Tag: Albert Einstein

  • Misteri Black Hole atau Lubang Hitam yang Dijelaskan di Alquran

    Misteri Black Hole atau Lubang Hitam yang Dijelaskan di Alquran

    JABAR EKSPRES – Black hole atau lubang hitam merupakan fenomena paling misterius yang sampai sekarang belum terpecahkan. Tapi keberadaannya diyakini ada.

    Banyak dari para ilmuan melakukan berbagai penelitian mengenai fenomea Black Hole atau Lubang Hitam yang paling misterius di alam semesta ini.

    BACA JUGA: Kontroversi Teori Darwin dan Nabi Adam Manusia Super Cerdas

    Lubang hitam atau Black Hole sendiri terbentuk dari gugusan bintang masif yang kehabisan bahan bakar nuklirnya. Kemudian runtuh karena sudah tidak lagi memiliki grativasi.

    Akibat kondisi itu tercipta wilayah ruang angkasa dengan gravitasi yang sangat kuat yang mengakibatkan tarikan gravitasi yang sangat dasyat dan bisa melahap apapun yang ada di sekitarnya.

    Istilah ” Black Hole ” pertama kali diperkenalkan oleh fisikawan Amerika, John Archibald Wheeler pada tahun 1967. Namun, keberadaan lubang hitam telah diprediksi jauh sebelumnya oleh teori relativitas umum Albert Einstein pada tahun 1915.

    BACA JUGA: Rahasia Gerakan Salat yang Perlu Diketahui Agar Khusyu!

    Einstein menunjukkan bahwa massa yang sangat besar dapat melengkungkan ruang dan waktu dan menciptakan lubang gravitasi yang super masif.

    Para ilmuan sudah menelusuri dengan melakukan berbagai temuan. Hasilnya cukup mengejutkan. Keberadaan benda angkasi ini ternyata memiliki berbagai jenis, di antaranya bisa berbentuk bintang, supermasif, dan mikro.

    BACA JUGA: Tjoet Nyak Dhien, “The Queen of Aceh Battle”

    Lubang hitam supermasif, yang memiliki massa jutaan hingga miliaran kali massa matahari. Oleh para ilmuwan lubang hitan ini ditemukan di pusat galaksi. Termasuk di pusat Bima Sakti kita.

    Salah satu pencapaian besar dalam studi lubang hitam adalah pengambilan gambar langsung bayangan lubang hitam pada tahun 2019 oleh Event Horizon Telescope (EHT).

    Gambar ini menunjukkan horizon peristiwa, batas di mana cahaya dan materi tidak bisa lolos, untuk pertama kalinya.

    BACA JUGA: Jangkrik Ternyata Miliki Kandungan Protein Dua Kali Lipat Lebih Tinggi dari Daging Sapi

    Lubang hitam tidak hanya memikat perhatian para ilmuwan, tetapi juga menjadi inspirasi dalam budaya populer, termasuk film dan literatur, yang mencoba menggambarkan misteri dan keindahan fenomena ini.

  • Melihat Dunia Hari Ini dalam Versi Modern Sampul Album “Sgt. Pepper’s”

    Melihat Dunia Hari Ini dalam Versi Modern Sampul Album “Sgt. Pepper’s”

    JAKARTA – Sampul album “Sgt. Pepper’s Lonely Hearts Club Band” adalah sebuah karya paling ikonik dalam sejarah industri musik. The Beatles menampilkan puluhan selebritas dan tokoh dunia abad 19 dalam sampul album tersebut. Kini, versi modern album itu diperbarui untuk abad ke-21.

    Pembaruan itu dibuat oleh seniman Jerman, TrippieSteff. Dalam versi baru ilustrasi “Sgt. Pepper’s Lonely Hearts Club Band”, TrippieSteff menempatkan Taylor Swift, Kanye West, Drake, serta Lil Nax X untuk menggantikan posisi John Lennon, Paul McCartney, George Harrison, dan Ringo Starr.

    Selain keempatnya, TrippieSteff juga memberi tempat bagi selebritas, tokoh dunia, serta ikon kultur pop modern lainnya. Sebut saja aktivis lingkungan Swedia Greta Thunberg, bos Space X Elon Musk, mantan presiden Amerika Serikat Barack Obama, hingga sosok No Face, hantu ikonik dari film Spirited Away.

    Dalam sampul album asli “Sgt. Pepper’s Lonely Hearts Club Band”, The Beatles menghadirkan 71 pemikir dunia. Mereka terdiri dari selebritas, tokoh dunia, hingga ikon pop kultur abad ke-19. Di antara sosok-sosok tersebut, kita dapat melihat musisi folk yang juga sahabat The Beatles, Bob Dylan.

    Selain itu, ada juga Richard Lindner, Oliver Hardy, Marilyn Monroe, bintang The Godfather Marlon Brando, penulis Oscar Wilde, hingga pembetot bass untuk The Beatles sebelum Paul, Stuart Sutcliffe. Tokoh lainnya, sang genius Albert Einstein hingga tokoh komunis Karl Marx juga terlihat dalam sampul.

    “Sampul asli (album) adalah bergabungnya tokoh-tokoh besar yang menggambarkan pola pikir dominan di akhir 60-an,” tutur TrippieSteff dikutip NME, Minggu 17 November.

    “Itu (tokoh dalam sampul) juga sekelompok tokoh berpengaruh yang merupakan ‘pahlawan’ bagi The Beatles. Dengan keinginan untuk mempertahankan tema yang sama, saya memilih untuk menampilkan tokoh paling ikonik dan berpengaruh dalam dekade terakhir,” tambah TrippieSteff.

    Versi orisinil Sgt. Pepper’s Lonely Hearts Club Band (thebeatles.com)

    Pembaruan versi album “Sgt. Pepper’s Lonely Hearts Club Band” ini adalah bagian dari proyek pembuatan ulang sampul album klasik yang tengah dilakukan TrippieSteff. Selain “Sgt. Pepper’s Lonely Hearts Club Band”, TrippieSteff juga membuat ulang sampul album Blondie, “Parallel Lines” dan Nirvana, “Nevermind”.

    Berikut daftar lengkap selebritas, tokoh dunia, dan ikon pop kultur dalam versi modern “Sgt. Pepper’s Lonely Hearts Club Band”:

    1. Kanye West

    2. Drake

    3. Taylor Swift

    4. Lil Nas X

    5. Greta Thunberg

    6. Kylie Jenner

    7. Ghost from Chihiro

    8. Jamie Oliver

    9. Slavoj Zizek

    10. Björk

    11. Jannis Varoufakis

    12. Marina Abramovic

    13. Avicii

    14. Miley Cyrus

    15. AOC

    16. Kendrick Lamar

    17. Donna Haraway

    18 XXXTentacion

    19. Lil Peep

    20. Ru Paul

    21. Judith Butler

    22. Millie Bobby Brown

    23. Martha Nussbaum

    24. Bernie Sanders

    25. M.I.A.

    26. Bell Hooks

    27. Ai Weiwei

    28. Elon Musk

    29. Margaret Atwood

    30. Bojack Horseman

    31. Beyonce Knowles

    32. Barack Obama

    Ilustrasi modern Sgt. Pepper’s Lonely Hearts Club Band (Instagram/@trippiesteff)

  • Fisikawan Ungkap Waktu di Bulan Berjalan Lebih Cepat dari Bumi

    Fisikawan Ungkap Waktu di Bulan Berjalan Lebih Cepat dari Bumi

    Jakarta, CNN Indonesia

    Para fisikawan berhasil mengungkap ternyata waktu di Bulan berjalan lebih cepat dibandingkan di Bumi. Simak penjelasannya.

    Pada April 2024, Gedung Putih menantang para ilmuwan untuk menciptakan standar waktu Bulan. Tantangan ini bukan sekedar menanyakan “Jam berapa sekarang di Bulan?” melainkan, “Seberapa cepat waktu berlalu di Bulan?”

    Pertanyaan ini penting karena perbedaan gravitasi dan kecepatan relatif Bulan dibandingkan Bumi memengaruhi bagaimana waktu dirasakan di kedua tempat tersebut.

    Menurut fisikawan teoritis Bijunath Patla dari National Institute of Standards and Technology (NIST), gravitasi yang lebih rendah di Bulan menyebabkan jam di sana bergerak lebih cepat dibandingkan dengan di Bumi.

    “Jika kita berada di Bulan, jam akan berdetak secara berbeda [dibandingkan di Bumi],” kata Patla, melansir Live Science, Senin (2/12).

    Menurut mereka gerakan relatif Bulan terhadap Bumi juga membuat jam di Bulan berjalan lebih lambat. Dua efek ini bersaing satu sama lain, tetapi hasil akhirnya adalah adanya perbedaan waktu sebesar 56 mikrodetik per hari atau 0,000056 detik.

    “Jadi ini adalah dua efek yang saling bersaing, dan hasil akhirnya adalah pergeseran 56 mikrodetik per hari,” tulis Patla.

    Patla berkolaborasi dengan rekannya di NIST, Neil Ashby, merumuskan temuan ini menggunakan teori relativitas umum Albert Einstein dan temuan mereka diterbitkan di Astronomical Journal.

    Walaupun perbedaan 5 mikrodetik terdengar kecil, implikasinya sangat besar terutama dalam misi luar angkasa yang membutuhkan akurasi tinggi, seperti komunikasi dan navigasi antara Bumi dan Bulan.

    Perbedaan waktu ini menjadi krusial untuk memastikan keselamatan navigasi di lingkungan Bulan, terutama dengan banyaknya aktivitas yang direncanakan di masa depan.

    Dampak perbedaan waktu

    Cheryl Gramling, seorang insinyur sistem di Pusat Penerbangan Luar Angkasa Goddard NASA, menjelaskan bahwa navigasi modern bergantung pada sinkronisasi jam dengan menggunakan gelombang radio.

    Dengan kecepatan cahaya, selisih 56 mikrodetik dapat menghasilkan kesalahan navigasi hingga 17 kilometer per hari, yang sangat tidak dapat diterima dalam misi Artemis yang membutuhkan akurasi posisi hingga 10 meter.

    “Hal yang paling mendasar adalah keselamatan navigasi dalam konteks ekosistem bulan ketika ada lebih banyak aktivitas di Bulan daripada yang ada saat ini,” kata Gramling.

    Teori relativitas Einstein menyatakan bahwa waktu tidak bersifat absolut. Jam di permukaan Bumi berdetak lebih lambat dibandingkan dengan di orbit karena pengaruh gravitasi. Hal ini telah diimplementasikan dalam sistem navigasi GPS, yang perlu memperhitungkan efek gravitasi agar tetap akurat.

    Namun, menentukan perbedaan waktu antara Bumi dan Bulan memberi kompleksitas baru. Selain gravitasi Bulan, pengaruh gravitasi Bumi juga berperan,bersama dengan gerakan rotasi masing-masing benda dan orbit Bulan terhadap Bumi.

    Untuk mengatasi tantangan ini, Patla dan Ashby menggunakan kerangka referensi yang menganggap sistem Bumi-Bulan bergerak di bawah pengaruh gravitasi Matahari.

    Selain itu, penelitian ini juga memperhitungkan Lagrange points atau posisi stabil di orbit antara Bumi dan Bulan. Dengan analisis ini, para ilmuwan berharap dapat menciptakan sistem waktu standar yang akan memudahkan koordinasi internasional di Bulan.

    Fisikawan Sergei Kopeikin dari University of Missouri dan astroom George Kaplan dari Observatorium Angkatan Laut AS juga melakukan perhitungan independen yang mendukung perbedaan waktu 56 mikrodetik tersebut.

    Mereka menemukan bahwa variansi kecil akibat gaya pasang surut dari Matahari dan Jupiter juga mempengaruhi waktu pada skala nanodetik. Hal ini penting untuk mencapai akurasi navigasi hingga skala 10 meter atau lebih baik.

    Meskipun populasi manusia dan robot di Bulan masih jauh dari kenyataan, standar waktu lunar perlu disiapkan sejak dini. Penelitian yang ada telah memberikan landasan penting untuk membangun konsensus internasional di antara para ahli waktu global.

    “Komunitas [relativitas] telah memberikan layanan yang luar biasa kepada kita dengan menerbitkan semua karya ini,” kata Gramling.

    (wnu/dmi)

    [Gambas:Video CNN]

  • Kemenag Komitmen Hadirkan Madrasah Inklusi bagi Anak Berkebutuhan Khusus

    Kemenag Komitmen Hadirkan Madrasah Inklusi bagi Anak Berkebutuhan Khusus

    Jakarta, Beritasatu.com – Kementerian Agama (Kemenag) berkomitmen mendukung pendidikan inklusi dengan meresmikan lebih dari 1.000 madrasah inklusi di seluruh Indonesia. Menteri Agama (Menag) Nasaruddin Umar menyampaikan hal itu saat memperingati Hari Disabilitas Internasional.

    Kegiatan tersebut mengusung tema “Memperkuat Kepemimpinan Penyandang Disabilitas untuk Masa Depan yang Inklusif dan Berkelanjutan”. Menag Nasaruddin Umar menyampaikan rasa bangganya terkait langkah Kemenag dalam mengembangkan program pendidikan inklusif di madrasah.

    “Madrasah inklusi adalah bagian dari upaya kita memastikan setiap anak, termasuk anak berkebutuhan khusus, mendapatkan hak pendidikan yang setara. Siapa pun yang mencintai mereka akan dirahmati Tuhan,” ujarnya di Hotel Redtop, Jakarta, Rabu (4/11/2024).

    Sementara itu, Helmi Halimatul Udhmah, sebagai Bunda Inklusi, menyatakan regulasi yang diterbitkan Kemenag memastikan madrasah menerima peserta didik dengan berbagai kondisi, termasuk disabilitas.

    “Hampir 50.000 siswa disabilitas telah terdaftar di madrasah. Ini adalah langkah awal yang penting untuk menciptakan sistem pendidikan yang adil,” ungkapnya terkait madrasah inkusi.

    Helmi juga menegaskan pemberian kesempatan belajar yang sama kepada anak-anak berkebutuhan khusus adalah kewajiban moral dan sosial. Dia mengaku, mengabaikan mereka adalah tindakan yang zalim.

    “Mereka juga berhak meraih prestasi dan memberikan kontribusi bagi bangsa, sebagaimana tokoh-tokoh inspiratif seperti Gus Dur dan Albert Einstein,” tambah Helmi.

    Sementara itu, Direkur Jenderal Pendidikan Islam (Dirjen Pendis) Abu Rokhmad juga mengajak seluruh pihak untuk merumuskan langkah strategis guna menciptakan lingkungan belajar yang aman dan ramah.

    “Lebih dari 1.000 madrasah inklusi telah kita buka. Ini adalah tanggung jawab bersama untuk memastikan pendidikan inklusif menjadi prioritas guna mendukung kesetaraan,” ujarnya.

  • Waktu di Bulan Lebih Cepat daripada di Bumi

    Waktu di Bulan Lebih Cepat daripada di Bumi

    Bisnis.com, JAKARTA – Waktu yang ditunjukkan oleh jam dapat diatur oleh pencatat waktu mana pun, tetapi fisika menentukan seberapa cepat waktu berlalu.

    Pada tahun-tahun awal abad ke-20, Albert Einstein menetapkan bahwa dua pengamat tidak akan sepakat tentang berapa lama satu jam jika mereka tidak bergerak dengan kecepatan yang sama ke arah yang sama.

    Ketidaksepakatan itu juga berlaku antara seseorang di permukaan Bumi dan orang lain di orbit atau di Bulan.

    “Jika kita berada di Bulan, jam akan berdetak secara berbeda [daripada di Bumi],” kata fisikawan teoretis Bijunath Patla dari National Institute of Standards and Technology (NIST) di Boulder, Colorado dilansir dari livescience.

    Ia mencatat bahwa gerakan Bulan relatif terhadap kita membuat jam berjalan lebih lambat dari standar Bumi, tetapi gravitasinya yang lebih rendah menyebabkan jam berjalan lebih cepat.

    “Jadi ini adalah dua efek yang saling bersaing, dan hasil akhirnya adalah pergeseran 56 mikrodetik per hari.” (Itu sama dengan 0,000056 detik.)

    Patla dan rekannya di NIST, fisikawan Neil Ashby menggunakan teori relativitas umum Einstein untuk menghitung angka ini, sebuah peningkatan dari analisis sebelumnya. Mereka menerbitkan hasil mereka di Astronomical Journal.

    Meskipun perbedaan 56 mikrodetik itu kecil menurut standar manusia, perbedaan itu signifikan dalam hal memandu beberapa misi dengan akurasi yang tepat atau berkomunikasi antara Bumi dan Bulan.

    “Hal mendasar adalah keselamatan navigasi dalam konteks ekosistem bulan saat Anda memiliki lebih banyak aktivitas di Bulan daripada yang Anda miliki saat ini,” kata Cheryl Gramling, seorang insinyur sistem di Pusat Penerbangan Antariksa Goddard NASA.

    Dalam hal navigasi, pergeseran 56 mikrodetik selama sehari antara jam di Bulan dan [jam] di Bumi merupakan perbedaan besar, jadi Anda harus mengakomodasinya.

    Navigasi presisi modern bergantung pada sinkronisasi jam, yang melibatkan koordinasi menggunakan gelombang radio, yang bergerak dengan kecepatan cahaya.

    Gramling mencatat bahwa cahaya bergerak sejauh 30 sentimeter (11,8 inci) dalam 1 nanodetik (0,001 mikrodetik) waktu yang sangat singkat menurut standar manusia jadi jika tidak memperhitungkan perbedaan 56 mikrodetik tersebut, kemungkinan besar akan mengakibatkan kesalahan navigasi hingga 17 kilometer per hari.

    Bahkan sebagian kecil dari itu tidak dapat diterima dalam misi Artemis, yang mengharuskan mengetahui posisi setiap penjelajah, pendarat, atau astronot dalam jarak 10 meter setiap saat. Hasil utama dari teori relativitas adalah tidak ada yang namanya waktu absolut.

    Jam di permukaan Bumi akan berdetak lebih lambat daripada jam di orbit karena efek gravitasi, itulah sebabnya satelit GPS harus memperhitungkan relativitas. (Waktu universal terkoordinasi dan standar lain di Bumi juga menggunakan jaringan jam yang mengoreksi perbedaan gravitasi kecil di berbagai ketinggian.)

    Menentukan perbedaan ketepatan waktu antara Bumi dan Bulan menambah kerumitan tambahan. Bulan bergerak relatif terhadap titik mana pun di permukaan Bumi karena rotasi dan orbitnya di sekitar kita, yang berarti setiap jam bulan akan tampak berjalan lebih lambat dari sudut pandang kita. Selain itu, setiap jam di Bulan dipengaruhi oleh gravitasi Bulan dan Bumi.

    (Satelit buatan tidak cukup besar atau masif untuk memengaruhi efek gravitasinya sendiri.).

    Penanganan efek relativitas ini dengan tepat memerlukan pemilihan kerangka acuan yang tepat. Ashby dan Patla mengatasi masalah tersebut dengan mengakui bahwa sistem Bumi-Bulan mengalami jatuh bebas bergerak hanya di bawah pengaruh gravitasi Matahari dengan masing-masing mengorbit pusat massanya.

    Hal itu memungkinkan mereka untuk merumuskan kontribusi dari setiap komplikasi: rotasi setiap benda, gaya pasang surut, penyimpangan bentuk dari bola sempurna, dan sebagainya.

    Ashby dan Patla juga melakukan perhitungan untuk posisi yang stabil secara gravitasi di orbit antara Bumi dan Bulan yang dikenal sebagai titik Lagrange, yang dapat digunakan untuk satelit relai komunikasi.

  • Kisah William James Punya IQ Lampaui Einstein, Meninggal karena Perdarahan Otak

    Kisah William James Punya IQ Lampaui Einstein, Meninggal karena Perdarahan Otak

    Jakarta

    William James Sidis dikenal sebagai pemilik IQ tertinggi di dunia, bahkan 100 poin melampaui angka IQ Albert Einstein. Pria yang bisa berbicara darlam 25 bahasa ini sayangnya hanya ingin menjalani hidup dalam pengasingan.

    Sebagai orang terpintar yang pernah hidup, William James Sidis bahkan sudah membaca The New York Times ketika berusia kurang dari dua tahun. Pada saat ia menginjak enam tahun, ia dapat berbicara dalam banyak bahasa. Sementara jelang usia sembilan tahun, ia diterima di Harvard, meskipun universitas tersebut tidak mengizinkannya masuk hingga berusia 11 tahun.

    Sejak awal, orang tua William James Sidis memuja putra mereka yang berbakat, menghabiskan banyak uang untuk buku dan peta demi mendorong pembelajarannya sejak dini. Namun, mereka tidak tahu seberapa dini anak mereka yang berharga itu akan memahaminya.

    Saat berusia enam tahun, ia sudah bisa berbicara dalam berbagai bahasa, termasuk Inggris, Prancis, Jerman, Rusia, Ibrani, Turki, dan Armenia.

    Seolah itu belum cukup mengesankan, William James Sidis juga menciptakan bahasanya sendiri saat masih kecil, meskipun tidak jelas apakah ia pernah menggunakannya saat dewasa. Anak muda yang ambisius itu juga menulis puisi, novel, dan bahkan konstitusi untuk utopia yang potensial.

    Saat masih menjadi mahasiswa pada 1910, ia memberi kuliah di Klub Matematika Harvard tentang topik yang sangat rumit terkait benda empat dimensi. Ceramah itu hampir tidak dapat dipahami oleh kebanyakan orang, tetapi bagi mereka yang memahaminya, pelajaran itu merupakan wahyu.

    Banyak spekulasi telah dibuat selama bertahun-tahun tentang IQ William James Sidis. Semua catatan tentang tes IQ-nya telah hilang seiring waktu, sehingga para sejarawan masa kini terpaksa memperkirakannya.

    Sebagai konteks, 100 dianggap sebagai skor IQ rata-rata, sedangkan di bawah 70 sering dianggap di bawah standar. Apapun di atas 130 dianggap berbakat atau sangat maju.

    Beberapa IQ historis yang telah dianalisis terbalik meliputi Albert Einstein dengan 160, Leonardo da Vinci dengan 180, dan Isaac Newton dengan 190.

    Mengenai William James Sidis, orang terpintar yang pernah hidup, ia diperkirakan memiliki IQ sekitar 250 hingga 300. Jika akurat, ini bisa menjadikannya IQ tertinggi di dunia bagi siapa pun yang pernah hidup.

    Skor Sidis sangat tinggi sehingga IQ-nya sama dengan tiga manusia rata-rata jika digabungkan.

    Namun terlepas dari kecerdasannya, ia berjuang untuk menyesuaikan diri dengan dunia yang penuh dengan orang-orang yang tidak memahaminya.

    Setelah William James Sidis lulus dari Harvard pada usia 16 tahun, ia mengatakan kepada wartawan. “Saya ingin menjalani kehidupan yang sempurna. Satu-satunya cara untuk menjalani kehidupan yang sempurna adalah dengan menjalaninya dalam pengasingan. Saya selalu membenci keramaian.”

    NEXT: Meninggal karena Perdarahan Otak

  • Studi Terbaru Ungkap Teori Relativitas Grativasi Einstein Terbukti Benar

    Studi Terbaru Ungkap Teori Relativitas Grativasi Einstein Terbukti Benar

    Bisnis.com, JAKARTA – Penelitian terbaru yang menganalisis peta terbesar alam semesta menemukan bukti teori Einstein kembali terbukti, tentang gravitasi dan struktur alam semesta.

    Dilansir dari livescience, analisis tersebut, yang mengamati hampir 6 juta galaksi dan quasar yang mencakup 11 miliar tahun waktu kosmik, menemukan bahwa bahkan pada skala yang sangat besar, gaya gravitasi berperilaku seperti yang diprediksi oleh teori relativitas umum Albert Einstein.

    Hasil ini memvalidasi teori terkemuka para kosmolog tentang alam semesta dan tampaknya membatasi teori gravitasi alternatif, kata para peneliti.

    Para peneliti mempublikasikan temuan mereka di beberapa makalah di server pracetak arXiv dan akan mempresentasikannya pada bulan Januari di pertemuan American Astronomical Society di National Harbor, Maryland.

    “Relativitas umum telah diuji dengan sangat baik pada skala tata surya, namun kami juga perlu menguji apakah asumsi kami berhasil pada skala yang jauh lebih besar,” Pauline Zarrouk, kosmolog di Pusat Penelitian Ilmiah Nasional Prancis (CNRS) yang turut serta dalam penelitian ini.

    “Mempelajari laju pembentukan galaksi memungkinkan kita menguji teori kita secara langsung dan, sejauh ini, kita sejalan dengan prediksi relativitas umum pada skala kosmologis.” tambahnya.

    Para kosmolog telah lama memperdebatkan perilaku gravitasi pada jarak yang jauh. Teori utama, yang disebut model materi gelap dingin lambda, dibangun dari teori Einstein untuk menawarkan pandangan paling komprehensif tentang berbagai fenomena astronomi.

    Namun keraguan mengenai beberapa elemen dalam model, seperti materi gelap dan energi gelap dua entitas misterius yang tidak berinteraksi dengan cahaya tetapi menyumbang sebagian besar massa dan energi di alam semesta serta ketidakmampuan model untuk memprediksi beberapa observasi, telah menyebabkan faksi-faksi yang bersaing memperjuangkan penjelasan alternatif.

    Salah satunya adalah Modifikasi Newtonian Dynamics (MOND), yang mengusulkan bahwa untuk tarikan gravitasi yang 10 triliun kali lebih kecil dibandingkan yang dirasakan di permukaan bumi, seperti tarikan antar galaksi yang jauh, hukum Newton (yang mendasari relativitas umum) tidak berlaku lagi dan harus dipatahkan. digantikan oleh persamaan lain.

    Untuk mencari petunjuk tentang bagaimana gravitasi berperilaku dalam skala besar, para peneliti beralih ke data dari Instrumen Spektroskopi Energi Gelap (DESI) tahun pertama yang dipasang pada Teleskop 4 meter Nicholas U. Mayall di Arizona, yang menunjukkan dengan tepat posisi bulanan gravitasi. jutaan galaksi untuk mempelajari bagaimana alam semesta mengembang hingga saat ini.

    Para ilmuwan melakukan “analisis bentuk penuh” yang menghasilkan pengukuran tepat terhadap pertumbuhan struktur galaksi dari waktu ke waktu. Penelitian ini mengungkapkan bahwa, meskipun energi gelap dapat berevolusi seiring berjalannya waktu, struktur alam semesta sangat sesuai dengan prediksi yang dibuat oleh teori Einstein.

    Masih terlalu dini untuk mengatakan secara pasti apa artinya hal ini bagi pandangan kita secara keseluruhan tentang kosmos, tetapi data yang dikumpulkan DESI dalam dua tahun ke depan akan dirilis pada musim semi 2025.

    Eksperimen tersebut, yang kini memasuki tahun keempat dari lima tahun, akan mengumpulkan data yang dikumpulkan oleh DESI. data dari sekitar 40 juta galaksi dan quasar pada saat itu berakhir. Jika jawabannya sudah tersedia, kita mungkin tidak perlu menunggu terlalu lama untuk menemukannya.