Kasus Penjarahan Rumah Ahmad Sahroni Dilimpahkan ke Polda Metro Jaya
Editor
JAKARTA, KOMPAS.com
– Kasus penjarahan rumah mantan Anggota DPR RI Ahmad Sahroni kini resmi ditangani Polda Metro Jaya.
Sebelumnya, laporan awal kasus ini dibuat di Polres Metro Jakarta Utara pada Senin (1/9/2025) malam.
“Laporan di Polres dan penanganan kasusnya dilimpahkan ke Polda Metro Jaya,” kata Kasi Humas Polres Metro Jakarta Utara Ipda Maryati Jonggi saat dikonfirmasi, Selasa (2/9/2025).
Jonggi menjelaskan, sebelum laporan resmi dibuat oleh kuasa hukum Sahroni, Satuan Reserse Kriminal (Sat Reskrim) Polres Metro Jakarta Utara sudah lebih dulu melakukan penyelidikan.
Dalam proses itu, lima orang telah diperiksa terkait dugaan penjarahan tersebut.
Namun, Jonggi tidak merinci identitas kelima orang yang sudah dimintai keterangan.
Rumah milik Ahmad Sahroni di Kebon Bawang, Tanjung Priok, Jakarta Utara didatangi orang tidak dikenal pada Sabtu (30/8/2025) sore.
Orang tak dikenal itu merusak rumah, mobil dan mengambil barang-barang berharga milik Ahmad Sahroni.
Akibat kejadian ini, kaca rumah Ahmad Sahroni pecah dan forniturenya hancur.
Sementara mobil milik Ahmad Sahroni ringsek, kacanya pecah, bodinya penyok, dan bagian depan hampir hancur.
Nama Ahmad Sahroni dalam beberapa waktu terakhir menjadi sorotan publik usai pernyataannya terkait pembubaran DPR RI.
Dalam salah satu komentarnya, ia menilai desakan masyarakat untuk membubarkan DPR adalah hal keliru.
Bahkan, dalam kunjungan kerja di Polda Sumatera Utara, Jumat (22/8/2025), Sahroni menyebut pernyataan pembubaran DPR sebagai tindakan bodoh.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Tag: Ahmad Sahroni
-
/data/photo/2025/08/22/68a82a54f0ee6.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Kasus Penjarahan Rumah Ahmad Sahroni Dilimpahkan ke Polda Metro Jaya Megapolitan 2 September 2025
-
/data/photo/2025/08/19/68a449857490f.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
1 Ahmad Sahroni Laporkan Kasus Penjarahan Rumahnya ke Polisi Megapolitan
Ahmad Sahroni Laporkan Kasus Penjarahan Rumahnya ke Polisi
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Mantan Anggota DPR RI Ahmad Sahroni melaporkan kasus penjarahan rumahnya di Tanjung Priok, ke Polres Jakarta Utara, Senin (1/9/2025) malam.
“Sudah (dilaporkan),” ucap Kasi Humas Polres Metro Jakarta Utara Ipda Maryati Jonggi saat dikonfirmasi, Selasa (2/9/2025).
Laporan tersebut dibuat oleh kuasa hukum Ahmad Sahroni ke Polres Jakarta Utara.
Namun, kasus penjarahan rumah Ahmad Sahroni akan ditangani lebih lanjut oleh Polda Metro Jaya.
“Laporan di Polres dan penanganan kasusnya dilimpahkan ke Polda Metro Jaya,” ucap Jonggi.
Jonggi mengatakan, sebelum adanya laporan tersebut Satuan Reserse Kriminal (Sat Reskrim) Polres Metro Jakarta Utara sudah melakukan penyelidikan.
Bahkan, mereka sudah memeriksa lima orang terkait kasus penjarahan rumah Ahmad Sahroni. Namun, Jonggi enggan menjelaskan siapa saja lima orang yang telah diperiksa itu.
Rumah milik Ahmad Sahroni di Kebon Bawang, Tanjung Priok, Jakarta Utara didatangi orang tidak dikenal pada Sabtu (30/8/2025) sore.
Orang tak dikenal itu merusak rumah, mobil dan mengambil barang-barang berharga milik Ahmad Sahroni.
Akibat kejadian ini, kaca rumah Ahmad Sahroni pecah dan forniturenya hancur.
Sementara mobil milik Ahmad Sahroni ringsek, kacanya pecah, bodinya penyok, dan bagian depan hampir hancur.
Nama Ahmad Sahroni dalam beberapa waktu terakhir menjadi sorotan publik usai pernyataannya terkait pembubaran DPR RI.
Dalam salah satu komentarnya, ia menilai desakan masyarakat untuk membubarkan DPR adalah hal keliru.
Bahkan, dalam kunjungan kerja di Polda Sumatera Utara, Jumat (22/8/2025), Sahroni menyebut pernyataan pembubaran DPR sebagai tindakan bodoh.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -

Apa Itu Black Mamba? Benda Viral yang Jadi Sorotan Usai Penjarahan di Rumah Ahmad Sahroni
FAJAR.CO.ID — Istilah “Black Mamba” ramai menjadi perbincangan di media sosial setelah beredarnya foto sebuah benda berwarna hitam pasca penjarahan di rumah politikus Partai Nasdem, Ahmad Sahroni.
Istilah “Black Mamba” dan potongan gambar tersebar luas melalui unggahan media sosial. Benda itu disebut-sebut ditemukan di kediaman Ahmad Sahroni setelah aksi penjarahan di rumah anggota DPR RI itu pada Sabtu (30/8/2025) lalu.
Spekulasi liar pun beredar di kalangan warganet terkait penemuan benda yang disebut dengan istilah “Black Mamba” itu.
Ada yang menanggapinya dengan satire, namun tak sedikit pula yang mempercayainya seolah-olah kabar itu benar.
Situasi inilah yang membuat nama Ahmad Sahroni, mantan Wakil Ketua Komisi III DPR RI, kembali jadi bahan perbincangan hangat.
Klarifikasi: Hoaks Benda Black Mamba di Rumah Sahroni
Di tengah ramainya isu tersebut, muncul klarifikasi dari akun X (Twitter) bernama @KPHYudi.
Dalam unggahannya, ia menegaskan bahwa kabar soal penemuan benda berbentuk dildo di rumah Sahroni adalah hoaks.
“Tidak ada fakta yang mendukung kabar itu. Isu ini jelas sengaja digoreng untuk memperkeruh opini publik,” tulisnya.
Ia pun mengingatkan masyarakat agar tidak mudah percaya pada informasi yang sumbernya tidak jelas.
Apa Itu Black Mamba?
Secara umum, Black Mamba dikenal sebagai nama salah satu spesies ular paling berbahaya di Afrika.
Ular ini terkenal dengan bisa yang sangat mematikan.
Karena sifatnya yang mematikan, istilah Black Mamba kerap digunakan secara kiasan untuk menggambarkan sesuatu yang menakutkan, misterius, atau berisiko tinggi.
-

Sorotan soal Gaji Usai Anggota DPR Dinonaktifkan
Jakarta –
Anggota DPR yang dinonaktifkan karena kontroversial hingga melukai hati rakyat kini mendapat sorotan publik. Pasalnya, mereka masih menerima gaji meski berstatus nonaktif.
Adapun mereka yang dinonaktifkan itu yakni yakni Ahmad Sahroni, Nafa Urbach dari fraksi NasDem, Eko Hendro Purnomo (Eko Patrio), Surya Utama (Uya Kuya) dari fraksi PAN dan Adies Kadir dari fraksi Golkar. Apa sebenarnya makna status anggota DPR nonaktif?
Tak Terima Tunjangan Fasilitas
Ketua MKD DPR RI, Nazaruddin Dek Gam, menegaskan penonaktifan anggota DPR bermasalah penting dilakukan untuk menjaga marwah lembaga legislatif.
“Kami minta ketua umum parpol untuk menonaktifkan anggota DPR yang bermasalah. Kalau sudah dinonaktifkan, artinya mereka tidak bisa lagi beraktivitas sebagai anggota DPR,” kata Nazaruddin kepada wartawan, Minggu (31/8/2025).
Menurutnya, status nonaktif bukan sekadar simbolik. Dia mengatakan para anggota yang dinonaktifkan tak akan mendapat fasilitas lagi.
“Dengan dinonaktifkan, otomatis mereka juga tidak bisa mendapatkan fasilitas ataupun tunjangan sebagai anggota DPR RI,” ujarnya.
Nazaruddin menegaskan MKD akan terus mendorong ketua umum parpol mengambil sikap tegas demi menjaga integritas DPR.
“Kalau tidak ada langkah dari parpol, masyarakat bisa menilai DPR ini lembaga yang tidak serius menjaga kehormatannya,” tutupnya.
Masih Terima Gaji
Ketua Banggar DPR RI Said Abdullah buka suara mengenai persoalan tersebut. Said mengatakan secara teknis anggota DPR RI yang dinonaktifkan tersebut masih menerima gaji.
“Kalau dari sisi aspek itu (teknis) ya terima gaji,” kata Said di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (1/9/2025).
Namun, Said menjelaskan dalam UU MD3 dan Tata Tertib DPR RI, tak ada istilah nonaktif. Meski begitu, dia menghormati sikap PAN, NasDem dan Golkar.
“Baik tatib maupun Undang-undang MD3, memang tidak mengenal istilah nonaktif,” ujarnya.
“Namun saya menghormati keputusan yang diambil oleh NasDem, PAN, Golkar, dan seharusnya pertanyaan itu dikembalikan kepada ketiga partai tersebut, supaya moralitas saya tidak melangkahi itu, dan tidak boleh lah ya,” sambung dia.
Publik lantas menyorot anggota DPR yang masih menerima gaji meski berstatus nonaktif. Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, menilai jika penonaktifan itu hanya untuk menyembunyikan anggota DPR bermasalah untuk sementara.
“Fraksi atau partai nampak tak ingin kehilangan 5 anggota mereka hanya karena dituntut publik. Mereka hanya ‘disembunyikan’ sementara waktu sambil menunggu perkembangan selanjutnya. Kalau situasi sudah tenang beberapa waktu kemudian, kelima anggota ini akan diaktifkan lagi,” kata Lucius kepada wartawan, Selasa (2/9/2025).
Lucius menyebut pemilihan diksi menonaktifkan 5 anggota DPR nampaknya lebih untuk menunjukkan respons cepat partai politik atas banyaknya tuntutan yang muncul dari publik. Menurutnya, diksi nonaktif tak ditemukan dalam UU MD3 sebagai dasar melakukan pergantian antara waktu (PAW) anggota DPR.
“Karena itu bisa dikatakan penonaktifan 5 anggota itu bermakna bahwa kelimanya hanya tak perlu beraktivitas dalam kegiatan-kegiatan DPR untuk sementara waktu tanpa mencabut hak-hak anggota sebagaimana yang lain,” ucap Lucius.
“Anggota-anggota non aktif ini akan tetap mendapatkan hak-hak sebagai anggota walau tak perlu bekerja,” tambahnya.
Dia menyebut nonaktif dari jabatan adalah istilah untuk meliburkan anggota DPR dari kegiatan pokoknya dengan tetap mendapatkan jatah anggaran dari DPR. Atas hal itu, Lucius tak melihat ada sanksi dari partai kepada anggotanya yang dituntut publik untuk bertanggungjawab atas perkataan dan perbuatannya.
“Dengan demikian fraksi atau partai tak mengakui bahwa apa yang dituntut publik terhadap anggota-anggota itu sesuatu yang salah menurut partai atau fraksi. Putusan menonaktifkan adalah pernyataan pembelaan parpol atas kader mereka dengan sedikit upaya untuk menyenangkan publik sesaat saja,” ujarnya.
Lucius mengatakan jika partai mengakui kesalahan kadernya yang membuat publik marah, seharusnya mengambil langkah pemberhentian. Menurutnya, dengan pemberhentian maka partai memaknai penolakan publik sebagai penarikan mandat atas kader yang dianggap tidak bisa dipercaya lagi mewakili rakyat.
“Dengan pemberhentian, maka akan ada proses PAW, sekaligus memastikan kelima orang itu tidak punya tanggungjawab secara moral dan politis untuk menjadi wakil rakyat,” tegasnya.
Lihat juga Video ‘Kata Bahlil soal Anggota DPR Nonaktif Masih Terima Gaji’:
Halaman 2 dari 2
(eva/wnv)
-
/data/photo/2025/09/01/68b519ea25167.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Penonaktifan Sahroni dkk: Parpol Serius atau Setengah Hati? Nasional 2 September 2025
Penonaktifan Sahroni dkk: Parpol Serius atau Setengah Hati?
Sejak 2006 berkecimpung di dunia broadcast journalism, dari Liputan6 SCTV, ANTV dan Beritasatu TV. Terakhir menjadi produser eksekutif untuk program Indepth, NewsBuzz, Green Talk dan Fakta Data
DI PENGUJUNG
Agustus 2025, Presiden Prabowo Subianto mengundang ketua umum dari delapan partai politik yang mendukung pemerintahannya ke Istana Merdeka, Jakarta.
Bersama mereka hadir pula tiga pemimpin lembaga negara, yakni ketua DPR, DPD dan MPR. Di antara delapan ketua umum partai, cuma ketum Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera yang tidak bisa hadir karena sedang berada di luar negeri dan luar kota. Keduanya diwakili pentolan dari kedua partai tersebut.
Saya mencatat, ini adalah pertemuan terlengkap di mana pemimpin eksekutif duduk bareng dengan legislatif di Istana.
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat berasal dari delapan partai politik sehingga seluruh ketua umumnya diundang, tidak terkecuali Megawati Soekarnoputri yang belum lama ini didapuk kembali menjadi Ketua Umum PDI Perjuangan.
Kehadiran Mega di Istana bersama ketua umum dari parpol yang menyokong Prabowo adalah yang pertama, tak ayal menerbitkan analisis dan spekulasi.
Mereka berkumpul tatkala negeri kita sedang berduka akibat demonstrasi luas di sejumlah kota yang dipicu kematian pengemudi ojek online, Affan Kurniawan.
Pemuda ini ditabrak dan dilindas kendaraan taktis Brigade Mobil Polri di Pejompongan, Jakarta. Skala kemarahan rakyat mengingatkan peristiwa Mei 1998.
Kini amuk massa dan penjarahan menjangkau rumah anggota DPR serta menteri keuangan yang dianggap tidak peduli dengan nasib rakyat serta menyulut kemarahan publik–terutama di media sosial.
Dalam beberapa saat, kita pun bertanya menyangkut kesanggupan negara dalam menjamin rasa aman dan ketertiban umum.
Dengan latar belakang Indonesia yang sedang menangis itulah para pemimpin berkumpul. Presiden Prabowo tampak benar ingin selalu menjaga persatuan dengan elite partai politik serta lembaga negara.
Prabowo ingin langkah-langkahnya memulihkan keadaan disokong penuh oleh tetamunya yang hadir–entitas yang menentukan politik nasional.
Pesannya elite nasional bersatu, sudah seharusnya rakyat juga bersatu–meredakan amarah dan melanjutkan kegiatan seperti sediakala atau normal. Pendek kata “Indonesia harus reset” untuk menapaki sejarah panjang menuju adil dan makmur.
Dari sekian banyak yang dipaparkan oleh presiden, apakah hal itu dapat “menyembuhkan luka” rakyat? Ini yang kita ingin dengar dari presiden dan karena itu membetot perhatian khalayak luas.
Sekurang-kurangnya dua hal yang berkaitan dengan DPR. Pertama, ketua umum partai politik telah memberi sanksi kepada anggota DPR dari partainya yang dianggap menciderai perasaan rakyat.
Partai Nasdem menon-aktifkan Ahmad Sahroni dan Nafa Urbach. Begitu juga PAN melakukan hal yang sama kepada Eko Patrio dan Uya Kuya. Partai Golkar pun menon-aktif Adies Kadir sebagai anggota DPR per 1 September 2025.
Kedua, mencabut tunjangan rumah untuk anggota DPR serta moratorium kunjungan kerja anggota DPR ke luar negeri.
Dua hal ini memiliki tali-temali atau setidaknya berkontribusi atas mencuatnya demonstrasi 25 Agustus 2025 dan diikuti demo lanjutan hingga berkulminasi pada tragedi Pejompongan.
Kedua hal ini perlu diperjelas agar tidak multitafsir. Istilah non-aktif yang diberlakukan oleh Nasdem, PAN dan Golkar untuk menindak wakil mereka di DPR agak problematis.
Apakah itu berarti Sahroni, Nafa, Eko, Uya dan Adies dicopot dari keanggotaannya di DPR? Atau ini sekadar “dinon-aktifkan”, lalu ketika situasinya berlangsung normal mereka akan diaktifkan lagi?
Keputusan “non-aktif” itu berlaku di intern partai politik atau menyangkut lembaga DPR? Non-aktif bisa saja diterjemahkan posisi Sahroni dan lain-lain itu dikosongkan oleh partainya: Nasdem, PAN dan Golkar.
Bila sanksi kepada lima anggota DPR itu cuma sanksi internal partai, kita ragu dan khawatir kejadian di akhir Agustus 2025, bakal memberi pelajaran kepada anggota DPR dan partai politik.
Pakar pemilu Titi Anggraini menyatakan istilah non-aktif diatur dalam UU 17/2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3).
Namun, istilah itu spesifik untuk pemimpin atau anggota Mahkamah Kehormatan Dewan yang sedang diadukan. Mekanisme non-aktif bukan untuk anggota DPR secara umum, tegas pengajar di Fakultas Hukim UI ini (
Hukumonline.com
, 1/9/2024).
Lumayan tidak lumrah jika partai politik menggunakan istilah non-aktif untuk memberi sanksi anggotanya itu. Padahal keadaan negeri sedang “gelap” dan sensitif.
Jika partai politik mendengar dan terkoneksi dengan aspirasi rakyat–terutama mereka yang mau melawan terik matahari saat demonstrasi–seharusnya tiga partai politik itu melakukan Penggantian Antarwaktu (PAW).
Ini lebih jelas, tegas dan tidak setengah-setengah. Toh, intensi dan tujuan dari tiga partai politik itu adalah memberi sanksi.
Jika kita cermat, partai politik memberi “sanksi” kepada anggotanya dengan “wait and see”.
Tengok saja Ahmad Sahroni. Pada 29 Agustus 2025, ia dicopot dari posisinya sebagai wakil ketua Komisi III DPR. Ia lalu dipindah menjadi anggota Komisi I DPR. Dua hari kemudian, Nasdem menon-aktifkan Sahroni bersama Nafa Urbach.
“Dengan ini DPP Partai NasDem menyatakan terhitung sejak hari Senin, 1 September 2025, DPP Partai NasDem menonaktifkan saudara Ahmad Sahroni dan Nafa Urbach sebagai Anggota DPR RI dari Fraksi Partai NasDem,” kata Sekretaris Jenderal Partai Nasdem Hermawi Taslim, dalam keterangan resminya, Minggu (
Kompas.com
, 31/8/2025).
Lebih afdol ditempuh PAW. Ini adalah proses pergantian antarwaktu anggota DPR, DPD, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota yang berhenti antarwaktu untuk digantikan oleh pengganti antarwaktu yang diambil dari daftar calon pengganti.
Yang bisa menggantikan pun tidak sembarangan, tidak bisa suka-suka partai politik. PAW diatur mengikuti prinsip adil dan berbasis daerah pemilihan (distrik).
Kita masih ingat PAW anggota DPR dari PDI Perjuangan pernah menerbitkan skandal ketika ada uang suap ke anggota KPU tahun 2020.
Hingga kini, Harun Masiku yang diplot menggantikan anggota DPR terpilih dari dapil 1 Sumatera Selatan masih buron dan tidak sanggup ditangkap oleh KPK.
Adapun Sekjen PDI-P Hasto Kristiyanto yang terbukti terlibat dalam praktik suap ini di pengadilan Tipikor akhirnya bebas karena diberi amnesti oleh presiden.
Jika tiga partai politik tadi serius, sebaiknya mekanisme PAW diberlakukan. Ganti lima anggota DPR tadi dengan pengganti dari daerah pemilihan mereka berasal. Ini lebih representatif, lebih mewakili rakyat di dapil tersebut.
Beda halnya jika sanksi untuk lima anggota DPR sekadar “membaca arah angin”. Lebih sensitif lagi jika sanksi lewat penonaktifan itu tidak menghentikan gaji serta fasilitas yang melekat pada anggota DPR.
Alih-alih menyembuhkan “luka” rakyat, mekanisme non-aktif justru dapat memperkeruh suasana.
Pokok soal lainnya, yakni pencabutan tunjangan rumah buat anggota DPR. Dalam catatan saya, ini juga tidak terlalu maju. Ini sekadar perulangan dari pernyataan wakil ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad dan fraksi PDI Perjuangan di DPR.
Awalnya cuma berlaku sampai Oktober 2025. Lalu PDI-P menyatakan setuju untuk menghentikan, kemudian Presiden Prabowo menyatakan tunjangan itu akan dicabut oleh DPR.
Pertanyaannya dicabut mulai kapan? Lalu, apa pengganti fasilitas rumah di DPR? Apakah kembali ke rumah jabatan anggota (RJA) di Kalibata dan Ulujami, Jakarta?
Padahal RJA ini disebut telah rusak dan tidak layak huni. Publik bertanya-tanya, apakah pencabutan tunjangan rumah senilai Rp 50 juta itu tidak dikompensasi?
Jika iya, tidak dikompensasi apapun, berarti anggota DPR terutama yang berasal dari luar Jakarta harus menggunakan sebagian dari penghasilannya untuk mengontrak rumah.
Ini pesan yang baik, meskipun publik terus meraba-raba karena ketua DPR Puan Maharani tidak menjelaskan poin-poin detail atas keputusan “mencabut” tunjangan rumah untuk anggota DPR ini.
Dan inilah keunikan DPR periode ini. Komunikasi yang super penting untuk meredam spekulasi di luar, tidak dilakukan dengan baik.
Seusai demo 25 Agustus 2025, yang bicara ke publik justru Sufmi Dasco Ahmad, bukan Puan Maharani sebagai nakhoda DPR.
Saat ini adalah momentum yang baik untuk menunjukkan kepemimpinan di masa krisis. Toh Puan sebagai ketua DPR yang hadir di Istana Merdeka bersama ketua MPR, DPD dan ketua umum parpol pemilik kursi di DPR.
Di masa krisis, seorang pemimpin tidak bisa bertindak biasa-biasa saja. Pemimpin dituntut proaktif.
Kepemimpinan krisis mencakup eksplorasi skenario potensial dan pengembangan rencana komunikasi serta respons.
Namun, lebih dari itu pemimpin di masa krisis juga perlu berpikir strategis dan mengambil keputusan cepat untuk meminimalkan dampak. Hari-hari ini kita butuh pemimpin yang seperti itu.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2025/09/01/68b59f4799461.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
6 Kronologi Pengembalian Jam Tangan Mewah Ahmad Sahroni Usai Rumah Dijarah Megapolitan
Kronologi Pengembalian Jam Tangan Mewah Ahmad Sahroni Usai Rumah Dijarah
Penulis
JAKARTA, KOMPAS.com –
Jam tangan mewah bermerek Richard Mille milik anggota DPR RI nonaktif Ahmad Sahroni akhirnya dikembalikan setelah sempat diambil dalam peristiwa penjarahan di rumahnya, Kebon Bawang, Tanjung Priok, Jakarta Utara.
Jam tangan Ahmad Sahroni tersebut ditaksir bernilai miliaran rupiah.
Ketua RW 06 Kelurahan Kebon Bawang, Sugeng, mengonfirmasi bahwa pengembalian dilakukan pada Minggu (31/8/2025) sekitar pukul 17.00 WIB.
Barang tersebut diserahkan langsung oleh orangtua pelaku kepada pihak Ahmad Sahroni.
“Sudah (dikembalikan). RT-RW sebagai saksi saja. Dari orangtuanya, langsung diserahkan kepada pihak Pak Sahroni, dalam hal ini adalah Bapak Imanuddin,” ujar Sugeng saat ditemui pada Senin (1/9/2025).
Sugeng hadir sebagai saksi dalam proses serah terima. Ia menyebut telah dibuat dokumen resmi berupa surat penyerahan yang ditandatangani pihak terkait.
“Saya juga kan tanda tangan di sini (di surat penyerahan) sebagai saksi. Ada surat penyerahannya juga ada,” jelasnya.
Menurut Sugeng, proses pengembalian berawal dari laporan orangtua pelaku yang datang kepadanya.
Dari situ, ia kemudian menghubungi pihak Ahmad Sahroni melalui perwakilannya.
“Dalam hal ini adalah si ibu (orangtua yang mengambil jam) melapor kepada saya, lalu saya menghubungkan ke Bapak Immanudin,” kata Sugeng.
Pelaku yang mengambil jam tangan tersebut diketahui merupakan warga Kebon Bawang, Jakarta Utara.
Sugeng menjelaskan, setelah menerima laporan, ia berkoordinasi dengan pihak RT dan membawa orangtua pelaku ke kantor kelurahan untuk memfasilitasi penyerahan barang.
Sugeng menegaskan, dirinya hanya menyaksikan pengembalian jam tangan Richard Mille, sedangkan barang-barang lain milik Ahmad Sahroni yang disebut ikut diambil saat penjarahan tidak diketahuinya.
“Selain jam tangan, saya enggak tahu. Apa aja mungkin ada timnya ke sana, gitu. Yang saya saksikan (hanya jam tangan), kalau yang lain mungkin ada, cuman saya enggak menyaksikan,” tuturnya.
Peristiwa penjarahan terjadi pada Sabtu (30/8/2025) sore, saat rumah Ahmad Sahroni didatangi sejumlah orang tidak dikenal.
Mereka merusak rumah, mobil, serta mengambil barang-barang berharga.
Akibat kejadian itu, kaca rumah Sahroni pecah, furnitur hancur, serta mobilnya mengalami kerusakan parah dengan kaca pecah, bodi penyok, hingga bagian depan nyaris hancur.
Nama Ahmad Sahroni dalam beberapa pekan terakhir memang tengah menjadi sorotan publik. Ia menuai kritik setelah pernyataannya mengenai kenaikan tunjangan DPR RI.
Dalam komentarnya, Sahroni menilai desakan masyarakat untuk membubarkan DPR adalah keliru.
Bahkan saat kunjungan kerja di Polda Sumatera Utara pada Jumat (22/8/2025), ia menyebut wacana pembubaran DPR sebagai “tindakan bodoh”.
Pernyataan tersebut memicu reaksi keras di masyarakat dan meningkatkan eskalasi ketidakpuasan publik terhadap dirinya.
Disclaimer: Pemberitaan ini untuk kepentingan informasi publik agar hak masyarakat untuk tahu tetap terjaga.
Redaksi menolak kekerasan/perusakan/pembakaran/penjarahan, karena bangsa ini hanya akan kuat jika kita setia melindungi sesama, merawat fasilitas umum, dan menjaga dunia usaha tetap berjalan agar ekonomi tak makin terpuruk.
Tetap tenang, jangan terprovokasi, jadikan negeri ini rumah aman buat kita semua, dan utamakan sumber informasi yang kredibel.
(Reporter: Hafizh Wahyu Darmawan, Editor: Akhdi Martin Pratama)
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -

Jam Tangan Ahmad Sahroni Dikembalikan, Warga: Bukan Hak Kita
Bisnis.com, JAKARTA – Jam tangan mewah milik anggota DPR RI nonaktif Ahmad Sahroni yang dijarah akhirnya dikembalikan secara sukarela oleh warga.
Jam tangan yang diduga bermerek Richard Mille edisi terbatas, model RM 40-01 McLaren Speedtail, dengan nilai estimasi mencapai Rp11,7 miliar, menjadi salah satu barang yang dikembalikan. Sebelumnya, rumah crazy rich Tanjung Priok ini dijarah yang didalamnya berisi banyak barang-barang mewah, mulai dari mobil-mobil mewah, tas dan jam tangan bermerek, kolam renang, hingga koleksi mainan.
Berdasarkan video yang beredar di media sosial, pengembalian dilakukan oleh seorang ibu yang mewakili anaknya, didampingi oleh Ketua RT dan RW setempat di Kelurahan Kebon Bawang, Tanjung Priok, Jakarta Utara.
“Saya sudah bilang sama dia, Kak, ini jam bukan hak kita. Bapaknya juga udah ngomong, kita pulangkan ya,” ujar sang ibu dalam video tersebut.
Ibu dari bocah berusia 14 tahun ini juga sempat berseloroh mengenai cara menggunakan jam mewah tersebut.“Saya pegangin saja. Namanya kita orang susah ya, Pak,” ujar sang ibu.
Peristiwa pengembalian barang berharga ini menjadi sorotan dan telah viral di berbagai platform media sosial.
Sebelumnya, sejumlah rumah pejabat mulai dijarah oleh orang tidak dikenal setelah peristiwa aksi unjuk rasa terkait tunjangan DPR dan demo pengemudi ojol yang dilindas mobil Brimob.
Tercatat, rumah anggota DPR RI nonaktif Ahmad Sahroni di Jakarta Utara mulai dijarah massa anarkis dan OTK pada Sabtu (30/8/2025). Kemudian, rumah Uya Kuya, Eko Patrio hingga Menteri Keuangan Sri Mulyani turut menjadi target penjarahan orang tidak dikenal.
-

Masuk Kategori Tindak Pidana, Para Pelaku Penjarahan Terancam Hukuman Berat
Jakarta: Aksi unjuk rasa yang awalnya berlangsung damai berubah menjadi ricuh dan anarkis, bahkan berujung pada penjarahan sejumlah rumah anggota DPR di Jakarta, Sabtu, 30 Agustus 2025.
Kediaman anggota DPR RI seperti Ahmad Sahroni, Uya Kuya, Eko Patrio hingga Nafa Urbach dijarah oleh massa. Tak cukup itu saja, rumah Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani juga ikut dijarah massa.
Seperti yang ramai di media sosial, ratusan massa mendatangi rumah para pejabat DPR. Massa tersebut merusak properti hingga menjarah barang-barang pribadi di rumah Ahmad Sahroni, Uya Kuya, dan Eko Patrio.
Penjarahan masuk kategori tindak pidana
Meskipun istilah ‘penjarahan’ tidak diatur secara khusus dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), namun tindakan ini termasuk dalam kategori pencurian sehingga masuk dalam kategori tindak pidana..
Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), pelaku penjarahan dapat dijerat dengan pasal pencurian dengan kekerasan dan/atau perusakan fasilitas umum.
Hal ini tertuang dalam KUHP Pasal 363 ayat (1) ke-2 tentang pencurian dengan pemberatan dengan hukuman maksimal 7 tahun penjara beserta denda.
Aksi penjarahan, meski kerap terjadi saat krisis, tetap tidak dapat dibenarkan secara hukum. Sehingga siapapun yang terlibat dan terbukti terlibat dalam tindak penjarahan harus menghadapi konsekuensi hukum.
Jakarta: Aksi unjuk rasa yang awalnya berlangsung damai berubah menjadi ricuh dan anarkis, bahkan berujung pada penjarahan sejumlah rumah anggota DPR di Jakarta, Sabtu, 30 Agustus 2025.
Kediaman anggota DPR RI seperti Ahmad Sahroni, Uya Kuya, Eko Patrio hingga Nafa Urbach dijarah oleh massa. Tak cukup itu saja, rumah Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani juga ikut dijarah massa.
Seperti yang ramai di media sosial, ratusan massa mendatangi rumah para pejabat DPR. Massa tersebut merusak properti hingga menjarah barang-barang pribadi di rumah Ahmad Sahroni, Uya Kuya, dan Eko Patrio.
Penjarahan masuk kategori tindak pidana
Meskipun istilah ‘penjarahan’ tidak diatur secara khusus dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), namun tindakan ini termasuk dalam kategori pencurian sehingga masuk dalam kategori tindak pidana..
Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), pelaku penjarahan dapat dijerat dengan pasal pencurian dengan kekerasan dan/atau perusakan fasilitas umum.
Hal ini tertuang dalam KUHP Pasal 363 ayat (1) ke-2 tentang pencurian dengan pemberatan dengan hukuman maksimal 7 tahun penjara beserta denda.
Aksi penjarahan, meski kerap terjadi saat krisis, tetap tidak dapat dibenarkan secara hukum. Sehingga siapapun yang terlibat dan terbukti terlibat dalam tindak penjarahan harus menghadapi konsekuensi hukum.
Cek Berita dan Artikel yang lain diGoogle News
(PRI)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5330738/original/086256700_1756366668-WhatsApp_Image_2025-08-28_at_14.26.10.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
