KPK Tak Masalahkan Ilham Habibie Kembalikan Uang agar Mobil BJ Habibie Dikembalikan
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diketahui bakal mengembalikan mobil milik Presiden ke-3 RI, B.J. Habibie yang dibeli oleh Ridwan Kamil kepada keluarga.
Pengembalian mobil tersebut dilakukan karena putra B.J. Habibie, Ilham Akbar Habibie (IAH) telah mengembalikan uang sebanyak Rp 1,3 miliar yang didapat dari Ridwan Kamil untuk pembelian mobil tersebut ke KPK.
Terkait pengembalian uang oleh Ilham Habibie agar mobil Mercedes Benz 280 SL itu dikembalikan, KPK menilainya bukan masalah.
Pelaksana Tugas Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu menjelaskan bahwa lembaga antirasuah tidak masalah jika Ilham Habibie mengembalikan uang hasil penjualan yang baru dibayar 50 persen oleh mantan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil (RK).
“Asal memang di keterangannya bahwa benar uang itu uang yang diberikan oleh saudara RK kepada saudara IAH dalam rangka jual beli, walaupun jual belinya mungkin belum tuntas ya,” ujar Asep di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Rabu (1/10/2025), dikutip dari
Antaranews
.
Diketahui, mobil atas nama B.J Habibie itu disita KPK dari Ridwan Kamil terkait kasus dugaan korupsi proyek pengadaan iklan pada Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat dan Banten atau Bank BJB periode 2021–2023.
Lebih lanjut, Asep mengatakan, KPK masih menelusuri aliran uang dari kasus dugaan korupsi di Bank BJB tersebut selain yang dipakai Ridwan Kamil untuk menyicil pembelian mobil B. J. Habibie sebanyak 50 persen dari total harga yang disepakati
“Kami sedang menelusuri uang itu ke mana gitu ya. Jadi,
follow the money
-nya (penelusuran aliran dana kasus),” katanya.
Diketahui, pada 3 September 2025, KPK sempat memeriksa Ilham Habibie sebagai saksi kasus Bank BJB.
Ilham Habibie menjelaskan, KPK memeriksanya mengenai penjualan satu unit kendaraan roda empat atau mobil Mercedes-Benz 280 SL atas nama bapaknya kepada Ridwan Kamil.
Sementara itu, KPK menduga Ridwan Kamil membeli mobil tersebut dengan menggunakan uang dari dugaan korupsi proyek pengadaan iklan pada Bank BJB periode 2021–2023.
Kemudian, pada 30 September 2025, KPK menyita uang penjualan tersebut yang berjumlah Rp 1,3 miliar dan memutuskan mengembalikan mobil B.J. Habibie ke keluarga.
KPK memutuskan hal tersebut karena Ridwan Kamil baru membayar 50 persen dari total harga yang disepakati, yakni Rp 2,6 miliar.
Diketahui, rumah Ridwan Kamil di Bandung, Jawa Barat, digeledah KPK terkait kasus dugaan korupsi di Bank BJB pada Senin, 10 Maret 2025.
Dari upaya penggeledahan tersebut, KPK menyita motor bermerek Royal Enfield.
Kemudian, pada 24 April 2025, motor tersebut telah dipindahkan ke Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara (Rupbasan) KPK di Jakarta.
Motor itu kemudian diperlihatkan kepada para jurnalis di Rupbasan KPK, Jakarta, pada 25 April 2025.
Selain itu, KPK diketahui juga menyita mobil Mercedes Benz yang dari Ridwan Kamil.
Saat itu, mobil mewah tersebut dititipkan KPK di bengkel di Jawa Barat. Tetapi, mobil itu diklaim tidak mengalami kerusakan.
Mobil Mercedes Benz 280 SL itu ternyata milik B.J. Habibie yang diduga dibeli Ridwan Kamil dengan uang hasil korupsi.
Sementara itu, dalam perkara ini, KPK telah menetapkan lima orang tersangka, yakni Direktur Utama Bank BJB Yuddy Renaldi (YR) dan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) sekaligus Kepala Divisi Corsec Bank BJB Widi Hartoto (WH).
Kemudian, pengendali agensi Antedja Muliatama dan Cakrawala Kreasi Mandiri Ikin Asikin Dulmanan (IAD); pengendali agensi BSC Advertising dan Wahana Semesta Bandung Ekspress Suhendrik (S); dan pengendali Cipta Karya Sukses Bersama Sophan Jaya Kusuma (SJK).
Kelimanya disangkakan dengan Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP
Penyidik KPK memperkirakan kerugian negara akibat dugaan korupsi di Bank BJB tersebut sekitar Rp 222 miliar.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Tag: Asep Guntur
-
/data/photo/2025/09/10/68c1618e5d4b9.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Alasan KPK Tak Pakai Pasal Suap dalam Kasus Kuota Haji Nasional 1 Oktober 2025
Alasan KPK Tak Pakai Pasal Suap dalam Kasus Kuota Haji
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkapkan alasan tidak menggunakan pasal suap dalam kasus dugaan korupsi kuota haji 2024.
Dalam perkara ini, KPK menggunakan pasal kerugian keuangan negara.
Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu mengatakan, penggunaan pasal suap akan lebih mudah karena proses hukum akan berhenti pada pemberi suap dan penerima suap.
“Misalkan si A ingin mendapatkan kuota, si B lalu memberikan kuota yang seharusnya bukan untuk si A. Nah, kemudian si A memberikan sesuatu, sejumlah uang kepada si B sebagai kompensasi atas diberikannya kuota yang bukan miliknya. Hanya sampai di situ,” kata Asep di Gedung Merah Putih, Jakarta, Rabu (1/10/2025).
“Selesai kita membuktikan sebuah tindak pidana, si A kemudian kita bawa dan si B kita ajukan ke pengadilan untuk diadili. Hanya selesai di situ,” sambungnya.
Sementara itu, Asep mengatakan, penggunaan Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) yang mengatur tentang kerugian keuangan negara, KPK tidak hanya memproses hukum mereka yang melanggar aturan, tetapi juga bisa memperbaiki sistem sehingga ada upaya untuk menutup celah terjadinya korupsi.
“Jadi berarti ada sistem yang memang harus diperbaiki. Seperti itu keuntungannya menggunakan Pasal 2, Pasal 3,” ujarnya.
Diketahui, KPK tengah menyidik kasus dugaan korupsi terkait penentuan kuota haji tahun 2023-2024 di Kementerian Agama yang terjadi pada masa Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas.
Dalam perkara ini, KPK menduga terdapat penyelewengan dalam pembagian 20.000 kuota tambahan yang diberikan pemerintah Arab Saudi.
Pelaksana Tugas (Plt) Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu menjelaskan, berdasarkan Pasal 64 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah, diatur bahwa kuota haji khusus ditetapkan sebesar 8 persen, sedangkan kuota haji reguler ditetapkan sebesar 92 persen.
Dengan demikian, 20.000 kuota tambahan haji itu harusnya dibagi menjadi 18.400 atau setara 92 persen untuk haji reguler dan 1.600 atau setara 8 persen untuk haji khusus.
Namun, dalam perjalanannya, aturan tersebut tidak dilakukan Kementerian Agama.
“Tetapi kemudian, ini tidak sesuai, itu yang menjadi perbuatan melawan hukumnya, itu tidak sesuai aturan itu, tapi dibagi dua (yaitu) 10.000 untuk reguler, 10.000 lagi untuk kuota khusus,” ujar Asep.
“Jadi kan berbeda, harusnya 92 persen dengan 8 persen, ini menjadi 50 persen, 50 persen. Itu menyalahi aturan yang ada,” imbuh dia.
KPK menaksir kerugian negara dalam perkara ini mencapai Rp 1 triliun.
KPK pun sudah mencegah tiga orang bepergian ke luar negeri demi kepentingan penyidikan, yakni eks Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas; eks staf khusus Yaqut, Ishfah Abidal Aziz; dan pengusaha biro perjalanan haji dan umrah, Fuad Hasan Masyhur.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -

KPK Tetapkan Eks Dirut PT PGN Tersangka Dugaan Korupsi Jual-Beli Gas
Bisnis.com, JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan sebagai tersangka sekaligus menahan mantan Direktur Utama PT Perusahaan Gas Negara (PGN) Hendi Prio Santoso (HPS) terkait dugaan korupsi jual-beli gas antara PT PGN dengan PT IAE.
“KPK mengumumkan penahanan terhadap satu orang Tersangka, yakni HPS selaku Direktur Utama PT PGN periode 2008 – 2017, terkait dugaan tindak pidana korupsi perjanjian jual-beli gas antara PT PGN dan PT IAE,” Plt. Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu dalam konferensi pers, Rabu (1/10/2025).
Sebelumnya, pada 11 April 2025 KPK juga telah menahan dua tersangka, yaitu Komisaris PT IAE periode 2006-2023, Iswan Ibrahim (ISW); Direktur Komersial PT PGN periode 2016-2019, Danny Praditya.
Hendi ditahan selama 20 hari terhitung sejak tanggal 1 sampai dengan 20 Oktober 2025 di Rutan Cabang KPK Merah Putih. Dalam konstruksi perkaranya, kasus ini bermula ketika PT IAE mengalami kesulitan keuangan dan membutuhkan kucuran dana.
ISW meminta Arso Sudewo (AS) selaku Komisaris Utama dan Pemilik saham mayoritas PT IAE melakukan kerja sama jual-beli gas dengan PT PGN melalui opsi akuisisi menggunakan metode pembayaran advance payment sebesar USD 15 juta.
Padahal pembelian tidak tercantum dalam Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP) tahun 2017 serta tidak melalui prosedur tata kelola yang semestinya.
Yugi Prayanto (YG) selaku kerabat dekat HPS memperkenalkan kepada AS. Alhasil, HPS menyetujui pembelian gas bumi oleh PT PGN dari PT IAE.
Setelah kesepakatan tersebut, AS memberikan commitment fee sebesar 500.000 dolar Singapura kepada HPS di kantornya yang berlokasi di Jakarta.
Bahwa kemudian, atas komitmen fee tersebut, HPS memberikan sebagian uang, sejumlah 10.000 dolar Singapura, kepada YG sebagai imbalan karena telah diperkenalkan kepada AS.
Atas perbuatannya, Tersangka HPS disangkakan melanggar pasal Pasal 2 ayat (1) dan atau Pasal 3 UU No 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 tahun 2001 Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana.
-
/data/photo/2025/09/23/68d268a35b9a7.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
KPK Panggil Lagi Eks Direktur Bank BUMN Jadi Saksi Kasus Mesin EDC
KPK Panggil Lagi Eks Direktur Bank BUMN Jadi Saksi Kasus Mesin EDC
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali memanggil eks Direktur Digital, Teknologi Informasi dan Operasi BRI PT Bank Rakyat Indonesia (BRI) (Persero) Indra Utoyo sebagai saksi terkait kasus dugaan korupsi pengadaan mesin Electronic Data Capture (EDC) pada Rabu (1/10/2025).
Meski dipanggil sebagai saksi, Indra Utoyo juga berstatus sebagai tersangka dalam perkara tersebut.
“Pemeriksaan dilakukan di Gedung Merah Putih KPK,” kata Juru Bicara KPK Budi Prasetyo dalam keterangannya, Rabu.
Selain Indra Utoyo, KPK juga memanggil dua saksi yaitu Andre Santoso selaku Direktur Utama PT Integra Pratama dan Yogi Septiadi selaku Direktur PT Inti Cipta Solusindo.
Meski demikian, Budi belum mengungkapkan materi yang akan didalami penyidik dari pemeriksaan saksi tersebut.
KPK sebelumnya menetapkan lima tersangka dalam kasus ini yakni eks Direktur IT BRI Indra Utoyo, eks Wakil Direktur Utama BRI Catur Budi Harto, eks SEVP Manajemen Aktiva dan Pengadaan BRI Dedi Sunardi, Direktur PT Pasific Cipta Solusi Elvizar, dan petinggi PT Bringin Inti Teknologi Rudi Suprayudi Kartadidjadja.
“Telah ditemukan bukti permulaan yang cukup terkait adanya dugaan tindak pidana korupsi dalam pengadaan EDC Android yang dilakukan secara melawan hukum,” kata Plt Deputi Penindakan KPK, Asep Guntur Rahayu, di Gedung Merah Putih, Jakarta, (9/7/2025).
Kasus ini bermula pada tahun 2019 ketika Elvizar beberapa kali bertemu Indra Utoyo dan Catur Budi Harto yang menyepakati agar perusahaan Elvizar akan menjadi vendor pengadaan EDC bekerja sama dengan PT Bringin Inti Teknologi.
Asep menyebutkan, hal tersebut melanggar aturan karena proses pengadaan barang semestinya melalui vendor dilakukan dengan cara lelang.
“Untuk pengujian ini pun juga tidak dilakukan secara luas, tidak diinformasikan secara luas. Sehingga vendor-vendor lain, merek-merek lain itu tidak bisa mengikutinya,” tutur Asep.
KPK mengungkapkan, atas kesepakatan itu, Catur Budi menerima Rp 525 juta, sepeda, dan dua ekor kuda dari Elvizar.
Dedi Sunardi menerima sepeda Cannondale senilai Rp 60 juta dari Elvizar.
Sementara, Rudi menerima uang sebesar Rp 19,772 miliar sepanjang 2020-2024.
KPK juga menaksir kerugian negara akibat kasus korupsi tersebut mencapai Rp 744 miliar.
“Kerugian keuangan negara yang dihitung dengan metode real cost, sekurang-kurangnya sebesar Rp 744.540.374.314,” ucap dia.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -

KPK Panggil 13 Saksi dalam Kasus Dugaan Korupsi CSR BI-OJK
Bisnis.com, JAKARTA – Penyidik KPK memanggil 13 saksi terkait dugaan korupsi Program Sosial Bank Indonesia atau CSR BI yang juga melibatkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Para saksi berasal dari berbagai latar belakang. 9 saksi merupakan pihak swasta yaitu Ade Andriyani; Fajri Rezano Pengestu Aji; Aziz Maulana; Akhmad Jubaedi; Ujang A; Mohamad Syafi’i; Arsyad Ahmad; Ade Budiman; Yogi Hadi Wibowo.
Sedangkan 4 lainnya, merupakan Mohammad Syahdi sebagai tukang gigi; Nurati selaku pengurus rumah tangga; Johanudin selaku PNS; dan Tika Ikmawati selalu mahasiswa.
“KPK menjadwalkan pemeriksaan pihak-pihak terkait dan saksi dalam dugaan TPK terkait program sosial atau CSR di Bank Indonesia dan OJK. Pemeriksaan dilakukan di Gedung Merah Putih KPK,” kata Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo dalam keterangan tertulis, Selasa (30/9/2025).
Namun, Budi belum menungkapkan materi penyidikan yang akan ditanyakan kepada para saksi. Meski begitu, KPK telah menetapkan dua orang tersangka dalam perkara ini yaitu Satori dan Heri Gunawan selaku anggota Komisi XI DPR RI periode 2019-2024.
Heri Gunawan menerima total Rp15,86 miliar dengan rincian; Rp6,26 miliar dari BI melalui kegiatan Program Bantuan Sosial Bank Indonesia; Rp7,64 miliar dari OJK melalui kegiatan Penyuluhan Keuangan; serta Rp1,94 miliar dari Mitra Kerja Komisi XI DPR RI lainnya.
Plt. Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu menjelaskan Heri Gunawan diduga melakukan dugaan tindak pidana pencucian uang, dengan memindahkan seluruh uang yang diterima melalui yayasan yang dikelolanya, ke rekening pribadi melalui metode transfer.
Heri Gunawan kemudian meminta anak buahnya untuk membuka rekening baru, yang akan digunakan menampung dana pencairan tersebut melalui metode setor tunai.
“HG menggunakan dana dari rekening penampung untuk kepentingan pribadi, diantaranya; pembangunan rumah makan; pengelolaan outlet minuman; pembelian tanah dan bangunan, hingga pembelian kendaraan roda empat,” jelasnya, Kamis (7/8/2025).
Lalu, Satori menerima total Rp12,52 miliar yang meliputi Rp6,30 miliar dari BI melalui kegiatan Program Bantuan Sosial Bank Indonesia, Rp5,14 miliar dari OJK melalui kegiatan Penyuluhan Keuangan, dan Rp1,04 miliar dari Mitra Kerja Komisi XI DPR RI lain.
Sama seperti Heri Gunawan, Satori menggunakan uang tersebut untuk kebutuhan pribadi seperti deposito, pembelian tanah pembangunan showroom, pembelian kendaraan roda dua, dan aset lainnya.
Satori melakukan rekayasa perbankan dengan cara meminta salah satu bank menyamarkan penempatan deposito sehingga pencairan tidak teridentifikasi di rekening koran.
-

Ahok Buka Suara Usai Namanya Disebut Dalam Kasus Korupsi LNG Pertamina
Bisnis.com, JAKARTA – Mantan Komisaris Utama Pertamina, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok buka suara usai namanya disebut-sebut dalam kasus korupsi LNG Pertamina.
Ahok menegaskan, kasus korupsi LNG Pertamina telah terjadi sejak sebelum dirinya diangkat menjadi Komisaris Utama Pertamina. Di samping itu, Ahok mengaku sama sekali tidak kenal dengan tersangka yang menyebutkan namanya di KPK itu.
“Justru pada masa saat jadi komut yang menemukan ada kejanggalan pembelian dan dilaporkan untuk diaudit dan saya juga sudah 2 kali diperiksa untuk jadi saksi menjelaskan,” ujarnya kepada Bisnis, Senin (29/9/2025).
Sebelumnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merespons penyebutan nama mantan Komisaris Utama PT Pertamina (Persero) Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok oleh tersangka kasus dugaan korupsi dalam pengadaan gas alam cair atau liquefied natural gas (LNG) di Pertamina tahun 2011–2021 sekaligus mantan Direktur Gas Pertamina Hari Karyuliarto.
“Harusnya disampaikannya ke penyidik,” ujar Pelaksana Tugas Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu seperti dikutip dari Antara pada Senin (29/9/2025).
Oleh sebab itu, Asep menduga Hari Karyuliarto menyampaikan pernyataan tersebut di luar ruang pemeriksaan agar diliput media.
“Akan tetapi, saya yakin juga ini sudah disampaikan. Kalau memang benar demikian, sudah disampaikan yang bersangkutan kepada penyidik pada saat diperiksa,” katanya.
Sebelumnya, pada 25 September 2025, Hari Karyuliarto saat berjalan memasuki Gedung Merah Putih KPK menyebut nama Ahok sebagai pihak yang juga bertanggung jawab di kasus tersebut.
“Untuk kasus LNG, saya minta Ahok dan Nicke (mantan Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati, red.) bertanggung jawab. Salam buat mereka berdua ya,” katanya.
Sekadar informasi, KPK mengeluarkan surat perintah penyidikan kasus dugaan suap pengadaan gas alam cair tersebut pada 6 Juni 2022.
Dalam kasus tersebut, KPK telah menetapkan Direktur Utama Pertamina periode 2011–2014 Karen Agustiawan sebagai tersangka dalam kasus yang merugikan keuangan negara sekitar 140 juta dolar Amerika Serikat.
Karen kemudian divonis selama sembilan tahun penjara dan denda Rp500 juta subsider tiga bulan kurungan oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, pada 24 Juni 2024.
Mahkamah Agung pada 28 Februari 2025 lantas memperberat vonis Karen menjadi 13 tahun penjara.
Sementara pada 2 Juli 2024, KPK menetapkan dua tersangka baru untuk kasus tersebut, yakni mantan Pelaksana Tugas Dirut Pertamina Yenni Andayani, dan mantan Direktur Gas Pertamina Hari Karyuliarto.
KPK pada 31 Juli 2025, menahan Yenni Andayani dan Hari Karyuliarto.
-
/data/photo/2023/11/28/6565bc94105b9.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
KPK Akan Mulai Penyidikan Makanan Cegah Stunting Meski Belum Ada Tersangka Nasional 26 September 2025
KPK Akan Mulai Penyidikan Makanan Cegah Stunting Meski Belum Ada Tersangka
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berencana menerbitkan surat perintah penyidikan (sprindik) umum terkait kasus dugaan korupsi pengadaan Pemberian Makanan Tambahan (PMT) pencegah
stunting
untuk balita dan ibu hamil di Kementerian Kesehatan (Kemenkes).
“Rencananya sprindik umum. Rencana itu. Kenapa sprindik umum? Begini, jadi kita di beberapa perkara kita digugat praperadilannya,” kata Plt Deputi Penindakan KPK Asep Guntur Rahayu di Gedung Merah Putih, Jakarta, Kamis (25/9/2025).
Sprindik umum berarti penyidikan tanpa didahului penetapan tersangka terlebih dahulu. KPK mengatakan, sprindik umum ini diterbitkan untuk menghindari adanya gugatan praperadilan.
Asep mengatakan, gugatan praperadilan biasanya diajukan oleh para tersangka dengan alasan belum pernah diperiksa KPK.
Karenanya, kata dia, sprindik umum menjadi jalan keluar agar KPK bisa mendalami perbuatan tersangka dan melakukan upaya paksa lainnya.
“Keuntungan dengan sprindik umum adalah kita juga bisa melakukan upaya paksa tadi. Bisa melakukan penggeledahan, penyitaan, di mana itu tidak bisa dilakukan pada saat penyelidikan. Sehingga penentuan terhadap tersangkanya itu menjadi lebih kuat,” ujarnya.
Sebelumnya sekitar dua bulan lalu, KPK sedang menyelidiki dugaan korupsi pengadaan PMT untuk balita dan ibu hamil di Kemenkes.
“Tindak pidana korupsi terkait itu masih lidik,” kata Pelaksana Tugas (Plt) Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu di Gedung Merah Putih, Jakarta, 17 Juli 2025 lalu.
Namun, Asep belum merinci soal penyelidikan tersebut karena pelaksanaannya biasanya dilakukan secara tertutup sampai ke tahap penyidikan.
Akan tetapi, berdasarkan informasi yang dihimpun, penyelidikan dilaksanakan sejak awal tahun 2024, sementara itu dugaan korupsi PMT itu diduga terjadi pada 2016-2020.
”
Clue
-nya adalah (terkait pengadaan) makanan bayi dan ibu hamil,” ujarnya.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
/data/photo/2025/07/09/686e5f8621d30.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
/data/photo/2025/08/28/68b01020aa1a1.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)

