Tag: Ajib Hamdani

  • Serapan Tenaga Kerja Loyo, Apindo Dorong Investasi Padat Karya

    Serapan Tenaga Kerja Loyo, Apindo Dorong Investasi Padat Karya

    Bisnis.com, JAKARTA — Asosiasi Pengusaha Indonesia alias Apindo mendorong agar pemerintah memperluas cakupan insentif sektor-sektor padat karya di tengah semakin rendahnya rasio penyerapan kerja dengan realisasi investasi.

    Analis Kebijakan Ekonomi Apindo Ajib Hamdani mengatakan bahwa investasi beberapa tahun terakhir cenderung lebih banyak masuk ke sektor padat modal daripada padat karya sehingga. Akibatnya, efek penggandanya terhadap penciptaan lapangan kerja tidak terlalu terasa.

    “Pemerintah bisa lebih mendorong dengan memberikan insentif terhadap sektor-sektor yang padat karya, termasuk manufaktur, pertanian, konstruksi, perikanan dan jasa,” ujar Ajib kepada Bisnis, Senin (6/10/2025).

    Adapun pemerintah sudah mengumumkan insentif ke sejumlah sektor padat karya pada akhir 2025. Misalnya, Pajak Penghasilan (PPh) 21 Ditanggung Pemerintah (DTP) untuk pekerja di sektor terkait pariwisata sebanyak 552.000 pekerja hingga insentif padat karya tunai (cash for work) Kemenhub dan Kementerian PU untuk 609.465 orang.

    Hanya saja, Ajib mendorong perluasan insentif ke lebih banyak sektor padat karya. Bahkan, menurutnya, insentif tak boleh hanya dari sisi fiskal namun juga moneter.

    “Bauran insentif fiskal dan moneter masih sangat dibutuhkan, misalnya pajak Ditanggung Pemerintah [DTP] dan juga tarif bunga khusus yang kompetitif,” jelasnya.

    Dia mengingatkan investasi menjadi komponen yang semakin penting dalam pembentuk produk domestik bruto (PDB) beberapa waktu terakhir. Ajib mencontohkan, pada kuartal II/2025 investasi (6,99%) tumbuh lebih tinggi daripada PDB (5,12%).

    Kendati demikian, sambungnya, lapangan kerja malah mengalami pelambatan dalam serapannya.

    Penyerapan Tenaga Kerja Rendah

    Klaim pemerintah tentang kenaikan kinerja investasi rupanya tidak sebanding dengan kecepatan penyerapan tenaga kerja. Hal itu ditunjukkan oleh semakin lemahnya rasio penyerapan tenaga kerja terhadap realisasi investasi.

    Berdasarkan data Kementerian Investasi dan Hilirisasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), realisasi investasi mencapai Rp942,9 triliun pada semester I/2025. Dari realisasi investasi itu, penyerapan tenaga kerjanya mencapai 1.259.868 orang.

    Dengan demikian, setiap 1 tenaga kerja terserap memerlukan investasi sekitar Rp748 juta.

    Apabila dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu atau pada semester I/2024, realisasi investasi ‘hanya’ mencapai Rp829,9 triliun (lebih rendah Rp113 triliun atau setara 13,6% dibandingkan realisasi tahun ini). Kendati demikian, penyerapan tenaga kerjanya mencapai 1.225.042 orang.

    Dengan demikian, setiap 1 orang tenaga kerja terserap ‘hanya’ memerlukan investasi sekitar Rp677 juta.

    Artinya, terjadi penurunan rasio penyerapan tenaga kerja terhadap realisasi investasi: serapan tenaga kerja malah memburuk ketika nilai investasi langsung tumbuh positif.

    Deputi Bidang Promosi Penanaman Modal Kementerian Investasi dan Hilirisasi/BKPM Nurul Ichwan menilai kecenderungan tersebut memang menjadi persoalan tersendiri yang menjadi sorotan pemerintah.

    Menurutnya, investasi tidak hanya bisa dilihat dari dua sisi yaitu realisasinya sekaligus lapangan pekerjaan yang terbuka karenanya. 

    “Fakta yang harus kita coba gali lebih lanjut adalah kenapa nilai investasinya semakin besar, tetapi jumlah tenaga kerja yang diserapnya itu lebih kecil, kalau pun tidak stagnan,” ujar Ichwan dalam Forum Investasi Nasional 2025, seperti yang diunggah Instagram @bkpm_id, Minggu (5/10/2025).

  • Menilik Efektivitas Stimulus Industri Padat Karya Jelang Nota Keuangan

    Menilik Efektivitas Stimulus Industri Padat Karya Jelang Nota Keuangan

    Bisnis.com, JAKARTA — Guyuran insentif untuk industri padat karya pada awal tahun ini belum signifikan mendorong kinerja pertumbuhan. Hal ini tercerminkan dari sejumlah sektor yang masih terkontraksi meski telah diguyur stimulus dari negara.

    Pemerintah memberikan paket stimulus untuk sektor industri padat karya pada awal tahun ini. Pertama, insentif PPh Pasal 21 ditanggung pemerintah (DTP) yang berlaku untuk sektor tekstil, pakaian jadi, alas kaki, dan furnitur. 

    Kedua, pemerintah juga memberikan diskon 50% atas pembayaran iuran Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) selama 6 bulan untuk 3,76 juta pekerja di sektor padat karya. 

    Ketiga, untuk mendukung peningkatan produktivitas industri maka diberikan pembiayaan revitalisasi mesin dengan skema subsidi bunga sebesar 5% dan range plafon kredit tertentu. 

    Meski berlaku sepanjang paruh pertama tahun ini, kinerja sejumlah sektor padat karya seperti tekstil dan pakaian, serta furnitur/kayu masih stagnan dan cenderung melemah di kuartal II/2025, meskipun industri alas kaki masih tumbuh positif. 

    Merujuk pada data Badan Pusat Statistik (BPS) industri tekstil dan pakaian jadi tumbuh di angka 4,35% (year-on-year/yoy) pada kuartal kedua. Laju pertumbuhannya turun tipis dari periode kuartal I/2025 4,64% yoy. Namun, tumbuh dari 0,03% pada periode kuartal II/2024. 

    Hal serupa terjadi di industri furnitur yang terkontraksi -0,95% yoy pada kuartal II/2025 atau turun dari kuartal sebelumnya 9,86% yoy. Industri kayu juga kontraksi -3,71% yoy turun dari sebelumnya 0,11% yoy. 

    Sementara itu, industri alas kaki masih dapat tumbuh positif di angka 8,31% yoy pada kuartal kedua tahun ini, lebih tinggi dibandingkan periode sebelumnya 6,95% yoy. 

    Analis Kebijakan Ekonomi Apindo Ajib Hamdani mengatakan, pemerintah harus mendorong insentif fiskal maupun moneter yang tepat sasaran dan mendorong low cost economy untuk menstimulasi industri padat karya. 

    Menurut Ajib, percepatan restitusi, pajak pertambahan nilai ditanggung pemerintah (PPN DTP), relaksasi pajak untuk UMKM merupakan bagian kebijakan fiskal yang pro dengan pertumbuhan. 

    “Kemudian, tingkat suku bunga kredit yang murah perlu didorong terutama untuk sektor padat karya,” kata Ajib kepada Bisnis, dikutip Kamis (14/8/2025). 

    Kisi-kisi Stimulus Padat Karya Berlanjut

    Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebut, pemerintah akan menyalurkan stimulus ekonomi senilai Rp10,8 triliun pada kuartal III/2025. Stimulus itu akan melanjutkan paket yang telah disalurkan pemerintah untuk mendorong konsumsi masyarakat pada semester I/2025 senilai Rp24,44 triliun.  

    “Kemudian untuk triwulan ketiga kita akan terus masih ada Rp10,8 triliun stimulus aktivitas ekonomi yang akan terlaksana di triwulan ketiga,” ungkap Sri Mulyani pada konferensi pers di Kantor Kemenko Perekonomian, beberapa waktu lalu. 

    Tak hanya itu, Kementerian Keuangan juga disebut akan memperkuat sektor manufaktur nasional, di antaranya melalui stimulus dari sisi suplai pada semester I/2025. 

    Kebijakan yang ditempuh meliputi fasilitas pembiayaan bagi industri padat karya, optimalisasi Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), serta percepatan deregulasi untuk memperbaiki iklim usaha.

    “Respons kebijakan terkait perdagangan global disiapkan, mengantisipasi munculnya berbagai risiko tekanan. Implementasi kebijakan yang tepat sasaran diyakini mampu menjaga stabilitas produksi, memperkuat daya saing ekspor, serta mendukung kesinambungan pemulihan dan ketahanan ekonomi nasional,” ujar Direktur Jenderal Strategi Ekonomi dan Fiskal, Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu.

    Menurut Febrio, upaya tersebut sebagai langkah untuk memulihkan kontraksi Purchasing Managers’ Index (PMI) manufaktur Indonesia yang berada di level 49,2 pada Juli 2025. 

    Meski sudah membaik dibandingkan bulan sebelumnya yang berada di level 46,9, posisi itu masih di bawah 50 yang menandakan aktivitas manufaktur mengalami kontraksi. 

    “Perkembangan ini mencerminkan tantangan pemulihan sektor manufaktur global masih berlangsung,” tuturnya. 

  • Apindo Beberkan 4 Jurus Jaga Pertumbuhan Ekonomi RI

    Apindo Beberkan 4 Jurus Jaga Pertumbuhan Ekonomi RI

    Bisnis.com, JAKARTA — Dunia usaha menyebut pemerintah perlu memperkuat daya beli hingga menggelontorkan insentif untuk menjaga pertumbuhan ekonomi hingga akhir tahun.

    Analis Kebijakan Ekonomi Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Ajib Hamdani mengatakan setidaknya ada empat masukan agar pertumbuhan ekonomi bisa bertahan sampai akhir tahun untuk jangka pendek, sekaligus hingga 2029 untuk jangka menengah. Pertama, kata Ajib, pemerintah perlu memperkuat daya beli masyarakat melalui penyerapan tenaga kerja.

    “Seluruh kebijakan lembaga dan kementerian, harus mempunyai orientasi dan output dalam penyerapan tenaga kerja,” kata Ajib dalam keterangan tertulis, dikutip Rabu (6/8/2025).

    Kedua, pemerintah harus mendorong insentif fiskal maupun moneter yang tepat sasaran, serta mendorong ekonomi biaya rendah atau low cost economy.

    Ajib menyebut, percepatan restitusi, Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah (PPN DTP), dan relaksasi pajak untuk UMKM menjadi bagian kebijakan fiskal yang mendukung pertumbuhan ekonomi negara.

    Selain itu, sambung dia, dunia usaha juga menyarankan agar tingkat suku bunga kredit menjadi lebih murah yang utamanya untuk sektor padat karya, seperti industri tekstil dan produk tekstil (TPT).

    Ketiga, lanjut Ajib, pemerintah perlu mendorong perampingan peraturan atau deregulasi. Terlebih, dia menjelaskan percepatan layanan, kemudahan koordinasi, dan penyederhaaan perizinan merupakan bagian dari deregulasi.

    “Apindo mendukung pembentukan Kelompok Kerja [Pokja] Deregulasi dari Kemenko Perekonomian, bagian dari kolaborasi dunia usaha dan pemerintah dalam mendukung perekonomian yang lebih baik,” ujarnya.

    Keempat, Apindo menilai pemerintah perlu mendorong lebih banyak investasi yang masuk ke dalam negeri. Terlebih, sambung dia, rasio investasi penanaman modal asing (PMA) masih rendah hingga potensi PMA masih bisa ditingkatkan.

    “Dengan catatan, pemerintah harus fokus dengan upaya  mendorong ease to doing business atau kemudahan dalam berusaha. Indonesia masih di peringkat 73 dari 190 negara. Idealnya Indonesia bisa di peringkat 40,” ujarnya.

    Menurutnya, momentum ratifikasi perjanjian kerjasama ekonomi komprehensif antara Indonesia dan Uni Eropa atau Indonesia—European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU—CEPA) menjadi angin segar menuju perjanjian perdagangan bebas dan membuka pintu investasi dari Uni Eropa ke Indonesia.

    Lebih lanjut, Ajib menambahkan pemerintah harus menggandeng dunia usaha agar mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih sustain dan eskalatif ke depannya. “Kolaborasi inilah yang terus didorong melalui Indonesia Incorporate,” imbuhnya.

    Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan pertumbuhan ekonomi pada tiga bulan kedua atau kuartal II/2025 sebesar 5,12% secara tahunan (year on year/YoY) dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.

    Deputi Bidang Neraca dan Analisis Statistik BPS Moh. Edy Mahmud menuturkan produk domestik bruto atau PDB Indonesia atas dasar harga berlaku pada kuartal II/2025 mencapai Rp5.947 triliun. Lalu, PDB atas harga konstan mencapai Rp3.396,3 triliun.

    “Sehingga pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan 2/2025 bila dibandingkan dengan triwulan II/2024 atau secara YoY tumbuh sebesar 5,12%,” kata Edy di Gedung BPS, Jakarta, Selasa (5/8/2025).

  • Pengusaha Beberkan Peluang Ekonomi RI Tumbuh Terjaga 5%, Realistis?

    Pengusaha Beberkan Peluang Ekonomi RI Tumbuh Terjaga 5%, Realistis?

    Bisnis.com, JAKARTA — Pertumbuhan ekonomi periode kuartal kedua tahun ini yang mencapai 5,12% (year-on-year/yoy) dinilai cukup mengejutkan bagi dunia usaha dan ekonom. Namun, laju pertumbuhan ini disebut dapat terus terjaga. 

    Data BPS menunjukkan angka tersebut lebih tinggi dibandingkan kuartal I/2024 sebesar 5,11%, kemudian diikuti oleh pertumbuhan ekonomi kuartal kedua sebesar 5,05%. 

    Analis Kebijakan Ekonomi Apindo Ajib Hamdani mengatakan secara siklus tahunan, kuartal kedua memang umumnya lebih rendah dari pertumbuhan ekonomi kuartal pertama yang ditopang oleh belanja masyarakat dalam periode lebaran.

    “Pertumbuhan ekonomi sebesar 5,12% dengan segala perdebatannya, menjadi sebuah indikator tren pertumbuhan ekonomi yang naik pada tahun 2025,” kata Ajib kepada Bisnis, Rabu (6/8/2025). 

    Meskipun, para ekonom memprediksi pertumbuhan ekonomi cenderung lebih rendah lagi di kuartal kedua. Konsensus pertumbuhan ekonomi kuartal kedua tahun 2025 hanya di kisaran 4,69%—4,81%. 

    Hal ini juga didukung oleh Purchasing Managers’ Index (PMI) sektor manufaktur yang mengalami konstraksi sepanjang kuartal. PMI Manufaktur Juli 2025 tercatat 49,2 atau masih di fase kontraksi. 

    Pada April 2025 PMI manufaktur tercatat sebesar 46,7. Konstraksi paling dalam sejak 4 tahun terakhir. Adapun, pada Mei 2025 mengalami peningkatan indeks menjadi 47,4, Juni 2025 kembali mengalami penurunan, menjadi sebesar 46,9. 

    “Data konstraksi PMI Manufaktur ini juga relevan dengan potret di lapangan, terjadi fenomena rombongan jarang beli (rojali) dan rombongan hanya nanya-nanya (rohana), padahal daya beli dan konsumsi ini yang menjadi penopang signifikan pertumbuhan ekonomi,” tuturnya. 

    Jika ditelisik, BPS mengebut ada dua hal yang mendorong pertumbuhan ekonomi yang cukup eskalatif di kuartal kedua 2025 ini yakni investasi dan kebijakan moneter.  

    Pertama, investasi disebut tumbuh secara signifikan sebesar 6,99% yoy atau level tertinggi selama 4 tahun terakhir, terutama karena proyek infrastruktur. 

    Adapun, kuartal kedua ini mencapai Rp477,7 triliun, dengan rasio 57,7% dari Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) dan 42,3% dari Penanaman Modal Asing (PMA).

    Faktor kedua adalah karena kebijakan moneter, yang membuat relaksasi tingkat suku bunga acuan turun 25 basis point pada Mei 2025, menjadi 5,5%.

    Ajib menilai kebijakan ini cukup menambah likuiditas di sistem perekonomian sebesar 375 triliun lewat relaksasi cadangan. 

    “Kebijakan ini diharapkan bisa berlanjut memberikan dampak positif pada kuartal ketiga, karena pada awal Juli, Bank Indonesia (BI) kembali menurunkan tingkat suku bunga acuan menjadi 5,25%,” tuturnya. 

    Masukkan Apindo

    Untuk itu, Apindo memberikan 4 masukan agar pertumbuhan ekonomi bisa terjaga sampai dengan akhir tahun untuk jangka pendek, dan sampai dengan tahun 2029 untuk jangka menengah. 

    Pertama, adalah penguatan daya beli masyarakat. Dalam hal ini, pemerintah diminta untuk mendorong penyerapan tenaga kerja. Seluruh kebijakan lembaga dan kementerian, harus mempunyai orientasi dan output dalam penyerapan tenaga kerja.

    Kedua, pemerintah harus mendorong insentif fiskal maupun moneter yang tepat sasaran, dan mendorong low cost economy. Percepatan restitusi, Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah (PPN DTP), relaksasi pajak untuk UMKM, menjadi bagian kebijakan fiskal yang pro dengan pertumbuhan. 

    “Kemudian tingkat suku bunga kredit yang murah, perlu didorong terutama untuk sektor padat karya,” imbuhnya. 

    Ketiga, pemerintah perlu mendorong regulatory streamlining, atau deregulasi. Percepatan layanan, kemudahan koordinasi, penyederhaaan perijinan, adalah bagian dari deregulasi. 

    Apindo mendukung pembentukan Kelompok Kerja (Pokja) Deregulasi dari Kemenko Perekonomian, bagian dari kolaborasi dunia usaha dan pemerintah dalam mendukung perekonomian yang lebih baik.

    Keempat, mendorong lebih banyak investasi yang masuk. Rasio investasi PMA masih rendah, dan potensi bisa ditingkatkan, dengan catatan, pemerintah harus fokus dengan upaya  mendorong ease to doing business atau kemudahan dalam berusaha. 

    “Indonesia masih di peringkat 73 dari 190 negara. Idealnya Indonesia bisa di peringkat 40. Momentum ratifikasi IEU-CEPA juga menjadi angin segar menuju free trade agreement dan membuka pintu investasi dari Uni Eropa ke Indonesia,” tuturnya. 

    Ajib menuturkan, meskipun pertumbuhan ekonomi kuartal kedua tahun 2025, menjadi sebuah paradoks dari daya beli yang sedang menurun, tetapi dengan segala diskursus yang ada, dunia usaha optimis secara agregat tahun 2025, pertumbuhan ekonomi bisa mencapai sesuai Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (PEM-PPKF) yang ditetapkan oleh pemerintah.

    Untuk itu, pemerintah diminta untuk menggandeng dunia usaha agar mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih sustain dan eskalatif ke depannya. Kolaborasi inilah yang terus didorong melalui Indonesia Incorporated.

  • Heboh Fenomena Rojali, Kemenperin: Kebanyakan Hanya Makan

    Heboh Fenomena Rojali, Kemenperin: Kebanyakan Hanya Makan

    Jakarta

    Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mengomentari fenomena ‘Rojali’ atau rombongan jarang beli yang muncul belakangan ini. Direktur Jenderal Industri Kecil, Menengah dan Aneka (IKMA) Kemenperin, Reni Yanita, menyebut kondisi ini tak lepas dari efek Pandemi COVID-19.

    Menurut Yeni, masyarakat saat ini masih terbawa euforia setelah longgarnya pembatasan dari pemerintah. Hasilnya, masyarakat lebih memilih untuk jalan-jalan atau pergi ke tempat wisata ketimbang berbelanja.

    “Waktu kemarin lebaran diharapkan kan tumbuh. Ternyata memang kita itu euforia setelah COVID, jadi yang tumbuh itu dia jalan-jalannya, wisatanya. Atau kalau ke mall bukannya belanja, itu kebanyakan hanya makan. Itu memang dua bulan terakhir seperti itu (fenomena Rojali),” kata Reni saat ditemui di Kemenperin, Jakarta, Rabu (30/7/2025).

    IKMA Kemenperin berharap kondisi ini berubah karena momentum tahun ajaran baru serta Natal dan tahun baru (Nataru). Di sisi lain, marketplace juga didorong untuk menggenjot penjualan.

    “Juli ini tahun ajaran baru kan, seragam sekolah, seragam olahraga, alas kaki, itu juga banyak. Nah nanti mungkin kita harapkan juga di akhir tahun ini, Nataru, itu juga,” sebut Reni.

    Sebelumnya, Analis Kebijakan Ekonomi Apindo Ajib Hamdani menyebut fenomena Rojali dan Rohana terjadi karena kondisi pasar Indonesia yang unik. Ia menyebut adanya lipstick index yang memperlihatkan adanya penurunan konsumsi di masyarakat.

    Namun untuk kebutuhan-kebutuhan tertentu, misalnya nonton konser atau pertandingan sepak bola, masyarakat tak segan mengeluarkan uang. Tak jarang tiket konser tetap ludes terjual meski dalam kondisi ekonomi seperti ini.

    “Tapi jangan lupa kita itu punya lipstick index. Itu artinya memang konsumsi mereka secara umum menurun, tapi kalau ada kebutuhan-kebutuhan ekstra, misalnya kalau kita nonton bola itu selalu penuh. Kalau ada konser-konser kita tiket war aja biasanya kehabisan,” sebut Ajib.

    “Nah, fenomena lipstick index adalah bagaimana masyarakat itu melakukan konsumsi untuk barang-barang ekstra tersebut, tapi barang-barang umumnya mereka justru melakukan seleksi konsumsi,” tambah dia.

    Oleh karena itu ia percaya fenomena Rojali dan Rohana akan hilang dengan sendirinya. Mereka akan berubah menjadi Robeli ketika kemampuan daya belinya menjadi naik.

    (kil/kil)

  • Pengusaha Beberkan Daerah-daerah Rawan Aksi Premanisme

    Pengusaha Beberkan Daerah-daerah Rawan Aksi Premanisme

    Jakarta

    Aksi premanisme masih menjadi persoalan serius bagi pengusaha. Menurut Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Sanny Iskandar aksi premanisme terjadi di kawasan industri.

    Menurut Sanny aksi premanisme muncul tidak lepas dari persoalan penyerapan lapangan kerja. Menurutnya jika penyerapan tenaga kerja tidak terjadi, ditambah adanya PHK, maka aksi premanisme terjadi.

    “Memang ini nggak bisa lepas dan menyangkut masalah terkait ketersediaan maupun penyerapan lapangan kerja. Di mana memang penyerapan itu tidak terjadi atau bahkan justru malah banyak PHK itu yang jadi praktik-praktik gangguan keamanan itu ada korelasinya,” ujar Sanny dalam konferensi pers APINDO di Jakarta, Selasa (29/7/2025).

    Menurutnya, premanisme banyak terjadi di berbagai industri, mulai dari ritel, tambang, transportasi, hingga manufaktur. Ia menyebut sektor manufaktur lah yang paling menderita karena premanisme.

    Meski ada penertiban oleh aparat penegak hukum, namun belum sepenuhnya berhasil. Kerap kali informasi penertiban bocor, sehingga begitu aparat turun ke lapangan maka kondisinya menjadi kondusif.

    Selain itu, aksi premanisme itu terjadi di kota atau kabupateng yang cukup banyak kawasan industri.

    “Memang begitu ada operasi rapi, dan begitu tidak ada operasi kemudian terjadi. Jadi memang kalau misalnya di kantong-kantong kegiatan industri manufaktur, tentunya ya memang di Tangerang, Banten, Bekasi, Kerawang ya, Jawa Tengah, Jawa timur Jawa Timur,” beber Sanny.

    Aksi premanisme juga terjadi di pabrik-pabrik yang berlokasi di Kepulauan Riau hingga di Subang, Jawa Barat. Kasus di Subang berkaitan dengan proyek pabrik BYD yang sempat menjadi sorotan beberapa waktu ke belakang.

    Analis Kebijakan Ekonomi APINDO Ajib Hamdani menambahkan premanisme merugikan bagi pengusaha dan negara. Ia menyebut aksi premanisme membuat ongkos produksi menjadi bertambah.

    Secara jangka panjang persoalan itu juga mempengaruhi daya saing berusaha dengan negara lain. Pasalnya, premanisme akan mengganggu terciptanya low cost economy yang diperlukan bagi dunia usaha.

    “Jadi sekali lagi yang kita dorong adalah dalam skala yang lebih besar, scoop yang lebih besar, yaitu mengurangi premanisme dalam segala bentuknya untuk mendorong low cost economy sehingga kompetitif kita, dan konteks domestik global juga bisa lebih meningkat,” tutur Ajib.

    (ily/hns)

  • Pengusaha Ramal Investasi Tekstil di Indonesia Makin Ramai Imbas Tarif Trump

    Pengusaha Ramal Investasi Tekstil di Indonesia Makin Ramai Imbas Tarif Trump

    Bisnis.com, JAKARTA — Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) memperkirakan investasi asing akan masuk ke bisnis tekstil di Tanah Air, jika tarif resiprokal yang diberikan Amerika Serikat (AS) kepada Indonesia bisa lebih kompetitif dan lebih rendah dari negara lain.

    Adapun, Presiden AS Donald Trump telah mengumumkan kesepakatan dagang tarif impor sebesar 19% kepada Indonesia dari sebelumnya di level 32%. Sebagai gantinya, ekspor produk dari Negara Paman Sam ke Indonesia akan dibebaskan dari bea masuk alias 0%.

    Secara regional, tarif impor 19% dari AS terhadap Indonesia menjadi salah satu yang terendah dibandingkan negara Asia lainnya.

    Ketua Umum Apindo Shinta W Kamdani mengatakan Indonesia memiliki peluang untuk memperbesar arus investasi seiring dengan pengenaan tarif resiprokal Trump, termasuk industri tekstil dan produk tekstil (TPT).

    “Ke depan, kita masih melihat berbagai peluang seperti contohnya kalau memang tarif resiprokal Indonesia ini lebih rendah daripada negara kompetisi di industri TPT, seperti Bangladesh, Vietnam, dan lain-lain,” kata Shinta dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa (29/7/2025).

    Menurutnya, jika pengenaan tarif resiprokal terhadap Indonesia lebih rendah, maka peluang investor asing mengalihkan investasi ke Indonesia akan meningkat.

    Bahkan, Shinta menyebut beberapa perusahaan asing dari China sudah mulai mengalihkan investasi ke Tanah Air, terutama di sektor ritel.

    “Kalau ini [tarif resiprokal Trump] memang kita bisa lebih kompetitif, tidak menutup kemungkinan kita ada juga relokasi investasi untuk industri ini, seperti China juga ada beberapa saya rasa yang mulai masuk investasi ke TPT,” ungkapnya.

    Selain itu, Shinta menambahkan bahwa tarif resiprokal yang kompetitif ini juga menjadi kesempatan investor asing menanamkan investasinya di pusat data (data center).

    “Juga data center banyak kesempatan saya rasa untuk masuk investasi di data center,” imbuhnya.

    Di samping industri TPT dan data center, Shinta menyebut investasi di sektor critical mineral seperti energi terbarukan hingga baterai kendaraan listrik akan jauh lebih melonjak.

    Namun, dia menjelaskan bahwa peluang investasi ini juga harus dibarengi dengan kepastian berusaha, kepastian hukum, hingga tak ada praktik premanisme yang mengganggu iklim investasi usaha.

    Di sisi lain, Shinta juga menyadari bahwa investasi yang masuk ke Indonesia saat ini sudah bergeser dari semula padat karya menjadi padat modal. Transisi investasi ini berimbas pada minimnya penyerapan tenaga kerja.

    “Jadi walaupun ada penciptaan lapangan pekerjaan, tapi yang sekarang masuk tentunya akan lebih sedikit dibanding sebelumnya,” tuturnya.

    Senada, Analis Kebijakan Ekonomi Apindo Ajib Hamdani memproyeksikan tarif resiprokal Trump terhadap Indonesia justru akan meningkatkan investasi atau naik 1,6% dari sebelumnya.

    Ajib juga menuturkan bahwa investasi yang bakal dikantongi Indonesia mampu mencapai Rp1.905 triliun pada akhir tahun ini, atau sesuai dengan target.

    “Tarif Trump ini justru proyeksinya akan menaikkan investasi dari baseline awal, itu potensinya menjadi tambah 1,6%. Artinya hubungannya investasi dengan tarif Trump justru berkorelasi positif dan itu yang kita harapkan bersama-sama. Bahkan, akhir tahun 2025, target investasi sampai dengan Rp1.905 triliun itu targetnya bisa achieve,” tandasnya.

  • Kesepakatan Dagang RI-AS Berisiko Kurangi Penerimaan Negara

    Kesepakatan Dagang RI-AS Berisiko Kurangi Penerimaan Negara

    JAKARTA – Analis Kebijakan Ekonomi Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Ajib Hamdani menilai, kesepakatan dagang antara Indonesia dan Amerika Serikat memiliki dampak yang berbeda bagi tiga pihak yaitu negara, sektor swasta, dan masyarakat.

    Sebagai informasi, Presiden AS Donald Trump telah mengumumkan barang-barang Indonesia yang masuk ke AS tetap dikenai tarif resiprokal dari sebelumnya 32 persen manjadi 19 persen, sementara barang-barang dari AS ke Indonesia tidak dikenal tarif.

    Ajib menyampaikan, dampak paling krusial justru dirasakan oleh negara, di mana kebijakan tarif 0 persen ini berpotensi mengurangi penerimaan negara dari sisi perpajakan dan kepabeanan.

    Padahal, lanjutnya, penerimaan negara tahun ini ditargetkan mencapai Rp3.600 triliun, dengan struktur yang sangat bergantung pada tiga komponen utama yaitu pajak, cukai, dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan saat ini tengah menghadapi tekanan.

    “Dalam konteks fiskal, bisa bayangkan target kita tahun ini itu Rp3600 triliun, APBN kita itu udah proyeksi itu Rp600 triliun utang, struktur kita penerimaan dari 3 hal utama, satu pajak, dua cukai dan tiga PNBP,” ujarnya kepada VOI, Kamis, 17 Juli.

    Dia menjelaskan, PNBP sudah ada potensi terkontraksi sebesar Rp80 triliun akibat pemisahannya ke Danantara dari sistem penerimaan negara, sementara penerimaan cukai terutama dari sektor rokok juga menunjukkan penurunan signifikan.

    Sedangkan dari sisi pajak, ia menyampaikan bahkan sebelum adanya kesepakatan dagang Indonesia dengan AS, Apindo telah memproyeksikan potensi shortfall pajak hingga Rp120 triliun dari target Rp2.180 triliun.

    “Artinya, dengan adanya kondisi seperti ini perlu dikalkulasi ulang berapa potensial short fall pajak dan berapa potensi short fall penerimaan negara,” tuturnya.

    Menurutnya jika kondisi saat ini yang tidak dimitigasi dengan strategi fiskal yang matang maka penerimaan negara akan berkurang dan pemerintah akan menghadapi dua opsi sulit di akhir tahun yaitu menambah utang dengan harus tetap dijaga di bawah 3 persen dari PDB atau memangkas belanja kementerian dan lembaga.

    Ia berharap mitigasi fiskal terhadap dampak kesepakatan ini segera dirancang sejak sekarang, agar stabilitas ekonomi dan keberlanjutan fiskal tetap terjaga hingga akhir tahun.

    “Jadi harapan kita adalah kebijakan ini diikuti oleh dimitigasi dengan kebijakan fiskal kita yang lebih bagus sejak sekarang. Jangan nanti diujung tahu tahu pengusaha dikejar kejar lagi. Makanya kenapa efeknya sekarang juga? Sekarang kalau kita lihat kan kalau sekarang kita. Jualan online itu kan kita jadi kirain pajak kan 0,5 persen,” ujarnya.

    “Nah poinnya adalah begini. Pemerintah perlu mendesain dengan lebih komprehensif bagaimana kebijakan kebijakan itu bukan tiba saat tiba pikir gitu, tapi kemudian didesain bagaimana bahkan kebijakan fiskalnya pun aman karena konteks masalah kebijakan dengan Amerika,” tambahnya.

    Ajib menyampaikan dari sudut sektor swasta, khususnya pelaku usaha yang mengekspor ke Amerika Serikat, kesepakatan ini memberikan kepastian dan stabilitas dalam proyeksi ekonomi.

    Sedangkan dari sisi masyarakat, ia menyampaikan bahwa kebijakan ini menguntungkan karena produk-produk impor dari AS akan menjadi lebih murah akibat tarif bea masuk yang kini 0 persen.

  • Sri Mulyani Klaim Koperasi Merah Putih untuk Perkuat Kelas Menengah

    Sri Mulyani Klaim Koperasi Merah Putih untuk Perkuat Kelas Menengah

    Bisnis.com, JAKARTA — Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengklaim bahwa sudah banyak program pemerintah yang menyasar kelompok kelas menengah, termasuk Koperasi Desa Merah Putih.

    Sri Mulyani tidak menampik bahwa sebanyak 9,4 juta penduduk kelas menengah telah ‘turun kasta’ ke kelompok aspiring middle class (menuju kelas menengah) selama 2019 sampai dengan 2024. Padahal, selama ini kelas menengah menjadi pendorong utama pertumbuhan konsumsi rumah tangga.

    Masalahnya, konsumsi rumah tangga merupakan komponen terbesar pembentuk produk domestik bruto (PDB) atau pertumbuhan ekonomi Indonesia. Misalnya pada 2024, distribusi konsumsi rumah tangga mencapai 54,04% terhadap pertumbuhan ekonomi.

    Oleh sebab itu, pemerintah ingin kembali memperkuat kelas menengah. Sri Mulyani pun memaparkan sejumlah program untuk kelompok kelas menengah.

    “Koperasi Merah Putih, KUR, yang tadi kita diskusikan untuk petani tebu, ini semuanya di level kelas menengah tadi,” ujarnya di rapat kerja dengan Komisi XI, Kamis (3/7/2025) malam.

    Selain itu, Sri Mulyani menjelaskan bahwa sejumlah program pemerintah seperti hilirisasi industri dan proyek infrastruktur sosial memiliki dampak langsung terhadap pekerja di sektor yang membutuhkan tingkat pendidikan lebih tinggi atau yang berada di segmen kelas menengah.

    Bendahara negara itu turut menyebut program padat karya (labor intensive), seperti perbaikan sekolah dan fasilitas rakyat, juga memberikan efek berantai pada lapangan kerja lokal terutama melalui keterlibatan kontraktor dalam negeri.

    “Kita juga mencoba untuk mendukung program-program Kementerian terkait dalam rangka mempertebal kelas menengah atau me-recover. Kalau mereka mengalami penurunan ke kelompok aspiring middle class, bisa tetap ada di kelas menengah,” tutup Sri Mulyani.

    Waswas Koperasi Merah Putih

    Adapun, program Koperasi Desa Merah Putih mendapat banyak sorotan. Anggota Komisi VI DPR Fraksi PDI Perjuangan Mufti Anam misalnya, yang meminta agar Menteri Koperasi (Menkop) Budi Arie Setiadi belajar dari pengalaman di zaman orde baru, di mana sederet KUD dan BUMDes yang mengalami kolaps hingga bangkrut.

    Untuk itu, dia meminta agar 80.000 Kopdes Merah Putih tidak bernasib sama dengan KUD dan BUMDes.

    “Bagaimana Pak Menteri [Budi Arie] bisa memastikan bahwa Koperasi Merah Putih ini bukan monster baru yang menjadi alat bancakan dari oknum-oknum di desa,” kata Mufti dalam Rapat Kerja (Raker) Komisi VI dengan Menteri Koperasi di Kompleks Senayan DPR, Jakarta, Senin (26/5/2025).

    Dia juga mewanti-wanti sederet usaha yang dijalankan Kopdes Merah Putih berpotensi merusak ekosistem yang sudah terbentuk di desa. Terlebih, KopDes Merah Putih juga akan menjalankan usaha seperti menjual sembako, penyalur LPG/BBM bersubsidi, hingga penyalur pupuk.

    Mufti pun mempertanyakan pihak yang bakal bertanggungjawab jika warung maupun toko UMKM di desa gulung tikar di tengah kehadiran Kopdes Merah Putih.

    “Jangan sampai koperasi desa yang tujuannya adalah untuk memberdayakan desa, tapi justru membunuh menjadi monster yang menggilas usaha yang ada di desa-desa,” ujarnya.

    Di samping itu, Mufti menilai Kopdes Merah Putih akan membebani bank Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) dan dana desa. Menurutnya, dengan permodalan senilai Rp3 miliar untuk setiap desa atau dengan total Rp240 triliun terhadap 80.000 Kopdes Merah Putih akan mengganggu stabilitas keuangan nasional, jika koperasi ini gagal.

    “Kalau gagal tentu NPL [non-performing loan/kredit bermasalah] perbankan akan bisa terancam, yang tentu akan mengganggu stabilitas keuangan nasional,” terangnya.

    Dia kembali mempertanyakan penggunaan dana desa sebagai jaminan jika kredit tersebut macet. Menurutnya, hal tersebut akan mengganggu infrastruktur di desa.

    “Kalau dana desa disita bank lalu, siapa yang ke depan nanti akan bangun jalan desa, siapa yang akan bangun jembatan desa, siapa yang bangun sekolah-sekolah di desa. Jangan sampai yang menjadi korban adalah rakyat, desa, perbankan BUMN,” pungkasnya.

    Senada, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menilai pola pengelolaan dan pembiayaan yang direncanakan pemerintah dalam membentuk 80.000 Kopdes/Kel Merah Putih berpotensi memiliki sederet permasalahan.

    Analis Kebijakan Ekonomi Apindo Ajib Hamdani menyebut, masalah pertama adalah dari sisi bank Himpunan Bank Milik Negara (Himbara). Ajib menjelaskan bahwa sektor perbankan adalah industri keuangan dengan regulasi yang tinggi (high regulated).

    Pasalnya, lanjut dia, seluruh aktivitas di sektor perbankan akan diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), hal ini sesuai dengan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK. Dia mengkhawatirkan syarat formal kredit berupa character, capacity, capital, collateral dan condition (5C) akan sulit dipenuhi oleh Kopdes Merah Putih.

    “Kalau program ini dibuat mandatory, bank Himbara akan kesulitan secara teknis perbankan,” ujar Ajib dalam keterangan tertulis, Senin (19/5/2025).

    Bahkan, Ajib menyebut, bank Himbara juga akan kesulitan dalam menyalurkan program kredit usaha rakyat (KUR) melalui Kopdes Merah Putih.

    “Cenderung akan terhambat kondisi para debitur di masyarakat yang sedang marak terbelit masalah pinjaman online [pinjol] dan lain-lain, yang membuat SLIK OJK juga menjadi kendala. Pemerintah harus membuat peraturan terobosan untuk mengatasi hal ini,” tuturnya.

    Potensi masalah yang kedua adalah dalam konteks keuangan negara. Dia menyebut, ketika opsi pembiayaan Kopdes Merah Putih diambil dari dana anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN), baik berasal dari dana desa maupun lainnya, maka koperasi akan berpotensi menjadi objek pemeriksaan dan audit dari Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK).

    Untuk itu, Ajib menuturkan bahwa keuangan negara harus dikelola secara transparan, akuntabel, dan efektif. Adapun, potensi masalah ketiga adalah para pengelola koperasi.

    Ajib mewanti-wanti dengan sumber daya yang ada dan literasi keuangan yang cenderung masih rendah, Kopdes Merah Putih akan menghadapi masalah yang cukup serius jika tidak bisa mengelola sesuai prinsip-prinsip dan standar pengelolaan keuangan negara.

    Dia menuturkan bahwa indikasi tentang pengelolaan yang belum profesional tercermin dari International Cooperative Alliance (ICA) pada 2023 yang menunjukkan tidak ada satu pun koperasi Indonesia masuk jajaran 300 koperasi dunia.

    Padahal, sambung dia, Indonesia adalah negara dengan jumlah koperasi terbanyak di dunia, yakni mencapai lebih dari 130.000 koperasi.

  • Apindo Ramal Shortfall Pajak Berpotensi Tembus Rp130 Triliun pada 2025

    Apindo Ramal Shortfall Pajak Berpotensi Tembus Rp130 Triliun pada 2025

    Bisnis.com, JAKARTA – Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) memperkirakan shortfall penerimaan pajak hingga akhir 2025 berpotensi mencapai Rp130 triliun. Hal ini dapat terjadi jika pemerintah tidak segera melakukan upaya ekstra untuk mengerek penerimaan negara tahun ini.

    “Penerimaan pajak sampai akhir 2025, potensi shortfall sekitar Rp130 triliun kalau tidak ada ekstra effort yang bersifat terobosan,” kata Analis Kebijakan Ekonomi Apindo Ajib Hamdani kepada Bisnis, Selasa (17/6/2025).

    Menurut Ajib, setidaknya ada tiga indikator yang mendasari proyeksi tersebut. Pertama, target penerimaan pajak 2025 yang dinilai terlalu tinggi, yakni lebih dari 13% dibanding penerimaan pajak 2024.

    Kedua, kata Ajib, penerimaan kuartal I/2025 yang jauh dari ideal. Penerimaan pajak pada kuartal I/2025 tercatat mencapai Rp322,6 triliun atau 14,7% dari target anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) sebesar Rp2.189,3 triliun.

    “Penerimaan kuartal I/2025, jauh dari ideal, hanya kisaran 14,7%, seharusnya bisa mencapai 20%,” ujarnya. 

    Indikator terakhir yakni pertumbuhan ekonomi 2025 yang sulit mencapai target awal. Sebagaimana diketahui, pada asumsi dasar ekonomi makro APBN 2025, pemerintah telah menyepakati pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 5,2%.

    Ajib menyebut, dengan target awal 5,2%, potensi pertumbuhan ekonomi dikoreksi menjadi 5%. “Dari indikator-indikator ekonomi yang ada, potensi shortfall-nya sangat besar,” ungkapnya. 

    Sebelumnya, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati melaporkan bahwa penerimaan pajak tercatat sebesar Rp683,3 triliun pada Mei 2025.

    Angka tersebut turun 10,13% secara tahunan (year-on-year/yoy) dari realisasi pajak Mei 2024 senilai Rp760,38 triliun.

    “Pajak, dalam hal ini terkumpul Rp683,3 triliun atau 31,2% dari target tahun 2025 [senilai Rp2.189,3 triliun],” ucap Sri Mulyani.

    Sementara itu, realisasi penerimaan kepabeanan dan cukai mencapai Rp122,9 triliun per Mei 2025. Angka itu setara 40,7% dari target APBN 2025 sebesar Rp301,6 triliun.

    Total penerimaan perpajakan, yang terdiri atas pajak dan bea cukai, mencapai Rp806,2 triliun per Mei 2025 atau setara 32,4% dari target APBN 2025 sebesar Rp2.490,9 triliun. Angka itu turun 7,2% dibandingkan realisasi penerimaan perpajakan per Mei 2024 sebesar Rp869,50 triliun.