Ngawi (beritajatim.com) – Proses seleksi calon perangkat salah satu Desa di Kecamatan Kwadungan, Kabupaten Ngawi, tengah menjadi sorotan publik.
Masyarakat setempat menilai proses seleksi tersebut tidak adil dan tidak transparan, bahkan memunculkan dugaan kuat adanya praktik nepotisme dan politik uang.
Kisruh bermula ketika salah satu peserta seleksi, RS, yang diketahui merupakan anak dari Kepala Desa di salah satu Desa di Kwadungan, dinyatakan lolos sebagai Calon Sekretaris Desa dengan nilai tertinggi, yakni 85,2 pada ujian tertulis dan praktik komputer.
Namun, fakta bahwa RS saat ini masih berstatus narapidana narkoba dengan bebas bersyarat pada 2026 nanti memantik kemarahan warga.
“Anak kades nyalon perangkat (sekdes) tapi statusnya masih masa percobaan (5 bulan) narkoba. Harusnya waktu cari SKCK itu ada keterangannya,” ujar salah satu warga yang enggan disebut namanya, Kamis (30/10/2025).
Warga juga menyoroti adanya pelanggaran terhadap Peraturan Daerah Kabupaten Ngawi yang mengatur bahwa sebelum membuka pendaftaran umum, posisi jabatan sekdes harus terlebih dahulu ditawarkan kepada perangkat desa yang masih aktif.
“Kalau tidak ada (yang berminat), baru boleh dibuka pendaftaran umum,” lanjut warga tersebut.
Meskipun masyarakat telah melayangkan protes dan keberatan kepada panitia seleksi, aspirasi tersebut tampaknya diabaikan. Akibatnya, muncul kecurigaan bahwa proses seleksi telah diatur sedemikian rupa untuk meloloskan anak kepala desa.
Krisis Moralitas Kepemimpinan
Pengamat kebijakan publik asal Ngawi, Agus Fatoni, menilai apa yang terjadi di salah satu Desa Kecamatan Kwadungan sebagai bentuk keculasan yang nyata dan brutal dalam tata kelola pemerintahan desa. Ia bahkan menyebut kasus ini sebagai kasus merosotnya kepemimpinan.
“Sungguh nyata sekali pola dan cara-cara culasnya. Publik akhirnya mengetahui. Tak hanya bagi warga setempat namun bagi seluruh masyarakat Ngawi. Ngisin-ngisini(memalukan),” ujar Agus Fatoni yang karib disapa Atong ini.
Menurutnya, praktik semacam ini tidak hanya mencederai rasa keadilan masyarakat, tetapi juga menghancurkan kepercayaan publik terhadap kepemimpinan di tingkat desa.
“Yang sangat menghina dan meluluhlantakkan keadilan warga, seakan Ngawi tak punya daya mengatasi kebrutalan dan keculasan,” tegas Atong.
Ia pun menegaskan bahwa persoalan ini bukan semata-mata soal regulasi, tetapi menyangkut moralitas dan etika kepemimpinan di daerah.
“Ini bukan masalah regulasi lagi. Ini tentang adakah ketegasan dan itikad baik elite Ngawi menjaga kondusifitas, rasa keadilan, dan etika masyarakat. Atau mereka justru membiarkan kebrutalan Tirak hanya dengan alasan regulasi semata,” ujarnya.
Atong mendesak pemerintah Kabupaten Ngawi, khususnya Bupati Ngawi, untuk turun tangan secara tegas dan transparan dalam menindaklanjuti dugaan penyimpangan ini.
“Pemangku kepentingan di Ngawi harus segera bertindak untuk menyelamatkan norma sosial, etika, dan keadilan masyarakat. Jangan sampai ini menjadi catatan buruk di periodisasi 2024–2029,” pungkasnya.
Krisis ini menjadi simbol kerapuhan integritas di level pemerintahan desa. Masyarakat berharap ada langkah konkret dari aparat terkait agar praktik-praktik penyimpangan serupa tidak kembali terulang di wilayah lain. (ted)