Tag: Anwar Usman

  • Mengamati Posisi Duduk Anwar Usman Paman Gibran Paling Ujung pada Putusan MK Hapus Presidential Threshold

    Mengamati Posisi Duduk Anwar Usman Paman Gibran Paling Ujung pada Putusan MK Hapus Presidential Threshold

    loading…

    Hakim Konstitusi Anwar Usman duduk paling ujung pada sidang dipimpin Ketua MK Suhartoyo yang memutuskan penghapusan presidential threshold. Sidang digelar di Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (2/1/2025). Foto: Dok SINDOnews

    JAKARTA – Hakim Konstitusi Anwar Usman duduk paling ujung pada sidang dipimpin Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Suhartoyo yang memutuskan penghapusan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden atau presidential threshold. Sidang digelar di Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (2/1/2025).

    Posisi duduk paman Gibran Rakabuming Raka itu paling ujung, di sebelahnya Hakim Konstitusi Daniel Yusmic Pancastaki Foekh. Diketahui, 2 hakim MK ini melayangkan perbedaan pendapat atau dissenting opinion dalam putusan perkara Nomor 62/PUU-XXI/2023 yang menghapus presidential threshold.

    Kemudian, di samping Daniel atau persisnya ketiga dari kanan ada M Guntur Hamzah, Arief Hidayat, dan posisi tengah ada Ketua MK Suhartoyo. Di sisi kiri Suhartoyo ada Saldi Isra, Enny Nurbaningsih , Arsul Sani, serta di ujung kiri ada Ridwan Mansyur.

    Diketahui, MK mengabulkan gugatan Nomor 62/PUU-XXI/2023 soal persyaratan ambang batas calon peserta Pilpres atau presidential threshold. “Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK Suhartoyo.

    Norma yang diujikan oleh para pemohon yakni Pasal 222 UU 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, yang menyatakan pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya.

    Namun, karena gugatan itu dikabulkan, MK menyatakan Pasal 222 bertentangan dengan UUD 1945. “Menyatakan norma Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” ujar Suhartoyo.

    “Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam berita Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana mestinya,” tambahnya.

    Diketahui, perkara Nomor 62/PUU-XXI/2023 diajukan Enika Maya Oktavia. Dalam petitumnya, pemohon menyatakan Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum melanggar batas open legal policy dan bertentangan dengan UUD 1945.

    Pemohon juga menyatakan presidential threshold pada Pasal 222 bertentangan dengan moralitas demokrasi.

    (jon)

  • Anwar Usman dan Daniel Yusmic, Hakim MK yang Ajukan Dissenting Opinion Penghapusan Presidential Threshold

    Anwar Usman dan Daniel Yusmic, Hakim MK yang Ajukan Dissenting Opinion Penghapusan Presidential Threshold

    loading…

    Ketua MK Suhartoyo bertindak sebagai pimpinan sidang putusan perkara Nomor 62/PUU-XXI/2023 yang menghapus presidential threshold di Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (2/1/2025). Foto: SINDOnews/Achmad Al Fiqri

    JAKARTA – Dua Hakim Konstitusi melayangkan perbedaan pendapat atau dissenting opinion dalam putusan perkara Nomor 62/PUU-XXI/2023 yang menghapus ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden atau presidential threshold. Dua hakim itu yakni Anwar Usman dan Daniel Yusmic Pancastaki Foekh.

    Hal itu disampaikan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Suhartoyo yang bertindak selaku pimpinan sidang yang digelar di Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (2/1/2025).

    “Terhadap putusan terdapat dua hakim yang berpendapat berbeda yaitu Hakim Konstitusi Anwar Usman dan Hakim Konstitusi Daniel Yusmic Pancastaki Foekh,” ujar Suhartoyo.

    Dia mengatakan, perbedaan pendapat itu dianggap dibacakan. Namun, pokok dissenting opinion itu para pemohon dinilai tak memiliki kedudukan hukun.

    “Bahwa dissenting dimaksud, dianggap diucapkan. Namun, pada pokoknya dua hakim tersebut berpendapat bahwa para pemohon tidak memiliki kedudukan hukum atau legal standing, sehingga statusnya Mahkamah tidak melanjutkan pemeriksaan pada pokok permohonan,” katanya.

    Sebelumnya, MK mengabulkan gugatan nomor 62/PUU-XXI/2023 soal persyaratan ambang batas calon peserta Pilpres. Putusan dilaksanakan di ruang sidang Gedung MK, Jakarta, Kamis (2/1/2025).

    “Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK Suhartoyo.

    Norma yang diujikan oleh para pemohon yakni Pasal 222 UU 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, yang menyatakan pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya.

    Namun, karena gugatan itu dikabulkan, MK menyatakan Pasal 222 bertentangan dengan UUD 1945. “Menyatakan norma Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” ujar Suhartoyo.

    “Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam berita Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana mestinya,” tambahnya.

    Diketahui, perkara nomor 62/PUU-XXI/2023 diajukan Enika Maya Oktavia. Dalam petitumnya, Pemohon menyatakan Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum melanggar batas open legal policy dan bertentangan dengan UUD 1945.

    Pemohon juga menyatakan presidential threshold pada Pasal 222 bertentangan dengan moralitas demokrasi.

    (jon)

  • Beda Sikap Anwar Usman di Perkara Presidential Threshold vs Batas Usia Capres-Cawapres

    Beda Sikap Anwar Usman di Perkara Presidential Threshold vs Batas Usia Capres-Cawapres

    Bisnis.com, JAKARTA — Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan aturan soal ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) sebesar 20% inkonstitusional. Dari sembilan hakim konstitusi, dua hakim berbeda pendapat atau dissenting opinion. 

    Dua orang hakim konstitusi yang berbeda pendapat dengan tujuh orang lainnya adalah Anwar Usman dan Daniel Yusmic P. Foekh. Keduanya menyoroti soal kedudukan hukum para pemohon. 

    Untuk diketahui, pemohon perkara No.62/PUU-XXII/2024 adalah empat orang anggota Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga, Komunitas Pemerhati Konstitusi, yaitu Enika Maya Oktavia, Rizki Maulana Syafei, Faisal Nasirul Haq dan Tsalis Khoirul Fatna. 

    Sementara itu, pokok perkara yang dimohonkan uji materi oleh pemohon adalah pasal 222 Undang-undang (UU) No.7/2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu).

    Pasal itu mengatur bahwa “Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya.”

    Dalam amar putusan yang dibacakan pada perkara No.62/PUU-XXII/2024, MK menyatakan ambang batas pencalonan presiden yang saat ini berlaku 20% inkonstitusional. 

    “Mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” ujar Ketua MK Suhartoyo dalam sidang pembacaan putusan, Kamis (2/1/2025). 

    Berbeda dengan mayoritas hakim konstitusi, Anwar Usman dan Daniel Yusmic menilai para pemohon harus menjelaskan kualifikasi dan kerugian konstitusional yang dialami oleh berlakunya suatu UU agar dianggap memiliki kedudukan hukum (legal standing). Hal itu sebagaimana tertuang dalam pasal 51 ayat (1) UU MK. 

    Menurut kedua hakim konstitusi itu, mahkamah telah menegaskan pendiriannya bahwa pihak yang memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan uji materi pasal tersebut adalah partai politik atau gabungannya, serta perseroangan warga negara dengan hak untuk dipilih atau didukung partai politik. 

    Adapun, untuk perkara No.62/PUU-XXII/2024, empat orang pemohon itu dinilai tidak memiliki kerugian konstitusional terkait dengan perkara yang diajukan. 

    “Bahwa pembatasan pihak yang dapat memohonkan pengujian norma Pasal 222 UU 7/2017 bukan berarti bahwa norma a quo ‘kebal’ (immune) untuk diuji, melainkan karena tiadanya kerugian konstitusional pemohon perseorangan warga negara Indonesia in casu para Pemohon a quo dan/atau badan hukum selain pihak-pihak sebagaimana telah disebutkan pada angka 3 di atas oleh berlakunya norma a quo,” demikian bunyi dissenting opinion Anwar dan Daniel, yang dibacakan pada sidang pembacaan putusan MK, Kamis (2/1/2025). 

    Oleh sebab itu, kedua hakim berpendapat bahwa Mahkamah seharusnya menyatakan pemohon tidak memiliki kedudukan hukum dan permohonannya tidak dapat diterima. 

    Perbesar

    Putusan MK Batas Usia Capres-Cawapres 

    Sebelumnya atau pada 2023 lalu, Anwar Usman dan para hakim MK dihadapkan dengan perkara uji materi serupa. Pemohon dari kalangan mahasiswa menggugat suatu pasal yang berada di UU Pemilu. 

    Saat itu, perkara No.90/PUU-XXI/2023 dikabulkan oleh MK terkait dengan batas usia calon presiden dan wakil presiden (capres dan cawapres). 

    Perkara itu diajukan oleh pemohon yang juga berstatus mahasiswa, yakni Almas Tsaqibbirru Re A. Dia mengajukan permohonan uji materi terhadap pasal 169 huruf (q) UU Pemilu yang berbunyi “Persyaratan menjadi calon Presiden dan calon Wakil Presiden adalah:….. q. berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun.”

    Dalam pertimbangannya, MK menilai pemohon telah menjelaskan perihal hak konstitusionalnya dalam mengajukan uji materi pasal 169 huruf (q) UU Pemilu. Beberapa kedudukan hukum yang diajukan Almas di antaranya adalah pemohon adalah WNI dan bercita-cita sebagai presiden dan wakil presiden. 

    Pasal 169 huruf (q) dinilai merugikan dan melanggar hak konstitusinal pemohon untuk dipilih dan memilih karena berusia di bawah 40 tahun.

    “Apabila permohonan a quo dikabulkan, kerugian konstitusional seperti yang dijelaskan tidak akan terjadi. Oleh karena itu, terlepas dari terbukti atau tidak terbuktinya inkonstitusionalitas norma yang didalilkan, menurut Mahkamah, Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon dalam Permohonan a quo,” demikian bunyi pertimbangan MK saat itu. 

    Adapun dalam amar putusannya, MK mengabulkan permohonan pemohon sebagian. Pasal 169 huruf (q) UU Pemilu dinyatakan inkonstitusional bersyarat sepanjang tidak dimaknai “berusia 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah.”

    Perbesar

    Pada perkara tersebut, Anwar Usman, M. Guntur Hamzah dan Manahan P. Sitompul adalah hakim yang mengabulkan permohonan Almas.

    Sementara itu, dua hakim konstitusi memiliki alasan berbeda (concurring opinion), yaitu Enny Nurbanigsih dan Daniel Yusmic. 

    Kemudian, terdapat empat hakim memiliki pendapat berbeda atau dissenting opinion, yaitu Wahiduddin Adams, Saldi Isra, Arief Hidayat dan Suhartoyo. 

    Sebagaimana diketahui, perkara yang diajukan Almas itu kuat ditengarai untuk meloloskan pencalonan Gibran Rakabuming Raka yang saat itu belum berusia 40 tahun dan sudah menjadi Wali Kota Solo. Kini, Gibran telah dilantik menjadi Wakil Presiden mendampingi Presiden Prabowo Subianto. 

    Namun, sebagai konsekuensinya, Anwar dinyatakan terbukti melakukan pelanggaran berat terhadap kode etik dan perilaku hakim konstitusi. Putusan itu dibacakan oleh Majelis Kehormatan MK atau MKMK yang dipimpin Jimly Ashiddiqie pada 7 November 2023. 

    Di antara prinsip yang dilanggar Usman, yakni tidak mengundurkan diri dari proses pemeriksaan dan pengambilan keputusan perkara No.90/PUU-XXI/2023. Padahal, uji materi pasal itu kuat diduga berkaitan untuk kepentingan pencalonan Gibran, yang merupakan anak dari Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan jelang pendaftaran Pilpres 2024.

    Sementara itu, diketahui status Anwar Usman, saat menjabat sebagai Ketua Mahkamah Konstutisi, adalah ipar dari Presiden Jokowi. 

  • Keran Dibuka MK, Partai Besar Tak Lagi Monopoli Pencapresan!

    Keran Dibuka MK, Partai Besar Tak Lagi Monopoli Pencapresan!

    Bisnis.com, JAKARTA — Mahkamah Konstitusi (MK) menghapus ambang batas presiden atau presidential threshold 20%. Keputusan itu membuka keran di tengah paceklik calon alternatif dan terbatasnya pilihan dalam setiap kontestasi pemimpin tingkat nasional atau pemilihan presiden (Pilpres).

    Adapun amar putusan MK yang dibacakan oleh Ketua Majelis Hakim Konstitusi, Suhartoyo, menyatakan bahwa norma Pasal 222 UU No. 7/2017 yang mengatur ambang batas presiden Inkonstitusional. “Bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” ucap Ketua MK Suhartoyo.

    Putusan MK menjadi kejutan pada awal tahun. Pasalnya, dengan dihapusnya ambang batas presiden, keran kompetisi politik dibuka lebar. Selain itu, putusan itu menjamin proses pencalonan presiden tidak melulu dimonopoli koalisi atau partai besar yang mencukupi threshold 20%. Semua partai politik bisa mengusung calon presidennya masing-masing.

    Presidential threshold sejatinya telah ada sejak Pilpres secara langsung pertama kali diterapkan, yakni tahun 2004. Hanya saja, besarannya kerap berubah-udah. Pada Pilpres 2004 misalnya, Undang-undang No.23/2003 tetang Pemilihan Umum alias Pemilu mengatur secara eksplisit bahwa partai atau gabungan partai politik yang mengusung calon presiden dan wakil presiden harus merepresentasikan 15% kursi parlemen atau 20% suara sah nasional. 

    Besaran ambang batas presiden kemudian dinaikan pada tahun 2009. Saat itu pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang didukung mayoritas kursi di parlemen, menaikan ambang batas pencalonan presiden menjadi 25% kursi di parlemen dan 20% suara sah pemilihan legislatif alias Pileg. 

    Pada Pemilu 2014 besaran presidential threshold tidak berubah. Namun pada Pemilu 2019 terjadi perubahan. Undang-undang No.7/2017, mengamanatkan tentang perubahan ambang batas yakni 20% kursi parlemen dan 25% suara sah nasional. 

    Pada Pemilu 2024 ketentuannya masih sama. Meski demikian, banyak pihak berupaya untuk menggugat penerapan aturan mengenai presidential threshold ke Mahkamah Konstitusi. Namun demikian, mayoritas gugatan ditolak MK.

    Dalam catatan Bisnis, pasal tentang Presidential Threshold yang tercantum dalam Undang-undang Pemilu adalah salah satu masalah yang sering digugat ke Mahkamah Konstitusi. Pasal itu akhirnya dihapus pada Kamis (2/1/2025) kemarin setelah 36 kali gugatan ke MK.

    Alasan Hakim MK 

    Ada sejumlah pertimbangan hakim konstitusi menghapus pasal mengenai presidential threshold. Pandangan mayoritas hakim konstitusi itu tercermin dalam pertimbangan mahkamah, kecuali satu hakim yang menyatakan disenting opinion atau berbeda pendapat yakni Anwar Usman.

    Anwar Usman adalah adik ipar Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang juga paman dari Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka. Anwar semula adalah Ketua Mahkamah Konstitusi. Namun jabatan itu dicopot setelah Mahkamah Kehormatan (MKMK) menyatakan Anwar melanggar etik pelanggaran etik saat memutus perkara No.90/PUU.XXI/2023.

    Adapun mayoritas hakim berpandangan bahwa presidential threshold telah membatasi hak konstitusional pemilu karena calon hanya didominasi bahkan dimonopoli oleh partai-partai besar. Terbatasnya jumlah calon, yang dalam dua pilpres terakhir hanya 2, berpotensi memunculkan polarisasi di tengah masyarakat. 

    Selain itu, keberadaan threshold pencalonan presiden juga bisa memunculkan calon tunggal. Hal itu setidaknya tercermin dalam Pilkada 2024 yang baru saja selesai. Pada Pilkada 2024, besarnya threshold nyaris membuat kontestasi politik di sejumlah daerah menghadapkan calon dengan kotak kosong.

    “Jika hal itu terjadi, makna hakiki dari Pasal 6A ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 akan hilang atau setidak-tidaknya bergeser dari salah satu tujuan yang hendak dicapai dari perubahan konstitusi.”

    Komentar Politisi

    Ketua Komisi II DPR RI Rifqinizamy Karsayuda menghormati dan menghargai putusan MK yang menghapus persentase presidential threshold.

    Menurutnya, pemerintah dan DPR akan menindaklanjutinya dalam pembentukan norma baru di UU terkait dengan syarat pencalonan presiden dan wakil presiden (wapres).

    “Saya kira ini babak baru bagi demokrasi konstitusional kita, di mana peluang mencalonkan presiden dan wapres bisa lebih terbuka diikuti oleh lebih banyak pasangan calon dengan ketentuan yang lebih terbuka,” ujarnya.

    Hal senada juga diungkapkan Ketua DPP PDI Perjuangan (PDIP) Said Abdullah. Said menyampaikan PDIP menghormati putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menghapus ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden (presidential threshold) minimal 20%.

    Menurutnya, PDIP sebagai bagian dari partai politik sudah sepatutnya patuh pada putusan MK lantaran bersifat final dan mengikat. “Atas putusan ini, maka kami sebagai bagian dari partai politik sepenuhnya tunduk dan patuh, sebab putusan MK bersifat final dan mengikat,” ujarnya.

    Sementara itu, Sekjen Partai Golkar Sarmuji mengaku dirinya terkejut dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan uji materi terhadap pasal 222 UU No.7/2017.Pasalnya, Sarmuji terkejut lantaran dia mengungkapkan bahwa sebelumnya MK selalu menolak dalam 27 kesempatan sebelumnya.

    “Keputusan MK sangat mengejutkan mengingat putusan MK terhadap 27 gugatan [soal UU yang sama] sebelumnya selalu menolak,” kata Sarmuji saat dikonfirmasi, di Jakarta, pada Kamis (2/1/2025).

    Lebih lanjut, dia turut mengungkit bawa MK dan pembuat Undang-Undang (UU) selalu memiliki cara pandang yang sama. “Dalam 27 kali putusannya cara pandang MK dan pembuat UU selalu sama, yaitu maksud diterapkannya presidensial treshold itu untuk mendukung sistem presidensial bisa berjalan secara efektif,” pungkasnya.  

  • Isu Politik Terkini: MK Hapus Presidential Threshold hingga Jokowi Ungkap Hubungannya dengan Anies-Ahok

    Isu Politik Terkini: MK Hapus Presidential Threshold hingga Jokowi Ungkap Hubungannya dengan Anies-Ahok

    Jakarta, Beritasatu.com –  Berbagai isu polisik terkini mewarnai pemberitaan Beritasatu.com pada Kamis (2/1/2025) hingga pagi ini. Mulai dari MK menghapus syarat ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold 20 persen hingga mantan Presiden Jokowi mengungkap perihal hubungannya dengan Anies Baswedan dan Ahok.

    Berikut 5 isu politik terkini Beritasatu.com:

    MK Hapus Presidential Threshold 20 Persen
    Isu politik terkini pertama yang menyorot perhatian publik adalah sikap berani Mahkamah Konstitusi (MK) menghapus presidential threshold 20 persen kursi di DPR yang diatur dalam Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, karena dinilai bertentangan dengan UUD 1945. 

    Putusan itu dibacakan Ketua MK Suhartoyo dalam sidang pamungkas atas perkara 62/PUU-XXII/2024 yang diajukan Enika Maya Oktavia di gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (2/1/2025).

    “Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” ujar Suhartoyo.

    Hakim MK Anwar Usman dan Daniel Yusmic Tak Sepakat Hapus Presidential Threshold
    MK memutuskan menghapus presidential threshold 20 persen kursi di DPR dalam sidang putusan gugatan atas UU Pemilu, Kamis (2/1/2025). Namun, dua hakim konstitusi, Anwar Usman dan Daniel Yusmic Pancastaki Foekh, menyatakan perbedaan pendapat atau dissenting opinion. 

    “Kedua hakim tersebut berpendapat bahwa para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum atau legal standing,” kata Ketua MK Suhartoyo saat membacakan perbedaan pendapat para hakim.

    Meski demikian, Anwar Usman dan Daniel kalah suara karena mayoritas hakim MK setuju dengan penghapusan syarat ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden.

    DPR Akan Susun Norma Baru Setelah MK Hapus Presidential Threshold 
    Ketua Komisi II DPR Rifqinizamy Karsayuda menyatakan DPR menghormati putusan MK yang menghapus presidential threshold 20 persen. 

    “Putusan ini bersifat final and binding, sehingga kami berkewajiban untuk menindaklanjutinya,” ujar Rifqi di Jakarta, Kamis (2/1/2025).

    Rifqi menegaskan DPR bersama pemerintah akan segera menindaklanjuti putusan MK tersebut dengan menyusun norma baru yang sesuai dengan undang-undang terkait pencalonan presiden dan wakil presiden. Ia menyebut keputusan ini sebagai babak baru dalam demokrasi konstitusional di Indonesia.

    Budi Gunawan Respons Soal Jokowi Finalis Tokoh Dunia Terkorup Versi OCCRP
    Isu politik terkini selanjutnya masih seputar Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi) yang masuk finalis tokoh dunia terkorup 2024 versi organisasi jurnalis investigasi global Organized Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP). Menko Polkam Budi Gunawan mengimbau semua pihak untuk menjaga muruah Jokowi. 

    “Bagaimanapun, presiden adalah warga negara terbaik di setiap negara. Kita harus menghargai legacy beliau dan menjaga muruah presiden dengan baik,” ujar Budi kepada wartawan, Kamis (2/1/2025).

  • Revisi UU merujuk putusan MK soal `presidential threshold`

    Revisi UU merujuk putusan MK soal `presidential threshold`

    Wakil Menteri Dalam Negeri Bima Arya Sugiarto dalam acara Bimbingan Teknis Sistem Informasi Pemerintahan Daerah (SIPD) di Hotel Mercure Jakarta Kota, Jakarta, Jumat (27/12/2024). (ANTARA/HO-Puspen Kementerian Dalam Negeri)

    Wamendagri: Revisi UU merujuk putusan MK soal `presidential threshold`
    Dalam Negeri   
    Editor: Sigit Kurniawan   
    Kamis, 02 Januari 2025 – 21:13 WIB

    Elshinta.com – Wakil Menteri Dalam Negeri Bima Arya Sugiarto mengatakan bahwa revisi Undang-Undang Pemilu dan Pilkada dalam undang-undang sapu jagat atau omnibus law politik akan merujuk putusan Mahkamah Konstitusi mengenai ambang batas persentase minimal pencalonan presiden atau presidential threshold.

    “Proses revisi Undang-Undang Pemilu dan Pilkada pun pembahasannya harus merujuk kepada semangat putusan MK ini. Misalnya, termasuk dengan syarat threshold (ambang batas, red) pencalonan bagi kepala daerah, pemilihan langsung atau melalui DPRD,” kata Wamendagri saat dihubungi ANTARA dari Jakarta, Kamis (2/1).

    Selain itu, Bima memastikan bahwa Kementerian Dalam Negeri sebagai perwakilan pemerintah akan berkomunikasi dengan Komisi II DPR RI mengenai putusan MK tersebut.

    “Iya kan memang kami akan segera mulai pembahasan revisi UU Pemilu dan Pilkada,” ujarnya.

    Sebelumnya, MK memutuskan menghapus ketentuan ambang batas minimal persentase pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) pada Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu karena bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

    “Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” ujar Ketua MK Suhartoyo saat membacakan amar putusan Nomor 62/PUU-XXII/2024 di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Kamis.

    Dalam pertimbangan putusan, Wakil Ketua MK Saldi Isra mengatakan bahwa merujuk risalah pembahasan Pasal 6A ayat (2) UUD NRI Tahun 1945, pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu merupakan hak konstitusional partai politik.

    MK memandang presidential threshold yang diatur dalam Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 menutup dan menghilangkan hak konstitusional partai politik peserta pemilu yang tidak memiliki persentase suara sah secara nasional atau persentase jumlah kursi di DPR pada pemilu sebelumnya untuk mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden.

    Selanjutnya, MK mempelajari bahwa arah pergerakan politik Indonesia cenderung selalu mengupayakan setiap pemilu presiden dan wakil presiden hanya diikuti dua pasangan calon.

    Menurut MK, kondisi ini menjadikan masyarakat mudah terjebak dalam polarisasi yang mengancam keutuhan Indonesia apabila tidak diantisipasi.

    Oleh karena itu, MK menyatakan presidential threshold yang ditentukan dalam Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tidak hanya bertentangan dengan hak politik dan kedaulatan rakyat, tetapi juga melanggar moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang tidak dapat ditoleransi.

    Perkara tersebut dimohonkan oleh empat orang mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, yakni Enika Maya Oktavia, Rizki Maulana Syafei, Faisal Nasirul Haq, dan Tsalis Khoirul Fatna.

    Kemudian, terdapat dua hakim konstitusi yang berbeda pendapat, yakni Anwar Usman dan Daniel Yusmic P. Foekh.

    Sumber : Antara

  • Pertimbangan Hakim MK Hapus Ambang Batas Pencalonan Presiden

    Pertimbangan Hakim MK Hapus Ambang Batas Pencalonan Presiden

    Bisnis.com, JAKARTA — Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan pasal 222 Undang-undang (UU) No.7/2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) inkonstitusional. Pasal itu mengatur soal ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden (presidential threshold). 

    Pada sidang pembacaan putusan, Kamis (2/1/2025), MK mengabulkan uji materi terhadap pasal tersebut sebagaimana yang dimohonkan oleh pemohon perkara No.62/PUU-XXII-2024. 

    “Mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” ujar Ketua MK Suhartoyo dalam sidang pembacaan putusan, Kamis (2/1/2025). 

    Dalam amar putusannya, MK juga menyatakan pasal tersebut tidak berkekuatan hukum mengikat. 

    Sementara itu, dalam pertimbangannya, para hakim konstitusi menilai bahwa pasal 222 UU Pemilu tidak sejakan dengan prinsip persamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, hak memperjuangkan diri secara kolektif, serta kepastian hukum yang adil sesuai Undang-undang Dasar (UUD) 1945. 

    Tepatnya, pasal 222 dinilai tidak sesuai dengan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945. 

    “Sebagaimana yang didalilkan oleh para Pemohon. Dengan demikian dalil para Pemohon adalah beralasan menurut hukum untuk seluruhnya,” ujar Wakil Ketua MK Saldi Isra.

    Adapun, terdapat dua hakim konstitusi yang berbeda pendapat atau dissenting opinion, yaitu Anwar Usman dan Daniel Yusmic P Foekh.

    Pemohon dari perkara No.62/PUU-XXII/2024 adalah Enika Maya Oktavia, Rizki Maulana Syafei, Faisal Nasirul Haq dan Tsalis Khoirul Fatna. Semuanya adalah mahasiswa yang tergabung dalam Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga, Komunitas Pemerhati Konstitusi.

    Sebagaimana diketahui, norma yang diujikan adalah Pasal 222 UU Pemilu yang menyatakan “Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya.”

  • Sekjen Golkar Kaget MK Tiba-tiba Hapus Presidential Threshold 20%

    Sekjen Golkar Kaget MK Tiba-tiba Hapus Presidential Threshold 20%

    Bisnis.com, JAKARTA — Sekjen Partai Golkar Sarmuji mengaku dirinya terkejut dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan uji materi terhadap pasal 222 UU No.7/2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) berkaitan dengan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden (presidential threshold). 

    Pasalnya, Sarmuji terkejut lantaran dia mengungkapkan bahwa sebelumnya MK selalu menolak dalam 27 kesempatan sebelumnya.

    “Keputusan MK sangat mengejutkan mengingat putusan MK terhadap 27 gugatan [soal UU yang sama] sebelumnya selalu menolak,” kata Sarmuji saat dikonfirmasi, di Jakarta, pada Kamis (2/1/2025).

    Lebih lanjut, dia turut mengungkit bawa MK dan pembuat Undang-Undang (UU) selalu memiliki cara pandang yang sama.

    “Dalam 27 kali putusannya cara pandang MK dan pembuat UU selalu sama, yaitu maksud diterapkannya presidensial treshold itu untuk mendukung sistem presidensial bisa berjalan secara efektif,” pungkasnya.

    Dalam amar putusan yang dibacakan pada perkara No.62/PUU-XXII/2024, MK menyatakan ambang batas pencalonan presiden yang saat ini berlaku 20% inkonstitusional. Artinya, pencalonan presiden oleh partai politik tidak harus memiliki suara 20% di DPR.  

    “Mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” ujar Ketua MK Suhartoyo dalam sidang pembacaan putusan, Kamis (2/1/2025).  

    MK juga menyatakan dalam putusannya bahwa pasal 222 UU Pemilu bertentangan dengan Undang-undang Dasar (UUD) 1945 alias inkonstitusional. 

    Anwar Usman dan Daniel Yusmic Menolak 

    Ketua MK Suhartoyo mengatakan ada dua hakim yang berpendapat berbeda atau dissenting opinion terkait putusan tersebut. 

    “Terhadap putusan mahkamah a quo terdapat dua hakim yang berpendapat berbeda, yaitu Anwar Usman dan Daniel Yusmic P. Foekh. Bahwa dissenting dimaksud dianggap diucapkan. Namun pada pokoknya, dua hakim tersebut berpendapat para pemohon tidak memiliki kedudukan hukum atau legal standing sehingga mahkamah seharusnya tidak melanjutkan pemeriksaan pada pokok permohonan,” ujarnya, Kamis (2/1/2025). 

    Dalam amar putusan yang dibacakan pada perkara No.62/PUU-XXII/2024, MK menyatakan ambang batas pencalonan presiden yang saat ini berlaku 20% inkonstitusional. Artinya, pencalonan presiden oleh partai politik tidak harus memiliki suara 20% di DPR. 

    “Mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” ujar Ketua MK Suhartoyo dalam sidang pembacaan putusan, Kamis (2/1/2025). 

    MK juga menyatakan dalam putusannya bahwa pasal 222 UU Pemilu bertentangan dengan Undang-undang Dasar (UUD) 1945 alias inkonstitusional. 

    “Dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” lanjut Suhartoyo. 

    Pemohon dari perkara No.62/PUU-XXII/2024 adalah Enika Maya Oktavia, Rizki Maulana Syafei, Faisal Nasirul Haq dan Tsalis Khoirul Fatna.

    Sebagaima diketahui, norma yang diujikan adalah Pasal 222 UU Pemilu yang menyatakan “Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya.”

  • MK Hapus Presidential Threshold, Hakim Anwar Usman dan Daniel Yusmic Tak Sepakat

    MK Hapus Presidential Threshold, Hakim Anwar Usman dan Daniel Yusmic Tak Sepakat

    Jakarta, Beritasatu.com – Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan untuk menghapus aturan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) sebagaimana diatur dalam Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Keputusan tersebut diambil dalam sidang perkara Nomor 62/PUU-XXII/2024 yang digelar pada Kamis (2/1/2025) di Gedung MK, Jakarta.

    Ketua MK, Suhartoyo, menyatakan bahwa norma dalam Pasal 222 UU Pemilu bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak lagi memiliki kekuatan hukum mengikat.

    “Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya, Pasal 222 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” ujar Suhartoyo saat membacakan amar putusan.

    Namun, dua hakim MK, yaitu Anwar Usman dan Daniel Yusmic Pancastaki Foekh, menyatakan perbedaan pendapat atau dissenting opinion terhadap putusan tersebut. Mereka menilai para pemohon dalam perkara uji materi ini tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing).

    “Pada pokoknya kedua hakim tersebut berpendapat bahwa para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum atau legal standing,” kata Ketua MK Suhartoyo saat membacakan perbedaan pendapat para hakim.

    Menurut kedua hakim tersebut, permohonan seharusnya tidak dapat diterima, sehingga Mahkamah tidak perlu melanjutkan pemeriksaan pada pokok permohonan.

    Permohonan uji materi ini diajukan oleh empat mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga, yakni Rizki Maulana Syafei, Enika Maya Oktavia, Faisal Nasirul Haq, dan Tsalis Khoirul Fatna.

    Pasal 222 UU Pemilu sebelumnya mengatur bahwa calon presiden dan wakil presiden hanya dapat diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memiliki minimal 20 persen kursi di DPR atau memperoleh 25 persen suara sah nasional dalam pemilu sebelumnya.

    Dengan putusan ini, norma tersebut dinyatakan tidak berlaku lagi, membuka peluang lebih luas bagi pencalonan presiden dan wakil presiden di Indonesia.

  • MK Hapus Presidential Threshold 20%, Anwar Usman & Daniel Yusmic Beda Pendapat

    MK Hapus Presidential Threshold 20%, Anwar Usman & Daniel Yusmic Beda Pendapat

    Bisnis.com, JAKARTA – Dua orang hakim konstitusi, yaitu Anwar Usman dan Daniel Yusmic P. Foekh, ternyata berbeda pendapat atau dissenting opinion terkait putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal penghapusan ambang batas pencalonan presiden dan wapres (presidential threshold) 20%. 

    MK mengabulkan uji materi terhadap pasal 222 Undang-undang (UU) No.7/2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) berkaitan dengan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden. 

    Ketua MK Suhartoyo mengatakan ada dua hakim yang berpendapat berbeda atau dissenting opinion terkait putusan tersebut. 

    “Terhadap putusan mahkamah a quo terdapat dua hakim yang berpendapat berbeda, yaitu Anwar Usman dan Daniel Yusmic P. Foekh. Bahwa dissenting dimaksud dianggap diucapkan. Namun pada pokoknya, dua hakim tersebut berpendapat para pemohon tidak memiliki kedudukan hukum atau legal standing sehingga mahkamah seharusnya tidak melanjutkan pemeriksaan pada pokok permohonan,” ujarnya, Kamis (2/1/2025). 

    Dalam amar putusan yang dibacakan pada perkara No.62/PUU-XXII/2024, MK menyatakan ambang batas pencalonan presiden yang saat ini berlaku 20% inkonstitusional. Artinya, pencalonan presiden oleh partai politik tidak harus memiliki suara 20% di DPR. 

    “Mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” ujar Ketua MK Suhartoyo dalam sidang pembacaan putusan, Kamis (2/1/2025). 

    MK juga menyatakan dalam putusannya bahwa pasal 222 UU Pemilu bertentangan dengan Undang-undang Dasar (UUD) 1945 alias inkonstitusional. 

    “Dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” lanjut Suhartoyo. 

    Pemohon dari perkara No.62/PUU-XXII/2024 adalah Enika Maya Oktavia, Rizki Maulana Syafei, Faisal Nasirul Haq dan Tsalis Khoirul Fatna.

    Sebagaima diketahui, norma yang diujikan adalah Pasal 222 UU Pemilu yang menyatakan “Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya.”

    Perbesar