Tag: Arsul Sani

  • Terima 7 Nama Calon Anggota Komisi Yudisial, DPR Soroti Keaslian Ijazah

    Terima 7 Nama Calon Anggota Komisi Yudisial, DPR Soroti Keaslian Ijazah

    Bisnis.com, JAKARTA – Komisi III DPR RI menerima tujuh nama calon anggota Komisi Yudisial (KY) dari Panitia Seleksi (Pansel) yang dibentuk oleh Presiden Prabowo. Penyerahan dilakukan saat rapat dengar pendapat (RDP) di DPR, Senin (17/11/2025).

    Hasil pemilihan panitia seleksi melalui surat nomor B-61/PANSEL-KY/10/2025 tanggal 2 Oktober 2025. Setelah penjelasan Pansel, Ketua Komisi III Habiburokhman menyoroti mekanisme Pansel dalam memverifikasi keaslian ijazah dari para calon anggota KY.

    “In ikan syarat sarjana ini minimal ya, apakah ada mekanisme pengecekan ijazah calon-calon ini, dalam konteks keaslian ijazahnya juga termasuk kampusnya, kampusnya ada enggak gitu loh. Mungkin aja ada dokumennya bener ternyata kampusnya tidak ada. Gitu. Ada mekanisme seperti itu nggak, Pak?” kata politikus Gerindra itu.

    Dia menjelaskan urgensi pertanyaan tersebut dilatarbelakangi pelaporan ijazah hakim Mahkamah Konstitusi, Arsul Sani yang diduga palsu. Akibatnya, Komisi III yang kala itu menguji Arsul Sani terseret dalam polemik ini.

    “Karena kami baca ini, baca dokumen satu memang kita tidak ada kemampuan secara forensik menilai asli atau nggak, tapi pasti asli kalau dokumennya,” ujarnya.

    Terlebih, calon anggota Komisi Yudisial yang diajukan berlatar belakang pendidikan S1 hingga S3 sehingga perlu ketelitian memverifikasi keaslian ijazah.

    Dalam kesempatan yang sama, Ketua Panitia Seleksi (Pansel) Komisi Yudisial Dhahana Putra menegaskan pihaknya telah memeriksa keaslian ijazah sesuai prosedur dengan bukti foto copy ijazah yang mendapatkan legalisir terbaru.

    “Perlu kami sampaikan sebagai syarat formil, dari masing-masing calon itu menyampaikan dokumen ijazah yang sudah dilegalisir terbaru. Itu jadi suatu dokumen yang kita gunakan untuk proses lebih lanjut,” kata Dhahana.

    Setelah penyerahan, Komisi III akan mengambil nomor urut dan uji makalah pada hari yang sama. Pengujian direncanakan berlangsung dalam beberapa hari ke depan.

    Berikut daftar nama calon anggota Komisi Yudisial (KY)

    1. F. Williem Saija – unsur mantan hakim

    2. Setyawan Hartono – unsur mantan hakim

    3. Anita kadir – unsur praktiksi hukum

    4. Desmihardi – unsur praktiksi hukum

    5. Andi Muhammad Asrun – unsur akademisi hukum

    6. Abdul Chair Ramadhan – unsur akademisi hukum

    7. Abhan – unsur tokoh masyarakat

  • 1
                    
                        Hakim MK Arsul Sani Bantah Tuduhan Ijazah Palsu, Tunjukkan Ijazah Asli dan Foto Wisuda
                        Nasional

    1 Hakim MK Arsul Sani Bantah Tuduhan Ijazah Palsu, Tunjukkan Ijazah Asli dan Foto Wisuda Nasional

    Hakim MK Arsul Sani Bantah Tuduhan Ijazah Palsu, Tunjukkan Ijazah Asli dan Foto Wisuda
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Hakim Konstitusi Arsul Sani menunjukkan ijazah asli hingga foto wisuda pencapaian gelar doktoralnya untuk menjawab tuduhan ijazah palsu yang disematkan kepadanya.
    Arsul juga bercerita disertasi yang ia tulis untuk memperoleh gelar doktoralnya.
    “Saya menulis disertasi yang berjudul ‘Reexamining The Considerations of National Security Interest and Human Rights Protection in Counterterrorism Legal Policy: A Case Study on Indonesia with Focus on Post-Bali Bombings Development. Disertasinya ada ini,” ujar Arsul dalam konferensi pers di Gedung Mahkamah Konstitusi, Senin (17/11/2025).
    Arsul menjelaskan, gelar doktor ini ia dapatkan dari Collegium Humanum atau Warsawa Management University, sebuah universitas swasta di Polandia pada 2020.
    Saat itu, Arsul tidak bisa mengikuti perkuliahan di kampus karena sedang terjadi pandemi global Covid-19.
    Sementara, sebagian kredit perkuliahan sudah didapatkan oleh Arsul dari proses pendidikannya yang sebelumnya.
    Arsul mengatakan, sebenarnya, sejak tahun 2011 ia sudah berupaya untuk mengambil dan menyelesaikan pendidikan jenjang doktoral dengan berkuliah di Glasgow Caledonian University (GCU).
    Namun, karena sejumlah kesibukan, pembelajaran di universitas di Skotlandia ini tidak selesai hingga batas maksimalnya di tahun 2017/2018.
    Meski tidak berhasil mendapatkan gelar doktor, Arsul tetap menerima gelar Master karena telah menyelesaikan sejumlah studi dan mendapatkan kredit yang dibutuhkan.
    Adapun, pada tahun 2020 Arsul melanjutkan studinya secara
    online
    dan akhirnya mengikuti wisuda secara offline pada tahun 2023.
    “Baru pada bulan Maret 2023, kira-kira bulan Februarinya, saya diberitahu bahwa akan ada wisuda doktoral di Warsawa sana, di gedung yang jaraknya tidak jauh dari kampus,” lanjut Arsul.
    Dalam konferensi pers, Arsul juga menunjukkan sejumlah foto wisudanya yang dihadiri oleh sang istri serta Duta Besar Indonesia untuk Polandia saat itu, Anita Lidya Luhulima.
    Arsul mengatakan, saat itu ia juga langsung meminta legalisasi ijazah karena harus segera pulang ke Indonesia.
    “Di sana diberikan
    ijazah asli
    itu. Kemudian, setelah selesai wisuda karena saya dalam 2-3 hari itu mau balik ke Indonesia, maka ijazah itu saya
    copy
    , malah dibantu
    copy
    oleh KBRI dan kemudian saya legalisasi. Ini asli dari KBRI dari Warsawa,” kata Arsul.
    Diberitakan, Aliansi Masyarakat Pemerhati Konstitusi hendak melaporkan Hakim Konstitusi
    Arsul Sani
    ke Bareskrim Polri terkait dugaan penggunaan ijazah doktor palsu pada Jumat (14/11/2025).
    Namun, laporan tersebut belum langsung diterima karena penyidik meminta pelapor kembali datang pada Senin (17/11/2025).
    Koordinator Aliansi, Betran Sulani, menjelaskan pihaknya telah berdiskusi panjang dengan penyidik saat mendatangi Bareskrim pada Jumat, tetapi nomor laporan polisi (LP) belum diterbitkan.
    “Prinsipnya mereka terima, namun belum diterbitkan nomor LP-nya dan diminta untuk balik lagi di hari Senin besok. Kemarin sudah banyak hal yang didiskusikan,” kata Betran kepada
    Kompas.com
    , Minggu (16/11/2025).
    Ia menambahkan bahwa pihaknya juga berencana mendatangi Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) untuk menyampaikan laporan serupa.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Arsul Sani Dilaporkan terkait Dugaan Ijazah Palsu, Bambang Pacul: Secara Asas Legitimasi Clear

    Arsul Sani Dilaporkan terkait Dugaan Ijazah Palsu, Bambang Pacul: Secara Asas Legitimasi Clear

    GELORA.CO  – Mantan Ketua Komisi III DPR RI Bambang Wuryanto, buka suara soal tudingan ijazah palsu yang menyasar hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Arsul Sani.

    Bambang Pacul, sapaan akrab Bambang Wuryanto, merupakan Ketua Komisi III DPR RI periode 2019-2024, yang ikut melakukan uji kelayakan dan kepaturan terhadap Arsul Sani, sebagai calon hakim MK usulan DPR.

    Bambang Pacul menegaskan secara asas legitimasi tidak ada permasalahan.

    “Secara asas legitimasi clear. Jelas. Asas legalitas ya clear. Memenuhi syarat. Tetapi tentu tidak pakai forensik, enggak ada,” kata Bambang kepada wartawan, Senin (17/11/2025).

    Asas legitimasi adalah prinsip dalam hukum yang menyatakan bahwa setiap tindakan pemerintah atau pejabat publik harus memiliki dasar hukum yang sah.

    Dengan kata lain, pemerintah tidak boleh bertindak sewenang-wenang, tetapi harus selalu berlandaskan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.

     

    Bambang mengungkapkan, Arsul sudah menunjukkan ijazah, saat mengikuti fit and proper test di Komisi III DPR.

    Namun dia mengatakan Komisi III DPR tidak memiliki kemampuan forensik untuk mengecek ijazah tersebut.

    “Legalisasinya sudah ada. Menunjukkan ijazah asli, legalisasi. Itu udah clear di Komisi III. Tapi tentu kita tidak punya ahli forensik,” ujarnya.

    Bambang menilai seharusnya hal tersebut bisa dibawa ke mekanisme yang ada di MKMK terlebih dahulu.

    “Supaya enggak bikin kegaduhan,” pungkasnya.

    Sebelumnya, Aliansi Masyarakat Pemerhati Konstitusi melaporkan Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Arsul Sani ke Bareskrim Polri terkait terkait dugaan ijazah palsu.

    Pelaporan itu dilakukan pada Jumat (14/11/2025).

    Pengadu mengeklaim memiliki bukti-bukti berkenaan ijazah program doktor Arsul Sani yang diduga palsu.

    MKMK Lakukan Pendalaman

    Sementara itu Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) tengah melakukan pendalaman isu terkait ijazah hakim konstitusi Arsul Sani.

    Ketua MKMK I Dewa Gede Palguna mengatakan hingga saat ini pihaknya masih melakukan pendalaman berkenaan adanya tudingan ijazah palsu Arsul Sani itu.

    Pendalaman itu dimulai sejak kemunculan pertama berita yang menyoal isu tersebut dimuat oleh sebuah media sosial sekira satu bulan yang lalu.

    “MKMK telah mendalaminya hingga saat ini,” kata Palguna, kepada Tribunnews.com, Minggu (16/11/2025).

    “Dengan segala keterbatasan yang ada pada kami (MKMK), kami berusaha menemukan jawaban atas pertanyaan perihal ada tidaknya persoalan isu dan/atau pelanggaran etik yang dilakukan oleh hakim konstitusi Yang Mulia Arsul Sani,” tambahnya.

    Palguna mengatakan hasil pendalaman MKMK belum bisa disampaikan saat ini. 

    Sebab Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) mengatur hal itu harus dilakukan secara tertutup.

    Selain itu, MKMK juga perlu menjaga harkat, martabat, dan kehormatan Arsul Sani dari sesuatu yang sama sekali belum jelas kebenarannya.

    Mantan hakim konstitusi itu menyebut hasil pendalaman akan diumumkan ke publik nantinya.

    “Pasti akan dirilis ke publik. Itu wajib. Tetapi belum bisa kami sampaikan sekarang. Selain karena PMK-nya menyatakan harus tertutup, jika belum apa-apa sudah diberitakan, khawatirnya yang bersangkutan telah dihakimi untuk sesuatu yang sama sekali belum jelas. Padahal kami harus menjaga harkat, martabat, dan kehormatannya,” tuturnya.

    Sosok Arsul Sani

    Arsul Sani diangkat jadi hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Republik Indonesia sejak 18 Januari 2024.

    Sebelumnya Arsul Sani dikenal sebagai politisi senior Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Wakil Ketua MPR RI.

    Pemilik nama lengkap Dr. H. Arsul H. Arsul Sani, SH, M.Si., Pr.M ini lahir di Pekalongan, Jawa Tengah, 8 Januari 1964.

    Karier politik:

    Sekjen DPP PPP (2016–2021)

    Anggota DPR RI (2014–2024)

    Wakil Ketua MPR RI (2019–2024)

    Ijazah doktor yang disorot

    Arsul Sani menempuh pendidikan hukum di Universitas Indonesia (UI) dan melanjutkan studi di berbagai negara, termasuk Australia, Jepang, Inggris, Skotlandia, dan Polandia.

    Ia juga disebut sebagai lulusan University of Cambridge. Namun gelar doktor yang diklaimnya kini dipersoalkan.

    Aliansi Masyarakat Pemerhati Konstitusi melaporkan Arsul ke Bareskrim Polri pada 14 November 2025.

    Dengan dugaan ijazah doktor yang diduga palsu, terutama terkait universitas di Polandia

  • Kompolnas Nilai Polisi Masih Bisa Ditugaskan di Luar Struktur: Asal Berkaitan

    Kompolnas Nilai Polisi Masih Bisa Ditugaskan di Luar Struktur: Asal Berkaitan

    Bisnis.com, JAKARTA — Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) menyatakan anggota aktif masih bisa menjabat di luar struktur kepolisian meski sudah diputus Mahkamah Konstitusi (MK).

    Komisioner Kompolnas, Choirul Anam berpandangan putusan MK Nomor 114/PUU-XXIII/2025 hanya mengikat pada frasa atau kalimat yang mendasarkan tidak penugasan dari Kapolri.

    Dengan demikian, kata Anam, selagi penugasan itu masih ada kaitannya dengan tugas pokok kepolisian, maka masih boleh dijabat anggota aktif.

    “Kalimat yang lain masih berlaku, artinya yang memaknai bahwa penugasan di luar struktur itu, makna penugasan di luar struktur itu adalah yang tidak ada sangkut pautnya dengan kepolisian. Kalau masih ada sangkut pautnya dengan kepolisian itu artinya boleh,” ujar Anam saat dihubungi, Minggu (16/11/2025).

    Di samping itu, Anam juga menyinggung soal dissenting opinion yang diungkap oleh Hakim MK Arsul Sani yang memperbolehkan penugasan anggota jika masih ada keterkaitan dengan tupoksi kepolisian.

    “Bahkan beliau [Arsul] juga mencontohkan lembaga-lembaga yang memang tupoksinya itu sangat lekat dengan kepolisian,” imbuhnya.

    Adapun, Anam menilai putusan MK ini telah memberikan batasan yang jelas mana saja lembaga/kementerian yang bisa diisi anggota kepolisian. 

    Dengan demikian, putusan ini bisa sejalan dengan dengan undang-undang aparatur sipil negara (ASN) yang direspon Polri melalui Perpol.

    “Oleh karenanya pasca putusan MK ini, ya maknanya boleh dengan batasan. Dan batasanya ada pentingnya memang me-listing lembaga yang memang erat sekali hubungan dengan kepolisian,” pungkasnya.

    Sebelumnya, MK menegaskan bahwa anggota Polri tidak dapat menduduki jabatan di luar institusi kepolisian atau jabatan sipil selama masih berstatus aktif.

    Penegasan ini tertuang dalam Putusan Nomor 114/PUU-XXIII/2025, yang menyatakan frasa “atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri” dalam Penjelasan Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

    Putusan tersebut dibacakan oleh Ketua MK Suhartoyo dalam sidang pleno di Gedung MK, Jakarta, Kamis (13/11/2025).

    Dalam pertimbangannya, Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur menjelaskan bahwa keberadaan frasa tersebut justru menimbulkan ketidakjelasan norma hukum dan mengaburkan ketentuan utama dalam Pasal 28 ayat (3) UU Polri.

    Akibatnya, terjadi kerancuan dalam tata kelola jabatan publik serta potensi pelanggaran terhadap prinsip persamaan di hadapan hukum sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

    “Penambahan frasa tersebut memperluas makna norma dan berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum, baik bagi anggota Polri maupun bagi Aparatur Sipil Negara [ASN] di luar kepolisian,” ujarnya dalam keterangan resmi, Kamis (13/11/2025).

  • MKMK Persilakan Hakim Arsul Sani Bicara Polemik Ijazah di Media

    MKMK Persilakan Hakim Arsul Sani Bicara Polemik Ijazah di Media

    Jakarta

    Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK), I Dewa Gede Palguna, mempersilakan Hakim MK Arsul Sani untuk memberi hak jawab kepada media menindaklanjuti tudingan ijazah palsu yang belakangan dilaporkan oleh Aliansi Masyarakat Pemerhati Konstitusi ke Bareskrim. Palguna mengatakan pernyataan Arsul Sani ke media diperbolehkan sesuai UU pers.

    “Ya, silakan. Sesuai dengan UU Pers,” kata Palguna saat dihubungi, Minggu (16/11/2025).

    Palguna mengatakan Hakim Arsul bisa menyampaikan hak jawab yang menyangkut ranah personal. Ia mengingatkan sepanjang berkaitan dengan pemberitaan itu dan tidak di luar konteks, maka pernyataan Arsul Sani valid.

    “Itu hak beliau untuk menggunakan hak jawab karena beritanya sudah menyangkut personal beliau. Jadi, sepanjang menyangkut soal berita itu, silakan. Yang dilarang jika beliau berkomentar hal-hal di luar itu,” tambahnya.

    Sebelumnya, Hakim MK Arsul Sani menyatakan enggan berpolemik terkait tudingan ijazah palsu tersebut. Dia hanya menyebut perihal itu juga kini ditangani oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK)

    Laporan Dugaan Ijazah Palsu ke Bareskrim

    Aliansi Masyarakat Pemerhati Konstitusi diketahui mengadukan Hakim Konstitusi Arsul Sani ke Bareskrim Polri. Pengaduan itu terkait legalitas ijazah program doktor Arsul Sani yang diduga palsu.

    Menurut Betran, jabatan Hakim MK menuntut integritas akademik, dan gelar doktor menjadi syarat utama. Karena itu kebenarannya harus dibuktikan guna mempertahankan kepercayaan publik terhadap Mahkamah Konstitusi.

    “Maka apabila salah satu hakim yang kemudian memiliki ijazah palsu atau menggunakan ijazah palsu untuk mendapatkan jabatan sebagai hakim MK, maka ini adalah salah satu bentuk ataupun tindakan yang mencederai konstitusi itu sendiri. Jadi, itu yang menjadi alasan kami untuk datang dan mau membuat laporan kepolisian,” ucapnya.

    Betran mengaku turut menyerahkan sejumlah bukti pemberitaan untuk menguatkan laporannya. Dia menyebut universitas tempat Arsul Sani menempuh program doktor kini tengah diselidiki oleh otoritas antikorupsi Polandia.

    “Bukti yang kami dapatkan atau yang kami terima, salah satunya itu adalah pemberitaan, pemberitaan terkait dengan penyelidikan salah satu Komisi Pemberantasan Korupsi yang ada di Polandia yang coba untuk melakukan pemeriksaan terkait dengan legalitas kampus, yang mana kampus tersebut itu merupakan kampus yang di mana salah satu hakim berkuliah mendapatkan titel S3 di tahun 2023,” jelas dia.

    (dwr/gbr)

  • Arsul Sani Diadukan ke Bareskrim Terkait Dugaan Ijazah Palsu

    Arsul Sani Diadukan ke Bareskrim Terkait Dugaan Ijazah Palsu

    Jakarta

    Aliansi Masyarakat Pemerhati Konstitusi mengadukan Hakim Konstitusi Arsul Sani ke Bareskrim Polri. Pengaduan itu terkait legalitas ijazah program doktor Arsul Sani yang diduga palsu.

    “Kami dari Aliansi Masyarakat Pemerhati Konstitusi hari ini mendatangi Bareskrim Mabes Polri dalam rangka untuk melaporkan salah satu hakim Mahkamah Konstitusi berinisial AS yang diduga memiliki atau menggunakan ijazah palsu,” kata Koordinator Aliansi Masyarakat Pemerhati Konstitusi, Betran Sulani kepada wartawan di Bareskrim Polri, Jakarta Selatan, Jumat (14/11/2025).

    Menurut Betran, jabatan Hakim MK menuntut integritas akademik, dan gelar doktor menjadi syarat utama. Karena itu kebenarannya harus dibuktikan guna mempertahankan kepercayaan publik terhadap Mahkamah Konstitusi.

    “Maka apabila salah satu hakim yang kemudian memiliki ijazah palsu atau menggunakan ijazah palsu untuk mendapatkan jabatan sebagai hakim MK, maka ini adalah salah satu bentuk ataupun tindakan yang mencederai konstitusi itu sendiri. Jadi, itu yang menjadi alasan kami untuk datang dan mau membuat laporan kepolisian,” ucapnya.

    “Bukti yang kami dapatkan atau yang kami terima, salah satunya itu adalah pemberitaan, pemberitaan terkait dengan penyelidikan salah satu Komisi Pemberantasan Korupsi yang ada di Polandia yang coba untuk melakukan pemeriksaan terkait dengan legalitas kampus, yang mana kampus tersebut itu merupakan kampus yang di mana salah satu hakim berkuliah mendapatkan titel S3 di tahun 2023,” jelas dia.

    “Sebagai hakim saya terikat kode etik untuk tidak berpolemik. Kan soal ini juga ditangani MKMK,” tuturnya.

    (ond/dhn)

  • Mahfud MD: Putusan MK Larang Polisi Duduki Jabatan Sipil Mulai Berlaku dan Mengikat

    Mahfud MD: Putusan MK Larang Polisi Duduki Jabatan Sipil Mulai Berlaku dan Mengikat

    Bisnis.com, SURABAYA — Anggota Percepatan Reformasi Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), Mahfud MD angkat suara mengenai Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 114/PUU-XXIII/2025 mengenai larangan bagi anggota Polri untuk dapat menduduki jabatan di luar institusi kepolisian atau jabatan sipil, selama masih berstatus aktif.

    Mahfud menjelaskan bahwa putusan yang telah dibacakan oleh Ketua MK Suhartoyo dalam sidang pleno di Gedung MK, Jakarta, pada Kamis (13/11/2025) lalu tersebut secara otomatis telah bersifat mengikat dan wajib untuk dijalankan pasca pengesahannya.

    “Ya, itu [putusan MK] mengikat dong. Tidak ada kaitannya dengan tim reformasi Polri. Itu putusan MK, itu putusan hukum. Kalau putusan reformasi Polri itu administratif, nanti ya. Kalau [putusan tim] reformasi [Polri] itu administratif, disampaikan ke presiden, tapi kalau MK itu putusan hukum dan mengikat,” beber Mahfud saat ditemui usai ibadah salat Jumat di Masjid Nuruzzaman Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Jumat (14/11/2025).

    Mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Kemananan (Menko Polhukam) tersebut menegaskan kembali, dengan disahkannya Putusan MK Nomor 114/PUU-XXIII/2025 tersebut, maka Penjelasan Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian telah dinyatakan tidak lagi memiliki kekuatan hukum yang mengikat. 

    Walau begitu, Mahfud menjelaskan bahwa putusan tersebut juga tidak mengharuskan jajaran legislatif untuk menyusun ataupun merombak kembali Penjelasan Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002, yang menurut MK bertentangan dengan UUD 1945. Sebab, putusan MK tersebut, lanjut Mahfud, telah berlaku secara otomatis dan menggugurkan frasa “atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri’.

    “Enggak, putusan MK itu enggak usah harus mengubah [penjelasan] undang-undang, langsung berlaku. [Penjelasan] undang-undangnya kan langsung dibatalkan. Itu ‘kan isinya ‘atau ditugaskan oleh Kapolri’, itu ‘kan sudah dibatalkan. Berarti, sekarang karena batal ya sudah, enggak usah diubah lagi undang-undang. Nah, itu langsung berlaku,” beber Mahfud.

    Oleh sebab itu, Mahfud yang juga pernah menjabat sebagai Ketua MK tersebut berharap banyak putusan tersebut dapat dijalankan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya oleh institusi terkait, usai diketok palu pada Kamis (13/11) kemarin. Ia pun meminta prosedur pemberhentian aparat yang masih menduduki jabatan sipil juga harus secepatnya diatur oleh lembaga terkait.

    “Menurut undang-undang, putusan MK itu berlaku seketika. Begitu palu diketokkan itu berlaku. Sehingga proses-proses pemberhentian itu harus segera diatur kembali, kalau kita masih mau mengakui bahwa ini adalah negara hukum atau negara demokrasi konstitusional,” pungkasnya. 

    Diberitakan sebelumnya, MK menegaskan bahwa anggota Polri tidak dapat menduduki jabatan di luar institusi kepolisian atau jabatan sipil selama masih berstatus aktif. Putusan tersebut dibacakan oleh Ketua MK Suhartoyo dalam sidang pleno di Gedung MK, Jakarta, Kamis (13/11/2025).

    Penegasan ini tertuang dalam Putusan Nomor 114/PUU-XXIII/2025, yang menyatakan frasa “atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri” dalam Penjelasan Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

    Dalam pertimbangannya, Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur menjelaskan bahwa keberadaan frasa tersebut justru menimbulkan ketidakjelasan norma hukum dan mengaburkan ketentuan utama dalam Pasal 28 ayat (3) UU Polri, yang menyatakan bahwa anggota Polri hanya dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian.

    “Penambahan frasa tersebut memperluas makna norma dan berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum, baik bagi anggota Polri maupun bagi Aparatur Sipil Negara [ASN] di luar kepolisian,” ujarnya dalam keterangan resmi, Kamis (13/11/2025).

    Akibatnya, terjadi kerancuan dalam tata kelola jabatan publik serta potensi pelanggaran terhadap prinsip persamaan di hadapan hukum sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. 

    “Frasa itu tidak memberikan jaminan perlindungan dan kepastian hukum,” ujarnya.

    Putusan ini diwarnai pendapat berbeda (dissenting opinion) dari dua Hakim Konstitusi, yakni Daniel Yusmic P. Foekh dan M. Guntur Hamzah, serta satu alasan berbeda (concurring opinion) dari Hakim Arsul Sani. 

    Perkara tersebut diajukan oleh Syamsul Jahidin dan Christian Adrianus Sihite, yang menggugat keberadaan pasal dan penjelasan tersebut karena dianggap membuka peluang bagi anggota Polri aktif menduduki jabatan sipil tanpa harus melepaskan statusnya.

    Dalam permohonannya, para pemohon menilai hal tersebut bertentangan dengan prinsip netralitas aparatur negara dan mengancam profesionalisme birokrasi sipil. 

    Para pemohon juga mencontohkan sejumlah posisi strategis yang pernah diisi oleh anggota Polri aktif, seperti di KPK, BNN, BNPT, BSSN, dan Kementerian Kelautan dan Perikanan, tanpa melalui proses pengunduran diri atau pensiun. 

    Menurut mereka, hal tersebut mengakibatkan ketimpangan kesempatan bagi warga negara sipil dalam mengisi jabatan publik serta menciptakan potensi dwifungsi Polri dalam pemerintahan.

  • Kala Mahkamah Konstitusi Larang Polisi Aktif Duduki Jabatan Sipil

    Kala Mahkamah Konstitusi Larang Polisi Aktif Duduki Jabatan Sipil

    Bisnis.com, JAKARTA — Mahkamah Konstitusi telah melarang polisi aktif untuk menduduki jabatan sipil dalam putusannya pada Kamis (13/11/2025).

    Larang tersebut dalam Putusan Nomor 114/PUU-XXIII/2025, yang menyatakan frasa “atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri” dalam Penjelasan Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

    Putusan tersebut dibacakan oleh Ketua MK Suhartoyo dalam sidang pleno di Gedung MK, Jakarta, Kamis (13/11/2025).

    Dalam pertimbangannya, Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur menjelaskan bahwa keberadaan frasa tersebut justru menimbulkan ketidakjelasan norma hukum dan mengaburkan ketentuan utama dalam Pasal 28 ayat (3) UU Polri, yang menyatakan bahwa anggota Polri hanya dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian.

    Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur menilai, penambahan frasa tersebut memperluas makna norma dan berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum, baik bagi anggota Polri maupun bagi Aparatur Sipil Negara (ASN) di luar kepolisian.

    Akibatnya, terjadi kerancuan dalam tata kelola jabatan publik serta potensi pelanggaran terhadap prinsip persamaan di hadapan hukum sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

    “Frasa itu tidak memberikan jaminan perlindungan dan kepastian hukum,” ujarnya melalui rilis resminya, Kamis (13/11/2025).

    Putusan ini diwarnai pendapat berbeda (dissenting opinion) dari dua Hakim Konstitusi, yakni Daniel Yusmic P. Foekh dan M. Guntur Hamzah, serta satu alasan berbeda (concurring opinion) dari Hakim Arsul Sani.

    Perkara tersebut diajukan oleh Syamsul Jahidin dan Christian Adrianus Sihite, yang menggugat keberadaan pasal dan penjelasan tersebut karena dianggap membuka peluang bagi anggota Polri aktif menduduki jabatan sipil tanpa harus melepaskan statusnya.

    Dalam permohonannya, para pemohon menilai hal itu bertentangan dengan prinsip netralitas aparatur negara dan mengancam profesionalisme birokrasi sipil.

    Para pemohon juga mencontohkan sejumlah posisi strategis yang pernah diisi oleh anggota Polri aktif, seperti di KPK, BNN, BNPT, BSSN, dan Kementerian Kelautan dan Perikanan, tanpa melalui proses pengunduran diri atau pensiun.

    Menurut mereka, hal tersebut mengakibatkan ketimpangan kesempatan bagi warga negara sipil dalam mengisi jabatan publik serta menciptakan potensi dwifungsi Polri dalam pemerintahan.

    Respons Polri

    Sementara itu, Mabes Polri masih akan mempelajari putusan MK terkait dengan larangan bagi anggota polisi aktif menduduki jabatan sipil.

    Kadiv Humas Polri, Irjen Sandi Nugroho mengatakan pihaknya belum menerima salinan resmi dari putusan itu. Namun demikian, Sandi memastikan Polri bakal menghormati putusan yang dikeluarkan MK.

    “Terima kasih atas informasinya, dan kebetulan kami juga baru dengar atas putusan tersebut, tentunya Polri akan menghormati semua keputusan yang sudah dikeluarkan,” ujar Sandi di PTIK, Jakarta, Kamis (13/11/2025).

    Dia menambahkan untuk saat ini Polri masih menunggu hasil resmi putusan MK. Usai salinan putusan MK itu diterima, Polri bakal menganalisis putusan MK itu sebelum akhirnya menyatakan sikap.

    “Tentunya kalau memang sudah diputuskan dan kita sudah mempelajari apa yang sudah diputuskan tersebut, Polri akan selalu menghormati putusan pengadilan yang sudah diputuskan,” imbuhnya.

    Adapun, Sandi menjelaskan bahwa penempatan anggota aktif kepolisian di Kementerian/Lembaga sudah memiliki aturannya tersendiri. 

    Berdasarkan Pasal 28 ayat (3) UU No.2/2002 tentang Polri menyatakan jabatan di luar kepolisian memerlukan izin dari Kapolri. Namun, frasa itu kini telah dihapus dalam putusan MK dengan perkara nomor 114/PUU-XXIII/2025.

    “Namun demikian kita sudah mendengar ataupun kita sudah melihat ada putusan hari ini, kita tinggal menunggu seperti apa konkrit putusannya sehingga kami bisa melihat dan pelajari dan apa yang harus dikerjakan oleh kepolisian,” pungkasnya.

  • Dua Gugatan Ditolak MK, Purbaya Tetap Pungut Pajak Pesangon Pekerja Kena PHK

    Dua Gugatan Ditolak MK, Purbaya Tetap Pungut Pajak Pesangon Pekerja Kena PHK

    Bisnis.com, JAKARTA — Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa tetap bisa memungut pajak dari uang pensiun dan pesangon pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja alias PHK setelah Mahkamah Konstitusi menolak dua gugatan uji materi.

    Peristiwa yang terbaru, MK mementahkan permohonan uji materi atas Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh) dan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang diajukan oleh 12 pekerja bank dan seorang ketua serikat buruh.

    Dalam putusan Perkara Nomor 186/PUU-XXIII/2025, Ketua MK Suhartoyo menilai permohonan uji materi tidak jelas atau obscuur. Ketidakjelasan itu membuat Mahkamah tidak melanjutkan pemeriksaan terhadap kedudukan hukum maupun pokok perkara para pemohon. 

    “Karena permohonan Pemohon tidak jelas atau kabur atau obscuur, maka Mahkamah tidak mempertimbangkan kedudukan hukum dan pokok permohonan para Pemohon lebih lanjut,” ujarnya dalam sidang pengucapan putusan, Kamis (13/11/2025), dikutip situs resmi MK.

    Mahkamah menilai argumentasi para pemohon mengenai frasa “tunjangan dan uang pensiun” dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a UU PPh tidak sesuai dengan rumusan pasal yang sebenarnya.

    Berdasarkan hasil pemeriksaan, kata Suhartoyo, frasa tersebut tidak terdapat dalam ketentuan dimaksud, melainkan terpisah menjadi kata “tunjangan” dan “uang pensiun”.

    Selain itu, Mahkamah menilai permohonan yang diajukan juga tidak konsisten. Dalam petitum pertama, pemohon mencampurkan alasan permohonan ke dalam bagian permintaan, sedangkan pada petitum kedua, pemohon meminta agar Pasal 17 ayat (1) huruf a dinyatakan konstitusional bersyarat, tetapi dalam alasan permohonan justru menyebutkan pertentangan pasal secara keseluruhan.

    Dengan demikian, MK memutuskan permohonan para pemohon yang tercatat dalam perkara Nomor 186/PUU-XXIII/2025 tidak dapat diterima.

    Sebagai informasi, Pasal 4 ayat (1) UU PPh mengatur bahwa penghasilan yang menjadi objek pajak mencakup setiap tambahan kemampuan ekonomis yang dapat digunakan untuk konsumsi atau menambah kekayaan wajib pajak, termasuk gaji, upah, komisi, bonus, gratifikasi, serta uang pensiun. Adapun Pasal 17 mengatur lapisan tarif progresif PPh berdasarkan besaran penghasilan.

    Permohonan ini diajukan oleh 12 pekerja bank swasta, termasuk seorang ketua umum serikat karyawan. Mereka mempersoalkan pengenaan pajak terhadap pesangon dan manfaat pensiun yang dinilai bertentangan dengan hak konstitusional pekerja sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (2) UUD 1945.

    Para pemohon berpendapat bahwa pesangon dan pensiun merupakan hak normatif dan bentuk penghargaan atas masa kerja, bukan tambahan penghasilan baru. Karena itu, mereka meminta MK menafsirkan ketentuan pajak secara konstitusional bersyarat agar tidak mencakup dana jaminan sosial seperti uang pensiun, Jaminan Hari Tua (JHT), dan Tunjangan Hari Tua (THT).

    Penolakan Serupa

    Sebelumnya, permohonan serupa juga sudah sempat ditolak MK. Dalam putusan Nomor 170/PUU-XXIII/2025, Mahkamah menyatakan permohonan uji materi pajak pesangon dan pensiun tidak dapat diterima karena tidak memenuhi syarat formil dan substansi.

    Hakim Konstitusi Arsul Sani menjelaskan para pemohon yaitu Rosul Siregar dan Maksum Harahap, dua karyawan swasta, tidak cermat dalam menyusun permohonan. MK menilai adanya ketidakkonsistenan dan kekeliruan dalam menyebut norma undang-undang yang diuji, serta petitum yang tidak jelas.

    “Ketidakkonsistenan serta kekeliruan tersebut membuat permohonan tidak jelas atau kabur mengenai pasal atau ketentuan mana yang sebenarnya dimaksud untuk diuji,” ujar Arsul dalam sidang pembacaan putusan di Jakarta, Kamis (30/10/2025), seperti dikutip dari laman resmi MK.

    Mahkamah menilai petitum para pemohon juga tidak lazim karena tidak memberikan alternatif permintaan. Ketiadaan pilihan tersebut menyebabkan permohonan tidak memenuhi asas kejelasan dan kepastian hukum sebagaimana prinsip yang diatur dalam hukum acara MK.

    Sebelumnya, para pemohon meminta MK menyatakan Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 17 UU No. 7/1983 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh), sebagaimana telah diubah dengan UU No. 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (1), dan Pasal 34 ayat (2) UUD 1945.

    Keduanya berpendapat bahwa pesangon, uang pensiun, tunjangan hari tua (THT), dan jaminan hari tua (JHT) seharusnya dikecualikan dari objek pajak penghasilan karena merupakan hak sosial yang berfungsi sebagai jaminan pasca kerja.

    Hanya saja, MK menilai permohonan tersebut obscuur libel atau kabur sehingga tidak dapat dipertimbangkan lebih lanjut. Dengan demikian, pesangon, pensiun, THT, dan JHT tetap termasuk objek PPh sesuai Pasal 4 ayat (1) UU PPh yang menyebut setiap tambahan kemampuan ekonomis—termasuk uang pensiun dan imbalan kerja—sebagai penghasilan kena pajak.

  • MK Putuskan Anggota Polri Wajib Mundur, Ketahui Delapan Jenderal yang Kini Duduki Jabatan Sipil

    MK Putuskan Anggota Polri Wajib Mundur, Ketahui Delapan Jenderal yang Kini Duduki Jabatan Sipil

    “Frasa ‘atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri’ menimbulkan kerancuan dan memperluas norma pasal a quo, sehingga berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum sebagaimana dijamin Pasal 28D ayat (1) UUD 1945,” ujar Ridwan saat membacakan pertimbangan Mahkamah.

    Menurut MK, ketentuan tersebut juga tidak memberikan jaminan perlindungan dan kepastian hukum sebagaimana diamanatkan konstitusi. Karena itu, permohonan para Pemohon dinyatakan beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.

    “Berdasarkan seluruh pertimbangan hukum tersebut di atas, dalil para Pemohon bahwa frasa ‘atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri dalam penjelasan Pasal 28 ayat (3) UU 2/2002 telah ternyata menimbulkan kerancuan dan memperluas norma Pasal 28 ayat (3) UU Polri,” tegasnya.

    Meski demikian, putusan ini turut disertai alasan berbeda (concurring opinion) dari Hakim Konstitusi Arsul Sani, serta pendapat berbeda (dissenting opinion) dari dua hakim lainnya, yakni Daniel Yusmic P. Foekh dan M. Guntur Hamzah.

    Permohonan uji materi ini diajukan oleh Syamsul Jahidin, seorang mahasiswa doktoral dan advokat, serta Christian Adrianus Sihite, lulusan sarjana hukum. Mereka menilai keberadaan frasa tersebut membuka celah bagi anggota Polri aktif menduduki jabatan sipil tanpa mundur atau pensiun, yang bertentangan dengan prinsip netralitas aparatur negara dan meritokrasi dalam pelayanan publik.

    Para pemohon menilai praktik tersebut menciptakan dwifungsi Polri yang serupa dengan praktik masa lalu, karena polisi aktif berperan ganda dalam bidang keamanan sekaligus pemerintahan dan birokrasi.