Tag: Agung Harsoyo

  • BTS Palsu Dulu Kirim SMS Pilkada dan Pilpres, Komdigi Bongkar Modusnya

    BTS Palsu Dulu Kirim SMS Pilkada dan Pilpres, Komdigi Bongkar Modusnya

    Jakarta, CNBC Indonesia – Penipuan yang menggunakan Fake BTS ternyata bukan baru tahun 2025 saja terjadi. Sebelumnya pernah terjadi pada periode Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dan Pemilihan Presiden (Pilpres) beberapa waktu lalu.

    “Ancaman fake BTS ini telah terjadi pada tahun 2019 dan 2023. Pada saat periode Pilkada maupun Pilpres. Namun terjadi hanya sesekali,” kata Direktur Strategi dan Kebijakan Infrastruktur Digital Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi), Denny Setiawan dalam Profit CNBC Indonesia, Rabu (6/3/2025).

    Namun pada awal 2025, penipuan itu berkembang dan menyasar perbankan. Denny menjelaskan beberapa wilayah yang disasar seperti Jakarta, Bandung hingga Denpasar.

    Denny mengatakan berdasarkan monitoring pihak Balai Monitor kementerian, pemancar yang dilakukan sifatnya intermittent. Alatnya bisa sangat kecil ataupun menggunakan HP dengan power yang kecil serta berpindah-pindah.

    “Kurang lebih 2 menit dan intermittent sehingga sulit sekali untuk melakukan pelacakan sumber pancaran,” ungkap dia.

    Dalam kesempatan yang sama, Ketua Umum Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), Muhammad Arif Angga menjelaskan alat Fake BTS yang digunakan mudah didapatkan. Untuk itu dia meminta agar bisa menertibkan peredaran alat tersebut.

    “Mungkin alat-alat ini kalau kita pelajari bukan alat-alat yang susah juga didapat di market ya. Dan teknologinya juga bukan teknologi yang sebenarnya enggak canggih-canggih banget dan memang ini butuh kerja keras juga saya yakin dari pihak komdigi maupun pihak penegak hukum untuk benar-benar menertibkan ini,” jelas Arif.

    “Tapi mungkin satu langkah yang mungkin bisa saya usulkan adalah bagaimana ya mungkin penegak hukum sweeping mungkin toko-toko atau apapun yang memang dianggap punya alat yang berpotensi dapat disalahgunakan menjadi alat yang seperti ini untuk menyebarkan informasi yang salah,” ujar dia menambahkan.

    Pernah dilarang

    Mengutip Detik.com pada 2019, Agung Harsoyo yang saat itu menjabat sebagai Komisioner Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) mengungkapkan fake BTS ini pernah dipergunakan sejak pilkada DKI Jakarta namun dengan jumlah yang belum terlalu banyak. Jumlahnya kian banyak saat pemilu 17 April tahun tersebut.

    Agung menjelaskan alat Fake BTS bisa melakukan intersepsi jaringan operator tertentu di sekitar BTS terdekat. Alat ilegal itu akan memancarkan frekuensi seperti BTS operator.

    “Jadi, fake BTS ini memancarkan frekuensi seolah-olah BTS operator. Padahal sesungguhnya ini murni tanpa melalui core atau billing sistem operator. Mereka melakukan intersepsi di antara BTS dan pelanggan telepon selular,” jelasnya.

    Kasus yang mencuat pada 2019 juga membuat BRTI meminta menyetop penjualan perangkat untuk penyebar SMS palsu. Hal ini diungkapkan dalam Siaran Pers No. 84/HM/KOMINFO/04/2019 berjudul Tangkal Penyebaran Konten Negatif, BRTI Larang Jual Beli dan Penggunaan Perangkat Penyebar SMS Palsu.

    Saat itu, BRTI menemukan adanya penggunaan perangkat yang disebut fake BTS untuk menyebarluaskan konten negatif dengan SMS. Mulai dari penyebarluasan konten negatif seperti hoaks, berita palsu, provokasi, ujaran kebencian dan pelanggaran konten informasi negatif lainnya dengan menggunakan SMS.

    Ismail yang kala itu menjabat sebagai Ketua BRTI mengatakan penggunaan perangkat telah melanggar UU Telekomunikasi dan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Pihaknya telah meminta para vendor perangkat idak lagi menjual perangkat itu, termasuk meminta e-commerce dan toko online untuk menutup iklan yang menawarkan perangkat fake BTS.

    “Kami minta semua pihak terkait untuk berhenti menggunakan perangkat yang tanpa Sertifikat Kominfo semacam itu,” ujar Ismail.

    (dem/dem)

  • Internet RI Tertinggal, Masyarakat Butuh Koneksi 100 Mbps atau Merata?

    Internet RI Tertinggal, Masyarakat Butuh Koneksi 100 Mbps atau Merata?

    Jakarta

    Berdasarkan laporan Speedtest Global Index yang dirilis Ookla di Desember 2024, kecepatan internet Indonesia relatif tertinggal dibandingkan negara-negara di Asia Tenggara. Apakah ini pertanda masyarakat membutuhkan koneksi 100 Mbps?

    Pakar telekomunikasi dari ITB Agung Harsoyo menilai membandingkan kecepatan internet antar negara boleh saja dilakukan oleh lembaga apapun. Akan tetapi, kecepatan internet yang ada di Indonesia sekarang ini sudah sesuai dengan kebutuhan masyarakat Indonesia.

    Sebagai gambaran, kecepatan internet mobile Indonesia menurut Ookla itu 28,80 Mbps, sedangkan fixed broadband menyentuh 32,07 Mbps.

    Ia mencontohkan pemanfaatan layanan transportasi online masih bisa dilakukan dengan koneksi internet saat ini. Begitu juga aktivitas belajar online masih terbilang mencukupi.

    “Bahkan untuk nonton video streaming seperti YouTube sudah dapat dilakukan. Bahkan kecepatan internet 1Mbps pun sudah cukup bagi masyarakat untuk melakukan berbagai kegiatan. Untuk dapat menikmati video streaming, belajar daring dan bekerja daring sejatinya kecepatan internet yang disediakan operator selular maupun fixed line sudah lebih dari cukup,” ungkap Agung dalam pernyataan tertulisnya, Jumat (14/2/2025).

    Justru kalau kecepatan internet berlebih, kata Agung, akan menjadi mubazir. Sebab hingga saat ini kebutuhan masyarakat umum untuk kecepatan internet 100Mbps belum terlalu kritikal. Hal kritikal yang mesti jadi perhatian adalah bagaimana pemerintah melalui Komenterian Komunikasi dan Digital (Komdigi) dapat memberikan layanan bagi masyarakat yang belum menikmati internet.

    Sebab, sampai saat ini, memang masih banyak masyarakat di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar belum mendapatkan layanan telekomunikasi.

    “Jangan sampai kecepatan internet yang kencang justru yang menikmati keuntungannya adalah vendor perangkat telekomunikasi dan OTT Global. Sebab selama ini merekalah yang mendapatkan keuntungan dengan jumlah penduduk Indonesia yang besar dan internet yang cepat,” ujar Agung.

    Agung menjelaskan, kecepatan internet di suatu negara, termasuk di Indonesia, dipengaruhi banyak faktor seperti teknis dan non teknis. Faktor teknis seperti regulatory cost yang sangat tinggi dan sulitnya untuk menggelar jaringan internet. Selain itu pemerintah tak menyiapkan ducting bersama untuk infrastruktur dasar seperti listrik, air dan internet.

    Lebih lanjut, kata Agung, di negara seperti Singapura infrastruktur pasif untuk jaringan listrik, air dan internet disiapkan oleh pemerintahnya.

    Terkait, faktor non teknis, Agung menyebutkan seperti daya beli masyarakat Indonesia masih masih rendah, pungutan resmi atau tak resmi yang dibebankan kepada pelaku usaha internet di Indonesia.

    “Saat ini kemampuan masyarakat untuk membeli layanan internet masih terbilang rendah dibandingkan dengan negara lain. Masyarakat masih memprioritaskan untuk mengalokasikan uangnya untuk membeli kebutuhan pokok. Sehingga gabungan permasalahan teknis dan non teknis ini yang membuat kecepatan internet di Indonesia masih terkendala,” ungkap Agung.

    Agar masyarakat mampu membeli layanan internet yang berkualitas dan operator telekomunikasi bisa memberikan layanan dengan harga yang terjangkau, Agung meminta agar Komdigi dapat segera mengeluarkan kebijakan yang dapat mengurangi beban regulasi. Saat ini beban regulasi yang ditanggung operator telekomunikasi sangat tinggi.

    Agung optimis ketika Komdigi membuat kebijakan yang dapat memperingan beban regulasi yang tinggi, operator telekomunikasi Indonesia mampu memberikan layanan dan kualitas terbaik dengan harga yang terjangkau bagi masyarakat. Menurutnya Komdigi harus mengubah pola kebijakan regulasinya.

    “Harusnya Komdigi dapat melihat sektor telekomunikasi sebagai pendukung pertumbuhan perekonomian dari pemerintahan Presiden Prabowo. Bukan melihat BHP baik frekuensi dan BHP telekomu sebagai PNBP semata. Justru ketika masyarakat dapat melakukan aktivitas ekonomi dengan memanfaatkan layanan telekomunikasi, akan ada domino efek bagi yang positif perekonomian nasional,” tutup Agung.

    (agt/fyk)

  • Pakar Usul Komdigi Fokus pada Pemerataan Ketimbang Peningkatan Kecepatan Internet

    Pakar Usul Komdigi Fokus pada Pemerataan Ketimbang Peningkatan Kecepatan Internet

    Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah disarankan untuk memprioritaskan pemerataan akses internet ketimbang menaikan kecepatan internet, mengingat aplikasi yang tersedia saat ini sudah dapat berjalan optimal dengan kecepatan yang ada. 

    Pakar telekomunikasi dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Agung Harsoyo mengatakan meski kecepatan internet di Indonesia tertinggal dibandingkan dengan negara-negara Asia Tenggara lainnya, namun sejumlah aplikasi dan layanan internet tetap dapat berjalan 

    Kecepatan internet yang ada di Indonesia, menurut Agung,sudah sesuai dengan kebutuhan masyarakat Indonesia. Pengemudi transportasi daring dapat menerima pemesanan dan membuka aplikasi maps. Aktivitas belajar dan bekerja secara daring juga dapat dilakukan. 

    “Bahkan untuk nonton video streaming seperti YouTube sudah dapat dilakukan. Untuk dapat menikmati video streaming, belajar daring dan bekerja daring sejatinya kecepatan internet yang disediakan operator seluler maupun fixed line sudah lebih dari cukup,” kata Agung, Jumat (14/2/2025). 

    Dengan kondisi tersebut, menurut Agung, Indonesia sebaiknya fokus mengejar perluas internet, alih-alih fokus meningkatkan kecepatan internet 100Mbps yang saat ini dinilai belum terlalu kritikal. 

    Petani mengukur kecepatan internetPerbesar

    Masih banyak masyarakat di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar belum mendapatkan layanan telekomunikasi, saat pemerintah berambisi mendorong kecepatan internet 100 Mbps. 

    “Jangan sampai kecepatan internet yang kencang justru yang menikmati keuntungannya adalah vendor perangkat telekomunikasi dan OTT Global. Sebab selama ini merekalah yang mendapatkan keuntungan dengan jumlah penduduk Indonesia yang besar dan internet yang cepat,” kata Agung. 

    Diketahui, Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigit) tengah berupaya meningkatkan kecepatan internet Indonesia hingga 100 Mbps di sejumlah titik.

    Salah satu cara yang dilakukan ada dengan melepas pita 1,4 GHz untuk broadband wireless acces (BWA) atau akses internet cepat tetap nirkabel, dengan harga terjangkau.  

    Laporan Speedtest Global Index Desember 2024 oleh Ookla mengungkap kecepatan internet Indonesia masih di bawah negara-negara Asia Tenggara.

    Singapura tercatat memiliki rerata kecepatan mobile broadband sebesar 129,13 Mbps. Laos sebesar 36,64 Mbps. Kamboja mencapai 32,27 Mbps. Sementara itu Indonesia tercatat sebesar 28,80 Mbps untuk mobile broadband dan 32,07 Mbps untuk fixed broadband. 

  • Komdigi Mau Hidupkan Bisnis Operator BWA yang Sudah Mati, Pengamat: Mukjizat

    Komdigi Mau Hidupkan Bisnis Operator BWA yang Sudah Mati, Pengamat: Mukjizat

    Jakarta

    Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) akan ‘menghidupkan’ broadband wireless access (BWA) melalui lelang frekuensi 1,4 GHz. Pengamat telekomunikasi dari ITB Agung Harsoyo mengungkapkan langkah pemerintah itu sebagai mukjizat.

    Layanan BWA ini sebelumnya pernah eksis di Indonesia, itu ditandai dengan keberadaan First Media, Internux dengan produk Bolt, Indosat Mega Media (IM2), Berca, hingga Jasnita. Namun dalam perjalanannya, operator BWA tersebut berhenti di tengah jalan.

    “Lesson learned dari BWA. Jadi, BWA itu pernah ada dan terus tidak ada, kemudian akan ada lagi. Maka dari tu, kalau secara akademik mestinya itu kajiannya itu harus sangat dalam karena menghidupkan orang pernah mati itu kan mukjizat,” ujar Agung di Jakarta, Senin (10/2/2025).

    Agung mengatakan niatan Komdigi mengalokasikan spektrum frekuensi 1,4 GHz untuk layanan BWA seharusnya sudah melalui tahapan forensik digital yang menyebabkan bisnis BWA dulu mati hingga akan dihidupkan lagi ke depannya.

    “Bagi kami biasanya kematian itu harus diforensik, kenapa dulu mati. Kemudian, ketika kita mau menghidupkan lagi, ya alasannya harus sangat utuh karena kalau nggak mati lagi nanti. Kalau kondisinya masih sama, maka perlu kajian lebih lanjut,” ucapnya.

    Untuk itu, mantan Komisoner BRTI ini mengimbau kepada para pemangku kebijakan yang dalam hal ini Komdigi agar memperhatikan kebijakan yang akan dikeluarkannya agar tidak berdampak buruk di masa mendatang.

    “Sehingga setiap langkah yang kita jalani ini mesti ekstra hati-hari karena kalau saya kadang-kadang kebayang kalau seandainya, gara-gara kebijakan kita kemudian ada yang tumbang. Begitu tumbang itu kan berarti ada sekian orang yang nganggur dan seterusnya. Jadi, lesson learned itu prinsipnya bahwa dulu pernah ada, kemudian tidak ada, kemudian alasan yang sangat kokoh untuk mengadakan lagi,” tutur Agung.

    Komdigi berupaya untuk meningkatkan kecepatan internet fixed broadband yang dinilai saat ini masih mahal tarifnya, begitu juga koneksinya yang masih lambat. Komdigi berharap dengan lelang frekuensi 1,4 GHz dapat menggenjot kecepatan internet fixed broadband sampai 100 Mbps dan tarifnya sekitar Rp 100 ribu sampai Rp 150 ribuan.

    Rencana kebijakan untuk internet murah ini akan fokus pada wilayah dengan tingkat penetrasi layanan internet yang masih terbatas atau bahkan yang belum ada penetrasi sama sekali. Adapun pelanggan dari layanan internet murah ini ditujukan bagi masyarakat kelas menengah ke bawah dengan daya beli terbatas.

    Pada kesempatan yang sama, Plt. Direktur Penataan Spektrum Frekuensi Radio, Orbit Satelit dan Standardisasi Infrastruktur Digital, Kementerian Komdigi, Adis Alifiawan, mengatakan bisnis operator BWA dulu sempat gagal faktornya adalah karena belum siap.

    “Waktu itu belum begitu siap. Jadi, bukan karena BWA dulu gagal terus semua unsur di situ otomatis gagal, nggak. Di BWA lama itu regionalisasinya itu kecil-kecil, seperti bagian Sumatera itu ada bagian atas, tengah, dan bawah, kalau di sini kita satukan karena dari dari sisi teknis kita tidak ingin border darat karena ketika ada dua operator dengan frekuensi yang sama punya border darat, itu harus ada buffer zone dan itu teknisnya cukup effort-lah di situ,” pungkas Adis.

    (agt/fay)

  • Komdigi Kaji 2 Pemenang dalam 1 Regional

    Komdigi Kaji 2 Pemenang dalam 1 Regional

    Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) mengkaji usulan akademisi dan pemerhati telekomunikasi mengenai jumlah pemenang dalam satu regional pada seleksi pita 1,4 GHz. 

    Direktur Jenderal Infrastruktur Digital Komdigi Wayan Toni Supriyanto mengatakan saat ini Komdigi masih melakukan konsultasi publik untuk Rancangan Peraturan Menteri (RPM) terkait dengan kebijakan umum penggunaan pita frekuensi 1,4 GHz. Harapannya, pada kuartal I/2025, seleksi tersebut dapat terealisasi.

    Adapun pita tersebut rencananya digunakan untuk menyediakan layanan internet cepat nirkabel, sedangkan terkait dengan jumlah pemenang di dalam 1 regional, merupakan bagian dari regulasi 

    berikutnya yaitu Keputusan Menteri tentang proses seleksi atau evaluasi untuk menetapkan pengguna pita frekuensi tersebut. 

    Paralel, Komdigi, juga masih melakukan penjaringan minat kepada beberapa perwakilan penyelenggara telekomunikasi untuk menentukan apakah nanti mekanismenya seleksi atau evaluasi, tergantung pada peminatan dan kebutuhan yang masuk. 

    “Namun, prinsipnya masukan tersebut sedang dalam kajian kami,” kata Wayan kepada Bisnis, Kamis (6/2/2025). 

    Dalam seleksi tahun ini, Komdigi membagi pita 1,4 GHz menjadi 3 regional. Satu regional memiliki beberapa zona wilayah, dengan jumlah yang tidak sama. Total ada 15 zona. 

    Terdapat lebar pita 80 MHz yang akan Komdigi alihkan kepada pemenang seleksi. Jika satu regional hanya berisi satu pemenang, maka pemenang tersebut berpotensi menguasai pita selebar 80 MHz atau 4/5 dari kondisi ideal pita frekuensi 5G yang sebesar 100 MHz. Jumlah akan mengecil jika Komdigi memperbolehkan pemenang lelang lebih dari satu. 

    Sebelumnya, Ketua Pusat Kajian Kebijakan dan Regulasi Telekomunikasi ITB Ian Yosef M. Edward menyarankan agar pemenang dalam seleksi 1,4 GHz dibuka untuk lebih dari satu pemain. 

    Dia  mengatakan dengan memperbolehkan pemenang lelang lebih dari satu pemain, maka ongkos yang dibayarkan oleh penyelenggara telekomunikasi akan lebih murah, sehingga harga yang diberikan kepada pelanggan tetap terjangkau. Di sisi lain, keberlanjutan bisnis operator juga terjaga. 

    “Harga ke pengguna juga menjadi murah,” kata Ian. 

    Dia juga mengusulkan dengan lebar bandwidth 80 MHz, pemerintah dapat menetapkan 4 ISP sebagai pemenang dengan masing-masing 20 MHz atau 30 MHz dan 40 MHz atau kombinasi.

    “Pemerintah tetap mengambil untung dengan bebannya bisa saja up front fee-nya disebar dalam 5 tahun. Jadi pemerintah mendapat untung dalam bentuk PNBP dan kemajuan masyarakat,” kata Ian. 

    Sementara itu, Akademisi Sekolah Teknik Elektro dan Informatika (STEI) ITB Agung Harsoyo mengatakan sejah dahulu Komdigi telah mendorong terjadinya konsolidasi operator seluler. Dia berharap kebijakan konsolidasi tersebut tetap dijalankan. 

    “Saya berharap nantinya lelang frekuensi 1.4 GHz tidak menambah jumlah operator penyelenggara jasa internet. Dengan jumlah operator seluler yang saat ini ada dan anggota APJII yang mencapai 1.275 menurut saya sudah terlalu banyak. Ini tidak sehat bagi industri,” ujar Agung.

    Dia juga berharap Komdigi dapat menentukan harga izin penggunaan pita frekuensi (IPFR) yang terjangkau bagi industri. Kalau harga IPFR terlalu tinggi seperti selular, maka objektif pemerintah untuk menyediakan internet murah fixed broadband tak akan tercapai. 

    “Dari draft RPM ini Komdigi akan menggunakan frekuensi 1.4 GHz untuk penetrasi fixed broadband dan akan membagi wilayah layanan berdasarkan regional. Karena karakteristiknya beda dengan selular, maka harga IPFR harus terjangkau. Sehingga BHP frekuensinya tidak bisa disamakan dengan selular,” kata Agung.  

    Direktur Eksekutif ICT Institute Heru Sutadi mengatakan pada pita frekuensi 1,4 GHz terdapat spektrum sebesar 80 MHz yang dapat dimanfaatkan oleh pemenang dalam menyalurkan internet cepat.

    Dengan jumlah yang lebar itu, Komdigi diminta untuk mengkaji kembali jumlah pemenang pada masing-masing regional/zona. 

    “80 MHz ini sangat besar jika untuk satu pemain, sehingga idealnya ini bisa digunakan dipakai atau diseleksi kepada beberapa pemain,” kata Heru kepada Bisnis, Senin (3/2/2025).

    Dia juga meminta Komdigi untuk mengkaji peserta yang diperbolehkan terlibat. Jika hanya untuk pemain baru, maka Komdigi perlu mempertimbangkan terkait misi pemerintah dalam menyehatkan industri telekomunikasi. 

    Selain itu, faktor kesiapan ekosistem internet di pita 1,4 GHz juga harus dipertimbangkan dengan matang. 

    “Jika pemainnya bertambah ini akan menjadi sehat atau seperti sebelumnya, di mana ada pemain yang merugi terus, industrinya tidak sehat,” kata Heru.

  • Bisnis Internet Gagal Mau Dihidupkan Komdigi, Ahli: Sudah Ada Kajian?

    Bisnis Internet Gagal Mau Dihidupkan Komdigi, Ahli: Sudah Ada Kajian?

    Jakarta, CNBC Indonesia – Kementerian Komunikasi dan Digital mengumumkan rencana lelang frekuensi untuk layanan Broadband Wireless Access (BWA). Frekuensi yang akan dilelang ada spektrum 1,4 Ghz dengan lebar 80 Mhz.

    Layanan BWA adalah layanan internet tanpa kabel yang terbatas di wilayah tertentu. Layanan BWA yang dulu sempat populer adalah Bolt dan IM2. Namun, perkembangan layanan internet operator seluler membuat BWA ditinggalkan.

    Semua layanan BWA tutup dan frekuensi khusus BWA di 2,3 GHz dikembalikan ke pemerintah. Bahkan, tiga perusahaan sempat menunggak Biaya Hak Penggunaan (BHP) frekuensi yaitu First Media, Internux (Bolt), dan Jasnita. Izin ketiga perusahaan tersebut akhirnya dicabut oleh pemerintah.

    Pengamat dan Dosen Sekolah Teknik Elektro dan Informatika (STEI) ITB, Agung Harsoyo menitipkan beberapa hal sebelum akhirnya melelang 1,4 Ghz untuk layanan BWA. Salah satunya menetapkan dua pemenang secara nasional.

    “Agar terjadi persaingan usaha yang sehat, Kementerian Komdigi dapat menetapkan 2 pemenang lelang frekuensi 1.4 GHz secara nasional. Dengan lebar pita 80Mhz di frekuensi 1,4 GHz memang tidak optimal untuk satu operator menyelenggarakan 5G,” kata Agung dalam keterangannya dikutip Selasa (4/1/2025).

    Dia menjelaskan pemenang lebih satu untuk menciptakan persaingan usaha yang sehat. Kerja sama dan spektrum sharing bisa dilakukan dengan adanya UU Cipta Kerja agar bisa menerapkan teknologi 5G.

    Selain itu juga dapat mewujudkan internet cepat 100 Mbps, yang sudah dicita-citakan pihak Komdigi sebelumnya.

    Agung menambahkan untuk mempertimbangkan tiap daerah jika masih memberlakukan skema berdasarkan wilayah. Dengan begitu operator tidak memilih daerah yang menguntungkan saja.

    “Jika Komdigi tak mempertimbangkan daerah yang gemuk dan kurus, maka kecenderungannya operator yang hanya memilih daerah yang menguntungkan saja. Enggan untuk membangun di wilayah yang kurus. Sehingga objektif pemerintah untuk memperluas penetrasi broadband di seluruh wilayah Indonesia dengan harga yang terjangkau tak tercapai,” kata Agung.

    Internet murah 100 Mbps

    Dari jauh-jauh hari, pihak kementerian memang sering menyuarakan ingin Indonesia punya internet cepat. Bahkan sempat direncanakan internet minimal 100 Mbps.

    Dalam keterangannya, Komdigi menjelaskan layanan BWA adalah akses komunikasi data spektrum frekuensi radio dan diperuntukkan penyelenggaraan jaringan tetap lokal berbasis packet-switched menggunakan teknologi International Mobile Telecommunications (IMT).

    Hal ini juga disinggung dalam rencana aturan penggunaan frekuensi 1,4 Ghz. Begitu juga dengan internet murah.

    “Diharapkan terobosan kebijakan ini dapat mendorong hadirnya internet di rumah dengan kecepatan akses sampai dengan 100 Mbps dengan harga layanan yang terjangkau,” tulis Komdigi.

    Kepada CNBC Indonesia, Agung mengatakan internet murah dan cepat merupakan objektif yang mulia. Namun jadi pertanyaan apakah keduanya bisa dicapai dengan lelang 1,4 Ghz.

    “Pertanyaannya kemudian apakah dapat dicapai dengan cara lelang pita frekuensi 1,4 GHz dan bersifat regional (FWA/BWA)? Mudah-mudahan sudah ada kajian terkait hal tersebut,” jelasnya.

    Selain itu, dia juga menyinggung tiap regulasi melalui kajian Regulatory Impacts Analysis (RIA) yang cermat. Kalau secara akademik, menggunakan framework GRC (Governance, Risk Management, dan Compliance).

    “Termasuk di dalamnya benchmark: bagaimana praktik dan konteks penggunaan pita frekuensi 1,4 GHz di negara-negara lain,” ucap Agung.

    (dem/dem)

  • Ngeri Bisnis Internet Makin Tak Sehat, Ahli Sorot Rencana Komdigi

    Ngeri Bisnis Internet Makin Tak Sehat, Ahli Sorot Rencana Komdigi

    Jakarta, CNBC Indonesia – Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) menyiapkan spektrum frekuensi 1,4 GHz untuk dilelang. Rencana ini akan menambah rencana lelang dua frekuensi lainnya yang juga belum terlaksana yakni 700 MHz dan 26 GHz.

    Rencananya keduanya akan dilelang bersamaan. Kabarnya frekuensi 26 Ghz memiliki lebar 2,7 Ghz. Wacana lelang kedua frekuensi sudah terdengar sejak 2023 lalu. Namun, akhirnya tetap ditunda hingga sekarang.

    Pengamat dan Dosen Sekolah Teknik Elektro dan Informatika (STEI) ITB, Agung Harsoyo mengatakan pita frekuensi 700 MHz bermanfaat untuk menambah dan meningkatkan kualitas jaringan 4G dan 5G. Selain itu, kedua frekuensi juga lebih mature dari sisi ekosistem dibanding 1,4 Ghz.

    “Komdigi sudah menerbitkan PM 10 tahun 2023 tentang lelang frekuensi 700 MHz dan 26 GHz. Hingga saat ini lelang frekuensi 700 MHz dan 26 GHz belum dilakukan. Selain itu dari sisi ekosistem, frekuensi 700 MHz dan 26 GHz sudah mature ketimbang 1,4 GHz,” jelas Harsoyo dalam keterangan resminya dikutip Selasa (4/1/2025).

    Meski begitu, dia tetap mengapresiasi langkah konsultasi publik untuk Rancangan Peraturan Menteri Komdigi soal penggunaan frekuensi 1,4 Gh. Menurutnya, ini menjadi bagian dari Good Corporate Governance (GCG) untuk mendapatkan masukan dari masyarakat soal regulasi yang akan dibuat.

    Agung juga mengingatkan beberapa hal soal lelang tersebut. Salah satunya konsolidasi, yang juga didukung pemerintah, tetap terus berjalan dan bisa dilakukan untuk penyelenggara jasa internet tak hanya untuk operator seluler.

    “Sehingga saya berharap nantinya lelang frekuensi 1,4 GHz tidak menambah jumlah operator penyelenggara jasa internet. Dengan jumlah operator selular yang saat ini ada dan anggota APJII yang mencapai 1.275 menurut saya sudah terlalu banyak. Ini tidak sehat bagi industri,”ujar Agung.

    Harga IPFR yang dibebankan juga diharapkan bisa terjangkau. Karena jika dibebankan terlalu mahal, impian untuk internet fixed broadband murah tidak bisa tercapai.

    “Dari draft RPM ini Komdigi akan menggunakan frekuensi 1.4 GHz untuk penetrasi fixed broadband dan akan membagi wilayah layanan berdasarkan regional. Karena karakteristiknya beda dengan selular, harga IPFR harus terjangkau. Sehingga BHP frekuensinya tidak bisa disamakan dengan seluler,” jelasnya.

    (dem/dem)

  • Pakar Usul Pemenang Zona Lebih dari Satu Peserta Lelang

    Pakar Usul Pemenang Zona Lebih dari Satu Peserta Lelang

    Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) disarankan untuk membuka peluang pemenang pita frekuensi 1,4 GHz lebih dari satu penyelenggara per zona. Terdapat beberapa pertimbangan.

    Diketahui, Komdigi berencana untuk menggelar seleksi pita frekuensi 1,4 GHz. Rencananya spektrum tersebut akan dibagi menjadi 3 regional dengan 15 zona mulai dari Aceh hingga Papua. 

    Direktur Eksekutif ICT Institute Heru Sutadi mengatakan pada pita frekuensi 1,4 GHz terdapat spektrum sebesar 80 MHz yang dapat dimanfaatkan oleh pemenang dalam menyalurkan internet cepat.

    Dengan jumlah yang lebar itu, Komdigi diminta untuk mengkaji kembali jumlah pemenang pada masing-masing regional/zona. 

    “80 MHz ini sangat besar jika untuk satu pemain, sehingga idealnya ini bisa digunakan dipakai atau diseleksi kepada beberapa pemain,” kata Heru kepada Bisnis, Senin (3/2/2025).

    Dia juga meminta Komdigi untuk mengkaji peserta yang diperbolehkan terlibat. Jika hanya untuk pemain baru, maka Komdigi perlu mempertimbangkan terkait misi pemerintah dalam menyehatkan industri telekomunikasi. 

    Selain itu, faktor kesiapan ekosistem internet di pita 1,4 GHz juga harus dipertimbangkan dengan matang. 

    “Jika pemainnya bertambah ini akan menjadi sehat atau seperti sebelumnya, di mana ada pemain yang merugi terus, industrinya tidak sehat,” kata Heru.

    Menara telekomunikasi memancar internet dengan frekuensiPerbesar

    Senada, Ketua Pusat Kajian Kebijakan dan Regulasi Telekomunikasi ITB Ian Yosef M. Edward mengatakan dengan memperbolehkan pemenang lelang lebih dari satu pemain, maka ongkos yang dibayarkan oleh penyelenggara telekomunikasi akan lebih murah, sehingga harga yang diberikan kepada pelanggan tetap terjangkau. Di sisi lain, keberlanjutan bisnis operator juga terjaga. 

    “Harga ke pengguna juga menjadi murah,” kata Ian. 

    Dia juga mengusulkan dengan lebar bandwidth 80 MHz, pemerintah dapat menetapkan 4 ISP sebagai pemenang dengan masing-masing 20 MHz atau 30 MHz dan 40 MHz atau kombinasi.

    “Pemerintah tetap mengambil untung dengan bebannya bisa saja up front fee-nya disebar dalam 5 tahun. Jadi pemerintah mendapat untung dalam bentuk PNBP dan kemajuan masyarakat,” kata Ian. 

    Sementara itu, Akademisi Sekolah Teknik Elektro dan Informatika (STEI) ITB Agung Harsoyo mengatakan sejah dahulu Komdigi telah mendorong terjadinya konsolidasi operator seluler. Dia berharap kebijakan konsolidasi tersebut tetap dijalankan. 

    “Saya berharap nantinya lelang frekuensi 1.4 GHz tidak menambah jumlah operator penyelenggara jasa internet. Dengan jumlah operator seluler yang saat ini ada dan anggota APJII yang mencapai 1.275 menurut saya sudah terlalu banyak. Ini tidak sehat bagi industri,” ujar Agung.

    Dia juga berharap Komdigi dapat menentukan harga izin penggunaan pita frekuensi (IPFR) yang terjangkau bagi industri. Kalau harga IPFR terlalu tinggi seperti selular, maka objektif pemerintah untuk menyediakan internet murah fixed broadband tak akan tercapai. 

    “Dari draft RPM ini Komdigi akan menggunakan frekuensi 1.4 GHz untuk penetrasi fixed broadband dan akan membagi wilayah layanan berdasarkan regional. Karena karakteristiknya beda dengan selular, maka harga IPFR harus terjangkau. Sehingga BHP frekuensinya tidak bisa disamakan dengan selular,” kata Agung.  

  • Dear Komdigi, Jangan Salah Langkah Lelang Frekuensi 1,4 GHz

    Dear Komdigi, Jangan Salah Langkah Lelang Frekuensi 1,4 GHz

    Jakarta

    Pengamat telekomunikasi dari ITB Agung Harsoyo memberikan catatan penting kepada Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) yang akan melakukan lelang frekuensi 1,4 GHz. Spektrum tersebut saat ini sedang uji publik dan berakhir pada 2 Februari 2025.

    Agar objektif pemerintah dapat tercapai, mantan komisioner Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia periode 2018 – 2022 ini memberikan beberapa catatan penting kepada Komdigi. Dalam lelang itu, Agung mengingatkan tentang konsolidasi industri telekomunikasi di Indonesia, di mana Komdigi telah mendorong terjadinya konsolidasi operator selular.

    “Saya berharap konsolidasi industri ini dapat terus berjalan. Tak hanya di operator selular saja. Tetapi juga di penyelenggara jasa internet. Sehingga saya berharap nantinya lelang frekuensi 1,4 GHz tidak menambah jumlah operator penyelenggara jasa internet. Dengan jumlah operator selular yang saat ini ada dan anggota APJII yang mencapai 1.275 menurut saya sudah terlalu banyak. Ini tidak sehat bagi industri,” ujar Agung dalam keterangan tertulisnya, Minggu (2/2/2025).

    Sebab frekuensi 1,4 GHz akan dipergunakan untuk meningkatkan penetrasi fixed broadband, sehingga Agung mengharapkan Komdigi dapat menentukan harga izin pita frekuensi radio (IPFR) yang affordable bagi industri.

    Disampaikan Dosen Sekolah Teknik dan Informatika (STEI) ITB ini, kalau harga IPFR terlalu tinggi seperti selular, maka objektif pemerintah untuk menyediakan internet murah fixed broadband tak akan tercapai.

    “Dari draft RPM ini Komdigi akan menggunakan frekuensi 1,4 GHz untuk penetrasi fixed broadband dan akan membagi wilayah layanan berdasarkan regional. Karena karakteristiknya beda dengan selular, maka harga IPFR harus terjangkau, sehingga BHP frekuensinya tidak bisa disamakan dengan selular,”papar Agung.

    Sebagai informasi bahwa Indonesia pernah menerapkan mengalokasikan frekuensi untuk layanan Broadband Wireless Access (BWA) berdasarkan wilayah. Konsep BWA berdasarkan wilayah tersebut terbukti gagal dan seluruh perusahaan pemegang lisensi BWA menghentikan layanannya. Karena menghentikan layanannya, perusahaan BWA lokal tersebut mengembalikan frekuensi yang dikuasainya. Beberapa perusahaan adalah PT.Bakrie Telecom Tbk., PT Jasnita Telekomindo (Jasnita)dan PT Berca Hardayaperkasa.

    Prinsip dasar frekuensi adalah sumberdaya terbatas yang dimiliki negara. Sumberdaya tersebut harus optimal dipergunakan untuk memberikan kesejahteraan bagi masyarakat dan negara. Karena pengalaman tersebut Agung berharap Komdigi dapat melakukan lelang frekuensi secara nasional untuk frekuensi 1,4 GHz.

    “Agar terjadi persaingan usaha yang sehat, Komdigi dapat menetapkan 2 pemenang lelang frekuensi 1,4 GHz secara nasional. Dengan lebar pita 80 MHz di frekuensi 1,4 GHz memang tidak optimal untuk satu operator menyelenggarakan 5G,” kata Agung.

    “Agar menciptakan persaingan usaha yang sehat Komdigi harus mempertimbangkan adanya lebih dari 1 pemain di frekuensi 1,4 GHz. Dengan adanya UU Cipta Kerja, kerjasama dan spektrum sharing dapat dilakukan untuk penerapan teknologi 5G. Sehingga objektif Komdigi untuk mewujudkan kecepatan akses sampai dengan 100 Mbps masih dapat tercapai,” sambung Agung.

    Namun jika Komdigi tetap akan memberlakukan frekuensi 1,4 GHz berdasarkan wilayah, Agung menyarankan agar pembagian wilayah harus mempertimbangkan daerah yang gemuk dan daerah yang kurus serta harus melibatkan lebih dari satu operator telekomunikasi.

    “Jika Komdigi tak mempertimbangkan daerah yang gemuk dan kurus, maka kecenderungannya operator yang hanya memilih daerah yang menguntungkan saja. Dan enggan untuk membangun di wilayah yang kurus. Sehingga objektif pemerintah untuk memperluas penetrasi broadband di seluruh wilayah Indonesia dengan harga yang terjangkau tak tercapai,” tutup Agung.

    (agt/fay)

  • Lelang 700 MHz Lebih Mendesak Ketimbang 1,4 GHz, Ahli ITB Ungkap Alasannya

    Lelang 700 MHz Lebih Mendesak Ketimbang 1,4 GHz, Ahli ITB Ungkap Alasannya

    Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) disarankan untuk memprioritaskan lelang spektrum 700 MHz ketimbang 1,4 GHz. Potensi pendapatan negara yang besar dan ekosistem yang lebih matang jadi salah satu pertimbangan. 

    Diketahui, pemerintah tengah menyiapkan seleksi pita frekuensi 1,4 GHz guna mendorong pemerataan internet cepat dan merealisasikan wacana kecepatan internet 100 Mbps di sejumlah lokasi. Namun, pada saat yang bersamaan Komdigi tak kunjung merealisasikan seleksi pita frekuensi 700 MHz. 

    Akademisi dari Sekolah Teknik Elektro dan Informatika (STEI) ITB Agung Harsoyo mengatakan lelang frekuensi 700 MHz merupakan masalah fundamental yang belum terselesaikan.

    Spektrum 700 MHz telah kosong dan tak berpenghuni sejak 2-3 tahun lalu. Negara tidak mendapatkan manfaat apapun selama spektrum tersebut menganggur. 

    Dia mengatakan negara berpeluang mendapat Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari lelang tersebut yang kemudian dapat digunakan untuk berbagai keperluan.

    “Jika Komdigi tak segera melelang frekuensi tersebut, maka pemerintah berpotensi kehilangan potensi peningkatan digital dividen yang besar dari pemanfaatan frekuensi 700 MHz dan 26 GHz dalam mendukung peningkatan layanan digital bagi masyarakat,” kata Agung, Minggu (2/2/2025).

    Agung menambahkan kehadiran pita frekuensi 700 MHz akan membantu operator telekomunikasi dalam meningkatkan cakupan layanan dan meningkatkan kualitas jaringan internet 4G atau 5G. 

    Agung menyarankan agar Komdigi dapat melelang frekuensi 700 MHz terlebih dahulu dari pada frekuensi 1.4 GHz yang sekarang sedang masuk tahap konsultasi publik.

    Proses seleksi dilakukan secara terbuka, transparan dan dapat diikuti oleh seluruh penyelenggara sesuai dengan ketentuan yang dikeluarkan oleh Komdigi. 

    Salah satu pemancar internet di menara telekomunikasiPerbesar

    Pertimbangan harus memprioritaskan lelang frekuensi 700 MHz, kata Agung, karena Komdigi pernah menerbitkan PM 10 tahun 2023 tentang lelang frekuensi 700 MHz dan 26 Ghz. Hingga saat ini lelang frekuensi 700 MHz dan 26 Ghz belum dilakukan. Selain itu dari sisi ekosistem, frekuensi 700 MHz dan 26 Ghz sudah matang ketimbang 1.4GHz. 

    Agung juga menyarankan Komdigi dapat melakukan lelang frekuensi untuk operator telekomunikasi memiliki rekam jejak yang teruji dalam mendukung program pemerataan infrastruktur telekomunikasi. Prinsip dasar frekuensi adalah sumberdaya terbatas yang dimiliki negara. 

    BWA

    Agung juga menyoroti mengenai rencana pemerintah untuk menghidupkan kembali BWA.

    Dia mengatakan bahwa Indonesia punya pengalaman frekuensi dikuasai operator telekomunikasi yang kurang mendukung program pemerintah yaitu pada saat pengalokasian 2.3 GHz untuk penyelenggaraan BWA 2009. 

    Satu persatu penyelenggara yang menang seleksi di pita 2,3 GHz tersebut tutup dan pada akhirnya dicabut pita frekuensinya dan dikembalikan ke negara. Dia berharap agar ke depan alokasi spektrum dilakukan secara tepat. 

    “Apa lagi saat ini Presiden Prabowo telah mencanangkan pertumbuhan ekonomi mencapai 8%, sehingga pengalokasian spektrum frekuensi radio harus tepat guna dan tepat sasaran agar sektor telekomunikasi dan digital dapat menjadi enabler pertumbuhan ekonomi nasional,” kata Agung. 

    Lebih lanjut, Agung juga mengharapkan Komdigi dapat melakukan evaluasi mendalam penguasaan frekuensi oleh operator selular di Indonesia, khususnya pasca terjadi konsolidasi industri yang hanya menyisakan 3 operator. 

    Pekerja memperbaiki jaringan di menara telekomunikasiPerbesar

    “Jangan sampai ada penguasaan frekuensi yang berlebih oleh operator selular yang memiliki jumlah pelanggan sedikit. Evaluasi mendalam antara jumlah frekuensi dengan pelanggan perlu dilakukan Komdigi,” kata Agung.

    Dia mengatakan hingga saat ini pemerintah belum menyentuh permasalahan fundamental terkait penyehatan industri telekomunikasi. Digitalisasi suatu daerah sulit terealisasi tanpa adanya infrastruktur telekomunikasi yang dibangun oleh pelaku industri. 

    Para pelaku usaha yang tergabung dalam asosiasi seperti Atsi, Mastel, APJII, Apjatel, Askalsi, Aspimtel, dan Assi telah memberikan usulan terkait penyehatan industri yang hingga saat ini belum mendapatkan respons. 

    “Komdigi diharapkan dapat memberikan terobosan dan bisa memutuskan insentif bagi industri telekomunikasi. Minimal Komdigi dapat segera menentukan harga IPFR yang affordable bagi industri. Tujuannya agar industri telekomunikasi kembali sehat dan bisa memberikan layanan telekomunikasi dan harga yang terjangkau bagi masyarakat,” kata Agung.