Tag: Anne Patricia Sutanto

  • Pengusaha Sebut Aturan Baru Kawasan Berikat Bisa Jadi Mainan Mafia Impor

    Pengusaha Sebut Aturan Baru Kawasan Berikat Bisa Jadi Mainan Mafia Impor

    Bisnis.com, JAKARTA — Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI) tengah mengkhawatirkan munculnya permainan mafia kuota impor dengan pemberlakuan aturan baru kawasan berikat yang tidak transparan. 

    Sekjen APSyFI Farhan Aqil mengatakan, pihaknya memahami tujuan pemerintah untuk mengembalikan tujuan awal fasilitas kawasan berikat untuk produksi industri berorientasi ekspor. 

    Dalam rencana Kementerian Keuangan, kuota penjualan domestik dari kawasan berikat akan dipangkas menjadi 25% dari sebelumnya 50%. Sebelumnya, pemberian kuota penjualan domestik dilakukan lantaran permintaan global yang lesu. 

    “Iya, memang terlihat ada dorongan ekspor dengan mengurangi porsi dari 50% ke 25%, tapi di balik itu dikasih opsi sampai 100% asal dapat rekomendasi dari Kemenperin,” kata Farhan kepada Bisnis, dikutip Selasa (2/11/2025). 

    Pelaku usaha mengaku khawatir dengan aturan memberikan 100% kuota penjualan domestik atas rekomendasi dari Kementerian Perindustrian (Kemenperin). Menurut APSyFI, aturan tersebut justru akan menjadi polemik baru. 

    Sebab, perizinan penjualan kawasan berikat ke pasar domestik sebesar 100% dengan menggunakan rekomendasi dari Kemenperin dapat memunculkan mafia kuota impor. 

    “Yang kami soroti justru rekomendasi Kemenperin ini yang menjadi sumber masalah utama karena ketidakbersediaan Kemenperin untuk transparansi maka kuota impornya terus berlebih,” jelas Farhan. 

    Dengan adanya tambahan wewenang Kemenperin untuk memberikan rekomendasi kuota domestik untuk pengusaha kawasan berikat, maka barang yang masuk ke pasar domestik menjadi tidak terkontrol dan akan mengakibatkan produsen lokal terus tertekan.

    “Nah, dengan sistem yang tidak transparan ini jadi mainan mafia kuota,” ujarnya. 

    Kendati demikian, Ketua Umum Asosiasi Garmen dan Textile (AGTI) Anne Patricia Sutanto mengatakan, pihaknya tak mempermasalahkan pemangkasan kuota penjualan domestik kawasan berikat menjadi 25%. 

    “Kan tetap bisa dengan dasar untuk substitusi impor,” ungkapnya, dihubungi terpisah. 

    Terlebih, AGTI menilai industri tekstil dan produk tekstil (TPT) telah pulih dengan ekspor mencapai US$8,07 miliar hingga Agustus 2025, dengan pertumbuhan industri TPT mencapai 5,92% pada triwulan III/2025. 

    Sebelumnya, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan kuota penjualan ke pasar domestik bagi industri di kawasan berikat dari 50% menjadi 25% mutlak dilakukan demi menjaga persaingan usaha yang sehat, meski pengusaha minta kelonggaran. 

    Purbaya menjelaskan bahwa desain awal kawasan berikat sejatinya adalah berorientasi ekspor. Kelonggaran kuota pasar domestik hingga 50% yang sempat berlaku sebelumnya merupakan kebijakan pengecualian atau diskresi akibat ambruknya permintaan global saat pandemi Covid-19.

    Bendahara negara itu menyoroti adanya ketimpangan apabila fasilitas ini tidak diketatkan. Industri di kawasan berikat memiliki keunggulan economies of scale (skala ekonomi) karena kemudahan impor bahan baku dalam volume besar.

    Menurutnya, jika produk dari kawasan berikat membanjiri pasar dalam negeri tanpa pembatasan ketat maka industri domestik non-fasilitas akan tergerus karena kalah bersaing dari sisi struktur biaya. 

    “Biar bagaimanapun, kawasan berikat bisa impor banyak di sana, yang domestik pasti ada kerugian di situ. Jadi kami kembalikan ke desain semula saja,” tegasnya, beberapa waktu lalu. 

  • Beda dengan Industri Hulu Tekstil, Sektor Hilir Disebut Mulai Pulih

    Beda dengan Industri Hulu Tekstil, Sektor Hilir Disebut Mulai Pulih

    Bisnis.com, JAKARTA — Asosiasi Garmen dan Tekstil Indonesia (AGTI) menyebut kinerja industri tekstil dan produk tekstil (TPT) jelang akhir tahun ini menunjukkan arah yang lebih positif dibandingkan tahun lalu.

    Hal ini disebut tercerminkan dari data Badan Pusat Statistik (BPS) di mana total ekspor mencapai US$8,07 miliar hingga Agustus 2025, dengan pertumbuhan industri TPT mencapai 5,92% pada triwulan III/2025 lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 5,04%. 

    Ketua Umum AGTI Anne Patricia Sutanto mengatakan, berbagai indikator resmi, baik dari BPS maupun laporan industri, memperlihatkan bahwa pemulihan mulai bergerak ke jalur yang lebih stabil meskipun masih bertahap.

    “Pertumbuhan ekspor ini didorong oleh peningkatan pada produk kimia, pakaian jadi, serta kulit dan alas kaki,” kata Anne kepada Bisnis, Senin (1/12/2025). 

    Dari sisi hilir, permintaan domestik mulai membaik dan pelaku industri melihat kembali peluang untuk meningkatkan kapasitas. Sementara itu, sektor hulu memang masih menghadapi tekanan. 

    Pasalnya, ketergantungan impor bahan baku yang cukup tinggi. Namun, trennya perlahan menunjukkan stabilisasi seiring pasar yang lebih tertata dan penertiban impor ilegal yang mulai memberikan dampak langsung di lapangan.

    “Dengan kombinasi peningkatan ekspor, stabilitas pasar domestik, dan data pertumbuhan yang positif, kami melihat bahwa fondasi pemulihan industri TPT sudah mulai terbentuk,” tuturnya. 

    Anne menilai bahwa pemulihan industri TPT masih berjalan bertahap dan belum merata. Momentum pemulihan penting karena menunjukkan bahwa industri TPT bergerak ke arah yang lebih kuat dibanding tahun lalu dan memasuki tahun depan dengan optimisme yang terukur tetapi solid.

    Adapun, momentum perbaikan industri TPT akhir tahun ini ditopang oleh beberapa pendorong utama. Pertama, pasar domestik yang lebih stabil memberikan ruang bagi produsen garmen dan apparel untuk meningkatkan kapasitas secara bertahap. 

    “Konsumsi masyarakat, khususnya segmen menengah mulai pulih sehingga permintaan terhadap pakaian jadi dan household textiles meningkat,” jelasnya. 

    Kedua, penegakan impor ilegal yang lebih tegas dari pemerintah menghasilkan dampak nyata di lapangan seperti pasar menjadi lebih tertata, kompetisi lebih sehat, dan produk lokal kembali memiliki ruang untuk tumbuh. 

    “Ini menjadi salah satu faktor yang paling dirasakan langsung oleh pelaku industri,” tambahnya. 

    Ketiga, perubahan preferensi global menuju produk berkelanjutan menciptakan peluang baru bagi industri yang telah berinvestasi dalam serat daur ulang, low-impact processes, dan sistem produksi yang efisien. 

    Menurut Anne, tak sedikit anggota AGTI yang kini melihat peningkatan permintaan dari buyer untuk kategori produk dengan standar sustainability yang lebih tinggi.

    Dari sisi produk, dia melihat peningkatan permintaan paling terlihat pada apparel dan garmen untuk pasar domestik dan beberapa pasar ekspor yang mulai stabil, household textiles seperti beddings dan home fabric, serta technical textiles yang digunakan untuk kebutuhan industri, kesehatan, dan fungsional.

    Selain itu, produk berbasis circular economy seperti material hasil daur ulang dan recycled blended fibers mulai masuk ke permintaan yang lebih konsisten seiring kebijakan ESG global yang semakin ketat.

    “Secara keseluruhan, dorongan pasar domestik, penertiban impor ilegal, serta transisi ke produk bernilai tambah dan berkelanjutan menjadi faktor utama yang menggerakkan pemulihan industri di akhir tahun ini,” pungkasnya. 

  • Penetapan UMP tinggal 2 Minggu Lagi, Menaker: Tunggu Saja

    Penetapan UMP tinggal 2 Minggu Lagi, Menaker: Tunggu Saja

    Liputan6.com, Jakarta – Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Yassierli buka suara soal penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP) akan dilakukan dalam waktu dua minggu ke depan.

    Saat ini, proses pembahasan masih berlangsung di Dewan Pengupahan Nasional (Depenas) serta Dewan Pengupahan di tingkat provinsi.

    “Fasenya sedang berjalan di Depenas, Dewan Pengupahan Provinsi,” kata Yassierli di kantor Kemnaker, Jakarta, Rabu (12/11/2025).

    Ia menjelaskan, proses penetapan UMP setiap tahun melibatkan berbagai pihak melalui mekanisme dialog sosial antara pemerintah, serikat pekerja, dan pengusaha. Pemerintah menekankan pentingnya keseimbangan antara perlindungan bagi pekerja dan keberlanjutan usaha bagi dunia industri.

    “Kita terus melakukan dialog sosial, mendapatkan masukan dari teman-teman, serikat pekerja, serikat buruh, dan dari teman-teman pengusaha Apindo. Tunggu saja,” ujarnya.

    Buruh Minta UMP 2026 Naik 20%

    Kelompok buruh mengusulkan upah minimum provinsi atau UMP naik hingga 20% pada 2026. Tingkat inflasi hingga daybeli masyarakat yang terpengaruh disebut jadi beberapa pertimbangannya.

    Presiden Asosiasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (Aspirasi), Mirah Sumirat mengatakan, dalam hitungannya UMP 2026 perlu naik 15%-20%. Besaran UMP menurutnya menjadi penting untuk menjadi penopang hidup pekerja.

    “Upah minimum harus mengangkat martabat pekerja dan keluarganya, bukan sekadar membuat mereka bertahan hidup,” kata Mirah, saat dihubungi Liputan6.com, Selasa (11/11/2025).

    Respons Pengusaha

    Ketua Umum Asosiasi Garment dan Textile Indonesia (AGTI), Anne Patricia Sutanto, menyoroti kebijakan kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) tahun 2025 yang mencapai 6,5 persen di sejumlah daerah.

    Dia menuturkan, kenaikan tersebut tidak berdampak signifikan terhadap penciptaan lapangan kerja, bahkan cenderung mempersempit peluang kerja baru di sektor padat karya seperti tekstil dan garmen.

    “Nyatakan, tahun lalu waktu upah minimum dipaksakan di 6,5 persen dan beberapa daerah kena upah minimum sektoral dan bukanya kita bertambah lapangan kerja tapi ya semua sudah tahu datanya. Jadi, tolong kali ini simpan egonya kita, bagi semuanya yang menjadi penentu upah minimum,” kata Anne usai bertemu dengan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa di kantor Kemenkeu, Jakarta, Selasa, 4 November 2025.

     

  • Temui Menaker Yassierli, Asosiasi Garmen-Tekstil Klaim Tak Ada PHK

    Temui Menaker Yassierli, Asosiasi Garmen-Tekstil Klaim Tak Ada PHK

    Bisnis.com, JAKARTA – Asosiasi Garment dan Tekstil Indonesia (AGTI) menegaskan bahwa kondisi industri tekstil dan garmen nasional tetap solid di tengah berbagai tantangan global.

    Ketua Umum AGTI Anne Patricia Sutanto menyebut tidak ada pemutusan hubungan kerja (PHK) yang terjadi di sektor ini, bahkan sejumlah perusahaan justru memperluas kapasitas produksi dan membuka pabrik baru.

    Hal ini dia sampaikan usai melakukan audiensi dengan Menteri Ketenagakerjaan Yassierli di Kantor Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker), Jakarta, Kamis (6/11/2025).

    “Tidak ada pemutusan hubungan kerja. Justru banyak perusahaan yang menambah kapasitas produksi, merekrut tenaga kerja baru, bahkan membuka pabrik baru. Artinya, industri tekstil dan garmen Indonesia terus tumbuh dan bergerak maju,” ujar Anne melalui rilisnya, Jumat (7/11/2025).

    Anne mengaku bahwa dalam pertemuan tersebut asosiasi bersama kementerian membahas sejumlah langkah strategis dalam memperkuat daya saing industri tekstil dan garmen, termasuk peningkatan kompetensi tenaga kerja serta penyederhanaan regulasi lintas kementerian.

    AGTI menyatakan siap mendukung penuh program-program Kemenaker, khususnya melalui pelaksanaan program magang industri dan penyusunan kurikulum berbasis kompetensi.

    “Program magang dari Kemenaker harus dimanfaatkan sebaik-baiknya. Kuotanya mencapai 15 persen dari total karyawan di setiap perusahaan. Ini peluang besar untuk mencetak tenaga kerja siap pakai yang sesuai kebutuhan industri,” jelas Anne.

    Selain itu, AGTI bersama Kemenaker juga berkomitmen menyusun kurikulum berstandar kompetensi nasional yang disusun secara kolaboratif antara dunia industri, akademisi, dan pemerintah. Kurikulum ini diharapkan dapat melahirkan tenaga kerja yang adaptif terhadap teknologi dan memiliki daya saing tinggi di pasar global.

    AGTI juga mendorong pembentukan Productivity Center di sejumlah Balai Latihan Kerja (BLK) seperti di Serang, Bekasi, Solo, Bandung, dan Semarang. Fasilitas ini akan difokuskan pada peningkatan keterampilan dan efisiensi tenaga kerja di sektor tekstil dan garmen.

    Selain membahas penguatan SDM, AGTI turut mengusulkan penyederhanaan proses perizinan dan pemangkasan biaya regulasi yang berkaitan dengan Kemenaker, Kementerian Perdagangan (Kemendag), Kementerian Perindustrian (Kemenperin), serta Kementerian Lingkungan Hidup.

    Anne menegaskan, langkah-langkah tersebut diperlukan untuk memperkuat ekosistem industri tekstil dan produk tekstil (TPT) agar lebih efisien dan kompetitif, terutama di tengah implementasi berbagai perjanjian dagang internasional.

    “Dalam rangka meningkatkan daya saing seiring dengan berbagai perjanjian dagang multilateral dan bilateral yang sudah atau akan efektif, seperti EU–Indonesia FTA dan Indonesia–Canada CEPA, kami sangat optimistis terhadap masa depan industri ini,” tandas Anne.

  • Usai Datangi Purbaya, Ini Kata Bos Pengusaha Tekstil Soal Upah Minimum

    Usai Datangi Purbaya, Ini Kata Bos Pengusaha Tekstil Soal Upah Minimum

    Jakarta, CNBC Indonesia – Pembahasan kenaikan upah minimum tahun 2026 belum resmi dimulai, meski buruh sudah mulai menyuarakan harapannya. Sesuai ketentuan dalam Peraturan Pemerintah (PP) No 51/2023, pengumuman besaran kenaikan upah minimum tahun dilakukan pada tanggal 21 November setiap tahunnya.

    Namun, jadwal itu bisa saja dipercepat atau mundur tergantung tanggal 21 November jatuh pada hari apa. Atau jika pemerintah memiliki kebijakan khusus. Seperti untuk kenaikan upah minimum tahun 2025, Presiden Prabowo Subianto mengumumkan langsung pada 29 November 2024 lalu.

    Di sisi lain, suara buruh saat ini masih terpecah. Ada yang menuntut kenaikan 8,5-10,5%. Ada juga yang meminta besaran kenaikan jangan dipukul rata untuk menghindari gap upah minimum yang semakin besar antardaerah di Indonesia.

    Lalu bagaimana dari pihak pengusaha?

    Usai menemui Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa di Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Selasa (4/11/2025), Ketua Umum Asosiasi Garment dan Textike Indonesia (AGTI) Anne Patricia Sutanto mengaku, upah minimum jadi salah satu topik yang disampaikan dalam pertemuan itu.

    “Iya, tadi kita juga sampaikan. Prinsipnya, upah minimum tuh selalu harus dicap dengan produktivitas dan efisiensi. Karena ketika ngomong daya saing, di sisi konsumen kan dari sisi kualitas, kuantitas, juga dari sisi harga,” katanya kepada wartawan.

    “Kita harapannya juga pekerja dalam hal ini kan inginnya juga sustainability dari lapangan kerjanya. Untuk sustainability dari lapangan kerja kan balik-baliknya adalah bagaimana kita bisa, walaupun naik pun, bisa memikirkan penambahan produktivitas dan efisiensi,” tambahnya.

    Karena itu, dia berharap, para pekerja, termasuk Serikat Pekerja, dan juga pemerintah, tetap mempertimbangkan hal daya saing dalam menetapkan kenaikan upah.

    “Upah minimum harus memperhatikan, bukan hanya gengsi satu buah serikat, tapi lebih ke arah lapangan kerja. Berapa banyak yang akan dibentuk yang akan ada dengan adanya penambahan upah minimum,” ucapnya.

    “Nyata kan tahun lalu waktu upah minimum dipaksakan di 6,5, terus ada beberapa daerah kena upah minimum sektoral. Bukannya kita bertambah lapangan kerja tapi ya semua kan udah tahu datanya. Jadi tolong kali ini put egonya, kita bagi semuanya yang menjadi penentu upah minimum,” cetus Anne.

    Dengan mengesampingkan ego, sambungnya, akan dilihat apakah tahun depan akan ada penambahan lapangan kerja atau tidak.

    “Kalau ada penambahan lapangan kerja berarti memang kita kan gak boleh egois, kita harus sama-sama duduk sama rendah berdiri sama-sama tinggi. Kenapa? Karena butuh lapangan kerja lebih banyak daripada yang saat ini sedang bekerja. Next generation kan perlu lapangan kerja,” tukasnya.

    “Kalau calon pengusaha yang mau masuk Indonesia atau mau berkembang di Indonesia sudah takut kenaikan upah minimum, Bapak Ibu yang jadi pengusaha mau gak menambah lapangan kerja? Ini kan common sense yang kita harus pikirkan masuk akal apa nggak,” ucapnya.

    Di sisi lain, Anne menegaskan, dalam pertemuan dengan Menkeu Purbaya tersebut, para pihak sepakat mendorong upaya untuk menaikkan pertumbuhan ekonomi Indonesia, bersatu dalam ekonomi Pancasila.

    “Kalau seluruh mitra kami yaitu pemerintah, pengusaha dan juga pekerja bersatu di dalam ekonomi Pancasila, pastinya kita bisa meningkatkan potensi kita 2 kali lipat dan tidak impossible. Sangat mungkin kita akan melebihi negara-negara yang saat ini menjadi pesaing kita. Yang penting kita bersatu makanya kita put ekonomi Pancasila, karena sila ketiga kita kan Persatuan Indonesia,” sebutnya.

    “Kita mengimbau semua stakeholders garmen dan tekstil, sayangilah industri padat karya ini. Karena ini memberi transformasi industri yang baik. Karena pekerja kita kan nggak usah selalu harus lulusan S1, S2. Ada bagus, nggak ada pun kita bisa upayakan dalam industri 4.0 yang merupakan program dari Kementerian Perindustrian,” kata Anne.

    (dce/dce)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Pengusaha Garmen Minta Pemerintah-Pekerja Turunkan Ego soal UMP

    Pengusaha Garmen Minta Pemerintah-Pekerja Turunkan Ego soal UMP

    Jakarta

    Ketua Umum Asosiasi Garmen dan Textile Indonesia (AGTI), Anne Patricia Sutanto, mengingatkan agar penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP) 2026 memperhatikan faktor produktivitas dan efisiensi. Ia juga meminta para pihak yang terlibat dalam diskusi penetapannya untuk menurunkan ego masing-masing.

    Anne menilai, penetapan UMP berkaitan erat dengan daya saing industri. Pertimbangan produktivitas dan efisiensi ini penting untuk menjaga keberlanjutan usaha.

    “Prinsipnya upah minimum selalu harus di-capped (disesuaikan) dengan produktivitas dan efisiensi. Karena when it comes to daya saing, kalau konsumen, bapak, ibu semua kan di sini konsumen, kita lihat dari sisi kualitas, kuantitas, juga dari sisi harga,” kata Anne usai pertemuan di Kementerian Keuangan, Jakarta Pusat, Selasa (4/11/2025).

    Menurutnya, keberlanjutan usaha juga sangat penting bagi sektor lapangan kerja itu sendiri. Bila tekanan upah terlalu tinggi tanpa adanya peningkatan efisiensi, perusahaan akan tertekan dan sulit bertahan, apalagi melakukan ekspansi untuk membuka lapangan kerja.

    “Kami melihat kalau sepanjang asas Newton rules di upah minimum, produktivitas, dan efisiensi diperhatikan oleh para pekerja, serikat pekerja, juga pemerintah terkait maupun lembaga lainnya, kami yakin berdaya saing,” ujarnya.

    Di samping itu, ia juga memperingatkan para pemangku kepentingan yang terlibat dalam diskusi penetapan upah minimum agar menurunkan ego masing-masing. Sebab yang terpenting ialah menjaga agar industri dapat berjalan secara berkelanjutan.

    “Tolong kali ini put ego kita, bagi semuanya yang menjadi penentu upah minimum. Coba ya, kita sama-sama put ego tahun ini untuk tahun depan, apakah ada penambahan lapangan kerja? Kalau ada penambahan lapangan kerja, berarti memang kita nggak boleh egois. Kita harus sama-sama duduk sama rendah, berdiri sama-sama tinggi,” kata dia.

    Ia juga menyinggung pengalaman tahun lalu, ketika UMP dipaksakan naik hingga 6,5% di beberapa daerah. Alih-alih membuka lapangan kerja baru, hal itu justru menekan para pelaku industri.

    “Bukan hanya soal gengsi satu-dua serikat, tapi lebih ke lapangan kerja, berapa banyak yang akan terbentuk dengan adanya penambahan upah minimum. Nyata kan tahun lalu, waktu upah minimum dipaksakan naik 6,5%, terus ada beberapa daerah kena upah minimum sektoral, bukannya kita bertambah lapangan kerja, tapi semua kan sudah tahu datanya. Jadi tolong kali ini simpan ego kita, bagi semuanya yang menjadi penentu upah minimum,” ujar Anne.

    Anne menilai, saat ini ada lebih banyak orang yang membutuhkan lapangan kerja ketimbang mereka yang sudah bekerja. Belum lagi ditambah generasi berikutnya yang juga akan membutuhkan lapangan kerja.

    Selain itu, ia juga mengingatkan agar upah minimum yang terlalu tinggi di tengah kondisi saat ini tidak justru mendatangkan ketakutan bagi calon pengusaha yang ingin mengembangkan usaha di Indonesia. Hal ini justru dapat menghambat penambahan lapangan kerja.

    “Kalau sudah calon pengusaha yang mau masuk ke Indonesia atau mau berkembang di Indonesia udah takut karena kenaikan upah minimum, bapak ibu yang jadi pengusaha mau nggak menambah lapangan kerja? Ini kan common sense yang harus kita pikirkan-masuk akal apa nggak,” katanya.

    (shc/ara)

  • Pengusaha Garmen Minta Pemerintah-Pekerja Turunkan Ego soal UMP

    Pengusaha Minta Purbaya Cegah Pakaian Bekas Impor Masuk Pasar RI

    Jakarta

    Asosiasi Garmen dan Tekstil Indonesia (AGTI) meminta pemerintah mencegah masuknya pakaian bekas impor ilegal ke pasar dalam negeri. Para pengusaha juga menyarankan metode daur ulang untuk menggantikan langkah pemusnahan produk ilegal tersebut

    Kementerian Keuangan melalui Ditjen Bea dan Cukai telah melakukan penertiban atas produk-produk ilegal tersebut. Meski demikian, para pengusaha garmen dan tekstil juga meminta dilakukan penindakan terhadap importir.

    “Kami sangat setuju bahwa keputusan Kemenkeu, dalam hal ini Pak Purbaya bersama Dirjen Bea dan Cukai, sudah tepat. Harapan kami sebenarnya di level importir langsung, kalau pun nanti ada barang yang sudah terlanjur di kepabeanan dan perlu diproses lebih lanjut, itu jangan masuk ke pasar lokal,” kata Ketua Umum AGTI Anne Patricia Sutanto usai pertemuan di Kementerian Keuangan, Jakarta Pusat, Selasa (3/11/2025).

    Anne mengatakan, pemerintah sudah memiliki aturan yang melarang impor pakaian bekas melalui Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 40 Tahun 2022 tentang Barang Dilarang Ekspor dan Barang Dilarang Impor.

    Ia berharap implementasi aturan tersebut dapat didukung dengan ketegasan dari Ditjen Bea dan Cukai sebagai gerbang utama aktivitas impor di pelabuhan.

    “Karena menurut kami ini kan sudah ada Permendag bahwa hal ini dilarang. Jadi ketegasan di lapangan oleh Bea Cukai juga diperlukan. Cuma kan selalu dikatakan bahwa sayang bajunya dibakar atau dimusnahkan,” ujarnya.

    Selaras dengan hal tersebut, AGTI menyampaikan solusi pengelolaan barang-barang yang terlanjur masuk kawasan kepabeanan tersebut. Anne menyarankan agar bisa dilakukan pencacahan menjadi bahan daur ulang.

    “Baju ini bisa dicacah dan menjadi bahan daur ulang. Kalau polyester, polyester base; kalau cotton, cotton base; kalau yang lain juga bisa. Karena kita memerlukan bahan daur ulang sebagai bagian dari daya saing kita secara global,” ujar Anne.

    Di sisi lain, Anne juga menegaskan, pihaknya tidak menentang aktivitas impor. AGTI hanya berharap agar aktivitas impor bisa dilaksanakan dengan tertib dan industri dalam negeri tetap terjaga.

    Pihaknya juga siap menampung keluhan dari para pedagang thrift shop dan berkolaborasi membangun rantai pasok dari hulu ke hilir. Dengan demikian, diharapkan industri dalam negeri bisa semakin kuat.

    “Kalau nanti ada keluhan dari pedagang-pedagang di lapangan, kami di AGTI dan seluruh produsen lokal, baik kain maupun garmen, produk jadi, serta asosiasi perancang busana dan label fesyen lokal, siap untuk memenuhi kebutuhan teman-teman pedagang pakaian di lapangan,” kata dia.

    Perkuat Daya Saing

    Dalam keterangannya, Anne menyatakan komitmennya untuk memperkuat daya saing industri garmen dan tekstil nasional. Pihaknya telah menyampaikan roadmap penguatan daya saing dengan pendekatan analisis SWOT Analysis Peningkatan Daya Saing Industri TPT Nasional dan Ekosistemnya untuk memetakan peluang dan tantangan industri tekstil ke depan.

    Dalam dua minggu kedepan AGTI akan mendetailkan beberapa tantangan dan usulan untuk debottlenecking. “Audiensi AGTI dan tanggapan Pak Menkeu dan jajaran Kemenku memberikan angin segar bagi industri garmen dan tekstil tanah air, ujar Anne.

    Anne mengungkapkan bahwa AGTI bersama pemerintah sedang menyiapkan langkah-langkah konkret untuk memperkuat sektor industri padat karya ini.

    “Pertemuan lanjutan dengan KSSK dijadwalkan untuk membahas berbagai aspek strategis, termasuk penyederhanaan perizinan industri, khususnya dalam penerapan PP Nomor 28 terkait perizinan lingkungan hidup,” jelasnya.

    AGTI juga menyoroti kebijakan impor produk tekstil bekas (thrifting). Anne menilai keputusan pemerintah yang tegas membatasi peredaran barang thrifting di pasar lokal sudah sangat tepat dan memberi peluang positif bagi produsen pakaian jadi berorientasi market lokal.

    “Kami sangat mendukung keputusan Pak Purbaya. Barang yang sudah melalui kepabeanan tidak seharusnya beredar di pasar domestik. Industri lokal harus mendapat perlindungan agar bisa tumbuh. Di sisi lain, kami juga tengah mengembangkan solusi berbasis daur ulang poliester agar tetap kompetitif dan ramah lingkungan,” tambah Anne.

    (shc/ara)

  • Pengusaha Garmen Minta Pemerintah-Pekerja Turunkan Ego soal UMP

    Purbaya Bertemu Pengusaha Garmen dan Tekstil, Ini yang Dibahas

    Jakarta

    Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa bertemu dengan Asosiasi Garment dan Textile Indonesia (AGTI). Pertemuan itu membahas sejumlah persoalan strategis di sektor industri pakaian dan tekstil.

    Ketua Umum AGTI, Anne Patricia Sutanto, mengatakan kunjungannya kali ini juga dalam rangka memperkenalkan asosiasinya yang baru berdiri per 1 Oktober 2025 lalu. Dalam kesempatan itu, ia juga menyerahkan peta jalan atau roadmap pengembangan industri.

    “Kita kasih roadmap ke Bapak Menteri dan jajarannya. Kita juga berikan selain roadmap, ada SWOT Analysis, jadi pastinya ada peluang, ada kesempatan, juga ada ancaman maupun kelemahan kita. Memang Pak Purbaya dengan jajarannya langsung mencatat,” kata Anne usai pertemuan di Kantor Kementerian Keuangan, Jakarta Pusat, Selasa (4/11/2025).

    Anne mengatakan, Kementerian Keuangan merespons positif atas pertemuan tersebut dan akan menindaklanjutinya dalam pertemuan dua minggu mendatang untuk membahas lebih mendalam, khususnya menyangkut peluang di industri pakaian dan tekstil.

    “Peluang ini mesti kita capture, karena kami meyakini dengan adanya EU-Indonesia dan Indonesia-Canada Free Trade Agreement yang nantinya akan efektif pada akhir tahun 2026 atau awal 2027, bisa menambah kesempatan dan lapangan kerja. Jangan sampai potensi yang seharusnya bisa kita dapatkan tidak dinikmati oleh Indonesia,” ujarnya.

    Selain itu, kedua pihak juga membahas implementasi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko, yang telah diundangkan pada Juni 2025 lalu.

    Pihaknya tengah meninjau efektivitas regulasi tersebut di lapangan terhadap para pelaku usaha, termasuk terkait perizinan lingkungan hidup seperti Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).

    “Kalau pabrik itu mau menambah kapasitas ataupun pabrik baru dibentuk, kan perlu perizinan untuk kepatuhannya. Juga perlu izin lingkungan hidup karena kita kan ada tekstilnya, ada garmennya, ada spinning. Jadi, kita ingin pemerintah mengetahui bahwa di level tertentu mungkin ada backlog yang bisa di-unlock oleh pemerintah pusat. Dalam hal ini ada hal-hal tertentu yang mungkin memang ranahnya Kemenkeu atau Pak Purbaya bisa menyampaikannya lewat ratas dengan Kemenko Perekonomian dan industri,” ujar dia.

    Dukung Penertiban Impor Ilegal

    Di samping itu, AGTI juga mendukung penertiban impor pakaian bekas ilegal. Menurutnya, kebijakan yang dijalankan oleh Ditjen Bea dan Cukai itu sudah tepat.

    Anne mengatakan, pihaknya juga berharap agar pemerintah melakukan pengetatan pengawasan di level importir langsung. Dalam hal ini, apabila ada produk pakaian jadi yang sudah terlanjur masuk ke kepabeanan, jangan sampai masuk ke pasar lokal.

    “Kalau pun nanti ada barang yang sudah terlanjur di kepabeanan dan perlu diproses lebih lanjut, itu jangan masuk ke pasar lokal. Karena menurut kami ini kan sudah ada Permendag bahwa hal ini dilarang. Jadi, ketegasan di lapangan oleh Bea Cukai juga diperlukan. Cuma kan selalu dikatakan bahwa sayang bajunya dibakar atau dimusnahkan,” kata dia.

    Atas kondisi tersebut, AGTI menyampaikan solusi pengelolaan barang-barang tersebut dengan melakukan pencacahan menjadi bahan daur ulang untuk yang berbahan poliester hingga katun.

    Anne juga menegaskan, pihaknya tidak menentang aktivitas impor. AGTI hanya berharap agar aktivitas impor bisa dilaksanakan dengan tertib dan industri dalam negeri tetap terjaga.

    Selain itu, ia juga menyinggung soal efisiensi biaya produksi dan daya saing global industri dalam negeri. Anne berharap pemerintah dapat memberikan dukungan penuh, khususnya dalam hal perizinan bertumpuk yang kerap membebani pelaku usaha.

    Dengan penyederhanaan perizinan, termasuk di level pemerintah daerah, diharapkan dapat mendorong geliat industri hingga akhirnya berdampak pada pembukaan lapangan pekerjaan.

    Halaman 2 dari 2

    (shc/ara)

  • Industri Pakaian Fokus Tingkatkan Daya Saing SDM Hadapi Kebutuhan Global

    Industri Pakaian Fokus Tingkatkan Daya Saing SDM Hadapi Kebutuhan Global

    Bisnis.com, JAKARTA — Manufaktur pakaian jadi menilai peningkatan daya saing melalui pengembangan sumber daya manusia sebagai salah satu prioritas utama industri saat ini di tengah tantangan ekonomi global dan kebijakan perdagangan internasional.

    CEO Mas Arya Indonesia Rajitha Kamalchandra mengatakan investasi dan peningkatan daya saing sumber daya manusia sebagai pusat dari strategi bisnis yang dilaksanakan oleh industri

    Menurutnya dalam kondisi saat ini industri harus mendorong terciptanya inovasi di lapangan yang berimbas terhadap penghematan biaya tahunan sambil turut menurunkan waktu tunggu produksi. 

    Selain itu, penerapan budaya bebas dari cacat atau zero defect juga membantu memastikan kualitas produk yang dihasilkan tepat waktu dan memenuhi standar global. Hal ini juga dilakukan melalui praktik manajemen langsung di lapangan dalam menguatkan kendali mutu di setiap lini produksi.

    Alhasil dengan strategi tersebut, perusahaan juga dapat memberikan nilai tambah kepada mitra brand internasional.

    “Selain meningkatkan efektivitas produksi, pendekatan yang menekankan sumber daya manusia juga berkontribusi langsung secara positif terhadap kinerja bisnis,” ujarnya, Rabu (29/10/2025)

    Dia optimistis dengan fondasi yang kuat atas budaya kerja yang sehat, industri mampu menunjukkan pertumbuhan yang solid, baik dalam pengembangan bisnis maupun pengembangan sumber daya manusia. 

    “Strategi kami yang berfokus pada daya saing sumber daya manusia dan inovasi yang berlanjut diharapkan dapat menjaga pertumbuhan industri pakaian jadi di kawasan Asia,” imbuhnya.

    Sebelumnya, Asosiasi Garment dan Textile Indonesia atau AGTI menegaskan sektor ini tetap berkomitmen menjaga daya saing global, keberlanjutan lapangan kerja, dan kontribusi terhadap ekspor nasional di tengah tantangan ekonomi global dan dinamika kebijakan perdagangan internasional.

    Ketua Asosiasi Garment dan Textile Indonesia dan perwakilan pengusaha, Anne Patricia Sutanto menjelaskan menghadapi tekanan dari peningkatan impor dan fluktuasi permintaan global, industri tekstil dan produk tekstil (TPT) Indonesia tetap menjadi salah satu kontributor terbesar bagi ekspor nonmigas nasional dengan nilai mencapai US$ 11,9 miliar pada 2024.

    Hal ini menunjukkan bahwa industri ini bukan sedang melemah, tetapi sedang beradaptasi.

    Selain berorientasi ekspor, lanjutnya sektor ini juga menjadi penopang penting ekonomi daerah dengan menyerap jutaan tenaga kerja, terutama di Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Jawa Timur. 

    Oleh karena itu, pengusaha menilai pentingnya dukungan kebijakan pemerintah yang seimbang antara melindungi industri dalam negeri dan membuka pasar global.

    “Kami meyakini, dengan peningkatan daya saing baik dari sisi SDM, teknologi, energi dan rantai pasok, industri garmen dan tekstil Nasional mampu bertahan bahkan ketika tidak ada kebijakan over protective yang tidak selamanya menguntungkan semua pihak,” katanya.

  • Pengusaha Ungkap Kunci biar Industri Tekstil Bisa Bersaing

    Pengusaha Ungkap Kunci biar Industri Tekstil Bisa Bersaing

    Jakarta

    Pengusaha membantah bahwa industri tekstil dan garmen Indonesia melemah. Asosiasi Garment dan Textile Indonesia (AGTI) menegaskan, sektor ini berkomitmen menjaga daya saing global, membuka lapangan kerja, dan kontribusi terhadap ekspor nasional di tengah tantangan ekonomi dan dinamika perdagangan internasional.

    Ketua Asosiasi Garment dan Textile Indonesia dan Perwakilan Pengusaha, Anne Patricia Sutanto, mengatakan salah satu kunci untuk tetap berdaya saing dengan terus berinvestasi pada digitalisasi dan efisiensi energi.

    “Kami ingin menegaskan bahwa industri tekstil Indonesia bukan sedang melemah, tetapi sedang beradaptasi. Kami terus berinvestasi dalam efisiensi energi, digitalisasi, dan sustainability untuk memastikan daya saing produk Indonesia di pasar global tetap kuat,” ujar Anne dalam keterangannya, Selasa (28/10/2025).

    Anne menyampaikan, meskipun industri menghadapi tekanan dari peningkatan impor dan fluktuasi permintaan global, industri tekstil dan produk tekstil (TPT) Indonesia tetap menjadi salah satu kontributor terbesar bagi ekspor nonmigas nasional dengan nilai mencapai US$ 11,9 miliar tahun 2024. Selain berorientasi ekspor, sektor ini juga menjadi penopang penting ekonomi daerah dengan menyerap jutaan tenaga kerja, terutama di Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Jawa Timur.

    Oleh karena itu, pengusaha menilai pentingnya dukungan kebijakan pemerintah yang seimbang antara melindungi industri dalam negeri dan membuka pasar global.

    “Kita meyakini, dengan peningkatan daya saing baik dari sisi SDM, teknologi, energi dan rantai pasok, industri garmen dan tekstil nasional mampu bertahan bahkan ketika tidak ada kebijakan over protective yang tidak selamanya menguntungkan semua pihak,” lanjutnya.

    Sementara itu, pihaknya juga menilai, narasi yang menampilkan industri tekstil Indonesia seolah tidak mampu bersaing secara global tidak sepenuhnya mencerminkan realita di lapangan. Anne menegaskan perusahaan garmen nasional justru telah menjadi mitra utama bagi merek-merek global ternama dan memenuhi standar ketat internasional.

    Terkait adanya isu impor ilegal dan oknumnya, Anne meminta sebaiknya pihak yang menuduh bisa memberikan bukti langsung kepada pihak berwajib. Dengan demikian, persoalan tersebut bisa segera ditangani dan meredakan kegaduhan seolah sektor garmen dan tekstil di Indonesia sulit maju.

    Dengan dukungan kebijakan fiskal dan industri yang tepat, pengusaha yakin bahwa sektor TPT Indonesia dapat menjadi motor pertumbuhan hijau (green growth) yang mendorong ekspor berkelanjutan dan memperkuat posisi Indonesia dalam rantai pasok dan peningkatan daya saing lokal dan global.

    “Kami percaya, masa depan industri tekstil Indonesia adalah masa depan yang berkelanjutan, inovatif, dan inklusif. Tantangan yang ada hari ini menjadi momentum untuk memperkuat kolaborasi antara pelaku usaha, pemerintah, dan masyarakat,” tutupnya.

    Tonton juga Video: Indo Leather and Footwear Expo 2024: Siap Bersaing di Mancanegara

    (acd/acd)