KUDUS – Sebagai bagian dari perkembangan industri animasi Indonesia, pendidikan vokasi memegang peran penting dalam membangun talenta muda yang kompeten dan berdaya saing global. Di tengah pesatnya kebutuhan tenaga kreatif, SMK Raden Umar Said (RUS) Kudus menjadi salah satu institusi pendidikan yang berfokus pada penguatan kompetensi animasi dan industri kreatif digital.
Sejak ditetapkan sebagai SMK Pusat Keunggulan (Center of Excellence) pada tahun 2021, sekolah ini menunjukkan komitmen besar dalam menghubungkan dunia pendidikan dengan kebutuhan nyata industri.
Dengan pendekatan teaching factory, integrasi industri, dan pembelajaran berbasis proyek, SMK RUS Kudus berhasil menghadirkan lingkungan belajar yang menyerupai ekosistem kerja profesional. Hal ini dibuktikan dengan lahirnya berbagai karya animasi yang tak hanya selesai di ruang kelas, tetapi juga tayang di televisi nasional dan bekerja sama dengan klien internasional.
Rico Andriansyah, Koordinator Program Keahlian Animasi 3D menjelaskan bagaimana salah satu IP unggulan bernama Wakaki Bow Kids berhasil tayang di televisi nasional dan terus berkembang setiap tahunnya. Ia juga menjelaskan latar belakang karakter serta proses produksinya. Hal ini diungkapkannya dalam acara Media Gathering Bakti Lingkungan Djarum Foundation (BLDF).
“Wakaki Bow menceritakan petualangan anak-anak Indonesia. Ada Kibo dari Papua, Wakalin dari Kalimantan, tapi ceritanya kami modifikasi menjadi fantasi. Durasi tiap episode 7 menit, dan kalau aset sudah siap, satu episode bisa selesai dalam satu bulan,” jelasnya, saat ditemui di SMK RUS Kudus, Jawa Tengah pada Rabu, 19 November 2025.
Rico menegaskan bahwa IP menjadi jawaban ketika proyek dari klien sedang tidak stabil.
“Kami tidak bergantung penuh pada proyek luar. Wakaki Bow ini contoh IP yang kami buat sendiri lalu kami jual lisensinya. Ada juga merchandise yang menjadi pemasukan tambahan,” katanya.
Dalam setahun, studio milik sekolah mampu mengerjakan 5–15 proyek, baik dari dalam maupun luar negeri.
“Jumlahnya campur. Dari dalam negeri sekitar 60%, dari luar negeri 40%. Proyek besar kami antara lain Viaferis dari Irlandia dan Pororo, yang pengerjaannya bisa sampai dua tahun,” jelas Rico.
Terkait manfaat bagi siswa, Rico menyampaikan sistem beasiswa berbasis performa.
“Anak-anak dapat biasiswa tergantung performa. Selain itu, biaya operasional di 3D itu tinggi, jadi siswa sudah mendapat subsidi besar. Mentor dari industri hadir setiap hari, sehingga kualitas karya harus setara level profesional,” bebernya.
Tentang penggunaan AI dalam produksi, Rico menegaskan bahwa mereka sudah memanfaatkannya secara internal.
“AI kami gunakan untuk mempercepat produksi. Kami punya tim programmer yang mengembangkan AI sendiri. Tapi bukan sebagai hasil final, hanya bagian dari proses,” paparnya.
David Ragdusa Putroho, Guru 3D Animasi menjelaskan proses seleksi siswa baru yang cukup ketat dan terstruktur.
“Pendaftaran biasanya dibuka lebih awal dari sekolah lain. Seleksi meliputi administrasi, tes wawancara, dan tes menggambar. Wawancaranya dilakukan oleh guru serta mentor industri,” imbuhnya.
Ia juga memaparkan perbedaan pola belajar dibanding sekolah umum.
“Di HIRUS Animation, praktik dua hari penuh setiap minggu. Pelajaran umum tetap ada, tapi banyak yang dikolaborasikan dengan animasi. Misalnya matematika untuk menghitung gerakan bola atau pendulum,” imbuhnya.
Kendala dalam mengajar juga tidak luput dari perhatian.
“Kesulitan muncul ketika anak masuk karena keinginan orang tua, bukan minat pribadi. Namun untuk siswa yang memang sudah punya minat, prosesnya jauh lebih mudah,” tuturnya.
Terkait AI, David melihatnya sebagai alat, bukan ancaman.
“AI hanya kami gunakan sedikit, biasanya untuk ide cerita atau timeline. Kami tekankan bahwa AI itu produk manusia. Hasil karya manual tetap punya rasa yang berbeda,” paparnya.
Hazza, salah satu siswa yang menjalani PKL selama satu tahun membagikan pengalamannya mengikuti program PKL di studio animasi sekolah.
“PKL di sini selama satu tahun. Saya memilih tempat ini karena takut kalau di tempat lain malah tidak mengerjakan bidang saya. Saya ingin mengembangkan kemampuan menggambar,” ungkapnya.
Ia bercerita bagaimana minatnya pada menggambar tumbuh dari kebiasaan menonton anime dan dukungan teman-teman. Hambatan dalam proses pun dijadikan pembelajaran.
“Kesulitan saya biasanya soal pose dan gesture natural. Tapi hambatan bukan penghalang, justru batu loncatan untuk maju,” imbuhnya.
Sebelum mendapatkan proyek, ia mengikuti pelatihan intensif tiga bulan.
“Kami dilatih gesture dan anatomi. Karena dalam proyek, klien membutuhkan style yang tepat. Setelah itu barulah kami mengerjakan proyek-proyek dari klien,” ungkap Hazza.
Motivasi yang disampaikan untuk generasi muda cukup mendalam.
“Masa depan itu hanyalah masa lalu yang diulang-ulang. Kalau ingin mahir, ulangi latihanmu terus menerus. Begitu juga saya dalam menggambar.” ucapnya.