Tag: Ahmad Doli Kurnia

  • Komisi II DPR Minta Dukungan dari Pendapatan Negara, Bukan Bantuan Tidak Jelas

    Komisi II DPR Minta Dukungan dari Pendapatan Negara, Bukan Bantuan Tidak Jelas

    Bisnis.com, JAKARTA – Anggota Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia menekankan pentingnya pejabat negara, termasuk anggota DPR, memperoleh dukungan resmi dari negara terkait pendapatan.

    Dia menilai bahwa langkah dan kebijakan tersebut lebih tepat ketimbang adanya bantuan tidak resmi yang sulit dipertanggungjawabkan.

    “Misalnya pejabat-pejabat negara ini mendapatkan bantuan-bantuan yang katakanlah tidak resmi gitu ya, kan lebih baik jelas-jelas didukung oleh negara selama itu bisa dipertanggungjawabkan,” kata Doli di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Rabu (27/8/2025).

    Doli menambahkan, DPR tidak menutup diri dari kritik publik, termasuk soal pendapatan negara yang dialokasikan untuk anggota dewan.

    Namun, dia menegaskan tujuan utama pemerintah adalah memastikan kesejahteraan seluruh lapisan masyarakat.

    “Nah untuk bekerja menuju ke sana, juga kan sebetulnya aparat-aparat negara ini juga harus didukung termasuk dengan dukungan-dukungan untuk bagaimana mereka bekerja dengan baik. Makanya perintah Pak Prabowo ini kan menaikkan gaji hakim, menaikkan gaji guru gitu loh,” ujarnya.

    Lebih lanjut, dia juga menegaskan bahwa pejabat negara, termasuk DPR, bekerja sesuai aturan yang berlaku.

    Doli membantah anggapan bahwa DPR secara sepihak meminta tambahan gaji atau tunjangan.

    “Saya kira begini, kami ini kan terutama anggota-anggota DPR ya, kami kan bekerja sesuai dengan peraturan perundang-undangan gitu ya. Kita gak pernah apalagi kami yang anggota kan tidak pernah bicara tentang atau minta-minta supaya tunjangan ditambah, gaji naik dan segala macam,” imbuhnya.

    Menanggapi polemik tunjangan perumahan yang belakangan menjadi sorotan dalam aksi demonstrasi, Doli menjelaskan bahwa fasilitas itu merupakan kompensasi atas rumah dinas DPR yang telah dikembalikan ke Sekretariat Negara.

    Dia menilai kebijakan tersebut terutama penting bagi anggota baru yang berasal dari daerah.

    “Itu kan kemarin kompensasi dari rumah dinas yang selama ini diberikan kepada anggota DPR sekian puluh itu, itu kan sekarang dikembalikan ke setneg, maka terutama buat teman-teman yang baru jadi anggota DPR datang dari daerah nah itu penting,” tandas Doli.

  • Potensi Rp400 Triliun, Golkar: Zakat-Wakaf Bisa Genjot Penerimaan Negara

    Potensi Rp400 Triliun, Golkar: Zakat-Wakaf Bisa Genjot Penerimaan Negara

    Bisnis.com, JAKARTA – Wakil Ketua Umum Partai Golongan Karya (Golkar) Ahmad Doli Kurnia, menegaskan komitmen partainya dalam mendukung upaya pemerintah meningkatkan penerimaan negara.

    Menurutnya, Golkar memiliki sejumlah konsep alternatif yang dapat memperkuat struktur pendapatan negara di luar ketergantungan pada sumber daya alam (SDA).

    “Tentu kita ingin mendorong supaya penerimaan negara bisa terus ditingkatkan. Sebetulnya Golkar juga punya konsep, walaupun tadi belum sempat didiskusikan dengan Presiden Prabowo,” kata Doli di Kompleks Istana Kepresidenan, Rabu (27/8/2025).

    Salah satu konsep yang dimaksud adalah pemanfaatan potensi zakat dan wakaf. Doli menilai, sebagai negara dengan mayoritas penduduk muslim, Indonesia memiliki peluang besar untuk menjadikan zakat dan wakaf sebagai sumber penerimaan tambahan negara.

    “Kalau dioptimalkan, penerimaan zakat dan wakaf itu bisa mencapai potensi Rp300 triliun sampai Rp400 triliun. Itu teman-teman Golkar sudah pernah lakukan kajian. Selama itu optimal, dikelola dengan baik, dan tidak ada kebocoran, hasilnya bisa signifikan,” jelasnya.

    Selain itu, Doli juga menyoroti kontribusi pekerja migran Indonesia (PMI) yang selama ini menjadi penyumbang devisa terbesar kedua setelah sektor migas. Ia menyambut positif rencana Presiden Prabowo membentuk kementerian khusus untuk perlindungan pekerja migran.

    “Kami berkeyakinan, pembentukan kementerian khusus pekerja migran itu bukan hanya untuk melindungi mereka di luar negeri, tapi juga untuk mengoptimalkan penerimaan devisa negara. Dengan begitu, program pembangunan pro-rakyat bisa dikerjakan secara maksimal melalui pendapatan negara yang juga maksimal,” tegasnya.

  • Bebas Bersyarat, Setya Novanto Dipastikan Masih Kader Golkar

    Bebas Bersyarat, Setya Novanto Dipastikan Masih Kader Golkar

    Bisnis.com, JAKARTA — Wakil Ketua Umum Partai Golkar Ahmad Doli Kurnia Tandjung menegaskan bahwa mantan Ketua Umum Golkar Setya Novanto, hingga kini masih tercatat sebagai kader partai. 

    Dia menepis anggapan bahwa Setnov sudah keluar atau dikeluarkan dari tubuh partai berlogo pohon beringin tersebut.

    “Pak Novanto itu tidak pernah menyatakan keluar dari Partai Golkar dan Golkar juga tidak pernah memberikan sanksi atau mengeluarkan beliau. Jadi beliau masih kader Golkar,” katanya usai menghadiri undangan Presiden Prabowo Subianto di Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (27/8/2025).

    Terkait kemungkinan Setya Novanto kembali masuk dalam kepengurusan Dewan Pimpinan Pusat (DPP), Doli menilai hal itu terbuka selama ada kebutuhan dari partai dan kesediaan dari yang bersangkutan. Namun, dia menekankan faktor generasi dan kultur organisasi akan berpengaruh.

    “Pak Novanto sudah pernah sampai di puncak kepemimpinan sebagai ketua umum. Sekarang generasi yang memimpin, seperti Pak Bahlil, kan satu atau dua generasi di bawahnya. Jadi mungkin kalaupun beliau bersedia, posisinya bukan di eksekutif. Lebih cocok di dewan-dewan, karena beliau senior,” ujarnya

    Doli juga menjelaskan bahwa komunikasi personal dengan Setya Novanto maupun tokoh-tokoh senior Golkar lainnya tetap berjalan, meski belum ada pertemuan resmi dengan DPP.

    “Kalau komunikasi pribadi-pribadi ya ada. Tapi kalau resmi DPP bertemu, belum ada. Sama saja seperti dengan Pak Ical, Pak Akbar, atau yang lain, kadang ada diskusi, silaturahmi, itu wajar. Komunikasi tidak pernah terputus,” katanya.

    Dia menegaskan, mekanisme penyusunan kepengurusan selalu bermula dari forum Musyawarah Nasional (Munas), bukan dari penunjukan personal di luar mekanisme organisasi.

    “Kenapa pertanyaannya harus ke Pak Novanto? Kenapa enggak ke Pak JK, misalnya? Penyusunan pengurus itu dimulai dari Munas, semua diakomodir sesuai kesediaan. Di tengah jalan, urgensinya apa kalau kita datang ke satu orang lalu menawari jadi pengurus? Mekanismenya jelas, tidak seperti itu,” jelasnya.

    Menurut Doli, Golkar selalu menempatkan para mantan ketua umum dan tokoh senior pada posisi terhormat sebagai panutan.

    “Pak Novanto kami tempatkan sama dengan Pak Jusuf Kalla, Pak Akbar Tandjung, Pak Airlangga, Pak Aburizal Bakrie. Semua kami hormati dan kami minta bimbingan serta nasihatnya. Pandangan dari mereka penting bagi Golkar,” pungkas Doli.

  • Politik kemarin, RUU Haji dan Setnov masih kader Golkar

    Politik kemarin, RUU Haji dan Setnov masih kader Golkar

    Jakarta (ANTARA) – Beberapa peristiwa politik kemarin (19/8) menjadi sorotan, di antaranya perkembangan DPR RI menggelar rapat pimpinan setelah menerima DIM RUU Haji dari pemerintah, dan petinggi Partai Golkar menyebut Setya Novanto masih merupakan kader partai Golkar.

    Berikut lima berita pilihan ANTARA yang dapat kembali dibaca:

    1. DPR gelar rapim usai terima DIM RUU Haji dan Umrah dari pemerintah

    Wakil Ketua DPR RI Adies Kadir mengatakan pihaknya akan menggelar Rapat Pimpinan (Rapim) DPR RI setelah menerima Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umroh dari pemerintah.

    “Baru masuk DIM-nya, kita baru rapim kalau nggak nanti sore besok siang,” kata Adies usai memimpin rapat paripurna di kompleks parlemen, Jakarta, Selasa.

    Selengkapnya baca di sini.

    2. DPR gelar rapat paripurna bahas RAPBN 2026 usai masa sidang dibuka

    DPR RI menggelar rapat paripurna untuk membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun Anggaran 2026, setelah tahun sidang 2025-2026 dibuka.

    Wakil Ketua DPR RI Adies Kadir mengatakan bahwa pada permulaan rapat paripurna itu ada sebanyak 307 anggota yang hadir dari total 580 anggota DPR RI yang berasal dari seluruh fraksi.

    Selengkapnya baca di sini.

    3. Waketum Golkar: Setya Novanto masih berstatus sebagai kader partai

    Wakil Ketua Umum Partai Golkar Ahmad Doli Kurnia menyatakan bahwa terpidana kasus korupsi yang juga bekas ketua DPR RI Setya Novanto (Setnov) masih berstatus sebagai kader Partai Golkar.

    “Jadi per hari ini, Setya Novanto itu adalah masih kader Partai Golkar, jadi menjadi bagian dari keluarga besar Partai Golkar,” kata Doli di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa.

    Selengkapnya baca di sini.

    4. Wamendagri: DOB Papua ditargetkan operasional pada 2028

    Wakil Menteri Dalam Negeri (Wamendagri) Ribka Haluk mengatakan pembangunan Daerah Otonom Baru (DOB) Papua ditargetkan untuk rampung dan bisa langsung beroperasi pada 2028.

    Hal tersebut disampaikan Ribka saat menghadiri Rapat Pembahasan Monitoring dan Evaluasi Pelaksanaan Pembangunan DOB Papua di Kantor Kementerian Pekerjaan Umum (PU), Jakarta, Selasa.

    Selengkapnya baca di sini.

    5. DPD RI setujui pimpinan Alat Kelengkapan Tahun Sidang 2025-2026

    Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI menyetujui pimpinan Alat Kelengkapan (Alkel) DPD RI untuk Tahun Sidang 2025-2026 di Gedung Nusantara V, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa.

    Sebelumnya, rapat pemilihan alat kelengkapan DPD RI dilakukan di rapat pleno masing-masing alat kelengkapan dengan mendasarkan pada keterwakilan subwilayah keanggotaan DPD RI.

    Selengkapnya baca di sini.

    Pewarta: Genta Tenri Mawangi
    Editor: Didik Kusbiantoro
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Hasil quick count pasangan MAR-YO unggul di PSU Pilkada Gubernur Papua  

    Hasil quick count pasangan MAR-YO unggul di PSU Pilkada Gubernur Papua  

    Sumber foto: Istimewa/elshinta.com.

    Hasil quick count pasangan MAR-YO unggul di PSU Pilkada Gubernur Papua  
    Dalam Negeri   
    Editor: Sigit Kurniawan   
    Kamis, 07 Agustus 2025 – 14:35 WIB

    Elshinta.com – Pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur Papua, Mathius Derek Fakhiri-Aryoko Rumaropen (MDF-AR) sementara unggul dalam PSU Pilkada Gubernur Papua 2024. 

    Dalam siaran persnya kepada awak media di Jayapura mengatakan berdasarkan hasil hitungan cepat exit poll, indikator dan Quick Count yang sudah dikerjakan oleh tim MAR-YO unggul sementara 52,52 persen dari paslon BTM-CK 48,8 persen.

    “Pada hari ini kami Tim MAR-YO ingin mengumumkan hasil Quick Count kita unggul perolehan suara sementara 52,52 persen yang tersebar pada 9 kabupaten/kota di Papua,” kata Plt Ketua DPD Partai Golkar Papua, Ahmad Doli Kurnia Tanjung, Rabu (6/8/2025). 

    Ia mengatakan, dari 9 kabupaten/kota suara MAR-YO unggul di 6 kabupaten/kota yaitu Kota Jayapura 54,76 persen, Kabupaten Jayapura 50,57 persen, Keerom 56,00 persen, Kepulauan Yapen 56,43 persen, Biak Numfor 50.02 persen dan Kabupaten Supriori 50,19 persen. 

    Menurut dia, data tersebut didapatkan dari data 90 persen yang masuk melalui data Quick Count dan masih ada sekitar 10 persen lagi yang akan masuk perolehan suara.

    “Kami juga dari Tim MAR-YO nomor 02 terus melakukan update data perolehan suara PSU di setiap TPS. Kita tim bekerja terus di masing-masing TPS dalam menyelesaikan rekapitulasi,” katanya seperti dilaporkan Kontributor Elshinta, Aman Hasibuan, Kamis (7/8).

    Ahmad Doli menyampaikan, terima kasih kepada masyarakat yang sudah memilih hari ini dalam menentukan pemimpin masa depan Papua.

    Sumber : Radio Elshinta

  • KPU siapkan materi pembahasan RUU Pemilu dengan DPR

    KPU siapkan materi pembahasan RUU Pemilu dengan DPR

    definisi pemilih antara Pilkada dan Pemilu berbeda, kemudian penamaannya juga berbeda. Menurutnya hal tersebut berpotensi membingungkan masyarakat

    Jakarta (ANTARA) – Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Betty Epsilon Idroos mengatakan pihaknya kini sedang menyusun materi soal revisi Undang-Undang (RUU) Pemilu untuk dibahas dengan DPR RI.

    “Dari sisi internal KPU, kami sedang menyusun brief policy terkait dengan dari sisi penyelenggara. Kira-kira apa yang menjadi pengalaman untuk dapat kita sampaikan menjadi perbaikan,” katanya di Jakarta, Rabu.

    Betty. selaku komisioner KPU yang membidangi data dan informasi, mengatakan dirinya sedang menyusun draf soal data pemilih untuk dibahas dengan DPR.

    Dia menerangkan dalam revisi tersebut definisi pemilih antara Pilkada dan Pemilu berbeda, kemudian penamaannya juga berbeda. Menurutnya hal tersebut berpotensi membingungkan masyarakat.

    “Jadi menurut saya itu akan membingungkan masyarakat. Dari satu sisi kita baru pemilu sistemnya DPT (Daftar Pemilih Tetap), DPTb (Daftar Pemilih Tambahan) dan DPK (Daftar Pemilih Khusus), tapi di sini pemilih pindahan dan pemilih tambahan. Jadi dua hal yang berbeda dari sisi pendataan pemilih,” ujarnya.

    Hal lainnya yang juga akan dibahas dengan DPR adalah soal penggunaan sistem informasi dalam berbagai aspek kepemiluan.

    “Sistem informasi yang kita gunakan ini dipakemkan, apakah jadi alat bantu atau dia jadi alat utama. Alat utama dalam penentu hasil Sirekap (Sistem Informasi Rekapitulasi) atau Silon (Sistem Informasi Pencalonan), Sipol (Sistem Informasi Partai Politik),” kata Betty.

    Sebelumnya, Wakil Menteri Dalam Negeri (Wamendagri) Bima Arya Sugiarto mengatakan bahwa Pemerintah sudah mulai menyusun draf RUU tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) yang disebut akan menjadi paket UU Politik.

    Saat ini, kata dia, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) juga sudah memiliki kajian tersendiri mengenai RUU tersebut. Selain itu, Kementerian Dalam Negeri juga perlu berkoordinasi lintas kementerian, mulai dari Kementerian Koordinator Bidang Politik dan Keamanan, hingga Kementerian Hukum.

    Terpisah, Wakil Ketua Badan Legislasi DPR RI Ahmad Doli Kurnia mengatakan bahwa Pemerintah akan mengirimkan perwakilannya untuk membahas RUU tersebut. Biasanya perwakilan pemerintah yang akan dikirim untuk membahas RUU tersebut di DPR RI adalah Menteri Hukum, Menteri Dalam Negeri hingga Menteri Sekretaris Negara.

    “Kalau misalnya nanti kesepakatannya dibahas di Pansus DPR, ya berarti nanti Pansus bersama dengan wakil pemerintah,” kata Doli.

    Ia menilai penyusunan draf revisi atau Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pemilu, yang juga dilakukan oleh Pemerintah, akan memperkaya pembahasan RUU tersebut.

    Doli Kurnia menjelaskan bahwa sebuah RUU tidak hanya akan dibahas oleh DPR, tetapi juga melibatkan Pemerintah. Jika Pemerintah sudah menyusun draf, artinya keduanya sudah siap untuk membahas RUU Pemilu jika nantinya sudah digulirkan.

    “Bagus-bagus saja. Jadi, artinya nanti begitu semua sepakat mulai membahas, ya semuanya sudah punya bahan,” ujarnya.

    Pewarta: Fianda Sjofjan Rassat
    Editor: Edy M Yakub
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • K3 MPR usul Hari Berperilaku Pancasila ditetapkan BPIP

    K3 MPR usul Hari Berperilaku Pancasila ditetapkan BPIP

    Jakarta (ANTARA) – Wakil Ketua Ketua Komisi Kajian Ketatanegaraan (K3) MPR RI Dossy Iskandar Prasetyo mengusulkan adanya Hari Berperilaku Pancasila yang ditetapkan oleh Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP).

    “Kekhususan yang perlu menurut saya adalah, saya tidak tahu bagaimana memformulasikan, kira-kira perlu Hari Berperilaku Pancasila. Maksudnya hari bukan peringatan ya. Bukan. Ada satu hari, ada praktek ber-Pancasila,” kata Dossy di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu.

    Hal itu disampaikan dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) Badan Legislasi (Baleg) DPR RI dengan sejumlah narasumber tentang penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang BPIP.

    Dia pun menyerahkan kepada BPIP untuk memformulasikan praktik Hari Berperilaku Pancasila guna diterapkan oleh masyarakat.

    Dossy menyampaikan usulan tersebut ketika memaparkan sifat epistemik yang harus digelorakan oleh BPIP dalam memformulasikan model pembinaan Pancasila kepada masyarakat.

    “Yang terserap di satuan pendidikan, di organisasi pemasyarakatan, atau bahkan sebelum pemerintah mengambil kebijakan, itu ada sifat epistemik yang dihadirkan, digelorakan oleh BPIB. Apa itu? Pengetahuan dalam tindakan,” tuturnya.

    Dia lantas melanjutkan, “Jadi sebelum bertindak, sudah memperoleh pengetahuan yang utuh ketika akan memutuskan mengambil tindakan.”

    RDPU tersebut turut dihadiri pula oleh sejumlah narasumber di antaranya, Wakil Kepala BPIP Rima Agristina, Ketua Pusat Studi Pancasila Universitas Gadjah Mada (UGM) Agus Wahyudi, Guru besar filsafat moral Franz Magnis Suseno, hingga Mantan Asisten Teritorial Kepala Staf Angkatan Darat (Aster Kasad) Mayjen TNI (Purn) Saurip Kadi.

    Sebelumnya, Rabu (25/6), Wakil Ketua Badan Legislasi DPR RI Ahmad Doli Kurnia mengatakan bahwa pihaknya sepakat memasukkan RUU BPIP untuk disusun di masa sidang ini.

    Dia mengatakan bahwa saat ini alas hukum pembentukan BPIP belum cukup kuat karena hanya berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres), padahal keberadaan lembaga yang mengurus ideologi Pancasila harus diperkuat.

    “Dulu kan proses pembentukannya mulai dari UKP (Unit Kerja Presiden) berdasarkan Perpres gitu ya, nah terus kemudian ada Keppres, kemudian dibentuk lah badan,” kata Doli di kompleks parlemen, Jakarta.

    Pewarta: Melalusa Susthira Khalida
    Editor: Budi Suyanto
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Pakar: RUU BPIP penting untuk implementasikan poin pertama Astacita

    Pakar: RUU BPIP penting untuk implementasikan poin pertama Astacita

    Jakarta (ANTARA) – Pakar hukum tata negara Jimly Asshiddiqie mendukung Rancangan Undang-Undang tentang Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (RUU BPIP) untuk menjadi undang-undang yang dinilainya penting guna mengimplementasikan poin pertama dalam misi Astacita pemerintahan Prabowo-Gibran.

    Adapun poin pertama Astacita berbunyi, “Memperkokoh ideologi Pancasila, demokrasi, dan hak asasi manusia (HAM)”.

    “(Pancasila) Ini masuk Astacita yang pertama. Nah, karena yang pertama maka menjadi prioritas mutlak dan utama bagi pemerintahan ini untuk mendapat dukungan kelembagaan untuk menjalankan misi-misi Astacita yang pertama. Jadi dengan kata lain saudara-saudara ini undang-undang yang sangat penting dan mendesak,” kata Jimly.

    Hal itu disampaikannya dalam rapat dengar pendapat umum Badan Legislasi (Baleg) DPR RI tentang penyusunan RUU BPIP dengan sejumlah pakar di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu.

    Dia juga memandang penting kehadiran RUU BPIP sebab tak ada lagi lembaga yang memiliki peran dalam mengurus ideologi berbangsa dan bernegara selain BPIP.

    “Maka badan yang mengurus ini, saking pentingnya harus diatur dengan benar, seperti kejaksaan harus ada undang-undang sendiri, HAM harus ada undang-undang sendiri, badan ini juga harus diatur sendiri. Itu intinya,” katanya.

    Menurut dia, kelembagaan BPIP tidak cukup hanya didasarkan pada Peraturan Presiden (Perpres) sebagai landasan hukum sehingga perlu diatur sendiri dalam sebuah undang-undang.

    “Sungguh-sungguh ini lembaga penting sekali makanya memang harus dengan undang-undang. Kalau dulu dengan Keppres (Keputusan Presiden), enggak bisa. Enggak didengar orang. Perpres, enggak bisa. Harus dengan undang-undang. Idealnya undang-undang dasar, tapi tidak semua harus dengan undang-undang dasar,” tuturnya.

    Dia pun menekankan agar RUU tersebut nantinya harus dapat menguatkan tugas dan fungsi BPIP dalam memainkan peran substansi untuk mewujudkan ideologi Pancasila dalam semua aspek kehidupan.

    “Dan juga mempermudah dari pemerintahan sekarang mewujudkan Astacitanya, yang pertama itu,” ucapnya.

    Meski demikian, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu mengingatkan agar BPIP tidak dibebankan dengan banyak tugas dan fungsi yang bersifat prosedural dalam RUU tersebut.

    Sebaliknya, dia memandang setidaknya ada empat fungsi penting BPIP yang perlu diakomodasi dalam RUU tersebut, yakni (1) fungsi penjabaran nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara; (2) koordinasi edukasi dan pembinaan; (3) pengarahan dan rekomendasi.

    “Saya ingin usulkan satu lagi, (4) fungsi pengawasan dan pengujian kebijakan,” kata Jimly.

    Diketahui, RUU BPIP telah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas Tahun 2025.

    Sebelumnya, pada Rabu (25/6), Wakil Ketua Badan Legislasi DPR RI Ahmad Doli Kurnia mengatakan pihaknya sepakat memasukkan RUU BPIP untuk disusun dalam masa sidang ini.

    Dia mengatakan saat ini alas hukum pembentukan BPIP belum cukup kuat karena hanya berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres), padahal keberadaan lembaga yang mengurus ideologi Pancasila harus diperkuat.

    “Dulu kan proses pembentukannya mulai dari UKP (Unit Kerja Presiden) berdasarkan Perpres gitu ya, nah terus kemudian ada Keppres, kemudian dibentuk lah badan,” kata Doli di kompleks parlemen, Jakarta.

    Pewarta: Melalusa Susthira Khalida
    Editor: Laode Masrafi
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Putusan MK Pisahkan Pemilu Nasional-Daerah Picu Revisi Banyak UU

    Putusan MK Pisahkan Pemilu Nasional-Daerah Picu Revisi Banyak UU

    Putusan MK Pisahkan Pemilu Nasional-Daerah Picu Revisi Banyak UU
    Penulis
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Wakil Ketua
    Komisi II
    DPR Dede Yusuf Macan Effendi mengatakan, putusan
    Mahkamah Konstitusi
    (MK) yang memisahkan pemilihan umum (pemilu) nasional dan daerah mulai 2029 akan memicu banyak revisi undang-undang.
    Ia mengatakan, yang sudah pasti akan terkena revisi adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota (Pilkada).
    Selain dua undang-undang itu, Dede mengatakan bahwa Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua juga akan berubah.
    “Ada berapa Undang-Undang yang akhirnya akan terpaksa diubah? Salah satunya adalah Undang-Undang Nomor 23. Karena dalam UU Nomor 23 itu menentukan soal Pemerintahan Daerah, di dalamnya ada DPRD. Berarti kan harus direvisi juga, harus diulang,” kata Dede Yusuf di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (1/7/2025).
    Adapun UU Otsus Papua diubah karena di dalamnya mengatur pemilihan anggota DPRD yang dilaksanakan lima tahun sekali.
    Sedangkan dalam putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024, MK mengusulkan agar pemilihan DPRD dilaksanakan bersamaan dengan Pilkada paling singkat dua tahun setelah pelantikan presiden/wakil presiden.
    “Itu undang-undang, loh, enggak mungkin kita hanya menambah dua tahun tanpa merevisi UU,” ucap Dede.
    Komisi II bersama alat kelengkapan dewan (AKD) lain disebutnya akan melakukan kajian terlebih dahulu ihwal putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 itu.
    “Kalau dari Komisi II, kita harus memberikan kajian terlebih dahulu dari sudut pandang Komisi II. Nah, dari berbagai kajian-kajian itu nanti kita sampaikan kepada pimpinan DPR dalam rapat konsultasi berikutnya,” ujar politikus Partai Demokrat itu.
    Sementara itu, Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Ahmad Doli Kurnia menilai, putusan MK terkait pemisahan pelaksanaan
    pemilu nasional dan daerah
    berpotensi mendorong revisi
    UU Pemilu
    dengan mekanisme
    omnibus law
    .
    Pasalnya, putusan itu membuat DPR dan pemerintah selaku pembuat undang-undang harus mengubah total aturan pelaksanaan kepemiluan di Indonesia.
    “Putusan ini secara tidak langsung meminta kita semua untuk merubah merevisi UU ini secara omnibus law,” kata Doli dalam diskusi di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Sabtu (28/6/2025).
    Doli menuturkan, putusan MK yang terbaru makin menambah deretan panjang putusan-putusan sebelumnya terkait topik keserentakan Pemilu.
    Setidaknya kata Doli, ada sejumlah UU yang perlu diubah karena putusan tersebut. Termasuk UU Pemilu,
    UU Pilkada
    , hingga UU Nomor 13 Tahun 2019 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3).
    Lebih lanjut, Doli sendiri mengaku setuju dengan putusan MK terbaru. Menurutnya, Pemilu serentak menimbulkan sejumlah konsekuensi, di antaranya adalah kerumitan dalam penyelenggaraan, terutama bagi penyelenggara.
    Tahun lalu misalnya, Komisi Pemilihan Umum (KPU) harus mengurus ketentuan Pemilihan Presiden (Pilpres) hingga Pemilihan Legislatif (Pileg). Belum selesai sepenuhnya, penyelenggara harus kembali mengurusi Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).
    “Mereka terpilih 2022 ya kemarin. Jadi dalam waktu dua tahun, harus menyiapkan segala sesuatu yang berkaitan dengan tiga jenis Pemilu, nasional dan daerah. Tentu itu mengalami kerumitan,” tandas Doli.
    Diketahui, MK memutuskan memisah antara pemilihan umum (Pemilu) nasional dan daerah mulai 2029 dalam putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024.
    Artinya, pemilu nasional hanya ditujukan untuk memilih anggota DPR, DPD, dan presiden/wakil presiden. Sedangkan Pileg DPRD provinsi hingga kabupaten/kota akan dilaksanakan bersamaan dengan Pilkada.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Putusan MK Pisahkan Pemilu Nasional-Daerah Picu Revisi Banyak UU

    Apa Langkah yang Diambil DPR Setelah MK Pisahkan Pemilu Nasional dan Daerah?

    Apa Langkah yang Diambil DPR Setelah MK Pisahkan Pemilu Nasional dan Daerah?
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Dewan Perwakilan Rakyat (
    DPR
    ) RI maupun pemerintah masih terus mengkaji putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan pelaksanaan pemilu nasional dan pemilu daerah mulai 2029.
    Sejumlah langkah pun mulai dikaji oleh pihak legislatif, mulai dari usul pembentukan panitia khusus (pansus) hingga revisi undang-undang terkait pemilu secara menyeluruh dengan metode
    omnibus law
    .
    Lalu, apa langkah yang akan diambil DPR?
    Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad mengatakan bahwa pimpinan DPR belum dapat memberikan sikap resmi karena kajian terhadap substansi putusan masih berlangsung.
    “Kita akan mengkaji dahulu putusan itu,” ujar Dasco saat dihubungi
    Kompas.com
    , Jumat (27/6/2025).
    Menurut Dasco, pimpinan DPR baru akan memberikan tanggapan perinci terkait kepastian langkah yang akan diambil setelah kajian dilakukan secara komprehensif.
    “Saya belum bisa jawab karena kita kan belum mengkaji. Kalau sudah kajiannya komprehensif, ya mungkin semua pertanyaan kita bisa jawab. Ini keputusannya baru kemarin, jadi ya kita belum bisa jawab,” kata Dasco.
    Dari pihak pemerintah, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) juga menyatakan tengah mempelajari implikasi
    putusan MK
    Nomor 135/PUU-XXII/2024 terhadap sejumlah aspek teknis dan regulasi.
    “Kami di Kemendagri terlebih dahulu mendalami substansi putusan MK ini secara menyeluruh,” ujar Dirjen Politik dan Pemerintahan Umum Kemendagri, Bahtiar, Sabtu (28/6/2025).
    Dia menjelaskan, Kemendagri akan menelaah dampak putusan tersebut terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2020 tentang Pilkada, dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, termasuk skema pembiayaan dan penyesuaian jadwal penyelenggaraan.
    “Komunikasi intensif akan dilakukan baik di internal pemerintah maupun dengan DPR sebagai pembentuk undang-undang,” ujar Bahtiar.
    Wacana revisi UU Pemilu pun kembali menguak seiring dengan putusan MK yang memisahkan pelaksanaan pemilu nasional dan daerah.
    Wakil Ketua Komisi II DPR RI dari Fraksi PDI-P Aria Bima mengusulkan agar pembahasan revisi UU Pemilu dilakukan melalui panitia khusus (pansus) lintas komisi di parlemen.
    Sebab, pembahasan melalui panitia kerja (panja) di satu komisi atau alat kelengkapan dewan (AKD) saja tidak cukup mengingat kompleksitas dampak putusan MK ke depan.
    “Pembahasan RUU tersebut idealnya tidak cukup hanya melalui panitia kerja (panja), tetapi bisa dipertimbangkan melalui panitia khusus (pansus) lintas komisi mengingat kompleksitas persoalan yang akan timbul ke depan,” ujar Aria Bima dalam siaran pers, Minggu (29/6/2025).
    Bima mengingatkan, salah satu konsekuensi penting dari pemisahan jadwal pemilu nasional dan daerah adalah potensi kekosongan jabatan kepala daerah maupun anggota DPRD.
    Hal ini disebabkan oleh pemilu di tingkat daerah yang baru bisa digelar paling cepat dua tahun atau lebih setelah pemilu nasional.
    “Perpanjangan masa jabatan DPRD, misalnya, bukan perkara mudah. Kita perlu duduk bersama antara DPR, pemerintah, dan seluruh pemangku kepentingan untuk menyepakati langkah-langkah strategis guna mengantisipasi konsekuensi dari putusan MK tersebut,” kata Aria.
    Oleh karena itu, revisi UU Pemilu untuk meningkatkan putusan MK terbaru harus dilakukan secara menyeluruh agar tidak menimbulkan persoalan lanjutan.
    “Apakah nantinya kita akan menambahkan pasal peralihan atau menyisipkan norma baru dalam UU Pemilu, itu harus dipikirkan secara integral, tidak bisa sepotong-sepotong. Ini soal desain besar penyelenggaraan pemilu yang akan memengaruhi ekosistem demokrasi nasional,” kata dia.
    Sementara itu, Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Ahmad Doli Kurnia menilai bahwa putusan MK ini berpotensi mendorong dilakukannya revisi UU Pemilu dengan skema omnibus law.
    Menurut dia, cakupan revisi sangat luas dan menyentuh sejumlah undang-undang sekaligus. “Putusan ini secara tidak langsung meminta kita semua untuk mengubah merevisi UU ini secara omnibus law,” ujar Doli dalam diskusi di Jakarta, Sabtu (28/6/2025).
    Doli menjelaskan, putusan MK tersebut menambah panjang daftar putusan terkait desain keserentakan pemilu.
    Karena itu, penyusunan ulang sistem pemilu perlu menyentuh lebih dari satu regulasi.
    Politikus Golkar itu berpandangan, setidaknya ada empat undang-undang yang perlu direvisi, yakni UU Pemilu, UU Pilkada, UU MD3, dan UU Pemerintahan Daerah.
    “Setidaknya paling enggak nanti akan berkosekuensi dengan tentu pasti UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Yang kedua, UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Yang ketiga, UU tentang MD3. Yang keempat UU tentang Pemerintahan Daerah,” kata Doli.
    Diberitakan sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan untuk memisahkan pelaksanaan pemilihan umum (Pemilu) nasional dan daerah mulai 2029.
    Artinya, pemilu nasional hanya untuk memilih anggota DPR, DPD, presiden/wakil presiden.
    Sedangkan, pemilihan anggota DPRD tingkat provinsi dan kabupaten/kota dilakukan bersamaan dengan pemilihan kepala daerah (Pilkada).
    Wakil Ketua MK, Saldi Isra, menyampaikan bahwa Mahkamah mempertimbangkan pembentuk undang-undang yang belum melakukan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) sejak Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019.
    Selanjutnya, MK melihat DPR maupun pemerintah sedang mempersiapkan upaya untuk melakukan reformasi terhadap semua undang-undang yang terkait dengan Pemilu.
     
    “Dengan pendirian tersebut, penting bagi Mahkamah untuk menegaskan bahwa semua model penyelenggaraan pemilihan umum, termasuk pemilihan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota yang telah dilaksanakan selama ini tetap konstitusional,” ujar Saldi di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Kamis (26/6/2025).
    Di samping itu, Saldi menjelaskan bahwa MK tidak bisa menentukan secara spesifik waktu pelaksanaan pemilu nasional dengan daerah.
    Namun, MK mengusulkan pilkada dan pileg DPRD dapat digelar paling lama dua tahun enam bulan setelah pelantikan anggota DPR/DPD dan presiden/wakil presiden.
    “Menurut Mahkamah, pemungutan suara dilaksanakan secara serentak untuk memilih anggota DPR, anggota DPD, Presiden/Wakil Presiden, dan setelahnya dalam waktu paling singkat dua tahun atau paling lama dua tahun enam bulan sejak pelantikan anggota DPR dan anggota DPD atau sejak pelantikan Presiden/Wakil Presiden dilaksanakan pemungutan suara secara serentak untuk memilih anggota DPRD dan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota,” ujar Saldi.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.