Tag: Agung Harsoyo

  • Komdigi Diminta Kawal Komitmen Pembangunan WIFI-Telkom Cs

    Komdigi Diminta Kawal Komitmen Pembangunan WIFI-Telkom Cs

    Bisnis.com, JAKARTA — Lelang pita frekuensi 1,4 GHz untuk layanan akses nirkabel pita lebar (Broadband Wireless Access/BWA) diminati oleh tujuh perusahaan telekomunikasi. Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) diminta mengawasi komitmen para pemenang dalam mendorong pemerataan internet.

    Meski jumlah peserta tidak banyak, pengamat menilai hal ini sudah cukup positif mengingat kebutuhan investasi yang besar dalam pemanfaatan spektrum tersebut. 

    Pengamat telekomunikasi dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Agung Harsoyo mengatakan pemanfaatan pita frekuensi 1,4 GHz membutuhkan belanja modal (capital expenditure/capex) yang tidak kecil. Selain itu, pada lelang kali ini ada persyaratan wajib menggunakan backhaul berupa serat optik (fiber optic).

    “Dari dua hal tersebut, menurut saya, kalau ada tujuh perusahaan yang berminat sudah bagus,” kata Agung kepada Bisnis pada Sabtu (16/8/2025). 

    Agung menilai, kombinasi antara BWA dengan frekuensi 1,4 GHz dan fiber optik bisa mempercepat penetrasi layanan internet broadband di Indonesia. Meski demikian, menurutnya keberhasilan pemanfaatan spektrum tersebut tetap ditentukan oleh harga lelang. 

    Jika harga frekuensi tidak terlalu mahal, maka tarif berlangganan internet yang dibayar pelanggan juga berpotensi lebih murah dibandingkan saat ini. 

    Dia menambahkan, dengan jumlah pelanggan FTTH (GPON) yang masih di bawah 20 juta, peluang untuk memperluas layanan internet berkecepatan tinggi dengan harga terjangkau masih terbuka lebar.

    “Tantangannya, pemenang lelang mesti membangun jaringan untuk melayani daerah yang belum atau kurang terlayani, agar terjadi pemerataan. Tugas kita bersama untuk ikut mengawasi hal ini,” tambahnya. 

    Direktur Eksekutif Indonesia ICT Institute, Heru Sutadi, menyampaikan keputusan untuk ikut lelang frekuensi sangat bergantung pada kebutuhan dan kesiapan finansial dari masing-masing operator.

    “Yang merasa butuh dan siap anggaran untuk membayar frekuensi yang dimenangkan itu yang akan ikut lelang. Kalau nggak butuh, nggak akan ikut lelang. Kalau nggak ada anggaran, ya juga tidak ikut. Bahkan kalau anggarannya tidak cukup ya nanti akan menawarkan nilai rendah dalam lelang,” kata Heru.

    Menurut Heru, frekuensi 1,4 GHz lebih tepat digunakan untuk layanan BWA dibandingkan seluler karena memiliki keterbatasan jangkauan. Dia menjelaskan, spektrum ini pada prinsipnya hanya dipakai untuk menghubungkan titik akhir serat optik ke rumah atau kantor, sehingga tidak perlu menarik serat optik langsung ke dalam rumah yang biayanya relatif mahal.

    “Targetnya kan bisa memberikan harga Rp100 ribu per bulan dengan kecepatan tinggi,” tuturnya.

    Sebelumnya, Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) melalui Tim Seleksi Pengguna Pita Frekuensi Radio 1,4 GHz mengumumkan tujuh perusahaan yang telah mengambil akun sistem lelang elektronik (e-auction) untuk seleksi pengguna pita frekuensi tersebut pada 2025.

    Ketujuh perusahaan tersebut adala PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk, PT XLSMART Telecom Sejahtera, PT Indosat Tbk, PT Telemedia Komunikasi Pratama (anak usaha PT Solusi Sinergi Digital Tbk. (WIFI), PT Netciti Persada, PT Telekomunikasi Selular, dan PT Eka Mas Republik.

    Tim Seleksi menyebut penyelenggara telekomunikasi yang telah mendapatkan akun e-auction dapat mengunduh dokumen seleksi hingga 20 Agustus 2025. Selanjutnya, calon peserta dapat mengajukan pertanyaan tertulis terkait isi dokumen hingga 21 Agustus 2025.

  • XLSMART (EXCL) Berharap Pemerintah Bersikap Adil Terhadap OTT

    XLSMART (EXCL) Berharap Pemerintah Bersikap Adil Terhadap OTT

    Bisnis.com, JAKARTA— PT XLSmart Telecom Sejahtera Tbk. (XLSMART) meminta pemerintah bersikap adil dalam mengatur hubungan antara operator telekomunikasi nasional dan penyedia layanan over-the-top (OTT) global. 

    Layanan OTT seperti WhatsApp gencar memperluas bisnis di Indonesia namun dinilai oleh sejumlah kalangan belum memberikan kontribusi optimal terhadap industri dan perekonomian nasional.

    Head of External Communications XLSMART, Henry Wijayanto, mengatakan saat ini OTT global sangat dominan, termasuk di Indonesia, dan keberadaannya wajar dalam persaingan terbuka.

    “OTT global harus diakui saat ini sangat dominan, termasuk yang digunakan oleh masyarakat Indonesia. Dalam kompetisi yang terbuka seperti saat ini wajar saja,” kata Henry saat dihubungi Bisnis pada Rabu (13/8/2025).

    Namun, dia menekankan pentingnya agar layanan tersebut memberikan manfaat nyata bagi seluruh pemangku kepentingan industri teknologi informasi dan komunikasi (TIK) di Tanah Air, termasuk pelaku industri telekomunikasi. 

    XLSMART berharap pemerintah bisa memberikan keadilan kepada operator yang sudah membangun jaringan untuk akses internet. 

    “Misalnya dengan membuat regulasi yang bisa memberikan keadilan secara bisnis kepada operator pemilik jaringan internet dengan tetap mengedepankan kepentingan pelanggan,” kata Henry. 

    Pelajar mengakses layanan internet

    Sebelumnya, pengamat telekomunikasi dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Agung Harsoyo, menilai WhatsApp telah menjadi platform komunikasi dominan di Indonesia dengan lebih dari 140 juta pengguna. 

    Menurutnya, pendapatan signifikan platform ini diperoleh melalui WhatsApp Business API, integrasi pembayaran, dan monetisasi data, tetapi kontribusinya terhadap pembangunan industri digital nasional masih minim.

    “Di lain sisi, kontribusi WhatsApp pada pembangunan industri digital Indonesia masih minim,” kata Agung saat dihubungi Bisnis pada Selasa (12/8/2024).

    Dia menyarankan Pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) dapat menerapkan Digital Services Tax atau Significant Economic Presence Rule untuk WhatsApp dan platform asing lain yang memiliki pengguna atau omzet signifikan di Indonesia. 

    Agung menambahkan Kementerian Keuangan maupun Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga dapat mewajibkan pendaftaran badan usaha atau entitas yang memiliki otoritas penuh, bukan sekadar kantor perwakilan di Indonesia, agar tunduk pada UU ITE, UU PDP, dan perpajakan nasional. 

    Dia menilai, dengan jumlah pengguna yang besar, pemerintah bisa mendorong WhatsApp untuk ikut serta dalam program literasi digital, keamanan siber, dan pengembangan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). 

    “Karena WhatsApp memanfaatkan infrastruktur telekomunikasi yang dibangun oleh operator jaringan, maka sewajarnya pemerintah membuat regulasi yang mewajibkan WhatsApp untuk bersinergi dalam bisnisnya dengan industri ini. Hal ini akan menguntungkan semua pihak. Industri, pemerintah, dan pelanggan,” tutur Agung.

    Senada, Direktur Eksekutif Indonesia ICT Institute, Heru Sutadi, menyoroti ketimpangan perlakuan antara pelaku usaha lokal dan OTT global. Menurutnya, UMKM di Indonesia wajib membayar pajak, sementara platform asing bisa meraup keuntungan besar tanpa kewajiban serupa.

    “Nah itu. Kita ini jadi bangsa yang aneh. UMKM saja ditagih pajak, tapi WhatsApp dibiarkan dan OTT lain dibiarkan menyedot uang rakyat Indonesia tanpa dikenakan kewajiban apapun,” kata Heru.

    Heru mengaku sudah berulang kali menyampaikan masalah ini, tetapi pemerintah kerap berdalih menunggu aturan dari Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD).

    WhatsApp Business memperluas fitur bisnisnya di Indonesia yang diluncurkan dalam ajang WhatsApp Business Summit ketiga pada, Selasa (12/8/2025). 

    Wacana pembatasan panggilan suara dan video berbasis internet seperti WhatsApp Call juga sempat mencuat dalam forum diskusi publik pada 16 Juli 2025. 

    Menkomdigi Meutya Hafid

    Namun, Menteri Komunikasi dan Digital Meutya Hafid menegaskan pemerintah tidak memiliki rencana membatasi layanan tersebut.

    “Saya tegaskan pemerintah tidak merancang ataupun mempertimbangkan pembatasan WhatsApp Call. Informasi yang beredar tidak benar dan menyesatkan,” kata Meutya.

    Dia menjelaskan Komdigi memang menerima sejumlah masukan dari berbagai pihak, seperti Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) dan Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel), mengenai penataan ekosistem digital.

    Salah satu poin yang disorot adalah hubungan antara penyedia layanan OTT dan operator jaringan. Namun, Meutya menekankan masukan tersebut belum pernah dibahas dalam forum pengambilan kebijakan, serta tidak menjadi bagian dari agenda resmi kementerian.

    “Saya sudah meminta jajaran terkait untuk segera melakukan klarifikasi internal dan memastikan tidak ada kebijakan yang diarahkan pada pembatasan layanan digital,” tuturnya. 

  • Akademisi Ungkap Peluang dan Tantangan Dana Abadi Bangun AI Nasional

    Akademisi Ungkap Peluang dan Tantangan Dana Abadi Bangun AI Nasional

    Bisnis.com, JAKARTA — Akademisi meyakini keberadaan dana abadi akan membuat industri kecerdasan buatan (AI) Indonesia makin kompetitif. Tantangannya adalah ketersediaan infrastruktur. 

    Pengamat telekomunikasi dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Agung Harsoyo, menilai perkembangan platform aplikasi, termasuk AI, kini berlangsung sangat cepat. Mulai dari tahap spesifikasi hingga penggelaran, prosesnya dapat dilakukan hanya dalam hitungan hari atau bulan.

    “Yang memerlukan waktu relatif lama adalah pengadaan infrastruktur,” kata Agung kepada Bisnis pada, Rabu (13/8/2025).

    Menurut Agung, sebelum infrastruktur milik sendiri selesai dibangun, solusi yang umum dilakukan adalah menyewa terlebih dahulu. 

    Dia mencatat saat ini sudah banyak produk AI buatan anak bangsa, dan keberadaan Sovereign AI Fund akan semakin memacu semangat para pengembang.

    “Produktivitas meningkat, jenis layanan semakin beragam, dan mutu menjadi lebih baik. Pengelolaan dananya harus transparan dan akuntabel,” katanya.

    Dia menyarankan program ini dapat dimulai dari sektor-sektor kritikal seperti keuangan/perbankan dan kesehatan, yang memiliki kebutuhan jelas dan dukungan dana besar.

     “Pihak swasta di sektor ini bisa diajak segera,” kata Agung.

    Sebelumnya, Reuters melaporkan langkah pembentukan Sovereign AI Fund ini mengikuti tren regional, seperti yang dilakukan Malaysia yang berhasil menarik investasi miliaran dolar dari raksasa teknologi global untuk membangun infrastruktur cloud dan AI.

    Indonesia, sebagai ekonomi terbesar di Asia Tenggara, juga tengah bersiap meluncurkan peta jalan (roadmap) nasional AI pertamanya guna menarik investor asing dan bersaing di panggung global, khususnya di sektor AI dan chip.

    Meski belum ada rincian nilai target dana, pemerintah memperkirakan pembentukan dana AI nasional bisa dimulai pada 2027–2029, dengan skema pembiayaan campuran publik–swasta. Strategi ini juga merekomendasikan peningkatan insentif fiskal bagi investor domestik di bidang AI.

    Danantara Indonesia belum memberikan tanggapan atas pertanyaan Reuters terkait hal ini.

    Di sisi lain, Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) tengah membuka konsultasi publik untuk penyusunan Buku Putih Peta Jalan Kecerdasan Artifisial Nasional dan Konsep Pedoman Etika Kecerdasan Artifisial. 

    Buku Putih tersebut disusun untuk mempercepat pengembangan AI yang inklusif, berkelanjutan, aman, dan bertanggung jawab. Dokumen ini merupakan keluaran Gugus Tugas Peta Jalan AI Indonesia yang beranggotakan 443 orang dari unsur pemerintah, akademisi, industri, komunitas, dan media.

  • Whatsapp Keruk Untung Tanpa Tanggung Jawab, Pengamat Minta Pemerintah Tegas Atur

    Whatsapp Keruk Untung Tanpa Tanggung Jawab, Pengamat Minta Pemerintah Tegas Atur

    Bisnis.com, JAKARTA— Sejumlah pengamat telekomunikasi menyoroti langkah WhatsApp yang kian agresif memperluas layanan bisnis di Indonesia, namun belum memberikan kontribusi optimal terhadap perekonomian nasional.

    Pengamat telekomunikasi dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Agung Harsoyo, menilai WhatsApp telah menjadi platform komunikasi dominan di Indonesia dengan lebih dari 140 juta pengguna. 

    Pendapatan signifikan WhatsApp, menurutnya, diperoleh melalui layanan WhatsApp Business API, integrasi pembayaran, dan monetisasi data ekosistem Meta.

    Diketahui, induk Whatsapp, Meta, membukukan pendapatan sebesar US$164,50 juta pada 2024 meningkat 22% dibandingkan dengan 2023.

    “Di lain sisi, kontribusi WhatsApp pada pembangunan industri digital Indonesia masih minim. Pemerintah [Komdigi] dapat menerapkan Digital Services Tax atau Significant Economic Presence Rule untuk WA [dan platform asing lain] dengan pengguna atau omzet signifikan di Indonesia,” kata Agung saat dihubungi Bisnis pada Selasa (12/8/2024).

    Agung menambahkan, pemerintah bersama Kementerian Keuangan maupun Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga dapat mewajibkan pendaftaran badan usaha atau entitas yang memiliki otoritas penuh, bukan sekadar kantor perwakilan di Indonesia, agar tunduk pada UU ITE, UU PDP, dan perpajakan nasional. 

    Dia menilai, dengan jumlah pengguna yang besar, pemerintah bisa mendorong WhatsApp untuk ikut serta dalam program literasi digital, keamanan siber, dan pengembangan UMKM.

    “Karena WhatsApp memanfaatkan infrastruktur telekomunikasi yang dibangun oleh operator jaringan, maka sewajarnya pemerintah membuat regulasi yang mewajibkan WhatsApp untuk bersinergi dalam bisnisnya dengan industri ini. Hal ini akan menguntungkan semua pihak. Industri, pemerintah, dan pelanggan,” tutur Agung.

    Country Director, Indonesia, Meta, Pieter Lydian dalam acara WhatsApp Business Summit ketiga yang digelar di Jakarta, Selasa (12/8/2025). Whatsapp memperkenal fitur baru kepada sejumlah pelanggan korporasi

    Senada, Pengamat Telekomunikasi sekaligus Direktur Eksekutif Indonesia ICT Institute, Heru Sutadi, mengkritik ketimpangan perlakuan antara pelaku usaha lokal dan penyedia layanan over-the-top (OTT) global.

    “Nah itu. Kita ini jadi bangsa yang aneh. UMKM saja ditagih pajak, tapi WhatsApp dibiarkan dan OTT lain dibiarkan menyedot uang rakyat Indonesia tanpa dikenakan kewajiban apapun,” kata Heru kepada Bisnis.

    Heru mengaku telah berulang kali menyampaikan persoalan ini, namun kerap dijawab pemerintah dengan alasan menunggu ketentuan Organization for Economic Co-operation and Development (OECD). 

    “Itu sudah beberapa tahun lalu. Padahal kan saat itu saja kita bukan anggota OECD. Sehingga, rakyat curiga, ada apa di belakang bebasnya kewajiban OTT dari kewajiban yang diharuskan dijalankan perusahaan Indonesia,” tambahnya.

    Di sisi lain, WhatsApp baru saja memperkenalkan serangkaian pembaruan fitur untuk memperkuat posisi mereka di pasar Indonesia. 

    Dalam ajang WhatsApp Business Summit ketiga di Jakarta pada Selasa (12/8/2025), Country Director Indonesia Meta, Pieter Lydian, mengatakan Indonesia menjadi salah satu pasar terdepan secara global dalam komunikasi bisnis melalui pesan.

    Sejumlah brand seperti Paragon, Hyundai, dan Danone telah memanfaatkan Iklan di Status, sementara kreator seperti Tiara Andini dan Jerome Polin telah menggunakan fitur Langganan Saluran. WhatsApp juga memungkinkan penggunaan aplikasi WhatsApp Business gratis dan WhatsApp Business Platform secara bersamaan tanpa mengganti nomor, seperti yang dilakukan jaringan klinik kecantikan Lavalen.

    Menurutnya, sebanyak 88% masyarakat Indonesia mengirimkan pesan kepada bisnis setiap minggunya.

    WhatsApp kini menghadirkan peningkatan fitur panggilan suara dan video untuk WhatsApp Business Platform, integrasi pengelolaan iklan lintas platform melalui Advantage+ berbasis AI, serta pembaruan pada tab Pembaruan yang kini digunakan 1,5 miliar orang per hari.

    Sebelumnya, muncul wacana pembatasan layanan panggilan suara dan video berbasis internet seperti WhatsApp Call, yang ramai diperbincangkan usai forum diskusi publik pada 16 Juli 2025. 

    Namun, Menteri Komunikasi dan Digital Meutya Hafid menegaskan pemerintah tidak memiliki rencana membatasi layanan tersebut.

    “Saya tegaskan pemerintah tidak merancang ataupun mempertimbangkan pembatasan WhatsApp Call,” kata Meutya. 

    Dia juga menyampaikan permohonan maaf jika isu ini sempat menimbulkan keresahan di tengah masyarakat. Meutya memastikan saat ini Komdigi fokus pada agenda prioritas nasional seperti memperluas akses internet di wilayah tertinggal, meningkatkan literasi digital, serta memperkuat keamanan dan perlindungan data pribadi di ruang digital.

  • Ancaman Komdigi Cabut Izin Starlink Sudah Tepat, Ini Alasannya

    Ancaman Komdigi Cabut Izin Starlink Sudah Tepat, Ini Alasannya

    Bisnis.com, JAKARTA — Pengamat telekomunikasi turut mengomentari rencana Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) mencabut izin operasi Starlink jika nekat menjual perangkat yang dapat digunakan secara jelajah di Indonesia.

    Pengamat telekomunikasi dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Agung Harsoyo, mengatakan langkah tersebut selaras dengan tujuan regulasi yang menjaga integritas industri telekomunikasi sekaligus melindungi ekosistem lokal.

    “Komdigi sebagai regulator berkewajiban menyeimbangkan tiga kepentingan sekaligus, yaitu pemerintah, industri, dan pelanggan,” kata Agung, Selasa (5/8/2025).

    Dia menjelaskan di industri telekomunikasi terdapat dua klasifikasi layanan, yakni bergerak (mobile) dan tidak bergerak (fixed). Untuk menjaga konsistensi dan keadilan, klasifikasi ini perlu diatur, diawasi, dan dikendalikan.

    Oleh sebab itu, pihaknya sepakat dengan langkah Komdigi, karena izin Starlink adalah fixed satellite service (FSS). 

    “Maka jika Starlink memberikan layanan mobile, maka dikenai sanksi [pencabutan izin],” imbuhnya.

    Menurut Agung, langkah ini sejalan dengan tujuan regulasi, yakni menjaga kepastian dan integritas regulasi, melindungi ekosistem industri, dan menjaga kedaulatan digital. Tujuan mendasar Komdigi adalah mendorong kolaborasi antarpelaku industri untuk menghadirkan layanan internet yang berkualitas, merata, stabil, dan berkelanjutan.

    “Larangan pada Starlink untuk memberikan layanan mobile terutama pada daerah 3T, agar tidak mematikan ISP lokal yang berbasis modal yang relatif kecil. Sebaliknya, diharapkan ada kolaborasi antara Starlink dan ISP lokal,” tambahnya.

    Dia menilai regulasi yang melindungi operator ISP lokal merupakan bentuk perlindungan pasar yang tepat. Regulasi itu diharapkan mampu menghadirkan keseimbangan antara keterbukaan terhadap inovasi global dan pemberdayaan ekosistem lokal tanpa mengorbankan tujuan utama, yaitu pemerataan akses internet berkualitas di seluruh Indonesia.

    “Jadi, Komdigi dalam hal ini mendorong adanya coexistence with fair play. Dalam hal ini terdapat dorongan agar terjadi kemitraan Starlink-ISP lokal; sehingga keduanya akan memperoleh keuntungan,” kata Agung.

    Sebelumnya, Komdigi mengungkap akan mencabut izin operasional Starlink di Indonesia apabila layanan internet satelit milik Elon Musk itu terbukti menjual atau mengoperasikan perangkat jelajah untuk penggunaan bergerak di dalam negeri.

    Direktur Jenderal Infrastruktur Digital Komdigi, Wayan Toni Supriyanto, menjelaskan perangkat jelajah yang dimaksud adalah perangkat Starlink yang digunakan secara bergerak misalnya dipasang di mobil atau kendaraan lain untuk tetap terhubung ke internet melalui Wi-Fi saat berpindah tempat.

    “Jelajah itu maksudnya bagaimana? Ditaruh di mobil, terus mobil bergerak, bisa pakai Wi-Fi di mobil, pakai Starlink enggak boleh. Kecuali di kapal laut. Kalau di kapal laut, kami izinkan selama 7 hari itu boleh,” kata Wayan, Senin (4/8/2025).

    Wayan menekankan perangkat Starlink hanya diperbolehkan untuk kebutuhan tetap di rumah. Pemerintah akan mengambil tindakan tegas jika ditemukan pelanggaran di lapangan.

    “Starlink itu untuk di rumah. Kalau ada ditemui, misalnya dia menjelajah di dalam mobil, kami akan cabut landing right-nya di Indonesia. Pokoknya kami tegur, kami akan hentikan sampai dia memenuhi syaratnya itu,” ungkap Wayan. 

    Komdigi sebelumnya telah kembali memberikan hak labuh (landing right) kepada Starlink setelah sempat menghentikan sementara layanan bagi pelanggan baru. Izin tersebut diperpanjang menggunakan frekuensi E-Band, spektrum 71-76 GHz dan 81-86 GHz yang dinilai cocok untuk komunikasi satelit.

  • Ekosistem 1,4 GHz Belum Matang, Komdigi Perbolehkan Pemenang Gelar Layanan Bertahap

    Ekosistem 1,4 GHz Belum Matang, Komdigi Perbolehkan Pemenang Gelar Layanan Bertahap

    Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) menyampaikan penggelaran jaringan internet di pita 1,4 GHz dapat dilakukan secara bertahap. Pemerintah mengakui kesiapan ekosistem di pita tengah ini masih belum optimal.

    Dampak dari ekosistem yang belum kuat tersebut membuat ongkos pengembangan layanan internet 1,4 GHz tidak murah. Pemerintah memahami hal tersebut.

    “Memperhatikan kondisi ekosistem di pita 1.4 GHz, target penyediaan layanan kepada rumah tangga dalam rangka meningkatkan penetrasi juga dilakukan secara bertahap,” kata Direktur Jenderal Infrastruktur Digital Komdigi Wayan Toni Supriyanto kepada Bisnis, Kamis (31/8/2025).

    Kesiapan ekosistem menjadi salah satu tantangan yang akan dihadapi oleh perusahaan telekomunikasi dalam pengembangan layanan data di pita frekuensi 1,4 GHz. 

    Adapun pita frekuensi 1,4 GHz termasuk kategori mid band atau frekuensi pita tengah yang memiliki karakteristik jangkauan lumayan luas dan kapasitas besar.

    Head of Asia Pacific GSMA Julian Gorman mengatakan tantangan utama dalam pemanfaatan frekuensi 1,4 GHz berkaitan dengan kesiapan ekosistem pendukung yang masih minim.

    “Masalah utama dari teknologi 1,4 GHz adalah ukuran ekosistemnya,” ujar Julian dalam konferensi virtual, Senin (28/7/2025). 

    Dia menjelaskan bahwa setiap pita frekuensi yang dialokasikan membutuhkan ekosistem komprehensif agar dapat dimanfaatkan secara efektif—dari pembuat chip, antena, hingga produsen perangkat yang dapat mendukung spektrum tersebut.

    Di berbagai belahan dunia, pita frekuensi paling populer yang lebih dulu diadopsi secara masif adalah 3,5 GHz, diikuti dengan 2,6 GHz. Pita-pita ini mendapat sambutan luas karena didukung oleh rantai pasok global yang matang dan biaya produksi perangkat yang efisien karena skala adopsi yang besar.

    Sebaliknya, pita 1,4 GHz hanya digunakan secara sporadis di beberapa wilayah dunia, sehingga keberadaan perangkat, chip, dan dukungan teknis lainnya masih relatif terbatas. 

    “Kalau Indonesia memilih untuk mengembangkan layanan di pita ini, tentu kontribusi terhadap pembentukan ekosistem global sangat besar. Tetapi untuk saat ini, kurangnya skala adalah tantangan terbesar,” kata Julian. 

    Sementara itu, Pakar telekomunikasi dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Agung Harsoyo mengatakan spektrum frekuensi 1,4 GHz berpotensi digunakan untuk fixed wireless access (FWA).

    Namun, menurut Agung, salah satu tantangan FWA di 1,4 GHz adalah kapasitas frekuensi yang terbatas, sehingga perusahaan telekomunikasi harus rutin menambah investasi jika ingin menjaga layanan di tengah pertumbuhan pelanggan.

    Struktur ongkos yang membengkak akan menjadi tantangan bagi tim produk yang menawarkan paket ke pelanggan. Makin banyak pengguna, makin banyak ongkos, dan makin kecil pula marginnya jika harga layanan tidak dinaikkan. 

    Adapun cara agar kualitas layanan tetap optimal dan pelanggan yang dilayani tetap banyak, serta bisnis perusahaan telekomunikasi tetap sehat, cara yang ditempuh adalah dengan menurunkan ongkos penggunaan spektrum frekuensi atau ongkos regulator.

    “Frekuensi itu kan dihitung berdasarkan yang menggunakan. Jadi kalau yang menggunakan sendirian itu dapat bit rate yang sangat tinggi. Wireless dishare. Berbeda dengan optik.  Artinya itu kan tidak berbeda dengan yang ada di selular,” kata Agung. 

    Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) membuka seleksi pengguna pita frekuensi radio 1,4 GHz untuk layanan akses nirkabel pita lebar (broadband wireless access) tahun 2025.

    Objek seleksi pada pita frekuensi radio 1,4 GHz yang terdiri atas 3 regional yang masing-masing mencakup rentang frekuensi radio 1432 MHz, 1 blok (80 MHz), mode frekuensi radio time division duplexing, serta masa berlaku IPFR 10 tahun.

    Adapun, syarat peserta seleksi yaitu penyelenggara telekomunikasi yang memenuhi sejumlah ketentuan.

  • Komdigi Wajib Evaluasi Pemanfaatan 1,4 GHz Setiap Tahun, Fokus pada Pemerataan

    Komdigi Wajib Evaluasi Pemanfaatan 1,4 GHz Setiap Tahun, Fokus pada Pemerataan

    Bisnis.com, JAKARTA— Pengamat telekomunikasi meminta Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) untuk secara rutin melakukan evaluasi terhadap pemanfaatan pita frekuensi 1,4 GHz setelah ditentukan pemenangnya nanti. 

    Saat ini, Komdigi telah membuka seleksi lelang pita frekuensi tersebut untuk layanan akses nirkabel pita lebar atau broadband wireless access (BWA). 

    Pengamat telekomunikasi dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Agung Harsoyo, mengatakan evaluasi rutin perlu dilakukan karena pita frekuensi 1,4 GHz merupakan sumber daya yang terbatas. 

    Pemerintah harus memastikan spektrum digunakan secara optimal, tidak hanya dikumpulkan untuk tujuan tertentu.

    “Karena pita frekuensi, 1,4 GHz dalam hal kasus ini, merupakan sumber daya terbatas, maka tiap akhir tahun mesti dievaluasi pemanfaatannya [utilisasi],” kata Agung saat dihubungi Bisnis pada Selasa (29/7/2025).

    Agung menambahkan, apabila operator telekomunikasi pemenang lelang tidak memenuhi komitmen pemerataan layanan internet, maka pemerintah tidak perlu menunggu hingga 10 tahun untuk mencabut izin pemanfaatan spektrum tersebut.

    Menurutnya, ketentuan sanksi tersebut dapat dituangkan secara jelas dalam regulasi yang akan disusun.

    Agung juga menjelaskan pita frekuensi 1,4 GHz telah masuk dalam kategori International Mobile Telecommunications (IMT). Oleh karena itu, perangkat pendukungnya telah tersedia di pasar dan dapat segera digunakan oleh penyelenggara jaringan yang memenangkan lelang.

    Dia menambahkan, jika tujuan utama dari penggelaran layanan berbasis pita 1,4 GHz adalah untuk menghadirkan internet di wilayah yang belum terjangkau jaringan serat optik (fiber optic), maka pemerintah dapat menyediakan data tersebut dalam bentuk informasi geografis.

    Dengan cara ini, lanjut Agung, pemenang lelang dapat menggelar layanan di wilayah-wilayah yang ditargetkan, dan pelaksanaan layanan bisa dinilai secara kuantitatif maupun kualitatif.

    “Sehingga dapat diawasi/dinilai secara kuantitas dan kualitas layanannya,” katanya.

    Agung juga menekankan dari sisi pengguna, masyarakat tidak membedakan apakah akses internet yang mereka gunakan berasal dari jaringan seluler, serat optik ke rumah (fiber to the home / FTTH), maupun BWA.

    Selain itu, menurutnya, penggelaran layanan berbasis pita frekuensi 1,4 GHz memerlukan infrastruktur serupa dengan layanan seluler, seperti menara (tower), tiang (pole), dan perangkat lainnya.

    Dia menilai, ketika pemerintah menetapkan layanan BWA bertujuan untuk pemerataan akses internet, maka sejak awal hal itu perlu disampaikan secara eksplisit menggunakan data berbasis sistem informasi geografis (geographic information system/GIS), agar pemerintah dan masyarakat dapat memantau apakah pemenang lelang memenuhi komitmen pembangunan.

    “Ini tantangan bagi tiga pihak sekaligus—pemerintah, operator, dan masyarakat [pelanggan],” katanya.

    Sementara itu, dari sisi struktur penggelaran jaringan, Agung menilai hal tersebut dapat disinergikan dengan industri seluler.

    “Semisal tower sharing,” katanya.

  • Beban Calon Pemenang Lelang 1,4 GHz: Biaya Frekuensi hingga Perangkat

    Beban Calon Pemenang Lelang 1,4 GHz: Biaya Frekuensi hingga Perangkat

    Bisnis.com, JAKARTA — Kehadiran spektrum frekuensi 1,4 GHz berpotensi membuat penetrasi internet, khususnya fixed broadband, makin luas. Namun, di sisi lain ada beban tambahan yang akan dipikul oleh pemenang lelang. 

    Diketahui pemerintah telah membuka lelang frekuensi 1,4 GHz. Salah satu peruntukan teknologi ini adalah untuk mendorong penetrasi fixed broadband, termasuk melalui teknologi nirkabel atau fixed wireless access (FWA). 

    Pakar telekomunikasi dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Agung Harsoyo memperkirakan ongkos yang harus dikeluarkan perusahaan telekomunikasi dalam menggelar FWA tidak jauh berbeda dengan ongkos untuk menggelar layanan seluler. Namun ada beberapa komponen tambahan.

    “Saya yakin struktur biaya FWA mirip dengan struktur biaya selular. Artinya, pelanggan pada jarak tertentu dari pemancar FWA, struktur biayanya pasti sama,” kata Agung kepada Bisnis, dikutip Selasa (29/5/2025).

    Untuk menyediakan layanan FWA, perusahaan telekomunikasi terlebih dahulu harus menggelar serat optik ke menara telekomunikasi sebagai jalur trafik internet. 

    Adapun yang membedakan dengan seluler eksisting, perusahaan FWA perlu menambah biaya untuk radio unit (modul), frekuensi, dan antena. Dari sisi pelanggan, harus menyiapkan uang lebih untuk modem. 

    Pekerja memperbaiki internet rumah

    Dari sisi modul, berdasarkan informasi yang diterima Bisnis, biaya yang harus disiapkan per site sekitar Rp125 juta – Rp700 juta per site tergantung kelengkapan alat. Sementara itu untuk ruter di masyarakat harganya beragam, bisa mencapai Rp656.000 atau US$30. ISP pemenang lelang juga perlu menyiapkan biaya bandwidth yang tidak murah. 

    Ongkos tersebut dapat ditekan lewat kerja sama dengan pihak ketiga atau melalui diskon biaya hak penggunaan frekuensi. 

    “Saya yakin yang tidak mirip [antara seluler dan FWA 1,4 GHz] adalah harga PNBP atau BHP frekuensinya. Jadi, kalau dari sisi biaya, lebih murah. Kira-kira. Kan itu ranahnya adalah ranah kebijakan. Pemerintah punya kewenangan untuk menurunkan harga mulai dari regulasi,” kata Agung. 

    Sementara itu, Head of Asia Pacific GSMA Julian Gorman mengatakan tantangan utama dalam pemanfaatan frekuensi 1,4 GHz berkaitan dengan kesiapan ekosistem pendukung yang masih minim.

    “Masalah utama dari teknologi 1,4 GHz adalah ukuran ekosistemnya,” ujar Julian dalam konferensi virtual, Senin (28/7/2025). 

    Dia menjelaskan bahwa setiap pita frekuensi yang dialokasikan membutuhkan ekosistem komprehensif agar dapat dimanfaatkan secara efektif—dari pembuat chip, antena, hingga produsen perangkat yang dapat mendukung spektrum tersebut.

    Di berbagai belahan dunia, pita frekuensi paling populer yang lebih dulu diadopsi secara masif adalah 3,5 GHz, diikuti dengan 2,6 GHz. Pita-pita ini mendapat sambutan luas karena didukung oleh rantai pasok global yang matang dan biaya produksi perangkat yang efisien karena skala adopsi yang besar.

    Sebaliknya, pita 1,4 GHz hanya digunakan secara sporadis di beberapa wilayah dunia, sehingga keberadaan perangkat, chip, dan dukungan teknis lainnya masih relatif terbatas. 

    “Kalau Indonesia memilih untuk mengembangkan layanan di pita ini, tentu kontribusi terhadap pembentukan ekosistem global sangat besar. Tetapi untuk saat ini, kurangnya skala adalah tantangan terbesar,” kata Julian. 

    Sebelumnya, Komdigi resmi membuka lelang frekuensi 1,4GHz. Kabar tersebut berdasarkan pengumuman Nomor: 1/SP/TIMSEL1,4/KOMDIGI/2025 Tentang Seleksi Pengguna Pita Frekuensi Radio 1,4 GHz untuk layanan Akses Nirkabel Pitalebar atau Broadband Wireless Access (BWA) Tahun 2025 pada 28 Juli 2025. 

    Dalam pengumuman tersebut, Pemerintah akan melaksanakan seleksi terhadap objek seleksi berupa pita frekuensi radio pada rentang 1432–1512 MHz untuk layanan Time Division Duplexing (TDD) di beberapa wilayah Indonesia. 

    Proses seleksi ini terbagi dalam tiga regional, yakni Regional I,  Regional II, dan Regional III. Adapun masing-masing dengan satu blok seleksi berkapasitas 80 MHz. Masa berlaku Izin Penggunaan Frekuensi Radio (IPFR) ditetapkan selama 10 tahun.

  • Ekosistem 1,4 GHz yang Kurang Matang jadi Tantangan Gelar Layanan di Pita Tengah

    Ekosistem 1,4 GHz yang Kurang Matang jadi Tantangan Gelar Layanan di Pita Tengah

    Bisnis.com, JAKARTA — Kesiapan ekosistem menjadi salah satu tantangan yang akan dihadapi oleh perusahaan telekomunikasi dalam pengembangan layanan data di pita frekuensi 1,4 GHz. 

    Adapun pita frekuensi 1,4 GHz termasuk kategori mid band atau frekuensi pita tengah yang memiliki karakteristik jangkauan lumayan luas dan kapasitas besar.

    Head of Asia Pacific GSMA Julian Gorman mengatakan tantangan utama dalam pemanfaatan frekuensi 1,4 GHz berkaitan dengan kesiapan ekosistem pendukung yang masih minim.

    “Masalah utama dari teknologi 1,4 GHz adalah ukuran ekosistemnya,” ujar Julian dalam konferensi virtual, Senin (28/7/2025). 

    Dia menjelaskan bahwa setiap pita frekuensi yang dialokasikan membutuhkan ekosistem komprehensif agar dapat dimanfaatkan secara efektif—dari pembuat chip, antena, hingga produsen perangkat yang dapat mendukung spektrum tersebut.

    Di berbagai belahan dunia, pita frekuensi paling populer yang lebih dulu diadopsi secara masif adalah 3,5 GHz, diikuti dengan 2,6 GHz. Pita-pita ini mendapat sambutan luas karena didukung oleh rantai pasok global yang matang dan biaya produksi perangkat yang efisien karena skala adopsi yang besar.

    Sebaliknya, pita 1,4 GHz hanya digunakan secara sporadis di beberapa wilayah dunia, sehingga keberadaan perangkat, chip, dan dukungan teknis lainnya masih relatif terbatas. 

    “Kalau Indonesia memilih untuk mengembangkan layanan di pita ini, tentu kontribusi terhadap pembentukan ekosistem global sangat besar. Tetapi untuk saat ini, kurangnya skala adalah tantangan terbesar,” kata Julian. 

    Sementara itu, Pakar telekomunikasi dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Agung Harsoyo mengatakan spektrum frekuensi 1,4 GHz berpotensi digunakan untuk fixed wireless access (FWA).

    Namun, menurut Agung, salah satu tantangan FWA di 1,4 GHz adalah kapasitas frekuensi yang terbatas, sehingga perusahaan telekomunikasi harus rutin menambah investasi jika ingin menjaga layanan di tengah pertumbuhan pelanggan.

    Struktur ongkos yang membengkak akan menjadi tantangan bagi tim produk yang menawarkan paket ke pelanggan. Makin banyak pengguna, makin banyak ongkos, dan makin kecil pula marginnya jika harga layanan tidak dinaikkan. 

    Adapun cara agar kualitas layanan tetap optimal dan pelanggan yang dilayani tetap banyak, serta bisnis perusahaan telekomunikasi tetap sehat, cara yang ditempuh adalah dengan menurunkan ongkos penggunaan spektrum frekuensi atau ongkos regulator.

    “Frekuensi itu kan dihitung berdasarkan yang menggunakan. Jadi kalau yang menggunakan sendirian itu dapat bit rate yang sangat tinggi. Wireless dishare. Berbeda dengan optik.  Artinya itu kan tidak berbeda dengan yang ada di selular,” kata Agung. 

    Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) membuka seleksi pengguna pita frekuensi radio 1,4 GHz untuk layanan akses nirkabel pitalebar (broadband wireless access) tahun 2025.

    Objek seleksi pada pita frekuensi radio 1,4 GHz yang terdiri atas 3 regional yang masing-masing mencakup rentang frekuensi radio 1432 MHz, 1 blok (80 MHz), mode frekuensi radio time division duplexing, serta masa berlaku IPFR 10 tahun.

    Adapun, syarat peserta seleksi yaitu penyelenggara telekomunikasi yang memenuhi sejumlah ketentuan.

    Pertama, memiliki perizinan berusaha penyelenggaraan jaringan tetap lokal berbasis packet- switched melalui media fiber optik atau penyelenggaraan jaringan tetap lokal berbasis circuit switched melalui media fiber optik teresterial dengan KBLI 61100.

    Kedua, perizinan berusaha atau nomor induk berusaha (NIB) penyelenggaraan jaringan tetap tertutup melalui media fiber optik teresterial dengan KBLI 61100 dan jenis proyek utama (bukan  pendukung). 

    Ketiga, NIB penyelenggaraan jaringan tetap lokal berbasis packet-switched melalui media nonkabel (BWA) dengan KBLI 61200 dan jenis proyek utama (bukan pendukung).

    Kemudian, perizinan berusaha penyelenggaraan Internet Service Provider (ISP) dengan KBLI 61921 tidak dalam pengawasan pengadilan terkait kepailitan; tidak dinyatakan pailit atau kegiatan usahanya tidak sedang dihentikan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde).

  • Di Balik Starlink Stop Layani Pelanggan Baru, Ritel dan Korporasi Berebut Kapasitas

    Di Balik Starlink Stop Layani Pelanggan Baru, Ritel dan Korporasi Berebut Kapasitas

    Bisnis.com, JAKARTA— Kapasitas layanan internet berbasis satelit milik SpaceX, Starlink disebut telah mencapai batas maksimum, hingga tidak lagi menerima pelanggan baru di Indonesia. Pengaturan terhadap layanan ini menjadi sorotan.

    Pakar telekomunikasi dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Agung Harsoyo, menjelaskan layanan internet Starlink umumnya dibagi menjadi dua jenis: pertama, layanan dengan jaminan kualitas (Quality of Service/QoS) tertentu, yang biasanya digunakan oleh pelanggan korporasi; dan kedua, layanan berbasis sistem berbagi (shared capacity atau up to), yang umum digunakan oleh pelanggan individu.

    Menurut Agung, penyebab utama kejenuhan kapasitas secara teknis adalah keterbatasan jumlah satelit Starlink yang melintas di wilayah Indonesia, sementara pengguna yang memesan, telah menggunakan, dan akan menggunakan sangat besar. 

    Permintaan besar tersebut terjadi di pelanggan ritel dan juga pelanggan korporasi.

    “Secara teknis, inilah faktor penyebab kejenuhan kapasitas,” kata Agung saat dihubungi Bisnis pada Kamis (17/7/2025).

    Diketahui, Starlink merupakan satelit yang mengorbit pada ketinggian di atas 500 kilometer. Satelit khusus internet tersebut berukuran kecil dan memiliki kapasitas terbatas.

    Di Indonesia, Starlink melayani digunakan untuk tiga hal yaitu menyalurkan internet kepada pelanggan ritel, pelanggan korporasi, dan jaringan pengalur atau backhaul.

    Karakteristik satelit ini untuk pelanggan ritel adalah makin banyak pengguna, maka akan makin menyusut. Sementara itu, untuk pelanggan korporasi dan backhaul karena yang dijual adalah jaminan kualitas layanan (SLA), maka sebisa mungkin reseller Starlink seperti Telkom, Datalake Indonesia, Primacom, dan lain sebagainya, memastikan ketersediaan kapasitas.

    Artinya, walaupun pelanggan belum ada, namun perusahaan harus mengantongi kapasitas satelit Starlink sehingga ketika pelanggan korporasi atau selular masuk, layanan bisa diberikan. 

    Perangkat penerima sinyal Starlink

    Dalam kasus Starlink, SpaceX berhenti memberikan layanan internet kepada pelanggan ritel dan mitra disebabkan kapasitas habis. Starlink juga tidak membagi antara kapasitas untuk ritel, korporasi, dan backhaul, termasuk wilayah yang dilayani.

    Berbeda dengan serat optik yang kapasitasnya dapat ditambah kapanpun tanpa menambah infrastruktur kabel, kapasitas Starlink baru dapat ditambah jika ada satelit baru yang diluncurkan Elon Musk.

    Agung menduga kapasitas Starlink penuh bukan semata disebabkan oleh lonjakan pengguna individu, melainkan kemungkinan juga karena permintaan di korporasi dan backhaul. Hal ini mengingat Starlink mengantongi izin untuk melayani segmen business to business (B2B) maupun business to customer (B2C). 

    Oleh karena itu, Agung mendorong adanya peran regulator dalam memantau dan mengevaluasi jumlah pelanggan yang dilayani oleh Starlink di Indonesia.

    “Regulator dapat melakukan asesmen terhadap penyebab kejenuhan kapasitas yang dilaporkan oleh Starlink,” tambahnya.

    Terkait asumsi Starlink lebih banyak digunakan di wilayah perkotaan, yang semestinya sudah dijangkau layanan fiber optik (FO), Agung mengatakan hal tersebut berkaitan dengan komitmen pembangunan yang biasanya tercantum dalam izin operasional yang dikeluarkan oleh Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi), termasuk kewajiban untuk melayani wilayah terdepan, terluar, dan tertinggal (3T).

    Seharusnya Starlink, dengan kapasitas yang dimiliki sebelumnya, fokus melayani daerah 3T sehingga pemerataan internet terjadi. Namun, yang terjadi adalah sebaliknya.

    “Secara teknis, Starlink tidak memiliki kendala untuk melayani daerah 3T,” ujarnya.

    Sementara itu, VP Corporate Secretary Telkomsat, Fino Arfiantono mengatakan bahwa SpaceX menggunakan satelit yang sama untuk memberikan layanan Starlink bagi pelanggan ritel dan pelanggan korporasi (termasuk backhaul). Namun, Fino memastikan perusahaan hanya memesan kapasitas sesuai dengan kebutuhan pelanggan.

    “Telkomsat membeli layanan sesuai dengan kebutuhan customer. Hal yang sama juga dilakukan oleh reseller yang lainnya,” kata Fino.

    Diberitakan sebelumnya, Starlink saat ini tidak menerima pelanggan baru di Indonesia lataran kehabisan kapasitas.  Perusahaan menyebut aktivasi perangkat baru juga dihentikan sementara bagi pelanggan yang membeli melalui toko ritel atau penjual pihak ketiga. 

    “Layanan Starlink saat ini tidak tersedia untuk pelanggan baru di wilayah Anda karena kapasitasnya telah habis terjual di seluruh Indonesia,” demikian tulis Starlink di laman resminya pada Minggu, 13 Juli 2025. 

    Ilustrasi konektivitas internet

    Fino menjelaskan kebijakan tesebut hanya berlaku bagi pelanggan baru. Sementara itu pelanggan yang telah memesan Starlink sebelum kebijakan tersebut disampaikan, tidak terdampak.

    Dia mengatakan seluruh reseller Starlink di Indonesia telah menerima pemberitahuan resmi pemberhentian layanan, begitupun Telkomsat. 

    “Starlink melakukan pemberhentian layanan dikarenakan kapasitas yang sudah penuh,” kata Fino kepada Bisnis, dikutip Kamis (17/7/2025). Namun demikian, Fino tidak menampik saat ini masih ada antrean pemasangan yang tertunda akibat penghentian penerimaan pelanggan baru dari Starlink.  Pihaknya pun memastikan telah memberikan informasi gangguan tersebut kepada pelanggan yang terdampak. 

    “Telkomsat telah mengirimkan informasi kepada pelanggan baik melalui surat resmi maupun media lain,” katanya.  Sampai dengan saat ini pelanggan yang menggunakan layanan Starlink melalui Telkomsat mencapai sebanyak lebih dari 3000 node.

    Adapun dari jumlah tersebut, Telkomsat hanya melayani pelanggan korporat. Diberitakan sebelumnya, Starlink mengumumkan tidak lagi menerima pelanggan baru di Indonesia melalui laman resminya. 

    Perusahaan menyebut aktivasi perangkat baru juga dihentikan sementara bagi pelanggan yang membeli melalui toko ritel atau penjual pihak ketiga.

    Kebijakan tersebut dilakukan lantaran kapasitas Starlink sudah habis di Indonesia 

    “Layanan Starlink saat ini tidak tersedia untuk pelanggan baru di wilayah Anda karena kapasitasnya telah habis terjual di seluruh Indonesia,” demikian tulis Starlink. SpaceX menyediakan layanan Starlink Business yang menawarkan kecepatan unduh hingga 220 Mbps dan latensi rendah di sebagian besar lokasi, untuk memastikan kelancaran operasional bisnis. 

    Starlink Business menyasar berbagai sektor, termasuk migas, pertambangan, perkebunan, dan operasi lepas pantai, yang seringkali beroperasi di lokasi terpencil.