Tag: Agung Harsoyo

  • Prabowo Tebar 1 Juta Panel Interaktif di 3T, Kesiapan Internet jadi Sorotan

    Prabowo Tebar 1 Juta Panel Interaktif di 3T, Kesiapan Internet jadi Sorotan

    Bisnis.com, JAKARTA— Kesiapan infrastruktur internet hingga listrik menjadi tantangan terberat bagi Presiden Prabowo Subianto dalam menjalankan program layar interaktif di daerah terluar, terdepan, dan tertinggal (3T). 

    Pengamat Telekomunikasi dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Agung Harsoyo, menilai rencana Prabowo menambah satu juta Interactive Flat Panel (IFP) pada 2026 harus dibarengi dengan kesiapan infrastruktur dasar.

    Dia menegaskan pemasangan IFP tidak dapat berdiri sendiri tanpa dukungan listrik dan internet yang memadai.

    “Karenanya Pemerintah Pusat, Provinsi, maupun Kabupaten/Kota harus kolaborasi dalam program ini,” kata Agung kepada Bisnis pada Senin (17/11/2025). 

    Agung juga menekankan perlunya kerja sama lintas institusi untuk percepatan penggelaran infrastruktur. 

    Agung menambahkan PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) serta para penyelenggara jaringan dan layanan internet perlu didorong bekerja sama dengan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) maupun Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) agar proses elektrifikasi dan perluasan layanan internet dapat terwujud lebih cepat.

    Menurutnya, keberadaan perangkat pembelajaran visual akan meningkatkan kualitas proses belajar-mengajar, terutama di sekolah-sekolah 3T yang selama ini menghadapi keterbatasan akses tenaga pendidik berkualitas.

    “Guru-guru terbaik di bidangnya [IPA, IPS, Bahasa, Matematika dll] dapat meng-coach guru-guru di 3T agar anak2 memperoleh bahan pelajaran berkualitas tinggi,” ungkapnya. 

    Sentuhan AI

    Sementara itu, Director & Chief Business Officer Indosat Ooredoo Hutchison (IOH), M. Danny Buldansyah mengatakan penerapan layar interaktif pemerintah dalam terus dikembangkan, termasuk dengan pemanfaatan kecerdasan buatan (AI). 

    AI yang terintegrasi dengan sistem kelistrikan akan membuat tenaga yang dipakai per kelas menjadi lebih efisien sehingga pemerintah dapat berhemat. 

    Danny mencontohkan di Surabaya terdapat smart campus yang telah menggunakan AI dengan layar pintar. Seluruh materi pembelajaran telah masuk di dalamnya dan terhubung dengan kelistrikan. Alhasil, ketika dosen masuk ke kelas layar pintar, lampu, dan lain sebagainya akan menyala secara bersamaan. 

    Ketika jam keluar kelas, seluruh listrik akan mati secara otomatis sehingga lebih menghemat listrik.  

    Dia juga menyarankan pemerintah untuk mendalami aspek keberlanjutan dari perangkat yang disebar nanti. Setelah layar pintar hadir di sekolah perlu ada SDM yang dapat merawat layar pintar tersebut sehingga dapat digunakan dalam waktu yang lama. 

    “Ekosistemnya harus disiapkan,” kata Danny. 

    Diberitakan sebelumnya, Presiden Prabowo Subianto menargetkan percepatan besar dalam program digitalisasi pembelajaran pada tahun 2026. Pemerintah berencana memasang tiga panel tambahan untuk setiap sekolah di seluruh Indonesia, atau sekitar satu juta unit IFP secara nasional.

    “Tahun depan kita punya sasaran yang lebih besar lagi, tahun depan sasaran kita adalah menambah tiga panel, berarti tiga kelas lagi untuk semua sekolah di Indonesia berarti tahun depan kita akan pasang insyaallah satu juta panel kira-kira,” kata Prabowo saat peluncuran IFP di SMPN 4 Kota Bekasi, Senin (17/11/2025).

    Prabowo menegaskan daerah 3T menjadi prioritas utama dalam distribusi perangkat tersebut. Dia mengakui masih ada kendala distribusi di 140 sekolah wilayah pegunungan, namun memastikan pendistribusian akan tuntas dengan dukungan aparat keamanan.

    “InsyaAllah kita pun akan sampai ke situ dan kita akan dibantu oleh TNI dan Polri supaya semua sekolah akan mendapat kesempatan yang sama,” tegasnya.

    Presiden Ke-8 RI itu juga mengumumkan rencana pembangunan studio pusat di Jakarta untuk memproduksi materi pembelajaran digital yang dapat diakses seluruh sekolah secara serentak. Dia menambahkan akses gratis modul digital tersebut juga bisa dimanfaatkan siswa dan orang tua di rumah.

    “Kalau anak-anak atau orang tua di rumah punya gadget ingin menatar, ingin memberi les anaknya, dia bisa buka dan memberi pelajaran di rumah,” tandasnya.

  • Respons Pengamat Soal ISP Lokal Digandeng untuk Program Kampung Internet 2025

    Respons Pengamat Soal ISP Lokal Digandeng untuk Program Kampung Internet 2025

    Bisnis.com, JAKARTA – Program Kampung Internet yang digagas Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) terus bergulir di berbagai daerah.

    Program ini tidak hanya bertujuan memperluas akses internet hingga ke pelosok, tetapi juga diharapkan menjadi upaya membangun ekosistem digital yang berkelanjutan melalui kolaborasi antara pemerintah, industri, dan masyarakat.

    Pengamat Telekomunikasi sekaligus Direktur Eksekutif Indonesia ICT Institute, Heru Sutadi, menilai keberhasilan Kampung Internet tidak bisa dicapai jika hanya dikerjakan oleh pemerintah.

    Dia menekankan pentingnya kolaborasi lintas pihak untuk memastikan program ini berjalan efektif termasuk penyedia jaringan telekomunikasi maupun penyedia jasa internet. 

    “Serta tentunya masyarakat dimana kampung internet itu dikembangkan,” kata Heru saat dihubungi Bisnis pada Kamis (6/11/2025). 

    Heru menambahkan, kolaborasi ini menjadi simbol penyediaan internet bukan sekadar program top-down, melainkan harus melibatkan masyarakat sejak awal agar muncul rasa kepemilikan bersama industri serta pemerintah.

    Menurut Heru, langkah awal yang harus dilakukan adalah pemetaan wilayah yang layak dikembangkan menjadi Kampung Internet serta memastikan pemanfaatannya sesuai kebutuhan warga.

    “Agar juga ada keberlanjutan dan rasa memiliki,” imbuhnya.

    Dia menambahkan, kolaborasi juga perlu dipetakan lebih lanjut agar sesuai dengan karakteristik wilayah dan mitra yang potensial.

    “Dalam Deklarasi di Bandung saat Hari Bakti Postel kan semua stakeholder akan berkolaborasi mempercepat akselerasi transformasi digital dalam mendukung Asta Cita Presiden Prabowo. Nah, kampung internet bisa menjadi salah satu program kolaborasi tersebut,” kata Heru.

    Sementara itu, Pengamat Telekomunikasi dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Agung Harsoyo, menilai Kampung Internet sebaiknya dikembangkan dengan pendekatan berbasis ekosistem.

    Menurutnya, istilah ‘ekosistem’ dalam dunia teknologi informasi menggambarkan pentingnya kolaborasi antara berbagai pihak yang hidup dan berinteraksi dalam satu lingkungan.

    “Intinya ada kolaborasi seluruh ‘penghuni’ tempat dan lingkungan tertentu,” kata Agung.

    Dia menambahkan, pemberdayaan seluruh elemen yang ada di wilayah sasaran akan membuat program ini lebih efektif dan berkelanjutan. Ekosistem di kampung yang dimaksud yakni pemerintah daerah, industri setempat, operator selular, hingga operator FTTH.

    “Jika hal ini yang dimaksudkan oleh Komdigi, maka akan sangat membantu menggerakkan ekonomi setempat,” katanya.

    Sebelumnya, Komdigi telah mengungkapkan pelaksanaan program Kampung Internet 2025 akan menggandeng penyedia layanan internet (Internet Service Provider/ISP) lokal di setiap daerah. Hal ini disampaikan Direktur Jenderal Infrastruktur Digital Komdigi, Wayan Toni Supriyanto, yang menegaskan pembelanjaan proyek dilakukan melalui sistem e-katalog.

    “Nanti belanjanya berdasarkan e-katalog ya. Jadi tentu pasti memanfaatkan penyelenggara yang ada di sekitarnya. Ya misalnya lokasi di Bali, penyelenggara Bali. Di situ ada beberapa, tergantung di e-katalognya,” kata Wayan usai peresmian Kampung Internet di Desa Sribit, Sragen, Jawa Tengah, Rabu (5/11/2025).

    Sistem e-katalog merupakan mekanisme belanja barang dan jasa pemerintah secara elektronik yang dikembangkan oleh Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP). Melalui sistem ini, instansi pemerintah dapat memilih produk dan penyedia jasa yang telah terverifikasi, transparan, dan sesuai kebutuhan di daerah masing-masing.

    Dengan begitu, pemerintah bisa memastikan pemerataan peluang bagi pelaku industri lokal sekaligus mempercepat implementasi program tanpa proses lelang yang panjang.

    Wayan menjelaskan, program Kampung Internet merupakan bagian dari upaya Komdigi untuk mempercepat pemerataan akses internet pita lebar tetap (fixed broadband) hingga ke tingkat desa.

    “Inilah peran Komdigi, bagaimana menghadirkan layanan-layanan infrastruktur sampai ke seluruh pelosok Tanah Air Indonesia,” katanya.

    Dia menambahkan, infrastruktur digital yang dibangun diharapkan dapat dimanfaatkan secara optimal oleh masyarakat. Pemerintah juga menyiapkan stimulus untuk memperluas konektivitas internet ke seluruh wilayah Indonesia, termasuk di daerah terdepan, terluar, dan tertinggal (3T). 

    Hingga September 2025, Komdigi telah menyiapkan 1.194 titik akses internet dalam program Kampung Internet yang diresmikan langsung oleh Menteri Komunikasi dan Digital Meutya Hafid. Program ini dimulai di Desa Kramat Gajah, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, dengan pembangunan jaringan fiber optik sepanjang 196 kilometer. 

    Selain Sumatera Utara, provinsi lain yang akan mendapatkan titik Kampung Internet pada 2025 adalah Nusa Tenggara Barat (NTB), Lampung, Jawa Barat, dan Banten.

    Pada 5 November 2025, Komdigi menambah 87 titik baru program Kampung Internet di Desa Sribit dan Tlogo Tirto, Sragen, Jawa Tengah. Menteri Meutya Hafid mengatakan, 87 titik tersebut terdiri dari 8 fasilitas umum dan 79 titik.

  • Menghitung Biaya Investasi WIFI-DSSA Hubungkan 20 Juta Rumah dengan Internet Murah

    Menghitung Biaya Investasi WIFI-DSSA Hubungkan 20 Juta Rumah dengan Internet Murah

    Bisnis.com, JAKARTA —  PT Telemedia Komunikasi Pratama, anak usaha PT Solusi Sinergi Digital Tbk. (WIFI), dan  PT Eka Mas Republik, anak usaha PT Dian Swastatika Sentosa Tbk. (DSSA) diwajibkan untutk menghubungkan 20 juta rumah dengan internet murah sebagai komitmen atas penggunaan frekuensi 1,4 GHz. Kewajiban tersebut harus dipenuhi dalam 10 tahun.

    Seperti diketahui, berdasarkan pengumuman Nomor: 1/SP/TIMSEL1,4/KOMDIGI/2025 Tentang Seleksi Pengguna Pita Frekuensi Radio 1,4 GHz untuk layanan Akses Nirkabel Pitalebar atau Broadband Wireless Access (BWA) Tahun 2025, pemerintah melaksanakan seleksi terhadap objek seleksi berupa pita frekuensi radio pada rentang 1432–1512 MHz untuk layanan Time Division Duplexing (TDD). Masa berlaku Izin Penggunaan Frekuensi Radio (IPFR) ditetapkan selama 10 tahun.

    Sementara itu pada Juli 2025, Pakar telekomunikasi dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Agung Harsoyo memperkirakan ongkos yang harus dikeluarkan perusahaan telekomunikasi dalam menggelar FWA tidak jauh berbeda dengan ongkos untuk menggelar layanan seluler. Namun ada beberapa komponen tambahan.

    “Saya yakin struktur biaya FWA mirip dengan struktur biaya selular. Artinya, pelanggan pada jarak tertentu dari pemancar FWA, struktur biayanya pasti sama,” kata Agung kepada Bisnis.

    Untuk menyediakan layanan FWA, perusahaan telekomunikasi terlebih dahulu harus menggelar serat optik ke menara telekomunikasi sebagai jalur trafik internet.  Adapun yang membedakan dengan seluler eksisting, perusahaan FWA perlu menambah biaya untuk radio unit (modul), frekuensi, dan antena.

    WIFI nantinya harus menggelar serat optik di Pulau Jawa, Maluku, dan Papua. Sementara itu DSSA wajib menggelar di Sumatra, Kalimantan, Bali, Nusa Tenggara, dan Sulawesi. Dalam menghadirkan serat optik di wilayah tersebut, pemenang dapat menggunakan serat optik eksisting, bekerja sama dengan perusahaan telekomunikasi lain, atau membangun sendiri.

    Dari sisi modul, berdasarkan informasi yang diterima Bisnis, biaya yang harus disiapkan untuk operasional bulanan sekitar Rp125 juta – Rp700 juta per site tergantung kelengkapan alat. Belum diketahui jumlah site yang harus dibangun untuk melayani 20 juta rumah dengan internet murah.

    Sementara itu untuk pengadaan perangkat jaringan radio akses sekitar Rp1 miliar – Rp2 miliar, sewa lahan dan menara sekitar Rp1,5 miliar – Rp2 miliar, biaya transmisi Rp1 miliaran, dan sistem utama serta billing sekitar Rp1 miliar. 

    Dari sisi pelanggan, para pengguna layanan FWA 1,4 GHz nantinya harus menyiapkan uang lebih untuk membeli modem yang dapat menangkap sinyal FWA. Ruter di masyarakat harganya beragam, bisa mencapai Rp656.000 atau US$30.

    WIFI belum lama memperkenalkan perangkat Wi-Fi 7 yang dijual seharga Rp299.000. Perangkat tersebut juga dapat digunakan oleh pelanggan dengan harga yang lebih murah.

    WIFI dan DSSA juga perlu menyiapkan biaya bandwidth yang tidak murah. Ongkos tersebut dapat ditekan lewat kerja sama dengan pihak ketiga atau melalui diskon biaya hak penggunaan frekuensi. 

    “Saya yakin yang tidak mirip [antara seluler dan FWA 1,4 GHz] adalah harga PNBP atau BHP frekuensinya. Jadi, kalau dari sisi biaya, lebih murah. Kira-kira. Kan itu ranahnya adalah ranah kebijakan. Pemerintah punya kewenangan untuk menurunkan harga mulai dari regulasi,” kata Agung. 

    Petugas memperbaiki BTS

    Sementara itu, Head of Asia Pacific GSMA Julian Gorman mengatakan tantangan utama dalam pemanfaatan frekuensi 1,4 GHz berkaitan dengan kesiapan ekosistem pendukung yang masih minim. Di luar ratusan miliar biaya yang harus dibayarkan para pemenang lelang, ongkos membangun ekosistem juga tidak murah. Pemenang perlu membangun kepercayaan masyarakat terhadap produk dan layanan purna jual yang optimal.

    “Masalah utama dari teknologi 1,4 GHz adalah ukuran ekosistemnya,” ujar Julian.

    Beban yang lebih tinggi …. 

  • Kebutuhan Internet Tercukupi oleh 4G

    Kebutuhan Internet Tercukupi oleh 4G

    Bisnis.com, JAKARTA— Penggelaran layanan 5G di Indonesia belum menunjukkan perkembangan signifikan. Salah satu penyebabnya diduga karena masyarakat belum terlalu membutuhkan jaringan teknologi kelima.

    Angka ini tertinggal jauh dibandingkan dengan negara tetangga seperti Malaysia yang telah mencapai 80%. 

    Pengamat Telekomunikasi dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Agung Harsoyo, menilai lambatnya adopsi 5G di Indonesia dipengaruhi permintaan di pelanggan yang belum signifikan. Masyarakat merasa jaringan 4G sudah cukup untuk mendukung berbagai aktivitas digital.

    “Kebutuhan pelanggan [subscribers] ternyata sebagian besar telah terpenuhi dengan layanan 4G,” kata Agung saat dihubungi Bisnis pada Selasa (28/10/2025). 

    Selain itu, Agung menilai penetrasi perangkat yang mendukung teknologi 5G juga masih rendah. 

    Dia menilai pemerintah dapat berperan mendorong percepatan adopsi 5G, misalnya melalui insentif fiskal, keringanan biaya spektrum bagi operator, atau program sosialisasi publik untuk memperkenalkan manfaat nyata 5G di berbagai sektor seperti industri, kesehatan, dan pendidikan.

    “Pemerintah bisa jadi perlu membuat program insentif dan sosialisasi agar adopsi layanan 5G dapat “dipercepat,” katanya. 

    Merujuk pada laporan keuangan Indosat, pada semester I/2025 perusahaan melanjutkan penguatan dan integrasi jaringan termasuk ekspansi 5G sebagai bagian dari strategi pasca-merger, melalui pembelian besar perangkat keras dan perangkat lunak dari pemasok global seperti Huawei, Nokia, dan Ericsson.

    Sementara Telkom, berdasarkan laporan keuangan Telkom semester I/2025, melakukan penambahan BTS (Base Transceiver Station) 5G oleh Telkomsel yang tercatat sebanyak 2.537 unit dari total 280.434 BTS. 

    Jumlah BTS 5G ini masih relatif kecil jika dibandingkan dengan BTS 4G yang mencapai 229.214 unit, menegaskan bahwa ekspansi 5G Telkomsel masih dalam tahap awal dan selektif.

    Capex (capital expenditure) Telkom pada semester I/2025 tercatat sebesar Rp9,5 triliun atau 13% dari total revenue, dengan lebih dari 50% dialokasikan untuk ekspansi digital connectivity—termasuk jaringan fiber optik, tower, satelit, dan kabel bawah laut yang mendukung penggelaran 5G. 

    Di sisi lain, Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) menilai lambatnya adopsi jaringan 5G di Indonesia salah satunya disebabkan oleh spektrum yang belum tersedia sepenuhnya. Direktur Eksekutif ATSI Marwan O Baasir mengatakan, operator saat ini masih memanfaatkan spektrum eksisting untuk menggelar layanan 5G. 

    “Anggota ATSI itu kan saat ini memanfaatkan spektrum yang ada, spektrum 1800, 2100. Sedangkan spektrum-spektrum itu kan menggunakan spektrum yang ada, bukan spektrum real 5G,” kata Marwan ditemui ditemui disela acara Indonesia Technology & Innovation (INTI) 2025 yang digelar di Jakarta pada Selasa (28/10/2025).

  • Membandingkan Biaya Frekuensi 1,4 GHz vs 2,1 GHz: WIFI Bayar Kemahalan?

    Membandingkan Biaya Frekuensi 1,4 GHz vs 2,1 GHz: WIFI Bayar Kemahalan?

    Bisnis.com, JAKARTA — PT Solusi Sinergi Digital Tbk. (WIFI), melalui anak usahanya Telemedia Komunikasi Pratama, memenangkan penawaran lelang spektrum frekuensi 1,4 GHz untuk regional I.

    WIFI mengajukan penawaran tertinggi dengan Rp403 miliar untuk dapat mengoptimalkan spektrum selebar 80 MHz guna melayani pelanggan di Pulau Jawa, Pulau Maluku, dan Pulau Papua saja. Tantangannya ekosistem yang belum matang.

    Sementara itu, jika dibandingkan dengan lelang frekuensi terakhir pada 2022, Telkomsel mengeluarkan Rp600 miliar-an untuk memberikan layanan seluruh nasional dengan ekosistem yang telah matang, nilai Rp400 miliar yang dikeluarkan menjadi perdebatan.

    Ketua Pusat Kajian Kebijakan dan Regulasi Telekomunikasi Institut Teknologi Bandung (ITB), Ian Yosef M. Edward mengatakan dengan diperbolehkan berjualan di Jawa, WIFI diuntungkan karena Jawa paling layak secara bisnis untuk produk internet. 

    Dengan kondisi tersebut, biaya Rp400 miliar adalah nilai yang murah, yang dikeluarkan WIFI untuk menyewa pita 1,4 GHz di Pulau Jawa selama 10 tahun menurut Ian. 

    Dia juga mengatakan penggelaran jaringan di Papua tidak akan menjadi masalah bagi WIFI mengingat jaringan tulang punggung di Papua sudah tersedia.

    “Tidak masalah karena backbone optik sudah sampai ke Papua. Layanan minimal 100 Mbps tentu dengan backbone optik. Jadi sudah jelas bukan yang dilayani oleh satelit. Kewajiban tersebut tentu harus melihat kondisi lapangan,” kata Ian kepada Bisnis, Kamis (16/10/2025).

    Sekolah di daerah 3T menggunakan satelit untuk mendapat layanan internet

    Ian juga mengatakan bahwa dibandingkan 2×5 MHz di pita 2,1 GHz yang dimenangkan oleh PT Telekomunikasi Selular (Telkomsel) pada 2022 lalu, biaya yang dikeluarkan oleh WIFI relatif lebih murah dengan pita yang lebih besar.

    WIFI mendapat 80 MHz di pita 1,4 GHz dengan biaya Rp400 miliar-an, sementara itu Telkomsel harus mengeluarkan Rp600 miliar demi 2×5 MHz. Namun perlu diingat, saat Telkomsel mendapat 2,1 GHz, smartphone masyarakat di seluruh Indonesia sudah siap untuk menangkap sinyal 2,1 GHz. Sementara itu perangkat yang kompatibel dengan pita 1,4 GHz masih sangat terbatas.

    Sementara itu, Dosen ITB yang juga Mantan Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) Agung Harsoyo menyoroti mengenai beban yang akan dikeluarkan para pemenang pita 1,4 GHz. Selain membayar ratusan miliar per tahun, WIFI dan MyRepublik juga harus mengeluarkan ongkos layaknya menggelar layanan seluler seperti menara, elemen radio, listrik, dan lain sebagainya.

    Di tengah ongkos yang tinggi, sempat tercetus janji menjual layanan internet Rp100.000 dengan kecepatan hingga 100 Mbps.

    “Seluruh masyarakat mesti  ikut mengawasi dan menagih janji mereka sejak sekarang,” kata Agung.

    Direktur Eksekutif ICT Institute Heru Sutadi mengatakan tidak bisa dibandingkan apple to apple antara harga lelang di pita 1,4 GHz dengan 2,1 GHz.

    Pertama, memang frekuensi yang dialokasikan lebih besar. Namun, kedua, lelang menggunakan sistem regional, bukan nasional. Kemudian, di lelang 1,4 GHz ini banyak komitmen yang harus dijalankan sesuai dengan kepentingan nasional yang ditetapkan Komdigi seperti kecepatan 100 Mbps dan juga tarif lebih terjangkau

    “Frekuensi 1,4 GHz ini berbeda dengan konsep misal frekuensi yang dipakai 3G dulu, 4G atau 5G dimana dari MSC ke BTS hingga pengguna menggunakan nirkabel. Sementara untik 1,4 GHz ini, hybrid. Dimana 1,4 GHz hanya dipakai untuk jaringan akses ke pengguna, sementara dari backbone dan back haul pakai serat optik,” kata Heru.

    Pekerja memperbaiki BTS

    Heru menambahkan jika dalam mengukur  berdasarkan lebar frekuensi, memang 1,4 GHz lebih luas dan lebih murah. Pita 1,4 GHz juga memiliki jangkauan yang lebih luas ketimbang 2,1 GHz.

    “Jadi nanti pemenang 1,4GHz akan menyasar pasar residensial. Dimana jika sebelumnya ke rumah-rumah pakai serat optik yang mahal, maka nanti serap optik ke rumah-rumah atau biasa diistilahkan homepass menggunakan frekuensi 1,4 GHz. Dan pasar residensial akan sangat besar ke depannya,” kata Heru.

    Ketua Umum Indonesian Digital Empowering Community (Idiec) M. Tesar Sandikapura mengatakan tantangan utama pengembangan frekuensi 1,4 GHz di Indonesia terletak pada belum terbentuknya ekosistem perangkat dan pasar, karena Indonesia menjadi satu-satunya negara di Asia yang menggunakannya untuk layanan komersial.

    “Kondisi ini akan membuat ketersediaan chipset, perangkat, dan dukungan vendor global masih terbatas, sehingga biaya investasi dan waktu adopsi berpotensi tinggi,” kata Tesar kepada Bisnis, Kamis (16/10/2025).

    Tesar menambahkan untuk membangun ekosistem, seluruh pemangku kepentingan perlu bekerja sama.

    Dia menambahkan dengan kolaborasi lintas sektor, dukungan pemerintah, serta keterlibatan vendor global, ekosistem ini dapat berkembang dalam 2–3 tahun. Selama ekosistem belum terbentuk, WIFI-DSSA sulit mendapat pengembalian investasi yang maksimal dari pita 1,4 GHz.

    “Namun tanpa arah kebijakan dan koordinasi yang kuat, pembentukannya bisa melambat hingga 5–7 tahun,” kata Tesar.

    Sebelumnya, Global System for Mobile Communications Association (GSMA), asosiasi yang mewadahi operator telekomunikasi di seluruh dunia, mengungkap tantangan utama dalam pemanfaatan frekuensi 1,4 GHz berkaitan dengan kesiapan ekosistem pendukung yang masih minim.

    Di berbagai belahan dunia, pita frekuensi paling populer yang lebih dulu diadopsi secara masif adalah 3,5 GHz, diikuti dengan 2,6 GHz dan 2,1 GHz. Pita-pita ini mendapat sambutan luas karena didukung oleh rantai pasok global yang matang dan biaya produksi perangkat yang efisien karena skala adopsi yang besar.

    Sebaliknya, pita 1,4 GHz hanya digunakan secara sporadis di beberapa wilayah dunia, sehingga keberadaan perangkat, chip, dan dukungan teknis lainnya masih relatif terbatas. 

  • Pengamat Terkejut WIFI-DSSA Kalahkan Telkom (TLKM) pada Lelang Frekuensi 1,4 GHz

    Pengamat Terkejut WIFI-DSSA Kalahkan Telkom (TLKM) pada Lelang Frekuensi 1,4 GHz

    Bisnis.com, JAKARTA —  Pengamat Telekomunikasi sekaligus Direktur Eksekutif Indonesia ICT Institute, Heru Sutadi, menilai hasil lelang pita frekuensi 1,4 GHz yang diumumkan Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) cukup mengejutkan. 

    Menurutnya, kemenangan PT Solusi Sinergi Digital Tbk. (WIFI) melalui anak usahanya PT Telemedia Komunikasi Pratama di Regional 1, serta PT Eka Mas Republik, anak usaha PT Dian Swastatika Sentosa Tbk. (DSSA) atau MyRepublicbdi Regional 2 dan 3, menjadi momentum penting bagi dinamika industri telekomunikasi nasional.

    “Saya lihat hasil lelang frekuensi 1,4 GHz ini cukup mengejutkan. Surge melalui Telemedia Komunikasi Pratama menang di Regional 1, sementara MyRepublic lewat Eka Mas Republik sapu Regional 2 dan 3, dan Telkom justru kalah di semua lini,” kata Heru saat dihubungi Bisnis pada Rabu (15/10/2025). 

    Heru mengatakan hasil tersebut isa jadi game changer buat industri telekomunikasi Indonesia, karena membuka peluang kompetisi lebih sehat di luar pemain besar seperti Telkom.  

    Dia menjelaskan, kemenangan kedua perusahaan ini berpotensi menciptakan persaingan yang lebih terbuka dan memperluas akses layanan broadband di Indonesia. 

    Dia menyoroti Surge memegang spektrum luas 80 MHz di zona Jawa, Papua, dan Maluku. Sementara MyRepublic 160 MHz di Sumatera, Bali, NT, Kalimantan, Sulawesi. 

    “Tapi ingat, masih ada masa sanggah sebelum resmi. Secara keseluruhan, ini positif untuk perluasan internet murah 100 Mbps ke daerah terpencil, tapi harus diawasi agar komitmen infrastruktur terpenuhi,” ujarnya.

    Heru menambahkan, baik Surge maupun MyRepublic memiliki kapasitas teknologi dan pengalaman yang kuat untuk mengembangkan jaringan pita lebar (Broadband Wireless Access/BWA) di wilayah yang dimenangkan. Heru mengatakan kedua perusahaan sudah membangun jaringan fiber optic masif, termasuk subsea cable dengan kapasitas mencapai 64 Tbps, serta fokus pada broadband untuk SME dan enterprise. 

    “Anak usahanya, Telemedia, spesialis wireless telecom, jadi mereka siap integrasikan 1,4 GHz untuk ekosistem BWA yang ekspansif, terutama di Regional 1,” tutur Heru.

    Sementara MyRepublic, lanjut Heru, bagian Sinarmas, sudah punya pengalaman jadi ISP fiber di Indonesia dengan 1 juta pelanggan. 

    “Mereka ekspansi cepat, tambah 3 juta homepasses tahun ini. Di Regional 2-3, mereka bisa bangun ekosistem kuat untuk layanan rumah tangga dan SME, fokus pada akses terjangkau dan TV berlangganan. Keduanya punya modal teknologi dan ekspansi, tapi tantangannya di komitmen buka jaringan ke operator lain. Regulator harus memantau agar cita-cita lelang 1,4 GHz ini dapat terwujud,” lanjutnya.

    Sementara itu, Pengamat Telekomunikasi dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Agung Harsoyo, menilai kemenangan perusahaan dalam lelang ini baru merupakan langkah awal dari tanggung jawab besar untuk membangun infrastruktur dan layanan sesuai komitmen yang telah ditetapkan. Menurutnya perlu pengawasa atau pengendalian dari Komdigi. 

    “Alangkah baiknya diumumkan ke publik. Diharapkan para pemenang lelang bukan hanya memenuhi komitmen pembangunan (target minimal). Informasi pemenuhan komitmen pembangunan ke publik sangat penting, sebagai bentuk akuntabilitas Komdigi dalam mengelola pita frekuensi yang merupakan sumber daya yang terbatas,” kata  Agung.

    Sebelumnya, Komdigi telah mengumumkan pemenang lelang harga pita frekuensi 1,4 GHz. PT Telemedia Komunikasi Pratama, anak usaha PT Solusi Sinergi Digital Tbk. (WIFI), menjadi pemenang untuk Regional I yang meliputi Pulau Jawa, Maluku, dan Papua, dengan penawaran tertinggi senilai Rp403,7 miliar.

    WIFI mengungguli PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk. (TLKM) dengan penawaran Rp399 miliar, dan PT Eka Mas Republik sebesar Rp331 miliar. Sementara itu, PT Eka Mas Republik memenangkan Regional II yang meliputi Sumatra, Bali, dan Nusa Tenggara dengan penawaran Rp300,8 miliar, lebih tinggi dari Telkom (Rp259 miliar) dan Telemedia (Rp136 miliar).

    Eka Mas juga memenangkan Regional III yang mencakup Kalimantan dan Sulawesi dengan harga penawaran Rp100 miliar, mengalahkan Telkom (Rp80 miliar) dan Telemedia (Rp64 miliar).

    Pada tahun pertama, para pemenang lelang diwajibkan membayar tiga kali nilai penawaran, kemudian membayar sesuai nilai penawaran selama sembilan tahun berikutnya. Komdigi menyampaikan bahwa peserta seleksi masih dapat menyampaikan sanggahan terhadap hasil seleksi paling lambat Jumat, 17 Oktober 2025 pukul 15.00 WIB.

    Apabila tidak ada sanggahan, proses seleksi akan dilanjutkan ke tahap penyampaian laporan hasil seleksi dan penetapan resmi pemenang oleh Menteri Komunikasi dan Digital.

  • Satelit Multifungsi – Palapa Ring Integrasi Masuk PSN, Kapasitas Satria Disorot

    Satelit Multifungsi – Palapa Ring Integrasi Masuk PSN, Kapasitas Satria Disorot

    Bisnis.com, JAKARTA — Pengamat menilai penetapan proyek Satelit Multifungsi dan Palapa Ring Integrasi sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN) merupakan langkah tepat. Terlebih, kapasitas Satelit Satria-1 makin terbatas. 

    Pada Juli 2025, Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (Bakti) mengungkap kapasitas Satelit Satria-1 telah terpakai 70% dari total 150 Gbps yang dimiliki. Hingga akhir tahun, diproyeksikan kapasitas akan terisi hingga 90%. 

    Pengamat telekomunikasi sekaligus Direktur Eksekutif Indonesia ICT Institute, Heru Sutadi, menilai penetapan Palapa Ring Integrasi dalam daftar PSN sangat tepat. Menurutnya, Indonesia masih membutuhkan backbone nasional untuk menghubungkan Palapa Ring Barat, Tengah, dan Timur.

    “Termasuk menghubungkan Ibu Kota Kabupaten/Kota yang belum terhubung serat optik,” kata Heru saat dihubungi Bisnis pada Selasa (14/10/2025).

    Lebih lanjut, Heru menjelaskan untuk proyek Satelit Multifungsi, pemerintah perlu menghitung kembali kemanfaatan dari Satria-1 yang sudah beroperasi saat ini. Namun, dia menekankan pentingnya memperhatikan aspek pembiayaan proyek tersebut. 

    “Walau ini hanya jauh di bawah alokasi MBG atau IKN, tapi kan harus dialokasikan,” imbuhnya.

    Dari sisi teknis, Heru menilai perencanaan proyek harus memperhitungkan kebutuhan kapasitas hingga 15 tahun ke depan agar tidak terjadi pemborosan maupun kekurangan kapasitas. 

    Hal ini penting karena diprediksi trafik data Indonesia akan meningkat pesat seiring bertambahnya pengguna internet, percepatan transformasi digital, dan pertumbuhan ekonomi digital.

    Sementara itu, pengamat telekomunikasi dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Agung Harsoyo mengatakan Presiden mencanangkan dua kemandirian yakni pangan dan energi. 

    Menurutnya Industri telko dapat mendukung program Presiden dengan program kemandirian digital penggelaran infrastruktur jaringan dan layanan internet yang merata di seluruh wilayah Indonesia, sehingga kemandirian pangan dan energi akan efisien dan optimal.

    Dia menuturkan ukuran kinerja (performance) paling mendasar dalam sistem telekomunikasi adalah tingkat penggunaan (utilization). 

    “Ukuran prosentase yang digunakan oleh pelanggan [bisa pelanggan akhir atau penyelenggara telekomunikasi] relatif terhadap kapasitas maksimal dari sistem,” katanya.

    Peluncuran Satelit Satria-1

    Menurut Agung, tingkat utilisasi tersebut seharusnya diumumkan secara terbuka oleh penyelenggara Palapa Ring maupun Satelit Satria sebagai bentuk pertanggungjawaban publik atas infrastruktur yang dikelola. 

    “Misal dari 22 cores (11 pairs) kabel optik yang tergelar, berapa yang telah aktif digunakan. Demikian pula untuk Satelit Satria, apabila utilisasi dari infrastruktur tersebut telah lebih dari 50%, barulah pantas untuk melakukan pengembangan berikutnya,” jelasnya.

    Proyek Palapa Ring Integrasi, yang akan menyatukan seluruh jaringan serat optik nasional dari Palapa Ring Barat, Tengah, dan Timur, memiliki nilai investasi mencapai Rp23,16 triliun, atau sekitar tiga kali lipat dari proyek Satelit Satria-1.

    Awalnya, proyek ini direncanakan untuk dilelang oleh Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (BAKTI) pada kuartal IV/2022 melalui skema Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU). Namun, proses lelang tertunda akibat lembaga tersebut sempat terseret kasus hukum.

    Palapa Ring Integrasi akan mencakup 11.182 kilometer kabel laut dan 2.924 kilometer kabel darat, menjangkau 24 provinsi dan 78 kabupaten/kota. Infrastruktur ini diharapkan mampu memperkuat konektivitas antarwilayah sekaligus mempersempit kesenjangan digital, khususnya di kawasan timur Indonesia.

    Adapun Satelit Multifungsi pertama pemerintah adalah Satria-1. Proyek ini awalnya bertujuan menyediakan layanan internet berkecepatan tinggi di 149.400 titik layanan publik, mencakup sektor pendidikan, kesehatan, pemerintahan daerah, hingga pertahanan dan keamanan.

    Namun, karena meningkatnya kebutuhan bandwidth, jumlah titik tersebut dipangkas menjadi di bawah 40.000. Dengan masuknya kembali program Satelit Multifungsi ke dalam daftar PSN, terbuka peluang pengadaan Satelit Satria-2 yang sebelumnya digadang mampu mencapai kapasitas 300 Gbps. Alternatif lainnya adalah pemanfaatan satelit orbit rendah (LEO).

  • Keuntungan dan Tantangan bagi Perusahaan Telko

    Keuntungan dan Tantangan bagi Perusahaan Telko

    Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) akan menggelar lelang harga peta frekuensi 1,4 GHz pada Senin (13/10/2025).

    Lelang tersebut akan diikuti oleh tiga perusahaan telekomunikasi yaitu PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk. (TLKM), PT Telemedia Komunikasi Pratama (anak usaha WIFI), dan PT Eka Mas Republik. Apa manfaat dan tantangan spektrum 1,4 GHz bagi mereka?

    Spektrum frekuensi 1,4 GHz adalah pita frekuensi radio yang digunakan untuk layanan akses internet cepat atau Broadband Wireless Access (BWA), khususnya jaringan tetap lokal berbasis packet-switched menggunakan standar teknologi telekomunikasi bergerak internasional.  Frekuensi ini berada di rentang 1427–1518 MHz, dengan lebar pita efektif sekitar 80 MHz—di Indonesia.

    Komdigi membagi spektrum ini menjadi 3 regional yang secara garis besar sebagai berikut: regional I berisi Pulau Jawa dan Papua serta Maluku. Regional II terdiri dari provinsi Sumatra- Bali & Nusra. Dan terakhir, regional III terdiri dari Kalimantan dan Sulawesi.

    Harga Dasar

    Adapun kabar yang bererdar, nilai dasar harga lelang frekuensi 1,4 GHz setiap regional berbeda-beda. Regional I dimulai dari harga Rp230 miliar, regional II dimulai dari harga Rp40 miliar, dan regional III dimulai dari harga Rp37 miliar. 

    Dalam skema nilai dasar lelang diambil yang terendah sebesar Rp230 miliar untuk harga dasar, maka pada tahun pertama pemenang akan membayar up front free 2x dari nilai yang mereka tawarkan, ditambah 1x pembayaran untuk tahun tersebut. Artinya, pemenang harus membayar sekitar Rp690 miliar. Nilai tersebut berpotensi berubah karena ada proses tawar-menawar. 

    Bisnis coba mengonfirmasi kabar tersebut kepada Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi). Hingga berita ini diturunkan Komdigi tak memberi jawaban.

    Teknisi memperbaiki pemancar sinyal di menara telekomunikasi

    Kelebihan 

    Komdigi menyebut frekuensi 1,4 GHz dapat membantu memperluas jangkauan akses internet broadband, khususnya untuk wilayah yang belum terjangkau fiber optik atau infrastruktur kabel. Pita ini nantinya akan digunakan untuk Fixed Wireless Access (FWA) dan kebutuhan internet rumah.

    Kecepatan internet yang diberikan besar seperti internet tetap, namun perusahaan telekomunikasi tidak perlu usaha keras untuk menarik kabel ke rumah-rumah untuk menjangkau pelanggan. Secara estetika, kabel yang membentang ke rumah-rumah makin minim.

    Tantangan

    Kesiapan ekosistem menjadi salah satu tantangan yang akan dihadapi oleh perusahaan telekomunikasi dalam pengembangan layanan data di pita frekuensi 1,4 GHz.  Adapun pita frekuensi 1,4 GHz termasuk kategori mid band atau frekuensi pita tengah yang memiliki karakteristik jangkauan lumayan luas dan kapasitas besar.

    Head of Asia Pacific GSMA Julian Gorman mengatakan tantangan utama dalam pemanfaatan frekuensi 1,4 GHz berkaitan dengan kesiapan ekosistem pendukung yang masih minim.

    “Masalah utama dari teknologi 1,4 GHz adalah ukuran ekosistemnya,” ujar Julian.

    Dia menjelaskan bahwa setiap pita frekuensi yang dialokasikan membutuhkan ekosistem komprehensif agar dapat dimanfaatkan secara efektif—dari pembuat chip, antena, hingga produsen perangkat yang dapat mendukung spektrum tersebut.

    Di berbagai belahan dunia, pita frekuensi paling populer yang lebih dulu diadopsi secara masif adalah 3,5 GHz, diikuti dengan 2,6 GHz. Pita-pita ini mendapat sambutan luas karena didukung oleh rantai pasok global yang matang dan biaya produksi perangkat yang efisien karena skala adopsi yang besar.

    Sebaliknya, pita 1,4 GHz hanya digunakan secara sporadis di beberapa wilayah dunia, sehingga keberadaan perangkat, chip, dan dukungan teknis lainnya masih relatif terbatas. 

    “Kalau Indonesia memilih untuk mengembangkan layanan di pita ini, tentu kontribusi terhadap pembentukan ekosistem global sangat besar. Tetapi untuk saat ini, kurangnya skala adalah tantangan terbesar,” kata Julian. 

    Infrastruktur telekomunikasi di daerah 3T

    Sementara itu, Pakar telekomunikasi dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Agung Harsoyo mengatakan spektrum frekuensi 1,4 GHz berpotensi digunakan untuk fixed wireless access (FWA).

    Namun, menurut Agung, salah satu tantangan FWA di 1,4 GHz adalah kapasitas frekuensi yang terbatas, sehingga perusahaan telekomunikasi harus rutin menambah investasi jika ingin menjaga layanan di tengah pertumbuhan pelanggan.

    Struktur ongkos yang membengkak akan menjadi tantangan bagi tim produk yang menawarkan paket ke pelanggan. Makin banyak pengguna, makin banyak ongkos, dan makin kecil pula marginnya jika harga layanan tidak dinaikkan. 

    Adapun cara agar kualitas layanan tetap optimal dan pelanggan yang dilayani tetap banyak, serta bisnis perusahaan telekomunikasi tetap sehat, cara yang ditempuh adalah dengan menurunkan ongkos penggunaan spektrum frekuensi atau ongkos regulator.

    “Frekuensi itu kan dihitung berdasarkan yang menggunakan. Jadi kalau yang menggunakan sendirian itu dapat bit rate yang sangat tinggi. Wireless dishare. Berbeda dengan optik.  Artinya itu kan tidak berbeda dengan yang ada di selular,” kata Agung. 

  • Mastel Soroti Prospek 700 MHz dan 2,6 GHz untuk Dorong Layanan 5G

    Mastel Soroti Prospek 700 MHz dan 2,6 GHz untuk Dorong Layanan 5G

    Bisnis.com, JAKARTA— Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) menilai pemanfaatan pita frekuensi 700 MHz dan 2,6 GHz menjadi peluang penting bagi Indonesia untuk mempercepat pengembangan layanan 5G sekaligus memperluas jaringan broadband nasional. 

    Ketua Umum Mastel Sarwoto Atmosutarno mengatakan, posisi Indonesia dalam hal infrastruktur internet saat ini masih tertinggal dibandingkan dengan negara-negara lain di kawasan Asia Tenggara (Asean).

    Berdasarkan data Speedtest per Februari 2025, kecepatan rata-rata mobile broadband (MBB) Indonesia hanya sekitar 45 Mbps, menempati peringkat kesembilan dari 11 negara Asean, sementara kecepatan fixed broadband (FBB) mencapai 39,8 Mbps, berada di posisi ke-10 dari 11 negara.

    “Dari sisi harga, rata-rata biaya layanan internet di Indonesia juga masih paling mahal di Asean, yakni sekitar US$0,41 per Mbps [Rp6.478 per Mbps] ,” kata Sarwoto saat dihubungi Bisnis pada Kamis (9/10/2025). 

    Sarwoto menambahkan, keterlambatan implementasi layanan 5G menjadi salah satu isu utama. Menurutnya, layanan 5G di Indonesia tertinggal 4 hingga 5 tahun dibandingkan negara lain yang sudah mulai meluncurkan 5G sejak 2017. 

    Padahal, kata dia, teknologi 5G memiliki peran strategis di era kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) dan transformasi digital lintas sektor. Oleh sebab itu, Sarwoto menilai Indonesia masih memiliki peluang untuk memperkuat layanan 5G melalui pemanfaatan dividend spectrum di pita 700 MHz serta frekuensi ideal di 2,6 GHz.

    “Namun, kuncinya tetap pada kemampuan investasi penyelenggara telekomunikasi yang saat ini masih rendah,” katanya. 

    Sarwoto mengatakan, pemerintah perlu membuat terobosan kebijakan, misalnya melalui konsep 5G neutral network, yang memisahkan penyelenggaraan jaringan 5G dengan penyelenggaraan jasanya untuk use case tertentu. Dia menekankan 5G tidak hanya untuk komunikasi, tetapi juga akan mempercepat transformasi di sektor kesehatan, pendidikan, energi, pangan, industri, perdagangan, hingga pemerintahan.

    Dia juga mendukung adanya pemberian insentif atau skema pembayaran secara bertahap pada biaya keseluruhan pita frekuensi yang akan dilelang. Menurut Sarwoto, langkah tersebut akan memberikan nilai tambah yang lebih besar dalam jangka panjang karena dapat memperluas layanan 4G dan 5G dibandingkan hanya berfokus pada penerimaan BHP frekuensi saat ini.

    Senada dengan Mastel, pengamat telekomunikasi dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Agung Harsoyo menilai momentum saat ini bisa dimanfaatkan untuk memperbaiki kebijakan biaya regulasi bagi industri telekomunikasi.

    Menurut Agung, kehadiran Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa yang memahami aspek teknologi dapat membuka peluang untuk meninjau ulang struktur biaya regulasi yang harus dibayar oleh operator seluler, termasuk BHP Frekuensi.

    “Tim dari Kementerian Keuangan bersama Komdigi bisa melakukan evaluasi terhadap kesehatan industri telekomunikasi dari sisi regulatory cost. Hasilnya diharapkan melahirkan kebijakan yang menyeimbangkan kepentingan industri, masyarakat, dan pemerintah,” kata Agung kepada Bisnis pada Kamis (9/10/2025). 

    Dia menambahkan, salah satu opsi yang bisa dipertimbangkan adalah memberikan skema pembayaran BHP secara cicilan, agar operator memiliki ruang finansial yang lebih leluasa untuk melakukan ekspansi jaringan dan mempercepat pembangunan infrastruktur digital.

    Sementara itu, di sisi industri, dua operator besar yaitu PT Indosat Tbk (Indosat Ooredoo Hutchison/IOH) dan PT XLSmart Telecom Sejahtera Tbk (EXCL) sama-sama menyatakan minat terhadap pita frekuensi 700 MHz dan 2,6 GHz, meskipun keduanya memilih mundur dari seleksi pita frekuensi 1,4 GHz yang tengah digelar Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi).

    Director & Chief Business Officer Indosat Ooredoo Hutchison Muhammad Buldansyah menegaskan setiap langkah strategis yang diambil perusahaan tidak semata-mata didorong oleh faktor modal finansial, tetapi juga berdasarkan pertimbangan ekonomi dan bisnis yang matang.

    “Semua yang Indosat lakukan mempertimbangkan aspek ekonomi bisnis, layanan pelanggan, serta dukungan terhadap objektif pemerintah. Ujung-ujungnya tetap pertimbangan bisnis,” kata Buldansyah di Kantor Indosat pada Selasa (7/10/2025).

    Dia menambahkan, setiap keputusan perusahaan bermuara pada tujuan untuk menjaga industri telekomunikasi nasional agar dapat tumbuh sehat dan berkelanjutan. Ketika ditanya mengenai rencana keikutsertaan dalam lelang frekuensi 700 MHz dan 2,6 GHz, Buldansyah belum memberikan konfirmasi lebih jauh.

    “Nanti ada sesinya, nanti ada waktunya,” ujarnya singkat.

    Sikap serupa juga ditunjukkan oleh XLSMART. Group Head Corporate Communications & Sustainability XLSMART Reza Mirza mengatakan, perusahaan tetap berminat terhadap pita frekuensi 700 MHz dan 2,6 GHz. Namun, mereka berharap pemerintah memberikan skema pembayaran yang lebih fleksibel, misalnya dengan sistem cicilan.

    “Sebenarnya kan kami minat untuk kedua itu [frekuensi 700 MHz dan 2,6 Ghz]. Cuma dari sisi pembayarannya kan sekarang regulatory cost lumayan mahal. Sekarang kan di angka 12–13%,” kata Reza ditemui usai acara Road to Grand Final Axis Nation Cup 2025 di Jakarta, pada Selasa (7/10/2025). 

    Menurutnya, beban biaya yang besar membuat operator perlu berhitung matang sebelum mengikuti lelang. Meski demikian, XLSMART telah melakukan komunikasi informal dengan pemerintah untuk menyampaikan aspirasi industri.

    “Kami mau membantu pemerintah. At the same time pemerintah tolong bantu [industri] telko” katanya.

    Komdigi diketahui masih fokus pada lelang pita frekuensi 1,4 GHz, yang kini menyisakan tiga peserta yakni PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk (Telkom), PT Eka Mas Republik (MyRepublic), dan PT Telemedia Komunikasi Pratama (Viberlink).

    Setelah itu, pemerintah berencana menyiapkan lelang pita 700 MHz dan 2,6 GHz, yang ditargetkan dapat digelar pada akhir tahun ini.

    Pita frekuensi 700 MHz termasuk kategori low band yang memiliki cakupan luas dan cocok untuk memperluas akses jaringan di wilayah pelosok. Sementara pita 2,6 GHz merupakan mid band yang menawarkan keseimbangan antara cakupan dan kapasitas jaringan, ideal untuk mendukung implementasi layanan 5G dan peningkatan kapasitas data di kawasan urban.

  • Komdigi Targetkan Masyarakat Makin Melek Digital 2026, Skor IMDI Naik Jadi 45,33

    Komdigi Targetkan Masyarakat Makin Melek Digital 2026, Skor IMDI Naik Jadi 45,33

    Bisnis.com, JAKARTA— Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) memproyeksikan Indeks Masyarakat Digital Indonesia (IMDI) 2026 mencapai nilai 45,33, atau meningkat 0,8 poin dari capaian tahun ini. 

    Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BPSDM) Komdigi, Boni Pudjianto, mengatakan peningkatan nilai IMDI nasional akan diupayakan melalui tiga langkah utama. Pertama, pengembangan dan penguatan infrastruktur digital dengan memastikan penyediaan konektivitas broadband yang inklusif, berkualitas, dan terjangkau di seluruh Indonesia.

    “Kedua, penguatan ekosistem ruang digital dengan meningkatkan literasi serta keterampilan digital dasar masyarakat agar lebih produktif,” kata Boni kepada Bisnis pada Senin (6/10/2025). 

    Ketiga, lanjut Boni, pengembangan kompetensi digital sumber daya manusia (SDM) nasional yang disesuaikan dengan kebutuhan industri di masa depan. Dia menambahkan hasil IMDI 2025 masih menunjukkan adanya kesenjangan, utamanya untuk wilayah-wilayah di kawasan timur Indonesia. 

    Dia mengatakan strategi yang akan dilakukan untuk mengatasi hal tersebut adalah dengan mengutamakan daerah-daerah dengan nilai IMDI terendah sebagai sasaran prioritas lokasi pelaksanaan program pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) digital.

    Dia menambahkan peningkatan nilai IMDI dan pengurangan kesenjangan antarwilayah tidak bisa dilakukan hanya oleh Komdigi. 

    “Peningkatan nilai IMDI dan pengurangan gap antar wilayah tidak dapat dicapai melalui program inisiatif dari Kemkomdigi saja, melainkan perlu kerjasama berbagai stakeholder, khususnya Pemerintah Daerah, baik Provinsi maupun Kabupaten/Kota,” katanya.

    Boni mencontohkan, bentuk kolaborasi yang dapat dilakukan pemerintah daerah antara lain dengan menginisiasi penggunaan keuangan digital seperti e-wallet sebagai alat pembayaran utama, atau mendorong masyarakat memanfaatkan layanan publik berbasis digital yang telah dikembangkan di daerah masing-masing.

    Nelayan membuka aplikasi di smartphone

    Sementara itu, pengamat telekomunikasi dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Agung Harsoyo, menilai proyeksi peningkatan IMDI pada tahun depan cukup realistis. Menurutnya, adopsi teknologi digital di masyarakat sudah berkembang pesat dan diperkirakan akan terus meningkat.

    “Tahun depan minimal akan sama atau naik. Kita menyaksikan, sebagian besar masyarakat Indonesia cepat mengadopsi dan mengadaptasi perkembangan teknologi digital. Terutama sangat nampak pada masa pandemi. Tahun 2026 akan tetap baik,” kata Agung saat dihubungi Bisnis pada Senin (6/10/2025).

    Agung menilai, sektor keuangan digital menjadi pendorong utama peningkatan IMDI tahun depan. 

    “Sektor penentu kenaikan IMDI pada tahun depan yakni sektor keuangan, terutama payment, teknologi semisal QRIS. Kesempatan yang baik untuk mengembangkan layanan sejenis QRIS ini. Hal sejenis dapat diterapkan di bidang transportasi, pendidikan, kesehatan,” tambahnya.

    Sebelumnya diberitakan, Komdigi mencatat IMDI 2025 mencapai 44,53 poin, naik 1,19 poin dibandingkan tahun sebelumnya yang sebesar 43,34. 

    IMDI merupakan alat ukur tingkat kompetensi dan keterampilan masyarakat dalam menggunakan teknologi digital, baik untuk kehidupan sehari-hari maupun pekerjaan. Menteri Komunikasi dan Digital (Menkomdigi) Meutya Hafid mengatakan capaian tersebut bukan sekadar angka statistik, tetapi menjadi bukti nyata Indonesia tengah bergerak menuju visi besar Pemerintah Digital 2045.

    “IMDI bukan hanya menjadi alat evaluasi, namun jadi kompas kebijakan dalam memandu pemerintah pusat dan daerah untuk menyusun program,” kata Meutya.

    Menurutnya, pemanfaatan indeks tersebut sebagai rujukan strategis penting untuk memastikan kebijakan pengembangan SDM digital berbasis data yang akurat dan tepat sasaran.

    IMDI diukur berdasarkan empat pilar utama, yakni Infrastruktur dan Ekosistem, Keterampilan Digital, Pemberdayaan, dan Pekerjaan. Tahun ini, pilar Infrastruktur dan Ekosistem mencatat skor tertinggi sebesar 53,06, sementara pilar Pemberdayaan menjadi yang terendah dengan 34,42.

    Pengukuran IMDI dilakukan setiap tahun di 38 provinsi dan 514 kabupaten/kota, dengan lebih dari 18.000 responden individu dan 11.000 responden industri. 

    Sejak pertama kali dilaksanakan pada 2022 dengan skor nasional 37,80, IMDI terus menunjukkan tren peningkatan menjadi 43,18 pada 2023, 43,34 pada 2024, dan kini mencapai 44,53 pada 2025.

    Infrastruktur Internet

    Tahun ini, Komdigi juga memberikan penghargaan kepada daerah dengan capaian tertinggi. Provinsi DKI Jakarta tercatat memiliki skor IMDI tertinggi secara nasional sebesar 56,97, disusul oleh Kepulauan Bangka Belitung (52,15) dan Jawa Barat (52,05). 

    Untuk kategori kabupaten/kota, Kota Bandung, Kota Malang, dan Jakarta Barat menjadi yang terdepan di wilayah barat. Di wilayah tengah, posisi teratas ditempati oleh Kota Bontang, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, dan Kota Tarakan, sedangkan di wilayah timur ada Kabupaten Maluku Tengah, Kota Ternate, dan Kabupaten Sorong.