Beberapa hari menjelang 17 Oktober, linimasa media sosial penuh dengan percakapan yang sama. “Udah pre-order iPhone 17 belum?”. Pre-order iPhone 17 series sudah dibuka secara online sedari tengah malam kemarin atau pada Jumat, 10 Oktober 2025, dini hari WIB. Ada yang mengunggah tangkapan layar bukti pemesanan, ada yang mengeluh karena situs iBox sempat crash beberapa menit setelah pre-order dibuka. Tak cuma melakukan pemesanan secara daring, para Apple fanboy juga datang ke berbagai gerai iBox di Jakarta. Antrean pembeli sempat terlihat di beberapa pusat perbelanjaan seperti Central Park dan Mall Kelapa Gading. Mereka sengaja datang lebih awal sebelum mall dibuka supaya bisa menjadi pemesan pertama iPhone 17 series.
Di luar negeri, pemandangan yang sama juga terjadi. Antrean panjang di depan Apple Store, Orchard Road, Singapura bahkan sudah terbentuk sejak subuh. Sekitar 250 orang mengantre sejak dini hari, bahkan dari malam sebelumnya, demi menggenggam ponsel dengan kamera berlapis safir dan prosesor A19 Bionic itu. Antusias tinggi selalu berulang setiap kali Apple meluncurkan produk baru. Euforia, gengsi, dan hasrat menjadikan alasan orang-orang ingin menjadi bagian dari yang terbaru.
Namun di tengah hiruk pikuk itu, ada segelintir orang yang memilih diam. Mereka tidak ikut berlomba, tidak membuka tabungan, bahkan tidak tertarik sama sekali untuk mengganti ponselnya. Dira Anggun Prameswari menolak terjebak dalam siklus tahunan ganti iPhone. Perempuan berusia 28 tahun ini duduk di meja kerjanya yang sederhana di sebuah co-working space Bandung. Di samping laptop-nya, tergeletak iPhone X berwarna silver dengan casing bening yang mulai kusam. “Saya beli ini tahun 2021, bekas. Waktu itu banyak teman saya bilang, ‘ngapain beli iPhone X, sudah ketinggalan banget.’ Tapi sampai sekarang, ini masih jadi alat kerja utama saya,” katanya.
Dira pernah mengalami masa di mana ia merasa harus punya iPhone terbaru. “Dulu, saya cicil iPhone 12. Rasanya keren di awal, tapi beberapa bulan kemudian, saya malah stres karena cicilan menumpuk. Akhirnya saya jual, lalu beli iPhone X secara tunai. Dari situ saya janji, cukup ponsel yang berfungsi baik, bukan yang paling baru.”
Sebagai penulis konten lepas, Dira mengandalkan ponselnya untuk hampir semua hal. Menulis catatan ide, membalas email klien, mengedit foto, dan mengunggah artikel ke media sosial. Sementara untuk memori penyimpanan yang lebih lega, Dira memanfaatkan akses ke cloud berbayar.“Saya nggak butuh kamera 48 megapiksel atau chip A19. Selama bisa multitasking, koneksinya stabil, dan hasil fotonya lumayan, saya puas,” ujarnya.
Ia sadar banyak orang memandang iPhone lama sebagai simbol ketertinggalan. Tapi Dira justru melihatnya sebagai bentuk kebebasan. “Orang lain punya kebanggaan karena bisa beli iPhone baru. Saya punya kebanggaan karena nggak harus beli iPhone baru,” katanya.









