Kata orang bijak, kejahatan yang diorganisasi dengan baik, bisa mengalahkan kebaikan. Judi online atau judol diorganisasi dengan baik, bahkan dipromosikan dengan apik. Polisi menyebut sudah 85 influencer dijadikan tersangka karena mempromosikan judi online.
Hasilnya ini: 960 ribu pelajar dan mahasiswa terjerat judi online. Itu kata Menteri Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi (Mendiktisaintek), Satryo Soemantri Brodjonegoro, di Kantor Komdigi (21/11/2024). Sementara menurut Menko Polkam, Budi Gunawan, pemain judi online di Indonesia berjumlah 8,8 juta.
Fenomena judol dan pinjaman online (pinjol) ilegal, menjadi masalah sosial yang serius. Keduanya seringkali saling terkait dan menciptakan lingkaran kehancuran finansial dan mental khususnya bagi generasi muda.
Ada berbagai faktor yang saling mempengaruhi. Mulai dari kerentanan individu hingga kurangnya pengawasan dan literasi.
Iming-iming keuntungan besar yang bisa direngkuh dalam tempo sesingkat-singkatnya terbukti telah memikat hati. Judol menjanjikan orang bisa mendapatkan uang untuk membeli barang, mengikuti tren, atau memenuhi kebutuhan konsumtif, terutama di tengah tekanan sosial dan media.
Kondisi ini diperparah oleh minimnya pemahaman tentang pengelolaan keuangan, risiko utang, bunga, serta perbedaan antara pinjol legal dan ilegal. Pelajar pun mudah terjebak dalam tawaran pinjaman cepat tanpa mempertimbangkan konsekuensi jangka panjang.
Sistem judol dirancang untuk menciptakan kecanduan. Kekalahan memicu keinginan untuk “balas dendam” dan memenangkan kembali uang yang hilang. Kalaulah menang pun, pemain bernafsu menambah pundi-pundi kemenangannya. Maka mereka terus bermain. Dan, ketika uang habis, beralih ke pinjol dengan proses cepat dan minim persyaratan.
Sukses = Kaya
Fenomena judi online dan pinjaman online di kalangan pelajar dan mahasiswa makin marak. Keduanya sebenarnya berakar dari persoalan yang lebih dalam: krisis nilai, tekanan sosial-ekonomi, dan mudahnya akses teknologi tanpa pengawasan yang memadai.
Rasa ingin cepat sukses dengan gelas ukur kaya, menjadi pemicu utama. Judi online menawarkan iming-iming keuntungan instan tanpa kerja keras, sedangkan pinjol memberi jalan pintas untuk memenuhi gaya hidup atau kebutuhan mendesak.
Tekanan sosial dan gaya hidup digital memperparah situasi. Banyak orang merasa perlu tampil “up to date” sehingga mencari cara cepat untuk mendapatkan uang.
Kecanduan dan kehilangan kontrol diri sering menjadi akibat lanjutan. Judi online didesain secara psikologis untuk menimbulkan efek ketagihan, membuat pelaku sulit berhenti meski sadar sedang rugi.
Fenomena ini menunjukkan adanya celah dalam pendidikan karakter dan literasi keuangan. Banyak pelajar tidak memahami risiko finansial dan hukum dari pinjol maupun judi online. Pendidikan sering fokus pada akademik, tapi kurang memberi bekal etika hidup, pengendalian diri, dan manajemen keuangan pribadi.
Ini menjadi sinyal bahwa sekolah dan kampus perlu memasukkan pendidikan digital dan keuangan ke dalam kurikulum pembinaan karakter.
Mentalitas Instan
Judi online jelas ilegal, tapi karena berbasis digital dan lintas negara, penegakan hukumnya sulit. Banyak situs beroperasi lewat jaringan luar negeri dan berganti domain terus-menerus.
Memang, pinjaman online tidak semuanya ilegal. Masalahnya yang ilegal sering menjerat korban dengan bunga mencekik, intimidasi, dan penyebaran data pribadi. Dalam konteks pelajar dan mahasiswa, pinjol sering menjadi “jalan terakhir” dan “jalan pintas” untuk membayar biaya kuliah atau gaya hidup. Faktanya, justru membuka jeratan baru yang lebih berat.
Tak berlebihan untuk mengatakan bahwa judol dan pinjol melahirkan dampak terjadinya kerusakan moral dan membentuk mentalitas instan. Pelajar dan mahasiswa yang terbiasa mencari solusi cepat akan kehilangan daya juang dan etos kerja.
Secara akademik, banyak yang putus sekolah atau drop out, lantaran malu, atau terisolasi karena utang atau kecanduan. Pemain mengalami krisis kepercayaan diri dan masa depan.
Dalam kondisi pahit begini, secara suka rela atau sukar rela, orang mesti mengingat kembali pentingnya pendidikan moral. Pendidikan keluarga dan lingkungan kampus harus menjadi benteng pertama. Bicarakan isu ini secara terbuka, tanpa stigma.
Pendekatan moral dan spiritual, tentu saja bukan sekadar bicara tentang larangan. Tapi penanaman nilai bahwa keberhasilan sejati tidak bisa dicapai dengan cara curang.
Fenomena ini sejatinya bukan sekadar masalah ekonomi atau hukum, tapi krisis nilai dan arah hidup di berbagai kalangan. Faktanya judol dan pinjol bukan hanya menggoda kalangan muda.
Kita semua perlu terus menerus diingatkan untuk kembali percaya bahwa hidup jujur dan berproses adalah satu-satunya jalan menuju keberhasilan yang bermartabat.
Zainal Arifin Emka,
Wartawan Tua, Pengajar Jurnalistik