Tag: Ari Fahrial Syam

  • 1
                    
                        Hidup dari Gunungan Sampah Bantargebang, Andi Raup Rp 30 Juta per Bulan dari Limbah Plastik
                        Megapolitan

    1 Hidup dari Gunungan Sampah Bantargebang, Andi Raup Rp 30 Juta per Bulan dari Limbah Plastik Megapolitan

    Hidup dari Gunungan Sampah Bantargebang, Andi Raup Rp 30 Juta per Bulan dari Limbah Plastik
    Tim Redaksi

    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Bergelut dengan sampah kerap dipandang sebagai pekerjaan yang menjijikkan bagi sebagian orang.
    Namun, bagi warga yang tinggal di sekitar Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang, Bekasi, Jawa Barat, sampah justru menjadi sumber penghidupan sekaligus harapan ekonomi.
    Ribuan warga menggantungkan hidup di TPST Bantargebang, yang kini kondisinya semakin membeludak dan telah melampaui kapasitas. Tumpukan sampah yang menggunung itu seolah berubah menjadi “rezeki” bagi sebagian warga yang bersedia mengolahnya.
    Salah satunya adalah Andi (34), seorang pengepul limbah plastik yang telah bertahun-tahun mencari nafkah dari sisa-sisa sampah di Bantargebang.
    Pekerjaan sebagai pengepul limbah plastik membuat Andi mampu meraup keuntungan hingga puluhan juta rupiah setiap bulannya.
    “Sukanya kalau keuntungan lebih dari ekspetasi kami, itu bulan kemarin Rp 30 juta per bulan,” jelas Andi ketika diwawancarai
    Kompas.com
    di lokasi, Jumat (12/12/2025).
    Usaha
    pengepulan limbah plastik
    yang digeluti Andi merupakan usaha turun-temurun yang telah berdiri sejak 1996. Pada awalnya, ayah Andi berprofesi sebagai pemulung yang setiap hari mengais rezeki di gunungan
    sampah Bantargebang
    .
    Pengalaman bertahun-tahun sebagai pemulung membuat ayah Andi menyadari bahwa limbah plastik memiliki nilai ekonomi yang cukup tinggi. Sejak saat itu, ia memutuskan beralih menjadi pengepul limbah plastik.
    Usaha tersebut dikenal dengan nama “
    Lapak Bos Min
    ”.
    Seiring bertambahnya usia, sang ayah kemudian menyerahkan pengelolaan usaha pengepulan limbah plastik itu kepada Andi, yang hingga kini terus menjalankannya.
    Andi menjelaskan, sistem kerja usahanya dimulai dengan membeli limbah plastik dari para pemulung yang bekerja di area TPST Bantargebang.
    “Kami beli ada yang Rp 450 perak sampai Rp 700 itu biaya angkut dan sortir tanggungan saya, mereka (pemulung) hanya cari,” jelas Andi.
    Setelah dibeli, limbah plastik tersebut dibawa ke lapak pengepulan milik Andi yang berada tepat di samping TPST Bantargebang.
    Setibanya di lapak, limbah plastik dimasukkan ke dalam bak plastik berukuran besar untuk dicuci terlebih dahulu.
    Setelah proses pencucian, limbah plastik kemudian disortir berdasarkan jenisnya sebelum akhirnya dijemur hingga kering.
    “Kalau di sini jenis plastik yang banyak
    Polypropylene
    (PP), HDPE-
    High-Density Polyethylene
    (HD),
    Polyethylene
    (PE), dan plastik sablon warna,” ujar Andi.
    Setelah disortir dan dijemur, limbah plastik tersebut kemudian dimasukkan ke dalam plastik hitam berukuran besar untuk dijual ke distributor.
    Setiap jenis plastik memiliki harga jual yang berbeda. Plastik jenis PE dijual dengan kisaran harga Rp 3.000–6.000 per kilogram, plastik sablon atau berwarna Rp 4.000 per kilogram, PP Rp 2.000 per kilogram, dan HD sekitar Rp 1.300 per kilogram.
    Harga tersebut berlaku untuk limbah plastik yang sudah dalam kondisi bersih dan kering sehingga siap diolah oleh distributor.
    Sebagian distributor memanfaatkan limbah plastik itu untuk diperbarui agar dapat digunakan kembali. Sementara itu, lainnya mendaur ulang plastik menjadi berbagai produk, seperti kursi, palet, dan barang lainnya.
    Tak hanya mendatangkan keuntungan secara ekonomi, Andi menilai usaha pengepulan limbah plastik juga berkontribusi dalam mengurangi beban sampah di TPST Bantargebang.
    “Kalau semua jenis plastik sekitar 3 – 4 ton bisa saya kumpulin dalam satu hari,” ungkap Andi.
    Hal ini menjadi penting mengingat plastik merupakan jenis sampah yang sangat sulit terurai dan harus dikelola dengan baik agar tidak terus menumpuk di Bantargebang.
    Selain membantu mengurangi beban sampah, usaha pengepulan limbah plastik milik Andi juga membuka lapangan pekerjaan bagi warga sekitar. Saat ini, Andi mempekerjakan tujuh orang karyawan yang terdiri dari ibu rumah tangga dan pemuda setempat.
    “Kalau buat sortir sekarang ada tujuh orang. Ibu-ibu ada dua, sisanya pemuda yang malas cari kerja di luar,” tutur Andi.
    Para ibu rumah tangga yang bertugas menyortir limbah plastik menerima upah sekitar Rp 85.000 per hari. Sementara para pemuda yang membantu mengangkat, menyortir, dan mencuci limbah plastik dibayar sekitar Rp 100.000 per hari.
    Salah satu karyawan Andi, Surheni (36), mengaku bersyukur bisa bekerja meskipun penghasilannya tergolong pas-pasan.
    “Rp 85.000 itu harian, sebenarnya enggak cukup, cuma dicukup-cukupin aja. Namanya orang susah, kalau butuh ya harus beli beras, beli kebutuhan pokok,” tutur Surheni.
    Ia mengaku terpaksa bekerja sebagai penyortir limbah plastik karena penghasilan suaminya tidak mencukupi kebutuhan sehari-hari.
    Surheni telah bekerja selama dua tahun di lapak pengepulan limbah plastik milik Andi. Menjalani profesi sebagai penyortir limbah plastik, menurut dia, bukanlah hal yang mudah dan penuh dengan suka duka.
    Sukanya, ia bisa mendapatkan penghasilan tambahan untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Di sisi lain, Surheni menilai pekerjaannya cukup mulia karena ikut membantu mengurangi limbah plastik yang menumpuk di Bantargebang.
    Namun, duka yang dirasakannya adalah risiko kesehatan akibat bau sampah dari TPST Bantargebang.
    “Pernah sakit karena sampah tapi paling sehari atau dua hari. Biasanya flu dan sakit kepala.
    Alhamdulillah
    enggak yang parah,” jelas dia.
    Kendati demikian, Surheni mengaku tidak terlalu khawatir dengan dampak bau sampah terhadap kesehatannya.
    Menurut dia, aroma menyengat dari Bantargebang sudah tidak lagi mengganggu indera penciumannya.
    Meski warga sekitar Bantargebang telah terbiasa dengan bau sampah, kondisi tersebut tidak boleh dianggap sepele.
    Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam Universitas Indonesia, Ari Fahrial Syam, mengingatkan bahwa paparan gas metana dari sampah berpotensi merusak paru-paru.
    “Tapi, yang jelas ketika dia terpapar dengan sampah, gas metana, segala macem, itu tentu yang akan terganggu adalah paru-parunya,” ucap Ari.
    Paparan gas metana secara terus-menerus dapat meningkatkan risiko seseorang mengalami penyakit paru obstruktif kronis.
    Kondisi tersebut akan semakin memburuk apabila individu memiliki alergi atau hipertensi, yang dapat memicu munculnya asma.
    Menggunungnya sampah di Bantargebang tidak dapat dibiarkan tanpa penanganan khusus. Tanpa upaya konkret, usia TPST Bantargebang diperkirakan tidak akan bertahan lama, mengingat fasilitas ini telah beroperasi sejak 1996.
    Pakar Lingkungan Universitas Indonesia, Mahawan Karuniasa menilai, salah satu cara memperpanjang usia TPST Bantargebang adalah dengan mengurangi beban sampah yang masuk.
    “Kemudian, strategi memperpanjang tentu saja agar TPST itu terus dapat menampung sampah tentu saja yang pertama kita harus lihat dari hulunya, bagaimana mengurangi 7.000 ton per hari itu yang masuk ke Bantar Gebang,” ungkap Mahawan.
    Pengurangan beban tersebut dapat dilakukan dengan pemilahan sampah sejak dari rumah tangga. Sampah yang telah dipilah kemudian dapat diolah melalui metode 3R (
    Reduce, Reuse,
    dan
    Recycle)
    .
    Dengan pemilahan dan penerapan 3R, jumlah sampah yang dikirim ke Bantargebang diyakini akan berkurang secara signifikan.
    Praktik inilah yang selama ini dilakukan Andi dan para karyawannya dengan memilah limbah plastik yang masih memiliki nilai ekonomi.
    Selain memberi manfaat ekonomi, usaha tersebut turut membantu mengurangi volume sampah di Bantargebang.
    Mahawan menilai pemerintah perlu membuat regulasi yang jelas untuk mengatasi persoalan sampah yang terus menggunung.
    “Saya kira dengan regulasi yang ada pun pelaksanaannya kita arahkan untuk menjaga agar berapa pun jumlah sampah itu bisa seimbang dengan pemrosesannya,” kata dia.
    Menurut Mahawan, regulasi yang telah dibuat juga harus diikuti dengan implementasi yang konsisten serta dukungan dari DPRD dan gubernur.
    Anggota Komisi D DPRD Provinsi DKI Jakarta dari Fraksi PSI, Bun Joi Phiau, menyatakan persoalan Bantargebang telah lama menjadi perhatian legislatif.
    “Persoalan Bantargebang menjadi permasalahan yang selalu menjadi perhatian kami di DPRD DKI Jakarta. Namun, akar permasalahannya terletak di jumlah sampah yang dihasilkan oleh Jakarta,” ungkap Bun.
    Ia menyebutkan, berdasarkan data Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pada 2019, lebih dari 1.300 truk mengangkut lebih dari 7.000 ton sampah dari Jakarta ke Bantargebang setiap hari.
    Kondisi tersebut membuat tumpukan sampah di Bantargebang kian meninggi hingga setara gedung 16 lantai.
    DPRD DKI Jakarta menilai, tumpukan sampah setinggi itu berpotensi menimbulkan berbagai risiko, termasuk longsor yang dapat membahayakan pekerja dan warga sekitar.
    “Perihal ini, kami meminta Pemprov DKI untuk memonitor ketahanan tanggul-tanggul yang dibangun di sekitar Bantar Gebang. Semua bagiannya harus dicek secara berkala,” tutur Bun.
    Ia menegaskan, apabila ditemukan keretakan atau kerusakan, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta harus segera melakukan perbaikan.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Risiko Maut Sopir Truk Sampah di Bantargebang: Kelelahan dan Terpapar Gas Metana
                
                    
                        
                            Megapolitan
                        
                        16 Desember 2025

    Risiko Maut Sopir Truk Sampah di Bantargebang: Kelelahan dan Terpapar Gas Metana Megapolitan 16 Desember 2025

    Risiko Maut Sopir Truk Sampah di Bantargebang: Kelelahan dan Terpapar Gas Metana
    Tim Redaksi

    BEKASI, KOMPAS.com –
    Antrean truk sampah yang mengular berjam-jam di
    TPST Bantargebang
    , Bekasi, Jawa Barat, bukan sekadar persoalan teknis pengelolaan sampah.
    Di balik kemacetan ritase dan gunungan sampah yang menjulang puluhan meter, tersimpan
    risiko kesehatan
    serius yang mengancam para sopir truk—mereka yang setiap hari berada di garis depan krisis sampah Jakarta.
    Paparan polutan, gas metana, jam kerja yang panjang, serta kurang tidur menempatkan para sopir pada risiko penyakit kronis, mulai dari gangguan paru-paru, hipertensi, hingga stroke.
    Ancaman ini tidak hanya bersifat jangka panjang, tetapi juga dapat berujung fatal dalam waktu singkat. Risiko tersebut bukan sekadar asumsi.
    Pakar penyakit dalam Universitas Indonesia, Ari Fahrial Syam, menjelaskan kondisi kerja
    sopir truk sampah
    —khususnya di Bantargebang—merupakan kombinasi faktor berbahaya bagi kesehatan, baik jangka pendek maupun jangka panjang.
    “Dia (sopir) mudah mengalami infeksi ya, kemudian juga tentu dalam tidur kurang dalam. Waktu jangka panjang akan menjadi stresnya sendiri, yang ini juga akan bisa menyebabkan berbagai macam potensi penyakit,” ujar Ari Fahrial saat dihubungi
    Kompas.com,
    Jumat (12/12/2025).
    Menurut Ari Fahrial, tubuh manusia memiliki ritme kerja ideal. Dalam kondisi normal, seseorang membutuhkan waktu tidur enam hingga delapan jam per hari agar fungsi organ tetap optimal.
    “Sejatinya seorang itu tidur secara normal itu enam jam, enam sampai delapan jam ya. Kemudian delapan jam itu untuk aktivitas berat, kemudian delapan jam berikutnya untuk aktivitas ringan. Jadi boleh dibilang itu dibagi tiga sebenarnya,” jelas dia.
    Namun, pola tersebut nyaris mustahil dijalani oleh sopir truk sampah di Bantargebang. Jam kerja yang panjang, antrean hingga belasan jam, serta tuntutan kembali bekerja keesokan harinya membuat waktu istirahat terpangkas drastis.
    “Kalau kita lihat bahwa para sopir truk ini bekerja dengan jam sangat panjang, kurang tidur, nah ini tentu akan mengaruhi keadaan tubuhnya, kesehatannya secara keseluruhan,” kata Ari.
    Dalam jangka panjang, kelelahan kronis berpotensi memicu berbagai penyakit, terutama bagi mereka yang memiliki faktor bawaan atau penyakit penyerta.
    “Apalagi kalau dia punya bakat atau sudah ada faktor genetik untuk hipertensi. Orang-orang dengan tidur yang kurang, kecapekan, kelelahan tentu juga akan mengaruhi. Kalau dia punya penyakit kronis misalnya gula darah yang tidak terkontrol,” ujar dia.
    Kondisi tersebut, lanjut Ari Fahrial, dapat berujung fatal.
    “Kalau hipertensi tadi mungkin bisa menjadi stroke misalnya seperti itu,” kata dia.
    Selain kelelahan, ancaman lain yang mengintai sopir truk sampah adalah
    paparan gas metana
    dan polutan dari timbunan sampah yang komposisinya tidak diketahui secara pasti.
    “Bicara soal sampah berbahaya, sekali lagi kita juga enggak tahu ya komponennya itu ya. Tapi yang jelas ketika dia terpapar dengan sampah, gas metana, segala macam, itu tentu yang akan terganggu adalah paru-parunya,” ujar Ari.
    Paparan jangka panjang berisiko memicu gangguan pernapasan serius.
    “Dia bisa mengalami yang kita bilang penyakit paru obstruksi kronis. Bisa saja kalau dia memang ada faktor unsur alergi atau hipersensitif, dia akan mengalami asma,” kata dia.
    Namun, bagi pekerja yang terpapar secara terus-menerus, risiko penyakit paru kronis menjadi jauh lebih besar. Ia menekankan pentingnya penggunaan alat pelindung diri, seperti masker, untuk meminimalkan paparan gas metana dan polutan.
    “Seharusnya yang bersangkutan harus dilengkapi dengan masker, sehingga dia tidak terpapar langsung dari gas metana dan polutan,” katanya.
    Ari juga menyoroti bahaya
    microsleep
    , yakni kondisi tertidur singkat tanpa disadari akibat kelelahan ekstrem.
    “Benar, risiko
    microsleep
    juga cukup tinggi. Kita tahu banyak kasus-kasus yang terjadi di jalanan, terutama pada para pengendara kendaraan umum, misalnya bus,” ujar dia.
    Fenomena ini, kata Ari, kerap berujung fatal. Ia menjelaskan, seseorang bisa tiba-tiba tertidur dalam waktu sangat singkat tanpa kendali, kondisi yang kerap berujung fatal dan umumnya terjadi akibat kurangnya waktu istirahat. Selain itu, dehidrasi turut memperburuk kondisi fisik sopir.
    Ia menyimpulkan, risiko kesehatan sopir truk sampah tidak bisa dipandang sepele.
    “Jangka pendek pasien itu akan terpapar dengan banyak penyakit. Jangka panjang tentu bisa saja terjadi gangguan-gangguan kesehatan secara umum,” kata dia.
    Ancaman kesehatan itu dirasakan langsung oleh Santo (bukan nama sebenarnya) (39), sopir truk sampah asal Jakarta Selatan yang telah bekerja sejak 2019.
    Menurut Santo, antrean panjang di TPST Bantargebang merupakan bagian dari rutinitas harian.
    “Cepatnya-cepatnya itu empat jam itu sudah lumayan, Bu, bagi kita ada istirahatnya,” ujar Santo saat dihubungi
    Kompas.com.
    Namun, antrean sering kali jauh lebih panjang.
    “Masuk jam 09.00 pagi, pernah saya alami pulang jam 04.00 pagi,” katanya.
    Santo menyebut antrean belasan jam terjadi hampir setiap hari, terutama sebelum kondisi dinilai lebih “kondusif” dalam beberapa hari terakhir.
    “Setiap hari memang kayak gini antriannya,” ujar dia.
    Penyebabnya beragam, mulai dari hujan, kendala alat berat, hingga keterbatasan zona pembuangan.
    “Ketinggian sampahnya sudah enggak layak, sudah tinggi banget. Sudah enggak ada lagi tempat space buat buang sampah,” kata Santo.
    Selama menunggu giliran bongkar muatan, Santo dan sopir lain kerap bertahan di atas truk. Biasanya ia menunggu sambil tertidur, merokok, ataupun makan. Ia mengaku jam kerja bisa mencapai 24 jam tanpa jeda.
    “Iya, betul,” katanya singkat.
    Kondisi antrean tersebut dibenarkan oleh Andi (33), pengepul plastik di kawasan Bantargebang.
    “Iya benar antre truk itu 24 jam setiap harinya,” kata Andi.
    Menurut dia, akar persoalannya adalah keterbatasan ruang pembuangan.
    “Zona tempat pembuangan sampahnya sudah sempit,” ujarnya.
    Andi menyebut adanya informasi soal perluasan area, namun belum terealisasi.
    “Katanya sudah ada beberapa tempat yang dibeli Jakarta, tapi entah kenapa belum direalisasi,” katanya.
    Sementara itu, Roni (bukan nama sebenarnya) (50), petugas di TPST Bantargebang, menjelaskan bahwa sistem pembuangan dilakukan berdasarkan zona.
    “Kalau zona satu sudah penuh, dicari lagi zona lain. Gitu terus,” ujarnya.
    Ia juga mengungkap penyebab longsor yang sempat memperparah kondisi.
    “Terakhir penyebab longsor itu ada hubungannya dengan pemulung. Mereka naik ke atas, ngumpulin sampah, lalu digelindingin. Itu bikin tumpukan sampah di bawahnya geser dan akhirnya longsor,” kata Roni.
    Risiko kesehatan yang dihadapi sopir truk sampah menjadi nyata ketika Yudi (51), sopir asal Jakarta Selatan, meninggal dunia pada Jumat (5/12/2025) usai bekerja lembur. Rekan sesama sopir, Fauzan (46), mengatakan Yudi mengalami akumulasi kelelahan.
    “Waktu kerjanya bisa lebih dari yang dikontrakkan delapan jam,” kata Fauzan.
    Sehari sebelum meninggal, Yudi mulai bekerja sejak pukul 05.00 WIB dan baru keluar dari TPST Bantargebang pukul 19.04 WIB setelah mengantre sekitar delapan jam.
    “Tiga hari nongkrong di sana sambil nunggu bertugas lagi, buat
    recovery
    ,” ujar Fauzan.
    Namun, pada dini hari, Yudi mendadak sesak napas dan kejang sebelum akhirnya meninggal dunia di rumah sakit.
    Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung menyatakan almarhum Yudi terindikasi memiliki penyakit jantung.
    “Memang yang bersangkutan juga pun terindikasi ada penyakit jantung,” ujar Pramono, Senin (8/12/2025).
    Menurut Pramono, keluarga almarhum telah menerima santunan maksimal dari dinas terkait dan BPJS Ketenagakerjaan.
    Sementara itu, Dinas Lingkungan Hidup (DLH) DKI Jakarta menyatakan akan memperkuat protokol keselamatan serta membenahi pola pengangkutan sampah.
    “Semakin lama truk menunggu, semakin tinggi risiko keselamatan karena faktor kelelahan pengemudi,” kata Kepala DLH DKI Jakarta, Asep Kuswanto.
    DLH berjanji menata ulang jadwal pengangkutan, memperbaiki manajemen antrean, serta mewajibkan pemeriksaan kesehatan rutin bagi petugas lapangan.
    Peristiwa wafatnya Yudi menjadi pengingat keras bahwa krisis sampah Jakarta tidak hanya berdampak pada lingkungan, tetapi juga menyangkut keselamatan dan nyawa manusia yang setiap hari bekerja menjaga kota tetap bersih.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Nestapa Sopir Truk Sampah Bertahan Belasan Jam, Terjebak Antrean Bantargebang
                
                    
                        
                            Megapolitan
                        
                        15 Desember 2025

    Nestapa Sopir Truk Sampah Bertahan Belasan Jam, Terjebak Antrean Bantargebang Megapolitan 15 Desember 2025

    Nestapa Sopir Truk Sampah Bertahan Belasan Jam, Terjebak Antrean Bantargebang
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Di tengah gunungan sampah Bantargebang, Bekasi, Jawa Barat, antrean truk berwarna oranye terlihat mengular panjang.
    Antrean truk
    itu terjadi di zona empat titik pembuangan sampah
    Bantargebang
    sekitar pukul 15.00 WIB, Jumat (12/12/2025).
    Jumlah truk yang mengantre terlihat terus bertambah setiap menitnya.
    Mereka membawa sampah dari Jakarta dengan kapasitas penuh yang ditutup terpal agar tidak beterbangan.
    Antrean truk terjadi karena para sopir mencari titik paling aman untuk menurunkan muatan sampahnya.
    Sebab, hampir semua lokasi di Bantargebang sudah dipenuhi sampah yang menggunung.
    Salah satu sopir, Hendra (bukan nama sebenarnya, 37) mengaku, dalam beberapa bulan terakhir antrean truk di Bantargebang memang selalu terjadi.
    “Iya, benar itu semenjak dari tiga bulan lalu, itu kita harus menunggu belasan jam atau lebih dari 10 jam ada,” kata Hendra ketika diwawancarai Kompas.com, Jumat.
    Mengantre hingga belasan jam untuk membuang muatan sampah, membuat para
    sopir truk
    kerap kali beroperasi melebihi jam kerja.
    Imbasnya, banyak sopir truk yang tak memiliki waktu untuk istirahat cukup sampai sakit bahkan meninggal dunia.
    Salah satunya Yudi (51),
    sopir truk sampah
    dari Jagakarsa, Jakarta Selatan, yang tumbang pada Jumat (5/12/2025).
    Kematian Yudi menuai sorotan banyak orang termasuk Gubernur Jakarta Pramono Anung.
    Ia bilang, penyebab meninggalnya sopir itu karena mengalami penyakit jantung.
    Kendati demikian, Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Provinsi Jakarta berjanji ke depannya akan mengevaluasi sistem pengangkutan sampah di Bantargebang.
    Mereka akan menata ulang pola dan jadwal pengangkutan sampah dari lima wilayah kota di Jakarta agar tidak terjadi antrean yang membuat sopir kelelahan.
    Namun, fakta di lapangan antrean truk di Bantargebang masih terjadi dan membuat sopir menunggu hingga belasan jam.
    “Masih antre, kemarin saya masuk jam 15.00 WIB sore, kebuang jam 03.00 WIB pagi, terus jam 08.30 WIB mulai muat lagi karena menunggu alat berat di lokasi, sekarang jam 15.00 WIB udah di Bantargebang lagi, ini juga belum sempat pulang,” jelas Hendra.
    Antrean belasan jam itu membuat para sopir truk kerja selama 24 jam non-setop dan tak sempat pulang ke rumah, bahkan untuk sekadar mandi.
    Hendra mau tidak mau bekerja dengan kondisi badan yang sudah semakin lengket dan baju kotor imbas terkena sampah.
    Selain bekerja dalam kondisi tidak mandi, antrean truk belasan jam itu membuat para sopir terpaksa mengisi perut di tengah gunungan sampah.
    Aroma bau busuk menyengat tak memengaruhi nafsu makan para sopir truk yang harus mengisi tenaga karena antrean truk masih panjang.
    Makanan-makanan itu mereka beli dari para pedagang yang berkeliling di sekitar area Bantargebang.
    Sementara Hendra memilih untuk menyantap masakan istrinya yang dibawa dari rumah.
    Menunggu belasan jam untuk sekadar membuang muatan sampah membuat para sopir sering terkurung di dalam truk.
    “Kalau itu tergantung cuaca, kalau misalkan lagi hujan kemungkinan sopir terpenjara dalam mobil, kalau samping ada warung tenda kecil kita ke sana,” ucap dia.
    Namun, tidak semua zona pembuangan sampah di Bantargebang terdapat warung tendaan untuk para sopir truk beristirahat.
    Jika tak ada warung, mereka terpaksa harus menunggu di dalam truk sampah yang dikendarainya.
    Sopir akan semakin tersiksa jika tak membawa bekal dan tidak memiliki uang.
    Sebab mereka terpaksa harus menahan rasa lapar selama belasan jam di dalam truk sampahnya itu.
    Mengingat dari pihak Bantargebang tak pernah menyediakan makanan atau minuman untuk para sopir yang harus antre belasan jam.
    Tak hanya lelah secara fisik, pengeluaran uang para sopir truk juga lebih ekstra ketika harus menunggu antrean belasan jam.
    Pasalnya, mereka harus membeli makanan dan minuman, karena perbekalannya dari rumah hanya cukup untuk makan satu kali.
    “Iya, pengeluaran jadi ekstra karena harus beli makan dan minum. Biasanya, uang bisa sampai Rp 100.000 ke atas, kalau makan Rp 15.000 tiga kali udah berapa itu kalau diirit-irit,” ujar Hendra.
    Di tengah pengeluaran yang ekstra, para sopir truk tak mendapat uang lembur, meski harus belasan jam mengantre di Bantargebang.
    Hal itu lah yang membuat mereka harus putar otak dalam mengelola gaji yang diterima per bulan.
    “Kalau soal gaji mau gimana lagi, kita pas-pasin aja buat di dapur. Abis gimana kita kan harus jalanin harus teriak ke mana, mau ngadu ke mana percuma,” kata Hendra.
    Sopir truk lain, Santo (bukan nama sebenarnya, 39) juga mengaku, pengeluaran uangnya lebih banyak karena antrean pembuangan sampah di Bantargebang mencapai belasan jam.
    Di tengah pengeluarannya yang meningkat, Santo mengeluhkan gajinya yang tak kunjung naik.
    “Untuk saat ini saya nerima di rekening itu Rp 7,5 juta. Jadi, enggak ada tunjangan-tunjangan lain, cuma itu doang,” ujar dia.
    Santo berharap, agar para sopir bisa mendapat pesangon ketika sudah tidak lagi dipekerjakan oleh Dinas Lingkungan Hidup (DLH) DKI Jakarta.
    Pasalnya, meski pendapatannya sudah di atas UMR Jakarta, para sopir merasa gajinya tetap pas-pasan di tengah risiko pekerjaan yang tinggi dan jarang pulang ke rumah.
    Kemudian, Santo juga berharap jalan di Bantargebang segera diperbaiki agar aman dilintasi para sopir truk, sebab banyak akses yang rusak dan licin yang berpotensi membahayakan.
    “Emang semua harapan sopir truk itu. Pengin diperbaiki jalannya, karena menyiksa,” ujar dia.
    Lalu, ia juga meminta agar landfill atau zona untuk membuang sampah bisa dibuat rata dan tidak miring agar tak membahayakan sopir truk.
    Sebab, jika sopir truk membongkar muatan sampah di area landfill yang miring maka kendaraan mereka berpotensi terbalik.
    Pengamat perkotaan Universitas Indonesia (UI) Muh Aziz Muslim menilai, antrean truk menunjukkan bahwa kuantitas sampah Jakarta terus bertambah di tengah kapasitas TPST Bantargebang yang sudah melebihi batas.
    Di sisi lain, infrastruktur TPST yang kurang memadai, seperti jalan rusak, landfill yang sudah penuh juga jadi penyebab terjadinya antrean truk yang mau membuang sampah di Bantargebang mencapai belasan jam.
    “Kondisi ini tentu membutuhkan adanya skenario ya bagaimana kapasitas landfill yang terbatas ya dan infrastruktur yang juga mengalami kerusakan itu dapat diselesaikan,” ujar Aziz.
    Untuk mengatasi persoalan itu maka diperlukan perbaikan dari hulu ke hilir.
    Perbaikan di hulu bisa dimulai dari rumah dan kawasan industri dengan menerapkan prinsip 3R (reduce, reuse, recycle) itu nanti akan meringankan beban TPA-nya.
    Dengan berkurangnya volume sampah yang masuk maka permasalahan landfill yang melebihi kapasitas di Bantargebang bisa teratasi.
    Kemudian, infrastruktur jalan di Bantargebang juga tidak akan mudah lagi rusak jika volume sampah yang masuk bisa berkurang secara signifikan.
    Aziz juga menyeroti perihal keselamatan kerja para sopir truk yang melakukan bongkar muat sampah di Bantargebang.
    “Kalau terkait dengan keselamatan kerja bagaimana pemerintah memperlakukan sopir truk sampah. Undang-undangnya jelas, terkait dengan masalah Undang-Undang Ketenagakerjaan kita,” jelas dia.
    Dalam Undang-undang itu, diatur bagaimana penetapan jam kerja, kewajiban, hingga hak-hak para pekerja atau sopir truk.
    “Ini mesti diperhatikan apakah hak-haknya sudah diperhatikan, standar keselamatan kerja sudah diperhatikan atau belum, dan kita melihat kondisi truk serta fasilitas kerja yang mereka miliki juga mesti menjadi perhatian,” kata Aziz.
    Selain itu, pemerintah juga diminta memperhatikan bagaimana mekanisme atau manajemen antrean truk sampah di Bantargebang agar bisa diperpendek dan diperbaiki.
    Jangan sampai, kata Aziz, mekanisme antrean yang buruk justru membuat sopir truk menjadi korban lagi karena tak memiliki waktu istirahat yang cukup.
    Dampak
    kesehatan
    Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam Universitas Indonesia Prof. Dr Ari Fahrial Syam menilai, antrean pembuangan sampah di Bantargebang yang mencapai belasan jam tentu saja akan membuat para sopir truk kekurangan jam istirahat.
    Padahal, idealnya dalam satu hari seseorang harus tidur sekitar enam hingga delapan jam, delapan jam lainnya bisa digunakan untuk melakukan aktivitas berat dan delapan jam lagi untuk melakukan aktivitas ringan.
    “Nah, kalau kita lihat bahwa para sopir truk ini bekerja dengan jam sangat panjang, kurang tidur, nah ini tentu akan memengaruhi keadaan tubuhnya, kesehatannya secara keseluruhan,” ungkap Ari.
    Kondisi semakin buruk karena para sopir truk mengantre di tengah gunungan sampah sehingga tanpa sadar terpapar dengan polutan dan gas metana.
    Jadi, sudah seharusnya para sopir truk menggunakan alat pelindung diri (APD) seperti masker, sehingga tidak terpapar polutan dan gas metana secara langsung.
    Pasalnya, paparan polutan dan gas metana dari tumpukan sampah berpotensi meningkatkan risiko sopir mengalami micro sleep.
    Jika micro sleep itu terjadi, maka akan berpotensi fatal untuk para sopir truk karena bisa menyebabkan kecelakaan.
    Kurang tidur dalam jangka waktu panjang juga membuat para sopir truk mudah mengalami infeksi dan meningkatkan stres.
    “Apalagi kalau dia punya bakat atau sudah ada faktor genetik untuk hipertensi, mungkin hipertensi orang-orang dengan tidur yang kurang, kecapekan, kelelahan tentu juga akan memengaruhi kalau dia punya penyakit kronis misalnya gula darah yang tidak terkontrol ya. Kalau hipertensi tadi mungkin bisa menjadi stroke misalnya seperti itu,” ucap dia.
    Sementara untuk paparan gas metana dan polutan dari sampah dalam jangka panjang bisa membuat paru-paru para sopir truk bermasalah.
    Misalnya, seperti penyakit paru obstruksi kronis, asma, dan lain sebagainya.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Poin Lengkap Aksi Guru Besar yang Disesalkan Kemenkes di Tengah Bencana Sumatera

    Poin Lengkap Aksi Guru Besar yang Disesalkan Kemenkes di Tengah Bencana Sumatera

    Jakarta

    Kementerian Kesehatan buka suara terkait seruan dan orasi sejumlah guru besar di UI Salemba, Jakarta Pusat, Selasa (2/12/2025). Salah satu hal yang disesalkan adalah momen seruan dinilai tidak tepat lantaran digelar di tengah bencana Sumatera.

    “Di tengah bencana seperti ini, prioritas kita satu, membantu warga yang terdampak. Sangat disayangkan jika ada pihak yang justru membangun polemik di ruang publik,” beber Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kemenkes RI Aji Muhawarman, dalam keterangan tertulis yang diterima detikcom Selasa (5/12/2025).

    Aji menilai kapasitas intelektual dan pengalaman para guru besar mestinya bisa menjadi motor penguatan respons bencana, bukan menambah kegaduhan.

    “Keilmuan para guru besar itu sangat berharga. Akan jauh lebih bermakna jika diarahkan untuk memperkuat kapasitas daerah dalam penyelamatan nyawa, evakuasi, hingga pelayanan medis,” lanjutnya.

    Berikut poin lengkap yang diserukan para guru besar dalam orasinya:

    Majelis Guru Besar Kedokteran Indonesia (MGBKI) menyampaikan lima poin seruan terkait tata kelola pendidikan kedokteran dan mutu layanan kesehatan. Berikut rangkuman tiap poinnya:

    1. Dukungan soal Pemerataan Layanan Kesehatan

    MGBKI menyatakan mendukung langkah pemerintah memperluas akses layanan kesehatan, termasuk pemerataan dokter spesialis. Namun perluasan ini dinilai harus dijalankan tanpa menurunkan mutu pendidikan kedokteran dan keselamatan pasien.

    Prof Yudhi Maulana Hidayat, Ketua Kolegium Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI) yang juga Dekan FK Universitas Padjajaran (Unpad) mengungkap 80,7 persen dokter spesialis terkonsentrasi di kota-kota besar.

    “Untuk bidang obgyn, datanya jelas. Jakarta, Bogor, Bekasi penuh. Kenapa? Mereka takut kehilangan emas monas, takut kalah sama Bandung,” kata Prof Yudhi.

    Hal yang dimaksud dengan ’emas monas’ adalah peluang ekonomi, fasilitas lengkap, dan kenyamanan bekerja yang membuat dokter enggan keluar dari pusat kota. “Ambon bahkan tidak punya satu pun dokter obgyn. Satu pun nggak ada,” tegasnya.

    “Jadi itu tugasnya Menteri Kesehatan. Artinya kita sepakat distribusi dokter spesialis ini buruk. Daerah terpencil, terluar, masih kosong,” sorot Prof Yudhi.

    2. Usulan Reformasi Kolegium

    MGBKI menilai kolegium merupakan bagian vital dalam menjaga standar kompetensi dan etika profesi. Karena itu, mereka mendorong penataan ulang kolegium agar tetap independen, akuntabel, terhubung erat dengan universitas, serta bekerja sinergis dengan kementerian terkait.

    “Dalam sebuah unggahan medsos, saat acara pelantikan para ketua kolegium kemenkes, Menkes menyatakan ketua dipilih secara demokratis, tetapi fakta di lapangan berkata sebaliknya, banyak ketua yang ditunjuk tanpa proses pemilihan yang sah dan kualifikasi akademik,” beber Prof Zainal Muttaqin dalam kesempatan yang sama.

    3. Seruan Mahkamah Konstitusi soal Putusan UU Kesehatan

    Menjelang putusan MK terkait ketentuan kolegium, MGBKI meminta agar pertimbangan dipusatkan pada keselamatan pasien, mutu layanan, serta integritas kelembagaan pendidikan kedokteran. Putusan MK dinilai akan menjadi rujukan penting bagi arah reformasi kesehatan.

    4. Dorongan Sinkronisasi Sejumlah Pihak

    MGBKI menekankan perlunya koordinasi lintas kementerian dalam penyediaan tenaga medis. Rekonsiliasi kewenangan juga hubungan harmonis antara sektor pendidikan tinggi dan sektor layanan kesehatan dianggap penting agar dokter spesialis dapat dipenuhi tanpa mengorbankan kompetensi.

    Hal ini yang juga diutarakan Dekan FK UI Prof Ari Fahrial Syam. Hubungan antara fakultas kedokteran dan rumah sakit pendidikan wajib harmonis. Jika renggang, dampaknya disebut bisa langsung terasa, mulai dari berkurangnya jumlah dokter spesialis yang dihasilkan hingga masalah distribusi dokter di berbagai daerah.

    “Hubungan baik itu harus ada antara FK dan RS. Jadi kalau hubungan antara dekan dan direktur RS tidak baik, ini salah siapa? Salah menterinya. Dulu nggak ada masalah, kenapa ganti menteri jadi bermasalah?” beber Prof Ari dalam konferensi pers Selasa (5/11/2025) yang dihadiri lebih dari 20 guru besar sejumlah FK di Indonesia.

    Ia menyebut persoalan ini harus segera dibereskan karena Indonesia tengah menghadapi krisis dokter spesialis.

    5. Merawat Marwah Profesi Kedokteran

    MGBKI mengajak seluruh pihak menjaga integritas dan etika profesi kedokteran. Kebijakan kesehatan, menurut mereka, harus selalu berbasis ilmu yang kuat dan nilai kemanusiaan.

    Di akhir pernyataan, para guru besar tersebut juga meminta Presiden membuka ruang dialog dengan para guru besar demi memastikan transformasi kesehatan berjalan kokoh, bermutu, dan mengutamakan keselamatan rakyat.

    “Dengan penuh rasa hormat dan tanggung jawab akademik, MGBKI berseru kepada Bapak Presiden Republik Indonesia untuk membuka pintu bagi kami untuk memberikan masukan secara langsung agar reformasi pembangunan kesehatan berjalan kokoh, bermutu, dan berlandaskan ilmu. Melalui transformasi kesehatan yang berjalan, program diarahkan dengan mengutamakan manusia dan menempatkan manusia yang bermartabat. Kami sangat berharap permohonan kali ini mendapatkan respons positif Bapak Presiden,” tutupnya.

    Halaman 2 dari 3

    Simak Video “Video: 286 SPPG Disiapkan untuk Korban Bencana Alam di Aceh-Sumbar”
    [Gambas:Video 20detik]
    (naf/kna)

  • Distribusi Dokter Tak Merata, Guru Besar FKUI Ramai-ramai Tuding Menkes

    Distribusi Dokter Tak Merata, Guru Besar FKUI Ramai-ramai Tuding Menkes

    Jakarta

    Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Prof Ari Fahrial Syam menegaskan hubungan antara fakultas kedokteran dan rumah sakit pendidikan wajib harmonis. Jika renggang, dampaknya bisa langsung terasa, mulai dari berkurangnya jumlah dokter spesialis yang dihasilkan hingga masalah distribusi dokter di berbagai daerah.

    “Hubungan baik itu harus ada antara FK dan RS. Jadi kalau hubungan antara dekan dan direktur RS tidak baik, ini salah siapa? Salah menterinya. Dulu nggak ada masalah, kenapa ganti menteri jadi bermasalah?” beber Prof Ari dalam konferensi pers Selasa (5/11/2025) yang dihadiri lebih dari 20 guru besar sejumlah FK di Indonesia.

    Ia menyebut persoalan ini harus segera dibereskan karena Indonesia tengah menghadapi krisis dokter spesialis.

    Prof Ari kemudian menyinggung kasus seorang ibu di Papua yang meninggal saat akan melahirkan, sebuah tragedi yang menurutnya menggambarkan nyata persoalan distribusi dokter spesialis di lapangan.

    “Empat rumah sakit, semuanya kekurangan. Ada satu RS yang tersedia dokter obgyn dan anastesi. Tapi tidak bisa kelas 3, syaratnya harus masuk VIP,” sorot Prof Ari.

    Ia mencontohkan situasi di Jakarta sebagai perbandingan.

    “Di sini saja dokter obgyn bisa puluhan. Di RSCM ada berapa? Tapi begitu bicara distribusi, masalahnya kelihatan. Masih ada provinsi yang bahkan tidak punya layanan endoskopi,” sebutnya.

    Menurutnya, akar masalah bukan sekadar teknis. Ada aspek kebijakan yang dinilai tak beres.

    “Kalau ditanya siapa yang salah, Kemenkes mau nggak disalahin?” katanya setengah berkelakar.

    Meski begitu, Prof Ari menegaskan hubungan FKUI dengan RSCM saat ini masih baik.

    “Insyaallah baik-baik saja. Saya masih diundang teman-teman RSCM. Kalau bicara pendidikan staf pengajar, teman-teman itu berhubungan dengan Ketua Departemen. Kadep itu dari rumah sakit. Jadi kuncinya ada di departemen FKUI.”

    Tapi baik saja, menurutnya tidak cukup. Ia mengingatkan sinergi harus terus dijaga agar proses pendidikan dokter spesialis berjalan lancar.

    “Apakah peserta didik bisa ditempatkan dengan baik? Selama ini komunikasinya masih berjalan,” katanya.

    Meski relatif baik, ia juga mengakui adanya gesekan di level pimpinan. “Hubungannya dingin-dingin empuk antara dekan dengan direkturnya. Ini harus segera dicari solusinya. Kalau tidak, kasus-kasus seperti ibu yang meninggal itu akan terulang lagi,” ujarnya.

    Dampak dari hubungan tak harmonis dinilai Prof Ari bisa ikut berimbas pads jumlah peserta didik berkurang, jumlah lulusan menurun, dan ujungnya masyarakat tidak mendapatkan pelayanan dokter spesialis yang layak.

    “FK memproduksi dokter spesialis, RS adalah tempat pendidikannya. Kalau hubungannya tidak harmonis, ya jumlah dokter spesialis berkurang. Masyarakat yang dirugikan,” kata Prof Ari.

    Ia menekankan perlunya duduk bersama antara fakultas kedokteran dan rumah sakit pendidikan untuk memastikan RS dapat berjalan optimal sebagai lahan pendidikan. Tanpa itu, penguatan SDM medis hanya akan jadi wacana.

    Prof Ari menutup dengan refleksi pengalamannya dua dekade lalu.

    “Dua puluh tahun lalu saya ke Singapore General Hospital hanya untuk melihat fasilitas endoskopi. Indonesia seharusnya sudah jauh lebih maju sekarang, tapi kita masih berkutat pada masalah relasi lembaga yang seharusnya bisa diselesaikan,” tutupnya.

    Ketimpangan distribusi dokter spesialis bukan sekadar isu administratif, angka-angkanya memprihatinkan. Prof Yudhi Maulana Hidayat, Ketua Kolegium Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI) dalam kesempatan yang sama mengungkap bahwa 80,7 persen dokter spesialis terkonsentrasi di kota-kota besar.

    “Untuk bidang obgyn, datanya jelas. Jakarta, Bogor, Bekasi penuh. Kenapa? Mereka takut kehilangan emas monas, takut kalah sama Bandung,” kata Prof Yudhi.

    Yang ia maksud dengan ’emas monas’ adalah peluang ekonomi, fasilitas lengkap, dan kenyamanan bekerja yang membuat dokter enggan keluar dari pusat kota.

    Ambon bahkan tidak punya satu pun dokter obgyn. “Satu pun nggak ada,” tegasnya.

    Lalu siapa yang bertanggung jawab atas distribusi ini?

    “Jadi itu tugasnya bos dari pak Dekan, Menteri Kesehatan. Artinya kita sepakat distribusi dokter spesialis ini buruk. Daerah terpencil, terluar, masih kosong,” kata Prof Yudhi.

    Ia menegaskan sektor pendidikan kedokteran dan sektor layanan kesehatan tidak bisa saling lempar tanggung jawab. Ketika hubungan fakultas kedokteran dan rumah sakit pendidikan terganggu, efeknya nyata, kuota peserta didik tersendat, lulusan berkurang, dan daerah-daerah yang sudah kekurangan makin terpuruk.

    Menurut Prof Yudhi, solusi tidak bisa hanya bersandar pada skema yang ada. Salah satu yang ia dorong adalah peningkatan kuota jalur university-based hingga 30 persen.

    “Jangan dipaksakan hospital-based di rumah sakit yang belum siap. Di rumah sakit yang sudah menjalankan pendidikan university-based, kalau dipaksakan juga hospital-based, nanti terjadi tumpang tindih. Ada dualisme pendidikan dalam satu RS pendidikan,” ujarnya.

    Dualisme ini bukan sekadar persoalan administratif. Prof Yudhi meyakini hal ini bisa menabrak standar kompetensi, memecah alur pelatihan, membingungkan peserta didik, dan akhirnya menurunkan kualitas lulusan. Padahal, Indonesia sedang sangat membutuhkan dokter spesialis baru, bukan justru kehilangan kemampuan untuk mencetaknya.

    Halaman 2 dari 4

    Simak Video “Video: AIPKI Menampik Ada ‘Permainan’ di Uji Kompetensi Dokter”
    [Gambas:Video 20detik]
    (naf/up)

  • Guru Besar FKUI Ungkap Strategi Antisipasi Penyakit Pasca Bencana Alam Sumatera

    Guru Besar FKUI Ungkap Strategi Antisipasi Penyakit Pasca Bencana Alam Sumatera

    Jakarta

    Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Prof Ari Fahrial Syam mengungkapkan ada beberapa langkah yang bisa dilakukan sebagai antisipasi merebaknya penyakit pasca bencana alam di utara Sumatera. Paling utama adalah pemberian alat-alat perlindungan diri dari bekas banjir.

    Prof Ari mengungkapkan risiko penyakit pasca bencana alam banyak muncul dari infeksi bakteri akibat kurangnya alat perlindungan bagi korban.

    “Mereka harus dilengkapi dengan alat pelindung diri saat membersihkan bekas banjir, misal dengan sepatu bot, masker, sarung tangan pelindung kepala dan mata. Mengingat bakteri ini bisa masuk dari luka pada kaki dan tangan atau tertelan,” ungkap Prof Ari pada detikcom, Minggu (30/11/2025).

    Prof Ari mengatakan desinfektan juga harus didistribusikan untuk masyarakat. Khususnya, yang akan melakukan pembersihan lokasi pasca banjir.

    Kondisi para pengungsi juga harus dijaga sedemikian rupa. Pemberian makan dan minum yang cukup dan bergizi dapat membantu meningkatkan sistem kekebalan tubuh dalam melawan risiko infeksi yang besar pasca bencana alam.

    Beberapa kebutuhan lain yang perlu dipenuhi meliputi selimut dan alas tidur yang memadai, masker, sabun, dan hand sanitizer untuk menekan risiko penularan infeksi.

    “Kita semua berharap musibah ini cepat berlalu dan kondisi kerusakan bisa segera teratasi, agar masyarakat dapat kembali beraktivitas seperti biasa,” sambungnya.

    Risiko Infeksi Pasca Bencana Alam

    Prof Ari mengungkapkan situasi pasca bencana alam dapat meningkatkan berbagai risiko masalah kesehatan. Ini disebabkan oleh daya tahan tubuh korban yang rendah hingga lingkungan yang sangat mendukung untuk pertumbuhan penyakit.

    “Masyarakat berdampak banjir ini yang umumnya tinggal dengan kondisi lingkungan yang tidak sehat karena pasca banjir berisiko untuk terinfeksi oleh infeksi saluran pencernaan antara lain diare atau demam tifoid,” kata Prof Ari.

    Selain itu, masalah kesehatan yang rentan muncul pasca bencana alam adalah tetanus dan leptospirosis. Infeksi tetanus misalnya, dapat terjadi ketika warga membersihkan lokasi banjir dan mengalami luka, sehingga berpotensi memicu infeksi bakteri clostridium tetani yang banyak dijumpai pada debu dan kotoran hewan.

    Beberapa gejala yang muncul akibat tetanus meliputi kekakuan tangan, badan, dan tengkuk, serta rasa sakit.

    “Kita masih ingat bahwa setelah Tsunami di Aceh dilaporkan banyak kasus masyarakat yang terinfeksi tetanus. Pasien tetanus biasanya terjadi setelah 4-21 hari setelah masuknya kuman ke dalam tubuh,” ungkapnya.

    Halaman 2 dari 2

    (avk/up)

  • Guru Besar FKUI Ungkap Sederet Risiko Kesehatan Pasca Bencana Alam Utara Sumatera

    Guru Besar FKUI Ungkap Sederet Risiko Kesehatan Pasca Bencana Alam Utara Sumatera

    Jakarta

    Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Prof Ari Fahrial Syam menyoroti risiko dampak kesehatan yang dapat dialami korban bencana alam di Utara Sumatera. Seperti yang diketahui, beberapa wilayah seperti di Aceh dan Sumatera Utara tengah terdampak rentetan bencana alam seperti banjir dan tanah longsor.

    Sampai Sabtu (29/11/2025) sore, tercatat ada sekitar 303 orang yang meninggal dunia dari musibah tersebut. Prof Ari menjelaskan bencana ini dapat memicu penurunan daya tahan tubuh korban akibat tingkat stres tinggi, istirahat yang kurang, hingga asupan yang seadanya.

    Menurut Prof Ari, situasi ini dapat meningkatkan risiko berbagai masalah kesehatan, khususnya infeksi.

    “Di satu sisi mereka akan terpapar dengan berbagai penyakit infeksi termasuk infeksi saluran pernafasan atas bahkan sampai terjadi infeksi paru sampai pneumonia,” ungkap Prof Ari pada detikcom, Minggu (30/11/2025).

    “Selain itu, masyarakat berdampak banjir ini yang umumnya tinggal dengan kondisi lingkungan yang tidak sehat karena pasca banjir berisiko untuk terinfeksi oleh infeksi saluran pencernaan antara lain diare atau demam tifoid,” sambungnya.

    Selain itu, risiko penyakit lain yang dapat muncul adalah tetanus dan leptospirosis. Tetanus adalah infeksi bakteri yang menghasilkan racun yang menyerang saraf sehingga menyebabkan kekakuan dan kejang otot, sementara leptospirosis merupakan infeksi bakteri dari air atau tanah terkontaminasi yang dapat menyebabkan demam, nyeri otot, dan gangguan organ.

    Potensi tetanus dapat muncul pada orang-orang yang sedang membersihkan area banjir, lalu terluka atau tertusuk paku yang membuat bakteri clostridium tetani lebih mudah masuk tubuh.

    “Sementara, leptospirosis terjadi karena pasien tertular melalui paparan dengan kotoran tikus. Penyakit leptospirosis juga dikenal dengan penyakit demam kuning. Karena memang pasien dengan leptospirosis ini mengalami demam tinggi, menggigil, mual, muntah dan mata, kulit serta buang air kecil berwarna kuning,” ujar Prof Ari.

    Infeksi leptospirosis sering disebut sebagai hepatitis non-virus. Jika tidak ditangani dengan baik, kondisi ini dapat memicu komplikasi seperti gagal ginjal akut, pankreatitis, meningitis, dan perdarahan.

    Halaman 2 dari 2

    (avk/up)

  • Guru Besar FKUI Beberkan Kelompok Orang yang Berisiko Kena Penyumbatan Usus

    Guru Besar FKUI Beberkan Kelompok Orang yang Berisiko Kena Penyumbatan Usus

    Jakarta

    Sumbatan usus atau ileus obstruksi merupakan kondisi darurat medis yang bisa berakibat fatal jika tidak segera ditangani. Kondisi ini belakangan menjadi sorotan setelah ayah dari YouTuber Jerome, Marojahan Sintong Sijabat, dikabarkan meninggal dunia akibat kondisi tersebut.

    Terkait sumbatan usus, dokter spesialis penyakit dalam yang juga Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FK UI) Prof Ari Fahrial Syam mengatakan kondisi ini bisa terjadi pada siapa saja, namun risikonya meningkat seiring bertambahnya usia.

    Orang dengan kondisi tertentu juga memiliki risiko lebih tinggi, salah satunya pasien dengan kanker atau tumor.

    “Bisa disebabkan karena kanker usus, sumbatan karena kanker, tumor,” ucap Prof Ari saat dihubungi detikcom, Minggu (2/11/2025).

    Selain itu, pasien dengan riwayat operasi di perut, seperti operasi caesar (seksio sesarea) atau laparotomi, juga berisiko mengalami sumbatan akibat perlengketan jaringan di dalam rongga perut.

    Pasien yang memiliki mobilitas terbatas, juga rentan mengalami sumbatan akibat penumpukan kotoran yang mengeras di saluran pencernaan, termasuk juga pasien yang memiliki gangguan pembuluh darah.

    “Bisa itu sumbatan misalnya pada pembuluh darah yang menuju ke usus tersebut sehingga ususnya tersebut relatif ini tidak bergerak.Begitu ya untuk waktu tentu dan sehingga terjadi sumbatan tersebut,” lanjutnya.

    “Dan juga ada beberapa kasus sering ditemukan juga pada hernia inguinalis. Usus itu terperangkap di luar karena hernia tersebut dan akhirnya terjadi sumbatan,” tuturnya.

    Di sisi lain, ia mengimbau untuk tidak menyepelekan nyeri perut yang menetap, terutama bila disertai mual, muntah, kembung, atau kesulitan buang air besar dan buang gas.

    Halaman 2 dari 2

    (suc/kna)

  • Kebiasaan Makan yang Bisa Picu Sumbatan Usus, Hati-hati yang Doyan AYCE

    Kebiasaan Makan yang Bisa Picu Sumbatan Usus, Hati-hati yang Doyan AYCE

    Jakarta

    Sumbatan usus atau ileus obstruksi adalah suatu kondisi usus tersumbat, sehingga tidak ada cairan dan kotoran yang keluar dari anus. Dokter spesialis penyakit dalam yang juga Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Prof Ari Fahrial Syam menyebut kondisi ini sebagai keadaan darurat.

    “Ini memang suatu keadaan emergensi, jadi harus segera ditangani. Kalau tidak, dia (usus) akan bisa saja terjadi perforasi, pecah bocor, atau jadi infeksi yang luas yang akhirnya juga sulit ditangani,” terang Prof Ari saat dihubungi detikcom, Minggu (3/11/2025).

    Ternyata kondisi sumbatan usus ini juga berpengaruh dari pola makan. Prof Ari menyebut diet tinggi lemak dan rendah serat dapat memicu risiko konstipasi atau sembelit, yang nantinya bisa menyebabkan sumbatan dan risiko untuk terjadinya kanker usus besar.

    Menurutnya, makanan pedas tidak menjadi salah satu pemicunya. Tetapi, makanan yang mengandung daging bisa saja berpengaruh.

    “Steak dan makan All You Can Eat (AYCE) yang mengandung daging,” tuturnya.

    Senada dengan Prof Ari, spesialis penyakit dalam dr Aru Ariadno, SpPD-KGEH, menegaskan makanan pedas bukan menjadi salah satu pemicu sumbatan usus. Tetapi, diperlukan pola makan yang seimbang.

    “Komposisinya harus cukup, terutama pada orang-orang dengan gangguan buang air besar disarankan untuk mengonsumsi makanan yang tinggi serat,” jelas dr Aru.

    “Cukupkan minum air putih dan rajin berolahraga,” tambahnya.

    Gejala dari penyumbatan usus ini kerap diabaikan atau tidak jelas. Tetapi, perlu memperhatikan gejala agar bisa ditangani dengan cepat. Tanda atau gejala yang bisa muncul, seperti:

    Kembung.Begah.Mual.Muntah.Nyeri di perut yang hebat.Susah buang air besar.Diare.Sulit buang angin atau kentut.Perut mengeras.

    (sao/kna)

  • Fakta-fakta Seputar Sumbatan Usus, Kondisi yang Bisa Berakibat Fatal

    Fakta-fakta Seputar Sumbatan Usus, Kondisi yang Bisa Berakibat Fatal

    Jakarta

    Kepergian Marojahan Sintong Sijabat, ayah dari YouTuber ternama Jerome Polin, menyisakan duka mendalam bagi keluarga. Ia diketahui mengalami sumbatan usus akibat adanya gumpalan darah beku atau clot sebelum meninggal dunia.

    Sebelum sempat menjalani operasi, kondisi Marojahan sempat menurun drastis. Kondisi kritis tersebut dipicu oleh penemuan clot lain yang menyumbat pembuluh darah menuju paru-paru.

    “Ternyata clot-nya itu ada lagi di pembuluh darah yang menuju paru-paru sehingga paru-parunya tidak bisa mendapatkan oksigen karena jalannya ke paru-parunya tersumbat,” ungkap Chrissie, Ibu Jerome, saat memberikan keterangan di rumah duka Grand Surabaya dilihat dari Channel YouTube milik Jerome.

    Di luar kasus tersebut, sebenarnya apa itu sumbatan usus?

    Dokter spesialis penyakit dalam yang juga Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FK UI) Prof Ari Fahrial Syam menjelaskan sumbatan usus atau istilah medis ileus obstruksi merupakan kondisi darurat saat saluran pencernaan tersumbat, sehingga cairan dan kotoran tidak dapat keluar melalui anus.

    Pasien dengan sumbatan usus biasanya akan mengalami perut kembung, begah, mual, dan muntah hebat. Dalam kasus berat, muntahan bahkan bisa menyerupai kotoran feses, disertai nyeri perut hebat yang tidak mereda.

    Prof Ari menjelaskan penyebab kondisi ini bisa beragam. Sumbatan bisa muncul akibat tumor atau kanker usus, perlengketan pascaoperasi seperti operasi caesar (seksio sesarea) atau laparotomi, hingga kotoran yang terlalu keras dan menumpuk di dalam usus. Kondisi ini sering terjadi pada pasien yang memiliki mobilitas terbatas atau jarang bergerak.

    Selain itu, gangguan pada pembuluh darah yang menuju ke usus juga dapat menyebabkan usus kehilangan fungsi geraknya, sehingga terjadi penyumbatan.

    “Ini memang suatu keadaan emergensi. Jadi harus segera ditanganin. Kalau tidak, dia akan bisa saja terjadi perforasi, pecah bocor, atau jadi infeksi yang luas yang akhirnya juga sulit ditanganin,” sambungnya.

    “Kondisi ini sebenarnya umum. Artinya di rumah sakit selalu saja ada kasus-kasus yang datang dengan kondisi obstruksi usus ini. Tapi dengan diagnosis yang tepat dan pasien juga tidak terlambat datang ke rumah sakit biasanya bisa ditanganin,” lanjutnya.

    Penanganan sumbatan usus

    Adapun penanganan utama dilakukan melalui operasi laparotomi untuk menghilangkan penyumbatan. Jika penyebabnya tumor, maka tumor diangkat. Begitu juga bila disebabkan oleh perlengketan, maka jaringan yang menempel akan diperbaiki. Sementara pada usus yang sudah mengalami nekrosis (jaringan mati), bagian tersebut perlu dipotong dan dibuang.

    Kasus serupa juga dapat terjadi akibat hernia inguinalis, yaitu ketika sebagian usus terjebak di luar rongga perut dan menyebabkan sumbatan. Prof Ari menekankan pentingnya tidak menyepelekan nyeri perut, terutama bila disertai mual, muntah, atau perut kembung.

    “Prinsipnya adalah nyeri perut itu jangan dianggap sederhana. Karena nyeri perut harus dipastikan apakah nyeri perut ini bagian dari sumbatan atau tidak,”

    “Kalau nyeri perut ini bukan sumbatan ya tentu diobatin. Dan kita artinya kemungkinan untuk jadi sumbatan itu kecil pada kondisi kondisi pasien yang nyeri perut tersebut,” sambungnya.

    Halaman 2 dari 2

    (suc/suc)