Tag: Agung Harsoyo

  • Menilik Penyebab Lelang 1,4 GHz Diabaikan Telkomsel hingga XLSmart (EXCL)

    Menilik Penyebab Lelang 1,4 GHz Diabaikan Telkomsel hingga XLSmart (EXCL)

    Bisnis.com, JAKARTA — PT Telekomunikasi Selular, PT Indosat Tbk. (ISAT) dan PT XLSmart Telecom Sejahtera Tbk. (EXCL) memutuskan untuk tidak ikut tahap lanjut lelang frekuensi 1,4 GHz. Telkomsel mundur lebih awal, diikuti oleh XLSMART dan Indosat pada tahap pemenuhan persyaratan. Lantas apa penyebabnya?

    Untuk diketahui, frekuensi 1,4 GHz adalah frekuensi tengah yang memiliki keunggulan cakupan luas. Artinya, 1 BTS dapat menjangkau wilayah yang lebih lebar dibandingkan pita di atasnya seperti 1,8 GH, 2,1 GHz dan 2,3 GHz. Namun menurut GSMA, ekosistem teknologi ini tidak matang di global.

    Dalam menjaring pemenang, Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) kemudian membagi pita 1,4 GHz menjadi 3 zona wilayah, yang secara garis besar antara Sumatra, Pulau Jawa, dan Bali & Nusa Tenggara. Harga dasar masing-masing wilayah berbeda-beda.

    Pengamat Telekomunikasi sekaligus Direktur Eksekutif Indonesia ICT Institute, Heru Sutadi, menyoroti mekanisme seleksi yang memang mengharuskan operator memenuhi sejumlah persyaratan teknis maupun administratif.

    Dia berpendapat mundurnya operator besar bisa terjadi karena berbagai alasan. Menurutnya, ada yang memang mundur setelah mengetahui apa saja hak dan kewajiban sebagaimana tercantum dalam dokumen seleksi. Namun, lanjut dia, biasanya ada juga yang memang tidak memenuhi syarat dan dokumen tidak lengkap. 

    “Seperti bank garansi untuk lelang, memiliki izin yang sesuai, dan proposal teknis serta keuangan jika memenangkan seleksi. Kalau tersisa tiga artinya ya mereka yang benar-benar berminat dan memenuhi syarat untuk lanjut ke seleksi selanjutnya,” katanya, kepada Bisnis pada Rabu (1/10/2025).

    Meski demikian, Heru menilai implementasi jaringan 1,4 GHz bukanlah hal yang mudah. Pasalnya membutuhkan jaringan yang nantinya harus dikombinasikan dengan teknologi nirkabel. 

    BTS Internet

    Berbeda dengan seluler, jangkauan 1,4 GHz terbatas sehingga lebih mengandalkan jaringan berbasis serat optik. Dia menambahkan, meski tiga peserta yang tersisa dinilai cukup kuat, tantangan tetap ada terutama dalam menjangkau wilayah timur Indonesia.

    “Dari ketiga peserta saya melihat cukup kuat untuk bersaing, dan kita harapkan bisa memberikan layanan internet dengan kecepatan tinggi dan murah, yang disebut Rp100 ribu. Hanya memang untuk Timur Indonesia tidak semua siap,” kata Heru.

    Pengamat telekomunikasi dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Agung Harsoyo menilai frekuensi 1,4 GHz memiliki potensi besar meskipun saat ini belum banyak dimanfaatkan.

    “Pita frekuensi 1.4GHz salah satu pita mid-band [1 GHz – 6 GHz] dari IMT. Cepat atau lambat, pabrikan handphone akan memasukkan pita frekuensi ini ke dalam produknya. Dari hal ini, pada dasarnya yang tepat untuk memanfaatkannya adalah operator selular,” kata Agung.

    Menurutnya, ada tiga kondisi umum yang harus dipenuhi industri dalam memanfaatkan pita frekuensi ini, yakni kemampuan modal besar untuk menggelar jaringan, kemampuan mematuhi regulasi, serta kemampuan mengikuti perkembangan teknologi.

    “Ketika operator selular mundur dari lelang, boleh jadi terkait pertimbangan bisnis saat ini, semisal belum matangnya ekosistem 1.4GHz,” tambahnya.

    Tak Masuk Rencana Bisnis

    PT XLSmart Telecom Sejahtera Tbk memutuskan untuk tidak melanjutkan proses seleksi pengguna pita frekuensi radio 1,4 GHz untuk layanan akses nirkabel pitalebar (broadband wireless access/BWA) tahun 2025.

    Group Head Regulatory & Government Relations XLSMART Alvin Aslam menyampaikan, keputusan tersebut didasari oleh sejumlah pertimbangan internal perusahaan.

    “XLSMART memutuskan untuk tidak melanjutkan proses lelang, dengan pertimbangan prioritas dan ketidaksesuaian dengan rencana bisnis XLSMART,” ujar Alvin.

    Petugas memperbaiki pemancar di salah satu menara telekomunikasi

    Sebelumnya, terdapat tujuh penyelenggara telekomunikasi yang mendaftar sebagai calon peserta seleksi dengan mengambil dokumen seleksi pada 11–20 Agustus 2025. Mereka adalah PT XLSMART Telecom Sejahtera Tbk, PT Indosat Tbk, PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk, PT Telemedia Komunikasi Pratama, PT Netciti Persada, PT Telekomunikasi Seluler, dan PT Eka Mas Republik.

    Dari tujuh calon peserta tersebut, hanya lima yang menyerahkan dokumen permohonan keikutsertaan pada 23 September 2025, yakni PT Eka Mas Republik, PT Telemedia Komunikasi Pratama, PT Indosat Tbk, PT XLSMART Telecom Sejahtera Tbk, dan PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk. 

    Pemeriksaan kelengkapan dokumen dilakukan pada hari yang sama, pukul 14.00–16.00 WIB, disaksikan perwakilan masing-masing peserta.

    Dokumen para peserta ditandatangani secara elektronik menggunakan sertifikat yang diterbitkan Balai Besar Sertifikasi Elektronik (BSrE), Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN). Hasil pemeriksaan menunjukkan PT Eka Mas Republik, PT Telemedia Komunikasi Pratama, dan PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk dinyatakan lengkap. Sementara itu, PT Indosat Tbk dan PT XLSMART Telecom Sejahtera Tbk dokumennya tidak lengkap dan akhirnya menyatakan pengunduran diri.

    Dengan demikian, dari tujuh perusahaan yang mengambil dokumen seleksi, kini hanya tiga yang tersisa untuk melanjutkan ke tahap lelang harga, yakni PT Telemedia Komunikasi Pratama, PT Eka Mas Republik, dan PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk. Mereka akan bersaing memperebutkan pita frekuensi 1,4 GHz yang terbagi ke dalam tiga zona.

    Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) menyatakan proses seleksi akan berlanjut sesuai ketentuan. 

    “Sesuai ketentuan dalam Dokumen Seleksi Pengguna Pita Frekuensi Radio 1,4 GHz untuk Layanan Akses Nirkabel Pitalebar [Broadband Wireless Access] Tahun 2025, maka berdasarkan hasil evaluasi administrasi sebagaimana dimaksud dalam angka 5, proses seleksi dilanjutkan ke tahapan lelang harga,” tulis Komdigi dalam laman resminya, Rabu (1/10/2025).

    Adapun, tahapan lelang harga dijadwalkan berlangsung mulai Senin, 13 Oktober 2025, melalui sistem e-Auction. Peserta yang tidak lolos evaluasi administrasi tetap memiliki hak untuk menyampaikan sanggahan atas hasil evaluasi tersebut. 

    Sanggahan dapat diajukan secara daring melalui sistem e-Auction paling lambat Jumat, 3 Oktober 2025 pukul 15.00 WIB, dengan melampirkan bukti yang memperkuat sanggahan.

    Diberitakan sebelumnya, dari tujuh perusahaan telekomunikasi yang mengambil dokumen seleksi, hanya lima yang mengajukan dokumen permohonan, yakni PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk., PT Indosat Tbk., PT XL Smart Telecom Sejahtera Tbk., PT Telemedia Komunikasi Pratama, dan PT Eka Mas Republik.

    Namun, dalam proses pemeriksaan dokumen pada 23 September 2025, Indosat dan XL Smart memutuskan mundur. 

    Alhasil, hanya tersisa tiga peserta, yaitu Telkom, Telemedia Komunikasi Pratama (anak usaha WIFI), dan Eka Mas Republik, yang akan bersaing memperebutkan pita 1,4 GHz yang terbagi dalam tiga zona.

    Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) menyatakan seleksi telah memasuki tahap lelang harga yang akan dimulai pada Senin, 13 Oktober 2025 melalui sistem e-Auction. Peserta juga masih diberikan kesempatan untuk menyampaikan sanggahan atas hasil evaluasi administrasi paling lambat Jumat, 3 Oktober 2025 pukul 15.00 WIB.

  • Operator Besar Mundur dari Lelang, Pengamat Beberkan Potensi Frekuensi 1,4 GHz

    Operator Besar Mundur dari Lelang, Pengamat Beberkan Potensi Frekuensi 1,4 GHz

    Bisnis.com, JAKARTA — Lelang frekuensi 1,4 GHz untuk layanan akses nirkabel pita lebar (Broadband Wireless Access/BWA) kini hanya menyisakan tiga peserta. Sejumlah operator besar seperti Telkomsel, Indosat, dan XLSMART memilih mundur dari proses seleksi.

    Pengamat telekomunikasi dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Agung Harsoyo menilai frekuensi 1,4 GHz memiliki potensi besar meskipun saat ini belum banyak dimanfaatkan.

    “Pita frekuensi 1.4GHz salah satu pita mid-band [1 GHz – 6 GHz] dari IMT. Cepat atau lambat, pabrikan handphone akan memasukkan pita frekuensi ini ke dalam produknya. Dari hal ini, pada dasarnya yang tepat untuk memanfaatkannya adalah operator selular,” kata Agung kepada Bisnis pada Rabu (1/10/2025).

    Menurutnya, ada tiga kondisi umum yang harus dipenuhi industri dalam memanfaatkan pita frekuensi ini, yakni kemampuan modal besar untuk menggelar jaringan, kemampuan mematuhi regulasi, serta kemampuan mengikuti perkembangan teknologi.

    “Ketika operator selular mundur dari lelang, boleh jadi terkait pertimbangan bisnis saat ini, semisal belum matangnya ekosistem 1.4GHz,” tambahnya.

    Sementara itu, Pengamat Telekomunikasi sekaligus Direktur Eksekutif Indonesia ICT Institute, Heru Sutadi, menyoroti mekanisme seleksi yang memang mengharuskan operator memenuhi sejumlah persyaratan teknis maupun administratif.

    “Seleksi biasanya ada beberapa tahap. Pendaftaran, seleksi administrasi, kemudian lelang, ada masa sanggah, baru penetapan pemenang,” kata Heru.

    Dia menambahkan, mundurnya peserta bisa terjadi karena berbagai alasan. Menurutnya, ada yang memang mundur setelah mengetahui apa saja hak dan kewajiban sebagaimana tercantum dalam dokumen seleksi. Namun, lanjut dia, biasanya ada juga yang memang tidak memenuhi syarat dan dokumen tidak lengkap. 

    “Seperti bank garansi untuk lelang, memiliki izin yang sesuai, dan proposal teknis serta keuangan jika memenangkan seleksi. Kalau tersisa tiga artinya ya mereka yang benar-benar berminat dan memenuhi syarat untuk lanjut ke seleksi selanjutnya,” katanya.

    Meski demikian, Heru menilai implementasi jaringan 1,4 GHz bukanlah hal yang mudah. Pasalnya membutuhkan jaringan yang nantinya harus dikombinasikan dengan teknologi nirkabel. 

    Berbeda dengan seluler, jangkauan 1,4 GHz terbatas sehingga lebih mengandalkan jaringan berbasis serat optik. Dia menambahkan, meski tiga peserta yang tersisa dinilai cukup kuat, tantangan tetap ada terutama dalam menjangkau wilayah timur Indonesia.

    “Dari ketiga peserta saya melihat cukup kuat untuk bersaing, dan kita harapkan bisa memberikan layanan internet dengan kecepatan tinggi dan murah, yang disebut Rp100 ribu. Hanya memang untuk Timur Indonesia tidak semua siap,” kata Heru.

    Diberitakan sebelumnya, dari tujuh perusahaan telekomunikasi yang mengambil dokumen seleksi, hanya lima yang mengajukan dokumen permohonan, yakni PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk., PT Indosat Tbk., PT XL Smart Telecom Sejahtera Tbk., PT Telemedia Komunikasi Pratama, dan PT Eka Mas Republik.

    Namun, dalam proses pemeriksaan dokumen pada 23 September 2025, Indosat dan XL Smart memutuskan mundur. 

    Alhasil, hanya tersisa tiga peserta, yaitu Telkom, Telemedia Komunikasi Pratama (anak usaha WIFI), dan Eka Mas Republik, yang akan bersaing memperebutkan pita 1,4 GHz yang terbagi dalam tiga zona.

    Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) menyatakan seleksi telah memasuki tahap lelang harga yang akan dimulai pada Senin, 13 Oktober 2025 melalui sistem e-Auction. Peserta juga masih diberikan kesempatan untuk menyampaikan sanggahan atas hasil evaluasi administrasi paling lambat Jumat, 3 Oktober 2025 pukul 15.00 WIB.

  • Jelang 3 Tahun UU PDP Disahkan, Pelindungan Data Warga RI di Tangan Masing-masing

    Jelang 3 Tahun UU PDP Disahkan, Pelindungan Data Warga RI di Tangan Masing-masing

    Bisnis.com, JAKARTA — Hampir 3 tahun Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi (UU PDP) disahkan, aturan turunan dan lembaga pengawas yang diamanatkan undang-undang itu tak kunjung terbentuk. 

    Padahal keberadaan aturan turunan dan lembaga pengawas sangat penting. Kekosongan dua komponen tersebut membuat UU PDP kurang bertaji dan pelindungan data masyarakat dikembalikan kepada masing-masing individu.

    Pengamat teknologi informasi (IT) dan keamanan siber dari Vaksin.com, Alfons Tanujaya, menilai efektivitas UU PDP dalam mengurangi risiko kebocoran data akan sangat bergantung pada bagaimana lembaga pelindungan data pribadi yang dibentuk nantinya menjalankan pengawasan dan penegakan hukum.

    “Sejauh mana UU PDP dapat mengurangi resiko kebocoran data, itu tergantung dari bagaimana badan PDP yang dibentuk ini menjalankan pengawasan dan melakukan penegakan hukum atas pelanggaran yang terjadi,” kata Alfons kepada Bisnis pada Rabu (24/9/2025). 

    Alfons menilai tanpa adanya tindakan tegas dan konsisten terhadap pelanggaran, UU PDP hanya akan bernasib sama seperti aturan lalu lintas yang kerap dilanggar. Menurutnya, meski rambu sudah jelas, banyak pengguna jalan tetap melanggar karena tidak ada kesadaran mengikuti aturan, memilih jalan mudah, serta lemahnya penegakan hukum.

    Alfons menambahkan, posisi Indonesia masih lemah dari sisi kekuatan cyber army, meski potensinya besar mengingat jumlah pengguna internet di Tanah Air menduduki peringkat keempat dunia. 

    Menurutnya, potensi ini seharusnya dapat dikelola pemerintah agar talenta digital dalam negeri tidak memilih berkiprah di luar negeri.

    “Jika UU PDP tidak diterapkan dengan optimal maka hal ini tidak akan meningkatkan kesadaran kualitas pengelolaan data dan hal ini akan berakibat buruk bagi perkembangan dunia digital Indonesia karena pengelolaan data yang buruk akan mengakibatkan eksploitasi baik karena kebocoran atau hal lainnya,” katanya. 

    Ilustrasi hacker

    Hal tersebut  menurutnya akan menurunkan kepercayaan masyarakat kepada kanal digital khususnya lembaga yang kerap mengalami kebocoran data dan secara tidak langsung akan memperlambat atau menghambat perkembangan di dunia digital. Lebih lanjut, Alfons menegaskan perlunya penegakan aturan yang tegas, adil, dan transparan.

    “Bukan macan ompong yang hanya bisa menggertak tanpa ada usaha persuasif dan tindakan tegas tidak akan mendorong kesadaran pengelolaan data yang baik,” imbuhnya .

    Dia juga menyinggung lambannya proses pembentukan lembaga PDP. Menurutnya, perjalanan UU PDP sejak perumusan hingga pengesahan sudah memakan waktu lama, dan setelah diundangkan pun lembaga pelaksananya belum terbentuk.

    Meski begitu, dia tetap berharap lembaga PDP segera terbentuk dan mampi menjalankan tugasnya dengan baik dan mengawal pelindungan data pribadi dari pengguna layanan digital di Indonesia. 

    “Dan akan sangat menggembirakan jika aturan UU PDP tersebut dijalankan dengan konsisten dan tidak pandang bulu,” ungkap Alfons.

    Dia menekankan, penerapan konsisten UU PDP akan meningkatkan kesadaran pengelola data untuk bertanggung jawab serta memperlakukan data pribadi masyarakat sebagai amanah yang wajib dijaga, bukan semata objek yang bisa dieksploitasi.

    “Harapannya UU PDP akan meningkatkan kesadaran pengelola data agar dapat bertanggungjawab dalam pengelolaan data dan memperlakukan data itu sebagai amanah yang harus dijaga dan bukan hanya sebagai obyek yang dapat dieksploitasi tanpa mempedulikan pemilik data [masyarakat],” tutupnya.

    Pengamat telekomunikasi dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Agung Harsoyo mengatakan absennya dua instrumen penting itu membuat pelaksanaan UU PDP masih jauh dari harapan. 

    “Pelaksanaan UU PDP belum akan optimal selagi butir 1 [PP] dan 2 [LPPDP] belum ada,” katanya.

    Sebelumnya, Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) mengungkap pembentukan LPPDP masih dalam tahap harmonisasi. Wakil Menteri Komunikasi dan Digital (Wamenkomdigi) Nezar Patria menjelaskan, proses pembahasan masih berjalan lantaran kompleksitas substansi pasal-pasal dalam UU PDP.

    “Lembaga PDP lagi diharmonisasi ya, lagi dibahas terus karena pasalnya banyak, lebih dari 200 ya jadi harus dilihat satu per satu pasal-pasal itu dan kami harapkan bisa segera selesai,” kata Nezar di Kantor Komdigi, Senin (28/7/2025).

    Dia menargetkan proses harmonisasi rampung pada Agustus agar kejelasan institusi pelindung data pribadi segera tercapai, khususnya dalam konteks kerja sama internasional. 

    “Kalau bisa seperti ini jadi kami bisa speed up prosesnya sehingga kejelasan yang diminta itu kami bisa berikan,” lanjutnya.

    Ilustrasi hacker mencuri data pribadi

    Sejalan dengan itu, Komdigi juga menyebut aturan turunan dari UU PDP masih dalam tahap pembahasan. Direktur Jenderal Pengawasan Ruang Digital Komdigi, Brigjen Pol Alexander, mengatakan rancangan peraturan pemerintah dari UU PDP terus dibahas secara rutin.

    “Itu [turunan UU PDP] ada 200-an pasal 200. Itu pembahasannya hampir tiap minggu, dan baru sampai pasal 90-an. Jadi masih berproses, semoga bisa segera,” kata Alexander di Komdigi, Jumat (9/5/2025).

    Sebelumnya, Presiden Joko Widodo secara resmi menandatangani berlakunya UU PDP pada 17 Oktober 2022. Undang-undang ini diyakini menjadi tonggak penting untuk menjamin keamanan data pribadi masyarakat dari pencurian maupun pemalsuan, sekaligus mengawal transformasi digital Indonesia menuju era Industri 5.0.

    Sebagai produk legislasi lex specialis, UU PDP memiliki kedudukan yang lebih kuat dibanding regulasi lain jika terjadi konflik pengaturan. Artinya, jika ada pertentangan dengan aturan lain, maka UU PDP menjadi rujukan utama.

    UU PDP juga mengatur detail terkait pengendalian data yang dilakukan individu, badan publik, hingga organisasi internasional. 

    Selain itu, undang-undang ini mengamanatkan pembentukan lembaga pelindungan data pribadi yang bertanggung jawab langsung kepada presiden, dengan kewenangan antara lain merumuskan kebijakan, melakukan pengawasan kepatuhan, hingga menjatuhkan sanksi administratif.

    Meski UU PDP telah berlaku hampir tiga tahun, Indonesia masih masuk daftar negara dengan jumlah kebocoran data tertinggi di dunia. 

    Riset white paper bertajuk Where’s The Fraud: Protecting Indonesian Business from AI-Generated Digital Fraud yang dipublikasikan PT Indonesia Digital Identity (VIDA) menunjukkan, Indonesia menempati peringkat ke-13 global sekaligus tertinggi di Asia Tenggara dalam kasus kebocoran data.

    “Indonesia berada di peringkat ke-13 secara global untuk kebocoran data, tertinggi di Asia Tenggara, menurut Statistik Pelanggaran Data Global Surfshark [2004−2024],” demikian kutipan riset tersebut.

    Jumlah kebocoran data di Indonesia mencapai 157.053.913 kasus, jauh lebih tinggi dibandingkan Malaysia (52.030.140 kasus), Thailand (48.924.923 kasus), dan Singapura (34.731.337 kasus).

  • 3 Tahun Berjalan, Lembaga Pengawas Tak Kunjung Muncul

    3 Tahun Berjalan, Lembaga Pengawas Tak Kunjung Muncul

    Bisnis.com, JAKARTA — Hampir 3 tahun Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi (UU PDP) disahkan, aturan turunan dan lembaga pengawas yang diamanatkan undang-undang itu tak kunjung terbentuk. 

    Pengamat telekomunikasi dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Agung Harsoyo, menilai kondisi tersebut membuat pelaksanaan UU PDP belum berjalan optimal.

    “UU PDP mengamanahkan adanya peraturan turunan berupa PP [Peraturan Pemerintah] yang melakukan pengaturan lebih rinci terkait pelaksanaan UU PDP. Karena hingga saat ini belum terbentuk,  maka hal ini yang mesti kita dorong agar Komdigi merampungkannya,” kata Agung kepada Bisnis pada Rabu (24/9/2025). 

    Dia menambahkan, selain PP, pembentukan Lembaga Pelaksana Pelindungan Data Pribadi (LPPDP) juga belum terealisasi. Karena itu, dia berharap Komdigi segera merampungkannya. Menurut Agung, absennya dua instrumen penting itu membuat pelaksanaan UU PDP masih jauh dari harapan. 

    “Pelaksanaan UU PDP belum akan optimal selagi butir 1 [PP] dan 2 [LPPDP] belum ada,” katanya.

    Sebelumnya, Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) mengungkap pembentukan LPPDP masih dalam tahap harmonisasi. Wakil Menteri Komunikasi dan Digital (Wamenkomdigi) Nezar Patria menjelaskan, proses pembahasan masih berjalan lantaran kompleksitas substansi pasal-pasal dalam UU PDP.

    “Lembaga PDP lagi diharmonisasi ya, lagi dibahas terus karena pasalnya banyak, lebih dari 200 ya jadi harus dilihat satu per satu pasal-pasal itu dan kami harapkan bisa segera selesai,” kata Nezar di Kantor Komdigi, Senin (28/7/2025).

    Dia menargetkan proses harmonisasi rampung pada Agustus agar kejelasan institusi pelindung data pribadi segera tercapai, khususnya dalam konteks kerja sama internasional. 

    “Kalau bisa seperti ini jadi kami bisa speed up prosesnya sehingga kejelasan yang diminta itu kami bisa berikan,” lanjutnya.

    Sejalan dengan itu, Komdigi juga menyebut aturan turunan dari UU PDP masih dalam tahap pembahasan. Direktur Jenderal Pengawasan Ruang Digital Komdigi, Brigjen Pol Alexander, mengatakan rancangan peraturan pemerintah dari UU PDP terus dibahas secara rutin.

    “Itu [turunan UU PDP] ada 200-an pasal 200. Itu pembahasannya hampir tiap minggu, dan baru sampai pasal 90-an. Jadi masih berproses, semoga bisa segera,” kata Alexander di Komdigi, Jumat (9/5/2025).

    Sebelumnya, Presiden Joko Widodo secara resmi menandatangani berlakunya UU PDP pada 17 Oktober 2022. Undang-undang ini diyakini menjadi tonggak penting untuk menjamin keamanan data pribadi masyarakat dari pencurian maupun pemalsuan, sekaligus mengawal transformasi digital Indonesia menuju era Industri 5.0.

    Sebagai produk legislasi lex specialis, UU PDP memiliki kedudukan yang lebih kuat dibanding regulasi lain jika terjadi konflik pengaturan. Artinya, jika ada pertentangan dengan aturan lain, maka UU PDP menjadi rujukan utama.

    UU PDP juga mengatur detail terkait pengendalian data yang dilakukan individu, badan publik, hingga organisasi internasional. 

    Selain itu, undang-undang ini mengamanatkan pembentukan lembaga pelindungan data pribadi yang bertanggung jawab langsung kepada presiden, dengan kewenangan antara lain merumuskan kebijakan, melakukan pengawasan kepatuhan, hingga menjatuhkan sanksi administratif.

    Meski UU PDP telah berlaku hampir tiga tahun, Indonesia masih masuk daftar negara dengan jumlah kebocoran data tertinggi di dunia. 

    Riset white paper bertajuk Where’s The Fraud: Protecting Indonesian Business from AI-Generated Digital Fraud yang dipublikasikan PT Indonesia Digital Identity (VIDA) menunjukkan, Indonesia menempati peringkat ke-13 global sekaligus tertinggi di Asia Tenggara dalam kasus kebocoran data.

    “Indonesia berada di peringkat ke-13 secara global untuk kebocoran data, tertinggi di Asia Tenggara, menurut Statistik Pelanggaran Data Global Surfshark [2004−2024],” demikian kutipan riset tersebut.

    Jumlah kebocoran data di Indonesia mencapai 157.053.913 kasus, jauh lebih tinggi dibandingkan Malaysia (52.030.140 kasus), Thailand (48.924.923 kasus), dan Singapura (34.731.337 kasus).

  • Kawal 330.000 Smart Tv Sekolah, Kapasitas Cukup?

    Kawal 330.000 Smart Tv Sekolah, Kapasitas Cukup?

    Bisnis.com, JAKARTA— Rencana pemerintah mendistribusikan 330.000 layar digital pintar (Smart TV) ke sekolah-sekolah di seluruh Indonesia menghadapi tantangan besar dari sisi infrastruktur, khususnya ketersediaan kapasitas satelit.

    Pengamat Telekomunikasi sekaligus Direktur Eksekutif Indonesia ICT Institute, Heru Sutadi, menilai kapasitas Satelit Satria-1 saat ini belum mencukupi untuk menopang kebutuhan program pendidikan digital tersebut.

    “Satelit memang solusi ideal untuk wilayah 3T [tertinggal, terdepan, terluar], tetapi untuk skala sebesar ini, kemungkinan kapasitasnya terbatas sangat tinggi,” kata Heru saat dihubungi Bisnis pada Minggu (21/9/2025).

    Sekadar informasi, Satria-1 memiliki kapasitas sekitar 150 Gbps. Pada Juni 2025, sekitar 70% dari kapasitas tersebut telah terpakai. Artinya sisa kapasitas pada saat itu sekitar 45 Gbps. 

    Sementara itu belum diketahui berapa besar bandwidth yang akan terpakai jika Satria-1 juga dialokasi untuk kebutuhan Smart TV untuk sekolah. .

    Heru mengingatkan tanpa penambahan satelit atau optimalisasi infrastruktur lain seperti BTS, program ini berisiko tersendat. 

    Dia menilai kapasitas satelit saat ini belum cukup untuk menjamin kelancaran distribusi konten pendidikan ke seluruh sekolah. 

     “Program tersebut menuntut bandwidth besar untuk konten interaktif seperti animasi, yang jelas-jelas menguras sumber daya satelit,” imbuh Heru.

    Alternatif

    Dia juga menekankan pentingnya kombinasi infrastruktur agar distribusi konten pendidikan berjalan lancar. Misalnya, dengan memanfaatkan kapasitas satelit milik penyelenggara telekomunikasi lain. Namun, untuk itu perlu disediakan perangkat VSAT di wilayah yang membutuhkan, serta alokasi anggaran untuk menyewa kapasitas satelit swasta.

    Selain itu, Heru menambahkan, pemanfaatan BTS maupun jaringan serat optik juga bisa menjadi pilihan. Menurutnya, perlu ada pemetaan jelas mengenai wilayah yang menggunakan satelit, seluler, maupun serat optik.

    “Dan karena menggunakan jaringan yang tidak dimiliki pemerintah, maka sekali lagi harus ada anggaran sewanya jaringannya dan perangkat tambahan agar smart TV-nya bisa mendapat sinyal internet,” kata Heru.

    Pusat Gawet Satelit Satria-1

    Dia mengingatkan dampak serius bila hanya mengandalkan Satria-1, seperti layar digital pintar di sekolah pelosok akan terganggu, koneksi lambat, konten animasi macet, dan akses pendidikan digital timpang, khususnya di wilayah 3T. 

    “Masalah infrastruktur ini bukan hanya soal teknis, tapi ancaman terhadap visi pemerataan pendidikan yang digagas Presiden Prabowo. Harus segera dicarikan solusi,” tegasnya.

    Oleh sebab itu, Heru menyarankan pemerintah harus agresif melibatkan operator telekomunikasi untuk menambah BTS, memperluas serat optik, hingga menyiapkan alokasi bandwidth khusus. 

    “Jika tidak, tambah satelit baru atau alokasikan bandwidth khusus untuk pendidikan. Tanpa langkah cepat, program ambisius ini dikhawatirkan tidak berjalan sesuai harapan Presiden Prabowo,” katanya.

    Aktif Secara Bersamaan

    Sementara itu, pengamat telekomunikasi dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Agung Harsoyo, menilai kebutuhan bandwidth sebenarnya bisa disesuaikan dengan standar resolusi tayangan Smart TV. Dia menjelaskan, di Indonesia beredar beberapa jenis smart TV, mulai dari SD, HD, hingga 4K. 

    Masing-masing membutuhkan kecepatan transfer data yang berbeda, di mana semakin tinggi resolusinya, semakin besar pula kebutuhan bandwidth. Kebutuhan internet pada smart TV juga dipengaruhi oleh jumlah frame per detik.

    “Untuk keperluan pembelajaran, dengan SD [standard definition] dan 30 fps mencukupi. Hal ini dapat dilayani dengan Satelit Satria,” kata Agung kepada Bisnis.

    Namun, dia mengingatkan perlunya perhitungan matang dari pemerintah, termasuk terkait jumlah smart TV yang dapat dilayani secara bersamaan yang harus dihitung oleh Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (BAKTI). 

    “Dengan adanya layanan Internet melalui fiber optik, BTS 4G/5G, dan Satelit Satria, dapat melayani 330.000 konektivitas Smart TV,” tambahnya.

    Sebelumnya, Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) memastikan akan menyediakan konektivitas andal dan merata untuk mendukung program digitalisasi pendidikan melalui Smart TV. 

    Peluncuran Satelit Satria-1

    Staf Ahli Bidang Sosial, Ekonomi, dan Budaya Komdigi, Wijaya Kusumawardhana, mengatakan pihaknya sudah menyiapkan alternatif infrastruktur sesuai kondisi wilayah.

    “Kalau tidak bisa dengan fiberisasi, kami pakai tadi BTS, paling tidak kita menyediakan juga dengan satelit, dengan apa itu, parabola, kami menyediakan itu,” kata Wijaya dilansir dari Antara, Minggu (21/9/2025).

    Menurut catatan BAKTI, hingga Juni 2025, kapasitas Satelit Satria-1 sudah terpakai 70% untuk menyalurkan internet ke puluhan ribu titik. 

    Artinya, hanya tersisa 30% yang dapat digunakan untuk meningkatkan kapasitas dan menjaga layanan. Bakti menargetkan kapasitas satelit bisa mencapai 90% tahun ini. Wijaya menambahkan, Komdigi akan melakukan penyesuaian agar program distribusi layar digital pintar berjalan optimal. 

    “Karena ini untuk smart TV, tentunya kami lihat konfigurasinya dan nanti kami sesuaikan,” katanya.

    Dia juga menegaskan operator telekomunikasi akan dilibatkan dalam program tersebut. “Kami pasti akan melibatkan teman-teman dari operator untuk terlibat di dalam program-program pemerintah tentunya,” ujarnya.

    Seperti diketahui, Presiden Prabowo Subianto menyiapkan distribusi 330.000 Smart TV untuk sekolah-sekolah di Indonesia. Melalui teknologi ini, pelajaran dengan konten interaktif, termasuk animasi, diharapkan bisa diakses secara merata oleh siswa di seluruh daerah.

  • Akademisi Sarankan Pemda Sinergi dengan Operator Telekomunikasi, Bukan Tarik PAD

    Akademisi Sarankan Pemda Sinergi dengan Operator Telekomunikasi, Bukan Tarik PAD

    Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah daerah disarankan untuk mengembangkan kerja sama saling menguntungkan alih-alih meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari sektor telekomunikasi. 

    Kekhawatiran peningkatan PAD muncul seiring dengan pemangkasan alokasi transfer ke daerah atau TKD sebanyak Rp269 triliun tahun depan. 

    Dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026, dana TKD dianggarkan Rp650 triliun atau turun dari tahun ini yang ditetapkan Rp919 triliun.

    Pemangkasan TKD tersebut dikhawatirkan mendorong pemerintah daerah untuk meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD), termasuk melalui retribusi di sektor telekomunikasi, khususnya pungutan kepada operator seluler dalam penyelenggaraan jaringan kabel.

    Pengamat telekomunikasi dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Agung Harsoyo, menilai potensi kenaikan retribusi dapat diantisipasi dengan pendekatan business case baru. Menurutnya, skema Government to Business (G2B) bisa dijalankan melalui Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) maupun Badan Usaha Milik Desa (BUMDes).

    “Kerja sama saling menguntungkan. Bukan dengan cara menaikkan pungutan [retribusi], tapi simbiosis mutualisme,” kata Agung saat dihubungi Bisnis pada Rabu (10/9/2025).

    Agung menjelaskan, BUMD atau BUMDes dapat berinvestasi pada elemen jaringan di level lokal. Dari investasi tersebut, bisa diterapkan mekanisme revenue sharing yang proporsional sesuai kontribusi masing-masing pihak.

    “Hal ini akan menguntungkan daerah. Penetrasi layanan akan lebih merata, lebih cepat, biaya penggelaran lebih murah; dan implikasinya akan menaikkan PAD,” ujarnya.

    Sebelumnya, Asosiasi Penyelenggara Jaringan Telekomunikasi (Apjatel) menilai pemangkasan TKD dalam 

    RAPBN 2026 kemungkinan berpotensi memicu peningkatan beban retribusi bagi industri telekomunikasi. Ketua Umum Apjatel, Jerry Siregar, mengatakan penurunan Rp269 triliun tersebut diperkirakan akan berdampak pada agresivitas pemerintah daerah untuk meningkatkan PAD. 

    “Ada kemungkinan [biaya retribusi naik karena TKD] karena sekarang sama yang terjadi di industri telekomunikasi. Di tengah persaingan yang sengit pemimpin daerah membahas apa yang berpotensi untuk menjadi PAD,” kata Jerry kepada Bisnis pada Selasa (9/9/2025). 

    Menurutnya, meski sudah ada perubahan regulasi melalui Permendagri Nomor 19/2016 menjadi Permendagri Nomor 7/2024 yang dinilai positif, praktik di lapangan masih menunjukkan banyak daerah yang tetap memberlakukan pungutan retribusi. Dia mencontohkan praktik di Surabaya yang didasarkan pada Perda Nomor 5/2017 dan Perwali Nomor 80/2018 yang hingga kini masih berlaku.

    Lebih lanjut, Jerry menyebutkan beban biaya regulasi tidak hanya datang dari pemerintah daerah, tetapi juga berbagai instansi lain. Misalnya, PT Kereta Api Indonesia (KAI) memungut biaya crossing railway untuk kabel yang melintasi jalur kereta api, sementara di sektor kehutanan perizinan masih sulit dengan biaya yang dinilai menantang.

    “Ada banyak ongkos regulator. Sangat berasa terlihat dari keluhan para pelaku usaha. Ini sesuatu yang terus berulang seperti kaset rusak,” katanya.

  • Di Tengah Era Satelit LEO, Bagaimana Nasib Bisnis GEO?

    Di Tengah Era Satelit LEO, Bagaimana Nasib Bisnis GEO?

    Bisnis.com, JAKARTA— Kehadiran satelit Low Earth Orbit (LEO) yang kian marak dengan berbagai layanan internet satelit global tidak serta-merta membuat keberadaan satelit Geostationary Orbit (GEO) terpinggirkan. 

    Para pengamat menilai, baik LEO maupun GEO memiliki karakteristik, keunggulan, dan tantangan masing-masing, sehingga bisnis keduanya masih akan beriringan.

    Pengamat telekomunikasi sekaligus Direktur Eksekutif Indonesia ICT Institute, Heru Sutadi, menilai persaingan antara penyedia layanan satelit LEO dan GEO kini semakin terbuka. Namun, pasar untuk masing-masing teknologi sesungguhnya berbeda.

    “Ya memang kini terjadi persaingan antara penyedia layanan satelit LEO dan GEO. Tapi sebenarnya, masing-masing punya karakteristik dan keunggulan serta tantangan masing-masing, sehingga pasarnya sebenarnya juga berbeda-beda,” kata Heru saat dihubungi Bisnis pada Kamis (4/9/2025). 

    Menurutnya, kehadiran kedua jenis satelit tersebut tidak saling meniadakan. Dia mengatakan dua-duanya bisa jalan beriringan dan saling komplementer. Heru menjelaskan, satelit LEO memiliki kecepatan dan kapasitas lebih tinggi dibandingkan GEO, tetapi membutuhkan ribuan satelit sehingga investasinya besar. 

    Sementara itu, satelit GEO dengan satu unit saja sudah bisa mencakup wilayah Indonesia meski kapasitas dan kecepatannya tidak setinggi LEO.

    “Satelit masih dibutuhkan, baik LEO maupun GEO karena wilayah Indonesia yang luas dan geografisnya membuat tidak semua dapat dijangkau dengan serat optik atau seluler,” katanya.

    Senada, pengamat telekomunikasi dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Agung Harsoyo, menyebut saat ini industri satelit tengah berada dalam masa transisi, dengan tiga konstelasi satelit GEO, LEO, dan Medium Earth Orbit (MEO) yang masih beroperasi dengan kelebihan masing-masing.

    “Saat ini merupakan masa transisi terkait bisnis berbasis teknologi satelit. Ketiga konstelasi satelit, GEO-MEO-LEO, masih berjalan, dengan kelebihan masing-masing,” kata Agung.

    Dia mencontohkan, dari sisi kecepatan transfer data, satelit GEO juga telah mengadopsi teknologi High Throughput Satellite (HTS), salah satunya adalah Satelit Satria. Dengan begitu, perkembangan GEO tetap berkelanjutan di tengah gempuran satelit LEO.

    “Kondisi transisi ini akan mencapai kesetimbangan sekitar 10 tahun ke depan. Kurun waktu ini akan terdapat koeksistensi tiga layanan GEO-MEO-LEO. Ke depan, kesetimbangan dari sisi jumlah masing-masing teknologi,” kata Agung.

    Secara umum, satelit dibagi menjadi tiga jenis berdasarkan ketinggian orbitnya, yaitu LEO dengan ketinggian 160–1.000 km dari permukaan Bumi, MEO dengan orbit menengah yang banyak dimanfaatkan untuk navigasi seperti GPS, dan GEO yang berada pada ketinggian sekitar 35.780 km sehingga bisa mencakup wilayah yang luas.

    Satelit LEO populer digunakan untuk telekomunikasi dan pencitraan karena orbitnya yang rendah mendukung kualitas gambar resolusi tinggi dan kecepatan tinggi, meski membutuhkan ribuan satelit untuk memastikan cakupan stabil. 

    Beberapa satelit LEO yang cukup dikenal antara lain Starlink milik Elon Musk dan OneWeb. Sementara MEO kerap digunakan untuk navigasi global. Adapun GEO lebih banyak dimanfaatkan untuk telekomunikasi dan pemantauan cuaca karena posisinya yang konstan dari perspektif Bumi.

  • Jumlah Pelanggan Operator Seluler Susut, Kebiasaan Warga RI Bergeser

    Jumlah Pelanggan Operator Seluler Susut, Kebiasaan Warga RI Bergeser

    Bisnis.com, JAKARTA — Perubahan cara masyarakat dalam menggunakan smartphone dinilai menjadi penyebab jumlah pengguna seluler turun pada semester I/2025. Masyarakat tidak lagi menggunakan dua nomor di tengah pelemahan daya beli. 

    Pengamat telekomunikasi dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Agung Harsoyo memperkirakan penurunan jumlah pelanggan operator seluler disebabkan oleh perubahan perilaku masyarakat yang kini lebih loyal terhadap satu nomor di tengah harga internet yang makin terjangkau. 

    “Mereka yang tadinya menggunakan lebih dari satu nomor/handphone, mereka hanya menggunakan satu nomor/handphone. Behavior pelanggan bisa jadi berubah,” kata Agung kepada Bisnis, Jumat (29/8/2025). 

    Agung menambahkan dengan kondisi ini operator seluler akan menghadapi keseimbangan baru, sehingga jumlah kartu aktif yang berkurang di pasar berkurang, pun dengan tingkat keluar masuk pelanggan. 

    Pencapaian pelanggan yang dibukukan operator saat ini dinilai telah menyamai kondisi jumlah pengguna seluler yang sebenarnya, di mana satu orang hanya memiliki satu nomor. 

    “Boleh jadi hal ini lebih mendekati realitas yang ada,” kata Agung. 

    Diketahui, PT Telekomunikasi Selular (Telkomsel) dan  PT Indosat Tbk. (ISAT) mengalami koreksi jumlah pelanggan. Sementara itu, PT XLSmart Telecom Sejahtera Tbk. (XLSMART) tumbuh pascamerger. Namun, posisi jumlah pelanggan XLSMART sendiri berada di bawah estimasi awal yang ditaksir mencapai 94,5 juta pelanggan. 

    Indosat misalnya yang mencatat basis pelanggan perusahaan mencapai 95,4 juta pada semester I/2025. Angka tersebut turun 5,76% apabila dibandingkan jumlah pelanggan pada periode yang sama tahun sebelumnya yakni 100,9 juta di akhir paruh pertama 2024.

    Meskipun jumlah pelanggan turun, trafik data mengalami peningkatan sebanyak 3,6% secara tahunan pada semester I/2025. Perusahaan juga memperluas infrastruktur jaringannya di mana meningkatkan jumlah BTS 4G menjadi 203.000 untuk menangani trafik data secara efektif. 

    Berikutnya, Telkomsel yang mencatat jumlah pelanggan seluler pada kuartal II/2025 mencapai 158,4 juta pelanggan. 

    Angka tersebut turun 0,9% apabila dibandingkan dengan semester I/2024 yang mencapai 159,88 juta pelanggan. Sementara itu untuk pelanggan IndiHome mencapai sebanyak 10,06 juta pelanggan, yang mana tumbuh 10% apabila dibandingkan dengan 9,14 juta pelanggan pada semester I/2024. 

    Di sisi infrastruktur, Telkomsel terus memperluas cakupan jaringan. Hingga akhir Juni 2025, jumlah Base Transceiver Station (BTS) on air mencapai 280.434 unit, naik 0,8% QoQ dibandingkan kuartal I/2025 yang sebanyak 278.100 unit. 

    Apabila dibandingkan dengan tahun sebelumnya, jumlah BTS tumbuh 5,5 persen YoY dari posisi 265.904 unit pada semester I/2024. Pada periode yang sama, trafik data Telkomsel melonjak 20% secara tahunan menjadi 11,7 juta terabyte (TB) dari sebelumnya 9,75 juta TB. 

    Sementara itu, XLSmart justru mencatat pertumbuhan jumlah pelanggan pada kuartal II/2025. 

    Jumlah pelanggan seluler perseroan mencapai sebanyak 82,6 juta pada periode tersebut. Angka tersebut meningkat sekitar 41% apabila dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya yakni 58,5 juta pelanggan.

    XL SMART merinci pertumbuhan terbesar datang dari pelanggan prabayar yang naik 41,8% menjadi 80,7 juta, sedangkan pelanggan pascabayar mencapai 1,9 juta pelanggan atau naik dari 1,6 juta pada kuartal II/2024. 

    Peningkatan jumlah pelanggan ini juga diikuti lonjakan trafik data sebesar 34% menjadi 3.817 petabyte (PB) pada kuartal II/2025, dan naik lagi 26% menjadi 6.665 PB pada semester pertama 2025.

    Selain itu, jumlah pelanggan fixed broadband (FBB) juga tumbuh signifikan, dari hanya 0,27 juta pada kuartal II 2024 menjadi 1,02 juta pelanggan di kuartal I/2025, atau melonjak 268%. Namun sedikit turun menjadi 0,98 juta pada kuartal II/2025). 

    Dari sisi infrastruktur, XL SMART memiliki total BTS mencapai 209.820 unit pada kuartal II/2025. Angka tersebut naik 28% apabila dibandingkan tahun sebelumnya yakni 163.884 unit. 

    Jumlah BTS 4G tercatat tumbuh menjadi 160.341 unit, sementara BTS 2G sebanyak 49.471 unit. XL SMART juga mencatat 156 kota baru kini dapat mengakses layanan dengan dukungan lebih dari 11.000 site tambahan.

  • Babak Baru Internet RI Capai 100 Mbps Pakai Frekuensi 1,4 GHz

    Babak Baru Internet RI Capai 100 Mbps Pakai Frekuensi 1,4 GHz

    Jakarta

    Koneksi internet Indonesia akan memasuki babak baru setelah Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) membuka lelang frekuensi 1,4 GHz. Spektrum tersebut digadang-gadang akan bikin internet ngebut sampai 100 Mbps dan harganya terjangkau.

    Komdigi akan meningkatkan jangkauan akses internet berbasis jaringan pita lebar tetap (fixed broadband) dan juga penggelaran serat optik secara nasional. Di saat bersamaan, frekuensi 1,4 GHz bisa membuat harga layanan internet tetap lebih terjangkau dari sebelumnya.

    Pita frekuensi yang menjadi objek seleksi meliputi rentang1432 MHz hingga 1512 MHz, dengan total lebar pita80 MHz. Frekuensi ini direncanakan akan digunakan untuk penyelenggaraan layanan akses nirkabel pita lebar (broadband wireless access/BWA) yang sebelumnya sempat eksis namun mati di tengah perjalanan seiring berkembangnya layanan 4G saat itu.

    Komdigi menyebutkan frekuensi 1,4 GHz diharapkan dapat menyediakan layanan internet cepat dengan kecepatan sampai dengan 100 Mbpsdengan harga terjangkau bagi masyarakat luas.

    “Makanya sering disebut voorijder kan. Program ini voorijder bagaimana menarik FO (fiber optik) ini sampai ke titik akhir BTS (base transceiver station) baru ke rumah-rumah untuk menggunakan frekuensi 1,4 GHz. Ini untuk fixed broadband, bukan seluler,” ujar Direktur Jenderal Infrastruktur Digital Kementerian Komdigi, Wayan Toni Supriyanto (4/8/2025).

    Komdigi mengatakan bahwa penggunaannya nanti diberikan dalam bentuk Izin Pita Frekuensi Radio (IPFR) kepada penyelenggara jaringan tetap lokal berbasis packet switched dengan wilayah layanan berdasarkan regional. Lelang frekuensi 1,4 GHz ini akan terbagi ke dalam 15 zona di tiga regional.

    Disorot Pakar Telekomunikasi

    Pengamat telekomunikasi dari ITB Agung Harsoyo sempat memberikan catatan penting kepada Komdigi yang waktu itu sedang uji publik terkait lelang frekuensi 1,4 GHz.

    Agar objektif pemerintah dapat tercapai, mantan komisioner Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia periode 2018 – 2022 ini memberikan beberapa catatan penting kepada Komdigi. Dalam lelang itu, Agung mengingatkan tentang konsolidasi industri telekomunikasi di Indonesia, di mana Komdigi telah mendorong terjadinya konsolidasi operator selular.

    Sebab frekuensi 1,4 GHz akan dipergunakan untuk meningkatkan penetrasi fixed broadband, sehingga Agung mengharapkan Komdigi dapat menentukan harga izin pita frekuensi radio (IPFR) yang affordable bagi industri.

    Disampaikan Dosen Sekolah Teknik dan Informatika (STEI) ITB ini, kalau harga IPFR terlalu tinggi seperti selular, maka objektif pemerintah untuk menyediakan internet murah fixed broadband tak akan tercapai.

    “Dari draft RPM ini Komdigi akan menggunakan frekuensi 1,4 GHz untuk penetrasi fixed broadband dan akan membagi wilayah layanan berdasarkan regional. Karena karakteristiknya beda dengan selular, maka harga IPFR harus terjangkau, sehingga BHP frekuensinya tidak bisa disamakan dengan selular,”papar Agung.

    Prinsip dasar frekuensi adalah sumberdaya terbatas yang dimiliki negara. Sumberdaya tersebut harus optimal dipergunakan untuk memberikan kesejahteraan bagi masyarakat dan negara. Karena pengalaman tersebut Agung berharap Komdigi dapat melakukan lelang frekuensi secara nasional untuk frekuensi 1,4 GHz.

    “Agar terjadi persaingan usaha yang sehat, Komdigi dapat menetapkan 2 pemenang lelang frekuensi 1,4 GHz secara nasional. Dengan lebar pita 80 MHz di frekuensi 1,4 GHz memang tidak optimal untuk satu operator menyelenggarakan 5G,” kata Agung.

    7 Perusahaan Berebut

    Seiring telah dilakukannya pengambilan akun e-auction pekan lalu, kini telah diketahui ada tujuh perusahaan telekomunikasi yang akan berebut blok kosong di lelang frekuensi 1,4 GHz.

    Tiga operator seluler, yakni Indosat Ooredoo Hutchison, Telkomsel, dan XLSmart turut meramaikan memperebutkan frekuensi 1,4 GHz. Begitu pula nama Telkom yang notabene induk perusahaan Telkomsel, ikut serta.

    Lalu, ada Telemedia Komunikasi Pratama merupakan anak usaha dari PT Solusi Sinergi Digital Tbk (Surge/WIFI). PT Netciti Persada yang menyediakan jaringan fiber to the home (FTTH) juga menyatakan minat terhadap ekosistem anyar ini.

    Sedangkan, PT Eka Mas Republik adalah perusahaan yang dikenal dengan merek MyRepublic, penyedia layanan internet fiber dan TV berlangganan yang bagian dari Sinar Mas Group.

    (agt/fyk)

  • Sektor Digital Butuh Regulasi Baru, APJII Minta Komdigi Perbaiki Aturan

    Sektor Digital Butuh Regulasi Baru, APJII Minta Komdigi Perbaiki Aturan

    Bisnis.com, JAKARTA— Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) menekankan sektor digital perlu regulasi baru, meskipun tidak tercantum dalam delapan agenda prioritas Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026.

    Ketua Umum APJII Muhammad Arif mengatakan, ke depan di era digital, seluruh aspek kehidupan akan terkoneksi dengan inovasi digital. Karena itu, APJII akan terus memberikan masukan kepada pemerintah, khususnya melalui Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) serta Komisi I DPR yang membidangi industri komunikasi dan informatika. 

    “Sebenarnya untuk mendukung digitalisasi ini perlu kebijakan-kebijakan baru oleh Komdigi di mana memang APJII sendiri fokus pada keberlangsungan dari industri internet di Indonesia,” kata Arif saat dihubungi Bisnis pada Selasa (19/8/2025). 

    Arif menambahkan, pihaknya juga mendorong Komdigi untuk membenahi sejumlah regulasi yang dinilai sudah tidak relevan dengan perkembangan dunia telekomunikasi. 

    Salah satunya adalah usulan moratorium penyelenggara ISP di Indonesia, karena jumlahnya saat ini dinilai terlalu banyak. 

    “Bukan selamanya tentu, tapi dalam artian untuk merapikan dulu regulasi-regulasi yang ada,” imbuhnya.

    Menurut Arif, langkah tersebut diharapkan dapat menata industri telekomunikasi, khususnya bisnis ISP, sehingga para penyelenggara mampu meningkatkan kualitas layanan.

    “Dan juga kualitas dari servisnya kepada konsumen dalam hal ini masyarakat,” pungkasnya.

    Menyatu dengan Pembangunan

    Sementara itu, pengamat telekomunikasi dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Agung Harsoyo menilai, sektor teknologi komunikasi dan informasi telah menyatu dengan seluruh sektor pembangunan. Mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pelaporan, hingga evaluasi, semuanya melibatkan teknologi digital.

    “Pembangunan infrastruktur digital akan tetap dilakukan oleh penyelenggara jaringan maupun jasa. Jadi, meski tidak secara spesifik disebut [dalam program prioritas], industri ini akan tumbuh seiring dibangunnya sektor-sektor lain,” ungkap Agung.

    Mengutip laman Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Presiden Prabowo Subianto mengatakan RAPBN 2026 akan mengedepankan delapan agenda prioritas. Hal tersebut diungkapkan dalam Pidato Pengantar RAPBN 2026 dan Nota Keuangannya di Rapat Paripurna DPR pada Jumat (15/8/2025). 

    Delapan agenda prioritas tersebut antara lain, pertama ketahanan pangan sebagai fondasi kemandirian bangsa. 

    Kedua, ketahanan energi untuk kedaulatan bangsa. Hal ini dilakukan dengan cara peningkatan produksi minyak dan gas, menjaga harga energi, dan percepatan transisi energi menuju energi bersih.

    Ketiga, Makan Bergizi Gratis (MBG) untuk generasi unggul. Program MBG yang telah menjangkau seluruh provinsi, ditargetkan menyentuh 82,9 juta penerima manfaat, termasuk siswa, ibu hamil, dan balita. 

    Keempat, pendidikan bermutu untuk SDM berdaya saing global. Dengan alokasi anggaran Rp757,8 triliun, RAPBN 2026 mencatat rekor tertinggi dalam sejarah belanja pendidikan. Fokus utamanya meliputi peningkatan kualitas guru, pendidikan vokasi, dan kesesuaian kurikulum dengan dunia kerja. 

    Kelima, kesehatan berkualitas yang adil dan merata. Anggaran kesehatan untuk memperkuat efektivitas dan memperluas akses layanan asuransi kesehatan dengan Program Jaminan Kesehatan Nasional.

    Keenam, penguatan ekonomi rakyat melalui  KDMP. Ketujuh, pertahanan semesta untuk menjaga kedaulatan bangsa. Pemerintah akan memodernisasi alutsista, memperkuat komponen cadangan, serta mendukung industri strategis nasional dan kesejahteraan prajurit. 

    Kedelapan, percepatan investasi dan perdagangan global. Melalui peran Danantara, pemerintah memperkuat investasi produktif dan mewujudkan Indonesia lebih kuat dalam rantai pasok dunia.