Tag: Arief Hidayat

  • Agama dan Kepercayaan Syarat Sah Perkawinan

    Agama dan Kepercayaan Syarat Sah Perkawinan

    JAKARTA – Mahkamah Konstitusi (MK) menegaskan agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa merupakan salah satu syarat sahnya perkawinan sehingga Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) tidak bertentangan dengan konstitusi.

    “Agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa merupakan unsur yang tidak dapat dihilangkan dari syarat sahnya perkawinan,” kata Hakim Konstitusi Arief Hidayat membacakan pertimbangan Putusan Nomor 146/PUU-XXII/2024 dilansir ANTARA, Jumat, 3 Januari.

    Dalam perkara ini, dua orang warga negara yang mengaku tidak memeluk agama dan kepercayaan tertentu, Raymond Kamil dan Teguh Sugiharto, mempersoalkan Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan yang mengatur perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan.

    Raymond dan Teguh mendalilkan, pasal tersebut membatasi mereka untuk membentuk keluarga secara sah karena ketentuan normanya dinilai tidak mengakomodasi warga negara yang tidak memilih untuk tidak memeluk agama atau kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

    Terkait dalil tersebut, Mahkamah menjelaskan, beragama dan berketuhanan merupakan suatu keniscayaan sebagai perwujudan karakter bangsa dan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagaimana diamanatkan Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945.

    Karena itu, menurut MK, tidak adanya ruang bagi warga negara untuk memilih tidak beragama atau tidak memiliki kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa merupakan pembatasan yang proporsional dan bukanlah bentuk diskriminasi terhadap warga negara.

    MK meyakini perkawinan tidak terlepas dari Ketuhanan Yang Maha Esa. Pasal 1 UU Perkawinan pun mengatur bahwa perkawinan bertujuan membentuk keluarga dalam suatu rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

    “Dengan tidak adanya ruang bagi warga negara Indonesia untuk memilih tidak menganut agama atau tidak menganut kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, maka norma hukum positif yang hanya memberikan pengesahan terhadap perkawinan yang dilakukan menurut agama dan kepercayaan masing-masing bukanlah norma yang menimbulkan perlakuan diskriminatif,” ucap Arief.

    Karena merupakan bagian dari bentuk ibadah sebagai suatu ekspresi beragama atau berkepercayaan kepada Tuhan yang Maha Esa, maka perkawinan dapat dikategorikan sebagai forum eksternum dan negara dapat ikut menentukan tata cara dan syarat-syaratnya.

    Dengan adanya norma Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan, negara pun menyerahkan perkawinan kepada agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa karena syarat sah perkawinan ditentukan oleh hukum masing-masing agama dan kepercayaan.

    Atas dasar itu, MK menolak permohonan Raymond dan Teguh. “Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut, maka dalil para Pemohon mengenai inkonstitusionalitas Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan adalah tidak beralasan menurut hukum,” demikian Arief.

    Di dalam perkara yang sama, Raymond dan Teguh turut menguji UU KUHP baru, tetapi dinyatakan tidak dapat diterima oleh MK. Selain itu, keduanya juga menguji UU HAM, UU Adminduk, dan UU Sistem Pendidikan Nasional yang sama-sama berakhir kandas karena ditolak untuk seluruhnya.

  • MK Tegaskan Perkawinan di RI Harus Berdasarkan Agama Atau Kepercayaan

    MK Tegaskan Perkawinan di RI Harus Berdasarkan Agama Atau Kepercayaan

    Jakarta

    Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menolak gugatan untuk menghapus kolom agama di e-KTP hingga di syarat sah perkawinan. MK menyatakan perkawinan tidak sah tanpa agama atau kepercayaan yang dianut oleh warga negara.

    “Menolak permohonan para pemohon untuk selain dan selebihnya,” kata Ketua MK Suhartoyo saat membacakan putusan perkara 146/PUU-XXII/2024, di Gedung MK, Jakarta Pusat, Jumat (3/1/2025).

    Dalam pertimbangannya, MK menegaskan UU perkawinan harus dipahami secara utuh dan tidak parsial. MK menilai sesuai dengan amanat UUD NKRI 1945 dan Pancasila, maka perkawinan tidak dapat terlepas dari prinsip dasar Ketuhanan Yang Maha Esa.

    “Dengan tidak adanya ruang bagi warga negara Indonesia untuk memilih tidak menganut agama atau tidak menganut kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, maka norma hukum positif yang hanya memberikan pengesahan terhadap perkawinan yang dilakukan menurut agama dan kepercayaan masing-masing bukanlah norma yang menimbulkan perlakuan diskriminatif,” kata hakim konstitusi Arief Hidayat.

    Arief pun menegaskan tanpa adanya agama atau kepercayaan yang dianut oleh warga negara, maka tidak akan ada perkawinan yang sah. Sebab, dalam pasal 28B ayat 1 UUD NRI 1945 telah disebutkan dalam membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan harus melalui perkawinan yang sah.

    Arief mengatakan perkawinan merupakan bagian dari bentuk ibadah sebagai ekspresi beragama atau berkepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Maka, kata dia, hal itu dapat dikategorikan sebagai forum eksternum, di mana negara dapat menentukan tata cara dan syarat-syaratnya.

    “Oleh karena itu agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa merupakan unsur yang tidak dapat dihilangkan dari syarat sahnya perkawinan,” sambung dia.

    Simak selengkapnya di halaman berikutnya.

  • Mengamati Posisi Duduk Anwar Usman Paman Gibran Paling Ujung pada Putusan MK Hapus Presidential Threshold

    Mengamati Posisi Duduk Anwar Usman Paman Gibran Paling Ujung pada Putusan MK Hapus Presidential Threshold

    loading…

    Hakim Konstitusi Anwar Usman duduk paling ujung pada sidang dipimpin Ketua MK Suhartoyo yang memutuskan penghapusan presidential threshold. Sidang digelar di Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (2/1/2025). Foto: Dok SINDOnews

    JAKARTA – Hakim Konstitusi Anwar Usman duduk paling ujung pada sidang dipimpin Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Suhartoyo yang memutuskan penghapusan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden atau presidential threshold. Sidang digelar di Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (2/1/2025).

    Posisi duduk paman Gibran Rakabuming Raka itu paling ujung, di sebelahnya Hakim Konstitusi Daniel Yusmic Pancastaki Foekh. Diketahui, 2 hakim MK ini melayangkan perbedaan pendapat atau dissenting opinion dalam putusan perkara Nomor 62/PUU-XXI/2023 yang menghapus presidential threshold.

    Kemudian, di samping Daniel atau persisnya ketiga dari kanan ada M Guntur Hamzah, Arief Hidayat, dan posisi tengah ada Ketua MK Suhartoyo. Di sisi kiri Suhartoyo ada Saldi Isra, Enny Nurbaningsih , Arsul Sani, serta di ujung kiri ada Ridwan Mansyur.

    Diketahui, MK mengabulkan gugatan Nomor 62/PUU-XXI/2023 soal persyaratan ambang batas calon peserta Pilpres atau presidential threshold. “Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK Suhartoyo.

    Norma yang diujikan oleh para pemohon yakni Pasal 222 UU 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, yang menyatakan pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya.

    Namun, karena gugatan itu dikabulkan, MK menyatakan Pasal 222 bertentangan dengan UUD 1945. “Menyatakan norma Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” ujar Suhartoyo.

    “Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam berita Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana mestinya,” tambahnya.

    Diketahui, perkara Nomor 62/PUU-XXI/2023 diajukan Enika Maya Oktavia. Dalam petitumnya, pemohon menyatakan Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum melanggar batas open legal policy dan bertentangan dengan UUD 1945.

    Pemohon juga menyatakan presidential threshold pada Pasal 222 bertentangan dengan moralitas demokrasi.

    (jon)

  • Beda Sikap Anwar Usman di Perkara Presidential Threshold vs Batas Usia Capres-Cawapres

    Beda Sikap Anwar Usman di Perkara Presidential Threshold vs Batas Usia Capres-Cawapres

    Bisnis.com, JAKARTA — Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan aturan soal ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) sebesar 20% inkonstitusional. Dari sembilan hakim konstitusi, dua hakim berbeda pendapat atau dissenting opinion. 

    Dua orang hakim konstitusi yang berbeda pendapat dengan tujuh orang lainnya adalah Anwar Usman dan Daniel Yusmic P. Foekh. Keduanya menyoroti soal kedudukan hukum para pemohon. 

    Untuk diketahui, pemohon perkara No.62/PUU-XXII/2024 adalah empat orang anggota Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga, Komunitas Pemerhati Konstitusi, yaitu Enika Maya Oktavia, Rizki Maulana Syafei, Faisal Nasirul Haq dan Tsalis Khoirul Fatna. 

    Sementara itu, pokok perkara yang dimohonkan uji materi oleh pemohon adalah pasal 222 Undang-undang (UU) No.7/2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu).

    Pasal itu mengatur bahwa “Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya.”

    Dalam amar putusan yang dibacakan pada perkara No.62/PUU-XXII/2024, MK menyatakan ambang batas pencalonan presiden yang saat ini berlaku 20% inkonstitusional. 

    “Mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” ujar Ketua MK Suhartoyo dalam sidang pembacaan putusan, Kamis (2/1/2025). 

    Berbeda dengan mayoritas hakim konstitusi, Anwar Usman dan Daniel Yusmic menilai para pemohon harus menjelaskan kualifikasi dan kerugian konstitusional yang dialami oleh berlakunya suatu UU agar dianggap memiliki kedudukan hukum (legal standing). Hal itu sebagaimana tertuang dalam pasal 51 ayat (1) UU MK. 

    Menurut kedua hakim konstitusi itu, mahkamah telah menegaskan pendiriannya bahwa pihak yang memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan uji materi pasal tersebut adalah partai politik atau gabungannya, serta perseroangan warga negara dengan hak untuk dipilih atau didukung partai politik. 

    Adapun, untuk perkara No.62/PUU-XXII/2024, empat orang pemohon itu dinilai tidak memiliki kerugian konstitusional terkait dengan perkara yang diajukan. 

    “Bahwa pembatasan pihak yang dapat memohonkan pengujian norma Pasal 222 UU 7/2017 bukan berarti bahwa norma a quo ‘kebal’ (immune) untuk diuji, melainkan karena tiadanya kerugian konstitusional pemohon perseorangan warga negara Indonesia in casu para Pemohon a quo dan/atau badan hukum selain pihak-pihak sebagaimana telah disebutkan pada angka 3 di atas oleh berlakunya norma a quo,” demikian bunyi dissenting opinion Anwar dan Daniel, yang dibacakan pada sidang pembacaan putusan MK, Kamis (2/1/2025). 

    Oleh sebab itu, kedua hakim berpendapat bahwa Mahkamah seharusnya menyatakan pemohon tidak memiliki kedudukan hukum dan permohonannya tidak dapat diterima. 

    Perbesar

    Putusan MK Batas Usia Capres-Cawapres 

    Sebelumnya atau pada 2023 lalu, Anwar Usman dan para hakim MK dihadapkan dengan perkara uji materi serupa. Pemohon dari kalangan mahasiswa menggugat suatu pasal yang berada di UU Pemilu. 

    Saat itu, perkara No.90/PUU-XXI/2023 dikabulkan oleh MK terkait dengan batas usia calon presiden dan wakil presiden (capres dan cawapres). 

    Perkara itu diajukan oleh pemohon yang juga berstatus mahasiswa, yakni Almas Tsaqibbirru Re A. Dia mengajukan permohonan uji materi terhadap pasal 169 huruf (q) UU Pemilu yang berbunyi “Persyaratan menjadi calon Presiden dan calon Wakil Presiden adalah:….. q. berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun.”

    Dalam pertimbangannya, MK menilai pemohon telah menjelaskan perihal hak konstitusionalnya dalam mengajukan uji materi pasal 169 huruf (q) UU Pemilu. Beberapa kedudukan hukum yang diajukan Almas di antaranya adalah pemohon adalah WNI dan bercita-cita sebagai presiden dan wakil presiden. 

    Pasal 169 huruf (q) dinilai merugikan dan melanggar hak konstitusinal pemohon untuk dipilih dan memilih karena berusia di bawah 40 tahun.

    “Apabila permohonan a quo dikabulkan, kerugian konstitusional seperti yang dijelaskan tidak akan terjadi. Oleh karena itu, terlepas dari terbukti atau tidak terbuktinya inkonstitusionalitas norma yang didalilkan, menurut Mahkamah, Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon dalam Permohonan a quo,” demikian bunyi pertimbangan MK saat itu. 

    Adapun dalam amar putusannya, MK mengabulkan permohonan pemohon sebagian. Pasal 169 huruf (q) UU Pemilu dinyatakan inkonstitusional bersyarat sepanjang tidak dimaknai “berusia 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah.”

    Perbesar

    Pada perkara tersebut, Anwar Usman, M. Guntur Hamzah dan Manahan P. Sitompul adalah hakim yang mengabulkan permohonan Almas.

    Sementara itu, dua hakim konstitusi memiliki alasan berbeda (concurring opinion), yaitu Enny Nurbanigsih dan Daniel Yusmic. 

    Kemudian, terdapat empat hakim memiliki pendapat berbeda atau dissenting opinion, yaitu Wahiduddin Adams, Saldi Isra, Arief Hidayat dan Suhartoyo. 

    Sebagaimana diketahui, perkara yang diajukan Almas itu kuat ditengarai untuk meloloskan pencalonan Gibran Rakabuming Raka yang saat itu belum berusia 40 tahun dan sudah menjadi Wali Kota Solo. Kini, Gibran telah dilantik menjadi Wakil Presiden mendampingi Presiden Prabowo Subianto. 

    Namun, sebagai konsekuensinya, Anwar dinyatakan terbukti melakukan pelanggaran berat terhadap kode etik dan perilaku hakim konstitusi. Putusan itu dibacakan oleh Majelis Kehormatan MK atau MKMK yang dipimpin Jimly Ashiddiqie pada 7 November 2023. 

    Di antara prinsip yang dilanggar Usman, yakni tidak mengundurkan diri dari proses pemeriksaan dan pengambilan keputusan perkara No.90/PUU-XXI/2023. Padahal, uji materi pasal itu kuat diduga berkaitan untuk kepentingan pencalonan Gibran, yang merupakan anak dari Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan jelang pendaftaran Pilpres 2024.

    Sementara itu, diketahui status Anwar Usman, saat menjabat sebagai Ketua Mahkamah Konstutisi, adalah ipar dari Presiden Jokowi. 

  • MK Terima 314 Gugatan Hasil Pilkada, Ini Daftar Ketua di Setiap Panel Persidangan

    MK Terima 314 Gugatan Hasil Pilkada, Ini Daftar Ketua di Setiap Panel Persidangan

    loading…

    Mahkamah Konstitusi (MK) telah menerima 314 gugatan hasil Pilkada 2024, baik tingkat provinsi, kabupaten, maupun kota. FOTO/DANAN DAYA ARYA PUTRA

    JAKARTA – Mahkamah Konstitusi ( MK ) telah menerima 314 gugatan hasil Pilkada 2024 , baik tingkat provinsi, kabupaten, maupun kota. Persidangan perdana akan dilaksanakan pada 8 Januari 2024.

    “Kemudian, setelah itu akan dilakukan BRPK terhadap pilkada yang masuk, ada 314 perkara, dan kami sudah, insyaAllah kami sudah menyiapkan, sebagaimana kami menyiapkannya juga untuk Pileg maupun Pilpres, kami sudah siap untuk menangani PHPU Pilkada di tahun 2025 ini,” kata Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Enny Nurbaningsih kepada wartawan di Gedung MK Jakarta, Kamis (2/1/2025).

    Dia menjelaskan, persidangan sengeketa pilkada akan dibuka menjadi 3 panel. Panel 1 akan dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo, Panel 2 akan dipimpin oleh Saldi Isra, dan Panel 3 akan dipimpin oleh Hakim Konstitusi Arief Hidayat.

    “Pembagian panel itu formasinya sama dengan yang dilakukan untuk Pileg yang lalu, jadi ada 3 panel, yang pertama itu ketuanya adalah Pak Ketua sendiri. Kemudian panel yang kedua, ketuanya Pak Wakil, panel ketiga adalah Prof Arif, di mana saya termasuk bagian dari Panel 3,” tuturnya.

    Berdasarkan penulusuran di website resmi MK, dari 314 gugatan yang masuk ke MK, 23 permohonan diajukan untuk perselisihan hasil Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, 242 permohonan perselisihan hasil Pemilihan Bupati-Wakil Bupati, dan 49 permohonan perselisihan hasil Pemilihan Wali Kota-Wakil Wali Kota.

    (abd)

  • MK Nyatakan Pelaut sebagai Pekerja Migran Tak Langgar Konstitusi

    MK Nyatakan Pelaut sebagai Pekerja Migran Tak Langgar Konstitusi

    Jakarta

    Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan terkait frasa pelaut awak kapal dan pelaut perikanan dalam salah satu pasal UU tentang pelindungan pekerja migran Indonesia. Gugatan itu ingin menghapus frasa pelaut dari salah satu pasal UU tentang pelindungan pekerja migran Indonesia.

    Pemohon terdiri dari tiga pihak yang berbeda yaitu Asosiasi Pekerja Perikanan Indonesia (AP2I), seorang pelaut bernama Untung Dihako, dan PT Mirana Nusantara Indonesia.

    “Amar putusan, mengadili, menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK, Suhartoyo, dalam sidang perkara Nomor 127/PUU-XXI/2023 yang digelar di gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Jumat (29/11/2024).

    Dalam putusannya, MK menolak gugatan Pemohon untuk melakukan uji materi atau judicial review (JR) terhadap Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (UU PPMI), sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 (UU Cipta Kerja).

    Inti gugatan dari Pemohon yaitu meminta MK untuk menghapus aturan pada Pasal 4 Ayat (1) huruf c dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017. Aturan itu menyebut frasa ‘pelaut awak kapal dan pelaut perikanan’ sebagai pekerja migran Indonesia.

    Pemohon mengajukan penghapusan pasal itu karena dianggap menghalangi jaminan perlindungan dan hak pelaut. Pemohon juga beranggapan bahwa berlakunya pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 28D Ayat (1) dan Pasal 28D Ayat (2) UUD 1945

    Namun, MK mengakui pekerja migran laut menghadapi kondisi kerja yang lebih berat dibanding pekerja migran darat. Contohnya seperti pelaut awak kapal dan pelaut perikanan.

    “Pelaut sering kali bekerja di wilayah perairan internasional dengan risiko keselamatan yang lebih tinggi serta menghadapi regulasi internasional yang lebih kompleks,” kata Arief.

    Pemohon pun mempersoalkan soal adanya sistem pelayanan terpadu. Sebab, sistem itu menimbulkan keruwetan dalam pengurusan izin bekerja.

    Dalam pertimbangannya, MK menilai dalil para pemohon terkait sistem pelayanan terpadu yang dianggap menyulitkan pengurusan izin kerja tidak berdasar.

    Hakim Konstitusi, Arief Hidayat, menjelaskan, sistem pelayanan terpadu diterapkan untuk menghilangkan dualisme pengaturan dan mempermudah pelayanan publik. Termasuk dalam pengurusan izin bekerja sebagai pelaut atau awak kapal.

    “Sistem pelayanan terpadu ini dilakukan secara terintegrasi, baik secara fisik maupun virtual, sesuai standar pelayanan. Tujuannya justru untuk mempermudah pengurusan dokumen yang diperlukan oleh pekerja migran, termasuk pelaut,” ujar Arief dalam sidang.

    MK menegaskan jika diperlukan pemisahan pengaturan antara pekerja migran darat dan laut, hal tersebut bisa dilakukan pembentuk undang-undang. Namun, langkah itu harus bertujuan untuk memberikan perlindungan komprehensif bagi pelaut baik itu dari sisi hukum, keselamatan kerja, maupun kesejahteraan.

    “UU PPMI tetap bertujuan memberikan kepastian perlindungan bagi seluruh pekerja migran, termasuk pelaut, yang memiliki karakteristik khusus,” tambahnya.

    Dengan pertimbangan tersebut, MK menyatakan dalil para pemohon tidak memiliki dasar hukum yang kuat. Putusan ini menegaskan sistem pelayanan terpadu merupakan bagian dari upaya memberikan perlindungan lebih baik bagi pekerja migran Indonesia.

    (idn/idn)

  • MK: Pejabat Daerah dan TNI-Polri Bisa Dipidana Jika Langgar Netralitas pada Pilkada 2024

    MK: Pejabat Daerah dan TNI-Polri Bisa Dipidana Jika Langgar Netralitas pada Pilkada 2024

    Jakarta, Beritasatu.com – Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan gugatan perkara nomor 136/PUU-XXII/2024 terkait netralitas pejabat daerah dan TNI/Polri pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024. Dalam putusannya, MK menegaskan pejabat daerah dan TNI/Polri yang terbukti melanggar netralitas dalam pilkada, akan dikenakan sanksi pidana paling lama 6 bulan penjara.

    “Mengabulkan permohonan pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK Suhartoyo saat membacakan putusan tersebut di ruang sidang di gedung MK, Jakarta, Kamis (14/11/2024).

    Uji materi tersebut terkait Pasal 188 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU Pilkada).

    Menurut MK, norma Pasal 188 UU Pilkada bertentangan dengan UUD 1945. Selain itu, pasal tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, setiap pejabat negara, pejabat daerah, pejabat aparatur sipil negara (ASN), anggota TNI/Polri, dan kepala desa atau sebutan lain/lurah yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71.

    “Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 bulan atau paling lama 6 bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 600.000 atau paling banyak Rp 6.000.000,” kata Suhartoyo.

    Sebelumnya, dalam Pasal 188 UU Pilkada menyebutkan, “setiap pejabat negara, pejabat ASN, dan kepala desa atau sebutan lain/lurah yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 bulan atau paling lama 6  bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 600.000 atau paling banyak Rp 6.000.000”.

    MK menilai norma Pasal 188 UU Pilkada telah melanggar prinsip negara hukum dan jaminan terhadap hak kepastian hukum yang adil sehingga bertentangan dengan norma Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 sebagaimana yang didalilkan pemohon.

    Terkait hal itu, MK mengubah bunyi Pasal 188 UU Pilkada dengan menambah subyek hukum pejabat daerah dan TNI/Polri. Dengan demikian, bunyi Pasal 188 UU Pilkada menjadi, “setiap pejabat negara, pejabat daerah, pejabat ASN, anggota TNI/Polri, dan kepala desa atau lurah yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 bulan atau paling lama 6 bulan, dan/atau denda paling sedikit Rp 600.000,00 atau paling banyak Rp 6.000.000”.

    MK memandang penting untuk menambahkan frasa ‘pejabat daerah’ dan frasa ‘anggota TNI-Polri’ dalam Pasal 188 UU 1/2015 agar sesuai dengan prinsip negara hukum dan menciptakan kepastian hukum yang adil sebagaimana norma Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

    “Dalam perspektif paham konstitusi atau konstitusionalisme, aturan main yang ditetapkan harus memberikan jaminan atas kepastian hukum yang adil. Jaminan tersebut merupakan salah satu hak dasar yang harus diberikan oleh negara kepada rakyatnya,” pungkas Hakim Konstitusi Arief Hidayat.

  • Fitur `arithmetic guard` angin segar kevalidan hasil Sirekap

    Fitur `arithmetic guard` angin segar kevalidan hasil Sirekap

    Sumber foto: Antara/elshinta.com.

    Pakar: Fitur `arithmetic guard` angin segar kevalidan hasil Sirekap
    Dalam Negeri   
    Sigit Kurniawan   
    Kamis, 07 November 2024 – 17:08 WIB

    Elshinta.com – Pengamat politik dari Universitas Al Azhar Indonesia Ujang Komarudin mengatakan kehadiran fitur arithmetic guard sebagai langkah penyempurnaan hasil aplikasi Sistem Informasi Rekapitulasi (Sirekap) yang semakin valid untuk digunakan pada Pilkada Serentak 2024.

    “Saya sih melihatnya bahwa ini adalah angin segar dari KPU untuk memperbaiki sistem yang dianggap kemarin tidak bagus agar semakin bagus, semakin baik dan semakin valid,” kata Ujang di Jakarta, Kamis (7/11).

    Ia pun mengapresiasi komitmen Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk memperbaiki beberapa kekurangan yang terjadi selama Pemilu 2024. Perbaikan Sirekap merupakan tindak lanjut dari putusan Mahkamah Konstitusi soal pemilu lalu.

    “Karena jangan sampai mengulangi kesalahan yang sama, kan ketika Sirekap yang kemarin-kemarin dianggap gagal oleh publik ya, dianggap bermasalah oleh publik,” ujarnya.

    Oleh karena itu, menurut Ujang, penambahan fitur arithmetic guard bagian dari evaluasi KPU dalam menyiapkan Sirekap yang mumpuni sehingga ke depan publik dapat menyaksikan Sirekap yang lebih baik lagi.

    Sebelumnya, Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI menambahkan fitur arithmetic guard pada aplikasi Sistem Informasi Rekapitulasi (Sirekap) yang akan digunakan pada Pilkada Serentak 2024.

    Anggota KPU RI Betty Epsilon Idroos mengatakan arithmetic guard akan mengontrol secara otomatis hasil input angka penjumlahan yang dilakukan petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS).

    “Perbaikan berikutnya adalah sudah ada arithmetic guard (dalam Sirekap). Guard itu penjaga,” kata Betty di Kantor KPU RI, Jakarta, Kamis.

    Dia menjelaskan fitur tersebut akan memperingatkan saat ada kesalahan dalam angka yang di-input. Hal ini ditandai dengan munculnya peringatan berwarna merah dan kuning.

    Pada Rabu, 8 Mei 2024, Hakim Konstitusi Arief Hidayat mengingatkan KPU untuk segera memperbaiki aplikasi Sirekap menjelang Pemilihan Kepala Daerah Serentak 2024.

    Peringatan itu disampaikan Arief Hidayat dalam sidang perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) untuk perkara Nomor 20-01-04-01/PHPU.DPR-DPRD-XXII/2024 di Ruang Sidang Panel Tiga Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Rabu (8/5).

    “Pak Holik, dulu Situng (Sistem Informasi Penghitungan Suara), sekarang Sirekap. Gimana ini kalau begitu? Ini di semua tingkatan. Kemarin waktu kita pilpres itu Sirekap-nya jadi bermasalah. Untuk catatan karena sebentar lagi pilkada, hampir 500 lebih pilkada serentak di seluruh Indonesia. Jadi, kita harus hati-hati betul,” ucap Arief.

    Sumber : Antara

  • Pakar: Fitur “arithmetic guard” angin segar kevalidan hasil Sirekap

    Pakar: Fitur “arithmetic guard” angin segar kevalidan hasil Sirekap

    Jakarta (ANTARA) – Pengamat politik dari Universitas Al Azhar Indonesia Ujang Komarudin mengatakan kehadiran fitur arithmetic guard sebagai langkah penyempurnaan hasil aplikasi Sistem Informasi Rekapitulasi (Sirekap) yang semakin valid untuk digunakan pada Pilkada Serentak 2024.

    “Saya sih melihatnya bahwa ini adalah angin segar dari KPU untuk memperbaiki sistem yang dianggap kemarin tidak bagus agar semakin bagus, semakin baik dan semakin valid,” kata Ujang saat dihubungi ANTARA di Jakarta, Kamis.

    Ia pun mengapresiasi komitmen Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk memperbaiki beberapa kekurangan yang terjadi selama Pemilu 2024. Perbaikan Sirekap merupakan tindak lanjut dari putusan Mahkamah Konstitusi soal pemilu lalu.

    “Karena jangan sampai mengulangi kesalahan yang sama, kan ketika Sirekap yang kemarin-kemarin dianggap gagal oleh publik ya, dianggap bermasalah oleh publik,” ujarnya.

    Baca juga: KPU tambah fitur “arithmetic guard” dalam Sirekap untuk Pilkada 2024

    Oleh karena itu, menurut Ujang, penambahan fitur arithmetic guard bagian dari evaluasi KPU dalam menyiapkan Sirekap yang mumpuni sehingga ke depan publik dapat menyaksikan Sirekap yang lebih baik lagi.

    Sebelumnya, Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI menambahkan fitur arithmetic guard pada aplikasi Sistem Informasi Rekapitulasi (Sirekap) yang akan digunakan pada Pilkada Serentak 2024.

    Anggota KPU RI Betty Epsilon Idroos mengatakan arithmetic guard akan mengontrol secara otomatis hasil input angka penjumlahan yang dilakukan petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS).

    “Perbaikan berikutnya adalah sudah ada arithmetic guard (dalam Sirekap). Guard itu penjaga,” kata Betty di Kantor KPU RI, Jakarta, Kamis.

    Baca juga: Komisi II minta KPU sempurnakan Sirekap sebelum digunakan pada pilkada

    Dia menjelaskan fitur tersebut akan memperingatkan saat ada kesalahan dalam angka yang di-input. Hal ini ditandai dengan munculnya peringatan berwarna merah dan kuning.

    Pada Rabu, 8 Mei 2024, Hakim Konstitusi Arief Hidayat mengingatkan KPU untuk segera memperbaiki aplikasi Sirekap menjelang Pemilihan Kepala Daerah Serentak 2024.

    Peringatan itu disampaikan Arief Hidayat dalam sidang perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) untuk perkara Nomor 20-01-04-01/PHPU.DPR-DPRD-XXII/2024 di Ruang Sidang Panel Tiga Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Rabu (8/5).

    “Pak Holik, dulu Situng (Sistem Informasi Penghitungan Suara), sekarang Sirekap. Gimana ini kalau begitu? Ini di semua tingkatan. Kemarin waktu kita pilpres itu Sirekap-nya jadi bermasalah. Untuk catatan karena sebentar lagi pilkada, hampir 500 lebih pilkada serentak di seluruh Indonesia. Jadi, kita harus hati-hati betul,” ucap Arief.

    Baca juga: Akademisi: KPU harus libatkan pakar IT yang banyak untuk jaga Sirekap
    Baca juga: KPU perbaiki Sirekap demi keakuratan hasil Pilkada 2024

    Pewarta: Narda Margaretha Sinambela
    Editor: Didik Kusbiantoro
    Copyright © ANTARA 2024

  • KPU tambah fitur “arithmetic guard” dalam Sirekap untuk Pilkada 2024

    KPU tambah fitur “arithmetic guard” dalam Sirekap untuk Pilkada 2024

    “Perbaikan berikutnya adalah sudah ada arithmetic guard (dalam Sirekap). Guard itu penjaga,”Jakarta (ANTARA) – Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI menambahkan fitur arithmetic guard dalam aplikasi Sistem Informasi Rekapitulasi (Sirekap) yang akan digunakan dalam Pilkada Serentak 2024.

    Anggota KPU RI Betty Epsilon Idroos mengatakan arithmetic guard akan mengontrol secara otomatis hasil input angka penjumlahan yang dilakukan oleh petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS).

    “Perbaikan berikutnya adalah sudah ada arithmetic guard (dalam Sirekap). Guard itu penjaga,” kata Betty di Kantor KPU RI, Jakarta, Kamis.

    Dia menjelaskan fitur tersebut akan memperingatkan saat ada kesalahan dalam angka yang diinput. Hal ini ditandai dengan munculnya peringatan berwarna merah dan kuning.

    “Kalau misalnya 1 tambah 1 itu bukan 2, maka akan ada alert warna merah dan warna kuning dalam sistem Sirekap mobile yang dipegang oleh KPPS,” ujarnya.

    Betty menyebutkan KPU juga melakukan perbaikan Sirekap terhadap marker pada kolom dan baris formulir hasil suara yang nantinya akan memudahkan konversi lebih cepat ke Sirekap Web.

    Selain itu, KPU memperbarui arsitektur aplikasi dengan penambahan di beberapa bagian ujung formulir serta perubahan pada kotak angka.

    “Kotak angka yang seperti kalkulator itu kami hapus sama sekali, sehingga OCR dan OMR lebih fokus pada karakter,” jelas Betty.

    Menurutnya, langkah ini dilakukan untuk menyempurnakan beberapa kekurangan yang terjadi selama Pemilu 2024.

    Pasalnya, perbaikan Sirekap merupakan tindak lanjut dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal pemilu lalu.

    Sebelumnya, Rabu (8/5), Hakim Konstitusi Arief Hidayat mengingatkan KPU untuk segera memperbaiki aplikasi Sirekap menjelang Pemilihan Kepala Daerah Serentak 2024.

    Peringatan itu disampaikan Arief Hidayat dalam sidang perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) untuk perkara Nomor 20-01-04-01/PHPU.DPR-DPRD-XXII/2024 di Ruang Sidang Panel Tiga Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Rabu.

    “Pak Holik, dulu Situng (Sistem Informasi Penghitungan Suara), sekarang Sirekap. Gimana ini kalau begitu? Ini di semua tingkatan. Kemarin waktu kita Pilpres itu Sirekap-nya jadi bermasalah. Untuk catatan, karena sebentar lagi pilkada, hampir 500 lebih Pilkada serentak di seluruh Indonesia. Jadi, kita harus hati-hati betul,” ucap Arief.

    Pewarta: Narda Margaretha Sinambela
    Editor: Agus Setiawan
    Copyright © ANTARA 2024