Tag: Arthur Simatupang

  • Ada Risiko RI Rugi Ekspor Listrik ke Singapura, Ekonom Ingatkan Hal Ini

    Ada Risiko RI Rugi Ekspor Listrik ke Singapura, Ekonom Ingatkan Hal Ini

    Bisnis.com, JAKARTA — Indonesia sepakat mengekspor listrik bersih ke Singapura dengan kapasitas sebesar 3,4 gigawatt (GW) hingga 2035. Ekonom pun mengingatkan jangan sampai kesepakatan itu malah balik merugikan Indonesia.

    Sebagai kesepakatan, Singapura akan memulai pengembangan kawasan industri hijau yang potensial di wilayah Bintan, Batam dan Karimun, Kepulauan Riau (Kepri). 

    Secara total, RI-Singapura menyiapkan investasi mencapai lebih dari US$10 miliar atau setara Rp162,67 triliun (asumsi kurs Rp16.267 per US$) untuk membangun rantai pasok panel surya, mematenkan teknologi penangkapan karbon (carbon capture and storage/CCS) dan merintis kawasan industri hijau itu.

    Ekonom Senior CORE Indonesia Muhammad Ishak Razak menilai penjualan listrik berbasis energi baru terbarukan (EBT) ke Singapura juga berpotensi mendatangkan devisa yang signifikan. Selain itu, investasi EBT dari Singapura akan dapat memberikan dampak positif bagi pengembangan ekosistem energi hijau di Indonesia.

    Namun, hal ini perlu dimitigasi agar investasi tidak hanya menjadikan Indonesia sebagai lokasi pembangunan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) milik Singapura saja. Ishak mengingatkan, jangan sampai kerja sama itu tak menghasilkan manfaat yang optimal bagi Indonesia serta merugikan secara sosial dan lingkungan.

    “Jika ekosistem EBT tersebut nantinya dikuasai oleh investor asing, Indonesia berisiko hanya menjadi penyedia lahan tanpa mendapatkan manfaat ekonomi yang substansial karena produksi, pengelolaan, dan hasil listriknya dinikmati pihak asing,” kata Ishak kepada Bisnis, Senin (16/6/2025).

    Oleh karena itu, salah satu aspek penting yang perlu didorong adalah penggunaan komponen lokal, seperti panel surya, inverter, dan baterai yang diproduksi di dalam negeri. Menurutnya, hal ini tidak hanya mendukung industri lokal, tetapi juga menciptakan lapangan kerja di sektor produksi dan operasional PLTS.

    Dia menilai, manfaat bagi Indonesia akan minim jika pembangunan PLTS untuk ekspor ke Singapura masih mengandalkan komponen impor, sebagaimana yang terjadi pada PLTS Cirata. Untuk mengatasi hal ini, pemerintah dapat mendorong keterlibatan badan usaha milik negara (BUMN), khususnya PT PLN Indonesia Power (PLN IP), dalam penyediaan panel surya dan komponen lainnya. 

    “Keterlibatan BUMN ini juga sejalan dengan regulasi yang menetapkan PLN sebagai pengelola distribusi kelistrikan nasional,” imbuh Ishak.

    Selain itu, partisipasi PLN dalam proyek ini dapat memastikan bahwa kepentingan domestik tetap menjadi prioritas. Misalnya, PLN dapat mengatur distribusi listrik agar kebutuhan lokal terpenuhi terlebih dahulu, terutama jika terjadi kekurangan pasokan di wilayah setempat, sebelum memenuhi kebutuhan ekspor ke negara lain. 

    Lebih lanjut, Ishak juga menyoroti terkait perjanjian pembelian tenaga listrik atau power purchase agreement (PPA). Menurutnya, negosiasi PPA harus diawasi oleh pemerintah sehingga dipastikan tidak merugikan Indonesia. 

    “Sebagai contoh, klausul prioritas penggunaan domestik jika terjadi kekurangan produksi, harga yang menguntungkan, peluang renegosiasi jika terjadi perubahan komponen produksi atau risiko, dan sebagainya,” ucap Ishak.

    Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Produsen Listrik Swasta Indonesia (APLSI) Arthur Simatupang menyambut positif kesepakatan ekspor listrik bersih ke Singapura. Menurutnya, hal ini positif selama banyak manfaat bagi kedua belah pihak.

    Dia pun menilai kesepakatan itu bisa menjadi peluang untuk membuka lapangan kerja. Apalagi, ekspor listrik itu disebut bakal dilakukan perusahaan swasta.

    “APLSI melihat ini sebagai peluang terutama dari sisi investasi dan penciptaan lapangan kerja,” katanya.

    Sebelumnya, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia akhirnya merestui ekspor EBT ke Singapura usai sebelumnya menagih manfaatnya bagi RI. Ekspor itu akan dilakukan oleh perusahaan swasta.

    Adapun, kapasitas ekspor listrik EBT lintas batas ke Singapura diperkirakan mencapai 3,4 GW. Untuk memenuhi permintaan tersebut, Kementerian ESDM memperkirakan akan dibutuhkan 18,7 GW produksi panel surya dan 35,7 GWh produksi baterai.

  • Video: Bank “Enggan” Biayai EBT, Swasta Minta Jaminan Pemerintah

    Video: Bank “Enggan” Biayai EBT, Swasta Minta Jaminan Pemerintah

    Jakarta, CNBC Indonesia- Ketua Umum Asosiasi Produsen Listrik Swasta Indonesia (APLSI), Arthur Simatupang mengungkapkan sejumlah tantangan RI mencapai target penambahan pembangkit EBT guna mencapai target pembangkit 69,5 Gigawatt yang termuat dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT PLN (Persero) 2025-2034.

    Dalam pengembangan pembangkit EBT, dibutuhkan investasi yang besar di awal proyek dari lembaga pembiayaan. Dimana daya tarik pendanaan EBT sangat erat kaitannya dengan risiko proyek sehingga memerlukan dukungan kepastian iklim investasi.

    Selain itu juga diperlukan penjaminan dari pemerintah untuk memberikan keyakinan terhadap perbankan terhadap kepastian proyek pembangkit EBT.

    Seperti apa tantangan pengembangan pembangkit EBT RI? Selengkapnya simak dialog Shinta Zahara dengan Ketua Umum Asosiasi Produsen Listrik Swasta Indonesia (APLSI), Arthur Simatupang dalam Squawk Box, CNBC Indonesia (Selasa, 27/05/2025)

  • RUPTL Baru Resmi Dirilis, Begini Harapan Pengusaha

    RUPTL Baru Resmi Dirilis, Begini Harapan Pengusaha

    Jakarta, CNBC Indonesia – Pemerintah baru saja merilis Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) periode 2025-2034. Indonesia akan membangun pembangkit listrik berbasis Energi Baru Terbarukan (EBT) terbesar sepanjang sejarah.

    Pasalnya, 76% dari proyek pembangkit listrik baru yang akan dibangun sampai 2034, 76% berasal dari energi baru terbarukan.

    Dari rencana tambahan pembangkit listrik baru yang akan dibangun sebesar 69,5 Giga Watt (GW) sampai 10 tahun mendatang, 76% berasal dari EBT, terdiri dari 42,6 GW berasal dari pembangkit listrik berbasis EBT atau setara 61%, dan 10,3 GW atau setara 15% dari sistem penyimpanan (storage) baterai dari sumber energi terbarukan, seperti PLTA Pumped Storage dan baterai.

    Lantas, bagaimana tanggapan dari pengembang listrik swasta terhadap RUPTL terbaru ini? Bagaimana harapannya terhadap RUPTL terbaru ini?

    Ketua Umum Asosiasi Produsen Listrik Swasta Indonesia (APLSI) Arthur Simatupang pun mengungkapkan harapannya atas RUPTL terbaru tersebut. Dia pun meminta dukungan pemerintah dan PT PLN (Persero) agar target-target yang telah ditetapkan dalam RUPTL 2025-2034 ini bisa berjalan lancar dan terwujud.

    “Kami melihatnya positif. Kami tentu berharap bahwa ini RUPTL ini hanya menjadi permulaan saja. Jadi, kita tentu mengharapkan dukungan pemerintah, dukungan banking, dan juga kita punya mitra pemerintah dalam hal ini, BUMN-nya, PLN yang mendapatkan tugas utama untuk menyelesaikan investasi kelistrikan,” jelas Arthur kepada CNBC Indonesia dalam program Energy Corner, dikutip Rabu (28/5/2025).

    Dia mengatakan, pelaku usaha swasta tentunya juga menyambut positif rencana kelistrikan ini, karena selain memiliki peluang bisnis di sisi pembangkit, tapi juga bisa berperan mendukung jasa infrastruktur ketenagalistrikan.

    “Jadi, kita mengharapkan suksesnya RUPTL ini bukan hanya menjadi satu roadmap, tapi memang sesuatu yang betul-betul achievable dan bisa berhasil dilakukan oleh semua pihak,” imbuhnya.

    Sebelumnya, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia memaparkan bahwa RUPTL terbaru tersebut membuka peluang investasi hingga mencapai Rp 2.967,4 triliun hingga 2034. Investasi tersebut terbagi ke dalam beberapa sektor.

    “Peluang investasi dari periode 2025 sampai 2034 adalah sebesar Rp 2.967,4 triliun,” kata Bahlil dalam Konferensi Pers terkait RUPTL PLN 2025-2034 di Gedung Kementerian ESDM, Jakarta, Senin (26/5/2025).

    Ia pun memerinci, investasi tersebut mencakup pembangunan pembangkit listrik dengan nilai Rp 2.133,7 triliun, kemudian penyaluran seperti untuk transmisi, gardu induk, distribusi dan listrik desa sebesar Rp 565,3 triliun dan lainnya sebesar Rp 268,4 triliun.

    Bahlil membeberkan, pada periode 2025-2029 total investasi yang dibutuhkan diproyeksikan akan mencapai Rp 1.173,94 triliun, sementara itu pada periode kedua yakni pada 2030-2034 diperkirakan mencapai Rp 1.793,48 triliun.

    “Memang harus dua kali. Supaya ada kesinambungan gak boleh dirubah. Kenapa ini kita breakdown supaya gak tumpang tindih agar tidak ada pesan-pesan di belakang meja,” kata dia.

    Dari sisi investasi di sektor pembangkit listrik sebesar Rp 2.133,7 triliun, akan didominasi oleh produsen listrik swasta atau Independent Power Producer (IPP) dengan porsi sekitar 73% atau senilai Rp 1.566,1 triliun. Dari angka tersebut, porsi EBT sebesar Rp 1.341,8 triliun dan Non-EBT sebesar Rp 224,3 triliun.

    “Dari situ kita lihat investasinya khusus pembangkit IPP-nya Rp 1.566,1 triliun ini yang investasi swasta. PLN Rp 567,6 triliun,” ungkapnya.

    (wia)

  • Target Ambisius Penambahan Pembangkit Era Prabowo, Realistis?

    Target Ambisius Penambahan Pembangkit Era Prabowo, Realistis?

    Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah berencana menambah pasokan listrik secara masif guna menggenjot pertumbuhan ekonomi hingga 8% pada 2029. Hal ini terlihat dari perencanaan yang tertuang dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT PLN (Persero) 2025-2034.

    Dalam RUPTL perdana yang diterbitkan di era pemerintahan Presiden Prabowo Subianto tersebut, rencana penambahan pembangkit listrik ditargetkan mencapai 69,6 gigawatt (GW). Angka ini lebih tinggi dibandingkan RUPTL 2021–2030 yang hanya 40,6 GW.

    Adapun, 61% atau 42,6 GW dari total kapasitas pembangkit dalam RUPTL 2025-2034 akan berasal dari energi baru dan terbarukan (EBT). Sementara itu, porsi pembangkit fosil dipatok sebesar 24% atau 16 GW yang terdiri atas gas 10,3 GW dan batu bara 6,3 GW. Sisanya, 10,3 GW berupa penyimpanan atau storage yang terdiri atas baterai 4,3 GW dan PLTA pumped storage 6 GW. 

    Namun, target yang terbilang ambisius itu dikhawatirkan dapat menimbulkan risiko kelebihan pasok (oversupply) sebagaimana pernah terjadi di era pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi).

    Kala itu, pemerintah mencanangkan megaproyek 35.000 megawatt (MW) dengan asumsi pertumbuhan ekonomi di rentah 7-8%. Oversupply terjadi lantaran pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan konsumsi listrik tak setinggi proyeksi awal. 

    Untuk itu, Direktur Pelaksana Energy Shift Institute Putra Adhiguna mengingatkan pemerintah harus lebih hati-hati dalam mengeksekusi perencanaan penambahan pembangkit. Sebab, tantangan oversupply listrik masih membayangi.

    “Harus sangat hati-hati dalam perencanaan. Proyeksi pertumbuhan ekonomi berlebihan di masa lalu akibatnya fatal pada oversupply saat ini dan kerugian APBN belasan triliun setiap tahunnya,” jelas Putra kepada Bisnis, Senin (26/5/2025) malam.

    Kendati demikian, dia mengatakan, peningkatan bauran EBT dalam RUPTL 2025-2034 patut diapresiasi. Menurutnya, hal ini menjadi indikator komitmen maju dan semakin menantangnya pendanaan PLTU baru.

    Putra pun menyebut, yang lebih penting adalah memastikan proses pengadaan dari PLN berjalan cepat dan benar. Apalagi, investasi ketenagalistrikan dan energi bersih dalam 6 tahun terakhir cenderung datar dan menurun meski telah ada RUPTL 2021–2030.

    “Target ambisius yang perlu keseriusan dan pengadaan yang jelas,” katanya.

    Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Produsen Listrik Swasta Indonesia (APLSI) Arthur Simatupang menyambut baik terbitnya RUPTL 2025-2034. Menurutnya, pengusaha bisa ikut berpartisipasi secara maksimal jika proyek yang dikerjakan bisa lebih bankable.

    Adapun, kebutuhan investasi untuk sektor ketenagalistrikan dalam RUPTL 2025-2034 diproyeksikan mencapai Rp2.967,4 triliun. Kebutuhan investasi itu untuk pembangunan pembangkit mencapai Rp2.133,7 triliun, transmisi Rp565,3 triliun, dan lainnya Rp268,4 triliun.

    Khusus investasi di sektor pembangkit yang mencapai Rp2.133,7 triliun, sekitar 73% dialokasikan untuk partisipasi produsen listrik swasta atau independent power producer (IPP).

    Menyambut peluang tersebut, Arthur mengaku masih menunggu detail resmi setiap proyek pembangkit listrik per lokasi yang akan dilelang PLN. 

    “Sebaiknya project detail per lokasi kami lihat dulu. Tentunya kelayakan finansial jadi pertimbangan besar, apakah bankable atau tidak,” ucap Arthur.

    Dia juga mengingatkan agar pemerintah benar-benar mengimplementasikan perencanaan yang sudah disetujui di RUPTL itu. Arthur menyebut, pemerintah harus memastikan proyek kelistrikan bisa berjalan tanpa hambatan. 

    “[Jangan ada hambatan] perizinan, pembebasan lahan, hingga financial close pendanaan sehingga semua tepat waktu tanpa delay lagi,” katanya.

    Industri Didorong Serap Listrik PLN

    Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengakui bahwa penambahan pembangkit dalam RUPTL 2025-2034 dipatok lebih tinggi. Hal ini demi mengejar pertumbuhan ekonomi 8% pada 2029.

    “Ini semua kita lakukan dengan memperhitungkan, mempertimbangkan tingkat pertumbuhan ekonomi kita yang mencapai pada akhirnya 8%. Jadi konsumsi listrik per kapita kita juga, kita hitung secara seksama,” kata Bahlil dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (26/5/2025).

    Terlebih, saat ini pemerintah juga tengah menggenjot hilirisasi dan industrialisasi yang memerlukan pasokan listrik yang besar dan andal. 

    Untuk meningkatkan penyerapan listrik, pemerintah juga akan mewajibkan pelaku industri, yang tadinya menggunakan pembangkit listrik sendiri atau captive power, untuk menyerap listrik PLN. 

    “Nah, kami ingin mereka harus punya [listrik dari] PLN. PLN harus memberikan market captive daripada industri tersebut,” kata Bahlil.

    Porsi Fosil Jadi Ganjalan

    Di sisi lain, masih adanya porsi pembangkit fosil dalam RUPTL 2025-2034 dinilai menjadi ganjalan bagi iklim investasi energi terbarukan di Indonesia.

    Menurut Direktur Eksekutif Centre of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira, investor di sektor energi terbarukan dan pembangunan transmisi akan bingung dengan 2025-2034. Sebab, pemerintah tidak memiliki rencana yang ambisius dalam transisi energi. 

    “Misalnya mereka mau membangun industri komponen lokal panel surya dan baterai, ternyata arah pemerintah masih berkutat di instalasi pembangkit batu bara dan teknologi yang mahal. Ada ketidakpastian dari sisi investasi yang membuat daya saing Indonesia tertinggal,” kata Bhima dalam keterangan tertulis.

    Dia juga berpendapat RUPTL anyar ini justru berisiko menjadi batu sandungan bagi penciptaan lapangan kerja dan motor pertumbuhan ekonomi. 

    “Apa RUPTL ini menjawab target pertumbuhan 8%? Saya rasa tidak sama sekali. Tidak ada cara lain, pemerintah harus segera melakukan revisi RUPTL dengan menghapus rencana pembangunan pembangkit fosil,” katanya.