Tag: Arsul Sani

  • Koalisi Sipil Gugat UU TNI, Ini Empat Poin yang Berpolemik

    Koalisi Sipil Gugat UU TNI, Ini Empat Poin yang Berpolemik

    Bisnis.com, JAKARTA – Koalisi masyarakat sipil di Indonesia kompak menggugat UU Tentara Negara Indonesia (TNI), karena berpotensi melemahkan hak asasi manusia.

    Kelompok masyarakat menilai bahwa peran ganda yang dimiliki militer, bahkan bisa masuk ke ranah teknologi, hingga keamanan teknologi dan keamanan siber, membahayakan kebebasan berpendapatan, terutama ketika ada masyarakat yang menyampaikan pendapatnya di media sosial. Kondisi ini juga bisa menimbulkan pemerintahan yang antikritik dan pelanggaran HAM dalam menyampaikan pendapat.

    Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perkara permohonan uji materiil Undang-Undang (UU) No. 3 Tahun 2025 tentang Perubahan UU No.34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) pada Selasa (04/11/2025) siang, bersama perwakilan masyarakat sipil.

    Permohonan perkara yang diajukan oleh Mochamad Adli Wafi melalui Kuasa Hukum Daniel Winarta, dengan nomor perkara 197/PUU-XXIII/2025 memperkarakan UU TNI terbaru karena dinilai tidak sesuai dengan Konstitusi UUD 1945, serta berpotensi melemahkan prinsip Hak Asasi Manusia (HAM), dan semangat reformasi di bidang keamanan. 

    Menurut pemohon, UU TNI yang menjadi isu hangat di awal tahun 2025 dinilai bermasalah pada empat aspek utama, yakni tugas pokok TNI, hubungan sipil-militer, usia pensiun perwira tinggi TNI, dan akuntabilitas pelanggaran hukum yang melibatkan anggota TNI.  

    Sidang terbuka yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Saldi Isra, dan didampingi Ridwan Mansyur beserta Arsul Sani turut dihadiri oleh para prinsipal Annisa Yuda dari Perkumpulan Imparsial, Bayu Wardana dari Aliansi Jurnalis Indonesia, Mochamad Adli Wafi, dan Ikhsan Yosarie.

    Empat Pokok Perkara dalam UU TNI terbaru:

    1. Keterlibatan TNI dalam Operasi Militer Selain Perang (OMSP)

    Para pemohon menilai, dalam UU TNI terbaru mengatur TNI dalam operasi militer selain perang, khususnya membantu tugas pemerintah di daerah dan menanggulangi ancaman siber dinilai bertentangan dengan UUD 1945. 

    Aturan tersebut akan membuka TNI semakin terlibat dalam ranah keamanan sipil, seperti urusan teknis keamanan siber, dan penanganan konflik sosial seperti pemogokan dan konflik komunal yang bersimpangan dengan aturan konflik sosial dalam UU Nomor 7 Tahun 2012. Di sini, pemogokan adalah salah satu kebebasan ekspresi yang dilindungi oleh UUD 1945 Pasal 28E. Sedangkan konflik komunal yang terdapat dalam UU TNI terbaru dinilai pemohon tidak memiliki batasan yang jelas. Konflik sosial yang diatur dalam UU 7/2012 mengatur bantuan TNI hanya bisa dilakukan berdasarkan pengajuan dari Pemda ke Presiden.

    2. Pelanggaran Prinsip Check and Balance dari DPR RI

    UU TNI yang terbaru dinilai pemohon akan melanggar prinsip check and balance antara eksekutif (Presiden) sebagai penguasa tertinggi TNI, dan legislatif (DPR) sebagai pengontrol pembuatan kebijakan. UU TNI yang baru disebut dapat menghilangkan kontrol DPR dalam pelaksanaan OMSP, yang melanggar UUD 1945 pasal 10 dan 11.

    3. Keterlibatan Prajurit Aktif di Lembaga Sipil

    Sidang ini mempersoalkan UU TNI terbaru yang membolehkan prajurit aktif untuk menduduki jabatan Sekretariatan Presiden, Kejaksaan RI, dan BNN. Ketiga jabatan tersebut berpotensi membuka kembali Dwifungsi ABRI dan menyimpang dari fungsi pertahanan negara. Terlebih, Kejaksaan diatur sebagai lembaga penegak hukum sipil yang tidak bisa diintervensi militer. Keterlibatan TNI dalam Kejaksaaan akan mengancam independensi Kejaksaan dan supremasi sipil.

    4. Penambahan Usia Pensiun Perwira Tinggi

    UU TNI yang terbaru dinilai para pemohon akan membuat diskriminasi terhadap perwira pertama dan menengah karena menyempitkan peluang jabatan strategis. Hal ini berlawanan dengan UUD 1945 pasal 27(1) dan 28D(3) yang menjunjung kesetaraan dalam hukum dan pemerintahan serta kesempatan yang sama dalam pemerintahan atau militer.

    Dalam persidangan ini, para hakim memberikan tanggapan kepada para pemohon berupa nasehat perbaikan untuk membangun kembali tuntutan yang lebih rinci dan lebih kuat argumentasinya dalam berkas permohonan.

    Hakim Saldi Isra, menyampaikan perihal yang kurang dielaborasikan. Salah satunya adalah bagian apa saja dalam undang-undang yang menyimpang dari semangat reformasi. Beliau juga menambahkan penjelasan berupa perbandingan karakteristik TNI dengan tentara negara-negara lain.

    Selain itu, majelis hakim menilai petitum permohonan, yaitu harapan para pemohon, turut mendapatkan komentar dari para hakim. Para hakim meminta untuk beberapa petitum digabungkan, dan ditambahkan beberapa berita negara yang relevan.

    Para hakim juga memperhatikan legal standing para pemohon yang dinilai belum cukup kuat. Legal standing para pemohon masih kurang tersambung, yaitu antara pasal-pasal yang ingin diuji dengan kejadian inkonstitusional, karena membuat permohonan menjadi kurang jelas. (Stefanus Bintang)

  • Ijazah Hakim MK Era Jokowi Diduga Palsu, Kampusnya di Polandia Digrebek KPK

    Ijazah Hakim MK Era Jokowi Diduga Palsu, Kampusnya di Polandia Digrebek KPK

    GELORA.CO – Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Republik Indonesia Arsul Sani baru-baru ini menjadi bahan perbincangan mantan anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Romo Stefanus Hendrianto. Ia diduga mengantongi ijazah palsu dari Collegium Humanum – Warsaw Management University, Polandia, setelah meraih gelar Doktor Ilmu Hukum pada 2023.

    Dalam podcast yang tayang di kanal YouTube Refly Harun pada 14 Oktober 2025, Romo Stefanus Hendrianto menyinggung perihal Hakim MK Arsul Sani yang menyebut tentang kasus dugaan ijazah palsu mantan Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) dalam permohonan uji materi UU Keterbukaan Informasi Publik (KIP) yang meminta agar ijazah pejabat dan mantan pejabat bisa diakses publik.

    Menurut Romo Stefanus, polemik ijazah palsu tersebut muncul karena tatanan konstitusi yang bermasalah.

    “Karena masalah ijazah ini semua kan muncul hanya karena tatanan konstitusi juga yang sebenarnya bermasalah dalam banyak hal. Dalam undang-undang dasar yang dirubah itu, di antaranya persyaratan wakil presiden, persyaratan presiden segala macam,” ucapnya.

    Ia lantas menyinggung syarat pendidikan untuk menjadi Wakil Presiden RI yang hanya membutuhkan jenjang SMA. Hal ini berbanding terbalik dengan syarat yang ditetapkan untuk menjadi Hakim MK.

    Sebagaimana diketahui, syarat pendidikan untuk menjadi Hakim MK adalah berijazah Doktor (S3) dengan dasar Sarjana di bidang hukum.

    “Sementara yang menarik begini, untuk menjadi seorang Hakim MK syaratnya harus S3, jadi seakan-akan lebih tinggi menjadi seorang Hakim Mahkamah Konstitusi dibanding yang menjadi presiden. Padahal tugasnya juga tidak kalah beratnya menjadi seorang presiden,” tambahnya.

    Dengan ketetapan seperti itu, Romo Stefanus kemudian menyoroti kualitas Doktor yang dikantongi oleh para Hakim MK.

    “Akhirnya sekarang ini sudah banyak Hakim MK yang pokoknya harus ada gelar Doktor seperti itu. Tapi apakah kualitasnya dengan Doktor-Doktor itu menjadi lebih baik? Kita bisa perdebatkan apakah kualitas MK menjadi lebih baik hanya karena hakim-hakimnya punya gelar Dokter dan juga korelasinya bagaimana gelar Doktor? Apakah harus Doktor yang ilmu hukum, misalnya hukum tata negara, hukum konstitusi, atau bisa hukum perdata, segala macam bisa menjadi Hakim MK juga,” sambungnya lagi.

    Baca Juga:

    Romo Stefanus lantas menyebutkan bahwa mantan Hakim MK sebelumnya, Anwar Usman, pun tidak memiliki gelar Doktor di bidang hukum. Namun, Anwar Usman tetap dipilih menjadi Hakim MK.

    Setelah itu, Romo Stefanus menyinggung soal gelar S3 milik Hakim MK saat ini, Arsul Sani. Ia mengatakan bahwa kampus di mana Arsul Sani berkuliah tersandung kasus ijazah palsu hingga para petingginya ditangkap oleh Biro Anti-Korupsi Pusat Polandia.

    “Ketika itu dia mengatakan punya S3 dari universitas di Polandia, Warsaw Management University. Sebenarnya kalau tidak salah itu online program dan kemudian itu menjadi modal dia menjadi Hakim MK. Nah, ada info menarik bahwa sekolah tempat dia belajar dapat S3, awal tahun itu digrebek oleh KPK Polandia. Kemudian para pemimpinnya ditangkap karena mereka menjual ijazah palsu kepada banyak pejabat di Polandia,” bebernya.

    Namun, Romo Stefanus tidak dapat mengonfirmasi apakah ijazah yang dikantongi oleh Arsul Sani terkait dengan kasus tersebut.

    “Nah, apakah ini ada korelasinya atau tidak, kita tidak tahu kan. Tapi ini juga akhirnya menimbulkan pertayaan menurut saya, saya tidak menuduh ijazahnya palsu, saya tidak punya bukti. Tapi ini isu yang menarik, bagaimana dia mendapatkan gelar dari sebuah universitas yang kebetulan juga di sana bermasalah karena banyak menjual ijazah palsu kepada pejabat-pejabat Polandia, sehingga para petinggi universitas itu ditangkap, dipenjara oleh KPK Polandia,” lanjutnya.

    Saat ditelusuri dari Rzeczpospolita, surat kabar ekonomi dan hukum harian Polandia, dilaporkan bahwa terjadi perdagangan besar-besaran ijazah MBA yang memicu tuduhan suap untuk mendapatkan ijazah yang tidak sah dari Collegium Humanum – Warsaw Management University.

    Umumnya, para pejabat di Polandia diharuskan memiliki setidaknya gelar Doktor di bidang ekonomi, hukum, atau ilmu teknik. Pembelian ijazah pascasarjana palsu menimbulkan pertanyaan tentang efektivitas penunjukan untuk posisi-posisi penting.

    Pawe Czarnecki, pendiri dan mantan rektor Collegium Humanum, ditahan oleh Biro Anti-Korupsi Pusat tas 30 kejahatan, termasuk menerima suap sebesar 250,220 dolar AS atau sekitar Rp 4,1 miliar sebagai imbalan atas penerbitan lebih dari seribu ijazah palsu.

    Dengan adanya kasus tersebut, Romo Stefanus menilai bahwa ijazah pejabat lain seperti Hakim MK pun mungkin perlu diverifikasi keasliannya karena menyangkut pejabat publik.

    Unggahan itu pun menuai beragam komentar dari publik.

    “Tuh dengarkan para pejabat pengambil keputusan atau kebijakan bahwa pendidikan itu penting. Keaslian ijazah itu penting karena pengaruh ke kualitas manusianya,” tulis akun @dewi*******.

    “Romo, terima kasih informasinya. Untuk ijazah tersebut, berarti perlu juga diklarifikasi oleh salah satu hakim tersebut,” komentar @hesty**********.

    “Semua pejabat publik jajaran paling bawah sampai paling atas wajib diverifikasi, yang bodong, pecat cabut semua fasilitas yang diberikan oleh negara dan harus menjalani hukuman,” tambah @hana******.

  • 6
                    
                        Gugatan agar Ijazah Pejabat Dibuka, Hakim MK Singgung Isu Jokowi dan Gibran
                        Nasional

    6 Gugatan agar Ijazah Pejabat Dibuka, Hakim MK Singgung Isu Jokowi dan Gibran Nasional

    Gugatan agar Ijazah Pejabat Dibuka, Hakim MK Singgung Isu Jokowi dan Gibran
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Hakim konstitusi Arsul Sani menyinggung kasus ijazah Presiden ke-7 RI Joko Widodo dan ijazah Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka dalam permohonan uji materi UU Keterbukaan Informasi Publik (KIP) yang meminta agar ijazah pejabat dan mantan pejabat bisa diakses publik.
    Hal ini disampaikan Arsul saat memberikan nasihat hakim kepada pemohon Komardin yang mengajukan perkara dengan nomor 174/PUU-XXIII/2025 dalam sidang yang digelar di Panel 2 MK, Jakarta Pusat, Jumat (10/10/2025).
    Dia meminta agar Komardin selaku penggugat bisa merenungkan kembali apakah persoalan yang digugat berkaitan dengan Pasal 17 huruf g dan huruf h angka 5, serta Pasal 18 ayat (2) huruf a UU KIP, atau persoalannya ada pada implementasi beleid tersebut.
    “Kalau persoalannya itu ada pada normanya, silakan diargumentasikan dengan baik, ya,” ucap Arsul.
    Dia kemudian menyinggung gugatan ini tak jauh dari isu yang sedang ramai beredar, yakni keabsahan ijazah strata 1 Jokowi dan Gibran.
    “Ini kan masih di sekitar, mohon maaf, ijazahnya Pak Jokowi, ijazahnya Pak Wapres Gibran, dan lain sebagainya,” imbuhnya.
    Dia meminta agar Komardin bisa menjelaskan lebih baik, terlepas dari argumentasi bahwa isu ijazah membuat perekonomian menjadi tidak pasti dan menyebabkan kegaduhan.
    “Tapi Bapak harus coba renungkan, ya. Kalau itu misalnya, persoalannya pada implementasi, kan persoalan implementasi juga ada jalan keluarnya,” ucap Arsul.
    “Ketika tidak diberikan, maka bisa dibawa sebagai sengketa informasi keterbukaan publik, ke Komisi Informasi, kan ada juga, bisa diperintahkan. Jadi, tanpa harus mengubah normanya. Coba dipikirkan kembali,” tuturnya.
    Adapun gugatan ini diajukan seorang advokat bernama Komardin yang menilai isu ijazah pejabat dan mantan pejabat menyebabkan perekonomian menurun.
    “Terjadi gaduh di mana-mana yang menyebabkan usaha-usaha kami itu sulit. Ya, sering ada demo, kemudian ada perdebatan, dan sebagainya,” ucap Komardin.
    Dalam positanya, ia juga menyinggung isu ijazah strata 1 Presiden Ketujuh RI, Joko Widodo.
    Dia mengatakan, isu ijazah Jokowi tersebut terkendala oleh pihak Universitas Gadjah Mada yang tidak mau memberikan keterangan dan bukti sehingga kondisi semakin gaduh.
    Atas dasar hal tersebut, dia meminta MK mengubah Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik Pasal 7 huruf g menjadi:
    “Informasi publik yang apabila dibuka dapat mengungkapkan isi akta otentik yang bersifat pribadi dan kemauan terakhir ataupun wasiat seseorang adalah informasi yang dikecualikan, tetapi skripsi, ijazah seseorang, pejabat, mantan pejabat negara dan/atau semua yang telah digaji dengan menggunakan uang negara tidak termasuk dokumen yang dikecualikan dan dapat diminta jika dibutuhkan keabsahannya oleh publik,” kata pemohon Komardin.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Perlu Ada ‘Lampu Merah’ Ramah Penyandang Buta Warna

    Perlu Ada ‘Lampu Merah’ Ramah Penyandang Buta Warna

    Jakarta

    Lampu lalu lintas atau dikenal sebagai ‘lampu merah’ menjadi instrumen penting di jalan raya. Namun ternyata, alat pemberi isyarat lalu lintas (APILL) itu belum mengakomodasi penyandang buta warna.

    Menurut pemerhati transportasi Muhamad Akbar, secara umum posisi lampu dapat memberi petunjuk. Lampu di atas berarti merah, lampu di bawah hijau.

    “Tetapi dalam kondisi nyata di jalan raya, terutama saat malam hari atau ketika hujan, pantulan cahaya dan keterbatasan jarak pandang kerap membuat penafsiran menjadi keliru. Ini bukan kisah rekaan. Dengan angka kejadian buta warna parsial sekitar 5-8 persen pada laki-laki, diperkirakan lebih dari delapan juta orang di Indonesia menghadapi tantangan serupa setiap hari di jalan raya,” kata Akbar dalam keterangan tertulis dikutip Rabu (24/9/2025).

    Singgih Wiryono dan Yosafat Diva Bayu Wisesa, wartawan penyandang buta warna parsial, mengajukan pengujian materiil terhadap Pasal 25 ayat (1) huruf c Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Mereka meminta Mahkamah Konstitusi (MK) menguji keabsahan sistem lampu lalu lintas (APILL) yang hanya mengandalkan warna. Sebab, hal itu dinilai diskriminatif dan tidak menjamin keselamatan bagi penyandang disabilitas visual.

    Namun, MK menolak permohnan tersebut. Dalam Putusan Nomor 149/PUU-XXIII/2025, majelis hakim memang menolak permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Namun, putusan itu justru memuat amanat penting. MK menegaskan bahwa pelaksanaan aturan tersebut harus memperhatikan keselamatan penyandang disabilitas visual.

    “Termasuk mereka yang mengalami buta warna parsial, dengan melengkapi sarana dan prasarana lalu lintas yang melindungi dan memberikan rasa aman bagi mereka semua, termasuk menyediakan alat pemberi isyarat lalu lintas yang mengakomodasi kebutuhan penyandang defisiensi penglihatan warna,” kata Wakil Ketua MK Arsul Sani.

    Meski menolak permohonan, MK menegaskan bahwa implementasi UU wajib inklusif. Pemerintah harus mengakomodasi kebutuhan penyandang buta warna dalam kebijakan teknisnya.

    Menurut Akbar, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 149/PUU-XXIII/2025 bukanlah akhir perkara, melainkan justru menjadi ujian nyata bagi komitmen pemerintah dalam memenuhi hak-hak konstitusional warga negaranya. Negara diingatkan untuk tidak lagi abai terhadap kebutuhan kelompok penyandang disabilitas visual, sekecil apa pun itu.

    “Konstitusi sudah jelas menjamin setiap warga berhak atas rasa aman dan perlindungan, termasuk di jalan raya. Pertanyaannya kini, apakah pemerintah benar-benar siap untuk menindaklanjuti putusan tersebut dengan kebijakan konkret, atau membiarkannya sekadar menjadi catatan hukum tanpa makna?” ujarnya.

    (rgr/dry)

  • Profil Suryadharma Ali, 2 Kali Didapuk sebagai Menteri Era SBY – Page 3

    Profil Suryadharma Ali, 2 Kali Didapuk sebagai Menteri Era SBY – Page 3

    Terpisah, Hakim Konstitusi, Arsul Sani mengaku sangat kehilangan atas berpulangnya Suryadharma Ali (SDA). Sebagai mantan anak buahnya di Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Arsul mengenang sosok SDA sebagai pribadi yang baik.

    “Pak SDA orang baik, selalu berprasangka baik (khusnudzon) dan mudah percaya sama orang,” kata Arsul.

    Arsul mengatakan, kebaikan SDA kerap disalah artikan dan dimanfaatkan untuk kepentingan yang tidak baik oleh orang lain. Dampaknya, membawa bencana hukum bagi SDA kala itu.

    “Meski kemudian ada saja yang memanfaatkan sifat khusnudzonnya dan mudah percayanya itu sehingga membawa musibah hukum bagi beliau,” kenang Arsul.

    Sebagai rekan separtai pada saat itu, Arsul melihat SDA selalu perhatian terhadap para jajarannya. Momen paling diingat Arsul, khususnya saat pertama bergabung bersama partai berlambang Ka’bah tersebut adalah ketika dipercaya menjabat sebagai ketua Lembaga Bantuan Hukum (LBH) DPP PPP.

    “Pak SDA juga perhatian terhadap anak buah dan orang lain. Ketika saya bersedia diajak Pak Lukman Hakim Saifuddin & Pak Soleh Amin, SH masuk PPP, beliau menempatkan saya sebagai Ketua LBH DPP PPP meski baru saling kenal,” kenang Arsul.

    Arsul menambahkan, sebagai ketua umum PPP, kala itu SDA sering berdiskusi tentang persoalan hukum. Bukan sebagai atasan dan anak buah, melainkan rekan yang saling mengisi.

    “Selama menjadi pengurus PPP dibawah beliau sebagai ketua umum, setiap diskusi isu hukum dengan beliau, maka itu sebagai obrolan antar teman, tidak model percakapan pimpinan dan ank buah,” ungkap Arsul.

     

  • Menag Kenang Gebrakan Suryadharma Ali: Begini Perannya Bangun Kerukunan Umat – Page 3

    Menag Kenang Gebrakan Suryadharma Ali: Begini Perannya Bangun Kerukunan Umat – Page 3

    Terpisah, Hakim Konstitusi, Arsul Sani mengaku sangat kehilangan atas berpulangnya Suryadharma Ali (SDA). Sebagai mantan anak buahnya di Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Arsul mengenang sosok SDA sebagai pribadi yang baik.

    “Pak SDA orang baik, selalu berprasangka baik (khusnudzon) dan mudah percaya sama orang,” kata Arsul.

    Arsul mengatakan, kebaikan SDA kerap disalah artikan dan dimanfaatkan untuk kepentingan yang tidak baik oleh orang lain. Dampaknya, membawa bencana hukum bagi SDA kala itu.

    “Meski kemudian ada saja yang memanfaatkan sifat khusnudzonnya dan mudah percayanya itu sehingga membawa musibah hukum bagi beliau,” kenang Arsul.

    Sebagai rekan separtai pada saat itu, Arsul melihat SDA selalu perhatian terhadap para jajarannya. Momen paling diingat Arsul, khususnya saat pertama bergabung bersama partai berlambang Ka’bah tersebut adalah ketika dipercaya menjabat sebagai ketua Lembaga Bantuan Hukum (LBH) DPP PPP.

    “Pak SDA juga perhatian terhadap anak buah dan orang lain. Ketika saya bersedia diajak Pak Lukman Hakim Saifuddin & Pak Soleh Amin, SH masuk PPP, beliau menempatkan saya sebagai Ketua LBH DPP PPP meski baru saling kenal,” kenang Arsul.

    Arsul menambahkan, sebagai ketua umum PPP, kala itu SDA sering berdiskusi tentang persoalan hukum. Bukan sebagai atasan dan anak buah, melainkan rekan yang saling mengisi.

    “Selama menjadi pengurus PPP dibawah beliau sebagai ketua umum, setiap diskusi isu hukum dengan beliau, maka itu sebagai obrolan antar teman, tidak model percakapan pimpinan dan ank buah,” ungkap Arsul.

  • Sosok Suryadharma Ali di Mata Hakim Konstitusi Arsul Sani: Sifatnya Selalu Khusnudzon – Page 3

    Sosok Suryadharma Ali di Mata Hakim Konstitusi Arsul Sani: Sifatnya Selalu Khusnudzon – Page 3

    Arsul menambahkan, sebagai ketua umum PPP, kala itu SDA sering berdiskusi tentang persoalan hukum. Bukan sebagai atasan dan anak buah, melainkan rekan yang saling mengisi. 

    “Selama menjadi pengurus PPP dibawah beliau sebagai ketua umum, setiap diskusi isu hukum dengan beliau, maka itu sebagai obrolan antar teman, tidak model percakapan pimpinan dan ank buah,” ungkap Arsul. 

    Mendoakan mendiang SDA, Arsul memanjatkan doa terbaik agar almarhum diterima di sisi-Nya. “Buat saya wafatnya beliau tentu sebuah kehilangan, namun saya percaya beliau husnul khotimah,” dia menandasi.

    Diberitakan sebelumnya, Mantan Menteri Agama RI, Suryadharma Ali dikabarkan meninggal dunia. Dia disebut tutup usia hari ini, Kamis (31/7/2025) pukul 04.18 WIB.

    Akun Instagram resmi Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam (Bimas Islam) Kementerian Agama (Kemenag) membenarkan kabar duka tersebut.

    “Meninggal pada hari Kamis, 31 Juli 2025, pukul 04.18 WIB di RS. Mayapada Jakarta,” tulis akun @bimasislam, dikutip Liputan6.com, Kamis pagi.

     

  • Pimpinan Organisasi Advokat Dilarang Rangkap Pejabat Negara, MK: Hindari Konflik Kepentingan
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        30 Juli 2025

    Pimpinan Organisasi Advokat Dilarang Rangkap Pejabat Negara, MK: Hindari Konflik Kepentingan Nasional 30 Juli 2025

    Pimpinan Organisasi Advokat Dilarang Rangkap Pejabat Negara, MK: Hindari Konflik Kepentingan
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com

    Mahkamah Konstitusi
    (
    MK
    ) menyebut, putusan yang melarang pimpinan organisasi
    advokat
    merangkap
    pejabat negara
    bertujuan untuk menghindari potensi benturan kepentingan atau
    conflict of interest
    .
    Pernyataan ini disampaikan Hakim Konstitusi Arsul Sani saat membacakan pertimbangan Putusan Perkara Nomor 183/PUU-XXII/2024 terkait uji materiil Pasal 28 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang
    Advokat
    yang telah dimaknai MK melalui Putusan Nomor 91/PUU-XX/2022.
    Arsul mengatakan, MK memiliki dasar kuat dan fundamental untuk menyatakan pimpinan organisasi advokat harus berstatus non-aktif jika diangkat menjadi pejabat negara.
    “Hal demikian diperlukan agar pimpinan organisasi advokat sebagai pejabat negara dimaksudkan untuk menghindari potensi benturan kepentingan (
    conflict of interest
    ) apabila diangkat/ditunjuk sebagai pejabat negara, termasuk jika diangkat/ditunjuk sebagai menteri atau wakil menteri,” kata Arsul, di Gedung MK, Jakarta, Rabu (30/7/2025).
    Putusan Nomor 91/PUU-XX/2022 menyatakan, seseorang boleh menjabat pimpinan organisasi advokat dalam waktu 5 tahun dan dua periode, serta tidak boleh merangkap pimpinan partai politik tingkat pusat atau daerah.
    Pengacara bernama Andri Darmawan lalu menggugat Pasal 28 Ayat (3) tersebut yang telah dimaknai pada 2022.
    Dalam permohonannya, ia meminta mahkamah menambah pembatasan bahwa pemimpin advokat juga tidak boleh merangkap pejabat negara.
    Dalam dalilnya, ia mencotohkan Ketua Umum Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi)
    Otto Hasibuan
    yang saat ini menjabat Wakil Menteri Koordinator bidang Hukum, Imigrasi, dan Pemasyarakatan.
    Mencermati dalil pemohon, Arsul menyebut, pembatasan jabatan pimpinan organisasi advokat seharusnya diatur jelas dalam norma undang-undang.
    Sebab, advokat juga merupakan penegak hukum yang memiliki kedudukan setara dengan penegak hukum lain.
    “Pembatasan jabatan pimpinan organisasi advokat demikian seharusnya diatur secara jelas dalam norma undang-undang seperti halnya penegak hukum lainnya, untuk menghindari penyalahgunaan kewenangan,” tutur Arsul.
    Mahkamah kemudian memutuskan mengabulkan sebagian permohonan Andri.
    Mahkamah menyatakan, Pasal 28 Ayat (3) yang telah dimaknai melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XX/2022 itu bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai dengan norma yang ditambahkan dalam putusan ini.
    “Tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai Pimpinan organisasi advokat memegang masa jabatan selama 5 tahun dan hanya dapat dipilih kembali 1 kali dalam jabatan yang sama, baik secara berturut-turut atau tidak berturut-turut, dan tidak dapat dirangkap dengan pimpinan partai politik, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah dan non-aktif sebagai pimpinan organisasi advokat apabila diangkat/ditunjuk sebagai pejabat negara,” kata Ketua MK Suhartoyo, saat membacakan putusan.
    Kompas.com telah menghubungi Otto Hasibuan untuk meminta tanggapan terkait putusan ini.
    Namun, hingga berita ini ditulis, ia belum merespons.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Saksi Ahli MK: RUU TNI tak penuhi syarat “carry over”

    Saksi Ahli MK: RUU TNI tak penuhi syarat “carry over”

    RUU TNI Perubahan tidak memenuhi syarat untuk menggunakan mekanisme carry over karena tidak pernah dinyatakan dalam dokumen tertulis yang dapat dijadikan dasar pembenarannya

    Jakarta (ANTARA) – Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia Mohammad Novrizal sebagai saksi ahli dalam sidang di Mahkamah Konstitusi (MK) menilai pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) TNI Perubahan di DPR tidak memenuhi syarat carry over (mekanisme operan/pemindahan dari periode sebelumnya).

    Pernyataan itu disampaikan Novrizal ketika menjadi ahli dari pihak pemohon dalam perkara pengujian formal (formil) UU Nomor 3 Tahun 2025 tentang Perubahan atas UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI di MK, Jakarta, Selasa.

    “RUU TNI Perubahan tidak memenuhi syarat untuk menggunakan mekanisme carry over karena tidak pernah dinyatakan dalam dokumen tertulis yang dapat dijadikan dasar pembenarannya,” kata Novrizal.

    Dia menjelaskan bahwa pembentukan peraturan perundang-undangan secara carry over harus didasarkan pada surat keputusan DPR yang mengakui mekanisme pembuatannya sebagai carry over.

    Pemindahan pembahasan RUU yang sudah berjalan dari suatu periode keanggotaan DPR ke periode berikutnya diatur dalam Pasal 71A UU Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU P3).

    Namun, menurut Novrizal, keterangan DPR dalam sidang sebelumnya —yang menyebut pembentukan UU TNI menggunakan carry over— tidak didasari dengan bukti konkret karena tidak ada dokumen tertulis bahwa RUU TNI Perubahan diputuskan menggunakan mekanisme dimaksud.

    “Bahkan tidak ada pula pembaruan SK DPR untuk menerangkan bahwa RUU TNI Perubahan menggunakan mekanisme carry over,” ucapnya.

    Selain itu, lanjut dia, Pasal 71A UU P3 juga mensyaratkan carry over tidak hanya berdasarkan kesepakatan politik antara DPR dan Pemerintah, tetapi juga syarat lain seperti RUU telah memasukkan pembahasan daftar inventarisasi masalah (DIM) pada periode keanggotaan DPR sebelumnya.

    Setelah menyelidiki dokumen-dokumen DPR periode terdahulu, Novrizal mengaku mendapati bahwa RUU TNI Perubahan belum memasuki pembahasan DIM pada masa keanggotaan DPR sebelum periode keanggotaan 2024–2029.

    “Kesimpulannya, RUU TNI Perubahan belum memasuki pembahasan DIM pada masa keanggotaan DPR sebelumnya sehingga tidak memenuhi kualifikasi syarat untuk menggunakan mekanisme carry over,” katanya.

    Menurut Novrizal, kondisi tersebut menyebabkan pembuatan UU TNI yang diundangkan pada 26 Maret 2025 itu dapat dianggap tidak memenuhi prosedur.

    Sementara itu, Hakim Konstitusi Arsul Sani saat sesi tanya jawab menyinggung keterangan Presiden pada sidang sebelumnya.

    Menurut Arsul, dalam keterangan Presiden disebutkan ada kesepakatan antara DPR dan Pemerintah bahwa pembahasan RUU TNI Perubahan diserahkan kepada DPR periode keanggotaan 2024–2029.

    Arsul mengakui kesepakatan yang demikian tidak diatur secara spesifik di dalam UU P3, maka dari itu Arsul bertanya bisa-tidaknya hal tersebut dilakukan menurut kaca mata akademisi hukum tata negara.

    “Pertanyaannya, apakah sesuatu yang tidak spesifik diatur dalam UU P3 itu kemudian menjadi tidak boleh dilakukan ketika pembentuk undang-undangnya sepakat? … Kalau kemudian kita mengatakan itu tidak boleh dilakukan atas dasar apa? Sama juga pertanyaannya, kalau itu boleh dilakukan atas dasar apa juga itu dilakukan?,” tanya Arsul.

    Menjawab pertanyaan itu, Novrizal mengatakan semua tindakan pejabat negara seharusnya berdasarkan hukum, demi tertibnya penyelenggaraan negara. Ia juga menyebut DPR seharusnya dapat melengkapi peraturan yang belum ada, mengingat parlemen Indonesia sudah berjalan sejak lama.

    “DPR kita ini kan bukan baru … Artinya, DPR itu sebetulnya sudah tahu apa yang harus dilakukan dalam pembuatan suatu UU … Jadi, seharusnya DPR kalau memang merasa kurang aturan mainnya di dalam tatib (tata tertib), ya, lengkapilah,” katanya.

    Pewarta: Fath Putra Mulya
    Editor: Edy M Yakub
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • 2
                    
                        Sidang UU Hak Cipta Ariel Cs, Hakim: Nyanyi di Kawinan Harus Bayar Royalti?
                        Nasional

    2 Sidang UU Hak Cipta Ariel Cs, Hakim: Nyanyi di Kawinan Harus Bayar Royalti? Nasional

    Sidang UU Hak Cipta Ariel Cs, Hakim: Nyanyi di Kawinan Harus Bayar Royalti?
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Hakim Konstitusi Arsul Sani mempertanyakan, apakah menyanyi di sebuah acara
    pernikahan
    harus membayar royalti kepada pencipta lagu?
    Hal itu ditanyakan Arsul dalam sidang lanjutan uji materi Undang-Undang Hak Cipta Nomor 28 Tahun 2014 yang dimohonkan oleh Nazril Ilham (
    Ariel Noah
    ) dan 28 musisi lainnya dengan nomor perkara 28/PUU-XXIII/2025.
    Pertanyaan ini ditujukan Arsul kepada Direktur Jenderal Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum, Razilu, yang menjadi wakil pemerintah dalam sidang tersebut.
    “Saya membayangkan begini Pak, misalnya dalam satu pesta perkawinan nih, yang hadir banyak juga, karena sekarang kan banyak orang kaya. Kalau menyelenggarakan perkawinan kan sampai 10 ribu (tamu) juga kan, jadi sudah seperti konser sendiri gitu kan, terus undang penyanyi,” kata Arsul dalam sidang di Gedung MK, Senin (30/6/2025).
    Kemudian, hal yang lumrah dilakukan dalam acara perkawinan adalah biduan atau penyanyi menawarkan judul lagu untuk dinyanyikan dalam acara tersebut.
    “Nah, apakah yang begini ini juga kemudian terkena kewajiban untuk membayar itu tadi royalti?” kata dia.
    Arsul mengatakan, kasus menyanyi di pernikahan ini sudah pasti memiliki unsur komersialisasi.
    Namun, dia mengatakan, unsur komersial tidak seperti konser yang berbayar dengan tiket yang harganya sudah dipatok.
    “Nah, sekiranya itu saja dari saya Pak Dirjen, mohon dilengkapi ya, karena ini yang terutama yang terkait dengan pidana. Karena sekarang ini orang cenderung, apalagi kalau lagi punya kekuasaan, menggunakan kedudukan status kekuasaannya itu untuk memidanakan. Dan biasanya penegak hukum kita itu kalau yang pelapornya punya kekuasaan juga lebih responsif,” imbuhnya.

    Sebagai informasi, Ariel bersama 28 musisi lainnya melakukan uji materi
    UU Hak Cipta
    Nomor 28 Tahun 2014.
    Ada beragam permintaan Ariel Cs kepada MK yang didasari kasus tuntutan pencipta lagu kepada musisi yang marak terjadi belakangan.
    Salah satu permohonan mereka adalah meminta MK membolehkan penyanyi membawakan lagu tanpa izin pencipta lagu, asalkan membayar royalti.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.