Tag: Albertina Ho

  • Kasasi Ditolak, Zarof Ricar Tetap Jalani Hukuman 18 Tahun Penjara

    Kasasi Ditolak, Zarof Ricar Tetap Jalani Hukuman 18 Tahun Penjara

    Liputan6.com, Jakarta Mahkamah Agung (MA) menolak kasasi yang diajukan jaksa penuntut umum dan mantan pejabat MA, Zarof Ricar.

    Dengan putusan ini, Zarof Ricar tetap harus menjalani hukuman 18 tahun penjara. Putusan itu diumumkan dalam dalam laman kepaniteraan MA,

    “Amar putusan tolak kasasi penutut umum dan terdakwa,” seperti dikutip dalam laman kepaniteraan Mahkamah Agung, Jumat (14/11/2025).

    Putusan diketok majelis hakim pada Rabu, 12 November 2025. Sidang Kasasi dipimpin hakim Yohanes Priyana dengan anggota Arizon Mega Jaya dan Noor Edi Yono.

    Sebelumnya, dalam sidang banding di Pengadilan Tinggi Jakarta pada 24 Juli lalu, majelis hakim yang diketuai Albertina Ho memperberat hukuman Zarof dari 16 tahun menjadi 18 tahun penjara. Ia juga diwajibkan membayar denda Rp 1 miliar, subsider 6 bulan kurungan.

    “Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 18 tahun dan denda sejumlah Rp 1 miliar dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar, maka diganti dengan pidana kurungan selama 6 bulan,” ujar hakim saat membacakan amar putusan banding.

    Zarof dinyatakan bersalah melakukan permufakatan jahat dan menerima gratifikasi terkait vonis bebas Gregorius Ronald Tannur dalam kasus kematian Dini Sera Afrianti. Ia terbukti melanggar Pasal 6 ayat (1) huruf a dan Pasal 12B juncto Pasal 15 juncto Pasal 18 UU Tipikor.

     

  • Sidang Banding, Pendiri Sriwijaya Air Hendry Lie Tetap Dihukum 14 Tahun Pidana

    Sidang Banding, Pendiri Sriwijaya Air Hendry Lie Tetap Dihukum 14 Tahun Pidana

    Bisnis.com, JAKARTA — Pendiri Sriwijaya Air, Hendry Lie tetap divonis 14 tahun penjara dan denda Rp1 miliar pada sidang banding di Pengadilan Tinggi (PT) Jakarta.

    Berdasarkan sistem informasi penelusuran perkara (SIPP) PN Jakarta Pusat, majelis hakim PT Jakarta telah menjatuhkan hukuman pidana yang sama dengan pengadilan tingkat pertama.

    “Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa dengan pidana penjara selama 14 tahun dan denda sebesar Rp1.000.000.000,00 dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar akan diganti dengan pidana kurungan selama 6 bulan,” dalam amar putusan banding oleh PT Jakarta, dikutip Senin (11/8/2025).

    Selain pidana badan, Majelis Hakim PT Jakarta juga menetapkan pidana tambahan berupa kewajiban membayar uang pengganti Rp1,05 triliun untuk Beneficial Ownership PT Tinindo Inter Nusa itu.

    Adapun, apabila Hendry Lie tak bisa membayar uang pengganti itu selama satu bulan setelah berkekuatan hukum tetap, maka harta bendanya akan disita oleh jaksa untuk dilelang.

    Sementara itu, jika harta benda Hendry Lie masih tidak menutupi uang pengganti maka kewajiban itu bakal diganti dengan pidana penjara selama delapan tahun dengan dikurangi masa tahanan sebelumnya.

    “Menjatuhkan pidana tambahan kepada Terdakwa untuk membayar uang pengganti sejumlah Rp1.052.577.589.599,19,” tambah hakim.

    Selain itu, hakim juga menyatakan sejumlah aset tanah dan bangunan di Badung, Bali agar dirampas negara untuk diperhitungkan sebagai pembayaran uang pengganti atas perkara Hendry Lie.

    Sekadar informasi, sidang di tingkat banding ini diadili oleh ketua majelis Albertina Ho dengan hakim anggota Tahsin dan Agung Iswanto. Sementara, Panitera Pengganti Rina Rosanawati. Adapun, perkara ini diputus pada Jumat (8/8/2025).

    Sekadar informasi, Hendry Lie telah dinyatakan secara sah dan bersalah dalam kasus korupsi tata niaga timah di IUP PT Timah Tbk. (TINS).

    Dari kasus dengan kerugian negara Rp300 triliun itu, Hendry Lie divonis 14 tahun penjara dan denda Rp1 miliar di pengadilan negeri Tipikor Jakarta Pusat. Selain itu, eks Bos Sriwijaya Air ini juga diminta untuk membayar uang pengganti Rp1,05 triliun.

  • 18 Tahun Penjara untuk Zarof Ricar Sang Makelar Kasus…
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        26 Juli 2025

    18 Tahun Penjara untuk Zarof Ricar Sang Makelar Kasus… Nasional 26 Juli 2025

    18 Tahun Penjara untuk Zarof Ricar Sang Makelar Kasus…
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –

    Pengadilan Tinggi DKI Jakarta
    memperberat hukuman mantan pejabat Mahkamah Agung (MA)
    Zarof Ricar
    dari 16 tahun menjadi 18 tahun penjara.
    Zarof merupakan terdakwa kasus korupsi terkait pemufakatan jahat dalam percobaan suap hakim kasasi yang menyidangkan perkara pelaku pembunuhan Gregorius Ronald Tannur dan gratifikasi.
    “Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 18 tahun,” kata kata ketua majelis hakim PT Jakarta Albertina Ho dalam salinan putusan sebagaimana dikutip, Jumat (25/7/2025).
    Selain pidana badan, majelis hakim juga tetap menghukum Zarof membayar denda Rp 1 miliar subsidair 6 bulan kurungan.
    Sementara itu, barang bukti berupa uang Rp 915 miliar dan 51 kilogram emas yang ditetapkan sebagai barang bukti tetap disita untuk negara.
    “Menetapkan terdakwa tetap berada dalam tahanan,” kata mantan anggota Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (Dewas KPK) tersebut.
    Sebelumnya, pada pengadilan tingkat pertama, Zarof dihukum 16 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsidair 6 bulan kurungan.
    Perbuatannya dinilai terbukti melanggar Pasal 6 Ayat (1) juncto Pasal 15 dan Pasal 12 B juncto Pasal 18 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
    Zarof dinilai terbukti bermufakat dengan pengacara pelaku pembunuhan Gregorius Ronald Tannur, Lisa Rachmat, untuk menyuap Hakim Agung Soesilo.
    Atas vonis pada pengadilan tingkat pertama itu, Kejaksaan Agung mengajukan banding.
    Direktur Penuntutan (Dirtut) pada Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung, Sutikno, mengungkapkan alasannya terkait uang senilai Rp 8,8 miliar yang harus dikembalikan kepada Zarof Ricar.
    “Kenapa kami banding? Karena pertimbangan barang bukti yang mengarah itu dikembalikan senilai Rp 8 miliar. Kami tidak sepaham dengan itu,” kata Sutikno dikutip dari
    Antaranews
    , Kamis (26/6/2025).
    Setelah putusan banding dijatuhkan, Kejagung belum berkomentar lebih jauh karena belum mendapatkan salinan putusan banding dari Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.
    “(Kejaksaan) sampai saat ini belum mendapatkan salinan lengkapnya. Saya tidak bisa berkomentar terlalu jauh, tapi saya mendengar hanya dari berita-berita dari luar,” ujar Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Anang Supriatna, Jumat
    Anang mengatakan, Kejaksaan baru akan menyatakan sikap setelah menerima dan menelaah putusan banding yang diputuskan oleh Pengadilan Tinggi.
    Selain dihukum karena pemufakatan jahat, Zarof kini terjerat kasus dugaan suap terkait pengurusan perkara.
    Kasus suap ini terkuak usai Kejagung menemukan uang senilai Rp 920 miliar dan 51 kg emas saat menggeledah rumah Zarof Ricar.
    “Ini pengembangan dari data-data yang kita temukan kita geledah di rumah ZR beberapa waktu lalu,” ujar eks Kapuspenkum Kejagung Harli Siregar, 10 Juli 2025.
    Harli mengatakan, Zarof bersama dengan Lisa Rachmat (LR) dan Isidorus Iswardojo (II) ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap penanganan perkara di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dan Mahkamah Agung tahun 2023-2025.
    Saat itu, Isidorus yang tengah berperkara meminta bantuan Zarof melalui Lisa, pengacaranya, untuk memenangkan perkara di tingkat banding dan kasasi.
    “Maka LR (Lisa Rachmat) juga bersepakat dengan II dan meminta ZR untuk melakukan suap,” lanjut Harli.
    Komplotan ini diduga menyuap majelis hakim di PT DKI dan di MA, masing-masing senilai Rp 5 miliar.
    Sementara, Zarof menerima uang senilai Rp 1 miliar sebagai imbalan.
    “Kalau penanganan perkara yang di Pengadilan Tinggi, itu sekitar Rp 6 miliar. Jadi, Rp 5 miliar menurut ZR akan diserahkan ke majelis dan Rp 1 miliar sebagai fee. Sedangkan, di tingkat kasasi sekitar Rp 5 miliar,” lanjut Harli.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • PT DKI Jakarta perberat hukuman Zarof Ricar jadi 18 tahun penjara

    PT DKI Jakarta perberat hukuman Zarof Ricar jadi 18 tahun penjara

    Terdakwa kasus dugaan suap vonis bebas Gregorius Ronald Tannur, Zarof Ricar berjalan usai menjalani sidang di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Selasa (10/6/2025). Sidang tersebut beragendakan mendengarkan nota pembelaan atau pledoi terdakwa. ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/nz/pri.

    PT DKI Jakarta perberat hukuman Zarof Ricar jadi 18 tahun penjara
    Dalam Negeri   
    Editor: Novelia Tri Ananda   
    Jumat, 25 Juli 2025 – 12:15 WIB

    Elshinta.com – Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta memperberat hukuman mantan pejabat Mahkamah Agung (MA) Zarof Ricar menjadi 18 tahun penjara dalam putusan banding terkait kasus dugaan suap dan gratifikasi.

    Hakim Ketua Albertina Ho menyampaikan Majelis Hakim Pengadilan Tinggi berpendapat pertimbangan hukum Majelis Hakim Tingkat Pertama dalam putusannya berdasarkan alasan yang tepat dan benar, sehingga dijadikan sebagai pertimbangan hukum pihaknya dalam memutus perkara di tingkat banding, kecuali mengenai lamanya pidana dan status barang bukti.

    “Majelis Hakim Pengadilan Tinggi berpendapat tindak pidana yang dilakukan Terdakwa Zarof membuat orang berprasangka buruk terhadap hakim-hakim di Indonesia, seolah-olah hakim-hakim mudah disuap, mudah diatur sesuai kemauan orang yang memiliki uang untuk membelokkan keadilan,” ujar Hakim Ketua dalam salinan putusan yang diterima di Jakarta, Jumat.

    Meski begitu terkait pidana denda, Majelis Hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta tetap membebankan besaran yang sama dengan putusan Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, yakni Rp1 miliar dengan ketentuan apabila tidak dibayar maka diganti (subsider) dengan 6 bulan pidana kurungan.

    Begitu pula dengan uang Rp915 miliar dan emas 51 kilogram yang disita dari Zarof, dinyatakan tetap dirampas untuk negara.

    Hakim Ketua menegaskan Zarof telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi berupa pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi, yaitu memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili serta tindak pidana menerima gratifikasi yang berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya.

    Oleh karena itu, Zarof tetap dinyatakan terbukti bersalah melanggar Pasal 6 ayat (1) huruf a dan Pasal 12 B juncto Pasal 15 jo. Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001.

    Sebelumnya, Zarof Ricar divonis Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta dengan pidana penjara selama 16 tahun dan denda Rp1 miliar subsider 6 bulan pidana kurungan dalam kasus tersebut, sedikit lebih ringan dari tuntutan pidana penjara jaksa penuntut umum, yakni 20 tahun penjara, meski besaran pidana denda tetap sama dengan tuntutan.

    Pada perkara tersebut, Zarof didakwa melakukan pemufakatan jahat berupa pembantuan untuk memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim, yakni uang senilai Rp5 miliar. Pemufakatan jahat diduga dilakukan bersama penasihat hukum Ronald Tannur, Lisa Rachmat, dengan tujuan menyuap Hakim Agung Soesilo yang merupakan ketua majelis dalam kelanjutan perkara Ronald Tannur di tingkat kasasi pada tahun 2024.

    Selain itu, dia didakwa menerima gratifikasi senilai Rp915 miliar dan emas seberat 51 kilogram selama menjabat di MA untuk membantu pengurusan perkara pada tahun 2012–2022.

    Sumber : Antara

  • Pengadilan Tinggi Jakarta Vonis Zarof Ricar 18 Tahun, Lebih Rendah dari Tuntutan Jaksa

    Pengadilan Tinggi Jakarta Vonis Zarof Ricar 18 Tahun, Lebih Rendah dari Tuntutan Jaksa

    GELORA.CO  – Kabar terbaru datang dari mantan pejabat Mahkamah Agung (MA) Zarof Ricar.

    Mantan hakim senior ini mendapat vonis terbaru dari Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta.

    Majelis hakim PT DKI Jakarta sepakat menambah hukuman penjara Zarof Ricar dari 16 tahun menjadi 18 tahun.

    Meski demikian, vonis itu tetap lebih rendah dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) saat sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat.

    Kala itu JPU menuntut Zarof Ricar 20 tahun penjara, karena telah melakukan kejahatan berat. 

    Ketua Majelis Hakim PT DKI Jakarta, Albertina Ho, dalam putusannya menyatakan menerima permohonan banding yang diajukan jaksa dan pengacara Zarof. 

    Banding adalah upaya hukum yang diajukan oleh pihak yang tidak puas dengan putusan pengadilan tingkat pertama (Pengadilan Negeri) kepada pengadilan yang lebih tinggi (Pengadilan Tinggi) untuk meminta pemeriksaan ulang putusan tersebut.

    Secara sederhana, banding adalah proses meminta pengadilan yang lebih tinggi untuk meninjau kembali keputusan pengadilan yang lebih rendah. 

    Majelis tingkat banding lalu tetap menyatakan Zarof terbukti melakukan pemufakatan jahat dalam percobaan suap hakim kasasi yang menyidangkan perkara pelaku pembunuhan Gregorius Ronald Tannur dan gratifikasi. 

    “Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 18 tahun,” kata Albertina Ho dalam salinan putusan sebagaimana dikutip, Jumat (25/7/2025). 

    Selain pidana badan, majelis hakim PT DKI Jakarta juga tetap menghukum Zarof membayar denda Rp 1 miliar subsidair 6 bulan kurungan. 

    Sementara itu, barang bukti berupa uang Rp 915 miliar dan 51 kilogram emas yang ditetapkan sebagai barang bukti tetap disita untuk negara. 

    “Menetapkan terdakwa tetap berada dalam tahanan,” kata mantan anggota Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (Dewas KPK) tersebut dikutip dari Kompas.com. 

    Perkara banding Zarof diadili Albertina didampingi hakim anggota Budi Susilo dan Agung Iswanto. 

    Putusan itu dibacakan pada Selasa (22/7/2025) kemarin tanpa dihadiri penuntut umum maupun Zarof dan pengacaranya. 

    Sebelumnya, pada pengadilan tingkat pertama, Zarof dihukum 16 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsidair 6 bulan kurungan. 

    Perbuatannya dinilai terbukti melanggar Pasal 6 Ayat (1) juncto Pasal 15 dan Pasal 12 B juncto Pasal 18 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 

    Zarof dinilai terbukti bermufakat dengan pengacara pelaku pembunuhan Gregorius Ronald Tannur, Lisa Rachmat, untuk menyuap Hakim Agung Soesilo.

    Zarof, seorang pensiunan MA, menjadi momok setelah penyidik menemukan uang Rp 915 miliar dan 51 kilogram emas dalam brankas di rumahnya di Senayan, Jakarta Pusat. 

    Aset-aset itu ditengarai merupakan gratifikasi yang terkait dengan jabatannya sebagai pejabat di MA dan pengurusan kasus, ditunjukkan dengan berbagai nomor perkara pada kantong-kantong tempat menyimpan uang dan emas. 

    Harta benda tak wajar itu terkuak ketika Kejaksaan Agung (Kejagung) mengusut dugaan pemufakatan jahat percobaan suap hakim agung yang menyidangkan perkara kasasi anak eks anggota DPR RI sekaligus pelaku pembunuhan, Gregorius Ronald Tannur. 

    Setelah didakwa dan dituntut dengan pasal berlapis, Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat menghukum Zarof 16 tahun bui. 

    “Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 16 tahun,” kata Ketua Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Rosihan Juhriah Rangkuti, Rabu (18/6/2025). 

    Majelis hakim juga menghukum Zarof membayar denda Rp 1 miliar. 

    Jika tidak dibayar, hukumannya akan ditambah 6 bulan penjara. 

    Tindakan Zarof dinilai terbukti melanggar Pasal 6 Ayat (1) juncto Pasal 15 dan Pasal 12 B juncto Pasal 18 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

    Hukuman yang dijatuhkan untuk Zarof sebenarnya lebih ringan dari tuntutan jaksa yang meminta sang makelar itu dibui 20 tahun. 

    Rosihan, salah satu majelis hakim mengungkapkan, mempertimbangkan sisi kemanusiaan dalam menjatuhkan putusan. 

    Saat menjalani persidangan ini, Zarof sudah memasuki usia 63 tahun. 

    “Jika dijatuhi pidana 20 tahun, ia akan menjalani hukuman hingga usia 83 tahun,” ujar Rosihan. 

    Majelis hakim mempertimbangkan, rata-rata usia harapan hidup masyarakat 72 tahun. 

    Oleh karena itu, vonis 20 tahun untuk Zarof bisa menjadi hukuman seumur hidup. 

    Pidana seumur hidup merupakan hukuman paling berat di bawah hukuman mati. 

    Menurut Rosihan, walau bagaimanapun sistem hukum pidana tidak boleh mengabaikan aspek kemanusiaan, termasuk saat menjatuhkan putusan. 

    Kondisi Zarof yang menua dan kesehatan yang menurun akan membutuhkan perawatan khusus. 

    “Meskipun kejahatan yang dilakukan sangat serius,” kata hakim Rosihan. 

    Selain itu, saat ini Zarof juga masih menyandang status tersangka dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU). 

    Perkaranya masih bergulir di tahap penyidikan. 

    Artinya, beberapa waktu ke depan Zarof akan diadili untuk perkara TPPU dan hukumannya ditambah. 

    Majelis pun mempertimbangkan ketentuan Pasal 65, Pasal 66, dan Pasal 71 KUHPidana. 

    Pasal-pasal tersebut mengatur tentang penjatuhan pidana dalam penanganan perkara beberapa perbuatan tindak pidana oleh pelaku yang sama. 

    “Harus menjadi pertimbangan pula dalam penjatuhan pidana dalam perkara a quo (pemufakatan jahat dan gratifikasi),” tutur Hakim Rosihan

  • Putusan Banding, Hukuman Eks Pejabat MA Zarof Ricar Diperberat Jadi 18 Tahun Penjara

    Putusan Banding, Hukuman Eks Pejabat MA Zarof Ricar Diperberat Jadi 18 Tahun Penjara

    Bisnis.com, JAKARTA — Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Jakarta menambah hukuman eks pejabat Mahkamah Agung (MA) Zarof Ricar menjadi 18 tahun penjara. Hukuman Zarof Ricar lebih lama 2 tahun dibandingkan dengan putusan pengadilan tingkat pertama yang hanya 16 tahun penjara. 

    Adapun, putusan majelis hakim tinggi Jakarta dibacakan oleh Albertina Ho yang juga mantan anggota Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pembacaan putusan itu berlangsung pada hari ini, Kamis (24/7/2025). 

    Albertina saat membacakan putusan banding mengemukakan bahwa Zarof telah terbukti melakukan pemufakatan jahat dengan memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim untuk memengaruhi putusan perkara. Selain itu, Zarof juga terbukti menerima gratifikasi yang berhubungan dengan jabatannya. 

    “Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 18 tahun dan denda sejumlah Rp1 miliar dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar, maka diganti dengan pidana kurungan selama 6 bulan,” demikian dikutip dari laman resmi MA. 

    Putusan PN Tipikor

    Dalam catatan Bisnis, Zarof sebelumnya telah dituntut oleh jaksa penuntut umum (JPU) agar dihukum maksimal menjalani pidana 20 tahun penjara dan denda Rp1 miliar. Namun majelis hakim PN Tipikor hanya memvonis eks pejabat Mahkamah Agung (MA) itu selama 16 tahun penjara.

    Ketua Majelis Hakim Rosihan Juhriah Rangkuti menyatakan Zarof telah terbukti secara sah dan melakukan tindak pidana pemufakatan jahat terkait vonis bebas Ronald Tannur.

    Selain itu, Zarof juga dinilai bersalah atas dakwaan menerima gratifikasi yang berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atas tugasnya.

    “Menjatuhkan pidana oleh karena itu dengan pidana penjara selama 16 tahun,” ujarnya di PN Tipikor, Jakarta, Rabu (18/6/2025).

    Kemudian, hakim juga membebankan denda Rp1 miliar terhadap Zarof. Adapun, jika uang itu tidak dibayar maka akan diganti dengan enam bulan pidana.

    “Dan denda sejumlah Rp 1 miliar dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar maka diganti kurungan enam bulan,” pungkasnya.

  • Selesai dari KPK, Nawawi Pomolango dan Albertina Ho Kembali jadi Hakim

    Selesai dari KPK, Nawawi Pomolango dan Albertina Ho Kembali jadi Hakim

    Bisnis.com, JAKARTA – Mahkamah Agung mengaktifkan kembali Nawawi Pomolango dan Albertina Ho setelah tidak lagi menjabat di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). 

    Juru Bicara Mahkamah Agung (MA) Yanto menyebut berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan Pasal 31 ayat (2) UU Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 29 huruf I UU Nomor 30 Tahun 2002 Tentang KPK yang telah diubah dengan UU Nomor 19 Tahun 2019, dan PP Nomor 36 Tahun 2011 keduanya tidak boleh merangkap jabatan sehingga diberhentikan sementara dari jabatan hakim.

    Nawawi Pomolango sebelumnya diangkat sebagai Pimpinan KPK dan Dr. Albertina Ho diangkat jadi anggota Dewan Pengawas KPK masing-masing untuk periode tahun 2019-2024.

    “Nawawi Pomolango dipromosikan sebagai Ketua Pengadilan Tinggi Banjarmasin dan Albertina Ho dipromosikan sebagai Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Banten,” tuturnya di Jakarta, Sabtu (4/1).

    Yanto juga menjelaskan sebelum keduanya diangkat jadi Pimpinan KPK dan Anggota Dewan Pengawas KPK, keduanya masing-masing menjabat sebagai Hakim Tinggi Denpasar dan Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Kupang.

    “Untuk itu Ketua Mahkamah Agung RI telah mengusulkan pemberhentian sementara sebagai Hakim kepada Presiden dan berdasarkan Kepres Nomor 18/P Tahun 2020 yang bersangkutan diberhentikan sementara sebagai Hakim sejak akhir Desember 2019 kemarin,” katanya.

    Namun setelah jabatan keduanya rampung sebagai pimpinan KPK, Ketua Mahkamah Agung RI telah mengusulkan pengaktifan kembali yang bersangkutan sebagai Hakim kepada Presiden.

    “Berdasarkan Kepres Nomor 162/P Tahun 2024 yang bersangkutan telah diaktifkan kembali sebagai Hakim di Lingkungan Peradilan Umum,” ujarnya.

  • MA Angkat Nawawi Jadi Ketua Pengadilan Tinggi Banjarmasin, Albertina Wakil Ketua di Banten

    MA Angkat Nawawi Jadi Ketua Pengadilan Tinggi Banjarmasin, Albertina Wakil Ketua di Banten

    loading…

    MA memutuskan mantan Ketua KPK Nawawi Pomolango dan anggota Dewan Pengawas KPK Albertina Ho diaktifkan kembali menjadi hakim di peradilan umum. Foto/SINDOnews

    JAKARTA Mahkamah Agung (MA) memutuskan mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nawawi Pomolango dan anggota Dewan Pengawas KPK, Albertina Ho diaktifkan kembali menjadi hakim di peradilan umum. Keduanya dipromosikan menjadi Ketua dan Wakil Ketua pada Pengadilan Tinggi.

    Juru Bicara Mahkamah Agung Yanto mengatakan Nawawi akan menjadi Ketua Pengadilan Tinggi Banjarmasin. Kemudian Albertina Ho dipromosikan menjadi Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Banten.

    “Pimpinan MA memutuskan saudara Nawawi dipromosikan sebagai Ketua Pengadilan Tinggi Banjarmasin, sedangkan Albertina Ho dipromosikan sebagai Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Banten,” kata Yanto, Kamis (2/1/2025).

    Baca Juga

    Mahkamah Agung memastikan pengaktifan keduanya kembali di peradilan umum sesuai dengan prosedur. Menurutnya, selama menjadi pimpinan dan Dewan Pengawas KPK keduanya sudah dinonaktifkan sementara.

    “Jadi sama dengan rekan-rekan penegak hukum yang lain, kejaksaan, kepolisian itu kalau dia masuk di KPK diberhentikan sementara dan setelah selesai dikembalikan ke organisasinya dan diaktifkan kembali,” jelas dia.

    Sebagaimana diketahui Nawawi dan Albertina telah menyelesaikan jabatan mereka di KPK. Keduanya menyelesaikan jabatannya pada Jumat, 20 Desember 2024 silam.

    (cip)

  • Bukan Firli, Kasus Etik Pimpinan Ini yang Paling Bikin Pusing Dewas KPK

    Bukan Firli, Kasus Etik Pimpinan Ini yang Paling Bikin Pusing Dewas KPK

    Bisnis.com, JAKARTA — Kasus pelanggaran etik Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron merupakan perkara yang paling membuat pusing para Dewan Pengawas (Dewas) KPK. 

    Hal itu diakui oleh tiga orang anggota Dewas KPK periode pertama yakni Tumpak Hatorangan Panggabean, Albertina Ho serta Syasuddin Haris pada konferensi pers Laporan Kinerja periode 2019-2024, Kamis (12/12/2024).

    Berdasarkan catatan Bisnis, kasus etik Ghufron diputus oleh Dewas KPK pada September 2024 lalu. Pimpinan KPK jilid V itu dijatuhi sanksi teguran tertulis karena terbukti menyalahgunakan pengaruhnya untuk meminta mutasi seorang pegawai di Kementerian Pertanian (Kementan). 

    Tumpak, yang juga Ketua Dewas KPK, mengaku kasus etik Ghufron paling sulit ditangani karena upaya perlawanan terlapor etik itu melalui gugatan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), pengajuan uji materi Peraturan Dewas (Perdewas) KPK ke Mahkamah Agung (MA) hingga pelaporan ke Bareskrim Polri.

    Menurut Tumpak, Ghufron tidak seharusnya menggugat Perdewas KPK yang menjadi landasan hukum atas proses etiknya. Dia menilai Dewas adalah bagian dari KPK yang bertugas untuk menegakkan kode etik para insan komisi antirasuah. 

    Di sisi lain, Perdewas KPK dinilai Tumpak sejatinya sudah muncul sejak pembentukan pertama lembaga tersebut. Dia juga merupakan salah satu pimpinan KPK jilid pertama, yang turut membuat norma dan kode etik insan KPK. Oleh sebab itu, dia menilai aneh apabila Ghufron menggugat Perdewas. 

    “Jangan kau gugat aturannya, aneh itu yang paling menjengkelkan. Lebih menjengkelkan lagi bukan hanya digugat, diadukan lagi kami kembali ke Bareskrim. Gila itu atas dasar menyalahgunakan,” kata Tumpak pada konferensi pers, Kamis (12/12/2024). 

    Hal tersebut diamini oleh dua kolega Tumpak, yakni Albertina dan Syamsuddin. Ketiganya merupakan pihak yang dilaporkan oleh Ghufron ke Bareskrim.

    Albertina mengaku waktu dan pikiran para anggota Dewas menjadi terbagi karena harus merespons soal gugatan ke PTUN dan MA, sekaligus laporan polisi. Di sisi lain, Dewas harus mencari bukti soal kasus etik yang menjerat Ghufron. 

    “Memang sangat memusingkan itu, dan lebih sebenarnya kami melihat juga memusingkan kenapa Dewas berlima yang dilaporkan cuma kami bertiga,” kata Albertina. 

    Sementara itu, Syamsuddin Haris menilai kasus Ghufron melelahkan karena Dewas harus menanggapi berbagai gugatan yang dilayakan pimpinan KPK itu selama berbulan-bulan. 

    “Itu cukup lama. Kami membahas dan diskusi dengan penasihat hukum. Memakan waktu berbulan-bulan. Waktu kami tersita untuk itu,” paparnya. 

    Untuk diketahui, Majelis Etik yang beranggotakan Dewas KPK menjatuhkan sanksi teguran tertulis kepada Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron atas kasus pelanggaran etik yang menimpanya. 

    Sanksi itu terkategorikan sedang. Pimpinan periode 2019-2024 itu terbukti menyalahgunakan pengaruh untuk kepentingan pribadi sebagaimana diatur dalam pasal 4 ayat (2) huruf b Peraturan Dewas (Perdewas) KPK No.3/2021.  

    “Menjatuhkan sanksi sedang kepada terperiksa teguran tertulis yaitu agar terperiksa tidak mengulangi perbuatannya dan agar terperiksa selaku pimpinan KPK senantiasa menjaga sikap dan perilaku dengan menaati dan melaksanakan kode etik dan kode perilaku,” bunyi amar putusan etik terhadap Ghufron, September 2024 lalu.

  • Dewas KPK Jatuhkan Sanksi Etik ke 3 Pimpinan Selama 5 Tahun, Ada Firli Bahuri

    Dewas KPK Jatuhkan Sanksi Etik ke 3 Pimpinan Selama 5 Tahun, Ada Firli Bahuri

    Bisnis.com, JAKARTA — Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (Dewas KPK) menggelar 24 sidang perkara pelanggaran etik selama lima tahun pada periode 2019-2024.

    Beberapa perkara di antaranya adalah kasus etik mantan Ketua KPK Firli Bahuri hingga pungutan liar di rumah tahanan (pungli rutan). 

    Berdasarkan Laporan Kinerja Dewas KPK 2019-2024, terdapat empat perkara yang disidang di 2020, tujuh perkara di 2021, lima perkara di 2022, tiga perkara di 2023 serta lima perkara di 2024 (per data 10 Desember 2024).

    Dari 24 perkara etik yang disidangkan, satu perkara sidang etik dinyatakan gugur pada 2022 yakni gratifikasi terhadap mantan Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar. Pasalnya, Lili terlebih dahulu mengundurkan diri.

    Salah satu mantan pimpinan KPK jilid V itu juga disidang etik atas kasus penyalahgunaan pengaruh serta pertemuan dengan pihak berperkara, dan dijatuhi sanksi berat.

    Sementara itu, ada satu perkara etik yang putusannya tidak terbukti, yakni kasus pelanggaran etik Wakil Ketua KPK Johanis Tanak pada 2023. Kasus itu terkait dengan komunikasi Tanak dengan pihak berperkara.

    Dari 24 sidang tersebut, sanksi diberikan kepada 109 orang insan KPK. Sebanyak tiga orang pimpinan KPK termasuk dalam 109 orang insan komisi antirasuah yang dijatuhi sanksi etik.

    “Pimpinan dari lima orang, tiga orang kena sanksi etik. Dua orang sanksi berat dan satu orang sanksi sedang,” jelas Anggota Dewas KPK Albertina Ho pada konferensi pers, Kamis (12/12/2024).

    Berdasarkan catatan Bisnis, tiga sanksi etik itu dijatuhkan kepada Firli Bahuri (sanksi berat), Lili Pintauli Siregar (sanksi berat) serta Nurul Ghufron (sanksi sedang).

    Bahkan, Kasus Firli terkait dengan pemerasan saat ini diusut secara pidana. 

    Adapun, 24 sidang dan 109 sanksi etik itu berasal dari total 189 pengaduan yang diterima oleh Dewas KPK selama lima tahun bekerja. Dari 189 pengaduan, satu merupakan temuan Dewas yakni kasus pungli rutan yang kini juga diusut secara pidana.

    Albertina menyoroti bahwa banyaknya pimpinan KPK yang disidang etik menandakan bahwa perlunya teladan dalam penegakan etik. 

    “Ini kami sengaja sampaikan ingin menunjukan bahwa keteladanan perlu dalam penegakan etik,” lanjut Albertina.

    Untuk diketahui, Dewas dan pimpinan KPK 2019-2024 akan menyelesaikan masa jabatannya pada 20 Desember mendatang.

    Hal itu sejalan dengan sudah terpilihnya masing-masing lima orang calon pimpinan dan dewas yang baru.

    Setelah lima tahun memimpin Dewas, Ketua Dewas KPK Tumpak Hatorangan Panggabean mengaku kepercayaan terhadap lembaga antirasuah yang menurun tidak lepas dari kinerja Dewas. 

    “Kami mungkin belum mampu untuk meningkatkan integritas pimpinan KPK. Karena terbukti pimpinan KPK ada juga yang melanggar integritas,” ujar pria yang juga pernah menjadi pimpinan KPK pada jilid pertama 2003-2007.