Vonis Agnez Mo Diduga Salahi UU, Komisi III Minta Bawas MA Tindak Lanjuti
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Dalam rapat,
Komisi III DPR
RI meminta Badan Pengawas Mahkamah Agung (
Bawas MA
) menindaklanjuti dugaan bahwa vonis Pengadilan Niaga Jakarta Pusat terhadap kasus
Agnez Mo
menyalahi undang-undang.
“Satu, Komisi III DPR meminta kepada Bawas MA untuk menindaklanjuti laporan yang disampaikan Koalisi Advokat Pemantau Peradilan terkait dugaan terjadinya pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang memeriksa dan mengadili perkara dengan nomor register 92/BDT.SUS-HK/hakcipta2024 PN Niaga Jakarta Pusat, yang diduga pemeriksaan dan putusannya tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan,” ujar Ketua Komisi III DPR, Habiburokhman, di Gedung DPR, Jakarta, Jumat (20/6/2025).
Komisi III
DPR RI
menggelar rapat dengan Direktorat Jenderal (Ditjen) Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum, Badan Pengawas Mahkamah Agung (Bawas MA), dan Koalisi Advokat Pemantau Peradilan terkait kasus gugatan
hak cipta
lagu “Bilang Saja” yang menyeret Agnez Mo.
Habiburokhman menyebut bahwa pemeriksaan dan putusan hakim atas perkara Agnez Mo tidak sesuai dengan undang-undang (UU).Habiburokhman menyampaikan, Komisi III DPR meminta MA untuk membuat surat edaran atau pedoman terkait panduan untuk penerapan UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang
Hak Cipta
secara komprehensif.
Dengan begitu, kata dia, tidak ada lagi putusan yang merugikan dunia seni.
“Sehingga tidak ada lagi putusan yang tidak mencerminkan keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan, serta merugikan orkestrasi dunia seni dan musik Indonesia,” tuturnya.
Kemudian, Habiburokhman meminta Ditjen Hak Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum untuk dapat menyosialisasikan secara luas kepada semua pihak terkait mekanisme perolehan lisensi pengelolaan royalti yang dilakukan melalui LMKN.
Dengan begitu, Habiburokhman menegaskan, tidak ada lagi sengketa, gugatan, atau putusan peradilan yang dapat merugikan seluruh artis atau pelaku industri musik Indonesia.
“Termasuk dalam perkara register nomor 92/BDT.SUS-HK/hakcipta2024 PN Niaga Jakarta Pusat, dan menimbulkan ketidakpastian hukum,” ucap Habiburokhman.
Dalam kesempatan yang sama, Bawas MA yang diwakili Inspektur Wilayah UU Suradi mengaku telah menerima laporan dari Koalisi Advokat Pemantau Peradilan terkait dugaan pelanggaran etik majelis hakim yang memutus perkara Agnez Mo.
“Benar, kita pada tanggal 19 Juni 2025 menerima pengaduan dari Koalisi Advokat tentang dugaan adanya pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim,” kata Suradi.
Suradi pun memastikan MA akan menindaklanjuti laporan tersebut dengan transparan.
Lalu, Wawan selaku pihak yang mewakili Agnez Mo berharap ada keadilan bagi Agnez Mo dan dunia musik saat ini.
“Mbak Agnez tetap sebagai warga negara tunduk dan patuh pada proses hukum yang saat ini sedang berjalan sesuai kanalnya dan prosedurnya. Mudah-mudahan dengan waktu yang sesuai, mendapatkan hasil yang baik tidak hanya bagi Mbak Agnez Monica, tetapi juga bagi seluruh pelaku industri di entertainment Indonesia,” jelas Wawan.
Sebelumnya, penyanyi Agnez Mo dinyatakan bersalah dalam gugatan pencipta lagu Ari Bias terkait royalti sebesar Rp 1,5 miliar.
Majelis hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat memutus perkara ini pada 30 Januari 2025.
“Intinya adalah menyatakan tergugat telah melakukan pelanggaran hak cipta karena telah menggunakan secara komersial lagu ciptaan penggugat, ‘Bilang Saja’, pada tiga konser tanpa izin penggugat,” kata kuasa hukum Ari Bias, Minola Sebayang, saat konferensi pers di Fatmawati, Jakarta Selatan, Senin (3/2/2025).
Pengadilan memerintahkan Agnez untuk membayar royalti sebesar Rp 1,5 miliar dari tiga konser yang memakai lagu Ari Bias.
“Konser tanggal 25 Mei 2023 di HW Superclubs Surabaya Rp 500 juta, konser tanggal 26 Mei 2023 di H-Club Jakarta Rp 500 juta, dan konser tanggal 27 Mei 2023 di HW Superclub Bandung Rp 500 juta. Total Rp 1,5 miliar,” tutur Minola.
Minola menuturkan, nominal ganti rugi tersebut diatur dalam Pasal 113 Undang-Undang Hak Cipta.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Tag: Agnes Monica
-
/data/photo/2017/10/26/4188149231.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
10 DJKI Jelaskan Agnez Mo Orang Pertama yang Terjerat UU Hak Cipta Nasional
DJKI Jelaskan Agnez Mo Orang Pertama yang Terjerat UU Hak Cipta
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (
DJKI
) Kementerian Hukum mengungkapkan musisi
Agnez Mo
menjadi orang pertama yang terjerat kasus Undang-Undang (UU) Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.
Direktur Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Razilu menjelaskan, sejak beleid tersebut disahkan pada 2014, tidak ada seseorang yang dilaporkan dan divonis bersalah dengan
UU Hak Cipta
.
“Intinya adalah sejak UU ini disahkan pada tanggal 16 September 2014 sampai dengan sebelum kejadian Agnez Mo, sebenarnya belum ada kejadian yang dilaporkan terkait dengan kasus ini,” ujar Razilu usai rapat dengar pendapat umum dengan Komisi III DPR RI, Jumat (20/6/2025).
Hal tersebut pun dianggap Razilu sebagai bukti tidak adanya masalah dalam aturan yang dimuat dalam UU tersebut.
Implementasinya pun diyakini berjalan dengan baik karena aturan yang jelas.
Bahkan, lanjut Razilu, UU Hak Cipta juga telah menegaskan bahwa pembayar
royalti
diatur oleh Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) maupun Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN).
“Artinya sebenarnya UU ini sudah berjalan cukup lama, ya, hampir 10 tahun lebih. Itu belum pernah ada kasus yang terkait hal ini,” ucap Razilu.
“Jadi menurut kami, apa yang ada dalam peraturan perundang-undangan dengan peraturan pelaksanaannya sudah sangat jelas,” sambungnya.
Razilu pun mengeklaim bahwa pihaknya telah memperoleh data lengkap mengenai pengelolaan dan pembayaran royalti oleh LMK dan LMKN hingga 2025 ini.
Berdasarkan data yang didapatkan, royalti yang diperoleh LMK dan LMKN berasal dari penyelenggara kegiatan, misalnya promotor, partai politik, perguruan tinggi, dan perusahaan.
“Dan juga ada yang dibayar oleh penyanyi sendiri, tetapi yang menyelenggarakan konser sendiri. Jadi ketika dia penyanyi membayar royalti, itu bukan sebagai penyanyi; Dia bayar karena dia menyelenggarakan konser. Itu mungkin penegasan dari kami,” pungkasnya.
Diberitakan sebelumnya, Komisi III DPR RI menggelar rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan DJKI, Badan Pengawas Mahkamah Agung (Bawas MA), Koalisi Advokat Pemantau Peradilan, dan perwakilan musisi, Jumat.
RDPU itu membahas polemik gugatan royalti oleh komposer atau pencipta lagu terhadap penyanyi atau musisi yang membawakan karya.
“Jadi dibedah juga tentang kasus yang menimpa saudari Agnez Mo yang diputus oleh pengadilan. Padahal beliau itu cuma penyanyi, bukan penyelenggara sebuah event,” kata Ketua Komisi III DPR RI Habiburokhman.
“Tadi dalam RDPU dijelaskan oleh Dirjen Haki bahwa mekanisme pembayaran royalti itu melalui LMK. Secara umumnya begitu, dan yang membayarkan tentu event organizer-nya, pelaksana event,” sambungnya.
Dalam RDPU tersebut, Komisi III pun bersepakat meminta Bawas MA menindaklanjuti laporan dugaan pelanggaran hakim yang menangani dan memutus perkara gugatan terhadap Agnez Mo oleh komposer
Ari Bias
.
Sebab, putusan yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat itu dianggap tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan tentang Hak Cipta.
“Komisi III DPR RI meminta kepada Bawas Mahkamah Agung untuk menindaklanjuti laporan yang disampaikan oleh Koalisi Advokat Pemantau Peradilan, terkait dugaan terjadinya pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang memeriksa dan mengadili Perkara dengan Register No.92/PDT.SUS-HK/HAKCIPTA 2024 Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, yang diduga pemeriksaan dan putusannya tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan,” jelas Habiburokhman.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -

Putusan Hakim Perkara Agnez Mo Diduga Langgar UU, DPR Desak 2 Hal Ini ke MA
Bisnis.com, JAKARTA — Koalisi Advokat Pemantau Peradilan menduga adanya pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang memeriksa dan mengadili perkara dengan register Nomor 92/Pdt.Sus-HKI/Hak Cipta/2024/PN Niaga Jkt.Pst. Saat ini, mereka melaporkannya ke Mahkamah Agung (MA).
Sebagai informasi, perkara tersebut merupakan gugatan pelanggaran hak cipta antara Arie Sapta Hernawan (Ari Bias) melawan Agnes Monica Muljoto (Agnez Mo) dan PT Aneka Bintang Gading. Setelah diputuskan hakim, Agnez Mo dinyatakan bersalah dan didenda Rp1,5 miliar.
Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman meminta kepada Badan Pengawasan (Bawas) MA untuk menindaklanjuti laporan yang disampaikan Koalisi Advokat Pemantau Peradilan ke MA tersebut.
“Yang diduga pemeriksaan dan keputusannya tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan,” tuturnya seusai rapat tertutup dengan Dirjen Kekayaan Intelektual Kemenkum, Bawas MA, dan koalisi tersebut, di Gedung DPR, Jakarta Pusat, Jumat (20/5/2025).
Selanjutnya, legislator Gerindra ini juga meminta MA untuk membuat surat edaran atau pedoman guna menerapkan Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta dan Ketentuan terkait hak kekayaan intelektual lainnya dengan komprehensif.
“Sehingga tidak ada lagi putusan yang tidak mencerminkan keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan, serta merugikan orkestrasi dunia seni dan musik Indonesia,” bebernya.
Selain mendesak dua hal tersebut ke MA, Komisi III DPR juga meminta kepada Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum untuk dapat menyosialisasikan secara luas mengenai mekanisme lisensi dan pengelolaan royalti yang dilakukan melalui Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) dan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN).
“Dan pemahamannya terhadap filosofi dan tujuan Undang-Undang No. 28 tahun 2015 tentang hak cipta dan ketentuan perundang-Undang terkait, sehingga tidak ada lagi sengketa, gugatan, putusan, peradilan yang dapat merugikan seluruh artis atau pelaku industri musik Indonesia seperti dalam perkara Nomor 92/Pdt.Sus-HKI/Hak Cipta/2024/PN Niaga Jkt.Pst.,” jelasnya.
Dalam kesempatan yang sama, Bawas MA juga mengaku sudah menerima laporan dari Koalisi Advokat Pemantau Peradilan terkait hal tersebut.
“Memang benar, kemarin kami menerima pengaduan dari Koalisi Advokat Pemantau Peradilan tentang dugaan adanya pelanggaran kode etik dan pedoman perlikau hakim,” ucap Inspektur Wilayah II Bawas MA, Suradi.
Suradi memastikan pihaknya akan segera menindaklanjuti laporan tersebut. Sebab itu, dia menegaskan hingga sejauh ini masih berupa dugaan saja, bukan sudah pasti ada pelanggaran yang dilakukan hakim.
-
/data/photo/2025/06/20/685524e022246.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
2 Komisi III Minta Bawas MA Usut Hakim yang Suruh Agnez Mo Ganti Rugi Rp 1,5 Miliar ke Ari Bias Nasional
Ketua Komisi III Minta Bawas MA Usut Hakim yang Suruh Agnez Mo Ganti Rugi Rp 1,5 Miliar ke Ari Bias
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Pimpinan Komisi III DPR RI meminta Badan Pengawas Mahkamah Agung (Bawas MA) segera menindaklanjuti laporan
dugaan pelanggaran hakim
yang menangani perkara gugatan royalti oleh komposer
Ari Bias
terhadap penyanyi Agnez Mo.
Hal itu disampaikan Ketua Komisi III DPR RI Habiburokhman saat membacakan kesimpulan rapat dengar pendapat umum (RDPU) bersama Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual, Bawas MA, Koalisi Advokat Pemantau Peradilan, dan perwakilan musisi, Jumat (20/6/2025).
“Komisi III DPR RI meminta kepada
Bawas Mahkamah Agung
untuk menindaklanjuti laporan yang disampaikan oleh Koalisi Advokat Pemantau Peradilan, terkait dugaan terjadinya pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang memeriksa dan mengadili Perkara dengan Register No. 92/PDT.SUS-HK/HAKCIPTA 2024 Pengadilan Niaga Jakarta Pusat,” ujar Habiburokhman, Jumat.
Dalam laporan tersebut, kata Habiburokhman, putusan majelis hakim memerintahkan Agnez Mo membayar ganti rugi karena menyanyikan lagu penggugat tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
“Yang diduga pemeriksaan dan putusannya tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan,” jelas Habiburokhman.
Habiburokhman menjelaskan, pengelolaan dan pembayaran royalti bagi musisi yang menyanyikan lagu ciptaan komposer telah diatur dalam UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.
Dalam beleid tersebut, pengelolaan dan pembayaran royalti diatur oleh Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) atau Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN).
“Jadi dibedah juga tentang kasus yang menimpa saudari Agnez Mo yang diputus oleh pengadilan. Padahal beliau itu cuma penyanyi, bukan penyelenggara sebuah
event
,” kata Habiburokhman.
“Tadi dalam RDPU dijelaskan oleh Dirjen Haki bahwa mekanisme pembayaran royalti itu melalui LMK. Secara umumnya begitu dan yang membayarkan tentu
event organizer
-nya, pelaksana
event
,” sambungnya.
Berkaca dari persoalan tersebut, Komisi III DPR RI pun meminta MA untuk membuat surat edaran atau pedoman penerapan UU Hak Cipta dan ketentuan mengenai Haki secara komprehensif.
“Sehingga tidak ada lagi putusan yang tidak mencerminkan keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan, serta merugikan orkestrasi dunia seni dan musik Indonesia,” kata Habiburokhman.
Di samping itu, Habiburokhman juga meminta Ditjen Haki Kemenkum untuk lebih gencar mensosialisasikan mekanisme perolehan lisensi dan royalti melalui LMK dan LMKN.
“Termasuk pemahaman terhadap filosofi dan tujuan UU Hak Cipta serta ketentuan perundang-undangan terkait. Sehingga tidak ada lagi sengketa gugatan dan putusan peradilan yang dapat merugikan seluruh pelaku industri musik Indonesia,” pungkasnya.
Diberitakan sebelumnya, Bawas MA mengaku telah menerima aduan dugaan pelanggaran kode etik dan pedoman profesi hakim dalam memutuskan perkara gugatan royalti oleh komposer Ari Bias terhadap penyanyi Agnez Mo.
“Memang benar kemarin kita tanggal 19 Juni 2025 menerima pengaduan dari Koalisi Advokat Pemantau Peradilan tentang dugaan adanya pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim, dan itu akan segera kita tindaklanjuti. Jadi apakah ada dugaan pelanggaran atau tidak, itu masih harus ditindaklanjuti,” ujar Anggota Bawas MA Suradi di Ruang Rapat Komisi III DPR, Jumat.
Adapun kasus sengketa royalti antara komposer Ari Bias dan penyanyi Agnez Mo bermula pada Desember 2023.
Saat itu, Ari Bias mengungkapkan bahwa ia tidak menerima royalti dari lagu-lagu ciptaannya yang dibawakan oleh Agnez Mo.
Lagu-lagu tersebut, termasuk “Bilang Saja,” telah dinyanyikan oleh Agnez tanpa izin resmi dari Ari Bias.
Merasa hak ciptanya dilanggar, Ari Bias melarang Agnez Mo untuk membawakan lagu-lagu ciptaannya.
Ari Bias menegaskan, setiap penggunaan karyanya harus melalui izin dan disertai dengan pembayaran royalti yang sesuai.
Setelah upaya komunikasi tidak membuahkan hasil, pada Mei 2024, Ari Bias melayangkan somasi kepada Agnez Mo dan menuntut ganti rugi sebesar Rp 1,5 miliar atas pelanggaran hak cipta.
Namun, karena tidak ada respons yang memadai, pada September 2024, Ari Bias melanjutkan langkah hukumnya dengan mengajukan gugatan perdata di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat.
Proses persidangan bergulir sampai akhirnya pada Februari 2025, majelis hakim memutuskan bahwa Agnez Mo bersalah atas pelanggaran hak cipta dan diwajibkan membayar ganti rugi sebesar Rp 1,5 miliar kepada Ari Bias.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -

Bikin Bangga! Anggun dan Agnez Mo Muncul di Reacher Musim Terbaru
Jakarta, Beritasatu.com – Kabar membanggakan untuk masyarakat Indonesia datang dari serial populer Reacher. Musim keempat serial produksi Prime Video ini resmi menghadirkan dua nama besar asal Indonesia yaitu Anggun dan Agnez Mo. Keduanya akan tampil sebagai bagian dari jajaran pemeran baru, yang diumumkan pada akhir pekan ini.
Dalam musim terbaru Reacher, Agnez Mo akan memerankan karakter bernama Lila Hoth, sementara Anggun akan berperan sebagai kakaknya, Amisha Hoth. Keduanya menjadi sepasang kakak-beradik dengan latar belakang misterius, yang disebut-sebut punya peran penting dalam alur cerita.
Musim keempat ini akan kembali dibintangi oleh Alan Ritchson sebagai Jack Reacher dan mengadaptasi novel ke-13 dari seri laris karya Lee Child, Gone Tomorrow. Kisahnya dimulai dari sebuah pertemuan tak disengaja di dalam kereta, yang kemudian menyeret Reacher ke dalam permainan penuh intrik dan bahaya.
Selain Anggun dan Agnez Mo, beberapa nama baru juga bergabung dalam Reacher musim ini, seperti Jay Baruchel, Sydelle Noel, Kevin Weisman, Marc Blucas, Kevin Corrigan, dan Kathleen Robertson.
Sejak pertama kali tayang pada Februari 2022, Reacher telah menjadi salah satu andalan Prime Video. Bahkan, musim ketiganya yang dirilis Februari 2025 lalu memecahkan rekor sebagai serial paling banyak ditonton sepanjang masa di platform tersebut.
Musim keempat Reacher diproduksi oleh Amazon MGM Studios, Skydance Television, dan CBS Studios. Nick Santora kembali bertindak sebagai penulis utama dan showrunner, didampingi Lee Child dan Alan Ritchson sebagai produser eksekutif.
Kehadiran Anggun dan Agnez Mo tentu menjadi kebanggaan tersendiri bagi Indonesia. Dengan tampil di Reacher, keduanya ikut memperkenalkan talenta lokal ke panggung hiburan global dan membuka jalan lebih lebar bagi artis Tanah Air menembus industri Hollywood.
-

Menyoal Mechanical Rights dalam Perkara Hak Cipta Vidi Aldiano
Bisnis.com, JAKARTA — Munculnya sengketa hak cipta yang melibatkan penyanyi Vidi Aldiano dan pencipta lagu Nuansa Bening, Keenan Nasution alias Keenan Nasution, diproyeksi lebih kompleks dibandingkan dengan perkara Agnez Mo vs Andi Bias.
Praktisi Hukum Kekayaan Intelektual Ari Juliano Gema menjelaskan bahwa kasus Oxavia Aldiano alias Vidi Aldiano ini tidak hanya berkutat pada hak pertunjukan (performing rights), seperti yang menjadi inti sengketa Agnez Mo.
“Betul, selain performing rights, ada juga masalah di penggunaan lagunya sebutlah rekaman,” ujar Ari, saat dihubungi Bisnis, Rabu (11/6/2025).
Untuk memahami duduk perkara ini secara utuh, Ari menekankan pentingnya melihat kasus ini dari perspektif yang lebih luas.
Menurutnya, jika sengketa Agnez Mo dengan Ari Bias straight to the point berkenaan dengan performing right, maka perkara Vidi Aldiano dengan Radakrisnan Nasution berkaitan juga tentang mechanical right.
Mechanical Rights adalah hak eksklusif pencipta lagu untuk mengizinkan atau melarang penggandaan atau reproduksi karyanya, terutama ketika lagu direkam dan diedarkan dalam berbagai media.
“itu [mechanical right] kan sebenarnya yang penting adalah kejelasan izin dari pencipta lagu ini dinyanyikan dan direkam oleh perusahaan rekaman. Apakah ini yang tampak belum jelas, sehingga menimbulkan sengketa para pihak?,” katanya.
Adapun dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, konsep mechanical rights tercakup dalam pengaturan Hak Ekonomi Pencipta dan Hak Terkait Produser Fonogram, khususnya dalam hak untuk melakukan Penggandaan (reproduksi) dan Pendistribusian Ciptaan.
“Kita harus melihat bahwa ada masalah mechanical right berkenaan dengan ketidakjelasan kontrak saat pertama kali lagu itu direkam [oleh Vidi Aldiano]” papar Ari.
Di sisi lain, apabila terkait performing rights, Ari merujuk Peraturan Pemerintah (PP) No. 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik, pembayaran royalti untuk penggunaan lagu dalam pertunjukan musik merupakan tanggung jawab penyelenggara acara, bukan penyanyinya.
Mempertanyakan Kewajiban Izin Penggunaan
Sebelumnya, dalam wawancara cegat kuasa hukum Keenan Nasution dan Rudi Pekerti, Minola Sebayang menjelaskan bahwa kewajiban untuk mendapatkan izin penggunaan lagu secara komersial (termasuk mechanical rights) harus dipenuhi terlebih dahulu sebelum membahas royalti.
Minola menjelaskan Izin ini harus diperoleh pelaku pertunjukan, yang bisa mendelegasikan kewajiban tersebut kepada manajemen atau penyelenggara acara, tetapi tetap menjadi tanggung jawabnya.
“Setelah 2008, Vidi merekam lagu itu [Nuansa Bening] dan kemudian didistribusikan melalui fisik CD dan kaset. Kemudian banyak sekali eksploitasi sesuai dengan teknologi yang baru, yang secara digital, yang itu belum pernah diperjanjikan dan belum pernah diberikan izin,” ujarnya, dikutip dari video yang diunggah di channel youtube Hype, Rabu (28/5/2025).
Minola juga berharap pembayaran royalti atas penggunaan suatu karya cipta, khususnya lagu, tidak dapat mengesampingkan tahapan paling krusial, yakni izin dari pemegang hak cipta. Praktisi hukum kekayaan intelektual menegaskan bahwa asumsi bisa menggunakan karya asal membayar royalti adalah pandangan yang keliru.
“Kalau misalnya kemudian ada asumsi bahwa tidak perlu izin yang penting bayar, kan ini yang menurut pendapat saya yang menyesatkan,” tambah Minola.
Di sisi lain, Ari menjelaskan dalam sengketa Vidi dan pencipta lagu Nuansa Bening dalam ranah hak mekanik juga melibatkan tanggung jawab pihak-pihak terkait.
Ketika sebuah lagu telah terekam dalam media apapun, hak atas rekaman tersebut, yang dikenal sebagai karya fonogram, akan dimiliki oleh produser rekaman.
Melihat perkembangan perkara yang ada, Ari menyoroti bahwa inti permasalahan bagi penggugat, yaitu pencipta lagu, justru terletak pada proses awal perekaman.
“Karena dia menganggap kontraknya pada saat dia memberikan izin untuk itu direkam dan dinyanyikan oleh Vidi,” ujar Ari.
Untuk itu, menurutnya, tanggung jawab utama atas penyelesaian Mechanical Rights berada pada produser rekaman, bukan semata-mata pada penyanyi.
“Kalau mechanical [rights] kan si penyanyi ini hanya sekadar menyanyikan, ini yang bertanggung jawab untuk menyelesaikan segala rights atau license itu si produser rekamannya,” tegas Ari.
Produser rekaman memiliki kewajiban untuk memastikan kejelasan izin yang diberikan oleh pencipta lagu. Izin tersebut bisa saja sebatas untuk merekam dan mengedarkan lagu, atau hingga pengalihan kepemilikan lagu kepada perusahaan rekaman.
“Jadi ini beda nih, dia hanya memberikan izin saja atau kemudian dibeli, atau diambil alih kepemilikannya oleh label rekaman? Nah ini yang kemarin ini tampaknya belum jelas tuh kesepakatannya,” tambahnya.
Dilema Kepercayaan di Balik Sengketa Hak Cipta
Sementara itu, Founder Wara Musika Dzulfikri Putra Malawi menyoroti akar masalah yang lebih dalam dalam konflik royalti seperti kasus Vidi Aldiano.
Menurutnya, solusi dari konflik royalti seharusnya datang dari konsolidasi dan kerja sama antara musisi, Lembaga Manajemen Kolektif (LMK), dan penegak hukum untuk duduk bersama.
“Yang terjadi justru dilema kepercayaan. Banyak lawyer dan pihak berkepentingan tergoda mengambil jalan pintas demi keuntungan pribadi, dan jadinya merusak upaya kolektif tersebut,” ujarnya.
Dzulfikri mengatakan sengketa hukum Vidi Aldiano menambah daftar panjang dari rasa frustasi pencipta lagu yang muncul saat karya mereka menjadi komoditas. Banyak yang dulunya hanya berpikir untuk kesenangan berkarya tanpa peduli hak ekonomi, kini hal tersebut menjadi dasar gugatan.
Parahnya, dampak dari ketimpangan pendapatan bahkan bisa mengubah hubungan personal.
“Bahkan dalam hubungan yang begitu personal antara pencipta dan penyanyi bisa berubah karena ada ketimpangan pendapatan. Ini menjelaskan kenapa rekonsiliasi bisa berubah jadi tuntutan. Emosi lama yang direpresi akhirnya meledak,” kata Dzulfikri.
Dzulfikri juga menyoroti keberadaan Undang Undang Hak Cipta yang berlaku, yang dianggap memiliki celah yang dimanfaatkan.
Menanti Kasasi Agnez Mo
Ari memperkirakan jalannya sengketa Vidi Aldiano bakal berkaca pada kasus Agnez Mo. Jika putusan kasus ini berkekuatan hukum tetap dan memenangkan Ari Bias, maka akan menjadi yurisprudensi.
“Jadi dianggapnya sebagai apakah putusan yang berkekuatan hukum utama memang selalu dirujuk memang oleh hakim-hakim kalau memang tidak mau melihat fakta-fakta baru,” jelasnya.
Kasus Vidi Aldiano vs. Radakrisnan Nasution ini menjadi pengingat penting bagi industri musik dan publik tentang kompleksitas hak cipta, di mana Mechanical Rights dan hak pertunjukan memiliki implikasi hukum yang berbeda tetapi saling terkait.
-

Polemik Royalti Hak Cipta: dari Agnez Mo, Vidi Aldiano, & Reaksi Penyanyi
Bisnis.com, JAKARTA — Beragam respons diungkapkan oleh para penyanyi di tengah hiruk pikuk saling gugat akibat perbedaan tafsir dalam Undang-undang Hak Cipta.
Penyanyi kondang dari band ST12, Charly van Houten, misalnya, membebaskan penyanyi lain untuk menyanyikan lagu-lagunya tanpa harus membayar royalti kepadanya.
Hal tersebut dia sampaikan langsung melalui unggahan Instagramnya @charly_setiaku yang sudah disukai lebih dari 65 ribu orang dan dikomentari lebih dari 4 ribu orang. Unggahan tersebut berupa tulisan kapital yang berlatar belakang foto dirinya saat konser.
“Dari pada mumet, saya Charly VHT membebaskan seluruh temen-temen penyanyi di seluruh Indonesia maupun penyanyi dunia dan akhirat, bebas menyanyikan seluruh karya laguku di panggung maupun di tongkrongan. Tidak wajib bayar royalti. Salam damai,” ujarnya sebagaimana dikutip pada Senin (9/6/2025).
Penyanyi lagu “Putri Iklan” ini juga turut berpendapat tak semestinya royalti lagu itu dipertengkarkan karena sebenarnya bisa dibicarakan dengan baik.
“Salam Damai… tanpa harus ada pertengkaran semua bisa dibicarakan, tak perlu mengedepankan tuntutan karena hakikatnya semua Milik TUHAN. @indomusikgram @officialsetiaband,” tulisnya.
Kasus Hak Cipta
Adapun tindakan Charly tersebut nyatanya berbeda dengan kasus royalti lagu yang baru-baru ini menyeret nama Vidi Aldiano. Vidi digugat oleh pencipta lagu Nuansa bening, Keenan Nasution dan Rudi Pekerti ke Pengadilan Negeri Niaga Jakarta Pusat untuk membayar royalti senilai Rp24,5 miliar.
Berdasarkan sistem informasi penelusuran perkara (SIPP) PN Niaga Jakpus, perkara itu teregis 51/Pdt.Sus-HK/Cipta/20025/PN Niaga Jkt.Pst pada Rabu (21/5/2025). Bahkan saat ini, Keenan dan Rudi sudah menunjuk pengacara atau kuasa hukum Minola Sebayang untuk menggugat perkara ini.
Angka tuntutan itu muncul dari dugaan penggunaan lagu Nuansa Bening secara komersial tanpa izin penggugat pada 31 panggung atau pertunjukkan langsung.
Perinciannya, Rp10 miliar untuk dua pertunjukan pada 2009 dan 2013. Sisanya, Rp 14,5 miliar terkait dengan 29 pertunjukan pada periode 2016-2024.
“Menghukum Tergugat untuk membayar ganti rugi secara tunai kepada Para Penggugat karena telah menggunakan lagu “Nuansa Bening” dalam pertunjukkan atau live concert secara komersial tanpa izin Para Penggugat selaku pencipta, sebesar Rp24.500.000.000,00,” dalam SIPP.
Tak hanya Vidi, kasus pelanggaran soal Hak Cipta ini ternyata juga telah menjerat gnes Monica atau Agnez Mo. Dia dinyatakan telah melanggar hak cipta karena menyanyikan lagu Bilang Saja tanpa izin kepada komposer.
Vonis itu diambil oleh hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat pada (30/1/2025). Dalam putusannya, Agnez Mo wajib membayar denda Rp1,5 miliar terhadap pencipta lagu Ari Bias. Berdasarkan informasi yang dihimpun, rencananya Agnes bakal mengajukan kasasi terhadap putusan tersebut.
UU Hak Cipta Digugat ke MK
Sementara itu, Puluhan penyanyi melayangkan permohonan pengujian materi Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta ke Mahkamah Konstitusi (MK). Permohonan uji materi Armand Cs itu teregister dalam akta pengajuan permohonan pemohon (APPP) dengan nomor 33/PUU/PAN.MK/AP3/03/2025 tertanggal Jumat (7/3/2025).
“Perkara Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta,” dalam situs mkri.id, dikutip Senin (10/3/2025).
Adapun beberapa musisi kondang yang mengajukan gugatan adalah Armand Maulana, Bernadya, Judika, David Bayu, Ariel Noah, Bunga Citra Lestari, Rossa, Nadin Amizah, hingga Ghea Indrawari.
Sekadar informasi, Armand Maulana bersama dengan sejumlah penyanyi telah mendeklarasikan Vibrasi Suara Indonesia atau Visi. Visi dibentuk sebagai respons terhadap gerakan yang diinisiasi oleh Ahmad Dhani dan para pencipta lagu melalui gerakan Aksi Bersatu.
Aksi menuntut adanya pembagian yang adil royalti atau performing rights atas lagu yang dinyanyikan oleh penyanyi pada even komersial. Sementara Visi yang salah satunya diinisiasi oleh Armand menuntut supaya penerapan UU Hak Cipta bisa adil untuk semua insan musik Indonesia.
-

Denny Chasmala Pertanyakan Diamnya Lyodra Setelah Bawakan Lagu Tanpa Izin, Bakal Berlanjut Seperti Ari Bias vs Agnez Mo?
JAKARTA – Lyodra Ginting menjadi salah satu penyanyi muda yang disorot oleh penulis lagu Denny Chasmala. Penyanyi jebolan Indonesian Idol itu disebut tidak menaruh respek terhadap penulis lagu yang ia bawakan karyanya di atas panggung.
Meski kritik secara terbuka telah dilayangkan Denny kepada Lyodra, yang disebut membawakan lagu “Berharap Tak Berpisah” tanpa izin, belum juga ada respon yang diberikan.
Denchas, panggilan akrabnya, menyebut sikap Lyodra tidak menunjukkan adab yang tepat sebagai penyanyi, berbeda dari Andien yang ikut dikritik dan langsung meminta maaf.
“Sekelas Andien saja masih telepon saya dan dia minta maaf. Dengan senang hati (saya maafkan). Saya senang banget, menunjukkan bahwa Andien punya etika,” kata Denchas di Pondok Indah, Jakarta Selatan baru-baru ini.
“Kalau Lyodra, saya enggak tahu, dia respon apa enggak. Sebenarnya paling gampang, Whatsapp-lah gitu,” lanjutnya.
Awak media sudah pernah mencoba meminta keterangan dari Lyodra terkait pernyataan Denchas, namun penyanyi 21 tahun itu menolak untuk memberi respon.
Ketika ditanya lebih lanjut – apakah ketidakpuasan atas respon Lyodra akan dilanjutkan dengan langkah hukum seperti yang dilakukan Ari Bias terhadap Agnez Mo – Denchas mengaku belum berpikir sejauh itu.
“Oh enggak, kalau kasus Ari Bias itu kan harus pembuktian hukum,” ujar Denchas. “Ya mungkin Ari Bias akan jadi orang pertama dan terakhir untuk membuktikan pencipta lagu harus dilindungi.”
Pada awal Maret lalu, Denchas menyatakan etika seorang penyanyi muda yang disebutnya tidak menaruh respek terhadap penulis lagu. Meski saat itu tidak menyebut nama, ia menyebut ada penyanyi yang memanfaatkan kepopuleran lagunya saat tampil di atas panggung.
“Masih ada juga penyanyi-penyanyi muda yang pakai lagu gua. Dia punya satu atau dua hits, ketika konser, dia enggak izin, dia pakai lagu gua. Lagu gua jadi gacoan, penonton nyanyi,” ungkap DenChas.
“Itu gua enggak respek. Gua enggak akan nyebut namanya. Jadi, budaya itu yang menurut gua harus kita kasih tau ke penyanyi. Permisi dululah,” imbuhnya.
Dua pekan berselang, akhirnya Denchas mengungkap bahwa penyanyi muda yang dimaksud adalah Lyodra Ginting.
“Kalau masalah Si Andien atau Lyodra, saya sebenarnya enggak masalah dia mau pakai lagu saya. Tapi jangan lupa, dia enggak izin ke saya, karena gampang sekali, tinggal (kirim pesan lewat) WhatsApp,” pungkasnya.
-

Agnez Mo: Adam Rosyadi Adalah Rumah Bagiku
Jakarta, Beritasatu.com – Musisi Agnez Mo mengungkapkan betapa nyaman dirinya berada di samping pacarnya, Adam Rosyadi. Agnez mengungkapkan, Adam adalah sosok yang selama ini dicari untuk menjadi rumah yang penuh kenyamanan bagi dirinya.
“Empat tahun lalu, saya menemukan sesuatu yang bahkan tidak saya sadari sedang saya cari, yaitu rumah. Bukan sekadar tempat atau momen, tetapi kamu (Adam Rosyadi),” kata Agnez Mo di Instagram miliknya, Jumat (21/3/2025).
Menurut Agnez, Adam adalah sosok yang selalu ada untuknya dalam segala situasi, bahkan dalam masa-masa sulit. Agnez merasa, Adam adalah tempat yang aman dan penuh ketenangan dalam kehidupannya.
“Kau telah menjadi tempat amanku, ketenanganku dalam kekacauan, konstanku saat dunia terasa tidak menentu. Ketika tidak ada orang lain di sana, kamu ada. Kau tak pernah membiarkan aku merasa sendirian, meski dalam keheningan,” ucapnya.
“Kau tetap tinggal, memelukku, dan mencintaiku dengan cara yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Untuk itu, aku bersyukur tanpa henti,” ujar Agnez dengan penuh rasa terima kasih.
Agnez Mo bersama pacarnya, Adam Rosadi – (Beritasatu.com/Instagram)
Meski terpaut usia 13 tahun lebih muda, Agnez Mo berharap hubungan mereka terus berjalan lancar di masa depan. Dia merasa mencintai Adam adalah hal yang paling alami bagi dirinya.
“Mencintaimu adalah hal yang paling alami di dunia. Dan aku ingin kau tahu, tanpa ragu, bahwa aku memilihmu. Setiap hari, dalam setiap langkah hidup, aku akan memilih kita. Perjalanan ini adalah hal yang tak sempurna, yang disebut kehidupan. Aku ingin berjalan bersamamu, bergandengan tangan, melalui setiap liku dan tikungannya,” lanjutnya.
Di akhir tulisannya, Agnez Mo mengucapkan selamat ulang tahun ke-4 bagi hubungan mereka, yang terus tumbuh kuat. “Aku mencintaimu empat sampai selamanya,” tutup Agnez Mo yang mencurahkan isi hatinya soal hubungannya dengan Adam Rosyadi yang sudah menginjak 4 tahun.
-

Sengkarut UU Hak Cipta: Penyanyi Gugat Izin, Pencipta Gugat LMKN ke MK
Bisnis.com, JAKARTA — Perang dingin antara komposer dengan penyanyi semakin sengit. Saling sindir di media sosial terjadi, terutama setelah muncul permohonan uji materi atau judicial review terhadap Undang-undang No.28/2014 tentang Hak Cipta ke Mahkamah Konstitusi (MK).
UU Hak Cipta esensinya melindungi para pencipta atau pemegang hak cipta. Undang-undang itu menjamin pencipta maupun pemegang hak cipta memperoleh hak eksklusif mereka berupa hak ekonomi dan hak moral dari hasil ciptaannya.
Namun demikian, pasca kasus antara Ari Bias dengan Agnes Monica atau Agnez Mo mencuat ke publik, para penyanyi yang tergabung dalam Gerakan Satu Visi, berupaya menggugat UU Cipta. Mereka merasa bahwa sejumlah pasal UU Hak Cipta telah menghambat bahkan menganggu pekerjaan sebagai pelaku pertunjukkan.
Gerakan ini oleh sejumlah penyanyi, misalnya, Tubagus Armand Maulana alias Armand Maulana, Nazril Ilham atau Ariel Noah, hingga yang paling senior ada Vina Panduwinata dan Ikang Fawzi. Gugatan para penyanyi itu tertuang dokumen dan diajukan pada tanggal 7 Maret 2025.
Dalam petitumnya, para penyanyi itu menuntut supaya Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan uji materi terkait UU Hak Cipta. Pertama, menerima pengujian UU Hak Cipta. Kedua, menyatakan Pasal 9 ayat 3 UU Hak Cipta konstitusional sepanjang dimaknai penggunaan ciptaan tidak memerlukan izin kepada pencipta dengan kewajiban untuk tetap membayar royalti atas penggunaan ciptaan tersebut.
Pasal 9 ayat 3 UU Hak Cipta secara eksplisit menyatakan bahwa: “Setiap orang yang tanpa izin pencipta dan pemegang hak cipta dilarang melakukan penggandaan dan atau penggunaan secara komersial ciptaan.” Bagi Armand Maulana Cs, pasal itu telah menghambat dan mengganggu hak konstitusional mereka untuk menjalankan pekerjaannya sebagai perfomer.
Ketiga, Armand Maulana Cs juga mempersoalkan frasa “setiap orang” dalam Pasal 23 ayat 5 UU Hak Cipta. Pasal 23 ayat 5 mengatur bahwa: “Setiap orang dapat melakukan Penggunaan Secara Komersial Ciptaan dalam suatu pertunjukan tanpa meminta izin terlebih dahulu kepada Pencipta dengan membayar imbalan kepada Pencipta melalui Lembaga Manajemen Kolektif.”
Para penyanyi yang tergabung dalam Satu Visi ini meminta MK memberikan penafsiran baru mengenai frasa “Setiap Orang” dalam pasal tersebut menjadi dimaknai sebagai “orang atau badan hukum sebagai penyelenggara acara pertunjukan.”
Keempat, para penyanyi juga mempersoalkan Pasal 81 UU Hak Cipta yang mengatur mengenai kewenangan direct license dari pemegang hak cipta atau hak lisensi. Penyanyi mengemukakan bahwa pasal itu konstitusional sepanjang pengguna hak cipta tidak perlu lisensi dari pencipta asalkan membayar royalti ke Lembaga Manajemen Kolektif.
Kelima, mereka juga menguji materi Pasal 87 ayat 1 tentang pemilik hak cipta atau pemegang hak cipta menjadi anggota Lembaga Manajemen Kolektif (LMK), dapat menarik imbalan yang wajar dari pengguna yang memanfaatkan hak cipta terkait. Mereka meminta majelis hakim konstitusi menyatakan pasal ini konstitusional, sepanjang tidak dimaknai pencipta memungut dengan cara lain melalui mekanisme non-kolektif.
Keenam, mereka meminta MK untuk menyatakan huruf f (merujuk ke pada pasal 9 ayat 1 huruf f tentang pertunjukan ciptaan), dikeluarkan dari mekanisme pemidanaan dalam Pasal 113 ayat 2 UU Hak Cipta. Menyatakan ketentuan huruf f dalam Pasal 113 ayat 2 itu inkonstitusional.
Sekadar catatan Pasal 113 ayat 2 UU Hak Cipta menyatakan bahwa orang yang tanpa izin atau tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi pencipta atau pemegang hak cipta, dipenjara paling lama 3 tahun dan denda paling banyak Rp500 juta. “Pasal yang ditujukan kepada pertunjukan ciptaan sudah sepatutnya dinyatakan inkonstitusional karena pasal 23 ayat 5 dinyatakan penggunaan ciptaan secara komersial tanpa izin dari pencipta dan pemegang hak cipta diperbolehkan, sehingga unsur tanpa hak dan tanpa izin tidak terpenuhi.”
APMI Gugat Pasal LMKN
Di tengah proses uji materi yang diajukan oleh Gerakan Satu Visi, sejumlah orang yang tergabung dalam Aliansi Pecinta Musik Indonesia juga menggugat UU Hak Cipta. Hanya saja fokusnya berbeda dengan penyanyi, APMI menggugat keberadaan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional atau LMKN.
Para pemohon uji materi yang tergabung dalam lagu yang mengajukan gugatan antara lain, M Ali Akbar, Sugiyatno, Ento Setio Wibowarno, Pamungkas Narashima Murti, Muhammad Gusni Putra, dan Anton Setyo Nugroho. Tiga dari 5 penggugat tersebut merupakan pencipta lagu.
Adapun dalam permohonan uji materi tersebut, para penggugat mempersoalkan Pasal 89 ayat (1), (2), (3) dan (4) UU Hak Cipta. Para penguji materi menganggap bahwa pasal tersebut memiliki ketidaksesuaian fundamental dengan UUD 1945.
Pasal 89 ayat (1), (2), (3) dan (4) UU sendiri mengatur pembentukan dua Lembaga Manajemen Kolektif yang akan menghimpun dan mendistribusikan royalti dari pengguna ke pemilik hak cipta dan hak terkait.
Para penguji materi menganggap bahwa pasal itu telah merugikan pencipta karena ada dua lembaga yakni LMK dan LMKN yang memungut royalti untuk pencipta lagu. Akibatnya, terjadi potensi pembagian royalti yang tidak adil.
Dalam petitumnya, para penguji materi meminta majelis hakim konstitusi untuk menyatakan bahwa Pasal 89 Ayat 1, 2, 3 dan 4 UU No. 28 Tahun 2014 bertentangan dengan UUD 1945. Kemudian menyatakan bahwa frasa “nasional” dalam Pasal 89 ayat (1) tidak dapat diartikan sebagai dasar pembentukan lembaga baru bernama Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN).
Selain itu, para pemohon uji materi juga meminta supaya MK menyatakan bahwa mekanisme pengelolaan royalti tetap dilakukan oleh Lembaga Manajemen Kolektif (LMK), tanpa intervensi dari entitas perantara yang tidak diperlukan.
Amandemen UU Hak Cipta
Dalam catatan Bisnis, sejumlah komposer dan penyanyi telah mendatangi Menteri Hukum Supratman Andi Agtas untuk berkonsultasi mengenai UU Hak Cipta. Menariknya, kedatangan mereka tidak pada hari yang sama.
Pada tanggal 19 Februari 2021 lalu, misalnya, para penyanyi yang terdiri Agnes Monica, Nazril Ilham alias Ariel Noah, hingga Armand Maulana, datang ke kantor Kementerian Hukum. Mereka diterima langsung oleh Menteri Hukum. Ada sejumlah isu yang mereka bawa salah satunya tentang amandemen UU Hak Cipta.
Agnez Mo seperti dilansir dari laman resmi Kementerian Hukum mengaku sedang belajar dan taat terhadap UU. Dia juga mengatakan ingin supaya masyarakat, khususnya musisi menjadi lebih sadar terkait UU tentang Hak Cipta.
“Di sini kita hanya berdiskusi. Saya membagi pengalaman saya sebagai pencipta lagu dan sebagai penyanyi. Juga berbagi tentang ‘LMK’ (Lembaga Manajemen Kolektif) yang ada di Amerika Serikat,” kata Agnes.
Sementara itu, Armand Maulana memandang saat ini para musisi perlu memberikan masukan kepada pemerintah untuk membenahi ekosistem musik tanah air.
“Keresahan yang terjadi di ekosistem musik saat ini, kita semua harus sampaikan ke pemerintah. Paling tidak kasih masukan dari kami, dari sudut pandang penyanyi. Bukan hanya penyanyi, ada pencipta (lagu), ada musisi yang lain, ada promotor,” ujar Armand.
Adapun AKSI bertemu dengan Menteri Hukum Supratman pada tanggal 27 Februari 2025. Ketua Umum AKSI, Satriyo Yudi Wahono alias Piyu Padi mengatakan, bahwa pihaknya menyampaikan keluhan pencipta lagu dan komposer ke Menteri Hukum. Dia mengatakan bahwa bahwa senior pencipta lagu yang tidak mendapatkan hak ekonomi atas karya yang telah diciptakan.
Piyu menuturkan bahwa perlindungan hak cipta bagi para pencipta lagu sebenarnya sudah jelas sejak disahkannya UU Hak Cipta tahun 2014, akan tetapi pasal-pasal dalam UU Hak Cipta banyak yang salah menginterpretasikannya.
“Sehingga terjadi missed leading, dan dalam proses implementasi sebuah event atau konser musik, hanya pencipta lagu yang tidak mendapatkan haknya,” jelas Piyu dilansir di laman resmi Kumham.
Menteri Supratman menegaskan bahwa pihaknya berkomitmen memperbaiki ekosistem musik di Indonesia. Dia menjelaskan, masukan yang disampaikan oleh perwakilan AKSI sangat baik, bagaimana struktur Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) yang ideal, dan usulan system direct license.
“Kita harus menciptakan ekosistem permusikan Indonesia yang menjamin hak-hak Kekayaan Intelektual (KI) dimiliki oleh berbagai elemen yang terlibat dalam ekosistem musik, baik itu oleh pencipta, maupun penerima manfaat.”