Bisnis.com, JAKARTA – Pembangunan infrastruktur Giant Sea Wall (GSW) atau tanggul laut raksasa di utara Jakarta diperkirakan membutuhkan dana sebesar US$40-US$42 miliar atau setara Rp658-Rp691 triliun. Butuh skema pendanaan inovatif untuk merealisasikannya.
Peneliti Universitas Sebelas Maret Anto Prabowo mengatakan dengan kebutuhan dana ratusan triliun itu mustahil untuk ditanggung APBN sepenuhnya, mengingat prioritas lain pada pendidikan, kesehatan, dan pembangunan infrastruktur nasional.
“Solusinya adalah pembiayaan campuran [blended finance], memadukan dana publik, swasta, dan investor global melalui instrumen keuangan inovatif,” kata Anto dalam keterangan tertulis, dikutip Minggu (7/9/2025).
Berdasarkan penelitiannya bersama peneliti dari UNS, Amentis Institute dan Adam Smith Business School-University of Glasgow, Anto mengungkap sejumlah skema pembiayaan Jakarta Great Sea Wall yang dapat diterapkan.
Pertama, instrumen keuangan berupa green sukuk yang diterapkan sebagai obligasi syariah hijau untuk proyek ramah lingkungan. Pendanaan dari green sukuk ini berpotensi memiliki nilai mobilisasi hingga US$1-2 miliar per tahun.
Obligas hijau juga dinilai patuh terhadap prinsip Environment, Social, and Governance (ESG) yang akan menarik investor asal Timur Tengah dan global.
Kedua, pendanaan dari Asset Value Protection (AVP) yang dapat menjamin nilai aset tidak merosot akibat banjir dan subsidensi dengan potensi dana institusional (pensiun, sovereign fund). Instrumen ini sejenis asuransi nilai aset jangka panjang.
Ketiga, skema pembiayaan Viability Gap Funding (VGF) untuk menutup kesenjanagan pembiayaan untuk komponen sosial dan ekologis dengan potensi nilai mobilisasi US$500 juta-US$1 miliar yang dapat bersumber dari hibah APBN untuk relokasi dan rehabilitasi mangrove.
Keempat, instrumen Asset-Backed Securities (ABS) sebagai sekuritisasi dari arus kas reklamasi, pelabuhan, pajak properti dengan potensi nilai US$5-10 miliar yang dapat memberikan upfront capital dari revenue masa depan.
Kelima, Public-Private Partnership (PPP) berupa konsorsium swasta untuk konstruksi dan pengelolaan dengan nilai US$15 miliar, namun terdapat risiko terdistribusi antara publik dan swasta.
Para peneliti menegaskan bahwa GSW adalah proyek multidimensi yang hanya bisa berhasil dengan tata kelola kolaboratif.
“GSW tidak bisa hanya mengandalkan APBN. Inovasi keuangan seperti Green Sukuk, Asset Value Protection, dan ABS menjadikan proyek ini bankable sekaligus inklusif. Namun, tanpa kolaborasi kuat antara pemerintah, swasta, dan regulator, investor tidak akan masuk,” ujarnya.
Tak hanya itu, transparansi, tata kelola ESG, dan safeguards sosial-lingkungan adalah syarat mutlak agar proyek ini tidak hanya besar, tetapi juga adil.
Di samping itu, dia menilai proyek sebesar ini juga menuntut tata kelola polisentris yang melibatkan Kementerian Keuangan, Bappenas, OJK, Indonesia Infrastructure Guarantee Fund (IIGF), serta Pemprov DKI Jakarta.
Namun, Anto juga mengingatkan bahwa proyek sebesar ini tidak lepas dari risiko fiskal yang dapat membengkakan biaya, beban VGF yang berlebihan. Bagi investor, terdapat ketidakpastian regulasi, potensi elite capture, lemahnya governance.
Dari sisi lingkungan, terdapat potensi kerusakan ekosistem laut, hilangnya biodiversitas dan secara sosial yang akan memicu relokasi komunitas pesisir tanpa kompensasi memadai dapat memicu konflik.
“Karena itu, safeguards sosial dan lingkungan harus menjadi bagian integral, bukan pelengkap. Relokasi berbasis hak, kompensasi yang adil, serta rehabilitasi mangrove wajib dijalankan secara transparan dan akuntabel,” pungkasnya.
Tak dipungkiri, proyek GSW menjadi kebutuhan jika melihat Jakarta saat ini yang menghadapi kondisi unik yang disebut double exposure. Dari bawah, tanah Jakarta turun 10–25 cm per tahun akibat ekstraksi air tanah. Dari atas, kenaikan permukaan laut global memperburuk risiko banjir.
Jika dibiarkan, sebagian besar Jakarta Utara dapat tenggelam pada 2050. Kerugian ekonomi dari banjir rob saat ini sudah menembus USD 300 juta per tahun dan berpotensi meningkat dua kali lipat dalam dua dekade.
Terlebih, Jakarta menyumbang 17% PDB nasional, stabilitas ekonomi Indonesia sangat terikat pada keberhasilan melindungi kota ini.
Sebagai informasi, GSW dirancang sebagai sistem adaptasi pesisir terpadu, mencakup tanggul laut lepas pantai dan daratan untuk menahan banjir rob dan intrusi air laut, reservoir air tawar demi ketahanan pasokan air bersih.
Tak hanya itu, proyek raksasa ini juga disebut akan meningkatkan drainase kota untuk mengurangi banjir dalam, ruang biru publik dan rehabilitasi mangrove sebagai solusi ekologi, dan zona ekonomi baru, perumahan, dan kawasan bisnis melalui reklamasi yang terkendali.
“Dengan desain ini, GSW tidak hanya benteng pertahanan, tetapi juga motor transformasi perkotaan—mengubah kawasan pesisir yang rentan menjadi ruang hidup yang produktif, modern, dan berkelanjutan,” tuturnya.






