Tag: Ardi Sutedja

  • Cloudflare Lumpuhkan Layanan IT, Ketergantungan RI pada Infrastruktur Asing Disorot

    Cloudflare Lumpuhkan Layanan IT, Ketergantungan RI pada Infrastruktur Asing Disorot

    Bisnis.com, JAKARTA— Gangguan sistem yang menimpa Cloudflare menyebabkan layanan internet global sempat lumpuh pada Selasa, 18 November 2025, termasuk di Indonesia. Kondisi tersebut memperlihatkan ketergantungan RI terhadap layanan digital asing sangat tinggi.

    Pengamat Telekomunikasi sekaligus Direktur Eksekutif Indonesia ICT Institute Heru Sutadi mengatakan insiden tersebut menjadi refleksi ketika banyak layanan internet bertumpu pada satu penyedia infrastruktur seperti Cloudflare, potensi single point of failure(SPOF) dalam skala besar tidak dapat dihindari.

    “Meskipun Cloudflare secara teknis terdistribusi dan redundant, namun modul konfigurasi atau mitigasi bot yang gagal mengindikasikan kompleksitas dan risiko bagi penyedia infrastruktur,” kata Heru kepada Bisnis, Rabu (19/11/2025).

    Heru menyoroti Cloudflare tidak hanya menyediakan Content Delivery Network (CDN), tetapi juga layanan reverse-proxy, mitigasi DDoS, keamanan tepi jaringan, dan layanan terkait lainnya. Karena itu, ketika salah satu modul inti jaringannya bermasalah, banyak layanan yang bergantung pada Cloudflare dapat ikut terdampak.

    “Dampak kejadian ini sangat besar. Hal itu karena Cloudflare menangani lebih dari 20% dari seluruh website dunia,” ujarnya.

    Menurutnya, kegagalan infrastruktur tersebut tidak hanya memengaruhi satu layanan, tetapi berpotensi meluas karena banyak situs dan layanan menggunakan Cloudflare sebagai edge, proxy, maupun delivery/security point. 

    Lebih jauh, Heru menilai insiden ini menjadi peringatan bagi Indonesia. Jika platform digital nasional termasuk startup, e-commerce, hingga layanan pemerintahan bergantung pada satu penyedia global, maka risiko outage dapat menjalar ke ekosistem domestik.

    “Dari perspektif digital dan regulasi, peristiwa ini mempertegas kebutuhan untuk memperkuat resiliensi infrastruktur digital nasional,” ujarnya.

    Sementara Ketua Umum Indonesia Cybersecurity Forum (ICSF), Ardi Sutedja mengatakan lumpuhnya Cloudflare menandakan bahwa perusahaan teknologi raksasa juga memiliki kerapuhan. 

    “Tidak ada sistem yang benar-benar kebal,” kata Ardi. 

    Ardi juga mengatakan gangguan yang terjadi di Cloudflare langsung dirasakan oleh juta pengguna dan organisasi di seluruh dunia. 

    Mereka menanggung kerugian besar akibat gangguan yang terjadi Cloudflare. Mirror bahkan menyebut kerugian per jam yang muncul imbas outage Cloudflare dapat tembus di atas Rp250 triliun per jam. 

    Sementara itu, Pengamat Telekomunikasi dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Ian Joseph Matheus Edward menilai gangguan Cloudflare bisa saja dipicu prosedur operasional yang tidak berjalan sebagaimana mestinya, misalnya pembaruan sistem atau patch perangkat lunak yang gagal.

    “Sehingga layanan seperti CDN, DNS dll tidak berjalan seperti yang seharusnya,” kata Ian kepada Bisnis pada Rabu (19/11/2025). 

    Dia mengatakan dampaknya signifikan karena banyak pihak menggunakan IP publik dari Cloudflare, sehingga gangguan membuat alamat IP tidak dikenali atau DNS tidak berfungsi.

     “Tentu kerugian yang signifikan termasuk Indonesia, banyak penyedia hosting dan CDN merupakan reseller atau secara tidak langsung produk tersebut akan terkena dampaknya,” kata Ian.

    Menurutnya, kerugian tidak hanya berbentuk material, tetapi juga immaterial karena layanan yang tidak dapat diakses dapat menurunkan citra perusahaan, termasuk karena tidak menyiapkan opsi cadangan untuk menjamin ketersediaan layanan.

    “Atau disebut RAS, reliability, availability dan surviveablity nya rendah: jangan sampai dianggap ingin berhemat,” katanya.

    Sebelumnya, CTO Cloudflare Dane Knecht menyampaikan permintaan maaf atas gangguan besar tersebut. Dia menjelaskan gangguan bermula dari bug laten yang memicu kegagalan berantai setelah adanya perubahan konfigurasi rutin, sehingga ratusan layanan daring ikut tumbang.

    “Singkatnya, bug laten dalam layanan yang mendasari kemampuan mitigasi bot kami mulai mogok setelah perubahan konfigurasi rutin yang kami buat. Hal itu mengakibatkan degradasi yang luas pada jaringan kami dan layanan lainnya. Ini bukan serangan,” tulis Knecht di X. 

    Dia mengakui gangguan tersebut tidak dapat diterima dan menyebut perbaikan sedang dilakukan agar kejadian serupa tidak terulang. Cloudflare juga menyampaikan perbaikan telah diterapkan dan insiden dinyatakan terselesaikan, meski mereka masih memantau potensi kesalahan untuk memastikan seluruh layanan benar-benar pulih.

    “Kami terus melihat peningkatan kesalahan dan latensi, tetapi masih ada laporan kesalahan intermiten. Tim terus memantau situasi seiring membaiknya situasi, dan mencari cara untuk mempercepat pemulihan penuh,” tulis Cloudflare.

  • Throttling Internet Dinilai Ancaman Nyata Keamanan Siber dan Ekonomi RI

    Throttling Internet Dinilai Ancaman Nyata Keamanan Siber dan Ekonomi RI

    Jakarta

    Praktik pembatasan kecepatan internet atau throttling menuai sorotan. Kebijakan ini dinilai menyimpan bahaya laten yang bukan hanya merugikan pengguna, tetapi juga bisa melemahkan keamanan siber nasional dan menekan pertumbuhan ekonomi digital.

    Pengamat keamanan siber dan ketahanan, Ardi Sutedja K., menegaskan, pembatasan kecepatan internet tidak hanya berdampak kepada pengguna saja, melainkan bisa merambat ke segala aspek secara luas.

    “Ketika pemerintah atau penyedia jasa internet membatasi kecepatan akses, mereka secara tidak langsung menciptakan kerentanan sistemik yang dapat dieksploitasi oleh aktor jahat,” ujar Ardi dalam keterangan tertulisnya, Rabu (3/9/2025).

    Ia mencontohkan bagaimana keterlambatan kecil dapat menimbulkan konsekuensi besar. Negara dengan infrastruktur digital kuat seperti Estonia dan Korea Selatan, kata Ardi, bisa menjadi korban serangan siber. Sedangkan, Indonesia yang masih berjuang dalam membangun ketahanan siber bisa kena getahnya juga jika menerapkan praktik throttling.

    “Bayangkan sebuah sistem pertahanan siber nasional yang terpaksa beroperasi dengan kemampuan terbatas akibat throttling-pembaruan keamanan tertunda, deteksi ancaman melambat, dan respons terhadap serangan menjadi tidak memadai,” tuturnya.

    Dampaknya, kata Ardi, juga terasa dalam ekosistem ekonomi digital. Sektor perbankan, startup teknologi, hingga investasi asing bisa terhambat akibat kualitas internet yang tidak stabil.

    “Bagaimana mungkin kita mendorong inklusi keuangan melalui fintech dan perbankan digital jika infrastruktur yang mendasarinya tidak dapat diandalkan?” katanya.

    Menurutnya, penerapan pembatasan internet justru memperburuk situasi. “Throttling internet, alih-alih meningkatkan keamanan, justru menciptakan titik-titik kerentanan baru yang dapat dieksploitasi oleh pihak-pihak yang berniat jahat,” tegas Ardi.

    Ia pun memberikan pandangan dengan peringatan keras tentang arah kebijakan digital Indonesia. Disampaikannya, Indonesia memiliki semua elemen yang diperlukan untuk menjadi pemimpin digital regional-populasi muda yang melek teknologi, ekosistem startup yang dinamis, dan pasar konsumen digital yang berkembang pesat.

    Ardi juga menambahkan yang dibutuhkan sekarang adalah kebijakan yang memungkinkan, bukan menghambat, potensi ini untuk berkembang. Dengan meninggalkan praktik throttling dan mengadopsi pendekatan lebih progresif terhadap infrastruktur digital, Indonesia dapat memposisikan diri sebagai pusat inovasi dan pertumbuhan ekonomi di Asia Tenggara dan lebih lagi.

    “Masa depan Indonesia di era digital akan ditentukan oleh keputusan yang kita buat hari ini. Apakah kita akan terus menerapkan kebijakan throttling yang membatasi potensi kita, atau kita akan berani mengambil jalur yang berbeda-jalur yang mengarah pada ekosistem digital yang terbuka, aman, dan dinamis yang mendorong inovasi, pertumbuhan ekonomi, dan kemajuan sosial?” pungkasnya.

    (agt/fyk)

  • Dugaan Aliran Dana di Live Demo, Pakar Siber: Monetisasi Konflik

    Dugaan Aliran Dana di Live Demo, Pakar Siber: Monetisasi Konflik

    Jakarta

    Dugaan adanya aliran dana signifikan ke akun-akun media sosial yang menyiarkan demonstrasi secara langsung direspon oleh pakar siber, Ardi Sutedja, Ketua dan Pendiri Indonesia Cyber Security Forum.

    Sebelumnya, Menteri Komunikasi dan Digital (Menkomdigi) Meutya Hafid mengungkapkan indikasi adanya monetisasi konten provokatif di media sosial selama aksi demo beberapa hari lalu. Hal itu diketahui berdasarkan temuan yang dilakukan Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) terkait aksi demo.

    Ardi menilai hasil investigasi Komdigi menemukan bahwa beberapa akun yang terlibat dalam aktivitas siaran langsung demonstrasi ini memiliki keterkaitan atau terhubung dengan jaringan judi online dan aktivitas ekonomi ilegal lainnya. Hal ini menunjukkan adanya kemungkinan motif ekonomi terstruktur di balik penyiaran konten-konten tersebut.

    Temuan Komdigi juga mengindikasikan adanya upaya terorganisir dan sistematis untuk memanfaatkan media sosial sebagai sarana provokasi dengan insentif finansial yang jelas dan terukur. Pola ini menunjukkan adanya ekosistem ekonomi digital yang memanfaatkan situasi ketegangan sosial untuk kepentingan finansial.

    “Fenomena ini pada dasarnya merupakan bentuk monetisasi konflik sosial yang sangat problematik, di mana pembuat konten mendapatkan keuntungan finansial langsung dari situasi kekacauan publik dan ketidakstabilan sosial,” ujar Ardi dalam pernyataannya kepada detikINET, Senin (1/9/2025).

    Disampaikannya, pihak kepolisian sendiri telah mengidentifikasi adanya motif pencarian gift sebagai pendorong utama di balik maraknya aksi siaran langsung demonstrasi, yang dengan jelas menunjukkan bahwa sebagian pelaku tidak murni bermotif menyampaikan aspirasi atau mendokumentasikan peristiwa penting, melainkan secara sadar mencari keuntungan finansial dari situasi tersebut.

    “Hal ini telah mendorong pihak kepolisian untuk melakukan pemantauan khusus terhadap aktivitas siaran langsung selama demonstrasi berlangsung,” kata Ardi.

    Lebih jauh, ia menilai aliran dana yang dimaksud Menkomdigi ini dapat dimaknai sebagai komersialisasi aktivisme yang berpotensi menggerus esensi gerakan sosial.

    “Dalam konteks yang lebih luas, aliran dana ke akun-akun yang melakukan siaran langsung demonstrasi dapat dimaknai sebagai bentuk komersialisasi aktivisme yang berpotensi menggerus esensi dan integritas dari gerakan sosial itu sendiri,” jelasnya.

    Ketika motivasi finansial menjadi faktor pendorong utama dalam aktivitas dokumentasi dan penyebaran informasi terkait demonstrasi, objektivitas dan kebenaran informasi yang disampaikan menjadi sangat dipertanyakan.

    “Hal ini menciptakan distorsi informasi yang dapat mempengaruhi persepsi publik terhadap isu-isu penting yang sebenarnya menjadi substansi dari demonstrasi tersebut,” imbuhnya.

    Kementerian Komdigi mengungkapkan telah menerima lonjakan laporan masyarakat terkait maraknya provokasi di internet. Menkomdigi Meutya Hafid mengatakan bahwa provokasi tersebut tidak hanya berupa ujaran kebencian, tetapi juga ajakan penjarahan, penyerangan, hingga penyebaran isu Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan (SARA).

    Meutya mengungkapkan Komdigi menemukan adanya informasi keliru yang disebarkan, baik secara sengaja maupun tidak sengaja, dengan kecepatan penyebaran yang sangat tinggi mirip banjir bandang yang menenggelamkan informasi yang benar, masukan, kritikan konstruktif, atau aktivitas produktif, seperti pembelajaran, UMKM, dan sebagainya.

    Menurut Meutya, indikasi awal menunjukkan adanya upaya terorganisir untuk memanfaatkan media sosial sebagai sarana provokasi. Temuan pemerintah juga memperlihatkan adanya aliran dana signifikan melalui platform digital, yang diduga digunakan untuk mendanai aktivitas anarkis.

    “Indikasi awal menunjukkan adanya upaya terorganisir untuk memanfaatkan media sosial sebagai sarana provokasi,” ujar Meutya di akun Instagram miliknya @meutyahafid sebagaimana dilihat detikINET, Senin (1/9).

    Meski tidak menyebutkan secara spesifik, Meutya mengatakan dugaan aliran dana yang jumlahnya signifikan melalui platform digital.

    “Sejak beberapa hari terakhir, kami juga memantau adanya aliran dana dalam jumlah signifikan melalui platform digital. Konten kekerasan dan anarkisme disiarkan secara langsung (live streaming) dan dimonetisasi lewat fitur donasi maupun gifts bernilai besar. Beberapa akun yang terlibat terhubung dengan jaringan judi online,” tutur Meutya.

    (agt/fay)

  • Pakar Usul Aturan Komprehensif Tangkal Monetisasi Live Berbahaya di Medsos

    Pakar Usul Aturan Komprehensif Tangkal Monetisasi Live Berbahaya di Medsos

    Bisnis.com, JAKARTA — Pakar siber menyampaikan pentingnya respons tegas dan proporsional dari pemerintah serta platform TikTok, YouTube, dan lain sebagainya, dalam menghadapi tantangan monetisasi konten digital yang berpotensi membahayakan keamanan dan ketertiban umum.

    Langkah tersebut perlu diambil dengan catatan tanpa mengabaikan prinsip kebebasan berekspresi sebagai pilar demokrasi.

    Ketua dan Pendiri Indonesia Cyber Security Forum (ICSF), Ardi Sutedja mengatakan pemerintah perlu mengeluarkan kerangka regulasi yang lebih terukur, transparan, dan sistematis terkait monetisasi konten—khususnya aspek transparansi aliran dana, pelaporan transaksi mencurigakan, dan pertanggungjawaban bagi platform yang abai terhadap moderasi konten. 

    “Pemerintah juga perlu mempertimbangkan pembentukan gugus tugas khusus yang melibatkan berbagai kementerian terkait untuk menangani isu monetisasi konten berbahaya secara holistik,” kata Ardi kepada Bisnis, Senin (1/9/2025). 

    Ardi mengapresiasi langkah proaktif platform seperti TikTok yang secara sukarela membatasi fitur live streaming saat maraknya aksi demonstrasi yang berpotensi menimbulkan kekerasan. Namun, dia mengingatkan pentingnya pendekatan yang lebih presisi dengan dukungan kecerdasan buatan untuk mendeteksi konten provokatif secara real-time, tanpa menonaktifkan fitur secara menyeluruh sehingga tidak merugikan pelaku UMKM.

    Platform, tegas Ardi, juga perlu memperjelas kriteria dan mekanisme monetisasi konten, serta menyiapkan sistem peninjauan yang transparan untuk mencegah penyalahgunaan.

    Pelaku UMKM fesyen tengah melakukan streaming

    ICSF mendorong adanya kolaborasi berkesinambungan antara pemerintah, platform, akademisi, dan masyarakat sipil dalam mengembangkan standar industri monetisasi konten berbahaya yang bertanggung jawab. Forum dialog reguler antara regulator dan pelaku industri dinilai penting untuk bertukar informasi serta menyusun praktik terbaik dalam moderasi konten.

    “Kolaborasi ini juga harus mencakup pengembangan standar industri yang dapat diadopsi secara luas mengenai monetisasi konten yang bertanggung jawab,” kata Ardi.

    Ardi juga mengatakan mekanisme pelaporan konten bermasalah perlu diperkuat dan dipermudah, sehingga masyarakat dapat berpartisipasi aktif dalam mengidentifikasi konten-konten yang berpotensi memicu kekerasan atau menyebarkan disinformasi.

    Penegakan hukum terhadap penyalahgunaan pla orm media sosial untuk tujuan provokasi juga perlu ditingkatkan, dengan tetap memperhatikan prinsip-prinsip due process dan proporsionalitas.

    Dia menekankan ruang digital adalah aset strategis nasional yang menjadi milik bersama seluruh masyarakat Indonesia. 

    “Diperlukan kesadaran kolektif dan tanggung jawab bersama untuk menjaga agar ruang digital tetap sehat, aman, dan dak disalahgunakan oleh pihak- pihak yang memiliki kepentingan tertentu yang dapat memecah belah bangsa. Monetisasi konten di media sosial harus diarahkan untuk mendukung ekonomi kreatif yang produk,” kata Ardi.

    Sebelumnya, Menteri Komunikasi dan Digital (Menkomdigi) Meutya Hafid menemukan adanya aliran dana yang cukup signfikan mengalir ke sejumlah akun yang menyiarkan konten kekerasan lewat fitur live di media sosial. Dana tersebut mengalir dalam bentuk gift dan donasi.

    Kementerian Komunikasi dan Digital (Kemkomdigi), kata Meutya, menerima lonjakan laporan masyarakat terkait provokasi di ruang digital, termasuk ajakan penjarahan, penyerangan, dan penyebaran isu SARA. 

    Komdigi juga menemukan adanya informasi keliru yang disebarkan, baik secara sengaja maupun tidak sengaja, dengan kecepatan penyebaran yang sangat tinggi mirip banjir bandang yang menenggelamkan informasi yang benar, masukan, kritikan konstruktif, atau aktivitas produktif, seperti pembelajaran, UMKM, dan sebagainya.

    Meutya mengatakan hal ini menjadi Indikasi awal menunjukkan adanya upaya terorganisir untuk memanfaatkan media sosial sebagai sarana provokasi.

    “Sejak beberapa hari terakhir, kami juga memantau adanya aliran dana dalam jumlah signifikan melalui platform digital. Konten kekerasan dan anarkisme disiarkan secara langsung (live streaming) dan dimonetisasi lewat fitur donasi maupun gifts bernilai besar. Beberapa akun yang terlibat terhubung dengan jaringan judi online,” kata Meutya Hafid dilansir dari Instagram, Senin (1/9/2025).

  • ICSF Ungkap Segudang Masalah Dampak Monetisasi Siaran Langsung Demo TikTok Cs

    ICSF Ungkap Segudang Masalah Dampak Monetisasi Siaran Langsung Demo TikTok Cs

    Bisnis.com, JAKARTA — Pakar siber mengkritisi donasi yang diberikan untuk siaran langsung (live) di media sosial seperti TikTok, YouTube, dan lain sebagainya, saat demo berlangsung. 

    Diduga rekaman live tersebut tidak bertujuan untuk dokumentasi, melainkan mengejar keuntungan dari pundi-pundi gift (hadiah) yang diberikan oleh penonton.

    Ketua Indonesia Cyber Security Forum (ICSF) Ardi Sutedja mengatakan fenomena donasi dan hadiah untuk siaran langsung (live) pada saat demo, merupakan bentuk monetisasi konflik sosial yang sangat

    problematika, di mana pembuat konten mendapatkan keuntungan finansial langsung dari situasi kekacauan publik dan ketidakstabilan sosial. 

    Pihak kepolisian, lanjutnya, telah mengidentifikasi adanya motif pencarian gift sebagai pendorong utama di balik maraknya aksi siaran langsung demonstrasi, yang dengan jelas menunjukkan bahwa sebagian pelaku tidak murni bermotif menyampaikan aspirasi atau mendokumentasikan peristiwa penting, melainkan secara sadar mencari keuntungan finansial dari situasi tersebut.

    “Dalam konteks yang lebih luas, aliran dana ke akun-akun yang melakukan siaran langsung demonstrasi dapat dimaknai sebagai bentuk komersialisasi aktivisme yang berpotensi menggerus esensi dan integritas dari gerakan sosial itu sendiri,” kata Ardi kepada Bisnis, Senin (1/9/2025). 

    Dia menambahkan motivasi finansial menjadi faktor pendorong utama dalam aktivitas dokumentasi dan penyebaran informasi terkait demonstrasi, objekvitas dan kebenaran informasi yang disampaikan menjadi sangat dipertanyakan. 

    Ardi menilai kondisi itu dapat menciptakan distorsi informasi yang dapat mempengaruhi persepsi publik terhadap isu-isu penting yang sebenarnya menjadi substansi dari demonstrasi tersebut.

    Unjuk rasa di Jakarta

    Selain itu, lanjut Ardi, monetisasi live juga dapat berdampak luas seperti menciptakan insentif ekonomi yang sangat kuat bagi penyebaran konten provokatif dan kekerasan yang dapat memicu eskalasi konflik. Makin dramatis, kontroversial, dan memicu emosi konten yang disiarkan, makin banyak penonton yang tertarik, dan makin besar potensi pendapatan dari gift dan donasi yang diterima oleh pembuat konten. 

    Mekanisme insentif yang problematik ini dapat mendorong pembuat konten untuk sengaja memicu, memprovokasi, atau bahkan mendramatisasi situasi konflik demi mendapatkan keuntungan finansial yang lebih besar, tanpa mempertimbangkan dampak sosial dan keamanan yang ditimbulkan. 

    “Hal ini menciptakan lingkaran setan di mana kekerasan dan provokasi menjadi komoditas yang menguntungkan secara ekonomi,” kata Ardi.

    Selanjutnya, kata Ardi, fenomena ini berdampak signifikan pada ekosistem ekonomi digital, khususnya bagi UMKM yang secara legitimate menggunakan fitur live streaming untuk pemasaran produk dan layanan mereka. 

    Platform media sosial terpaksa membatasi atau bahkan menonaktifkan fitur live streaming sebagai respons terhadap penyalahgunaan masif yang terjadi selama periode demonstrasi, pelaku UMKM yang mengandalkan fitur

    tersebut untuk pemasaran produk mereka ikut terdampak dan mengalami kerugian ekonomi yang tidak sedikit. 

    “Hal ini menciptakan eksternalitas negatif di mana pelaku ekonomi yang tidak terlibat dalam aktivitas problematik harus menanggung konsekuensi dari penindakan pihak lain,” kata Ardi. 

    Selain itu ada juga degradasi sistematis pada kualitas diskursus publik karena fokus bergeser dari substansi isu yang disuarakan dalam demonstrasi menjadi sekadar tontonan yang menghibur dan menguntungkan secara finansial. 

    Konten terkait demonstrasi diproduksi dan dikonsumsi sebagai bentuk hiburan yang dimonetisasi, analisis krisis dan pemahaman mendalam terhadap isu-isu sosial dan politik yang mendasari demonstrasi

    tersebut menjadi terabaikan. Hal ini dapat mengikis esensi dari hak berpendapat dan berdemokrasi, serta menurunkan kualitas partisipasi publik dalam proses-proses demokrasi.

    “Algoritma platform media sosial yang cenderung memprioritaskan konten yang memicu engagement tinggi akan semakin memperkuat distribusi konten-konten provokatif yang dimonetisasi, menciptakan ruang gema (echo chamber) yang memperkuat pandangan ekstrem dan memperburuk polarisasi di masyarakat. Dalam jangka panjang, hal ini dapat mengancam kohesi sosial dan stabilitas politik nasional,” kata Ardi.

    Logo gift TikTok

    Sebelumnya, Menteri Komunikasi dan Digital (Menkomdigi) Meutya Hafid menemukan adanya aliran dana yang cukup signfikan mengalir ke sejumlah akun yang menyiarkan konten kekerasan lewat fitur live di media sosial. Dana tersebut mengalir dalam bentuk gift dan donasi, sebagai bagian dalam monetisasi konten anarkis.

    “Sejak beberapa hari terakhir, kami juga memantau adanya aliran dana dalam jumlah signifikan melalui platform digital. Konten kekerasan dan anarkisme disiarkan secara langsung (live streaming) dan dimonetisasi lewat fitur donasi maupun gifts bernilai besar. Beberapa akun yang terlibat terhubung dengan jaringan judi online,” kata Meutya Hafid dilansir dari Instagram, Senin (1/9/2025).

    Bisnis mencoba menghubungi TikTok mengenai monetisasi fitur live di platform, namun hingga berita ini diturunkan TikTok tidak memberi jawaban.

  • Sinyal Lemah di Mako Brimob Kwitang, Jurnalis Kesulitan Kirim Berita

    Sinyal Lemah di Mako Brimob Kwitang, Jurnalis Kesulitan Kirim Berita

    Bisnis.com, JAKARTA — Jurnalis yang tengah meliput di sekitar wilayah Mako Brimob Kwitang, Jakarta, mengaku kesulitan untuk melaporkan kondisi sekitar karena sinyal internet lemah. 

    Berdasarkan pantauan Bisnis, Jumat (29/8/2025), wartawan yang  ingin melakukan siaran langsung mengalami kendala. Penyebabnya, sulitnya sinyal internet di sekitar kawasan tersebut. 

    Ade, seorang jurnalis yang tengah melakukan liputa demo di Mako Brimob Kwitang, mengaku tidak dapat melakukan streaming. 

    “Parah. Pagi masih ada ketika setelah jumat’an dan massa mulai padat itu susah banget,” kata Ade kepada Bisnis, Jumat (29/8/2025). 

    Tidak hanya untuk streaming video, kata Ade, mengirim pesan lewat aplikasi Whatsapp pun sangat sulit. Ade harus berjalan puluhan meter menjauhi keramaian agar dapat mengirim pesan melalui Whatsapp. 

    “Delay pesannya,” kata Ade. 

    Ketua dan Pendiri Indonesia Cyber Security Forum (ICSF) Ardi Sutedja mengatakan Internet melambat karena terjadi lonjakan trafik dan kegiatan digital yang tinggi sebagai dampak dari kegiatan-kegiatan demo. 

    Masyarakat mencoba merekam dengan video dan mengunduh di sosial media agar viral. Aktivitas streaming meningkat. 

    “Hal ini menyebabkan “bottle neck” di jaringan. Padahal kapasitas jaringan seluler nasional kita terbatas namun ditopangi ratusan ribu aktivitas digital dari berbagai platform,” kata Ardi kepada Bisnis, Jumat (29/8/2025). 

    Mengenai dugaan intervensi pemerintah dalam ‘mencekik’ trafik internet, kata Ardi, kemungkinan ada tetapi tidak berdampak signifikan. 

    “Intervensi pemerintah melalui regulator  dengan “throttling” tidak banyak berdampak secara signifikan karena terfokus pada area-area yang menjadi zona panas aktivitas,” kata Ardi.

    Sebelumnya, ratusan demonstran yang berada di Mako Brimob ditembaki gas air mata oleh kepolisian untuk membubarkan massa ada di sekitar lokasi tersebut.

    Ratusan massa mulai memadati Markas Mako Brimob sejak Jumat (29/8/2025) pagi. Hal ini dipicu oleh mobil rantis Brimob melindas beberapa orang termasuk, salah satunya ojol hingga akhirnya tewas saat dibawa ke RSCM pada Kamis (28/9/2025) malam.

    Adapun, massa juga berusaha untuk merobohkan patung kuda yang berada di di depan markas komando.

    Kemudian, polisi langsung melepakan tembakan gas air mata dilepaskan sekitar pukul 15.30 WIB. Aksi polisi ini membuat ratusan peserta unjuk rasa tersebut berlari akibat paparan asap gas air mata.

    Tidak hanya peserta, ratusan personel TNI yang berjaga di depan Mako Brimob juga terpapar asap tembakan gas air mata .

    Setelah menembakkan gas air mata, personel Brimob kembali ke luar Mako dan membentuk barikade dengan menggunakan tameng serta perlengkapan lainnya.

    Berdasarkan pantauan Bisnis.com, polisi sudah menembaki gas air mata ke arah warga yang berdemo. Adapun tembakan gas air mata ini bertujuan untuk membubarkan massa yang sedang marah, karena aksi brutal polisi Brimob.

    “Hukum pelaku. Hukum pelaku. Teman gue yang lu lindas,” teriak orang-orang yang mendatangi Mako Brimob.

  • Internet Lemot ketika Demo Berlangsung, Pakar Duga Lonjakan Trafik jadi Pemicu

    Internet Lemot ketika Demo Berlangsung, Pakar Duga Lonjakan Trafik jadi Pemicu

    Bisnis.com, JAKARTA — Pakar teknologi menduga sulitnya warga mengakses internet di area demo disebabkan lonjakan trafik yang terjadi di tempat tersebut. Warga berbondong-bondong mengunduh video, padahal kapasitas pemancar internet terbatas. 

    Ketua dan Pendiri Indonesia Cyber Security Forum (ICSF) Ardi Sutedja mengatakan Internet melambat karena terjadi lonjakan trafik dan kegiatan digital yang tinggi sebagai dampak dari kegiatan-kegiatan demo. 

    Masyarakat mencoba merekam dengan video dan mengunduh di sosial media agar viral. Aktivitas streaming meningkat. 

    “Hal ini menyebabkan “bottle neck” di jaringan. Padahal kapasitas jaringan seluler nasional kita terbatas namun ditopangi ratusan ribu aktivitas digital dari berbagai platform,” kata Ardi kepada Bisnis, Jumat (29/8/2025). 

    Mengenai dugaan intervensi pemerintah dalam ‘mencekik’ trafik internet, kata Ardi, kemungkinan ada tetapi tidak berdampak signifikan. 

    “Intervensi pemerintah melalui regulator  dengan “throttling” tidak banyak berdampak secara signifikan karena terfokus pada area-area yang menjadi zona panas aktivitas,” kata Ardi. 

    Sebelumnya, warganet mengeluh kesulitan saat melakukan streaming dan mengakses video saat terjadi demo besar kemarin, Kamis (28/8/2025). 

    Demo terjadi selama 7 jam hingga akhirnya selesai dan ditutup dengan derasnya hujan di Jalan Pejompongan Jakarta Pusat.

    Berdasarkan pantauan Bisnis di lokasi saat ini, Kamis (28/8/2025), pihak demonstran dan Polisi menutup bentrokan itu dengan saling bersalaman dan tos, lalu kedua kubu pergi ke arah yang berbeda, meski tatapannya matanya masih saling curiga.

    Bentrokan antara Polisi dan demonstran di Jalan Pejompongan berakhir setelah kedua kubu bentrok selama 7 jam mulai pukul 15.00 WIB-22.00 WIB di sepanjang Jalan Pejompongan hingga Bendungan Hilir.

    Ruas jalan yang jadi medan pertempuran tersebut sebagian rusak seperti trotoar yang terangkat hingga beberapa rambu jalan rusak. Tidak hanya itu, jalanan juga masih penuh dengan batu besar hingga pecahan beling dari botol serta bekas ban dibakar demonstran.

    Beberapa warga, terutama yang jalanan di depan rumahnya dijadikan medan tempur hanya bisa mengelus dada dan bersyukur bentrokan bisa berakhir dan kedua kubu saling membubarkan diri.

    Namun, masih ada beberapa Polisi dan para demonstran yang harus menjalani perawatan di rumah sakit, lantaran menjadi korban ketika bentrok berlangsung selama 7 jam lamanya

    Sementara itu juga terpantau masih ada beberapa anggota Brimob Polri yang masih melakukan sweeping ke sejumlah jalanan menggunakan kendaraan baracuda dan motor trail di sekitaran Pejompongan hingga Bendungan Hilir.

  • APJII Sebut Amerika Serikat Lebih Mumpuni Lindungi Data Pengguna Ketimbang RI

    APJII Sebut Amerika Serikat Lebih Mumpuni Lindungi Data Pengguna Ketimbang RI

    Bisnis.com, JAKARTA — Asosiasi Penyedia Jasa Internet Indonesia (APJII) menyebut Amerika Serikat lebih baik dalam hal pelindungan data pribadi pengguna Internet dibandingkan dengan Indonesia.

    Langkah pemerintah menyerahkan data warga RI ke AS sebagai bagian dari kesepakatan dagang untuk menurunkan beban tarif merupakan hal yang benar. 

    Sekjen APJII Zulfadly Syam mengatakan pada hakekatnya dari waktu ke waktu data masyarakat Indonesia sudah berada di AS sejak lama. Data personal, kebiasaan, agenda meeting dan lain-lain sudah ditempatkan di AS seiring dengan tingginya penggunaan aplikasi-aplikasi asal AS oleh warga Indonesia. 

    Adapun mengenai perlindungan data dengan maraknya data Indonesia di sana, menurutnya, AS sejauh ini lebih baik dari Indonesia. 

    “Menempatkan data di AS jauh lebih baik dari sisi perlindungan. Namun perlindungan yang ada menganut hukum-hukum di AS bukan hukum Indonesia,” kata Zulfadly kepada Bisnis, Minggu (27/7/2025). 

    Zulfadly mengatakan saat ini tingkat kesadaran masyarakat Indonesia terhadap keamanan siber masih rendah. Istilah ‘data adalah sumber minyak baru’ hanyalah jargon yang kerap disemburkan pemerintah.

    Faktanya kesadaran terhadap menjaga data dari serangan siber masih lemah. Sedangkan AS jauh lebih sadar terhadap urgensi menguasai dan menjaga data. 

    Sementara itu data di Indonesia sudah bocor. Indonesia termasuk salah satu negara dengan kebocoran data signifikan di dark web, dengan jutaan catatan pribadi terekspos.

    Data Global Surfshark 2004−2024 menyebut kebocoran data di Indonesia mencapai 157.053.913 kasus, lebih besar jika dibandingkan dengan negara di kawasan Asean. 

    “Itulah mengapa kami sebut data di AS lebih “terlihat” secure. Walaupun data-data tersebut tetapi diolah untuk kepentingan mereka,” kata Zulfadly. 

    Zulfadly juga menyampaikan bahwa AS bukan tidak memiliki regulasi Pelindungan Data Pribadi, tetapi mereka memiliki aturan berdasarkan negara bagian bukan secara nasional. Berbeda dengan Europe yang memiliki General Data Protection Regulation (GDPR)

    “Tapi so far mereka concern bagaimana melindungi dengan cybersecurity protection yang baik,” kata Zulfadly. 

    Berbeda, Ketua Indonesia Cyber Security Forum (ICSF) Ardi Sutedja menyebut AS bukan negara yang aman bagi data-data di Indonesia. Perusahaan-perusahaan dan lembaga pemerintahan di AS tidak kebal atas serangan siber dengan marakya pemberitaan kebocoran data di Negeri Paman Sam. 

    Pada Juli 2024, sebanyak 1,4 GB data vital Badan Keamanan Nasional (NSA) AS dikabarkan bocor. Data tersebut mencakup data pribadi karyawan dan proyek-proyek besar. 

    Kemudian, 3 hari lalu data peretas memanfaatkan celah di server perangkat lunak Microsoft yang menyebabkan data 400 perusahaan berhasil dicuri.

    “Tiap hari ada data bocor di AS,” kata Ardi. 

    Sebelumnya, Presiden Donald Trump mengumumkan kesepakatan dagang bersejarah antara Amerika Serikat (AS) dan Indonesia di berbagai sektor, termasuk di sektor digital terkait proses pengolahan data pribadi. 

    Di sektor tersebut, Donald Trump lewat keterangan resmi Gedung Putih menyebut AS dan RI menghapus hambatan perdagangan digital dengan berencana merampungkan komitmen mengenai perdagangan digital, jasa, dan investasi.

    Sejumlah komitmen diambil oleh Indonesia. Pertama, memberikan kepastian atas kemampuan memindahkan data pribadi keluar dari wilayah Indonesia ke AS melalui pengakuan bahwa AS memberikan perlindungan data yang memadai menurut hukum Indonesia.

    Kedua, menghapus tarif HTS (harmonized tariff schedule) atas produk tidak berwujud dan menangguhkan persyaratan deklarasi impor terkait.

  • Transfer Data RI-AS Bisa Ancam Kedaulatan Digital RI

    Transfer Data RI-AS Bisa Ancam Kedaulatan Digital RI

    Jakarta

    Perjanjian perdagangan antara Indonesia dan Amerika Serikat yang mencakup komponen Cross Border Data Transfer (CBDT) atau aliran data lintas batas, menuai perhatian serius dari para pemerhati keamanan siber. Indonesia Cyber Security Forum (ICSF) menyampaikan sejumlah catatan kritis terkait potensi risiko yang bisa ditimbulkan dari kesepakatan ini.

    Menurut Ketua dan Pendiri ICSF, Ardi Sutedja, perjanjian tersebut dapat membahayakan berbagai aspek kedaulatan nasional, mulai dari keamanan data, ketahanan siber, hingga stabilitas politik dan ekonomi Indonesia.

    “Transfer data lintas batas bukan sekadar isu teknis. Ini menyangkut kendali atas sumber daya strategis yang sangat bernilai-yaitu data warga negara dan institusi Indonesia,” kata Ardi dalam keterangan remsi yang diterima detikINET.

    Ancaman di Balik Transfer Data Lintas Batas

    Beberapa poin bahaya yang diidentifikasi ICSF meliputi:

    Risiko Keamanan dan Dominasi Asing

    ICSF mengingatkan bahwa transfer data ke luar negeri membuka celah bagi pihak asing untuk mengakses data sensitif milik Indonesia. Hal ini berisiko disalahgunakan, baik untuk kepentingan ekonomi maupun strategi geopolitik. Ancaman serangan siber seperti pencurian data, ransomware, dan manipulasi algoritma juga meningkat.

    “Dominasi perusahaan teknologi asing yang menguasai aliran data juga dikhawatirkan membuat Indonesia kehilangan kendali atas infrastruktur digitalnya. “Kita bisa kehilangan kemampuan untuk menentukan arah pengelolaan data kita sendiri,” tegas Ardi.

    Ancaman Ekonomi: Kolonialisasi Digital?

    Salah satu kekhawatiran utama adalah potensi terjadinya “kolonialisasi digital”, di mana data sebagai aset ekonomi diproses dan dimonetisasi di luar negeri. Dengan demikian, Indonesia hanya akan menjadi pemasok bahan mentah digital tanpa mendapatkan nilai tambah.

    Ardi Sutedja, Ketua Umum Indonesia Cyber Security Forum (ICSF) Foto: Adi Fida Rahman/detikINET

    “Perusahaan asing yang memegang kendali data akan memiliki keunggulan besar dibandingkan pelaku lokal. Akibatnya, kita tidak hanya kehilangan potensi pajak, tapi juga peluang ekonomi digital secara keseluruhan,” jelas Ardi.

    Dampak Sosial dan Politik

    ICSF juga menyoroti dampak sosial dan budaya, termasuk risiko hilangnya privasi masyarakat dan masuknya budaya asing yang dapat menggerus nilai-nilai lokal. Dari sisi politik, data yang dikuasai pihak asing bisa digunakan untuk memengaruhi opini publik hingga kebijakan nasional.

    Lebih jauh, Ardi menyoroti keberadaan CLOUD Act di Amerika Serikat, yang memungkinkan pemerintah AS memaksa perusahaan teknologi menyerahkan data dari negara lain tanpa seizin pemerintah negara tersebut. “Ini jelas bertentangan dengan kedaulatan digital Indonesia,” kata dia.

    UU PDP Bisa Tergeser?

    Ilustrasi Foto: Australia Plus ABC

    Indonesia sebenarnya sudah memiliki Undang-Undang No. 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP), yang mengatur ketat soal transfer data lintas negara. Namun, perjanjian dagang seperti yang tengah dijajaki dengan AS dapat “mengunci” kebijakan domestik.

    ICSF mengingatkan bahwa UU PDP mengizinkan transfer data ke luar negeri hanya jika negara tujuan memiliki tingkat perlindungan setara, adanya perjanjian internasional yang mengikat, atau persetujuan eksplisit dari pemilik data.

    “Kalau klausul perdagangan menegaskan prinsip aliran data bebas tanpa batas dan melarang lokalisasi data, maka semangat UU PDP bisa terkebiri,” tegas Ardi.

    ICSF mendesak pemerintah Indonesia untuk menempatkan kedaulatan digital sebagai kepentingan nasional yang tak bisa ditawar. Setiap perjanjian internasional yang melibatkan data harus tunduk pada kerangka hukum domestik, bukan sebaliknya.

    “Jangan sampai demi iming-iming investasi atau kerja sama dagang, kita menyerahkan aset strategis bangsa ke pihak asing tanpa kendali,” pungkas Ardi.

    Halaman 2 dari 2

    Simak Video “Video: Airlangga Sebut 12 Data Center AS Ada di Indonesia”
    [Gambas:Video 20detik]
    (afr/afr)

  • Transfer Data WNI ke AS Disorot, Pakar: Langkah Sensitif, Risiko Tinggi

    Transfer Data WNI ke AS Disorot, Pakar: Langkah Sensitif, Risiko Tinggi

    Jakarta

    Kesepakatan dagang antara Indonesia dan Amerika Serikat (AS) yang menyertakan klausul transfer data pribadi warga negara Indonesia ke luar negeri menuai sorotan tajam. Ardi Sutedja, Ketua Umum Indonesia Cyber Security Forum (ICSF), menyebut langkah ini sangat sensitif dan berisiko tinggi bagi kedaulatan digital nasional.

    “Kami kaget saja, surprise. Kalau pertukaran data lintas batas dijadikan bagian dari negosiasi perdagangan, itu nggak pernah kebayang,” kata Ardi saat ditemui usai peluncuran Where’s The Fraud Hub yang digelar Vida di Kembang Goela, Jakarta Selatan, Kamis (24/7/2026).

    Menurut Ardi, keputusan ini diambil tanpa konsultasi yang memadai dengan komunitas keamanan siber maupun Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi). Padahal, isu transfer data lintas batas sangat sensitif karena menyangkut kepercayaan publik terhadap pemerintah.

    Menurut Ardi, keputusan ini diambil tanpa konsultasi yang memadai dengan komunitas keamanan siber maupun Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo). Padahal, isu transfer data lintas batas sangat sensitif karena menyangkut kepercayaan publik terhadap pemerintah.

    “Proses harmonisasi lambat, insiden seperti PDNS justru menggerus kepercayaan publik,” ujarnya.

    Ardi melanjutkan pada Pasal 56 UU PDP sebenarnya memperbolehkan transfer data ke luar negeri, tapi dengan syarat negara tujuan memiliki tingkat perlindungan yang setara. Di sinilah letak masalah besar karena AS tidak memiliki undang-undang perlindungan data pribadi di tingkat federal.

    “Yang ada cuma regulasi sektoral per industri atau negara bagian. Jadi siapa yang bisa jamin data kita aman di sana?” ucapnya.

    Ancaman Kebocoran hingga Manipulasi Publik

    Ardi memperingatkan risiko kebocoran data selama proses transfer, yang bisa dimanfaatkan untuk kepentingan komersial atau politik. Ia menyinggung kembali kasus Cambridge Analytica sebagai bukti bagaimana data dapat dipakai untuk merekayasa opini publik.

    “Data preferensi, kebiasaan belanja, hingga orientasi politik bisa dimanfaatkan untuk manipulasi algoritma,” tambahnya.

    Lebih jauh, kebijakan ini dinilai bisa melemahkan ekosistem digital lokal. Jika data bisa langsung diproses di luar negeri, insentif bagi perusahaan asing untuk membangun pusat data di Indonesia akan berkurang.

    Ardi Sutedja, Ketua Umum Indonesia Cyber Security Forum (ICSF) Foto: Adi Fida Rahman/detikINET

    “Kalau semua diproses di AS, untuk apa mereka investasi di sini? Lapangan kerja bisa hilang, industri lokal jadi lesu,” katanya.

    Ardi juga memperingatkan efek domino: jika AS mendapat perlakuan khusus, negara lain mungkin akan menuntut hal serupa. Ini berpotensi membuat kebijakan lokalisasi data Indonesia goyah.

    Dengan kondisi ini, Ardi menilai pembentukan Otoritas Perlindungan Data Pribadi (PDP) menjadi semakin mendesak. Lembaga ini harus independen, punya fungsi pengawasan kuat, dan kemampuan intelijen digital.

    “Kalau tidak ada pengawasan strategis, kita hanya jadi pasar data global tanpa kendali,” tegasnya.

    Ardi mengingatkan masyarakat agar lebih waspada terhadap potensi penyalahgunaan data pribadi. Ia juga mengajak pemerintah, termasuk Presiden Prabowo, untuk mempertimbangkan ulang dampak jangka panjang kesepakatan dagang ini.

    “Data adalah aset strategis, seperti sumber daya alam. Jangan dikorbankan demi kepentingan jangka pendek,” pungkasnya.

    (afr/afr)