Tag: Anies Baswedan

  • Profil Hasan Nasbi: Eks Kepala PCO Kini jadi Komisaris Pertamina

    Profil Hasan Nasbi: Eks Kepala PCO Kini jadi Komisaris Pertamina

    Bisnis.com, JAKARTA — Para pemegang saham PT Pertamina (Persero) menunjuk Hasan Nasbi sebagai komisaris. Hal ini diketahui berdasarkan keterangan dan informasi jajaran direksi dalam laman resmi perusahaan pelat merah tersebut.

    Vice President Corporate Communication Pertamina Fadjar Djoko Santoso pun membenarkan kabar tersebut. Menurutnya, Hasan telah resmi ditunjuk untuk menduduki jabatan komisaris sejak 11 September 2025.

    “Mengacu salinan keputusan para pemegang saham perusahaan, Bapak Hasan Nasbi ditetapkan sebagai Komisaris Pertamina per tanggal 11 September 2025,” ucap Fadjar kepada Bisnis, Sabtu (20/9/2025).

    Hasan ditunjuk sebagai Komisaris Pertamina berdasarkan Keputusan Menteri BUMN dan Direktur Utama PT Danantara Asset Management selaku pemegang saham Pertamina Nomor SK-247/MBU/09/2025 dan Nomor SK.055/DI-DAM/DO/2025 Tentang Pengangkatan Anggota Dewan Komisaris Pertamina.

    Profil Hasan Nasbi

    Hasan sebelumnya menjabat sebagai Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan (PCO). Namun, dia digantikan oleh Angga Raka Prabowo pada Rabu (17/9/2025) lalu.

    Hasan juga pernah menjadi juru bicara Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024.

    Berdasarkan informasi yang dihimpun Bisnis, Hasan merupakan pendiri lembaga survei Cyrus Network. Konsultan politik itu bahkan dihadirkan oleh pasangan calon 02 sebagai ahli dalam sidang gugatan hasil Pilpres 2024 di Mahkamah Konstitusi (MK) pada April 2024. 

    Lulusan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia itu juga pernah menjadi sorotan usai menyatakan bersedia bertaruh sebuah mobil Toyota Alphard apabila Anies Baswedan lolos menjadi peserta kontestasi calon presiden (capres) 2024.

    “Kalau mau jadi capres berat, dari semua sisi kalkulasi matematikanya susah. Tapi kalau mau jadi cawapres masih terbuka,” ujarnya dalam suatu acara siniar, dikutip dari YouTube Total Politik pada 2022 silam. 

    “Kalau capres nih, mau taruhan enggak, Bang?” tanya pembawa acara siniar, Arie Putra.  

    “Boleh, taruhan boleh. Taruhan Alphard juga boleh,” ucap Hasan.

  • Cek fakta, video Anies Baswedan jadi menteri di Kabinet Merah Putih

    Cek fakta, video Anies Baswedan jadi menteri di Kabinet Merah Putih

    Jakarta (ANTARA/JACX) – Sebuah unggahan video di Facebook menarasikan bahwa Gubernur DKI Jakarta periode 2017–2022, Anies Baswedan, telah menjadi salah satu menteri di Kabinet Merah Putih.

    Kabinet Merah Putih sendiri merupakan sebutan untuk pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka.

    Dalam video tersebut terlihat Anies Baswedan dan Presiden Prabowo berjabat tangan.

    Berikut narasi dalam unggahan tersebut:

    “Sehat sllu pak prabowo

    ANIS BASWEDAN RESMI JADI MENTERI DI KABINET MERAH PUTIH?!

    Alhamdulillah ada kemajuan”

    Namun, benarkah video tersebut merupakan Anies Baswedan jadi menteri di Kabinet Merah Putih?

    Unggahan video yang menarasikan Anies Baswedan jadi menteri di Kabinet Merah Putih. Faktanya, video tersebut merupakan saat Prabowo berjabat tangan erat dengan Anies setelah KPU menetapkan Prabowo-Gibran sebagai presiden dan wakil presiden terpilih periode 2024–2029. (Facebook)

    Penjelasan:

    Berdasarkan penelusuran, tidak ada pernyataan resmi yang menyebutkan Anies Baswedan diangkat sebagai menteri.

    Video yang beredar ternyata identik dengan unggahan YouTube iNews berjudul “Momen Hangat Prabowo Subianto Jabat Tangan Anies Baswedan – iNews Siang 25/04”.

    Video itu memperlihatkan Prabowo Subianto berjabat tangan erat dengan Anies Baswedan setelah Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan Prabowo-Gibran sebagai presiden dan wakil presiden terpilih periode 2024–2029. Penetapan berlangsung di Gedung KPU pada Rabu, 24 April 2024.

    Pewarta: Tim JACX
    Editor: M Arief Iskandar
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Gagasan Hatta, Negara Pengurus Bukan Negara Kekuasaan
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        15 September 2025

    Gagasan Hatta, Negara Pengurus Bukan Negara Kekuasaan Nasional 15 September 2025

    Gagasan Hatta, Negara Pengurus Bukan Negara Kekuasaan
    Jurnalis, Mahasiswa S3 Ilmu Politik
    MUAZIN
    muda Sukidi Mulyadi, lulusan Harvard University, memilih jalan sunyi. Bukan menjadi pengusaha, bukan membangun start-up, bukan pula menjadi elite ormas.
    Ia memilih menulis, berceramah, dan mengingatkan bangsa melalui refleksi moral. Esai-esainya—
    Pinokio Jawa, Machiavelli Jawa, Hitler Jawa
    —menyentil nurani publik. Dan, viral.
    Dalam tulisannya di Harian
    Kompas
    (11 September 2025), ia menulis: “Ketika saluran perubahan formal tidak berfungsi lagi dan aspirasi bersama tidak didengarkan sama sekali, akhirnya rakyat turun ke jalan-jalan sebagai bentuk perlawanan politik.”
    Kegelisahan Sukidi adalah kegelisahan kita semua. Ia mewakili suara batin yang jarang terdengar di tengah hiruk-pikuk politik dan prahara Agustus 2025.
    Dalam esainya di
    Kompas
    , Sukidi menulis, “Simaklah wahai para pengurus negara, fenomena perlawanan politik dengan pikiran yang jernih dan hati yang lapang. Rakyat tidak percaya dengan yang pemerintah katakan dengan efisiensi karena melihat langsung pemerintahan yang besar yang tidak efisien dan efektif.”
    Sukidi menyebut, “pengurus negara”. Gagasan itu diambil dari Pidato Mohammad Hatta, 15 Juli 1945. Yang digagas Hatta dan para pendiri bangsa adalah negara pengurus, bukan negara kekuasaan.
    Pengertian pengurus negara adalah orang yang mengurusi negara dengan segala kebutuhan warga negara yang telah membayar pajak.
    Terminologi pengurus amat beda dengan pemimpin atau penguasa. Pemimpin seakan menempatkan ada yang memimpin dan rakyat yang dipimpim. Apalagi termonologi penguasa, di mana penguasa menguasasi rakyat yang dikuasasi. Tidak demikian adanya.
    Dalam perspektif Gramsci, Sukidi adalah intelektual sejati bukan sekadar akademisi, melainkan mereka yang mengartikulasikan aspirasi dan kegelisahan rakyat.
    Sukidi memilih “jalan sunyi” sebagai penulis dan penceramah moral. Ia tidak masuk dalam struktur formal (partai, ormas, birokrasi), tetapi justru menjadi intelektual organik yang menyuarakan keresahan rakyat.
    Esainya mengkritik disfungsi saluran formal demokrasi, dan membuka ruang kesadaran bahwa perlawanan politik bisa sah sebagai ekspresi rakyat. Ini adalah upaya membentuk
    counter-hegemony
    terhadap narasi resmi negara.
    Prahara Agustus 2025 membuka mata betapa lumpuhnya pranata demokrasi kita. Partai politik, DPR, DPD, bahkan ormas besar seolah menghilang.
    Padahal, negara sudah mengalokasikan anggaran yang besar berdasarkan RAPBN 2026: DPR Rp 9,9 triliun, DPD Rp 1,8 triliun, MPR Rp 1,05 triliun. Besarnya anggaran ternyata tidak berbanding lurus dengan keberanian untuk menemui rakyat.
    Wajar jika rakyat marah dan melampiaskan kemarahan dengan caranya sendiri, turun ke jalan.
    DPR atau DPRD memilih diam ketika pajak rakyat dinaikkan oleh pengurus negara, baik di pusat maupun di daerah.
     
    Rakyat marah menyaksikan drama permainan hukum. Aktivis ditangkap karena menyalurkan aspirasi, sementara elite politik atau jenderal polisi berbintang tiga berstatus tersangka, tapi perkaranya tak jelasnya prosesnya.
    Seorang terpidana yang seharusnya dieksekusi malah dihadiahi jabatan komisaris BUMN. Itu kesalahan pengurus negara.
    Fenomena ini dapat dibaca melalui teori cartel party Katz & Mair: partai politik yang seharusnya menjadi penghubung rakyat justru membentuk kartel kekuasaan, hidup dari sumber daya negara, dan semakin jauh dari basis sosialnya.
    Lalu,
    state capture
    memperlihatkan bahwa institusi demokrasi sudah disandera oleh elite—fungsi representasi hanyalah formalitas.
    Dalam
    delegative democracy
    ala Guillermo O’Donnell, rakyat seolah memberi mandat total kepada presiden, sementara DPR dan DPD tereduksi jadi pelengkap prosedural.
    Semua teori itu bertemu dalam kenyataan: rakyat kehilangan saluran aspirasi, dan jalan terakhir adalah turun ke jalan.
    Di sinilah relevansi Bung Hatta kembali hidup. Dalam sidang Badan Penyelidik Usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), (15 Juli 1945), ia berkata: “Hendaknya kita memperhatikan syarat-syarat supaya negara yang kita bikin jangan menjadi negara kekuasaan. Kita menghendaki negara pengurus.”
    Pesan Hatta adalah kompas moral. Negara pengurus artinya negara yang hadir untuk mengurus rakyatnya, bukan mengurus keluarga, kelompok, atau oligarki.
    Dengan memegang prinsip kesetaraan, selayaknya istilah “pengurus negara” lebih tepat dibandingkan pemimpin negara.
    Pemimpin mengasumsikan bahwa rakyat dipimpin oleh pemimpin dengan kelas yang lebih tinggi. Istilah “pengurus negara” adalah mandat yang diberikan rakyat (pembayar pajak) untuk mengurusi segala kebutuhan negara dan masyarakat.
    Dalam MemoBDM saya menawarkan tiga hal:
    Pertama, repolitisasi masyarakat sipil. Suara kegelisahan moral dari intelektual, tokoh agama, akademisi harus dirajut menjadi kekuatan politik alternatif.
    Pada era Gus Dur, pernah ada lembaga bernama Forum Demokrasi atau Liga Demokrasi. Kekuatan masyarakat sipil memang harus dikonsolidasikan menjadi kekuatan politik alternatif di tengah disfungsi pranata demokrasi.
    Kedua, reformasi partai politik. Kartelisasi hanya bisa diputus dengan pembatasan rangkap jabatan, transparansi dana politik, dan mekanisme kontrol publik yang nyata.
    Dalam reformasi partai politik dan DPR perlu dipikirkan RUU Pemerintahan Nasional atau RUU Kepresidenan. Menjadi kenyataan, satu-satunya lembaga negara yang tidak punya undang-undang adalah Lembaga Kepresidenan.
    Jika pemerintah daerah punya UU Pemerintahan Daerah, mengapa tidak ada UU Pemerintahan Nasional?
    Ketiga, restorasi amanah rakyat. Elite harus sadar bahwa mandat pemilu bukanlah cek kosong, melainkan janji untuk mengurus rakyat, bukan kerabat atau kroni.
    Rakyat pun masih belum lupa tema yang diusung pemerintahan Prabowo-Gibran adalah keberlanjutan. Sementara Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar sebagai simbol perubahan.
    Adapun Gandjar Pranowo-Mahfud MD mengusung keberlanjutan dan koreksi. Kini setelah pemerintahan Prabowo berjalan sepuluh bulan, apa makna kampanye “keberlanjutan” yang digaungkan pada masa kampanye? Lalu, apa artinya janji kampanye?
    Prahara Agustus adalah alarm keras. Prahara Agustus adalah
    wake up call
    , kata Anggota Forum Warga Negara, Chandra Hamzah dan Sudirman Said dan diserukan kembali oleh Mulya Lubis.
    Jika elite tetap tak mendengar, maka rakyat akan mencari jalannya sendiri. Jalan kembali ke negara pengurus bukan sekadar romantisme sejarah, melainkan keharusan sejarah.
    Bung Hatta sudah meletakkan fondasinya; kini kita menunggu, adakah pengurus negara yang berani menapakinya kembali?
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Gerakan Rakyat Fokus Sosial, Partai Aksi Rakyat ke Politik

    Gerakan Rakyat Fokus Sosial, Partai Aksi Rakyat ke Politik

    FAJAR.CO.ID, MAKASSAR — Dewan Pengurus Wilayah (DPW) Gerakan Rakyat (GR) Provinsi Sulawesi Selatan menggelar rapat konsolidasi di Ardan Masogi, Tamalanrea, Makassar, Sabtu (13/9/2025) sore.

    Kegiatan ini menjadi istimewa karena dihadiri langsung Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat (DPP) Gerakan Rakyat, Sahrin Hamid.

    Kehadiran Sahrin disambut hangat puluhan pengurus Gerakan Rakyat dari berbagai daerah di Sulsel.

    Tampak hadir jajaran Pengurus Harian dan Dewan Pakar DPW GR Sulsel, Ketua DPD GR Kota Makassar H. Paris, serta Ketua DPD GR Kabupaten Gowa Karim Alwie beserta rombongan.

    Acara dimulai dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya dan Mars Gerakan Rakyat, sebelum dilanjutkan dengan sambutan Ketua DPW GR Sulsel, Asri Tadda.

    Dalam kesempatan itu, Asri memaparkan perkembangan organisasi di daerah serta memperkenalkan sejumlah tokoh Dewan Pakar.

    “Alhamdulillah, ini kebahagiaan tersendiri bagi kita di Sulsel karena Ketum berkenan hadir langsung bersama kita semua. Mohon arahan dan bimbingan agar Gerakan Rakyat semakin solid dan Partai Aksi Rakyat bisa lolos verifikasi sebagai peserta Pemilu mendatang,” kata Asri.

    Sementara itu, dalam arahannya, Sahrin Hamid menegaskan peran berbeda antara ormas Gerakan Rakyat dan Partai Aksi Rakyat.

    Menurutnya, Gerakan Rakyat fokus pada kegiatan sosial kemasyarakatan, sedangkan Partai Aksi Rakyat dipersiapkan sebagai wadah perjuangan politik.

    “Gerakan Rakyat sudah terdaftar sebagai ormas, sementara Partai Aksi Rakyat kita sementara siapkan menjadi mesin politik untuk mendorong perubahan bangsa bersama Anies Baswedan,” jelasnya.

  • Hoaks! Artikel Anies nyatakan siap gantikan Prabowo jadi Presiden

    Hoaks! Artikel Anies nyatakan siap gantikan Prabowo jadi Presiden

    Jakarta (ANTARA/JACX) – Sebuah unggahan di Facebook menampilkan tangkapan layar artikel yang mengklaim Anies Baswedan siap menggantikan Presiden RI ke-8, Prabowo Subianto, jika terjadi keadaan darurat.

    Dalam tangkapan layar tersebut, pakar pertahanan Connie Rahakundini Bakrie disebut menegaskan hal itu dalam jumpa pers di kediaman Rizieq Shihab.

    Berikut narasi dalam unggahan tersebut:

    “Connie bakrie ungkap Anies Baswedan Siap Gantikan prabowo sebagai presiden, tegasnya di pertemuan yang berada di kediaman Rizieq Sihab, kutipan berita dari detiknews #presiden #prabowo #jokowi #gibran #fy #trending #viral #top #fypage”

    Namun, benarkah artikel Anies nyatakan siap gantikan Prabowo jadi Presiden tersebut?

    Unggahan tangkapan layar yang menarasikan artikel Anies nyatakan siap gantikan Prabowo jadi Presiden. Faktanya, tangkapan layar artikel dalam unggahan tersebut merupakan suntingan. (Facebook)

    Penjelasan:

    Namun, setelah ditelusuri, tidak ditemukan artikel dengan judul seperti yang terlihat dalam tangkapan layar tersebut.

    ANTARA mengecek artikel detikNews dengan nama penulis Inkana Putri yang diunggah pada Kamis, 4 September 2025 pukul 08.30 WIB. Hasil penelusuran menunjukkan artikel tersebut sebenarnya berjudul “Raih Kepercayaan Publik, Ini Peran Puspenkum Jaga Citra Kejaksaan”.

    Dalam artikel itu tidak ada pernyataan Connie Bakrie yang menyebut Anies Baswedan siap menggantikan Prabowo sebagai presiden.

    Dengan demikian, tangkapan layar artikel dalam unggahan tersebut merupakan suntingan.

    Klaim: Artikel Anies nyatakan siap gantikan Prabowo jadi Presiden

    Pewarta: Tim JACX
    Editor: M Arief Iskandar
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Ironi Tunjangan Rumah DPRD DKI Rp 70 Juta di Tengah Sulitnya Kehidupan Warga
                
                    
                        
                            Megapolitan
                        
                        11 September 2025

    Ironi Tunjangan Rumah DPRD DKI Rp 70 Juta di Tengah Sulitnya Kehidupan Warga Megapolitan 11 September 2025

    Ironi Tunjangan Rumah DPRD DKI Rp 70 Juta di Tengah Sulitnya Kehidupan Warga
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Tunjangan rumah bagi anggota DPRD DKI Jakarta yang mencapai Rp 70 juta per bulan menuai sorotan warga.
    Warga ramai-ramai menolak keras kebijakan tersebut karena dinilai tidak masuk akal.
    “Gila sih, enggak masuk logika banget, ini aja DPR RI Rp 50 juta udah demo di mana-mana, dibakar di mana-mana,” ucap salah satu warga bernama Yudo saat diwawancarai
    Kompas.com
    , Rabu (10/9/2025).
    Menurut Yudo, seharusnya tunjangan rumah anggota DPRD DKI Jakarta bisa lebih rendah karena mayoritas sudah memiliki rumah pribadi.
    “Rata-rata kan orang DPRD Jakarta udah punya rumah sendiri, andaikan mengontrak rumah paling enggak sampai Rp 30 juta per bulannya, kan itu baru tunjangan rumah aja, enggak transportasi dan lain-lain,” jelas Yudo.
    Penolakan juga disampaikan warga bernama Juwita (29). Bagi dia, tunjangan rumah bagi anggota dan pimpinan DPRD DKI Jakarta terlalu tinggi.
    “Ya, enggak setujulah itu yang baru kelihatan rumah Rp 70 juta belum yang lain-lain kan, padahal kerjanya juga enggak kelihatan kayaknya,” ucap Juwita.
    Juwita menilai banyak warga Jakarta harus banting tulang untuk mendapatkan Rp 5 juta per bulan, sedangkan anggota DPRD justru menerima tunjangan puluhan juta.
    Oleh karena itu, Juwita menolak keras soal adanya tunjangan rumah DPRD DKI Jakarta.
    Fitria (31), warga lainnya, menyebut tunjangan tersebut sangat tidak adil karena masih banyak warga Jakarta yang hidup di bawah garis kemiskinan.
    “Dia (anggota DPRD) enak dapat tunjangan rumah Rp 70 juta, sementara kita aja buat makan susah,” ucap Fitria.
    Yudo juga menilai kebijakan itu tidak adil di tengah sulitnya lapangan pekerjaan di Jakarta.
    “Enggak adil buat warga, karena kita aja mencari lapangan kerja aja enggak gampang, susah, gaji UMR aja cuma cukup biaya hidup sendiri di Jakarta, makanya merasa enggak adilnya di situ,” ungkap Yudo.
    Ia menambahkan, jika rata-rata gaji warga sudah puluhan juta, mungkin masyarakat tidak akan mempermasalahkan tunjangan DPRD yang besar.
    Yudo berharap Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung merevisi tunjangan rumah anggota DPRD DKI.
    “Ini harus didorong ke Pramono sih, buat dievaluasi lagi biar jangan sampai itu merugikan masyarakat. Itu bisa menimbulkan percikan api lagi,” ucap Yudo.
    Fitria juga mendesak agar revisi tunjangan anggota DPRD Jakarta dilakukan dalam waktu dekat.
    “Harapannya tolonglah dievaluasi, diturunin, jangan sampai masyarakat marah lagi kayak yang udah-udah. Jakarta beberapa pekan lalu udah porak poranda, jangan cuma karena gaji DPRD malah bikin menyulut emosi lagi,” ungkap Fitria.
    Sementara itu, Juwita berharap tunjangan DPRD Jakarta yang terlalu tinggi bisa dialokasikan untuk keperluan warga.
    “Ya, coba dikaji ulanglah, supaya kalau bisa diturunin kan gaji mereka lumayan tuh lebihan uangnya bisa bantu bangun kota Jakarta lebih maju lagi atau digunakan buat hal-hal lain yang emang lebih bermanfaat untuk warganya,” kata dia.
    Untuk diketahui, anggota DPRD DKI Jakarta mendapat tunjangan rumah sebesar Rp 70,4 juta per bulan. Adapun pimpinan DPRD menerima lebih besar, yakni Rp 78,8 juta per bulan.
    Ketentuan ini tertuang dalam Keputusan Gubernur (Kepgub) DKI Jakarta Nomor 415 Tahun 2022 yang diteken Anies Baswedan saat masih menjabat sebagai gubernur.
    Dana untuk tunjangan tersebut dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) DKI Jakarta.
    “Biaya yang diperlukan untuk pemberian tunjangan perumahan bagi Pimpman dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Daerah Khusus lbukota Jakarta dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah melalui Dokumen Pelaksanaan Anggaran Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Daerah Khusus lbukota Jakarta,” bunyi Kepgub 415/2022, dikutip pada Kamis (4/9/2025).
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Warga Minta Tunjangan Rumah DPRD DKI Rp 70 Juta Direvisi: Jangan Sampai Rakyat Marah Lagi
                
                    
                        
                            Megapolitan
                        
                        10 September 2025

    Warga Minta Tunjangan Rumah DPRD DKI Rp 70 Juta Direvisi: Jangan Sampai Rakyat Marah Lagi Megapolitan 10 September 2025

    Warga Minta Tunjangan Rumah DPRD DKI Rp 70 Juta Direvisi: Jangan Sampai Rakyat Marah Lagi
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Sejumlah warga meminta agar tunjangan rumah anggota DPRD Jakarta yang mencapai Rp 70 juta per bulan segera direvisi.
    “Harapannya tolong lah dievaluasi, diturunin, jangan sampai masyarakat marah lagi kayak yang udah-udah. Jakarta beberapa pekan lalu udah porak poranda, jangan cuma karena gaji DPRD malah bikin menyulut emosi lagi,” kata Fitria (31), warga Tanjung Priok, Jakarta Utara, bernama Fitria (31) saat diwawancarai
    Kompas.com
    , Rabu (10/9/2025).
    Sementara itu, warga lain bernama Yudo (26) berharap Gubernur Jakarta Pramono Anung ikut mendorong agar tunjangan anggota DPRD Jakarta direvisi.
    “Ini harus didorong ke Pramono sih, buat dievaluasi lagi biar jangan sampai itu merugikan masyarakat. Itu bisa menimbulkan percikan api lagi,” ucap Yudo.
    Menurut Yudo, besaran tunjangan rumah yang mencapai Rp 70 juta per bulan terlalu tinggi, apalagi sebagian besar anggota DPRD sudah memiliki rumah pribadi di Jakarta.
    “Andaikan mengontrak rumah paling enggak sampai Rp 30 juta per bulannya, kan itu baru tunjangan rumah aja, enggak transportasi dan lain-lain,” ujar Yudo.
    Warga lain bernama Juwita (29) juga berharap agar semua tunjangan DPRD Jakarta bisa dikaji ulang secara keseluruhan.
    “Ya, coba dikaji ulang lah, supaya kalau bisa diturunin kan gaji mereka lumayan tuh lebihan uangnya bisa bantu bangun kota Jakarta lebih maju lagi atau digunakan buat hal-hal lain yang emang lebih bermanfaat untuk warganya,” kata dia.
    Untuk diketahui, anggota DPRD DKI Jakarta mendapat tunjangan rumah sebesar Rp 70,4 juta per bulan. Sementara pimpinan DPRD menerima lebih besar, yakni Rp 78,8 juta per bulan.
    Ketentuan ini tertuang dalam Keputusan Gubernur (Kepgub) DKI Jakarta Nomor 415 Tahun 2022 yang diteken Anies Baswedan saat masih menjabat sebagai gubernur.
    Dana untuk tunjangan tersebut dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) DKI Jakarta.
    “Biaya yang diperlukan untuk pemberian tunjangan perumahan bagi Pimpman dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Daerah Khusus lbukota Jakarta dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah melalui Dokumen Pelaksanaan Anggaran Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Daerah Khusus lbukota Jakarta,’ bunyi Kepgub 415/2022 dikutip Kamis, (4/9/2025).
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Warga Minta Tunjangan Rumah DPRD DKI Rp 70 Juta Direvisi: Jangan Sampai Rakyat Marah Lagi
                
                    
                        
                            Megapolitan
                        
                        10 September 2025

    Warga Kritik Tunjangan Rumah DPRD DKI Rp 70 Juta: Tak Adil, Kita Cari Kerja Aja Susah Megapolitan 10 September 2025

    Warga Kritik Tunjangan Rumah DPRD DKI Rp 70 Juta: Tak Adil, Kita Cari Kerja Aja Susah
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
      Sejumlah warga Jakarta mengkritik besarnya tunjangan rumah anggota DPRD DKI Jakarta yang mencapai Rp 70 juta.
    Salah satu warga Jakarta, Yudo (26), menilai tingginya tunjangan DPRD Jakarta di tengah sulitnya warga mencari lapangan pekerjaan merupakan ketidakadilan.
    “Enggak adil buat warga, karena kita aja mencari lapangan kerja aja enggak gampang, susah,” kata Yudo saat diwawancarai
    Kompas.com
    , Rabu (10/9/2025).
    Menurut dia, gaji UMR Jakarta tidak bisa mencukupi satu keluarga. Namun, gaji dan tunjangan DPRD DKI sangat besar.
    “Gaji UMR aja cuma cukup biaya hidup sendiri di Jakarta, makanya merasa enggak adilnya di situ,” ungkap Yudo.
    Yudo menyebutkan, jika gaji warga Jakarta rata-rata sudah mencapai puluhan juta rupiah, mungkin kebanyakan masyarakat tak keberatan jika gaji atau tunjangan anggota DPRD DKI mencapai ratusan juta rupiah.
    Sementara warga lain bernama Fitria (31), menilai tingginya tunjangan DPRD DKI Jakarta merupakan hal yang tidak adil, karena masih banyak warga yang belum sejahtera dan sulit mencari makan.
    “Dia (anggota DPRD) enak dapat tunjangan rumah Rp 70 juta, sementara kita aja buat makan susah,” ucap Fitria.
    Fitria juga menilai, di tengah gaji dan tunjangan yang tinggi, kinerja para anggota DPRD Jakarta untuk masyarakat belum signifikan.
    “Enggak adil sama sekali, mereka kerja kan untuk mensejahterakan rakyat, tapi rakyat di bawah nih banyak yang belum sejahtera, sementara mereka gajinya melambung tinggi banget, padahal kerjanya apa? Belum ada yang signifikan,” tegas Fitria.
    Untuk diketahui, anggota DPRD DKI Jakarta mendapat tunjangan rumah sebesar Rp 70,4 juta per bulan.
    Sementara pimpinan DPRD menerima Rp 78,8 juta per bulan.
    Ketentuan ini tertuang dalam Keputusan Gubernur (Kepgub) DKI Jakarta Nomor 415 Tahun 2022 yang diteken Anies Baswedan saat masih menjabat sebagai gubernur.
    Dana untuk tunjangan tersebut dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) DKI Jakarta.
    “Biaya yang diperlukan untuk pemberian tunjangan perumahan bagi Pimpinan dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah melalui Dokumen Pelaksanaan Anggaran Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta,” bunyi Kepgub 415/2022 dikutip Kamis, (4/9/2025).
    DPRD Jakarta menegaskan, rencana revisi tunjangan rumah anggota dewan sebesar Rp 70 juta masih dalam tahap pembahasan.
    Wakil Ketua DPRD Jakarta Basri Baco meminta masyarakat bersabar karena keputusan terkait revisi tunjangan rumah tersebut tidak bisa diambil secara tergesa-gesa. 
    “Masih dalam proses, sabar. Nanti, kalau cepat-cepat, ke buru-buru salah lagi. Nanti, Dewan kena kesalahan lagi. Jadi, teman-teman wartawan jangan provokasi juga ya. Tidak mungkin cepat-cepat, nanti salah lagi,” ujar Baco di Gedung DPRD Jakarta, Senin (8/9/2025).
    Menurut Baco, seluruh fraksi DPRD telah sepakat untuk mengevaluasi besaran tunjangan rumah. Namun, ia menegaskan keputusan final tetap harus melalui koordinasi dengan Gubernur Jakarta dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). 
    “Prinsipnya, dewan sudah bersepakat akan atau siap mengevaluasi mengenai tunjangan tersebut dan akan berkoordinasi dengan pihak gubernur dan pihak Kemendagri karena kan tidak bisa sendiri,” jelasnya.
     
     
     
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Revisi Tunjangan DPRD Jakarta Masih Digodok, Dewan: Kalau Cepat-cepat, Salah Lagi
                
                    
                        
                            Megapolitan
                        
                        8 September 2025

    Revisi Tunjangan DPRD Jakarta Masih Digodok, Dewan: Kalau Cepat-cepat, Salah Lagi Megapolitan 8 September 2025

    Revisi Tunjangan DPRD Jakarta Masih Digodok, Dewan: Kalau Cepat-cepat, Salah Lagi
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    DPRD Jakarta menegaskan, rencana revisi tunjangan rumah anggota dewan sebesar Rp 70 juta masih dalam tahap pembahasan.
    Wakil Ketua DPRD Jakarta Basri Baco meminta masyarakat bersabar karena keputusan terkait revisi tersebut tidak bisa diambil secara tergesa-gesa.
    “Masih dalam proses, sabar. Nanti, kalau cepat-cepat, ke buru-buru salah lagi. Nanti, Dewan kena kesalahan lagi. Jadi, teman-teman wartawan jangan provokasi juga ya. Tidak mungkin cepat-cepat, nanti salah lagi,” ujar Baco di Gedung DPRD Jakarta, Senin (8/9/2025).
    Menurut Baco, seluruh fraksi DPRD telah sepakat untuk mengevaluasi besaran tunjangan rumah. Namun, ia menegaskan keputusan final tetap harus melalui koordinasi dengan Gubernur Jakarta dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).
    “Prinsipnya, dewan sudah bersepakat akan atau siap mengevaluasi mengenai tunjangan tersebut dan akan berkoordinasi dengan pihak gubernur dan pihak Kemendagri karena kan tidak bisa sendiri,” jelasnya.
    Baco menambahkan, penetapan seluruh tunjangan yang diterima anggota DPRD bukan kewenangan dewan semata, melainkan ditetapkan oleh pemerintah daerah dan kementerian terkait.
    “Semua tunjangan yang dewan dapat itu kan yang menetapkan bukan dewan, tetapi yang menetapkan adalah pemerintah gubernur dan Kementerian Keuangan,” lanjutnya.
    Isu tunjangan DPRD kembali mencuat setelah publik mengetahui anggota dewan menerima tunjangan rumah sebesar Rp 70,4 juta per bulan.
    Sementara itu, pimpinan DPRD menerima tunjangan lebih besar, yakni Rp 78,8 juta per bulan.
    Ketentuan tersebut diatur dalam Keputusan Gubernur  Jakarta Nomor 415 Tahun 2022 yang diteken oleh mantan Gubernur Anies Baswedan.
    Besarnya angka tunjangan ini menuai kritik keras, terutama dari kalangan mahasiswa. Mereka menilai nominal tersebut terlalu tinggi, bahkan melampaui tunjangan yang diterima anggota DPR RI.
    Wakil Ketua DPRD Jakarta Ima Mahdiah merespons desakan publik dengan menyatakan bahwa lembaganya akan mengevaluasi besaran gaji dan tunjangan.
    Ia menegaskan, anggota dewan juga mengembalikan gaji serta tunjangan yang diterima kepada masyarakat melalui kerja advokasi dan penyerapan aspirasi.
    “Kami juga sudah mempublikasikan gaji, tunjangan, dan laporan keuangan secara rutin agar masyarakat bisa melihat langsung,” kata Ima, Rabu (4/9/2024).
    Ke depan, tunjangan rumah anggota DPRD Jakarta akan disesuaikan dengan kemampuan Pendapatan Asli Daerah (PAD).
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Revisi Tunjangan DPRD Jakarta Masih Digodok, Dewan: Kalau Cepat-cepat, Salah Lagi
                
                    
                        
                            Megapolitan
                        
                        8 September 2025

    Belum Tetapkan Angka, DPRD DKI Minta Publik Sabar Soal Revisi Tunjangan Rumah Rp 70 Juta Megapolitan 8 September 2025

    Belum Tetapkan Angka, DPRD DKI Minta Publik Sabar Soal Revisi Tunjangan Rumah Rp 70 Juta
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    DPRD DKI Jakarta memastikan revisi terkait tunjangan rumah anggota dewan senilai Rp 70 juta masih dalam tahap pembahasan.
    Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta Basri Baco menegaskan bahwa sampai saat ini belum ada angka pasti mengenai besaran tunjangan baru yang akan ditetapkan.
    “Belum (angka tunjangan) masih dalam proses. Sabar, nanti kalau cepat-cepat keburu-buru salah lagi, nanti Dewan kena kesalahan lagi,” ucap Baco saat ditemui di Gedung DPRD DKI Jakarta, Senin (8/9/2025).
    Menurut Baco, semua fraksi di DPRD DKI Jakarta telah sepakat untuk mengevaluasi tunjangan rumah.
    Namun, ia mengingatkan prosesnya tidak bisa cepat karena keputusan akhir tetap melibatkan pemerintah provinsi dan kementerian terkait.
    “Semua tunjangan yang dewan dapat itu kan yang menetapkan bukan dewan, tetapi yang menetapkan adalah pemerintah, gubernur dan kementerian keuangan,” kata dia.
    Baco juga menegaskan bahwa revisi aturan soal tunjangan masih dibahas secara hati-hati agar tidak perlu direvisi berulang kali.
    “Lebih baik disiapkan matang-matang, supaya lengkap,” ucapnya.
    Sebelumnya, massa yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Peduli Demokrasi (AMPSI) menggelar unjuk rasa di depan Gedung DPRD DKI Jakarta.
    Mereka menilai tunjangan rumah DPRD DKI tidak masuk akal dan jauh dari rasa keadilan, apalagi di tengah kondisi ekonomi masyarakat yang masih sulit.
    “Tunjangan perumahan itu, perlu dikaji ulang, menurut kami, karena mungkin itu terlalu besar. Melihat situasi dan kondisi perekonomian yang tidak berbanding terbalik dengan para wakil-wakil rakyat saat ini,” ujar perwakilan AMPSI, Muhammad Ihsan, Rabu (4/9/2025).
    Saat ini, tunjangan rumah anggota DPRD DKI Jakarta mencapai Rp 70,4 juta per bulan. Untuk pimpinan DPRD, jumlahnya lebih tinggi, yakni Rp78,8 juta per bulan.
    Ketentuan itu tertuang dalam Keputusan Gubernur (Kepgub) DKI Jakarta Nomor 415 Tahun 2022 yang diteken mantan Gubernur Anies Baswedan.
    Pada Pergub Nomor 153 Tahun 2017 yang diteken mantan Gubernur Djarot Saiful Hidayat, besaran tunjangan lebih rendah, pimpinan DPRD mendapat Rp 70 juta per bulan dan anggota DPRD Rp 60 juta per bulan termasuk pajak.
    Dalam aturan tersebut dijelaskan, biaya tunjangan dibebankan pada APBD DKI Jakarta dan pengawasan penggunaannya dilakukan oleh Sekretariat DPRD melalui mekanisme verifikasi pertanggungjawaban.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.