasus dugaan suap pengurusan IUP di Kaltim tahun anggaran 2013–2018. Pihak penerima ialah Ketua Kadin Kaltim, Dayang Donna Walfiaries Tania (DDW), serta ayahnya yang juga eks Gubernur Kaltim, Awang Faroek Ishak (AFI). Namun, status tersangka Awang Faroek gugur karena telah meninggal dunia.
Adapun pihak pemberi adalah Rudy Ong Chandra, yang lebih dulu ditahan sejak Jumat (22/8/2025) setelah dijemput paksa karena kerap mangkir dari pemeriksaan. Meski begitu, pengumuman resmi penahanan baru disampaikan hari ini. Hingga kini, Dayang Donna belum ditahan.
Kasus ini bermula pada Juni 2014 ketika Rudy memberikan kuasa kepada Sugeng, seorang makelar dari Samarinda, untuk mengurus perpanjangan enam izin tambang eksplorasi miliknya. Namun, pada Agustus 2014, proses itu dilanjutkan oleh kolega Sugeng, Iwan Chandra (IC).
Rudy dan Iwan kemudian menemui Gubernur Kaltim saat itu, Awang Faroek Ishak, di rumah dinasnya untuk membicarakan nasib enam IUP yang terhambat. Sebagai biaya pengurusan, Rudy mengirimkan Rp3 miliar, termasuk fee untuk Iwan. Uang itu kemudian diserahkan kepada Amrullah, Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Kaltim.
Pada Januari 2015, Iwan menyerahkan permohonan resmi perpanjangan enam IUP atas nama PT Sepiak Jaya Kaltim, PT Cahaya Bara Kaltim, PT Bunga Jadi Lestari, dan PT Anugerah Pancaran Bulan ke Badan Perizinan dan Penanaman Modal Pelayanan Terpadu Satu Pintu Kaltim. Sebagai pelicin, ia menyerahkan Rp150 juta kepada Markus Taruk Allo, Kepala Seksi Pengusahaan Dinas ESDM Kaltim, serta Rp50 juta kepada Amrullah.
Tak lama kemudian, Amrullah dihubungi oleh Dayang Donna untuk menanyakan perkembangan perpanjangan izin milik Rudy. Melalui perantara Sugeng, Rudy lalu bernegosiasi dengan Dayang Donna. Awalnya, Iwan menawarkan Rp1,5 miliar, tetapi Dayang Donna menolak dan meminta Rp3,5 miliar.
Permintaan itu dipenuhi. Pada Februari 2015, berlangsung pertemuan di sebuah hotel di Samarinda antara Rudy dan Dayang Donna. Dalam pertemuan itu, Iwan menyerahkan Rp3 miliar dalam pecahan dolar Singapura, sementara Sugeng memberikan tambahan Rp500 juta, juga dalam pecahan dolar Singapura.
Sebagai imbalannya, Rudy menerima enam Surat Keputusan perpanjangan IUP dari Dayang Donna yang dikirimkan melalui babysitternya, Imas Julia (IJ).
“Permintaan tersebut dipenuhi. Selanjutnya terjadi pertemuan di salah satu hotel di Samarinda antara saudara ROC dan saudari DDW, dimana Sdr. IC diminta untuk mengantarkan amplop berisi uang sejumlah Rp3 miliar dalam pecahan dollar Singapura, bersamaan saudara ROC memerintahkan Saudara SUG memberikan uang Rp500 juta dalam pecahan dollar Singapura kepada Saudari DDW. Setelah terjadi transaksi tersebut, saudara ROC melalui Saudara IC menerima dokumen berisi SK 6 IUP dari Saudari DDW yang diantarkan oleh Saudari IJ selaku babysitter Saudari DDW,” jelas Asep.
Atas perbuatannya, Rudy Ong Chandra disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau huruf b, atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
-
/data/photo/2025/08/07/68945ad4492ea.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
KPK Akan Panggil Orang Terdekat Eks Menag Yaqut Terkait Kasus Kuota Haji Nasional 25 Agustus 2025
KPK Akan Panggil Orang Terdekat Eks Menag Yaqut Terkait Kasus Kuota Haji
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan memanggil orang dekat dari eks Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas terkait kasus dugaan korupsi kuota haji 2024.
“Minggu ini kalau enggak minggu depan dipantengin saja, kita memanggil orang-orang terdekatnya (Yaqut), seperti itu,” kata Pelaksana Tugas (Plt) Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu di Gedung Merah Putih, Jakarta, Senin (25/8/2025).
Asep mengatakan, pemanggilan tersebut dilakukan karena penyidik tengah menelusuri aliran uang kepada saksi-saksi yang akan dipanggil tersebut.
“Jadi biar, kita sedang menyusuri uang tersebut ke yang bersangkutan,” ujar dia.
KPK tengah menyidik kasus dugaan korupsi terkait penentuan kuota haji tahun 2023-2024 di Kementerian Agama yang terjadi pada masa Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas.
Dalam perkara ini, KPK menduga terdapat penyelewengan dalam pembagian 20.000 kuota tambahan yang diberikan pemerintah Arab Saudi.
Asep menjelaskan, berdasarkan Pasal 64 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah, diatur bahwa kuota haji khusus ditetapkan sebesar 8 persen, sedangkan kuota haji reguler ditetapkan sebesar 92 persen.
Dengan demikian, 20.000 kuota tambahan haji itu harusnya dibagi menjadi 18.400 atau setara 92 persen untuk haji reguler dan 1.600 atau setara 8 persen untuk haji khusus.
Namun, dalam perjalanannya, aturan tersebut tidak dilakukan Kementerian Agama yang malah membagi rata kuota tambahan dari Arab Saudi.
“Tetapi kemudian, ini tidak sesuai, itu yang menjadi perbuatan melawan hukumnya, itu tidak sesuai aturan itu, tapi dibagi dua (yaitu) 10.000 untuk reguler, 10.000 lagi untuk kuota khusus,” ujar Asep.
“Jadi kan berbeda, harusnya 92 persen dengan 8 persen, ini menjadi 50 persen, 50 persen. Itu menyalahi aturan yang ada,” imbuh dia.
KPK menaksir kerugian negara dalam perkara ini mencapai Rp 1 triliun.
KPK pun sudah mencegah 3 orang bepergian ke luar negeri demi kepentingan penyidikan, yakni eks Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas; eks staf khusus Yaqut, Ishfah Abidal Aziz; dan pengusaha biro perjalanan haji dan umrah, Fuad Hasan Masyhur.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
/data/photo/2025/08/20/68a595bb9885f.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)


