Tag: Alvin Lie

  • Jumlah Penumpang Pesawat Anjlok per September 2025, Pengamat: Efek Low Season

    Jumlah Penumpang Pesawat Anjlok per September 2025, Pengamat: Efek Low Season

    Bisnis.com, JAKARTA — Pengamat memandang anjloknya jumlah penumpang angkutan udara, baik domestik maupun internasional, pada September 2025, sebagai efek musiman low season.

    Pengamat Penerbangan Alvin Lie memandang penurunan tersebut merupakan hal yang lumrah terjadi pada pertengahan semester II setiap tahunnya. 

    Dirinya menampik, penurunan yang terjadi di tengah peningkatan jumlah penumpang pada angkutan sungai, danau, dan penyeberangan (ASDP) akibat penurunan daya beli. 

    “September, Oktober, dan November adalah low season. Tidak ada liburan. Trafik akan mulai naik awal Desember hingga puncaknya akhir tahun,” ujarnya kepada Bisnis, Selasa (4/11/2025). 

    Pada September 2025, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah penumpang angkutan udara domestik turun sebesar 5,13% month to month (MtM) menjadi 4,8 juta orang, penumpang internasional turun 6,96% menjadi 1,8 juta orang. 

    Alvin menuturkan, momen seperti September ini pun akan kembali terjadi pada pertengahan Januari mendatang, ketika musim libur Natal 2025 dan Tahun Baru 2026 (Nataru) berakhir. 

    Siklus yang terjadi setiap tahun akan terus berulang, sepanjang pemerintah tidak memberikan dorongan atau stimulus. 

    Berbeda dengan Amerika Serikat (AS), lanjut Alvin, di mana perjalanan menggunakan angkutan udara alias pesawat masih terbantu di saat negara lain mengalami low season, karena keberadaan ajang Thanksgiving. 

    “Itu sudah pola sosial di berbagai negara. Di Amerika masih tertolong ada libur Thanksgiving,” tuturnya. 

    Sebelumnya, Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS Pudji Ismartini mengungkapkan, secara bulanan jumlah penumpang pada seluruh moda transportasi mengalami penurunan kecuali pada Angkutan Sungai Danau dan Penyebrangan atau ASDP yang mengalami peningkatan pada September 2025. 

    “Jumlah penumpang ASDP naik sebesar 1,46% MtM, disebabkan oleh peningkatan mobilitas masyarakat pada penyebrangan antar pulau saat liburan long weekend,” ujarnya dalam konferensi pers, Senin (3/11/2025). 

    Secara perinci, Jumlah penumpang angkutan udara domestik pada September 2025 sebanyak 4,8 juta orang atau turun 5,13% dibandingkan dengan Agustus 2025. 

    Penurunan jumlah penumpang terjadi di seluruh bandara utama yang diamati, yaitu Bandara Ngurah Rai-Denpasar sebesar 15,07%, Kualanamu-Medan sebesar 6,62%, Soekarno Hatta-Tangerang sebesar 5,46%, Hasanuddin-Makassar sebesar 3,43%, dan Juanda-Surabaya sebesar 1,97%.

    Selama Januari–September 2025, jumlah penumpang angkutan udara domestik sebanyak 44,2 juta orang atau turun 6,99% jika dibanding dengan periode yang sama tahun lalu sebanyak 47,5 juta orang.

    Sementara pada penerbangan internasional, jumlah penumpang angkutan udara ke luar negeri pada September 2025 sebanyak 1,8 juta orang atau turun 6,96% MtM. 

    Penurunan jumlah penumpang terjadi di seluruh bandara utama yang diamati, yaitu Bandara Hasanuddin-Makassar sebesar 17,37%, Ngurah Rai-Denpasar sebesar 9,02%, Soekarno Hatta-Tangerang sebesar 7,21%, Kualanamu-Medan sebesar 1,95%, dan Juanda-Surabaya sebesar 1,79%. 

    Selama Januari–September 2025, jumlah penumpang angkutan udara ke luar negeri, baik menggunakan penerbangan nasional maupun asing, sebanyak 15,3 juta orang atau naik 8,87% jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya.

  • Jumlah Penumpang Pesawat Anjlok per September 2025, Pengamat: Efek Low Season

    Jumlah Penumpang Pesawat Anjlok per September 2025, Pengamat: Efek Low Season

    Bisnis.com, JAKARTA — Pengamat memandang anjloknya jumlah penumpang angkutan udara, baik domestik maupun internasional, pada September 2025, sebagai efek musiman low season.

    Pengamat Penerbangan Alvin Lie memandang penurunan tersebut merupakan hal yang lumrah terjadi pada pertengahan semester II setiap tahunnya. 

    Dirinya menampik, penurunan yang terjadi di tengah peningkatan jumlah penumpang pada angkutan sungai, danau, dan penyeberangan (ASDP) akibat penurunan daya beli. 

    “September, Oktober, dan November adalah low season. Tidak ada liburan. Trafik akan mulai naik awal Desember hingga puncaknya akhir tahun,” ujarnya kepada Bisnis, Selasa (4/11/2025). 

    Pada September 2025, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah penumpang angkutan udara domestik turun sebesar 5,13% month to month (MtM) menjadi 4,8 juta orang, penumpang internasional turun 6,96% menjadi 1,8 juta orang. 

    Alvin menuturkan, momen seperti September ini pun akan kembali terjadi pada pertengahan Januari mendatang, ketika musim libur Natal 2025 dan Tahun Baru 2026 (Nataru) berakhir. 

    Siklus yang terjadi setiap tahun akan terus berulang, sepanjang pemerintah tidak memberikan dorongan atau stimulus. 

    Berbeda dengan Amerika Serikat (AS), lanjut Alvin, di mana perjalanan menggunakan angkutan udara alias pesawat masih terbantu di saat negara lain mengalami low season, karena keberadaan ajang Thanksgiving. 

    “Itu sudah pola sosial di berbagai negara. Di Amerika masih tertolong ada libur Thanksgiving,” tuturnya. 

    Sebelumnya, Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS Pudji Ismartini mengungkapkan, secara bulanan jumlah penumpang pada seluruh moda transportasi mengalami penurunan kecuali pada Angkutan Sungai Danau dan Penyebrangan atau ASDP yang mengalami peningkatan pada September 2025. 

    “Jumlah penumpang ASDP naik sebesar 1,46% MtM, disebabkan oleh peningkatan mobilitas masyarakat pada penyebrangan antar pulau saat liburan long weekend,” ujarnya dalam konferensi pers, Senin (3/11/2025). 

    Secara perinci, Jumlah penumpang angkutan udara domestik pada September 2025 sebanyak 4,8 juta orang atau turun 5,13% dibandingkan dengan Agustus 2025. 

    Penurunan jumlah penumpang terjadi di seluruh bandara utama yang diamati, yaitu Bandara Ngurah Rai-Denpasar sebesar 15,07%, Kualanamu-Medan sebesar 6,62%, Soekarno Hatta-Tangerang sebesar 5,46%, Hasanuddin-Makassar sebesar 3,43%, dan Juanda-Surabaya sebesar 1,97%.

    Selama Januari–September 2025, jumlah penumpang angkutan udara domestik sebanyak 44,2 juta orang atau turun 6,99% jika dibanding dengan periode yang sama tahun lalu sebanyak 47,5 juta orang.

    Sementara pada penerbangan internasional, jumlah penumpang angkutan udara ke luar negeri pada September 2025 sebanyak 1,8 juta orang atau turun 6,96% MtM. 

    Penurunan jumlah penumpang terjadi di seluruh bandara utama yang diamati, yaitu Bandara Hasanuddin-Makassar sebesar 17,37%, Ngurah Rai-Denpasar sebesar 9,02%, Soekarno Hatta-Tangerang sebesar 7,21%, Kualanamu-Medan sebesar 1,95%, dan Juanda-Surabaya sebesar 1,79%. 

    Selama Januari–September 2025, jumlah penumpang angkutan udara ke luar negeri, baik menggunakan penerbangan nasional maupun asing, sebanyak 15,3 juta orang atau naik 8,87% jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya.

  • Tak Ada Satu pun Tersangka Meski Marak Keracunan MBG

    Tak Ada Satu pun Tersangka Meski Marak Keracunan MBG

    GELORA.CO -Polemik kasus keracunan massal dalam program Makan Bergizi Gratis (MBG) kembali disorot tajam oleh mantan anggota Ombudsman RI, Alvin Lie. 

    Ia menilai ada kejanggalan serius dalam penanganan kasus yang telah menelan ribuan korban di berbagai daerah itu.

    Menurut Alvin, hingga kini belum terlihat langkah tegas dari aparat penegak hukum, khususnya Polri, meskipun korban yang terdampak program tersebut sudah mencapai angka ribuan.

    “Ribuan siswa jadi korban keracunan. Pada setiap kasus katanya akan dilakukan penyelidikan, tapi tidak ada yang ditingkatkan ke penyidikan,” kata Alvin seperti dikutip redaksi lewat akun X miliknya, Rabu, 29 Oktober 2025.

    “Ribuan siswa jadi korban keracunan. Pada setiap kasus katanya akan dilakukan penyelidikan, tapi tidak ada yang ditingkatkan ke penyidikan,” kata Alvin seperti dikutip redaksi lewat akun X miliknya, Rabu, 29 Oktober 2025.

    Ia menilai, ketidakjelasan penegakan hukum dalam kasus ini menimbulkan pertanyaan besar di publik, terutama terkait komitmen aparat dalam melindungi keselamatan anak-anak yang menjadi peserta program.

    “Tidak ada satu pun pelaku yang ditetapkan sebagai tersangka, apalagi terdakwa,” tegasnya.

    Program MBG sejatinya digagas sebagai upaya meningkatkan gizi dan kesehatan pelajar di seluruh Indonesia. Namun, serangkaian kasus keracunan massal yang muncul dalam pelaksanaannya justru memunculkan kekhawatiran dan kritik tajam terhadap kualitas pengawasan serta pertanggungjawaban penyelenggara.

    Pemerintah dan aparat didesak segera bertindak untuk memastikan transparansi serta keadilan bagi para korban. Jangan sampai program baik seperti MBG justru berubah jadi bencana karena lemahnya pengawasan dan lambannya penegakan hukum

  • Diskon Tarif Pesawat Nataru Diprediksi Tak Berdampak Signifikan, Pengamat: Daya Beli Lesu

    Diskon Tarif Pesawat Nataru Diprediksi Tak Berdampak Signifikan, Pengamat: Daya Beli Lesu

    Bisnis.com, JAKARTA — Pengamat Penerbangan Alvin Lie memandang keberadaan sederet diskon tarif tiket pesawat untuk momen Natal dan Tahun Baru atau Nataru, tak akan berdampak signifikan terhadap kenaikan jumlah penumpang rute domestik. 

    Alvin menjelaskan, dengan sejumlah diskon terkini seperti fuel surcharge hingga insentif pajak berupa PPN DTP sebesar 6%, total besaran diskon memang diperkirakan mencapai 12%—14%. Namun, tak cukup besar untuk menarik minat masyarakat untuk beralih ke moda pesawat udara. 

    Merujuk kebijakan serupa saat Lebaran 2025, yakni saat pemerintah memberikan insentif PPN DTP dan diskon sejumlah biaya pelayanan yang kemudian menekan harga tiket 13%-14%, jumlah penumpang hanya naik hampir 10% dari rata-rata tiga bulan terakhir.

    “Sedangkan penumpang yang beralih dari moda transportasi lain ke penerbangan, hanya 3,8%. Jadi tidak terjadi peningkatan signifikan dalam jumlah penumpang,” ujarnya kepada Bisnis, dikutip pada Minggu (19/10/2025).

    Terlebih untuk diskon fuel surcharge atau beban tambahan biaya bahan bakar yang dipangkas dari 10% menjadi 2%, hanya menyasar pesawat jet, bukan propeller. Padahal, pesawat propeller kerap melintasi wilayah Timur Indonesia dan memiliki biaya yang lebih mahal. 

    “Justru kawasan Indonesia Timur yang banyak dilayani pesawat propeller tidak mendapat insentif. Padahal justru kawasan ini yang paling merasakan beratnya harga tiket,” tambahnya.

    Di tengah peningkatan yang tidak signifikan, Alvin melihat adanya pergeseran pasar. Penumpang yang biasanya naik maskapai low cost carrier (LCC) bergeser ke maskapai full service. Biaya yang sama, tetapi fasilitas lebih nyaman. 

    Bukan tanpa sebab, Alvin melihat saat ini daya beli masih sangat lesu terhadap penerbangan domestik. Bahkan, jumlah penumpang rute domestik diperkirakan akan turun 10% sampai dengan 12% terhadap 2024 atau secara tahunan atau year-on-year (YoY).  

    “Jika diskon hanya pada kisaran 15%—20%, kemungkinan manfaatnya tidak seberapa. Daya beli sedang sangat lesu,” ujar Alvin. 

    Hal tersebut pun terbukti dari data Badan Pusat Statistik (BPS). Di saat angkutan penumpang udara atau pesawat internasional terus mencatatkan peningkatan, keberangkatan penumpang melalui angkutan udara domestik pada Agustus 2025 anjlok 6,66% dibandingkan bulan sebelumnya atau month-to-month (MtM). 

    BPS mencatat adanya penurunan dari 5,47 juta orang pada Juli 2025, menjadi 5,10 juta orang pada Agustus 2025. 

    Melihat data penumpang secara tahunan, terjadi peningkatan di hampir seluruh moda transportasi, kecuali pada angkutan udara domestik. Saat itu, jumlah penumpang angkutan udara domestik turun sebesar 8,45% YoY. 

    Kementerian Perhubungan (Kemenhub) pun memprediksikan pertumbuhan pesawat domestik pada 2025 akan stagnan alias tumbuh 0% dari 2024 atau secara tahunan. Sementara pesawat internasional akan tumbuh 1%.

    Sebelumnya, Direktur Navigasi Penerbangan Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan (Kemenhub) Syamsu Rizal pun mengungkapkan bahwa penerbangan internasional memang lebih cepat pulih. 

    Hal itu tecermin dengan trafik perkembangan penumpang internasional yang hampir mendekati masa 2019.  Pada tahun lalu, tingkat pemulihan atau recovery rate penerbangan internasional 2024 terhadap 2019 baru mencapai 96%. Sementara pada tahun ini diperkirakan akan mencapai 110%.  

    Berbeda dengan domestik dengan recovery rate 2024 terhadap 2019 sebesar 83%, dan hanya akan tumbuh 2% pada tahun ini. Jauh berbeda dengan rute internasional yang tumbuh 14%.  

    “Jadi memang internasional lebih cepat pulih, yang diprognosiskan akan melampaui 100% pada tahun ini,” ujarnya dalam Press Background, Selasa (5/8/2025).

    Adapun, berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 71/2025, dikutip Sabtu (18/10/2025), pemerintah memberikan insentif PPN yang ditanggung pemerintah terhadap harga tiket pesawat untuk menjaga daya beli masyarakat dan menggerakkan perekonomian nasional selama periode Nataru. 

    Insentif PPN yang ditanggung pemerintah (PPN DTP) tersebut berlaku untuk periode pembelian tiket yang dilakukan sejak 22 Oktober 2025 hingga 10 Januari 2026 dan periode penerbangan yang dilakukan sejak 22 Desember 2025 hingga 10 Januari 2026.

    Pemerintah hanya menanggung PPN sebesar 6% dari nilai penggantian. Sementara, masyarakat masih membayar PPN sebesar 5% yang akan ditagih melalui maskapai. 

    Komponen pada nilai penggantian mencakup tarif dasar (base fare), biaya bahan bakar (fuel surcharge), biaya bagasi tambahan (extra baggage), dan pemilihan kursi (seat selection), yang merupakan jasa yang diberikan maskapai.

    Meski demikian, efek nyata dari diskon Nataru ini baru akan terlihat saat momen tersebut berlangsung dan rampung, pada awal tahun 2026 mendatang.

  • Insentif Diskon Tiket Pesawat Diramal Tak Efektif Kerek Jumlah Penumpang

    Insentif Diskon Tiket Pesawat Diramal Tak Efektif Kerek Jumlah Penumpang

    Bisnis.com, JAKARTA — Insentif yang diberikan pemerintah untuk menurunkan harga tiket pesawat diproyeksi tidak signifikan menggenjot jumlah penumpang maskapai pada momen Natal dan Tahun Baru (Nataru) 2025/2026.

    Ketua Asosiasi Pengguna Jasa Penerbangan Indonesia (Apjapi), Alvin Lie memprediksi pemberian insentif yang dilakukan pemerintah tersebut hanya meningkatkan jumlah penumpang maksimal 15% dibandingkan dengan hari biasa dalam 3 bulan terakhir.

    “Dampaknya tidak signifikan. Justru yang terjadi hanya pergeseran penumpang dari LCC [maskapai berbiaya murah/low cost carrier] ke FSC [layanan penuh/full service],” kata Alvin, Sabtu (18/10/2025).

    Dia berpendapat maskapai layanan penuh seperti Garuda Indonesia dan Batik Air yang paling diuntungkan dalam skema insentif tersebut. Sementara, maskapai berbiaya murah seperti Citilink dan Lion Air justru menjadi kurang diminati.

    Menurutnya, penumpang yang biasanya menggunakan LCC akan beralih ke FSC. Terlebih, selisih harga untuk kedua jenis layanan maskapai tersebut untuk kelas dan rute yang sama hanya 15% .

    Alvin menuturkan ketika pemerintah memaksakan harga turun 13-14%, akan terjadi pergeseran penumpang ke kelas layanan penerbangan yang lebih tinggi. Penumpang berusaha mendapatkan layanan terbaik dengan biaya terjangkau, bukan lagi mencari tiket paling murah.

    Kendati demikian, lanjutnya, momen Nataru tidak akan signifikan meningkatkan jumlah keterisian kursi penumpang (seat load factor/SLF) maskapai.

    Dia menjelaskan penyebab utamanya masih dipengaruhi melemahnya daya beli masyarakat. Selain itu, lambannya pengumuman pemberian insentif dari pemerintah jelang peak season.

    “Pengumuman hanya berjarak 2-4 pekan sebelum peak season. Padahal penumpang yang berlibur sudah rencanakan jauh hari dan sudah beli tiket 1-3 bulan sebelumnya,” ujarnya.

    Adapun, perpindahan penumpang yang biasanya naik moda transportasi darat seperti bus, kereta api dan kendaraan pribadi hingga angkutan laut hanya sekitar 3% yang akan beralih ke moda transportasi udara.

    Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 71/2025, dikutip Sabtu (18/10/2025), pemerintah memberikan insentif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang ditanggung pemerintah terhadap harga tiket pesawat untuk menjaga daya beli masyarakat dan menggerakkan perekonomian nasional selama periode Nataru.

    Beleid yang diteken Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa tersebut berlaku untuk periode pembelian tiket pesawat kelas ekonomi yang dilakukan sejak 22 Oktober 2025 hingga 10 Januari 2026 dan periode penerbangan yang dilakukan sejak 22 Desember 2025 hingga 10 Januari 2026.

    Pemerintah hanya menanggung PPN sebesar 6% dari nilai penggantian. Sementara, masyarakat masih membayar PPN sebesar 5% yang akan ditagih melalui maskapai.

    Sebelumnya, Kementerian Perhubungan (Kemenhub) menurunkan biaya tambahan bahan bakar (fuel surcharge), yang menjadi komponen harga tiket pesawat, berdasarkan Keputusan Menteri Perhubungan No. KM 50/2025.

    Menteri Perhubungan Dudy Purwagandhi menetapkan besaran fuel surcharge ditetapkan untuk jenis pesawat bermesin jet dan propeller (baling-baling ganda) dengan masing-masing maksimal 2% dan 20% dari tarif batas atas sesuai kelompok pelayanan maskapai.

    “Penurunan fuel surcharge tersebut berlaku untuk pelaksanaan penerbangan pada 22 Desember 2025 hingga 10 Januari 2026 dan periode pemesanan tiket penerbangan mulai 22 Oktober 2025 hingga 10 Januari 2026,” seperti dikutip dalam beleid yang diteken sejak 8 Oktober 2025.

  • Suara Pakar Terbelah soal Merger Pelita Air dengan Garuda (GIAA)

    Suara Pakar Terbelah soal Merger Pelita Air dengan Garuda (GIAA)

    Bisnis.com, JAKARTA —Rencana merger maskapai penerbangan keluarga BUMN, Pelita Air dengan Garuda Indonesia (GIAA) membawa pertentangan dari sisi pakar. 

    Langkah PT Pertamina (Persero) fokus menggarap bisnis berbasis energi dengan melepas Pelita Air lantas membuka polemik lama, yakni merger PT Pelita Air Service dengan PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. (GIAA). Sejumlah pakar mengemukakan pandangan berbeda soal rencana aksi korporasi ini. 

    Pengamat Penerbangan Alvin Lie melihat bahwa masing-masing maskapai—Garuda Indonesia dengan layanan penuh, Citilink sebagai maskapai hemat, dan Pelita Air yang tengah tumbuh—memiliki posisi yang kuat dan karakter berbeda. Dia pun menyayangkan bila identitas ketiganya melebur karena menghilangkan keunikan masing-masing.

    “Ada risiko kehilangan fokus segmen dan potensi terjadinya tumpang tindih layanan yang justru merugikan,” ujarnya kepada Bisnis, Minggu (14/9/2025). 

    Dia menilai masing-masing maskapai memiliki basis pelanggan loyal dengan kebutuhan, selera dan daya beli yang berbeda. Dengan demikian, dia khawatir saat melebur, sebagian besar pelanggan justru pindah ke maskapai lain. 

    Dia menilai bahwa langkah yang lebih tepat adalah melalui aliansi, sebagaimana model aliansi global seperti OneWorld, SkyTeam, dan Star Alliance yang mampu menawarkan sinergi layanan tanpa harus menghilangkan identitas setiap maskapai. Model aliansi, katanya, memberikan potensi pelayanan yang lebih baik, seperti koneksi penerbangan yang mulus (seamless connection), kemudahan penerbangan transit atau connecting flight, hingga kolaborasi pemasaran. 

    Dengan mempertahankan kekuatan masing-masing dan membentuk sinergi strategis, tiga maskapai ini, menurut Alvin, dapat menjadi fondasi penting dalam menghubungkan Indonesia secara efisien, kompetitif dan berkelas baik secara nasional maupun di kancah internasional.

    Sementara itu, Pengamat Penerbangan Gerry Soejatman menilai tak salah jika Pertamina ingin mendivestasi Pelita, tetapi jangan dilebur dengan Garuda. 

    “Pelita sebaiknya dijual mayoritas sahamnya ke sektor swasta atau ditempatkan di bawah Danantara, setara dengan Garuda, agar kedua maskapai tetap independen,” tuturnya. 

    Gerry menjelaskan bahwa pada dasarnya Garuda dan Pelita memiliki misi yang berbeda. Garuda, tutur Gerry, berjuang keluar dari krisis, sementara Pelita masih berupaya mengutamakan kualitas layanan. Oleh karena itu, dia menilai Garuda harus mandiri tanpa intervensi pemerintah yang mengurangi kompetisi pasar. Di tengah segudang masalah Garuda, dari utang hingga manajemen, merger pun bukan menjadi solusi dan hanya akan menambah beban operasional tanpa menyelesaikan akar masalah. 

    Gerry berujar Garuda turut memiliki utang yang besar, termasuk kepada Pertamina. Jika pada akhirnya benar merger terjadi, Garuda Indonesia yang krisis bak mendapatkan ‘hadiah’ perusahaan sehat. Namun, dia menilai cara ini tetap tak menyelesaikan masalah Garuda.

    “Merger bukan solusi, melainkan cara instan yang berisiko memperburuk masalah,” tegasnya. 

    Merger dengan Pelita Air jadi Jalan Terang bagi Garuda

    Berbeda, Pengamat BUMN Toto Pranoto melihat bahwa merger menjadi jalan terang bagi Garuda dan menjalankan rencana konsolidasi BUMN. Alasannya, untuk memulihkan kinerja, Garuda Indonesia membutuhkan tambahan armada burung besi.

    Sebagai gambaran, GIAA masih membukukan rugi bersih yang diatribusikan kepada pemilik entitas induk sebesar US$76,48 juta per kuartal I/2025. Meskipun, kerugian maskapai penerbangan pelat merah ini menyusut dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya sebesar US$87,03 juta. 

    Dia pun menilai meleburnya bisnis penerbangan pelat merah dapat membuat skala ekonomi dalam pengoperasian armada lebih baik dan makin banyak area yang makin efisien, terutama fasilitas yang dapat dipikul bersama biayanya, misal fasilitas pemeliharaan pesawat. Dengan model ini dia berharap kinerja Garuda dapat lebih baik ke depan. Alhasil, GIAA memiliki kesempatan memperbaiki kinerja keuangannya. 

    “Dengan potensi pertumbuhan angkutan udara yang meningkat, terutama di domestik, maka penambahan armada akan sangat bantu tingkatkan pendapatan. Apalagi rencana perbaikan/penambahan pesawat baru Garuda dari PMN Danantara belum sepenuhnya selesai,” jelasnya. 

    Terpisah, Pengamat BUMN sekaligus Direktur NEXT Indonesia Herry Gunawan memandang kendati Pertamina akan kehilangan aset maupun nama Pelita Air, Garuda akan beroperasi lebih efisien terutama dari sisi operasional, karena dapat dikelola dalam satu kantor. 

    Keuntungan lainnya, yakni Garuda akan dapat suntikan aset dan kas, karena Pelita Air termasuk perusahaan yang memperoleh laba pada tahun lalu. Pelita Air mencatatkan pertumbuhan pendapatan sebesar 81,34% pada 2024 dan pencapaian laba untuk pertama kalinya sepanjang sejarah perseroan. 

    “Menurut saya, yang terpenting saat ini adalah membuat bisnis penerbangan milik pemerintah sehat dulu dan terkonsentrasi. Makin banyak BUMN yang bergerak di sektor yang sama, membuat bisnis BUMN tidak efisien,” tuturnya. 

  • Pengamat Tolak Rencana Merger Pelita Air dan Garuda (GIAA), Ini Alasannya

    Pengamat Tolak Rencana Merger Pelita Air dan Garuda (GIAA), Ini Alasannya

    Bisnis.com, JAKARTA — Pengamat penerbangan sepakat menolak dengan tegas rencana peleburan atau merger maskapai penerbangan milik PT Pertamina (Persero), Pelita Air ke PT Garuda Indonesia Tbk. (GIAA).

    Pengamat Penerbangan Alvin Lie menyampaikan bahwa sejak lama dirinya tidak mendukung ide merger maskapai pelat merah. Dirinya lebih mendukung jika tetap ada tiga maskapai yang berdiri dengan brand, karakter, dan segmen pasar masing-masing.

    Menurutnya, jika Pelita Air merger dengan Garuda Indonesia, secara otomatis Pelita Air akan hilang. Begitu pula dengan izin usaha maupun izin rute yang telah ada, maka terpaksa dicabut. 

    “Demikian pula brand value, identitas karakter, dan customer base yang telah dibangun selama ini jadi mubazir. Lenyap,” tuturnya kepada Bisnis, Minggu (14/9/2025).  

    Dibandingkan merger atau penggabungan, lanjut Alvin, pendekatan berbasis aliansi akan jauh lebih strategis. Contohnya model aliansi global seperti OneWorld, SkyTeam, dan Star Alliance, yang mampu menawarkan sinergi layanan tanpa harus menghilangkan identitas tiap maskapai. 

    Aliansi memberikan potensi pelayanan yang lebih baik, seperti koneksi penerbangan yang mulus (seamless connection), kemudahan connecting flight, hingga kolaborasi dalam pemasaran

    “Dalam struktur aliansi, tiga maskapai ini justru bisa menjadi kekuatan kolektif yang lebih tangguh dibanding hanya satu maskapai tunggal dalam menghadapi persaingan pasar,” jelasnya. 

    Senada, Pengamat Penerbangan Gerry Soejatman menilai bahwa apapun yang terjadi pada akhirnya nanti, baik aliansi maupun merger, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) harus siaga untuk memastikan kompetisi usaha tetap sehat.

    Gerry melihat apabila tidak terjadi merger, tetapi mempertimbangkan kerja sama, aliansi domestik dapat menjadi pilihan. Namun, KPPU harus siaga untuk memastikan bahwa aliansi atau merger tidak menggerus kompetisi. 

    “Jika merger menciptakan dominasi pasar dan membuahkan anti-competitive behaviour, KPPU harus bertindak tegas demi menjaga kepentingan konsumen dan pasar yang sehat,” jelasnya. 

    Dampak ke Kinerja

    Penolakan pun telah disampaikan oleh wakil rakyat, alias DPR. Anggota Komisi VI DPR dari Fraksi PAN Abdul Hakim Bafagih menegaskan bahwa fraksinya menolak rencana tersebut. Menurutnya, kinerja Pelita Air yang kini baik berisiko menjadi buruk usai dilebur ke Garuda Indonesia. 

    “Ini perusahaan lagi bagus-bagusnya. Kalau kemudian digabungkan, dimerger atau aksi korporasi lain dengan perusahaan yang lagi terseok-seok, yang periode lalu saya ikut memutuskan upaya penyelamatan Garuda, yang sampai sekarang tidak muncul perbaikannya, kasihan Pelitanya,” ujarnya dilansir dari akun Instagram @amanatnasional, Kamis (11/9/2025). 

    Lebih lanjut, jika spin-off tetap harus dilakukan, Abdul mengusulkan agar Pelita Air dijadikan langsung anak usaha Danantara. 

    Adapun, isu meleburnya maskapai BUMN dalam Garuda Indonesia kembali mencuat usai pertemuan PT Pertamina (Persero) di DPR. 

    Di mana Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Simon Aloysius Mantiri menyampaikan bahwa perusahaan-perusahaan pelat merah yang memiliki lini bisnis sejenis bakal digabungkan. Dia mencontohkan, maskapai Pelita Air bakal bergabung dengan Garuda Indonesia. 

    “Sebagai contoh, untuk airline kami, kita sedang melakukan penjajakan awal untuk penggabungan dengan Garuda Indonesia. Begitu juga untuk sektor insurance, sektor pelayanan kesehatan, hospitality, Patra Jasa, tentunya akan mengikuti roadmap yang sudah dipersiapkan oleh Danantara,” jelas Simon dalam Rapat Dengar Pendapat bersama Komisi VI DPR RI, Kamis (11/9/2025). 

    Pelita Air sendiri telah beroperasi melayani penerbangan komersial sejak Agustus 2023 menggunakan armada Airbus A320. 

    Bahkan sepanjang 2024 tingkat keterisian kursi (seat load factor) Pelita Air tercatat sebesar 81%, ditambah ketepatan waktu penerbangan yang konsisten di atas 90%. 

    Sementara pada Agustus 2025 lalu, Pelita Air juga telah memulai penerbangan internasionalnya, dengan rute perdana Jakarta-Singapura. Pelita Air juga mencatatkan pertumbuhan pendapatan sebesar 81,34% pada 2024 dan pencapaian laba untuk pertama kalinya sepanjang sejarah perseroan. 

  • Pengamat Tolak Rencana Merger Pelita Air dan Garuda (GIAA), Ini Alasannya

    Pengamat Tolak Rencana Merger Pelita Air dan Garuda (GIAA), Ini Alasannya

    Bisnis.com, JAKARTA — Pengamat penerbangan sepakat menolak dengan tegas rencana peleburan atau merger maskapai penerbangan milik PT Pertamina (Persero), Pelita Air ke PT Garuda Indonesia Tbk. (GIAA).

    Pengamat Penerbangan Alvin Lie menyampaikan bahwa sejak lama dirinya tidak mendukung ide merger maskapai pelat merah. Dirinya lebih mendukung jika tetap ada tiga maskapai yang berdiri dengan brand, karakter, dan segmen pasar masing-masing.

    Menurutnya, jika Pelita Air merger dengan Garuda Indonesia, secara otomatis Pelita Air akan hilang. Begitu pula dengan izin usaha maupun izin rute yang telah ada, maka terpaksa dicabut. 

    “Demikian pula brand value, identitas karakter, dan customer base yang telah dibangun selama ini jadi mubazir. Lenyap,” tuturnya kepada Bisnis, Minggu (14/9/2025).  

    Dibandingkan merger atau penggabungan, lanjut Alvin, pendekatan berbasis aliansi akan jauh lebih strategis. Contohnya model aliansi global seperti OneWorld, SkyTeam, dan Star Alliance, yang mampu menawarkan sinergi layanan tanpa harus menghilangkan identitas tiap maskapai. 

    Aliansi memberikan potensi pelayanan yang lebih baik, seperti koneksi penerbangan yang mulus (seamless connection), kemudahan connecting flight, hingga kolaborasi dalam pemasaran

    “Dalam struktur aliansi, tiga maskapai ini justru bisa menjadi kekuatan kolektif yang lebih tangguh dibanding hanya satu maskapai tunggal dalam menghadapi persaingan pasar,” jelasnya. 

    Senada, Pengamat Penerbangan Gerry Soejatman menilai bahwa apapun yang terjadi pada akhirnya nanti, baik aliansi maupun merger, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) harus siaga untuk memastikan kompetisi usaha tetap sehat.

    Gerry melihat apabila tidak terjadi merger, tetapi mempertimbangkan kerja sama, aliansi domestik dapat menjadi pilihan. Namun, KPPU harus siaga untuk memastikan bahwa aliansi atau merger tidak menggerus kompetisi. 

    “Jika merger menciptakan dominasi pasar dan membuahkan anti-competitive behaviour, KPPU harus bertindak tegas demi menjaga kepentingan konsumen dan pasar yang sehat,” jelasnya. 

    Dampak ke Kinerja

    Penolakan pun telah disampaikan oleh wakil rakyat, alias DPR. Anggota Komisi VI DPR dari Fraksi PAN Abdul Hakim Bafagih menegaskan bahwa fraksinya menolak rencana tersebut. Menurutnya, kinerja Pelita Air yang kini baik berisiko menjadi buruk usai dilebur ke Garuda Indonesia. 

    “Ini perusahaan lagi bagus-bagusnya. Kalau kemudian digabungkan, dimerger atau aksi korporasi lain dengan perusahaan yang lagi terseok-seok, yang periode lalu saya ikut memutuskan upaya penyelamatan Garuda, yang sampai sekarang tidak muncul perbaikannya, kasihan Pelitanya,” ujarnya dilansir dari akun Instagram @amanatnasional, Kamis (11/9/2025). 

    Lebih lanjut, jika spin-off tetap harus dilakukan, Abdul mengusulkan agar Pelita Air dijadikan langsung anak usaha Danantara. 

    Adapun, isu meleburnya maskapai BUMN dalam Garuda Indonesia kembali mencuat usai pertemuan PT Pertamina (Persero) di DPR. 

    Di mana Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Simon Aloysius Mantiri menyampaikan bahwa perusahaan-perusahaan pelat merah yang memiliki lini bisnis sejenis bakal digabungkan. Dia mencontohkan, maskapai Pelita Air bakal bergabung dengan Garuda Indonesia. 

    “Sebagai contoh, untuk airline kami, kita sedang melakukan penjajakan awal untuk penggabungan dengan Garuda Indonesia. Begitu juga untuk sektor insurance, sektor pelayanan kesehatan, hospitality, Patra Jasa, tentunya akan mengikuti roadmap yang sudah dipersiapkan oleh Danantara,” jelas Simon dalam Rapat Dengar Pendapat bersama Komisi VI DPR RI, Kamis (11/9/2025). 

    Pelita Air sendiri telah beroperasi melayani penerbangan komersial sejak Agustus 2023 menggunakan armada Airbus A320. 

    Bahkan sepanjang 2024 tingkat keterisian kursi (seat load factor) Pelita Air tercatat sebesar 81%, ditambah ketepatan waktu penerbangan yang konsisten di atas 90%. 

    Sementara pada Agustus 2025 lalu, Pelita Air juga telah memulai penerbangan internasionalnya, dengan rute perdana Jakarta-Singapura. Pelita Air juga mencatatkan pertumbuhan pendapatan sebesar 81,34% pada 2024 dan pencapaian laba untuk pertama kalinya sepanjang sejarah perseroan. 

  • Pengamat Tolak Rencana Merger Pelita Air dan Garuda (GIAA), Ini Alasannya

    Pengamat Tolak Rencana Merger Pelita Air dan Garuda (GIAA), Ini Alasannya

    Bisnis.com, JAKARTA — Pengamat penerbangan sepakat menolak dengan tegas rencana peleburan atau merger maskapai penerbangan milik PT Pertamina (Persero), Pelita Air ke PT Garuda Indonesia Tbk. (GIAA).

    Pengamat Penerbangan Alvin Lie menyampaikan bahwa sejak lama dirinya tidak mendukung ide merger maskapai pelat merah. Dirinya lebih mendukung jika tetap ada tiga maskapai yang berdiri dengan brand, karakter, dan segmen pasar masing-masing.

    Menurutnya, jika Pelita Air merger dengan Garuda Indonesia, secara otomatis Pelita Air akan hilang. Begitu pula dengan izin usaha maupun izin rute yang telah ada, maka terpaksa dicabut. 

    “Demikian pula brand value, identitas karakter, dan customer base yang telah dibangun selama ini jadi mubazir. Lenyap,” tuturnya kepada Bisnis, Minggu (14/9/2025).  

    Dibandingkan merger atau penggabungan, lanjut Alvin, pendekatan berbasis aliansi akan jauh lebih strategis. Contohnya model aliansi global seperti OneWorld, SkyTeam, dan Star Alliance, yang mampu menawarkan sinergi layanan tanpa harus menghilangkan identitas tiap maskapai. 

    Aliansi memberikan potensi pelayanan yang lebih baik, seperti koneksi penerbangan yang mulus (seamless connection), kemudahan connecting flight, hingga kolaborasi dalam pemasaran

    “Dalam struktur aliansi, tiga maskapai ini justru bisa menjadi kekuatan kolektif yang lebih tangguh dibanding hanya satu maskapai tunggal dalam menghadapi persaingan pasar,” jelasnya. 

    Senada, Pengamat Penerbangan Gerry Soejatman menilai bahwa apapun yang terjadi pada akhirnya nanti, baik aliansi maupun merger, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) harus siaga untuk memastikan kompetisi usaha tetap sehat.

    Gerry melihat apabila tidak terjadi merger, tetapi mempertimbangkan kerja sama, aliansi domestik dapat menjadi pilihan. Namun, KPPU harus siaga untuk memastikan bahwa aliansi atau merger tidak menggerus kompetisi. 

    “Jika merger menciptakan dominasi pasar dan membuahkan anti-competitive behaviour, KPPU harus bertindak tegas demi menjaga kepentingan konsumen dan pasar yang sehat,” jelasnya. 

    Dampak ke Kinerja

    Penolakan pun telah disampaikan oleh wakil rakyat, alias DPR. Anggota Komisi VI DPR dari Fraksi PAN Abdul Hakim Bafagih menegaskan bahwa fraksinya menolak rencana tersebut. Menurutnya, kinerja Pelita Air yang kini baik berisiko menjadi buruk usai dilebur ke Garuda Indonesia. 

    “Ini perusahaan lagi bagus-bagusnya. Kalau kemudian digabungkan, dimerger atau aksi korporasi lain dengan perusahaan yang lagi terseok-seok, yang periode lalu saya ikut memutuskan upaya penyelamatan Garuda, yang sampai sekarang tidak muncul perbaikannya, kasihan Pelitanya,” ujarnya dilansir dari akun Instagram @amanatnasional, Kamis (11/9/2025). 

    Lebih lanjut, jika spin-off tetap harus dilakukan, Abdul mengusulkan agar Pelita Air dijadikan langsung anak usaha Danantara. 

    Adapun, isu meleburnya maskapai BUMN dalam Garuda Indonesia kembali mencuat usai pertemuan PT Pertamina (Persero) di DPR. 

    Di mana Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Simon Aloysius Mantiri menyampaikan bahwa perusahaan-perusahaan pelat merah yang memiliki lini bisnis sejenis bakal digabungkan. Dia mencontohkan, maskapai Pelita Air bakal bergabung dengan Garuda Indonesia. 

    “Sebagai contoh, untuk airline kami, kita sedang melakukan penjajakan awal untuk penggabungan dengan Garuda Indonesia. Begitu juga untuk sektor insurance, sektor pelayanan kesehatan, hospitality, Patra Jasa, tentunya akan mengikuti roadmap yang sudah dipersiapkan oleh Danantara,” jelas Simon dalam Rapat Dengar Pendapat bersama Komisi VI DPR RI, Kamis (11/9/2025). 

    Pelita Air sendiri telah beroperasi melayani penerbangan komersial sejak Agustus 2023 menggunakan armada Airbus A320. 

    Bahkan sepanjang 2024 tingkat keterisian kursi (seat load factor) Pelita Air tercatat sebesar 81%, ditambah ketepatan waktu penerbangan yang konsisten di atas 90%. 

    Sementara pada Agustus 2025 lalu, Pelita Air juga telah memulai penerbangan internasionalnya, dengan rute perdana Jakarta-Singapura. Pelita Air juga mencatatkan pertumbuhan pendapatan sebesar 81,34% pada 2024 dan pencapaian laba untuk pertama kalinya sepanjang sejarah perseroan. 

  • Penerbangan Domestik Kalah Saing dari Internasional, Ini Kata Pengamat

    Penerbangan Domestik Kalah Saing dari Internasional, Ini Kata Pengamat

    Bisnis.com, JAKARTA — Perkembangan penumpang angkutan udara domestik mencatatkan penyusutan sepanjang tahun berjalan sebesar 6,13% pada Januari—Juli 2025 dibanding periode yang sama tahun lalu. Di sisi lain, penerbangan internasional tumbuh 9,94%. 

    Pemerhati Penerbangan Alvin Lie mengatakan penurunan jumlah penumpang sejalan dengan menyusutnya rute domestik dari periode sebelum pandemi Covid-19 atau pada 2019 yang sebanyak 444 rute menjadi 312 pada 2024. Penurunan tersebut pun diikuti dengan terputusnya konektivitas domestik dari sebelumnya menghubungkan 145 kota di Indonesia, menjadi hanya 118. 

    “Indikasinya airline tidak berminat untuk melayani rute dalam negeri karena tidak menguntungkan,” ujarnya kepada Bisnis, Jumat (5/9/2025). 

    Menurutnya, sumber masalah tersebut berasal dari tarif batas atas (TBA) yang tidak disesuaikan dengan kenaikan biaya-biaya operasi sejak 6 tahun lalu atau 2019. Alhasil, rute-rute yang jelas rugi mengalami pemotongan. Maskapai pun mengurangi frekuensinya atau bahkan berhenti sama sekali.

    Dengan demikian, makin banyak kota-kota yang tadinya dilayani penerbangan menjadi tidak terlayani terutama yang menggunakan pesawat ATR karena biaya operasi ATR itu tinggi. 

    Alvin melihat maskapai-maskapai penerbangan nasional lebih suka mengembangkan rute keluar negeri karena rute keluar negeri itu tidak diatur tarif batas atas dan tarif batas bawahnya murni sesuai mekanisme pasar sehingga lebih menguntungkan. 

    “Ini memang konsekuensi dari kebijakan pemerintah untuk tidak memutakhirkan tarif batas atas sesuai dengan kondisi riil,” katanya. 

    Di samping itu, jumlah pesawat yang beroperasi sejak pandemi pernah naik ke 450an pesawat dan saat ini kembali turun ke 350 pesawat. Penurunan tersebut karena maskapai merasa lebih baik pesawatnya tidak diterbangkan daripada menuai rugi.

    Di sisi lain, pola kenaikan penumpang internasional didominasi warga negara Indonesia yang pergi untuk ibadah umrah dan berobat ke Singapura dan Malaysia. 

    Hal tersebut sejalan dengan data Badan Pusat Statistik (BPS) yang menunjukkan jumlah perjalanan warga Indonesia ke luar negeri atau wisatawan nasional (wisnas) per Juli 2025 paling banyak ke Malaysia, Saudi Arabia, dan Singapura dimana besaran masing-masing mencakup 31,66%, 18,30%, dan 13,55% dari total 869.930 wisnas. 

    Direktur Jenderal Perhubungan Udara Kemenhub Lukman F. Laisa menuturkan penurunan memang terjadi, baik disebabkan oleh adanya efisiensi perjalanan hingga penurunan jumlah rute dalam negeri. Selain itu, faktor keterbatasan armada juga membuat turunnya jumlah penumpang angkutan udara domestik pada tahun ini. 

    “Penurunan angkutan udara domestik dipengaruhi oleh sejumlah faktor, seperti pengurangan frekuensi penerbangan pada rute dengan permintaan rendah, keterbatasan armada pesawat, program efisiensi perjalanan, hingga distribusi bahan bakar yang belum merata,” ujarnya kepada Bisnis.

    Untuk menjaga keseimbangan antara penerbangan domestik dan internasional, Ditjen Hubud mendorong kolaborasi dengan pemerintah, maskapai, dan sektor pariwisata.

    Menurutnya, dari sisi maskapai dapat melakukan pengembangan rute baru, program harga dinamis, paket wisata bersama hotel/agen perjalanan, dan optimalisasi armada. Sementara dari segi pariwisata dapat melakukan promosi destinasi, event/festival di musim sepi, dan paket perjalanan domestik yang terjangkau.