Tag: Arsul Sani

  • Sosok Suryadharma Ali di Mata Hakim Konstitusi Arsul Sani: Sifatnya Selalu Khusnudzon – Page 3

    Sosok Suryadharma Ali di Mata Hakim Konstitusi Arsul Sani: Sifatnya Selalu Khusnudzon – Page 3

    Arsul menambahkan, sebagai ketua umum PPP, kala itu SDA sering berdiskusi tentang persoalan hukum. Bukan sebagai atasan dan anak buah, melainkan rekan yang saling mengisi. 

    “Selama menjadi pengurus PPP dibawah beliau sebagai ketua umum, setiap diskusi isu hukum dengan beliau, maka itu sebagai obrolan antar teman, tidak model percakapan pimpinan dan ank buah,” ungkap Arsul. 

    Mendoakan mendiang SDA, Arsul memanjatkan doa terbaik agar almarhum diterima di sisi-Nya. “Buat saya wafatnya beliau tentu sebuah kehilangan, namun saya percaya beliau husnul khotimah,” dia menandasi.

    Diberitakan sebelumnya, Mantan Menteri Agama RI, Suryadharma Ali dikabarkan meninggal dunia. Dia disebut tutup usia hari ini, Kamis (31/7/2025) pukul 04.18 WIB.

    Akun Instagram resmi Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam (Bimas Islam) Kementerian Agama (Kemenag) membenarkan kabar duka tersebut.

    “Meninggal pada hari Kamis, 31 Juli 2025, pukul 04.18 WIB di RS. Mayapada Jakarta,” tulis akun @bimasislam, dikutip Liputan6.com, Kamis pagi.

     

  • Pimpinan Organisasi Advokat Dilarang Rangkap Pejabat Negara, MK: Hindari Konflik Kepentingan
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        30 Juli 2025

    Pimpinan Organisasi Advokat Dilarang Rangkap Pejabat Negara, MK: Hindari Konflik Kepentingan Nasional 30 Juli 2025

    Pimpinan Organisasi Advokat Dilarang Rangkap Pejabat Negara, MK: Hindari Konflik Kepentingan
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com

    Mahkamah Konstitusi
    (
    MK
    ) menyebut, putusan yang melarang pimpinan organisasi
    advokat
    merangkap
    pejabat negara
    bertujuan untuk menghindari potensi benturan kepentingan atau
    conflict of interest
    .
    Pernyataan ini disampaikan Hakim Konstitusi Arsul Sani saat membacakan pertimbangan Putusan Perkara Nomor 183/PUU-XXII/2024 terkait uji materiil Pasal 28 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang
    Advokat
    yang telah dimaknai MK melalui Putusan Nomor 91/PUU-XX/2022.
    Arsul mengatakan, MK memiliki dasar kuat dan fundamental untuk menyatakan pimpinan organisasi advokat harus berstatus non-aktif jika diangkat menjadi pejabat negara.
    “Hal demikian diperlukan agar pimpinan organisasi advokat sebagai pejabat negara dimaksudkan untuk menghindari potensi benturan kepentingan (
    conflict of interest
    ) apabila diangkat/ditunjuk sebagai pejabat negara, termasuk jika diangkat/ditunjuk sebagai menteri atau wakil menteri,” kata Arsul, di Gedung MK, Jakarta, Rabu (30/7/2025).
    Putusan Nomor 91/PUU-XX/2022 menyatakan, seseorang boleh menjabat pimpinan organisasi advokat dalam waktu 5 tahun dan dua periode, serta tidak boleh merangkap pimpinan partai politik tingkat pusat atau daerah.
    Pengacara bernama Andri Darmawan lalu menggugat Pasal 28 Ayat (3) tersebut yang telah dimaknai pada 2022.
    Dalam permohonannya, ia meminta mahkamah menambah pembatasan bahwa pemimpin advokat juga tidak boleh merangkap pejabat negara.
    Dalam dalilnya, ia mencotohkan Ketua Umum Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi)
    Otto Hasibuan
    yang saat ini menjabat Wakil Menteri Koordinator bidang Hukum, Imigrasi, dan Pemasyarakatan.
    Mencermati dalil pemohon, Arsul menyebut, pembatasan jabatan pimpinan organisasi advokat seharusnya diatur jelas dalam norma undang-undang.
    Sebab, advokat juga merupakan penegak hukum yang memiliki kedudukan setara dengan penegak hukum lain.
    “Pembatasan jabatan pimpinan organisasi advokat demikian seharusnya diatur secara jelas dalam norma undang-undang seperti halnya penegak hukum lainnya, untuk menghindari penyalahgunaan kewenangan,” tutur Arsul.
    Mahkamah kemudian memutuskan mengabulkan sebagian permohonan Andri.
    Mahkamah menyatakan, Pasal 28 Ayat (3) yang telah dimaknai melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XX/2022 itu bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai dengan norma yang ditambahkan dalam putusan ini.
    “Tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai Pimpinan organisasi advokat memegang masa jabatan selama 5 tahun dan hanya dapat dipilih kembali 1 kali dalam jabatan yang sama, baik secara berturut-turut atau tidak berturut-turut, dan tidak dapat dirangkap dengan pimpinan partai politik, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah dan non-aktif sebagai pimpinan organisasi advokat apabila diangkat/ditunjuk sebagai pejabat negara,” kata Ketua MK Suhartoyo, saat membacakan putusan.
    Kompas.com telah menghubungi Otto Hasibuan untuk meminta tanggapan terkait putusan ini.
    Namun, hingga berita ini ditulis, ia belum merespons.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Saksi Ahli MK: RUU TNI tak penuhi syarat “carry over”

    Saksi Ahli MK: RUU TNI tak penuhi syarat “carry over”

    RUU TNI Perubahan tidak memenuhi syarat untuk menggunakan mekanisme carry over karena tidak pernah dinyatakan dalam dokumen tertulis yang dapat dijadikan dasar pembenarannya

    Jakarta (ANTARA) – Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia Mohammad Novrizal sebagai saksi ahli dalam sidang di Mahkamah Konstitusi (MK) menilai pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) TNI Perubahan di DPR tidak memenuhi syarat carry over (mekanisme operan/pemindahan dari periode sebelumnya).

    Pernyataan itu disampaikan Novrizal ketika menjadi ahli dari pihak pemohon dalam perkara pengujian formal (formil) UU Nomor 3 Tahun 2025 tentang Perubahan atas UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI di MK, Jakarta, Selasa.

    “RUU TNI Perubahan tidak memenuhi syarat untuk menggunakan mekanisme carry over karena tidak pernah dinyatakan dalam dokumen tertulis yang dapat dijadikan dasar pembenarannya,” kata Novrizal.

    Dia menjelaskan bahwa pembentukan peraturan perundang-undangan secara carry over harus didasarkan pada surat keputusan DPR yang mengakui mekanisme pembuatannya sebagai carry over.

    Pemindahan pembahasan RUU yang sudah berjalan dari suatu periode keanggotaan DPR ke periode berikutnya diatur dalam Pasal 71A UU Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU P3).

    Namun, menurut Novrizal, keterangan DPR dalam sidang sebelumnya —yang menyebut pembentukan UU TNI menggunakan carry over— tidak didasari dengan bukti konkret karena tidak ada dokumen tertulis bahwa RUU TNI Perubahan diputuskan menggunakan mekanisme dimaksud.

    “Bahkan tidak ada pula pembaruan SK DPR untuk menerangkan bahwa RUU TNI Perubahan menggunakan mekanisme carry over,” ucapnya.

    Selain itu, lanjut dia, Pasal 71A UU P3 juga mensyaratkan carry over tidak hanya berdasarkan kesepakatan politik antara DPR dan Pemerintah, tetapi juga syarat lain seperti RUU telah memasukkan pembahasan daftar inventarisasi masalah (DIM) pada periode keanggotaan DPR sebelumnya.

    Setelah menyelidiki dokumen-dokumen DPR periode terdahulu, Novrizal mengaku mendapati bahwa RUU TNI Perubahan belum memasuki pembahasan DIM pada masa keanggotaan DPR sebelum periode keanggotaan 2024–2029.

    “Kesimpulannya, RUU TNI Perubahan belum memasuki pembahasan DIM pada masa keanggotaan DPR sebelumnya sehingga tidak memenuhi kualifikasi syarat untuk menggunakan mekanisme carry over,” katanya.

    Menurut Novrizal, kondisi tersebut menyebabkan pembuatan UU TNI yang diundangkan pada 26 Maret 2025 itu dapat dianggap tidak memenuhi prosedur.

    Sementara itu, Hakim Konstitusi Arsul Sani saat sesi tanya jawab menyinggung keterangan Presiden pada sidang sebelumnya.

    Menurut Arsul, dalam keterangan Presiden disebutkan ada kesepakatan antara DPR dan Pemerintah bahwa pembahasan RUU TNI Perubahan diserahkan kepada DPR periode keanggotaan 2024–2029.

    Arsul mengakui kesepakatan yang demikian tidak diatur secara spesifik di dalam UU P3, maka dari itu Arsul bertanya bisa-tidaknya hal tersebut dilakukan menurut kaca mata akademisi hukum tata negara.

    “Pertanyaannya, apakah sesuatu yang tidak spesifik diatur dalam UU P3 itu kemudian menjadi tidak boleh dilakukan ketika pembentuk undang-undangnya sepakat? … Kalau kemudian kita mengatakan itu tidak boleh dilakukan atas dasar apa? Sama juga pertanyaannya, kalau itu boleh dilakukan atas dasar apa juga itu dilakukan?,” tanya Arsul.

    Menjawab pertanyaan itu, Novrizal mengatakan semua tindakan pejabat negara seharusnya berdasarkan hukum, demi tertibnya penyelenggaraan negara. Ia juga menyebut DPR seharusnya dapat melengkapi peraturan yang belum ada, mengingat parlemen Indonesia sudah berjalan sejak lama.

    “DPR kita ini kan bukan baru … Artinya, DPR itu sebetulnya sudah tahu apa yang harus dilakukan dalam pembuatan suatu UU … Jadi, seharusnya DPR kalau memang merasa kurang aturan mainnya di dalam tatib (tata tertib), ya, lengkapilah,” katanya.

    Pewarta: Fath Putra Mulya
    Editor: Edy M Yakub
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • 2
                    
                        Sidang UU Hak Cipta Ariel Cs, Hakim: Nyanyi di Kawinan Harus Bayar Royalti?
                        Nasional

    2 Sidang UU Hak Cipta Ariel Cs, Hakim: Nyanyi di Kawinan Harus Bayar Royalti? Nasional

    Sidang UU Hak Cipta Ariel Cs, Hakim: Nyanyi di Kawinan Harus Bayar Royalti?
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Hakim Konstitusi Arsul Sani mempertanyakan, apakah menyanyi di sebuah acara
    pernikahan
    harus membayar royalti kepada pencipta lagu?
    Hal itu ditanyakan Arsul dalam sidang lanjutan uji materi Undang-Undang Hak Cipta Nomor 28 Tahun 2014 yang dimohonkan oleh Nazril Ilham (
    Ariel Noah
    ) dan 28 musisi lainnya dengan nomor perkara 28/PUU-XXIII/2025.
    Pertanyaan ini ditujukan Arsul kepada Direktur Jenderal Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum, Razilu, yang menjadi wakil pemerintah dalam sidang tersebut.
    “Saya membayangkan begini Pak, misalnya dalam satu pesta perkawinan nih, yang hadir banyak juga, karena sekarang kan banyak orang kaya. Kalau menyelenggarakan perkawinan kan sampai 10 ribu (tamu) juga kan, jadi sudah seperti konser sendiri gitu kan, terus undang penyanyi,” kata Arsul dalam sidang di Gedung MK, Senin (30/6/2025).
    Kemudian, hal yang lumrah dilakukan dalam acara perkawinan adalah biduan atau penyanyi menawarkan judul lagu untuk dinyanyikan dalam acara tersebut.
    “Nah, apakah yang begini ini juga kemudian terkena kewajiban untuk membayar itu tadi royalti?” kata dia.
    Arsul mengatakan, kasus menyanyi di pernikahan ini sudah pasti memiliki unsur komersialisasi.
    Namun, dia mengatakan, unsur komersial tidak seperti konser yang berbayar dengan tiket yang harganya sudah dipatok.
    “Nah, sekiranya itu saja dari saya Pak Dirjen, mohon dilengkapi ya, karena ini yang terutama yang terkait dengan pidana. Karena sekarang ini orang cenderung, apalagi kalau lagi punya kekuasaan, menggunakan kedudukan status kekuasaannya itu untuk memidanakan. Dan biasanya penegak hukum kita itu kalau yang pelapornya punya kekuasaan juga lebih responsif,” imbuhnya.

    Sebagai informasi, Ariel bersama 28 musisi lainnya melakukan uji materi
    UU Hak Cipta
    Nomor 28 Tahun 2014.
    Ada beragam permintaan Ariel Cs kepada MK yang didasari kasus tuntutan pencipta lagu kepada musisi yang marak terjadi belakangan.
    Salah satu permohonan mereka adalah meminta MK membolehkan penyanyi membawakan lagu tanpa izin pencipta lagu, asalkan membayar royalti.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Ini Alasan RMB-ATK Gugat Hasil PSU Palopo dan Minta Naili-Syarifuddin Didiskualifikasi
                
                    
                        
                            Regional
                        
                        17 Juni 2025

    Ini Alasan RMB-ATK Gugat Hasil PSU Palopo dan Minta Naili-Syarifuddin Didiskualifikasi Regional 17 Juni 2025

    Ini Alasan RMB-ATK Gugat Hasil PSU Palopo dan Minta Naili-Syarifuddin Didiskualifikasi
    Tim Redaksi
    PALOPO, KOMPAS.com

    Mahkamah Konstitusi
    (MK) kembali menggelar sidang perkara
    sengketa hasil
    Pemungutan Suara Ulang (PSU) Wali Kota dan Wakil Wali Kota Palopo, Sulawesi Selatan.
    Sidang perdana dengan agenda pemeriksaan pendahuluan dilaksanakan di Gedung MK RI, Jakarta, pada Selasa (17/6/2025).
    Perkara ini terdaftar dengan Nomor 326/PHPU.WAKO-XXIII/2025 dan diajukan oleh pasangan calon wali kota dan wakil wali kota Palopo nomor urut 3, Rahmat Masri Bandaso – Andi Tenrikarta (RMB-ATK).
    Sidang dipimpin oleh Wakil Ketua MK Saldi Isra sebagai ketua majelis panel, didampingi oleh Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur dan Arsul Sani.
    Dalam sidang, kuasa hukum pemohon, Wahyudi Kasrul, mengajukan permohonan kepada MK untuk mendiskualifikasi pasangan calon nomor urut 4, Naili dan Akhmad Syarifuddin, yang meraih suara terbanyak pada PSU.
    Wahyudi menyatakan bahwa kedua calon tersebut tidak memenuhi syarat administrasi saat mendaftar sebagai peserta pengganti dari pasangan sebelumnya yang telah didiskualifikasi oleh MK.
    “Pemohon memohon kepada Mahkamah Konstitusi untuk mengabulkan permohonan seluruhnya dan menyatakan batal Keputusan KPU Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 1841 Tahun 2025 tentang penetapan rekapitulasi hasil perolehan suara,” kata Wahyudi di hadapan majelis hakim.

    Ia juga meminta MK menyatakan bahwa Paslon 4 tidak sah sebagai peserta Pilkada Palopo 2024 dan memerintahkan KPU Sulsel untuk kembali menyelenggarakan PSU, kali ini hanya diikuti oleh tiga pasangan calon tersisa: nomor urut 1 Putri Dakka–Haidir Basir, nomor urut 2 Farid Kasim–Nurhaenih, dan nomor urut 3 Rahmat Masri Bandaso–Andi Tenrikarta.
    Wahyudi mengakui bahwa selisih suara antara Paslon 3 dan Paslon 4 berada di luar ambang batas 2 persen sebagaimana diatur dalam Pasal 158 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015.
    “Keadaan spesifik yang kami sampaikan dalam permohonan adalah adanya rekomendasi Bawaslu terkait pelanggaran administrasi oleh pasangan calon nomor urut 4, baik Naili maupun Akhmad Syarifuddin,” jelasnya.
    Salah satu pelanggaran yang diduga dilakukan oleh Naili adalah ketidakabsahan dokumen Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) dan dokumen wajib pajak pribadi yang digunakan saat mendaftar melalui sistem informasi pencalonan.
    Di sisi lain, calon wakil wali kota Akhmad Syarifuddin juga dilaporkan oleh masyarakat ke Bawaslu karena tidak mengumumkan statusnya sebagai mantan terpidana, yang merupakan salah satu syarat wajib dalam pencalonan kepala daerah.
    Wahyudi menambahkan bahwa perbedaan tafsir antara Bawaslu dan KPU terkait tindak lanjut atas rekomendasi tersebut semakin memperkuat posisi pemohon.
    “Ketiga keadaan spesifik ini menjadi dasar kami bahwa pemohon masih memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan,” pungkasnya.
    Pada pemungutan suara ulang yang berlangsung pada 24 Mei 2025, pasangan calon nomor urut 4, Naili dan Akhmad Syarifuddin, memperoleh 47.349 suara, disusul pasangan nomor urut 2, Farid Kasim dan Nurhaenih dengan 35.058 suara.
    Pasangan nomor urut 3, Rahmat Masri Bandaso dan Andi Tenrikarta, meraih 11.021 suara, sementara pasangan nomor urut 1, Putri Dakka dan Haidir Basir, hanya memperoleh 269 suara.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Rapat Anggota DPR Kerap di Hotel Mewah, Advokat Gugat UU MD3 – Halaman all

    Rapat Anggota DPR Kerap di Hotel Mewah, Advokat Gugat UU MD3 – Halaman all

     

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Advokat Zico Leonard Djagardo Simanjuntak mengajukan permohonan uji materi terhadap Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) ke Mahkamah Konstitusi (MK). 

    Dalam permohonan itu, Zico mempersoalkan kebiasaan DPR yang menggelar rapat pembahasan rancangan undang-undang di hotel mewah, bukan di ‘Gedung Kura-kura’ yang telah dibangun menggunakan dana publik.

    “Pemohon merasa sebagai warga negara telah timbul ketidakadilan mengingat gedung DPR telah dilengkapi dengan ruang-ruang rapat yang dibangun dengan dana APBN,” kata Kuasa Hukum Pemohon, Putu Surya Permana Putra, dalam sidang pemeriksaan pendahuluan di Gedung MK, Jakarta, Senin (5/5/2025). 

    Dalam sidang yang teregistrasi dengan Nomor Perkara 42/PUU-XXIII/2025 ini, Putu menyebut pemanfaatan hotel sebagai lokasi rapat menunjukkan sikap tidak efisien DPR di tengah upaya efisiensi anggaran yang sedang digencarkan pemerintah. 

    “Gedung yang sudah dibangun tersebut justru tidak digunakan sebagaimana mestinya,” ujarnya.

    Dalam petitumnya, Zico meminta Mahkamah menafsirkan ulang Pasal 229 UU MD3 yang selama ini hanya menyebut rapat DPR bersifat terbuka kecuali dinyatakan tertutup. 

    Ia meminta pasal tersebut dimaknai sebagai kewajiban DPR untuk menyelenggarakan rapat di gedung DPR, kecuali jika seluruh ruang rapat tak dapat digunakan atau mengalami kerusakan.

    Selain itu, Zico juga menggugat sejumlah pasal lain dalam UU MD3, seperti Pasal 12 dan Pasal 82, khususnya terkait dominasi fraksi dalam menyuarakan pendapat anggota DPR. 

    Ia meminta Mahkamah menyatakan bahwa frasa “tugas sebagai wakil rakyat” harus dimaknai sebagai hak anggota untuk menyampaikan pendapat secara perseorangan, bukan semata-mata mewakili fraksi.

    Majelis Panel Hakim yang menyidangkan perkara ini dipimpin oleh Hakim Konstitusi M Guntur Hamzah, didampingi oleh Daniel Yusmic P Foekh dan Arsul Sani. 

    Guntur mengingatkan pemohon untuk lebih cermat dalam merumuskan petitum agar tidak menimbulkan kekosongan norma.

    “Kalau dikabulkan, ada norma yang hilang tanpa ada pemaknaan kembali. Diberikan tafsir, jadi hanya tafsir bahwa itu inkonstitusional sepanjang tidak dimaknai ya apa yang Saudara inginkan,” kata Guntur.

    Mahkamah memberi waktu 14 hari kepada Pemohon untuk memperbaiki permohonan. Perbaikan harus diserahkan paling lambat pada Senin, 19 Mei 2025.

     

  • Hati-hati! Sebar Hoaks Bisa Dipidana, Ini Penjelasan MK

    Hati-hati! Sebar Hoaks Bisa Dipidana, Ini Penjelasan MK

    PIKIRAN RAKYAT – Mahkamah Konstitusi memutuskan, tindakan penyebaran informasi atau dokumen elektronik yang memuat pemberitahuan bohong (hoaks) bisa dipidana jika menimbulkan kerusuhan di ruang fisik bukan di ruang digital.

    Ihwal ini penjelasan MK atas makna kata kerusuhan dalam Pasal 28 ayat (3) dan Pasal 45A ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

    “Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian,” kata Ketua MK Suhartoyo membacakan amar Putusan Nomor 115/PUU-XXII/2024 di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta pada Selasa, 29 April 2025 seperti dikutip dari Antara.

    Kerusuhan

    MK menyatakan, kata kerusuhan dalam Pasal 28 ayat (3) dan Pasal 45A ayat (3) UU ITE bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tak memiliki kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “kerusuhan adalah kondisi yang mengganggu ketertiban umum di ruang fisik, bukan kondisi di ruang digital/siber”.

    Pasal 28 ayat (3) UU ITE mengatur perbuatan yang dilarang dalam kegiatan transaksi elektronik, semula berbunyi: “Setiap orang dengan sengaja menyebarkan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang diketahuinya memuat pemberitahuan bohong yang menimbulkan kerusuhan di masyarakat.”

    Sementara Pasal 45A ayat (3) UU ITE berisi ketentuan pidana atas Pasal 28 ayat (3), setiap orang yang melanggar pasal ini bisa dipidana paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp1 miliar.

    MK menyatakan, norma Pasal 28 ayat (3) UU ITE menciptakan ketidakpastian hukum jika dikaitkan dengan bagian penjelasannya.

    Penjelasan Pasal 28 ayat (3) UU ITE mengatur kata kerusuhan berarti kondisi yang mengganggu ketertiban umum di ruang fisik, bukan di ruang digital atau siber.

    Pemohon

    Penjelasan Pasal 28 ayat (3) UU ITE sudah memberi pembatasan yang jelas, penyebaran pemberitahuan bohong yang menimbulkan kerusuhan secara fisik terjadi di masyarakat, sementara keributan di ruang siber tak termasuk ketentuan pasal ini.

    Aparat penegak hukum hanya bisa melakukan proses hukum pada penyebaran berita bohong yang menimbulkan keributan secara fisik yang terjadi di lingkungan masyarakat.

    “Hal demikian dimaksudkan agar penerapan Pasal 28 ayat (3) UU 1/2024 yang merupakan delik materiel yang menekankan pada akibat perbuatan atau kerusuhan yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana tersebut memenuhi prinsip lex scripta, lex certa, dan lex stricta,” kata Hakim Konstitusi Arsul Sani membacakan pertimbangan Mahkamah.

    Permohonan uji materi ini dimohonkan seorang jaksa sekaligus aktivis penegakan hukum dan birokrat Jovi Andrea Bachtiar.

    Pihaknya mengajukan permohonan karena khawatir berpotensi dilaporkan ke polisi karena aktif mengkritisi kebijakan pemerintah dan praktik penyelenggaraan pemerintahan.***

    Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News

  • MK Putuskan Penyebaran Hoaks Hanya Bisa Dipidana Jika Timbulkan Kerusuhan Fisik

    MK Putuskan Penyebaran Hoaks Hanya Bisa Dipidana Jika Timbulkan Kerusuhan Fisik

    GELORA.CO – Mahkamah Konstitusi (MK) menegaskan bahwa penyebaran berita bohong atau hoaks melalui media digital hanya dapat diproses hukum jika menyebabkan kerusuhan nyata di ruang fisik, bukan di dunia maya.

    Penegasan ini disampaikan dalam sidang pembacaan Putusan Nomor 115/PUU-XXII/2024 yang dipimpin Ketua MK Suhartoyo, Selasa (29/4/2025), menanggapi uji materi atas Pasal 28 ayat (3) dan Pasal 45A ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang perubahan kedua atas UU ITE.

    Hakim Konstitusi Arsul Sani menyebut, definisi “kerusuhan” dalam pasal tersebut harus dimaknai sebagai gangguan terhadap ketertiban umum di ruang fisik.

    Artinya, keributan yang hanya terjadi di ruang digital atau dunia maya tidak bisa dijerat dengan pasal ini.

    “Penjelasan Pasal 28 ayat (3) UU 1/2024 sudah membatasi bahwa yang dimaksud kerusuhan adalah yang terjadi secara nyata di masyarakat, bukan di ruang digital,” ujar Arsul dalam persidangan di Gedung MK, Jakarta.

    Permohonan uji materi ini diajukan oleh Jovi Andrea Bachtiar, yang merasa norma tersebut berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum dan membatasi kebebasan berekspresi.

    Namun Mahkamah menyatakan bahwa pemaknaan norma oleh pemohon hanya dikabulkan sebagian, karena penafsiran Mahkamah berbeda.

    MK menjelaskan bahwa Pasal 28 ayat (3) UU ITE adalah delik materiil, yang berarti unsur kerusuhan sebagai akibat nyata harus benar-benar terjadi secara fisik, sehingga penerapannya harus memenuhi asas lex certa, lex scripta, dan lex stricta dalam hukum pidana.

    Putusan ini juga sejalan dengan Putusan MK Nomor 78/PUU-XXI/2023 yang sebelumnya menegaskan perlunya kepastian hukum dalam penerapan pasal-pasal pidana di ruang digital.

    “Dengan makna tersebut, aparat penegak hukum tidak bisa memproses seseorang hanya karena menyebarkan informasi yang memicu perdebatan di media sosial, selama tidak menyebabkan kekacauan fisik di masyarakat,” lanjut Arsul.

    Dalam amar putusan yang dibacakan Ketua MK Suhartoyo, Mahkamah menyatakan bahwa istilah “kerusuhan” dalam Pasal 28 ayat (3) dan Pasal 45A ayat (3) UU ITE bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat, kecuali dimaknai bahwa kerusuhan hanya mencakup kondisi di ruang fisik.

    Dengan demikian, MK juga menyatakan bahwa pengujian terhadap pasal lain seperti Pasal 310 ayat (3) KUHP, Pasal 45 ayat (7), dan 45 ayat (7) huruf a UU 1/2024 tidak beralasan menurut hukum.***.

  • MK Tegaskan Hoaks di Dunia Maya Bisa Dipidana jika Picu Kerusuhan Fisik

    MK Tegaskan Hoaks di Dunia Maya Bisa Dipidana jika Picu Kerusuhan Fisik

    Bisnis.com, JAKARTA — Mahkamah Konstitusi (MK) membuat penafsiran penting terkait Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

    Dalam putusannya, MK menyatakan bahwa tindakan penyebaran informasi atau dokumen elektronik yang memuat pemberitahuan bohong atau hoaks baru dapat dipidana jika terbukti menimbulkan kerusuhan di ruang fisik, bukan sekadar kegaduhan di ruang digital atau siber.

    Keputusan ini disampaikan dalam sidang pembacaan amar Putusan Nomor 115/PUU-XXII/2024 di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Selasa. Ketua MK Suhartoyo menyatakan bahwa Mahkamah mengabulkan sebagian permohonan pemohon terkait uji materiil Pasal 28 ayat (3) dan Pasal 45A ayat (3) UU ITE.

    Dilansir dari Antara, Selasa (29/4/2025) MK menyatakan bahwa kata “kerusuhan” dalam kedua pasal tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai sebagai “kerusuhan adalah kondisi yang mengganggu ketertiban umum di ruang fisik, bukan kondisi di ruang digital/siber.

    Pasal 28 ayat (3) UU ITE mengatur larangan penyebaran informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang diketahui memuat pemberitahuan bohong dan menimbulkan kerusuhan di masyarakat. Sementara itu, Pasal 45A ayat (3) UU ITE mengatur sanksi pidana bagi pelanggar Pasal 28 ayat (3) berupa pidana penjara maksimal 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp1 miliar.

    Dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah menilai bahwa norma Pasal 28 ayat (3) UU ITE menimbulkan ketidakpastian hukum jika tidak dikaitkan dengan penjelasannya.

    MK menyoroti bahwa Penjelasan Pasal 28 ayat (3) UU ITE secara eksplisit menyatakan bahwa “kerusuhan” yang dimaksud adalah kondisi yang mengganggu ketertiban umum di ruang fisik, bukan di ruang digital atau siber.

    Dengan adanya pembatasan makna “kerusuhan” oleh MK, aparat penegak hukum kini hanya dapat memproses hukum penyebaran berita bohong yang secara nyata menimbulkan keributan atau kerusuhan fisik di lingkungan masyarakat.

    Keributan atau kegaduhan di ruang siber akibat penyebaran hoaks tidak lagi secara otomatis dapat dijerat dengan pasal ini kecuali dapat dibuktikan adanya keterkaitan langsung yang menyebabkan kerusuhan fisik.

    Hakim Konstitusi Arsul Sani dalam pembacaan pertimbangan Mahkamah menjelaskan bahwa pembatasan ini bertujuan agar penerapan Pasal 28 ayat (3) UU 1/2024, yang merupakan delik materiel (menekankan pada akibat perbuatan), memenuhi prinsip lex scripta (hukum harus tertulis), lex certa (hukum harus jelas), dan lex stricta (hukum harus ditafsirkan secara sempit).

    Permohonan uji materiil ini diajukan oleh Jovi Andrea Bachtiar, seorang jaksa sekaligus aktivis penegakan hukum dan birokrat.

    Dia mengajukan permohonan karena khawatir berpotensi dilaporkan ke polisi akibat aktivitasnya dalam mengkritisi kebijakan pemerintah dan praktik penyelenggaraan pemerintahan.

    Putusan MK ini diharapkan dapat memberikan kepastian hukum dan melindungi kebebasan berpendapat di ruang digital sepanjang tidak secara langsung memicu kerusuhan fisik di masyarakat.

  • Pimpinan Organisasi Advokat Dilarang Rangkap Pejabat Negara, MK: Hindari Konflik Kepentingan
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        30 Juli 2025

    Hari Ini, MK Mulai Sidang Gugatan Hasil PSU dan Rekapitulasi Ulang Pilkada Nasional 25 April 2025

    Hari Ini, MK Mulai Sidang Gugatan Hasil PSU dan Rekapitulasi Ulang Pilkada
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –

    Mahkamah Konstitusi
    (MK) akan memulai sidang terkait gugatan hasil
    pemungutan suara ulang
    (PSU) di enam daerah dan rekapitulasi ulang di Kabupaten Puncak Jaya hari ini, Jumat (25/4/2025).
    Dilansir dari laman
    mkri.id
    , sidang akan dibagi menjadi tiga panel.
    Panel 1 akan dipimpin oleh Ketua MK, Suhartoyo, bersama dua Hakim Konstitusi lainnya, Daniel Yusmic dan Guntur Hamzah.
    Mereka bertiga akan menyidangkan empat dari tujuh perkara, yakni PSU Kabupaten Siak, Barito Utara, Talaud, dan Taliabu.
    Kemudian, Panel 2 akan dipimpin Hakim Konstitusi Saldi Isra, bersama Arsul Sani dan Ridwan Mansyur.
    Para hakim di Panel 2 hanya menyidangkan satu perkara, yakni PSU Kabupaten Banggai.
    Sedangkan Panel 3 yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Arief Hidayat dengan anggota majelis Enny Nurbaningsih dan Anwar Usman, akan menangani perkara rekapitulasi ulang Kabupaten Puncak Jaya dan PSU Kabupaten Buru.
    Masing-masing panel akan memulai sidang pukul 08.00 WIB dengan agenda pemeriksaan pendahuluan.
    Sebagai informasi, gugatan hasil PSU ini merupakan kelanjutan dari perkara Pilkada Serentak 2024.
    Tujuh daerah yang menjalani sidang hari ini sebelumnya telah diputus oleh MK untuk menggelar pemungutan suara ulang dengan beragam alasan, seperti temuan pelanggaran keterlibatan ASN hingga pelanggaran administrasi kepemiluan.
    MK kemudian memutuskan 24 daerah menggelar PSU dan 2 daerah melakukan rekapitulasi ulang.
    Saat ini, proses PSU di lima wilayah masih terus dipersiapkan, yakni Kabupaten Mahakam Ulu, Pesawaran, Boven Digoel, Kota Palopo, dan Provinsi Papua.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.