Tag: Ajib Hamdani

  • Apindo ungkap alasan OECD pangkas proyeksi ekonomi RI

    Apindo ungkap alasan OECD pangkas proyeksi ekonomi RI

    Jakarta (ANTARA) – Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menilai revisi penurunan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia oleh Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) dari 4,9 persen menjadi 4,7 persen pada 2025 mencerminkan pelemahan indikator makroekonomi sejak awal tahun.

    Analis Kebijakan Ekonomi Apindo Ajib Hamdani menjelaskan terdapat empat faktor utama yang mendorong koreksi proyeksi tersebut, mulai dari lemahnya daya beli masyarakat, pola belanja pemerintah, tekanan eksternal, hingga kurang optimalnya efek investasi terhadap penciptaan lapangan kerja.

    “Pertama, karena kemampuan konsumsi masyarakat yang memang secara riil mengalami penurunan. Hal ini didukung dengan data gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sejak awal tahun yang sudah menyentuh lebih dari 70 ribu pada kuartal pertama 2025,” ujar Ajib kepada ANTARA di Jakarta, Selasa.

    Faktor kedua, adalah pola belanja pemerintah pada awal tahun 2025. Penerimaan pajak pada kuartal I 2025 hanya mencapai 14,7 persen dari target penerimaan, yang idealnya bisa mencapai 20 persen. Kemudian pemerintah melakukan program efisiensi belanja, sehingga memberikan sentimen negatif terhadap pertumbuhan ekonomi pada periode awal tahun.

    Faktor ketiga, adalah kontraksi ekonomi karena faktor eksternal, terutama karena kebijakan tarif Trump. Kondisi ini membuat permintaan barang terutama dari Amerika mengalami penurunan dan neraca transaksi keuangan sejak bulan April 2025. Kompleksitas kebijakan efek tarif resiprokal AS ini memberikan sentimen negatif selama kuartal II.

    Kemudian faktor keempat, pelambatan ekonomi terjadi karena sisi investasi yang lebih banyak terkonsentrasi pada sektor padat modal. Sehingga efek berganda (multiplier effect) terhadap penyerapan tenaga kerja kurang maksimal.

    “Membandingkan data 10 tahun ke belakang, tahun 2014 setiap Rp1 triliun bisa menyerap sampai dengan 4.000 tenaga kerja. Sedangkan pada tahun 2024, setiap Rp1 triliun investasi menyerap kisaran 1.000 tenaga kerja. Target investasi tahun 2025 sebesar Rp1.905,6 triliun diharapkan bisa menyerap lebih dari 3,59 juta tenaga kerja baru,” jelas Ajib.

    Lebih lanjut, Ajib mendorong agar pemerintah segera menyusun langkah taktis jangka pendek pada Juni dan semester II 2025. Program stimulus berbasis konsumsi seperti bantuan langsung tunai (BLT) dinilai efektif untuk memulihkan daya beli dan menjaga pertumbuhan.

    Untuk menjaga pertumbuhan ekonomi pada semester kedua, Ajib berharap pemerintah bisa menjadikan belanja pemerintah sebagai stimulus utama.

    “Prinsip belanja pemerintah harus lebih mengedepankan spending better, yaitu prudent dalam melakukan pola belanja pemerintah yang mendorong pertumbuhan ekonomi dengan maksimal. Pemerintah harus fokus dengan pro job creation, ketahanan pangan dan energi,” jelasnya.

    Dalam hal ini, program yang didorong oleh pemerintah sudah tepat untuk mendorong pertumbuhan ekonomi tahun 2025, minimal di angka 5 persen.

    Hal ini, menurutnya, akan menjadi pondasi yang positif menjelang memasuki tahun 2026, di mana pemerintah sudah mempunyai proyeksi pertumbuhan ekonomi yang lebih eskalatif di kisaran 5,2 persen – 5,8 persen sesuai dengan Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) tahun 2026.

    Pewarta: Bayu Saputra
    Editor: Biqwanto Situmorang
    Copyright © ANTARA 2025

  • Pertumbuhan Ekonomi RI 2025 Diramal Sulit Tembus 5,2%

    Pertumbuhan Ekonomi RI 2025 Diramal Sulit Tembus 5,2%

    Jakarta

    Kalangan ekonom kompak memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia akan sulit mencapai target 5,2% tahun ini seperti yang termaktub dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025. Proyeksi ini disampaikan setelah melihat realisasi pertumbuhan yang melambat ke level 4,87% pada kuartal I-2025.

    Analis Kebijakan Ekonomi Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Ajib Hamdani mengatakan target pertumbuhan ekonomi di atas 5% pada 2025 akan sulit dicapai jika pemerintah tidak memiliki terobosan program yang bisa memberi dampak signifikan.

    “Dalam kondisi ceteris paribus dan tidak ada terobosan program dari pemerintah, dengan pertumbuhan ekonomi kuartal I-2025 sebesar 4,87%, akan sulit mencapai pertumbuhan ekonomi di atas 5% secara agregat pada akhir tahun,” kata Ajib kepada detikcom, Selasa (6/5/2025).

    Ajib menyebut pertumbuhan ekonomi kuartal I-2025 mengalami tekanan karena masing-masing faktor pertumbuhan ekonomi mengalami kontraksi. Pertama, daya beli masyarakat yang mengalami penurunan hingga gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang terus terjadi sejak awal tahun menjadi indikator yang perlu diwaspadai agar tidak berkelanjutan.

    Kedua, belanja pemerintah yang mengalami tekanan di mana penerimaan pajak hanya mencapai 14,7% dari target sampai Maret 2025. Bahkan kehadiran Danantara yang menjadi pengelola deviden BUMN disebut menjadi sektor Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).

    Ketiga, sisi investasi yang cenderung masih wait and see karena kondisi ekonomi domestik dan global yang masih fluktuatif. Keempat, sektor ekspor impor yang sangat terpengaruh oleh kebijakan tarif Presiden AS Donald Trump.

    “Untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih eskalatif, pemerintah Indonesia harus mendorong low cost economy. Kebijakan-kebijakan yang didorong bisa menduplikasi yang dilakukan oleh pemerintah China dalam mendorong ekonomi domestik dan industri manufakturnya mempunyai daya saing yang tinggi,” beber Ajib.

    Terpisah, Chief Economist Bank Central Asia (BCA) David Sumual juga mengatakan jika target pertumbuhan ekonomi 2025 sebesar 5,2% sulit dicapai. Pemerintah dinilai perlu kerja keras mempercepat belanja untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.

    “Untuk tahun 2025 kelihatannya sulit ke arah 5.2% sesuai target pemerintah, tapi kalau 5% masih bisa dicapai. Dengan upaya keras percepatan belanja pemerintah terutama yang terkait program flagship pemerintah, diharapkan kuartal II-2025 bisa lebih baik, dengan catatan ketegangan akibat perang tarif juga mereda,” ucap David.

    (kil/kil)

  • Pengamat dan Praktisi Soroti Tata Kelola serta Transparansi Super Holding Danantara – Halaman all

    Pengamat dan Praktisi Soroti Tata Kelola serta Transparansi Super Holding Danantara – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Pengamat BUMN Herry Gunawan mengatakan pendirian Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara) memang memiliki niatan yang baik, namun ia menyoroti soal pembentukannya. 

    Herry menyoroti sosok yang ditunjuk sebagai pengelola Danantara. Lantaran punya jabatan ganda di mana regulator bertindak sekaligus sebagai operator.  

    Ia mencontohkan Rosan Roeslani selaku CEO Danantara yang juga Menteri Investasi, kemudian Wamen BUMN Dony Oskaria menjabat posisi holding operasional.

    Rangkap jabatan itu juga dinilai melanggar UU Kementerian Negara Tahun 2008 dan UU BUMN Tahun 2025.

    “Danatara rawan sekali konflik kepentingan. Harusnya mereka memilih mau tetap di kementrian atau Danantara. Jangan dua-duanya, karena itu melanggar UU,” kata Herry dalam webinar ‘Superholding Danantara: Berkah atau Musibah?’ dikutip Senin (10/3/2025).

    Superholding ini diketahui memiliki tugas mengelola aset negara senilai 900 miliar dolar AS atau setara Rp14.678 triliun.

    Ekonom Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Ajib Hamdani mewanti-wanti pemerintah agar superholding ini tidak hanya menjadi tempat parkir dana atau ladang jamuan bagi kelompok tertentu.

    Dengan dana sebesar itu, Ajib menyebut keharusan pengawasan ketat dan keterbukaan kepada publik agar tidak adanya penyimpangan dalam pengelolaan aset negara.

    “Harus ada pengawasan ketat dan keterbukaan kepada publik agar tidak terjadi penyimpangan dalam pengelolaan aset negara,” katanya.

    Lebih lanjut, Badan Riset dan Inovasi Mathla’ul Anwar (BRIMA) bersama sejumlah lembaga berencana mengajukan uji materi UU Nomor 1/2025 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang menjadi payung hukum Danantara.

    Judicial Review dilayangkan ke Mahkamah Konstitusi (MK) dengan menyoal pasal – pasal dalam UU BUMN yang dianggap bermasalah dan merugikan rakyat.

    “BRIMA dan sejumlah lembaga akan gunakan hak konstitusional untuk ajukan judicial review terkait pasal-pasal di UU BUMN yang dianggap bermasalah dan merugikan rakyat. Sebagai komponen anak bangsa, kami ingin pemerintah berada di jalur yang benar,” kata Direktur BRIMA, Asep Rohmatullah.

     

     

     

  • Video: Target Ekonomi Prabowo 8% Tak Mudah, RI Masih Banyak “Masalah”

    Video: Target Ekonomi Prabowo 8% Tak Mudah, RI Masih Banyak “Masalah”

    Jakarta, CNBC Indonesia- Di tengah pertumbuhan ekonomi Indonesia yang berada dikisaran 5%, Pemerintahan Prabowo menargetkan PDB RI bisa dikerek hingga mencapai angka 8%.

    Analis Kebijakan Ekonomi Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), Ajib Hamdani menyebutkan target pertumbuhan yang ambisius dari Presiden Prabowo.

    Diperlukan upaya mengatasi berbagai persoalan ekonomi yang menghambat pertumbuhan, hal ini terkait ruang fiskal yang sempit yang dalam 3 tahun ini menghadapi utang jatuh tempo hingga Rp 800 Triliun sehingga dukungan APBN ke perekonomian menjadi berkurang.

    Selain itu RI membutuhkan tambahan investasi hingga Rp 13.000 sepanjang 2025-2029 sebagai penopang ekonomi RI. Namun demikian, di tengah berbagai tantangan ini APINDO melihat potensi RI tumbuh 6-7% dan target 8% menjadi narasi optimisme.

    Sementara Guru Besar Ilmu Ekonomi Moneter FIB UI, Telisa Aulia Falianty mengungkapkan pentingnya pemerintah mencari sumber pertumbuhan ekonomi yang baru di tengah berbagai tantangan global yang menghantui.

    Dalam mencapai target ekonomi 8% juga dibutuhkan inovasi dan peningkatan produktivitas untuk mendukung program ekonomi yang sudah ada. Hal ini salah satunya bisa dilakukan dengan mendorong ekonomi hijau dan ekonomi biru yang berpotensi mengerek ekonomi dan menciptakan lapangan kerja.

    Seperti apa upaya yang dibutuhkan pemerintah Prabowo mencapai target ekonomi 8%? Selengkapnya simak dialog Shinta Zahara dan Bramudya Prabowo dengan Equity Analyst CNBC Indonesia Research, Tasya Natalia Pangestika dalam Squawk Box, CNBC Indonesia (Rabu, 05/02/2025)

  • Apindo Ungkap Harapan Pengusaha ke Kepala Daerah Pemenang Pilkada 2024

    Apindo Ungkap Harapan Pengusaha ke Kepala Daerah Pemenang Pilkada 2024

    Bisnis.com, JAKARTA – Dunia usaha mengharapkan agar pemerintah baru fokus terhadap program-program pro pertumbuhan ekonomi, usai kontestasi Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2024.

    Analis Kebijakan Ekonomi Apindo Ajib Hamdani menyampaikan, kepala daerah baru perlu mengelaborasi program Asta Cita Presiden Prabowo Subianto dan membuat target pertumbuhan yang akseleratif.

    “Harapan dunia usaha, pemerintah selanjutnya fokus dengan program-program yang pro dengan pertumbuhan,” kata Ajib kepada Bisnis, Rabu (27/11/2024).

    Adapun, pertumbuhan ekonomi di 2025 sementara dipatok mencapai 5,2%. Kendati begitu, Kepala Negara memiliki narasi pertumbuhan ekonomi sampai dengan 8% pada 2028-2029.

    Menurutnya, pertumbuhan ekonomi agregat 2024 menjadi kunci, mengingat ini akan menjadi pondasi pertumbuhan ekonomi di tahun selanjutnya.

    “Dunia usaha mempunyai harapan, tahun 2024 ini bisa mencapai lebih dari 5%,” ujarnya. 

    Sementara itu, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (Core) Mohammad Faisal meyakini, momen Pilkada tetap mendorong pertumbuhan ekonomi walaupun tidak signifikan.

    Dalam catatan Bisnis, dia melihat, dampak Pilkada yang lebih terbatas ketimbang ajang Pemilihan Presiden (Pilpres) yang berlangsung pada awal tahun ini. 

    “Walaupun dilakukan serempak, tetapi secara agregat tidak melebihi dampak Pilpres,” ujarnya, Rabu (27/11/2024). 

    Faisal menilai hanya ekonomi di segelintir daerah yang terdampak signifikan dari ajang Pilkada tersebut. Sekalipun saat kampanye para calon kepala daerah membagikan bantuan sosial (bansos), efeknya terhadap dorongan pertumbuhan ekonomi tidak akan besar.

  • Tax Amnesty Jilid III, Dari Siapa dan Untuk Siapa?

    Tax Amnesty Jilid III, Dari Siapa dan Untuk Siapa?

    Bisnis.com, JAKARTA — Rancangan Undang-Undang tentang Pengampunan Pajak resmi masuk ke dalam daftar Program Legislasi Nasional atau Prolegnas Prioritas 2025. Wacana pemberlakuan kembali program pengampunan pajak alias tax amnesty jilid III pun terkuak.

    Alhasil, muncul berbagai pertanyaan di kalangan masyarakat: siapa yang pertama kali mengusulkan RUU Tax Amnesty tersebut? Untuk siapa program tax amnesty jilid III itu? Demi kepentingan negara atau malah segelintir pihak?

    Usulan RUU Tax Amnesty sendiri pertama kali muncul dalam rapat kerja antara Badan Legislasi (Baleg) DPR dengan pemerintah dan DPD pada Senin (18/11/2024). Ketika itu, RUU Tax Amnesty ditulis sebagai usulan dari Baleg DPR.

    Dalam perkembangan, Komisi XI DPR—yang menangani perihal keuangan negara—bersurat kepada Baleg DPR untuk ‘mengambil alih’ usulan RUU Tax Amnesty.

    Meski demikian, Ketua Komisi XI DPR Misbakhun mengaku tidak tahu siapa yang pertama kali mengusulkan RUU Tax Amnesty tersebut. Dia menekankan, Komisi XI hanya mengambil alih usulan RUU Tax Amnesty dari Baleg.

    “Cek ke Baleg,” ujar Misbakhun di Kantor Bappenas, Jakarta Pusat, Selasa (19/11/2024).

    Sementara itu, Ketua Baleg DPR Bob Hasan mengaku bahwa RUU Tax Amnesty sudah ada dalam daftar panjang Program Legislasi Nasional (Prolegnas), sebelum DPR periode 2024—2029.

    Oleh sebab itu, RUU Tax Amnesty hanya operan dari DPR periode sebelumnya yang belum sempat dibahas secara serius. Bob pun tidak tahu siapa yang pertama kali mengusulkan RUU Tax Amnesty tersebut.

    “Mau tanya dari mana, dari apa, segala macam, kami ini [Baleg periode 2024—2029] orang baru, sudah masuk dalam list waktu itu. Ya dulu-dulu kan [DPR periode sebelumnya] ada pembahasan mungkin, kan gitu,” ujar Bob kepada Bisnis, Jumat (22/11/2024).

    Di samping itu, politisi Partai Gerindra itu merasa tidak terlalu penting siapa yang pertama kali mengusulkan RUU Tax Amnesty tersebut. Entah pengusulnya pengusaha, pemerintah, maupun DPR, Bob meyakini yang terpenting adalah kebermanfaatan beleid tersebut untuk negara.

    Dia mengingatkan bahwa pemerintah baru Presiden Prabowo Subianto memerlukan dana yang tidak sedikit untuk mengeksekusi berbagai program unggulan seperti makan bergizi gratis hingga renovasi dan pembangunan sekolah-sekolah.

    Menurutnya, program tax amnesty bisa menjadi salah satu cara untuk meraih dana segar jumbo secara instan bagi pemerintah. Bagaimanapun, para konglomerat akan membayar uang tebusan atas pengungkapan atau deklarasi harta yang selama ini tidak dipajaki.

    “Intinya itu pemerintah butuh duit. Untuk ngolah-ngolah semua ini kan enggak mungkin dengan selalu pinjam-pinjam,” jelas Bob.

    Bisnisgrafik Tax Amnesty: Mengampuni ‘Pendosa’ Pajak. / Bisnis-M. Imron GhozaliPerbesar

    Tax Amnesty Jilid III, Untuk Apa?

    Sebagai informasi, dalam 10 tahun terakhir, pemerintah sebenarnya sudah pernah dua kali mengeluarkan kebijakan tax amnesty yaitu jilid I (periode 18 Juli 2016—31 Maret 2017) dan jilid II (1 Januari—30 Juni 2022) melalui Program Pengungkapan Sukarela atau PPS.

    Ketua Pengawas Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Prianto Budi Saptono meyakini bahwa semua wacana tax amnesty jilid III tersebut tidak pernah hadir dari ruang hampa.

    Prianto mencontohkan sebelumnya pemerintah mengungkap fenomena penghindaran pajak di sektor perkebunan. Tidak hanya itu, pemerintah juga menyatakan akan berupaya mengejar pajak shadow economy seperti aktivitas ekonomi ilegal.

    Dia menilai bahwa ada dua cara penegakan hukum untuk mengejar pengemplang pajak (tax evader) dan pelaku penghindaran pajak (tax avoider) tersebut. Pertama, penegakan hukum administrasi hingga penegakan hukum pidana pajak. 

    Pengajar di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia itu mengungkapkan bahwa cara pertama cenderung mendapatkan perlawanan dari terduga tax evader maupun tax avoider seperti lewat proses sengketa pajak hingga ke Pengadilan Pajak hingga Mahkamah Agung.

    “Cara pertama di atas tidak gampang dan belum tentu mendapatkan pajak sesuai ekspketasi pemerintah. Alih-alih banyak menang sengketa pajak, pemerintah justru hampir 60% mengalami kekalahan ketika ada sengketa [banding dan gugatan] di pengadilan pajak,” ujar Prianto kepada Bisnis, pekan lalu.

    Kedua, melalui tax amnesty. Dia berpendapat bahwa tax amnesty merupakan cara yang lebih sederhana dan cenderung tanpa ada proses perlawanan.

    Kebijakan tax amnesty, lanjutnya, cenderung digulirkan ketika pemerintah belum mampu mengatasi permasalah tax evasion dan tax avoidance. Oleh sebab itu, Prianto menilai tidak ada yang salah dengan wacana tax amnesty jilid III ketika negara butuh dana instan dari masyarakat.

    “Kebijakan tax amnesty di banyak negara pada kenyataannya juga berulang meskipun teorinya menyatakan bahwa seharusnya tax amnesty itu cukup sekali untuk satu generasi wajib pajak,” tutupnya.

    Presiden Joko Widodo menyampaikan pidato dalam acara sosialisasi Tax Amnesty di Medan, Sumatra Utara pada Kamis (21/7/2016). / dok. KemensetnegPerbesar

    Pendapat berbeda disampaikan oleh Manajer Riset Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar. Menurutnya, tidak ada urgensinya penerapan Tax Amnesty Jilid III.

    Kebijakan tersebut, sambung Fajry, hanya akan mencederai rasa keadilan bagi wajib pajak yang telah patuh. Sejalan dengan itu, dia khawatir akan banyak Wajib Pajak yang semakin melakukan penghindaran pajak.

    “Buat apa untuk patuh, toh ada tax amnesty lagi?” kata Fajry kepada Bisnis, pekan lalu.

    Dia menilai Tax Amnesty Jilid III akan menjadi langkah mundur pemerintah. Apalagi, wacana pengampunan pajak untuk orang tajir itu bergulir ketima pemerintah berencana menaikkan tarif PPN menjadi 12% pada tahun depan.

    Oleh sebab itu, Fajry tidak heran apabila nantinya banyak penolakan dari berbagi kalangan masyarakat ihwal wacana Tax Amnesty Jilid III.

    “Terlebih, tax amnesty ini untuk siapa? Sebagian besar konglomerat sebenarnya sudah masuk ke Tax Amnesty Jilid I dan sebagian lagi melengkapinya kemarin,” jelasnya.

    Tanggapan Pengusaha soal Tax Amnesty Jilid III

    Kalangan pengusaha mengakui program pengampunan pajak atau tax amnesty tidak terlalu ideal, tetapi dibutuhkan untuk menambah penerimaan negara.

    Analis Kebijakan Ekonomi Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Ajib Hamdani menilai tax amnesty mempunyai sisi negatif yakni memberikan rasa ketidakadilan bagi wajib pajak yang telah patuh.

    Apalagi, tax amnesty sudah pernah pernah dilakukan selama dua kali yaitu pada 2016—2017 dan 2022. Akibatnya, masyarakat akan cenderung meremehkan kebijakan-kebijakan umum tentang perpajakan karena secara rutin pemerintah mengeluarkan program tax amnesty.

    “Inilah yang membuat kebijakan tax amnesty ini adalah program yang kurang ideal,” jelas Ajib dalam keterangannya, Rabu (20/11/2024).

    Di samping itu, lanjutnya, secara umum literasi perpajakan masih rendah. Akibatnya, budaya taat pajaknya juga rendah.

    Dia mengingatkan, pemerintah berencana memberlakukan kebijakan core tax system atau sistem inti administrasi perpajakan pada tahun depan. Ajib berpendapat, sistem tersebut membutuhkan prasyarat penting yaitu wajib pajak harus mempunyai pemahaman dan kepatuhan pajak yang lebih baik.

    “Hal ini yang membuat tax amnesty dibutuhkan oleh masyarakat,” katanya.

    Selain itu, sambungnya, secara praktis tax amnesty juga akan menambah pemasukan buat APBN. Dengan pengampunan pajak, harta yang dilaporkan oleh wajib pajak yang sebelumnya tidak dilaporkan akan muncul masuk ke Sistem Keuangan Indonesia sehingga ke depan menjadi aset yang lebih produktif untuk perekonomian nasional.

    Bahkan, menurut Ajib, tax amnesty bisa memberikan daya ungkit untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi 8% karena penerima manfaatnya tidak akan ragu lagi membelanjakan uang yang telah dilaporkan.

    “Secara prinsip, fungsi pajak adalah untuk keuangan negara atau budgeteir dan juga fungsi mengatur ekonomi atau regulerend. Dalam konteks kebijakan tax amnesty ini, aspek budgeteir dan regulerend bisa didorong bersama dan memberikan manfaat,” tutupnya.

  • Apindo Sebut Tax Amnesty Selalu Timbulkan Polemik di Masyarakat

    Apindo Sebut Tax Amnesty Selalu Timbulkan Polemik di Masyarakat

    Jakarta, Beritasatu.com – Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menyatakan kebijakan pengampunan pajak atau tax amnesty sering menimbulkan polemik di masyarakat. Lantaran  memberikan rasa ketidakadilan terhadap wajib pajak yang telah patuh. Dengan kata lain masyarakat yang mengikuti program tax amnesty mengakui bahwa sebelumnya mereka tidak patuh dalam melakukan kewajiban perpajakan.

    “Kebijakan tax amnesty akan selalu menimbulkan polemik dan diskursus yang bertentangan. Masyarakat akan cenderung meremehkan kebijakan-kebijakan umum tentang perpajakan karena secara rutin pemerintah mengeluarkan program tax amnesty,” ucap analis kebijakan ekonomi Apindo Ajib Hamdani pada Kamis (21/11/2024).

    Secara prinsip, fungsi pajak adalah untuk keuangan negara atau fungsi budgetair, dan juga fungsi mengatur ekonomi atau regulerend. Dalam konteks kebijakan tax amnesty ini, aspek budgetair dan regulerend bisa didorong bersama dan memberikan manfaat.

    “Kebijakan tax amnesty adalah program yang kurang ideal, tapi dibutuhkan oleh masyarakat dan pemerintah,” kata Ajib.

    Ajib tidak menampik bahwa  secara umum masyarakat Indonesia memang masih mempunyai literasi perpajakan yang rendah. Kalaupun masyarakat golongan yang sudah paham tentang perpajakan, budaya taat pajaknya juga masih rendah.

    Hal ini tercermin dari tingkat rasio pajak  (tax ratio) Indonesia yang hanya bergerak di kisaran 10%. Pada 2025, kebijakan sistem inti administrasi perpajakan (core tax administration system) akan diberlakukan dan membutuhkan prasyarat wajib pajak mempunyai pemahaman dan kepatuhan pajak yang lebih baik.

    “Hal ini yang membuat tax amnesty dibutuhkan oleh masyarakat,” imbuh Ajib.

    Dari sisi pemerintah, paling tidak ada tiga manfaat dengan kebijakan tax amnesty. Pertama, kebutuhan budgetair, yaitu untuk menambah pemasukan buat APBN. Kedua, harta bersih yang dilaporkan oleh wajib pajak, akan muncul yang sebelumnya menjadi bagian underground economy, bisa masuk ke sistem keuangan Indonesia yang lebih terbuka, dan selanjutnya menjadi aset yang lebih produktif masuk dalam putaran perekonomian nasional.

    “Ketiga, bisa membantu memberikan daya ungkit terhadap pertumbuhan ekonomi 8%, karena tidak ada kekhawatiran masyarakat untuk membelanjakan uang yang telah diakui dalam program tax amnesty tersebut,” kata Ajib.

    Tax amnesty jilid I yang berlaku pada 2016, sesuai dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak, yaitu pengampunan atas pajak terutang, tidak dikenai sanksi administrasi dan sanksi pidana perpajakan, dengan membayar uang tebusan. Hasilnya, negara mengumpulkan uang tebusan Rp 130 triliun, data deklarasi sebesar Rp 4.813,4 triliun dan repatriasi sebesar Rp 146 triliun.

    Selanjutnya, pada tahun 2022 pemerintah mengeluarkan kebijakan program pengungkapan sukarela (PPS), yang berlaku pada Tanggal 1 Januari sampai dengan 30 Juni 2022, sesuai dengan amanah dari Undang-undang nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi dan Peraturan Perpajakan (HPP).

    Program ini selanjutnya dikenal dengan tax amnesty jilid II. Kebijakan ini bisa mengumpulkan dana dari setoran PPh buat negara sebesar Rp 61,01 triliun dan harta bersih yang diungkap sebesar Rp 594,82 triliun.

    “Tax amnesty jilid II memang tidak sesukses jilid I karena pembatasan peserta dan juga tarif yang cenderung kurang menarik,” pungkas dia.

  • Video: Bakal Ada Tax Amnesty Jilid III, Pengusaha Ungkap Dampaknya!

    Video: Bakal Ada Tax Amnesty Jilid III, Pengusaha Ungkap Dampaknya!

    Jakarta, CNBC Indonesia- Pemerintah bersiap kembali membuka program pengampunan pajak atau tax amnesty jilid III seiring dengan masuknya RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas tahun 2025.

    Tim Analis Kebijakan Ekonom APINDO, Ajib Hamdani menilai pengampunan pajak ini dikhawatirkan kebijakan ini bisa menimbulkan potensi moral hazard dan dimanfaatkan sejumlah pihak untuk tidak taat pajak sehingga menimbulkan ketidakadilan bagi masyarakat yang taat pajak.

    Namun di sisi lain, Tax Amnesty Jilid III ini memberikan manfaat ke masyarakat karena bisa meningkatkan pemahaman dan kepatuhan pajak. Bagi negara, pengampunan pajak bisa menambah pemasukan negara hingga Rp100 Triliun.

    Seperti apa urgensi penerapan Tax Amnesty Jilid III? Selengkapnya simak dialog Anneke Wijaya dengan Perumus Naskah Akademik RUU Perampasan Aset dan Kepala PPATK 2002-2011, Yunus Husein dalam Power Lunch, CNBC Indonesia (Rabu, 20/11/2024)

  • Apindo Minta Pemerintah Kaji Ulang Kenaikan PPN 12 Persen

    Apindo Minta Pemerintah Kaji Ulang Kenaikan PPN 12 Persen

    Jakarta, Beritasatu.com – Analis kebijakan ekonomi dari Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Ajib Hamdani, meminta pemerintah mengkaji ulang rencana menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12% persen. Ia menilai kenaikan PPN pada awal 2025 itu dirasa kurang tepat.

    Merujuk data LPEM UI, Ajib menjelaskan selama 5 tahun terakhir, lebih dari 8,5 juta penduduk turun kelas sehingga daya beli masyarakat menurun. Indikator ini juga didukung oleh deflasi selama 5 bulan beruntun sejak Mei 2024.

    Sementara dari sisi suplai, PMI manufaktur yang besar juga terus mengalami konstruksi atau di bawah 50. Diketahui, pada Oktober 2024 PMI manufaktur hanya di angka 46,5.

    “Artinya, apabila berbicara momentum daya beli masyarakat dan momentum pertumbuhan ekonomi, kebijakan pemerintah untuk menaikkan tarif PPN dari 11% menjadi 12% itu waktunya kurang tepat,” ujar Ajib dalam “Investor Market Today” di IDTV, Jakarta, Rabu (20/11/2024).

    Untuk itu, Apindo mengusulkan agar pemerintah mengkaji ulang kenaikan PPN 12%. Bahkan pemerintah juga bisa menunda kebijakan tersebut, seperti sebelumnya pemerintah mengundur pelaksanaan tarif karbon pada April 2022.

    “Sebenarnya ini tergantung kesediaan pemerintah apakah akan menaikkan tarif PPN 12% pada 1 Januari 2025 atau menunda kenaikan sambil melihat daya beli masyarakat dan ekonomi bisa tumbuh dengan baik,” tuturnya.

    Ajib menegaskan, lebih dari 60% pertumbuhan ekonomi Indonesia ditopang oleh konsumsi rumah tangga. Apabila pemerintah menaikkan tarif PPN 12%, maka ini akan menjadi kontraproduktif terhadap pertumbuhan ekonomi yang ada.

    Di sisi lain, Ajib menyinggung pernyataan Presiden Prabowo Subianto bahwa pertumbuhan ekonomi harus didorong menjadi lebih eskalatif sampai dengan 8%.

    Dia menilai, target-target pemerintah tersebut perlu didukung dengan daya beli masyarakat yang terjaga dengan baik sehingga pertumbuhan ekonomi bisa konsisten ke depannya.

    “Pak Prabowo Subianto selalu membangun narasi bahwa pertumbuhan ekonomi harus diorang menjadi lebih eskalatif. Bahkan sampai dengan 8%,” ucapnya.

    Artinya, pertumbuhan ekonomi itu membutuhkan syarat, yakni daya beli masyarakat yang baik. Maka, untuk membuat daya beli masyarakat baik, pemerintah harus mengkaji ulang rencana kenaikan PPN 12% pada 2025.

  • Prabowo Bisa Batalkan Tarif PPN 12%, Begini Caranya

    Prabowo Bisa Batalkan Tarif PPN 12%, Begini Caranya

    Bisnis.com, JAKARTA — Presiden Prabowo Subianto bisa membatalkan kenaikan tarif PPN menjadi 12% pada 1 Januari 2025 dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah.

    Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 1%—dari 11% menjadi 12%—sendiri sudah diamanatkan Pasal 7 ayat (1) huruf b Undang-Undang No. 7 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).

    Dengan alasan amanat UU HPP, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan pemerintah akan mencoba menjalankan rencana kenaikan tarif PPN menjadi 12% tersebut meski banyak pihak yang mentangnya.

    “Kita perlu siapkan agar itu [kenaikan PPN menjadi 12%] bisa dijalankan, tapi dengan penjelasan yang baik,” ujar Sri Mulyani dalam rapat kerja bersama Komisi XI DPR, Rabu (13/11/2024).

    Kendati demikian, notabenenya UU HPP juga menambahkan klausul yang memungkinkan penundaan kenaikan tarif PPN tersebut. Dalam Pasal 7 ayat (3) UU HPP disebutkan tarif PPN 12% pada awal 2025 dapat diubah menjadi paling rendah 5% dan paling tinggi 15%.

    Caranya dijelaskan dalam Pasal 4 UU HPP:

    Perubahan tarif Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah setelah disampaikan oleh Pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia untuk dibahas dan disepakati dalam penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

    Artinya, PPN 12% bisa dibatalkan lewat penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) oleh Prabowo sesudah disampaikan ke DPR agar disepakati dalam penyusunan RAPBN.

    Lagi pula, Ketua Badan Anggaran DPR Said Abdullah mengungkapkan bahwa penyusunan target penerimaan pajak tahun depan seperti yang sudah ditetapkan dalam APBN 2025 masih berdasarkan PPN 11%.

    “Rp2.490 triliun pendapatan negara [pajak + kepabeanan dan cukai], di antaranya itu tidak termasuk PPN 12%,” ucap Said usai Rapat Paripurna DPR, Kamis (19/9/2024).

    Kepala Pusat Kebijakan APBN Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Wahyu Utomo tidak menampik bahwa pemerintah belum menggunakan PPN 12% dalam menghitung APBN 2025.

    Menurutnya, pemerintah juga perlu mempertimbangkan berbagai kondisi perekonomian sebelum menerapkan suatu kebijakan.

    “Penyesuaian tarif PPN ke 12% itu sudah masuk UU HPP, namun dalam implementasi tetap mempertimbangkan suasana masyarakat, termasuk daya beli, kondisi ekonomi, dan mungkin momentum yang tepat,” ungkapnya dalam Media Gathering APBN 2025, Rabu (25/9/2024).

    Kritik Kenaikan PPN

    Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) mengungkapkan kenaikan PPN berpotensi menambah beban pengeluaran rumah tangga masyarakat miskin.

    Dalam laporan Seri Analisis Makroekonomi ‘Indonesia Economic Outlook 2025’, LPEM UI menunjukkan antara 201—2019 dengan tarif PPN sebesar 10%, beban PPN rata-rata untuk 20% rumah tangga termiskin adalah sekitar 3,93%.

    Sedangkan, beban PPN rata-rata untuk 20% rumah tangga kaya mencapai 5,04%.

    Adapun setelah pemerintah menaikkan tarif PPN dari 10% menjadi 11% pada 2022, terjadi progresivitas beban PPN di seluruh rumah tangga.

    “Dari tahun 2022 hingga 2023, rata-rata beban PPN untuk 20% kelompok termiskin adalah 4,79%, sedangkan untuk 20% kelompok terkaya adalah 5,64%,” demikian bunyi laporan LPEM FEB UI dikutip pada Sabtu (16/11/2024).

    Hanya saja, LPEM FEB UI menyebu  kenaikan tarif PPN pada 2022 dari 10% menjadi 11% memberikan dampak yang lebih regresif ke masyarakat miskin.

    Kenaikan tarif PPN menyebabkan peningkatan beban belanja sekitar 0,86 poin persentase untuk 20% rumah tangga termiskin. Sedangkan 20% rumah tangga terkaya naik yang lebih kecil, yaitu 0,71 poin persentase.

    Kalangan pengusaha juga sudah mengkritisi wacana kenaikan tarif PPN tersebut. Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) meminta pemerintah mengkaji ulang pemberlakuan kebijakan tersebut karena kondisi perekonomian sedang mengkhawatirkan.

    Analis Kebijakan Ekonomi Apindo Ajib Hamdani menjelaskan bahwa sedang terjadi tren penurunan daya beli masyarakat dan jutaan kelas menengah turun kasta. Oleh sebab itu, Ajib menyarankan agar pemerintah mengambil jalan lain apabila ingin mendapatkan tambahan penerimaan negara.

    Menurutnya, ada dua kebijakan yang bisa ditempuh. Pertama, pemerintah bisa menurunkan batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) untuk tetap menjaga daya beli masyarakat.

    Sesuai dengan PMK No. 101/2016, besaran PTKP yaitu Rp54 juta per tahun atau ekuivalen dengan penghasilan Rp4,5 juta per bulan.

    “Pemerintah bisa menaikkan, misalnya, PTKP sebesar 100 juta. Hal ini bisa mendorong daya beli kelas menengah-bawah. Di kelas ini, setiap kenaikan kemampuan akan cenderung dibelanjakan, sehingga uang kembali berputar di perekonomian dan negara mendapatkan pemasukan,” ungkap Ajib dalam keterangannya, Senin (12/8/2024).

    Kedua, pemerintah fokus mengalokasikan tax cost alias biaya pajak dengan PPN Ditanggung Pemerintah (DTP) untuk sektor-sektor yang menjadi lokomotif penggerak banyak gerbong ekonomi.

    Dia mencontoh sektor properti hingga sektor yang mendukung hilirisasi sektor pertanian, perikanan, dan peternakan.

    “Namun, secara kuantitatif harus dihitung betul bahwa tax cost ini satu sisi tetap memberikan dorongan private sector [sektor swasta] tetap bisa berjalan baik, dan di sisi lain penerimaan negara harus menghasilkan yang sepadan sehingga fiskal bisa tetap prudent,” ujar Ajib.