Tag: Arif Maulana

  • Puan soal KUHAP Baru: Prosesnya Berjalan Hampir 2 Tahun, Banyak Masukan dari 2023

    Puan soal KUHAP Baru: Prosesnya Berjalan Hampir 2 Tahun, Banyak Masukan dari 2023

    Puan soal KUHAP Baru: Prosesnya Berjalan Hampir 2 Tahun, Banyak Masukan dari 2023
    Penulis
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Rapat Paripurna DPR RI Masa Persidangan II Tahun Sidang 2025-2026 menyetujui Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) untuk disahkan menjadi Undang-Undang.
    Ketua
    DPR
    RI,
    Puan Maharani
    menjelaskan bahwa RUU
    KUHAP
    itu sudah dibahas oleh
    Komisi III DPR
    RI sejak tahun 2023.
    “Tadi seperti yang disampaikan dalam rapat paripurna oleh ketua Komisi III bahwa proses ini sudah berjalan hampir dua tahun,” ujar
    Puan
    , di kompleks parlemen, Jakarta, Selasa (18/11/2025), dikutip dari video
    Tribunnews
    .
    Puan juga menegaskan bahwa pembahasan RUU tersebut sudah melibatkan banyak pihak untuk memberi masukan sebagai bentuk dari partisipasi yang bermakna (meaningful participation).
    “Sudah dari kurang lebih menerima 130 masukan, kemudian sudah muter-muter di beberapa banyak wilayah Indonesia, Yogya (Yogyakarta), Sumatera, Sulawesi, dan lain-lain sebagainya,” kata Puan, dikutip dari
    Antaranews
    .
    “Kemudian, sudah banyak sekali masukan terkait dengan hal ini dari tahun 2023. Jadi porsesnya itu sudah panjang,” ujarnya lagi.
    Diketahui,
    Koalisi Masyarakat Sipil
    untuk Pembaruan KUHAP merasa pihaknya dicatut dalam pembahasan
    RUU KUHAP
    yang berlangsung di Komisi III DPR RI.
    Lebih lanjut, Puan menyebut, KUHAP yang baru itu mengganti penggunaan KUHAP lama yang sudah berusia 44 tahun.
    Oleh karena itu menurut dia, masalah-masalah hukum yang terjadi dalam 44 tahun terakhir tidak bisa diselesaikan jika RUU KUHAP tidak disahkan.
    Puan menjelaskan, sudah banyak hal-hal yang diperbaharui dalam RUU
    KUHAP baru
    tersebut. Salah satunya, pembaruan sistem hukum yang mengikuti perkembangan zaman saat ini.
    Namun, sehari sebelum
    RUU KUHAP disahkan
    , Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP mengatakan bahwa namanya dicatut terkait pembahasan RUU tersebut. Sebab, merasa aspirasi mereka tidak dibacakan sebagaimana mustinya di rapat DPR.
    Koalisi tersebut terdiri dari Yayasan Lembaga Bantun Hukum Indonesia (YLBHI), Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM), Indonesia Judicial Research Society (IJRS), Lembaga Bantuan Hukum APIK, Lokataru Foundation, Indonesian Legal Resource Center (ILRC), Koalisi Nasional Organisasi Disabilitas, dan AJI.
    “Manipulasi Partisipasi Bermakna, Pencatutan Nama Koalisi dan Kebohongan DPR: Presiden Mesti Tarik Draf RUU KUHAP!” demikian bunyi siaran pers dari Koalisi pada Senin, 17 November 2025.
    Dalam keterangan tersebut, mereka menyebut bahwa proses rapat Panitia Kerja (Panja) RUU KUHAP hanya berlangsung dua hari yakni 12 dan 13 November 2025.
    Kemudian, dalam dua hari tersebut, Pemerintah dan Komisi III DPR RI membahas masukan pasal yang diklaim berasal dari masukan masyarakat sipil.
    “Sebagian masukan yang dibacakan dalam rapat Panja tersebut ternyata tidak akurat dan bahkan memiliki perbedaan substansi yang signifikan dengan masukan-masukan yang kami berikan melalui berbagai kanal, antara lain melalui rapat dengar pendapat umum (RDPU) atau melalui penyerahan draf RUU KUHAP tandingan atau dokumen masukan lainnya kepada DPR dan Pemerintah,” kata Koalisi.
    Bukan hanya membacakan aspirasi yang tidak akurat, Koalisi merasa telah dimanipulasi karena dalam rapat tersebut dimasukkan sejumlah pasal bermasalah atas nama mereka.
    “Kami menilai Rapat Panja tersebut seperti orkestrasi kebohongan untuk memberikan kesan bahwa DPR dan Pemerintah telah mengakomodir masukan. Padahal ini adalah bentuk meaningful manipulation dengan memasukan pasal-pasal bermasalah atas nama koalisi atau organisasi masyarakat sipil,” ujar Koalisi.

    Koalisi pun menjabarkan sejumlah usulan yang disebut pihak DPR sebagai usulan Koalisi Masyarakat Sipil.
    Ada pasal 222 draf RKUHAP soal perluasan alat bukti berupa pengamatan hakim, dan juga usulan penjelasan Pasal 33 ayat (2) draf RKUHAP mengenai definisi intimidasi yang terbatas pada penggunaan atau menunjukkan senjata atau benda tajam lainnya saat pemeriksaan.
    “Tidak ada yang pernah mengajukan masukan tersebut atas nama koalisi, termasuk dalam draf tandingan versi Koalisi Masyarakat Sipil maupun dokumen masukan lainnya,” kata Koalisi.
    Menurut catatan Koalisi, YLBHI disebut pihak DPR mengusulkan pasal baru untuk draf RKUHAP mengenai Perlindungan Sementara.
    “YLBHI tidak pernah memberikan masukan redaksional atau usulan pasal baru mengenai Perlindungan Sementara dengan mekanisme yang ada dalam Draf RKUHAP terbaru,” ujar Koalisi.
    Tak hanya ada keberatan dari Koalisi Masyarakat Sipil, proses pengesahan RUU KUHAP juga akan berujung pada pelaporan sejumlah anggota Komisi III DPR ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD).
    Direktur LBH Jakarta, Fadhil Alfathan, mengatakan pengaduan tersebut diajukan karena Koalisi melihat proses pembahasan yang tertutup dan tidak melibatkan publik secara substansial.
    “Laporan atau pengaduan ini kami tempuh karena dalam proses panjang pembahasan KUHAP ini, setidak-tidaknya sejak bulan Mei 2025 lalu, kami tidak melihat proses ini dilandasi atau berbasis partisipasi publik yang bermakna,” ujar Fadhil dalam konferensi pers pada Minggu, 16 November 2025.
    Dia mencontohkan undangan yang diterima Koalisi pada 8 Mei 2025, adalah diskusi informasi, namun kemudian diklaim sebagai rapat dengar pendapat umum (RDPU).
    “Padahal dalam undangan, dalam perihal undangan dalam komunikasi tidak disebut sebagai RDPU,” tegasnya.
    Kemudian, Wakil Ketua YLBHI, Arif Maulana menyebut bahwa Panja RUU KUHAP DPR RI telah mengabaikan ketentuan perundangan-undangan dalam proses legislasi.
    “Para anggota Panja (RUU KUHAP) ini kami nilai melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan, khususnya dalam konteks penyusunan legislasi,” ujarnya.
    Koalisi menegaskan bahwa para anggota Komisi III diduga telah melanggar kode etik, AUPB, serta ketentuan pembentukan peraturan perundang-undangan dalam memproses RUU KUHAP.
    Selain itu, pengaduan juga diajukan karena Revisi KUHAP ini tidak meaningful participation. Padahal, masyarakat sipil seharusnya mempunyai tiga hak: right to heard, right to consider, dan right to be explained.
    Respons penolakan juga datang dari mahasiswa dari sejumlah universitas yang melakukan aksi demonstrasi saat pengesahan RUU KUHAP di DPR RI pada Selasa, 18 November 2025.
    Mereka menyatakan akan melanjutkan tuntutan demonstrasi ke gugatan uji formil ke Mahkamah Konstitusi (MK). Sebab, mereka menilai bahwa proses pembentukan undang-undang tersebut cacat prosedural dan manipulatif, serta tidak memenuhi unsur partisipasi publik yang bermakna.
    Fitrah Aryo, Ketua BEM Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran (Unpad) menyebut akan segera mengkaji kembali draf RUU KUHAP yang disahkan oleh DPR RI.
    “Dugaan manipulasi dalam partisipasi bermakna ini menjadi celah bagi kami untuk mengkaji lebih dalam rencana gugatan uji formil ke Mahkamah Konstitusi,” kata Aryo kepada wartawan di lokasi, Selasa.
    Aryo menyoroti adanya kecacatan prosedural dalam penyusunan RKUHAP yang dinilai sengaja memanipulasi masyarakat.
    Manipulasi itu dilakukan oleh banyaknya organisasi masyarakat sipil yang namanya dicatut seolah-olah mengusulkan sejumlah pasal.
    “Kalau UU TNI itu dibahas secara sembunyi-sembunyi, RKUHAP ini dibahas secara manipulatif. Ratusan organisasi, elemen masyarakat sipil dicatut namanya seakan bekerja sama, padahal itu partisipasi semu atau tokenisme,” ujarnya.
    Menurut Aryo, dalam teori partisipasi publik, ada tiga syarat
    meaningful participation
    yaitu hak untuk didengar, hak untuk dipertimbangkan, dan hak untuk dijelaskan.
    “Yang pertama hak untuk didengar, iya dilakukan. Tapi hak untuk dipertimbangkan dan hak untuk dijelaskan itu tidak terpenuhi, usulan masyarakat enggak pernah dipertimbangkan dengan serius. Apalagi (hak) dijelaskan, ini katanya ada yang diakomodir ada yang tidak. Tapi, enggak dijelasin kan, mana yang enggak bisa diakomodasi, apa alasannya?” katanya.
    Selain itu, Aryo mengungkapkan bahwa draf resmi RKUHAP baru dikeluarkan oleh DPR RI pada Selasa pagi, tepat sebelum pengesahan.
    “Draf yang selama ini mungkin kita kritik adalah draf lama. Mereka menyembunyikan draf tersebut dan ketika hari pengesahan, ternyata mereka punya draf baru yang tentu perlu kita pelajari kembali,” ujarnya.
    Oleh karena itu, mahasiswa akan fokus membedah draf final tersebut untuk memastikan apakah pasal-pasal krusial masih memuat ancaman yang sama sebelum resmi mendaftarkan gugatan ke MK.
    Sebelum Ketua DPR RI Puan menegaskan perihal proses pembahasan RUU KUHAP yang telah dilakukan sejak 2023 dan telah melibatkan banyak pihak, Ketua Komisi III DPR Habiburokhman membantah bahwa pihaknya telah mencatut nama Koalisi Masyarakat Sipil dalam pembahasan RUU KUHAP.
    “Kami tegaskan enggak ada catut mencatut. Kami justru berupaya mengakomodir masukan masyarakat sipil,” kata Habiburokhman dalam keterangan tertulisnya pada Senin malam.
    Habiburokhman menyatakan Koalisi LSM itu menyampaikan bahwa pihaknya dicatut oleh pihak DPR pada empat hari setelah pembahasan tingkat pertama sudah selesai dan tidak menyampaikan aspirasinya saat pembahasan pada 12 dan 13 November 2025.
    “Jadi kritikus seharusnya aktif, enggak boleh malas, jadi kalaupun ada kekeliruan bisa langsung diselesaikan saat itu sebelum pengesahan,” ujarnya.
    Kemudian, dia menjelaskan bahwa aspirasi dari masyarakat sipil kemudian dibahas dan dirumuskan dalam draf norma. Sebab, DPR mengelompokkan masukan berdasarkan klaster yang punya kemiripan saran demi mengakomodir suara masyarakat sipil.
    Oleh karena itu, menurut Habiburokhman, pasti redaksionalnya tidak sama persis dengan usulan kelompok manapun.
    “Tentu redaksi norma terakhir tidak sama persis dengan usulan kelompok manapun, karena itu penggabungan pendapat banyak pihak,” kata Habiburokhman.
    Dia pun memberikan contoh usulan yang diakomodir maksimal, antara lain usulan organisasi disabilitas pimpinan Yenny Rosa Damayanti dkk; usulan larangan penyiksaan dari Universitas Indonesia melalui Taufik Basari; usulan perluasan praperadilan dari Madinah Rahmawati ICJR; usulan dari pelbagai organisasi advokat mengenai imunitas advokat dan penguatan kewenangan advokat; usulan AJI mengenai penghapusan larangan peliputan dan banyak lagi.
    “Yang jelas hampir 100 persen isi KUHAP baru merupakan masukan dari masyarakat sipil ke Komisi III,” ujar Habiburokhman.
    Perihal pelibatan masyarakat sipil kembali ditegaskan Habiburokhman dalam konferensi pers pada 18 November 2025.
    Bahkan, dia mengklaim bahwa isi KUHAP baru, 99,9 persen masukan dari masyarakat sipil.
    “Prinsipnya ya, 100 persen lah, ya, mungkin 99,9 persen KUHAP baru ini merupakan masukan dari masyarakat sipil, ya,” kata Habiburokhman.
    “Terutama dalam penguatan peran advokat dan hak tersangka sebagai mekanisme untuk mengontrol agar aparat penegak hukum tidak melakukan kesewenang-wenangan, ya. Jadi itu yang soal pencatutan,” ujarnya lagi.
    Habiburokhman juga mengungkapkan, setidaknya sekitar 100 kelompok hadir untuk ikut serta selama perumusan dan pembahasan. Beberapa di antaranya juga menamakan dirinya sebagai Koalisi Masyarakat Sipil yang menandakan bagian masyarakat sipil.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Respons Puan soal Komisi III Dilaporkan ke MKD Gara-gara RUU KUHAP

    Respons Puan soal Komisi III Dilaporkan ke MKD Gara-gara RUU KUHAP

    Respons Puan soal Komisi III Dilaporkan ke MKD Gara-gara RUU KUHAP
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Ketua DPR RI Puan Maharani merespons adanya laporan Koalisi Masyarakat Sipil terhadap anggota Komisi III DPR RI ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD), terkait proses pembahasan Revisi Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP).
    Puan mengatakan, Komisi III telah menjelaskan secara terbuka dalam rapat paripurna bahwa pembahasan
    RUU KUHAP
    melewati proses panjang dan melibatkan banyak pihak.
    “Oh, tadi seperti yang disampaikan dalam rapat paripurna oleh Ketua Komisi III bahwa proses ini sudah berjalan hampir 2 tahun, sudah melibatkan banyak sekali
    meaningful participation
    ,” kata Puan, setelah rapat paripurna pengesahan RUU KUHAP di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (18/11/2025).
    Puan memaparkan, Komisi III telah menerima sekitar 130 masukan dari berbagai kalangan dan melakukan kunjungan ke sejumlah daerah untuk menjaring aspirasi publik.
    “Sudah dari kurang lebih 130 masukan, kemudian sudah apa, mutar-mutar di beberapa banyak wilayah Indonesia, Jogja, Sumatera, Sulawesi, dan lain-lain sebagainya,” ucap dia.
    Menurut Puan, masukan untuk RUU KUHAP sudah dikumpulkan sejak 2023, sehingga proses legislasi berjalan panjang dan tidak terburu-buru.
    Oleh karena itu, dia menilai penyelesaian revisi ini sangat penting mengingat KUHAP telah berlaku selama 44 tahun tanpa perubahan signifikan.
    “Jadi, kalau tidak diselesaikan dalam proses yang sudah berjalan hampir 2 tahun, tentu saja kemudian tidak bisa menyelesaikan masalah-masalah yang sudah 44 tahun undang-undang ini berlaku,” tutur Puan.
    Dia juga menegaskan bahwa pembaruan KUHAP dilakukan dengan melibatkan banyak pihak dan bertujuan menyesuaikan hukum acara pidana dengan perkembangan zaman.
    “Dan banyak sekali hal-hal yang diperbaharui yang sudah melibatkan banyak pihak yang kemudian dalam pembaharuannya itu berpihak kepada hukum yang mengikuti zaman atau hukum-hukum atau undang-undang yang berlaku sekarang,” kata Puan.
    Meski begitu, Puan menyatakan, pimpinan DPR menghormati seluruh mekanisme yang berlaku soal tindak lanjut laporan masuk ke MKD DPR RI.
    “Jadi, terkait dengan laporan di MKD, kita ikuti dulu prosesnya seperti apa, nanti tentu saja laporan dari MKD akan berproses dan dilaporkan kepada pimpinan,” pungkas dia.
    Untuk diketahui, sehari sebelum pengesahan RUU KUHAP, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaharuan KUHAP melaporkan anggota Komisi III DPR RI ke MKD DPR RI, Senin (17/11/2025).
    Mereka menilai, Komisi III melanggar kode etik dalam proses legislasi.
    Direktur LBH Jakarta Fadhil Alfathan mengatakan, pengaduan tersebut diajukan karena proses pembahasan RUU KUHAP dinilai tertutup dan tidak melibatkan publik secara substansial.
    “Laporan atau pengaduan ini kami tempuh karena dalam proses panjang pembahasan KUHAP ini, setidak-tidaknya sejak bulan Mei 2025 lalu, kami tidak melihat proses ini dilandasi atau berbasis partisipasi publik yang bermakna,” ujar dia.
    Fadhil juga menyinggung undangan rapat pada 8 Mei 2025 yang disebut sebagai diskusi informasi, namun kemudian diklaim sebagai rapat dengar pendapat umum (RDPU).
    “Padahal dalam undangan, dalam perihal undangan dalam komunikasi tidak disebut sebagai RDPU,” tegas dia.
    Wakil Ketua YLBHI Arif Maulana menambahkan, Panja RUU KUHAP mengabaikan ketentuan dalam proses legislasi.
    “Para anggota Panja (RUU KUHAP) ini kami nilai melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan, khususnya dalam konteks penyusunan legislasi,” ujar dia.
    Koalisi menilai, para anggota Komisi III telah melanggar kode etik, asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB), serta ketentuan pembentukan peraturan perundang-undangan.
    Mereka juga menegaskan bahwa revisi KUHAP tidak mencerminkan
    meaningful participation
    .
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Dampak DPR Sahkan RUU KUHAP Menjadi UU bagi Masyarakat dan Alasan Koalisi Masyarakat Sipil Menolak

    Dampak DPR Sahkan RUU KUHAP Menjadi UU bagi Masyarakat dan Alasan Koalisi Masyarakat Sipil Menolak

    GELORA.CO –  Pengesahan RKUHAP oleh DPR RI memicu kekhawatiran luas karena sejumlah pasal dinilai berpotensi memperluas kewenangan aparat dan mengurangi perlindungan terhadap hak-hak warga.

    Meski pemerintah menegaskan revisi KUHAP memperkuat HAM, kepastian hukum, dan restorative justice, berbagai kalangan menilai aturan baru tersebut membuka celah penyalahgunaan yang dapat berdampak langsung pada kebebasan sipil masyarakat.

    Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) resmi mengesahkan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menjadi Undang-Undang, meski gelombang penolakan publik menggema di media sosial dan jalan.

    Pengesahan dilakukan dalam Rapat Paripurna DPR RI ke-8 Masa Persidangan II Tahun Sidang 2025–2026 di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (18/11/2025).

    Menteri Hukum (Menkum) Supratman Andi Agtas menanggapi penolakan tersebut dengan menyebutnya sebagai hal biasa.

    “Kemudian bahwa ada yang setuju, ada yang tidak setuju itu biasa. Tapi secara umum bahwa KUHAP kali ini, yang pertama adalah mementingkan perlindungan hak asasi manusia, yang kedua soal restorative justice, yang ketiga memberi kepastian terhadap dan perluasan untuk objek praperadilan,” ujar Supratman usai sidang pengesahan RUU KUHAP di Parlemen.

    Supratman menekankan, tiga aspek utama dalam KUHAP baru didesain untuk menutup celah tindakan sewenang-wenang aparat penegak hukum.

    “Nah, ketiga hal itu menghilangkan kesewenang-wenangan yang mungkin dulu pernah terjadi. Dan itu sangat baik buat masyarakat, termasuk perlindungan bagi kaum disabilitas,” kata politisi Partai Gerindra itu, seperti dilansir Tribunnews.com.

    KUHAP Sebelum Revisi

    KUHAP pertama kali disahkan pada 1981 untuk menggantikan aturan kolonial Het Herziene Inlandsch Reglement (HIR).

    Aturan lama tersebut dianggap bermasalah karena proses pembuktian lebih menekankan pada pengakuan tersangka, sehingga sering terjadi salah tangkap atau pengakuan di bawah tekanan.

    KUHAP 1981 hadir sebagai upaya koreksi untuk memperkuat hak asasi tersangka/terdakwa dan memperbaiki praktik peradilan pidana.

    Penolakan Publik Menggema

    Meski pemerintah menilai KUHAP baru membawa kemajuan, penolakan publik tetap kuat.

    Tagar #TolakRKUHAP dan #SemuaBisaKena ramai di media sosial, mencerminkan kekhawatiran masyarakat terhadap potensi dampak aturan baru.

    Koalisi masyarakat sipil menyoroti sejumlah pasal kontroversial, antara lain:

    Penyadapan tanpa izin hakim → memberi kewenangan aparat melakukan penyadapan tanpa persetujuan pengadilan.Penangkapan dan penahanan → memperpanjang masa penahanan tersangka sebelum proses pengadilan.Pemeriksaan tersangka tanpa pendampingan hukum → membuka peluang tekanan pada tahap awal pemeriksaan.Penggeledahan dan penyitaan tanpa izin hakim → mengurangi kontrol yudisial terhadap tindakan aparat.Pembatasan objek praperadilan → mengurangi kontrol publik terhadap tindakan aparat.Perluasan definisi bukti elektronik → dikhawatirkan membuka ruang kriminalisasi tanpa pengawasan ketat.

    Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP dalam siaran pers 16 November 2025 menilai bahwa Revisi KUHAP yang dilakukan serampangan membuka lebar pintu bagi aparat untuk merenggut kebebasan sipil.

    “Proses pembahasan RKUHAP sejak awal tidak menempatkan suara masyarakat sebagaimana mestinya.” ujar Direktur LBH Jakarta, Fadhil Alfathan.

    Wakil Ketua YLBHI, Arif Maulana, menilai pembahasan cacat formil dan materiil.

    Dalam pernyataannya pada 12–13 November 2025, ia menegaskan bahwa Pembahasan RKUHAP oleh Panja Komisi III DPR dan Pemerintah pada 12–13 November 2025 berlangsung tanpa memperhatikan masukan masyarakat sipil. 

    Gelombang Aksi Mahasiswa Memuncak pada Hari Pengesahan

    Aksi penolakan telah berlangsung sejak awal November 2025, ketika rancangan ini masih dibahas di DPR RI.

    Menjelang pengesahan, intensitas aksi meningkat. Pada 17–18 November 2025, mahasiswa dari berbagai kampus turun ke jalan menggelar demonstrasi di depan Gedung DPR RI.

    Aksi mencapai puncak pada hari pengesahan, Selasa 18 November 2025, berlangsung sejak pagi hingga sore.

    Massa menuntut agar pengesahan ditunda karena menilai proses pembahasan tidak transparan, terburu-buru, dan minim partisipasi publik.

    Dominasi Fraksi DPR dan Lancarnya Pengesahan

    RKUHAP diusulkan oleh pemerintah melalui Kementerian Hukum dan HAM, kemudian dibahas bersama DPR RI.

    Arah legislasi di parlemen dinilai sejalan dengan agenda pemerintah karena fraksi DPR periode 2024–2029 didominasi oleh partai-partai pendukung pemerintahan Prabowo Subianto–Gibran Rakabuming, seperti Gerindra, Golkar, PAN, Demokrat, dan PSI.

    Dengan dukungan mayoritas tersebut, pengesahan RKUHAP berjalan mulus meski ada penolakan publik.

    Dampak bagi Masyarakat

    Dengan pengesahan ini, KUHAP baru akan mulai berlaku pada 2 Januari 2026.

    Pemerintah menekankan bahwa aturan baru memperkuat perlindungan HAM, kepastian hukum, dan penerapan restorative justice.

    Namun di sisi lain, keresahan publik tetap menguat.

    Banyak yang mempertanyakan bagaimana implementasi aturan baru ini di lapangan dan apakah mekanisme pengawasan akan cukup kuat untuk mencegah potensi penyalahgunaan kewenangan aparat.

  • Koalisi Sipil Kritik Revisi KUHAP Tak Alami Perubahan Signifikan, Khususnya Mekanisme Penangkapan

    Koalisi Sipil Kritik Revisi KUHAP Tak Alami Perubahan Signifikan, Khususnya Mekanisme Penangkapan

    Koalisi Sipil Kritik Revisi KUHAP Tak Alami Perubahan Signifikan, Khususnya Mekanisme Penangkapan
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaharuan KUHAP menilai Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) yang akan segera disahkan DPR RI tidak mengalami perubahan signifikan.
    Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR)
    Iftitahsari
    menjelaskan, hasil revisi tersebut masih menyisakan banyak persoalan mendasar, terutama terkait mekanisme
    penangkapan dan penahanan
    .
    Bahkan, selama dua hari pembahasan terakhir antara pemerintah dan DPR, hampir tidak ada perbaikan berarti dibandingkan draf
    RUU KUHAP
    resmi yang dipublikasikan sejak beberapa bulan lalu.
    “Ya, sebetulnya dari 2 hari proses pembahasan kemarin memang tidak ada perubahan signifikan, dari yang kita suarakan dari bulan Juli yang lalu,” ujar Iftitahsari dalam konferensi pers, Minggu (16/11/2025).
    Dia mengingatkan, substansi revisi KUHAP seharusnya menjawab masalah-masalah utama dalam praktik penegakan hukum.
    Misalnya, terkait penangkapan dan penahanan yang selama ini rawan penyalahgunaan.
    “Jadi dari draft Juli dan kemudian kita melihat apa yang berubah di 2 hari itu, sebetulnya itu tidak menjawab masalah-masalah kami utamanya yang paling utama sebetulnya soal penangkapan dan penahanan,” ujarnya.
    Iftitahsari pun menyinggung aksi demonstrasi pada akhir Agustus 2025 lalu, yang masih menunjukkan persoalan dalam praktik penangkapan dan penahanan yang dinilai serampangan.
    “Kemarin di demo Agustus kan itu sangat
    clear
    bagaimana proses penangkapan dan penahanan itu sangat serampangan dan itu polisi, penyidik tidak punya kontrol dan itu kita harap bisa diselesaikan melalui draft RUU KUHAP ini,” ucapnya.
    “Tapi sayangnya dalam beberapa bulan dari Juli sampai kemarin November itu juga sama sekali tidak dibahas, dalam 2 hari pembahasan memang super singkat,” sambungnya.
    Iftitahsari menilai, DPR dan pemerintah justru hanya membahas isu-isu teknis dan superfisial tanpa dasar yang jelas dalam memilih poin-poin revisi yang dibahas.
    “Kita tidak tahu juga
    filtering
    dari poin-poin yang dibahas di 2 hari itu dasarnya apa dan kenapa itu dipilih, nah itu kita tidak tahu,” jelas Iftitahsari.
    Akibat hasil pembahasan tersebut, lanjut Iftitahsari, mekanisme
    check and balances
    dalam penangkapan dan penahanan tidak berubah sejak KUHAP diberlakukan sekitar 40 tahun lalu.
    “Padahal yang paling krusial sebetulnya di masalah penangkapan-penahanan itulah yang seharusnya kita berubah dari 40 tahun, soal penangkapan dan penahanan yang harus dibawa ke hakim,” ucapnya.
    “Jadi itu yang kita harap paling penting yang harus berubah, harusnya, tapi sayangnya itu tidak berubah,” lanjutnya.
    Dalam kesempatan yang sama, Wakil Ketua YLBHI Arif Maulana kembali menegaskan tuntutan koalisi agar pemerintah dan DPR menarik draf revisi KUHAP dari agenda paripurna.
    “Pertama, kami mendesak kepada Presiden untuk menarik draft RUU KUHAP agar tidak dilanjutkan dalam pembahasan tingkat dua sidang paripurna DPR RI,” ujar Arif.
    Dia juga meminta DPR membuka seluruh draf dan hasil pembahasan resmi, termasuk hasil Panja per 13 November 2025.
    Selain itu, koalisi mendesak pemerintah dan DPR merombak substansi revisi KUHAP dan membahas ulang arah konsep perubahan untuk memperkuat
    judicial scrutiny
    serta mekanisme
    check and balances
    .
    “Kami mendesak pemerintah dan DPR RI merombak substansi draft RUU KUHAP per 13 November 2025, dan membahas ulang arah konsep perubahan RUU KUHAP,” kata Arif.
    Koalisi juga meminta pemerintah dan DPR tidak menggunakan alasan menyesatkan publik untuk memburu-buru pengesahan revisi KUHAP.
    Sebelumnya diberitakan, pembahasan revisi KUHAP di DPR telah memasuki tahap akhir.
    Komisi III DPR RI dan pemerintah sepakat membawa RUU KUHAP ke pembicaraan tingkat II atau rapat paripurna.
    Kesepakatan itu diambil dalam rapat pleno Komisi III dan pemerintah pada Kamis (13/11/2025) di Kompleks Parlemen, Jakarta.
    “Hadirin yang kami hormati. Kami meminta persetujuan kepada anggota Komisi III dan pemerintah. Apakah naskah rancangan UU KUHAP dapat dilanjutkan dalam pembicaraan tingkat 2…? Setuju?” kata Ketua Komisi III DPR RI Habiburokhman.
    Seluruh peserta rapat menyatakan setuju sebelum Habiburokhman mengetuk palu.
    Ia memastikan paripurna akan digelar pekan depan.
    “Ya, minggu depan, (paripurna) yang terdekat ya,” ujarnya.
    Rapat tersebut dihadiri Mensesneg Prasetyo Hadi, Wamensesneg Bambang Eko Suhariyanto, dan Wakil Menteri Hukum Edward Omar Sharif Hiariej.
    Habiburokhman mengatakan revisi KUHAP mendesak dilakukan untuk menjawab tantangan sistem peradilan pidana modern, termasuk tuntutan transparansi, akuntabilitas, dan perlindungan kelompok rentan, mulai dari tersangka, korban, perempuan, hingga penyandang disabilitas.
    “RUU KUHAP harus memastikan setiap individu yang terlibat, baik sebagai tersangka maupun korban, tetap mendapatkan perlakuan yang adil dan setara,” ujarnya.
    Dia juga menyampaikan permohonan maaf karena tidak seluruh masukan masyarakat dapat diakomodasi.
    “Tentu kami mohon maaf bahwa tidak bisa semua masukan dari semua orang kami akomodasi di sini… Inilah realitas parlemen, kita harus saling berkompromi,” kata Habiburokhman.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Pemerintah Usulkan Marsinah Jadi Pahlawan, padahal Kasus Pembunuhannya Belum Dituntaskan
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        23 Oktober 2025

    Pemerintah Usulkan Marsinah Jadi Pahlawan, padahal Kasus Pembunuhannya Belum Dituntaskan Nasional 23 Oktober 2025

    Pemerintah Usulkan Marsinah Jadi Pahlawan, padahal Kasus Pembunuhannya Belum Dituntaskan
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Koalisi Masyarakat Sipil menyoroti usulan pemerintah untuk menyodorkan nama Marsinah sebagai pahlawan nasional.
    Wakil Ketua Riset Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Arif Maulana, mengatakan, usulan tersebut datang di saat kasus pembunuhan Marsinah masih belum dituntaskan hingga saat ini.
    Dia menilai pemerintah seharusnya berpikir prioritas untuk menegakkan hukum secara jelas atas kasus pembunuhan aktivis buruh tersebut.
    “Bicara terkait Marsinah, saya pikir lebih penting untuk kemudian berbicara bagaimana penegakan hukum, investigasi pengungkapan kasus Marsinah secara terang benderang, karena sampai hari ini kita tahu bahwa belum ada pengungkapan yang utuh yang kemudian mengungkap seluruh pelakunya,” kata Arif saat ditemui di Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Kamis (23/10/2025).
    Karena pengungkapan kasusnya tak kunjung selesai, Arif mengatakan bahwa kasus pembunuhan Marsinah pun berulang kepada pihak yang mengadvokasi.
    Salah satunya adalah pengacara keluarga Marsinah yang tidak lain adalah aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) Munir Said Thalib.
    “Dan ini kemudian berulang bahkan terhadap advokat yang kemudian mendampingi dan juga mengadvokasi kasus Marsinah, Munir Said Thalib, peristiwanya juga terjadi lagi,” ucapnya.
    Sebab itu, pemerintah dan negara harus melihat persoalan Marsinah tidak selesai hanya dengan pengusulan pemberian gelar.
    Kasus Marsinah justru tidak hanya soal pengungkapan pembunuhan yang terjadi pada 1993 itu, tetapi juga tentang bagaimana hak-hak buruh yang diperjuangkan Marsinah juga bisa direalisasikan.
    “Dan ini bukan hanya Marsinah, sebetulnya masyarakat secara umum yang ketika kemudian menggunakan haknya untuk memperjuangkan hak konstitusionalnya, termasuk berpendapat, berserikat, berkumpul, dan berekspresi, saya kira itu mas,” tandasnya.
    Sebagai informasi, Menteri Sosial Saifullah Yusuf atau Gus Ipul menyerahkan berkas usulan 40 nama tokoh untuk mendapat gelar pahlawan nasional, termasuk tokoh buruh Marsinah, Presiden ke-2 RI Soeharto, hingga Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.
    Usulan ini diserahkan Gus Ipul kepada Menteri Kebudayaan sekaligus Ketua Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan (GTK), Fadli Zon, di Kantor Kementerian Kebudayaan, Selasa (21/10/2025) siang.
    “Usulan ini berupa nama-nama yang telah dibahas selama beberapa tahun terakhir. Ada yang memenuhi syarat sejak lima atau enam tahun lalu, dan ada pula yang baru diputuskan tahun ini. Di antaranya Presiden Soeharto, Presiden Abdurrahman Wahid, dan juga Marsinah,” kata Saifullah.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • YLBHI Hingga KontraS Desak Aparat Tak Represif Hadapi Pendemo 28 Agustus

    YLBHI Hingga KontraS Desak Aparat Tak Represif Hadapi Pendemo 28 Agustus

    JAKARTA – Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD) yang terdiri dari YLBHI, KontraS, LBH Jakarta, dan LBH Pers mendesak aparat untuk tak menggunakan kekerasan dalam menghadapi aksi unjuk rasa yang kembali digelar di depan Gedung DPR RI pada hari ini.

    Wakil Ketua Bidang Advokasi YLBHI Arif Maulana menuturkan, aksi massa ini harus dipandang sebagai bagian dari pelaksanaan hak asasi manusia dan bentuk upaya aktif untuk ikut serta dalam berjalannya pemerintahan yang dianggap semakin mengkhawatirkan.

    “Kami mengimbau agar aparat keamanan untuk tidak bertindak represif dan menjamin kebebasan berekspresi dan berpendapat,” kata Arif dalam keterangannya, Kamis, 28 Agustus.

    Arif mengingatkan Polri untuk mentaati serta mengedepankan penggunaan kekuatan yang didasarkan pada prinsip kebutuhan dan proporsionalitas, serta mengedepankan langkah-langkah preventif sesuai dengan ketentuan dalam Perkap Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian.

    “Penggunaan senjata pengurai massa oleh aparat dalam menjalankan tugas juga harus disesuaikan dengan situasi dan dilakukan sedemikian rupa untuk mengurangi risiko yang tidak diinginkan, sebagaimana diatur dalam United Nations Basic Principles on the Use of Force and Firearms by Law Enforcement Officials,” jelas Arif.

    Berkaca pada aksi unjuk rasa 25 Agustus lalu, setidaknya, sebanyak 370 orang ditangkap secara sewenang-wenang oleh anggota kepolisian dan diangkut paksa menuju Polda Metro Jaya.

    Arif mengaku pihaknya memantau dan menyaksikan massa aksi yang tengah ditahan di Polda Metro Jaya mengaku mengalami sejumlah tindakan kekerasan hingga menyebabkan sebagian tubuhnya penuh luka.

    Selain itu, proses hukum yang berjalan di Polda Metro Jaya yang diklaim sebagai “pengamanan” dan “pendataan” justru merupakan tindakan tidak berdasar hukum dan kami nilai hanya menjadi kamuflase dari praktik penangkapan sewenang wenang oleh aparat sebagai pelanggaran hak asasi manusia.

    “Perlu kami tegaskan, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak mengatur istilah pengamanan, melainkan upaya paksa berupa perampasan kemerdekaan seseorang yang diatur dalam kerangka penangkapan atau penahanan,” tegas dia.

    Sehingga, Arif mendesak, Polri untuk melakukan proses pemeriksaan secara etik dan proses pidana terhadap para anggota kepolisian yang melakukan pelanggaran seperti tindakan brutal terhadap massa aksi hingga penghalang-halangan proses bantuan hukum dalam aksi 25 Agustus dan 28 Agustus.

    Sebagai informasi, Polisi akan berpatroli di titik-titik yang telah dipetakan untuk mencegah pelajar kembali ikut dalam aksi unjuk rasa di depan Gedung DPR, Senayan, Jakarta.

    Dalam skema pengamanan, Polda Metro Jaya mengerahkan 4.531 personel terkait pengamanan aksi unjuk rasa kelompok buruh di depan Gedung DPR RI.

    Ribuan personel itu terdiri atas 2.174 personel Polda Metro Jaya, 1.725 personel Bawah Kendali Operasi (BKO) yang melibatkan unsur TNI AD, Marinir, Brimob Mabes, Den C, Kodim Jakarta, Kogas Sabhara, Satpol PP, dan Dishub, serta 632 personel Polres jajaran. 

  • KKB Pimpinan Aibon Kogoya Diduga Dalangi Pembunuhan 2 Anggota Brimob di Nabire
                
                    
                        
                            Regional
                        
                        14 Agustus 2025

    KKB Pimpinan Aibon Kogoya Diduga Dalangi Pembunuhan 2 Anggota Brimob di Nabire Regional 14 Agustus 2025

    KKB Pimpinan Aibon Kogoya Diduga Dalangi Pembunuhan 2 Anggota Brimob di Nabire
    Tim Redaksi
    JAYAPURA, KOMPAS.com
    – Brigadir Polisi (Brigpol) Muhammad Arif Maulana (34) dan Brigadir Polisi Dua (Bripda) Nelson Runaki (26) dinyatakan gugur diserang Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB), saat melaksanakan tugas di Distrik Siriwo, Kabupaten Nabire, Rabu (13/8/2025).
    Satuan Tugas (Satgas) Operasi Damai Cartenz telah melakukan olah tempat kejadian perkara (TKP) guna mengungkap siapa dalang di balik penyerangan brutal yang mengakibatkan dua orang personel Polri itu gugur. 
    Kepala Operasi Satgas Damai Cartenz Brigadir Jenderal Polisi Brigjen (Pol) Faizal Ramadhani menegaskan bahwa KKB pimpinan Aibon Kogoya diduga dalang di balik penyerangan dua personel anggota Brimob di Distrik Siriwo.
    “Kami telah melakukan olah TKP dan diduga penyerangan terhadap dua anggota Brimob yang gugur ini dilakukan oleh KKB pimpinan Aibon Kogoya,” katanya dalam keterangan tertulis yang diterima
    Kompas.com
    , Kamis (14/8/2025).
    Menurut Faizal, Satgas Damai Cartenz bersama personel gabungan saat ini tengah melakukan pengejaran terhadap KKB pimpinan Aibon Kogoya yang diduga melakukan penembakan hingga mengakibatkan gugurnya Brigpol Maulana dan Bripda Nelson.
    “Langkah tegas dan terukur akan dilakukan untuk mengejar pelaku, khususnya kelompok KKB pimpinan Aibon Kogoya dan memastikan keamanan di wilayah tersebut,” kata Faizal yang juga Wakapolda Papua ini.
    Diberitakan sebelumnya, Satuan Tugas (Satgas) Operasi Damai Cartenz membenarkan bahwa dua personel Polri yang bertugas di Satuan Brimob Yonif C Nabire, Papua Tengah gugur usai diserang oleh Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB).
    KKB diduga melakukan penyerangan terhadap dua anggota Polri ini, saat sedang melaksanakan tugas di Distrik Siriwo, Kabupaten Nabire, Rabu (13/8/2025) sekitar pukul 10.50 WIT.
    “Peristiwa penyerangan brutal yang dilakukan oleh KKB ini terjadi, saat kedua anggota Brimob Yonif C Nabire ini sedang melaksanakan tugas di Distrik Siwiro, Nabire,” kata Kepala Operasi Satuan Tugas (Satgas) Damai Cartenz, Brigadir Jenderal Polisi (Brigjen Pol), Faizal Ramadhani dalam keterangan tertulis yang diterima Kompas.com, Kamis (14/8/2025).
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Arif Maulana: Kita Butuh KUHAP Baru yang Jamin Proses Peradilan Jujur, Adil, dan Hormati HAM – Halaman all

    Arif Maulana: Kita Butuh KUHAP Baru yang Jamin Proses Peradilan Jujur, Adil, dan Hormati HAM – Halaman all

    Arif Maulana: Kita Butuh KUHAP Baru yang Jamin Proses Peradilan Jujur, Adil, dan Hormati HAM

    Fahdi Fahlevi/Tribunnews.com

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) merupakan fondasi utama dalam mengatur jalannya proses peradilan pidana di Indonesia, mulai dari tahap penyelidikan, penyidikan, hingga proses persidangan. 

    Saat ini, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) tengah melakukan revisi terhadap KUHAP yang didalilkan bertujuan memperkuat sistem peradilan pidana nasional. 

    Melalui Komisi III, DPR RI menargetkan penyelesaian Rancangan Undang-Undang (RUU) KUHAP ini pada akhir tahun 2025. 

    Revisi tersebut dinilai penting untuk mengatasi berbagai persoalan dalam praktik penyidikan dan penegakan hukum, sekaligus mendorong terciptanya sistem hukum yang lebih adil, transparan, dan akuntabel. 

    Sebagai bentuk dukungan terhadap upaya reformasi hukum ini, Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan (FH UPH) menyelenggarakan Seminar Hukum Nasional bertema “Reformasi Hukum Acara Penyidikan” di UPH Kampus Lippo Village, Tangerang.

    Dalam kesempatan itu, Direktur Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Arif Maulana, menekankan pentingnya penguatan perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) dalam proses penyidikan. 

    “Kita butuh KUHAP baru yang sungguh-sungguh menjamin proses peradilan yang jujur, adil, dan menghormati hak asasi manusia,” ucap Arif melalui keterangan tertulis, Minggu (4/5/2025).

    Dia mengangkat data dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) yang mencatat adanya 46 kasus kekerasan dan penyiksaan dalam proses penyidikan oleh aparat penegak hukum sepanjang 2022 hingga 2024, dengan total 294 korban. 

    Beberapa di antaranya bahkan dilaporkan meninggal dunia.

    Arif juga menyampaikan pandangannya terkait perlunya peningkatan transparansi dan partisipasi publik dalam proses legislasi revisi KUHAP. 

    Dirinya menyoroti pentingnya menjaga keseimbangan antara kewenangan aparat penegak hukum dalam proses penyidikan dengan perlindungan hak-hak dasar semua pihak yang terlibat, termasuk tersangka, terdakwa, korban, dan saksi. 

    Menurutnya, penyediaan bantuan hukum sejak awal proses penyidikan merupakan aspek krusial dalam mewujudkan proses peradilan yang adil dan menghormati prinsip-prinsip HAM.

    “Perlunya revisi KUHAP yang benar-benar berpihak pada keadilan, bukan sekadar memperkuat kekuasaan negara atas rakyat,” katanya. 

    Adapun akademisi Universitas Brawijaya, Dr Fachrizal Afandi, menekankan bahwa penerapan hukum pidana harus tetap menghormati martabat manusia. 

    Dirinya mengingatkan pentingnya menjaga proses penyidikan dari perlakuan yang tidak manusiawi, termasuk membatasi eksposur tersangka di media massa. 

    “Penerapan upaya paksa, seperti penahanan, harus dilakukan secara proporsional dan bertujuan untuk memastikan kehadiran terdakwa di persidangan, bukan sebagai penghukuman sebelum adanya putusan pengadilan,” ujar Dr. Fachrizal.

    Dr Fachrizal juga menyampaikan bahwa reformasi hukum acara pidana perlu mempertimbangkan sejumlah prinsip penting, termasuk exclusionary rules, yaitu ketentuan bahwa bukti yang diperoleh secara tidak sah tidak dapat digunakan di persidangan. 

    Selanjutnya, Guru Besar Hukum Universitas Indonesia, Prof. Dr. Topo Santoso, membahas konsep keadilan restoratif. 

    Menurutnya, keadilan restoratif adalah cara untuk menyelesaikan masalah dengan melibatkan pelaku, korban, dan keluarga dari kedua belah pihak. 

    Tujuannya adalah untuk mencari solusi bersama, bukan hanya mengandalkan negara atau aparat penegak hukum. 

    “Dalam proses ini, pelaku tidak hanya memberikan ganti rugi kepada korban, tetapi juga melalui pemulihan psikologis, sehingga mereka bisa kembali ke masyarakat dengan lebih baik,” ucap Topo.

    Namun, tidak semua kasus kejahatan dapat diselesaikan dengan pendekatan ini. Kasus-kasus besar, seperti korupsi, mungkin memerlukan langkah-langkah yang lebih kompleks daripada mediasi.

    Dosen Fakultas Hukum UPH, Prof Dr Jamin Ginting, menyoroti pentingnya pemisahan fungsi yang lebih jelas antara penyidik dari Kepolisian dan Kejaksaan. 

    Di banyak negara, penyidik dari Kepolisian dan Kejaksaan memiliki tugas yang terpisah. 

    “Jaksa bertugas untuk melakukan penuntutan, sementara polisi memiliki peran dalam mengumpulkan bukti. Namun, dalam praktiknya di Indonesia, terdapat beberapa tantangan terkait pemisahan tugas antara kedua lembaga ini,” ujar Prof. Ginting.

    Prof Ginting juga menyarankan agar sistem hukum memberikan wewenang kepada hakim untuk melakukan pemeriksaan awal sebelum melanjutkan proses hukum. 

    Langkah ini penting untuk memastikan bahwa bukti yang tersedia cukup untuk mendasari keputusan penahanan.

     

  • Keluarga ‘Juwita’ Bersama Tim Advokasi Datangi Lanal Banjarmasin

    Keluarga ‘Juwita’ Bersama Tim Advokasi Datangi Lanal Banjarmasin

    Sebelumnya, di kesempatan yang sama, Komandan Detasemen Polisi Militer Lanal (Dandenpomal) Balikpapan, Mayor Laut (PM) Ronald Ganap, mengungkap kepada awak media di markas Pomal Banjarmasin.

    “Terduga pelaku ini kan anggota Lanal Balikpapan, dan sudah kami serahkan ke Pomal Banjarmasin tadi malam,” ujarnya.

    Adapun status perkara yang awalnya tahap penyelidikan sudah ditingkatkan menjadi proses penyidikan yang bakal ditangani oleh penyidik dari Pomal Banjarmasin.

    “Kami sudah serahkan terduga pelaku sekaligus barang bukti yang menguatkan, jadi dari tingkat penyelidikan sudah ditingkatkan ke penyidikan, silakan nanti konfirmasi ke penyidik,” tutupnya.

    Adapun nama-nama dari 20 Tim Advokasi untuk ‘ Juwita’, di antaranya; 1. Dr. Muhamad Pazri , S.H.,M.H. 2. C.Oriza Sativa, S.H., M.H. 3. Kisworo Dwi Cahyono, S. P., S. H. 4. Muhammad Mauliddin Afdie, S.H., M.H. 5. Matrosul, S.H. 6. Dedi Sugiyanto,S.H.,M.H. 7. Nita Rosita, S.H. 8. Kharis Maulana Riatno, S.H. 9. Ahmadi, S.H, M.H. 10. Muhammad Laily Maswandi, S.H., M.H. 11. Ruly Septiandi, S.H.12. Armadiansyah, S.H.13. Elsa Liani, S.H.14. R. Rahmat Dannur, S.H.15. Cindy Maharani, S.H.16. Arif Maulana, S.H., M.H.17. Mustafa, S.H.18. Mbareb Slamat Pambudi,S.H.19. Panji Sugesti,S.H.20. Khairul Fahmi,S.HI.

  • Kapolri Perintahkan Kabareskrim Selidiki Teror Kepala Babi yang Menimpa Wartawan Tempo – Page 3

    Kapolri Perintahkan Kabareskrim Selidiki Teror Kepala Babi yang Menimpa Wartawan Tempo – Page 3

    Wakil Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Arif Maulana mengatakan, teror kepala babi terhadap wartawan Tempo bukan hanya ancaman bagi media itu sendiri.

    “Tetapi ini adalah ancaman bagi kepentingan masyarakat, kepentingan publik yang berhak atas informasi. Dan yang kedua ini serius sebagai ancaman bagi demokrasi di Indonesia,” kata Arif kepada wartawan, Sabtu (22/3/2025).

    “Karena kita paham bahwa pers adalah pilar demokrasi, pilar kedaulatan rakyat, yang selama ini ada di garda terdepan untuk memberikan informasi dan memberikan penjelasan kepada publik terkait berbagai kebijakan, berbagai keputusan yang diambil oleh pemerintah maupun legislasi,” sambungnya.

    Ia pun memberikan contoh informasi yang diberikan kepada publik yaitu seperti pengambilan keputusan atau pengesahan Revisi Undang-Undang (RUU) TNI pada Kamis, 20 Maret 2025.

    “Tidak ada teman-teman jurnalis, masyarakat tidak tahu ada proses penyusunan legislasi yang kemudian tidak sesuai dengan mekanisme yang berlaku dan ini melanggar prinsip demokrasi dan partisipasi bermakna,” ujar Arif.

    Kemudian, terkait pelaporan yang dilakukannya ini di Bareskrim Polri, bukan ke Polda ataupun Polres terdekat, Arif beralasan, agar bisa disampaikan langsung kepada Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo.

    “Kita ingin Pak Kapolri untuk memberikan atensi khusus terhadap laporan yang diberikan oleh kawan-kawan Tempo. Ini bukan kasus yang pertama. Teror, ancaman, intimidasi, bahkan pembunuhan sudah terjadi. Seperti halnya yang terjadi di Sumatera yang menimpa jurnalis,” ungkapnya.

    “Kita berharap kepolisian serius untuk menindaklanjuti laporan ini segera ungkap secara terang kasus ini dan tangkap pelakunya,” tambahnya.

    Selain itu, ia pun juga meminta kepada orang nomor satu Korps Bhayangkara untuk serius menangani laporan tersebut sesuai dengan slogan Presisi yaitu polisi yang prediktif, responsibiltas, transparan dan berkeadilan.

    “Karena kalau ini kemudian dibiarkan, ini kemudian akan melebar dan kemudian akan berulang kembali, ini yang tidak kami harapkan. Sudah ada laporan terkait dengan dugaan tindak pidana terhadap jurnalis ancaman teror,” ucapnya.

    “Dan kekerasan terhadap jurnalis yang jumlahnya sudah mencapai 16-an laporan ke kepolisian dalam setahun terakhir belum ada yang kemudian ditindaklanjuti,” sambungnya.