Tag: Agnes Monica

  • Seteru Ari Bias Vs Agnes Mo Perkara ‘Bilang Saja’ Berlanjut

    Seteru Ari Bias Vs Agnes Mo Perkara ‘Bilang Saja’ Berlanjut

    Jakarta

    Perseteruan antara pencipta lagu, Arie Sapta Hernawan alias Ari Bias, dengan penyanyi Agnes Monica Muljoto alias Agnez Mo berlanjut. Kini, Ari Bias kembali mengajukan gugatan terkait hak cipta lagu ‘Bilang Saja’ dengan Agnez sebagai turut tergugat.

    Sebagai informasi, Agnez awalnya digugat oleh Ari karena membawakan lagu ‘Bilang Saja’ dalam tiga konsernya. Pertama, dalam konser W Super Club Surabaya pada 25 Mei 2023.

    Lalu, konser di The H Club Jakarta pada 26 Mei 2023 dan konser di W Super Club Bandung pada 27 Mei 2023. Majelis hakim Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat kemudian memutuskan Agnez Mo harus membayar Rp 500 juta untuk tiap konser tersebut.

    Maka, total hukuman yang harus dibayar Agnez sebesar Rp 1,5 miliar. Agnez Mo dihukum membayar royalti karena membawakan lagu ‘Bilang Saja’ tanpa izin Ari Bias.

    Agnez Mo kemudian mengajukan permohonan kasasi ke MA. Hasilnya, MA menganulir putusan hakim Pengadilan Niaga.

    Putusan kasasi ini diputus oleh ketua majelis kasasi hakim agung I Gusti Sumanatha, dengan anggota I, Panji Widagdo, anggota II, dan Rahmi Mulyati serta panitera pengganti Febri Widjayanto. Putusan diketok pada Senin (11/8/2025) lalu.

    “Amar putusan: kabul,” demikian putusan kasasi nomor 825 K/PDT.SUS-HKI/2025.

    Namun, perkara itu belum selesai. Ari Bias kini mengajukan gugatan lagi dengan nilai yang lebih besar. Ari meminta ganti rugi Rp 4,9 miliar.

    “Penggugat menggugat tergugat atas pelanggaran hak cipta berupa hak ekonomi dan hak moral pencipta,” kata Juru Bicara Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Sunoto, kepada wartawan, Senin (1/12/2025).

    Gugatan Ari Bias teregister dengan nomor perkara 136/Pdt.Sus-HKI/Cipta/2025/PN Niaga Jkt Pst. Tergugat dalam gugatan ini yakni PT Aneka Bintang Gading, kemudian Agnez Mo sebagai turut tergugat I, Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) sebagai turut tergugat II, dan Lembaga Manajemen Kolektif Karya Cipta Indonesia (KCI) sebagai turut tergugat III.

    “Di dalam salah satu petitumnya ya atau tuntutan Penggugat menuntut tergugat untuk membayar ganti rugi sebesar Rp 4.900.000.000 atas pelanggaran hak ekonomi dan hak moral pencipta,” ujarnya.

    Dalam gugatannya, Ari mempermasalahkan para tergugat telah menyelenggarakan tiga konser di Surabaya, Jakarta, Bandung dengan membawakan lagu ‘Bilang Saja’ tanpa izin. Dia mengatakan para tergugat tidak mencantumkan namanya sebagai pencipta.

    “Tergugat menyelenggarakan tiga konser ya, tiga konser komersil pada tanggal 25 sampai dengan 27 Mei 2023 di Surabaya, Jakarta dan Bandung. Yang menampilkan lagu berjudul ‘Bilang Saja’ ciptaan penggugat tanpa izin dan tanpa mencantumkan nama penggugat sebagai pencipta. Jadi itu inti ya inti dari positanya ya,” ujar Sunoto.

    Halaman 2 dari 2

    (haf/rfs)

  • Fraksi Golkar tampung aspirasi musisi soal reformasi royalti musik

    Fraksi Golkar tampung aspirasi musisi soal reformasi royalti musik

    “Saya sudah menyimak dua presentasi: AKSI dan VISI. Konstruksi berpikirnya sama, banyak kesamaan. Mudah-mudahan ini bisa jadi titik temu dari aspirasi VISI dengan AKSI. Kami menyerap aspirasi dari semua stakeholder,”

    Jakarta (ANTARA) – Fraksi Partai Golkar DPR RI menerima audiensi pengurus Vibrasi Suara Indonesia (VISI) yang dipimpin Armand Maulana dan Nazril Irham (Ariel NOAH) di Gedung Nusantara I, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin.

    Dalam audiensi tersebut, para musisi dari VISI menyampaikan keresahan mereka atas tata kelola royalti dan praktik perizinan yang dinilai membebani penyanyi, bahkan berpotensi mengkriminalisasi pelaku seni.

    Ketua Fraksi Golkar Muhammad Sarmuji menilai aspirasi yang disampaikan VISI sejalan dengan banyak pihak yang menyoroti persoalan transparansi Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN).

    “Saya sudah menyimak dua presentasi: AKSI dan VISI. Konstruksi berpikirnya sama, banyak kesamaan. Mudah-mudahan ini bisa jadi titik temu dari aspirasi VISI dengan AKSI. Kami menyerap aspirasi dari semua stakeholder,” kata Sarmuji dalam keterangan tertulis di Jakarta, Senin.

    Sarmuji menegaskan bahwa inti persoalan ini terletak pada transparansi tata kelola LMKN. Ia menilai perlunya aturan yang lebih rasional dan berpihak pada semua pihak dalam ekosistem musik.

    Ia menilai langkah VISI yang memperhatikan seluruh pemangku kepentingan mulai dari pencipta lagu, penyanyi, hingga penyelenggara konser, adalah sesuatu yang menggembirakan dan layak diformulasikan bersama Fraksi Golkar.

    Sarmuji menegaskan komitmen partainya untuk mengawal aspirasi para pencipta lagu. Menurutnya, tata kelola royalti tidak boleh berbelit-belit sehingga merugikan pencipta.

    Ia menegaskan agar sistem pembayaran royalti harus sederhana dan memberikan kemudahan. Kalau sistemnya rumit, dunia usaha kesulitan membayar, dan akhirnya pencipta lagu tidak mendapatkan haknya.

    Sarmuji menambahkan, dukungan Fraksi Golkar berpijak pada semangat menghadirkan sistem yang adil dan memudahkan semua pihak.

    “Sistemnya memang perlu diperbaiki, dan sistem itu harus transparan, berkeadilan, serta memudahkan semua pihak, tidak hanya bagi para pencipta lagu tetapi juga bagi dunia usaha. Memudahkan ini maksudnya, misalnya, dunia usaha—pertunjukan, kafe, restoran, hotel, dan lain-lain—mudah meminta izin menggunakan lagu dari pencipta lagu,” tegasnya.

    Ia juga menekankan pentingnya keseimbangan agar keberadaan aturan tidak menjadi beban tambahan bagi pelaku usaha.

    Dia berharap agar dunia usaha tidak merasa terbebani. Sistem yang sederhana dan jelas akan membuat semua pihak lebih taat sekaligus memastikan pencipta lagu mendapatkan haknya.

    Sementara itu, Ketua Umum VISI Armand Maulana menjelaskan akar permasalahan yang menumpuk di dunia musik Indonesia.

    “Masalah ini bermula dari ketidaksempurnaan kerja, ketidakkompetenan, dan ketidaktransparanan LMK-LMK serta LMKN di masa lalu,” ujar vokalis grup band GIGI itu.

    Akibatnya, muncul berbagai persoalan seperti kasus Agnez Mo yang diwajibkan membayar dan meminta izin setiap kali tampil di atas panggung.

    Atas dasar itu, VISI mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk meninjau pasal-pasal dalam Undang-Undang Hak Cipta yang pelaksanaannya di lapangan tidak sesuai dengan praktik selama lebih dari satu dekade.

    “Performing rights itu bersifat masif, berulang, dan terjadi dalam waktu bersamaan. Jadi meminta izin langsung ke pencipta lagu setiap kali tampil itu tidak realistis dan kontraproduktif,” kata Armand.

    Menurutnya, fokus utama seharusnya bukan pada perizinan, melainkan pada tata kelola dan distribusi royalti yang adil dan transparan.

    “Sering kali seorang penyanyi diminta mendadak untuk menyanyikan lagu tertentu. Kalau tetap diwajibkan izin di muka, maka harus diberi tenggat waktu, misalnya tujuh hari setelah pertunjukan. Jangan sampai penyanyi, bahkan pelajar yang tampil di pensi, justru dikriminalisasi,” ujarnya.

    Armand menilai penekanan berlebihan pada aspek izin justru berpotensi menutupi masalah utama yakni distribusi royalti yang tidak tepat sasaran.

    “Perhatian publik dan penyelenggara akan tertuju pada aspek hukum, bukan pada bagaimana hak pencipta dan penyanyi bisa didistribusikan secara adil,” tambahnya.

    Menanggapi wacana pembentukan lembaga baru khusus untuk konser, Armand menilai langkah itu tidak akan menyelesaikan masalah.

    “Yang penting bukan membuat lembaga baru, tapi memperbaiki tata kelola dan transparansi sistem yang sudah ada,” katanya.

    Ia mengingatkan bahwa kemunculan banyak LMK baru justru bermula dari rasa ketidakadilan dan kurangnya representasi di sistem lama.

    VISI, lanjut Armand, memilih fokus pada reformasi sistem dan percepatan digitalisasi pengelolaan royalti.

    “Dengan teknologi saat ini, sangat mungkin dibuat sistem digital yang akurat dan transparan. Akar masalahnya bukan di izin, tapi di ketidaktepatan dan ketidaktransparanan distribusi royalti,” tegasnya.

    Wakil Ketua Umum VISI, Ariel NOAH, turut menegaskan bahwa perjuangan mereka bukan untuk memihak satu kelompok, melainkan memperjuangkan keseimbangan hak antara pencipta, penyanyi, dan penyelenggara acara.

    “Kita ingin sistem yang adil dan transparan untuk semua pelaku musik. Kalau sistemnya jelas, semua pihak diuntungkan,” ujar Ariel.

    Fraksi Golkar berkomitmen menindaklanjuti aspirasi VISI sebagai bagian dari upaya memperkuat ekosistem musik nasional yang sehat, adil, dan berkelanjutan.

    “Kami akan formulasikan aspirasi VISI dengan aspirasi AKSI untuk disampaikan ke pemerintah,” kata Sarmuji.

    Pertemuan antara Fraksi Golkar dan VISI ini menjadi momentum penting bagi pembenahan tata kelola royalti di Indonesia. Di tengah derasnya arus digitalisasi dan kebangkitan industri musik, sinergi antara dunia politik dan komunitas musisi menjadi kunci agar keadilan royalti tidak hanya menjadi jargon, tetapi juga kenyataan yang dirasakan semua pelaku seni.

    Pertemuan ini juga dihadiri oleh Bendahara Fraksi Sari Yuliati, serta sejumlah pimpinan komisi dari Fraksi Golkar, antara lain Ketua Komisi X Hetifah Sjaifudian, Wakil Ketua Komisi VII Lamhot Sinaga, dan Wakil Ketua Komisi XIII Dewi Asmara. Serta Vina Panduwinata dan Sammy Simorangkir yang turut tergabung dalam VISI.

    Pewarta: Fianda Sjofjan Rassat
    Editor: Agus Setiawan
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Armand Maulana hingga Ariel Noah Adukan Keresahan Musisi ke Golkar, Dorong Transparansi Royalti

    Armand Maulana hingga Ariel Noah Adukan Keresahan Musisi ke Golkar, Dorong Transparansi Royalti

    Armand Maulana hingga Ariel Noah Adukan Keresahan Musisi ke Golkar, Dorong Transparansi Royalti
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Sejumlah musisi yang tergabung dalam serikat musisi, Vibrasi Suara Indonesia (VISI) menyuarakan keluh kesahnya soal distribusi royalti ke Fraksi Partai Golkar di DPR RI.
    Beberapa musisi dari VISI seperti Armand Maulana, Nazril Irham atau Ariel Noah, Vina Panduwinata, dan Sammy Simorangkir itu datang beraudiensi dengan Fraksi Golkar di Nusantara I, Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (3/11/2025).
    Mereka menyampaikan keresahan atas tata kelola royalti dan praktik perizinan yang dinilai membebani penyanyi, bahkan berpotensi mengkriminalisasi pelaku seni.
    Ketua Fraksi Golkar M. Sarmuji menilai aspirasi yang disampaikan VISI sejalan dengan banyak pihak yang menyoroti persoalan transparansi Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN).
    “Saya sudah menyimak dua presentasi (dari) AKSI dan VISI. Konstruksi berpikirnya sama, banyak kesamaan. Mudah-mudahan ini bisa jadi titik temu dari aspirasi VISI dengan AKSI. Kita menyerap aspirasi dari semua stakeholder,” ujar Sarmuji dalam keterangannya.
    Sarmuji mengatakan, tidak transparannya tata kelola LMKN menjadi suatu persoalan sendiri.
    Ia pun menilai perlu ada aturan yang lebih rasional dan berpihak pada semua pihak dalam ekosistem musik.
    “Kalau ditetapkan aturan bahwa pembayaran royalti pertunjukan dilakukan seminggu setelah konser, bolehlah. Jadi tidak perlu menunggu berbulan-bulan seperti sekarang,” kata Sarmuji.
    Menurut Sarmuji, langkah VISI yang memperhatikan seluruh pemangku kepentingan seperti pencipta lagu, penyanyi, hingga penyelenggara konser layak diformulasikan bersama Fraksi Golkar.
    Di hadapan para musisi, ia juga berkomitmen partainya akan mengawal dan menindaklanjuti aspirasi VISI sebagai bagian dari upaya memperkuat ekosistem musik nasional yang sehat, adil, dan berkelanjutan.
    Sekretaris Jenderal Partai Golkar ini menyebut tata kelola royalti tidak boleh berbelit-belit, apalagi merugikan pencipta lagu.
    “Sistemnya jangan sampai mempersulit. Kalau sistemnya rumit, dunia usaha kesulitan membayar, dan akhirnya pencipta lagu tidak mendapatkan haknya,” ujarnya.
    Bagi Sarmuji, sistem soal royalti ini memang perlu diperbaiki dan harus transparan, berkeadilan, serta memudahkan semua pihak, termasuk dunia usaha.
    Sarmuji berharap jangan sampai ada pelaku usaha yang malah merasa terbebani.
    “Tidak hanya bagi para pencipta lagu tetapi juga bagi dunia usaha. Memudahkan ini maksudnya, misalnya, dunia usaha, pertunjukan, kafe, restoran, hotel, dan lain-lain. Mudah meminta izin menggunakan lagu dari pencipta lagu,” imbuh dia.
    Sementara itu, Ketua Umum VISI, Armand Maulana mengatakan, fokus utama seharusnya bukan pada perizinan, melainkan pada tata kelola dan distribusi royalti yang adil dan transparan.
    Vokalis grup band Gigi itu menilai penekanan berlebihan pada aspek izin justru berpotensi menutupi masalah utama yaitu distribusi royalti yang tidak tepat sasaran.
    “Perhatian publik dan penyelenggara akan tertuju pada aspek hukum, bukan pada bagaimana hak pencipta dan penyanyi bisa didistribusikan secara adil,” tambah Armand.
    Bagi Armand, wacana pembentukan lembaga baru yang khusus untuk konser tidak akan menyelesaikan masalah.
    “Yang penting bukan membuat lembaga baru, tapi memperbaiki tata kelola dan transparansi sistem yang sudah ada,” katanya.
    Di sisi lain, VISI mendorong reformasi sistem dan percepatan digitalisasi pengelolaan royalti.
    Dengan teknologi saat ini, menurutnya, sangat mungkin dibentuk sistem digital yang akurat dan transparan.
    “Akar masalahnya bukan di izin, tapi di ketidaktepatan dan ketidaktransparanan distribusi royalti,” tegasnya.
    Armand juga mengungkap akar permasalahan ini bermula dari tidak kompeten serta tidak transparannya kerja dari Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) dan LMKN di masa lalu.
    Hal ini lantas mengakibatkan munculnya berbagai persoalan seperti kasus penyanyi, Agnez Mo yang diwajibkan membayar dan meminta izin setiap kali tampil di atas panggung.
    Oleh karenanya, VISI mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk meninjau pasal-pasal dalam Undang-Undang Hak Cipta yang pelaksanaannya di lapangan tidak sesuai dengan praktik selama lebih dari satu dekade.

    Performing rights
    itu bersifat masif, berulang, dan terjadi dalam waktu bersamaan. Jadi meminta izin langsung ke pencipta lagu setiap kali tampil itu tidak realistis dan kontraproduktif,” tegas Armand.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Piyu Padi Ungkap Sistem Tak Adil, LMK Masih Tarik Royalti meski Musisi Sudah Bebaskan
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        21 Agustus 2025

    Piyu Padi Ungkap Sistem Tak Adil, LMK Masih Tarik Royalti meski Musisi Sudah Bebaskan Nasional 21 Agustus 2025

    Piyu Padi Ungkap Sistem Tak Adil, LMK Masih Tarik Royalti meski Musisi Sudah Bebaskan
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Musisi Satriyo Yudi Wahono, atau lebih dikenal sebagai Piyu Padi Reborn, mempermasalahkan sistem penarikan royalti yang berlaku di Indonesia, yakni
    Extended Collective License.
    Ia menilai sistem itu tidak adil bagi para musisi dan pencipta lagu.
    Pasalnya, lewat sistem itu, Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) tetap menarik royalti, meski pencipta lagu sudah membebaskan lagunya untuk dimainkan.
    Hal ini dikatakannya dalam rapat konsultasi soal royalti hak cipta bersama pimpinan DPR RI, para musisi, serta LMK dan LMKN di ruang Komisi XIII DPR RI, Kompleks DPR/MPR RI, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (21/8/2025).
    “Tadi saudara Marcell (Siahaan) menyampaikan bahwa Indonesia menganut sistem
    Extended Collective License
    , sehingga mengakibatkan pemungutan royalti bisa dilakukan walaupun pencipta lagu sudah menarik haknya, sudah menarik kuasanya,” kata Piyu, Kamis.
    Piyu lantas mencontohkan kasus ketika Wahana Musik Indonesia (WAMI) tetap menarik royalti atas lagu-lagu Ari Lasso.
    Padahal, Ari Lasso sudah mencabut haknya atas royalti tersebut.
    Dia juga mempertanyakan ke mana royalti itu diberikan.
    “WAMI tetap pungut royalti meskipun Ari Lasso bebaskan lagunya untuk dinyanyikan oleh penyanyi lain. Saya rasa hal ini sangat tidak adil, tidak
    fair
    . Ketika seorang pencipta lagu mencabut kuasanya, tapi tetap dipungut,” ucap Piyu.
    “Nah, pungutan itu nanti akan diberikan kepada siapa? Itu pertanyaannya,” imbuhnya.
    Selain itu, Piyu juga mempermasalahkan royalti yang dibayar usai musisi menyelesaikan konser maupun pertunjukannya.
    Menurut Piyu, royalti seharusnya dibayarkan kepada pencipta lagu sebelum penyanyi naik ke atas panggung.
    Pembayaran royalti harus selesai bersamaan dengan pembayaran komponen lain, meliputi artis yang membawakan lagu, vendor, sound engineer, hingga sewa alat.
    Hal ini, kata dia, sudah lama diterapkan di luar negeri.
    Dia juga bertanya-tanya mengapa Indonesia tidak bisa menerapkan hal serupa.
    “Sama seperti yang dilakukan ketika seorang artis atau penyanyi akan naik panggung, harus sudah beres dulu.
    Fee
    -nya harus beres dulu. Dari DP, dari pemenuhan sebelum naik panggung, harus sudah beres. Termasuk dengan
    riders-riders
    nya,” beber dia.
    Lebih lanjut, ia menilai akar dari dua masalah itu sejatinya adalah Surat Keputusan (SK) Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) tahun 2016 yang tidak pernah direvisi hingga kini.
    Keputusan tersebut menyebutkan bahwa royalti akan dipungut sebesar 2 persen dari tiket penjualan yang dilaksanakan setelah konser.
    “Sehingga artinya apa? Pencipta lagu ikut menanggung risiko bersama dengan penyelenggara. Walaupun menurut kami, walaupun persentasenya dinaikkan 5-10 persen, jika itu tetap diambil atau dipungut setelah konser, tidak akan mengubah apa-apa,” tandas Piyu.
    Sebelumnya diberitakan, masalah royalti mencuat setelah terjadi serangkaian kasus hukum yang menjerat artis hingga restoran.
     
    Agnez Mo misalnya, diminta membayar ganti rugi sebesar Rp 1,5 miliar kepada Ari Bias karena membawakan lagu “Bilang Saja” dalam tiga konser tanpa izin.
    Namun akhirnya, Mahkamah Agung (MA) mengabulkan kasasi yang diajukan Agnez pada Senin (11/8/2025) sehingga tidak perlu lagi membayar ganti rugi.
    Selain Agnez Mo, masalah ini juga menjerat salah satu petinggi Mie Gacoan yang menjadi tersangka atas dugaan pelanggaran hak cipta musik.
    Masalah ini kemudian melebar hingga terjadi konflik di internal musisi.
    Nazril Irham, atau yang lebih dikenal sebagai Ariel Noah, menyampaikan bahwa royalti seharusnya dibayarkan oleh penyelenggara, bukan penyanyi yang membawakan lagu.
    Sejumlah musisi pun menggugat sengkarut royalti dan tuntutan pencipta lagu kepada para musisi yang marak terjadi belakangan kepada Mahkamah Konstitusi (MK) melalui uji materi Undang-Undang Hak Cipta Nomor 28 Tahun 2014.
    Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Saldi Isra lalu meminta pemerintah menegaskan kembali terkait pihak yang wajib membayarkan royalti dalam pertunjukan seni musik, agar tidak ada lagi musisi yang saling tuntut.
    Saldi Isra mengatakan hal ini penting dipertegas agar selain menghentikan pertengkaran, juga menghilangkan rasa ketakutan bagi penyanyi yang pendapatannya tak seberapa, seperti penyanyi di kafe.
    “Boleh enggak dilakukan seperti itu agar nanti urusan bukan antar penyanyi. Jadi seniman ini jangan dibiarkan berkelahi, biar nanti problemnya itu antara orang yang merasa dirugikan, pemilik hak cipta dengan penyelenggara,” ucapnya.
    “Nah itu poin paling penting, kalau ini ada jawaban atau jalan keluar, mungkin sebagian soal ini bisa diselesaikan,” kata Saldi lagi.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Once Minta Pengusaha Kecil Tak Usah Kena Pungut Royalti Musik

    Once Minta Pengusaha Kecil Tak Usah Kena Pungut Royalti Musik

    Bisnis.com, JAKARTA — Anggota DPR RI sekaligus penyanyi Once Mekel angkat bicara terkait dengan polemik terkait pembayaran royalti di Indonesia.

    Once mengatakan bahwa sebaiknya pemungutan royalti ini difokuskan untuk pemain atau konser musik besar. Artinya, royalti musik tidak perlu diminta dari pengusaha kecil atau UMKM.

    “Iya saya kira kalau usaha-usaha kecil tidak usahlah, kan mereka sedang tumbuh dan tidak boleh diganggu dulu dengan masalah-masalah begini,” ujar Once di kompleks Parlemen, Jakarta, dikutip Sabtu (16/8/2025).

    Dia menjelaskan apabila pemungutan royalti dilakukan terhadap UMKM maka dikhawatirkan dapat mengganggu gairah dunia usaha.

    Politisi PDIP ini juga mengaku bahwa dirinya telah meminta stakeholder terkait, seperti LMKN, agar pemungutan royalti ini bisa diprioritaskan ke pemain besar saja.

    “Saya sudah bilang ke teman-teman yang memang menjadi pengurus di lembaga-lembaga pemutar royalti atau LMK atau LMKN kita tidak memprioritaskan yang seperti itu ya,” imbuhnya.

    Di samping itu, Once juga meminta agar pihak-pihak terkait agar bisa mengomunikasikan terkait besaran tarif royalti. Pada intinya, dia ingin polemik royalti ini tidak membebankan pihak manapun.

    “Dan kemudian tolong bicarakan lagi tarif-tarif yang benar-benar terjangkau tidak memberatkan siapa-siapa, artinya ada titik temu antara stakeholder di industri yang bersangkutan terkait besaran royalti itu,” pungkasnya.

    Sebelumnya, Anggota DPR RI sekaligus penyanyi Sigit Purnomo alias Pasha Ungu juga ikut buka bicara terkait dengan polemik royalti musik.

    Menurutnya, dengan adanya polemik ini justru membawa angin positif lantaran industri musik Tanah Air bisa menjadi lebih diperhatikan.

    Dia menambahkan, sejauh ini pembayaran royalti untuk dirinya maupun band Ungu berjalan dengan lancar sesuai kontrak yang ada. Vokalis Ungu ini juga menyatakan satu atau dua kekeliruan yang terjadi terkait pembayaran royalti ini sejatinya tak perlu dipersoalkan.

    “Bahwa ada satu dua pihak yang kemudian mendapatkan kekeliruan dalam prosesnya. Saya tidak bilang itu wajar, tapi itu mungkin saja terjadi,” tuturnya.

    Meskipun begitu, kata Pasha, kekeliruan pembayaran royalti ini tetap harus diselesaikan oleh pihak-pihak terkait seperti LMKN. Dengan begitu, industri musik di Indonesia bisa lebih maju.

    Sekadar informasi, persoalan terkait royalti musik ini sempat menyeret sejumlah musisi ternama seperti Ari Lasso. Penyanyi tersohor di Indonesia itu sempat mempersoalkan terkait dengan royalti yang diterimanya senilai ratusan ribu. 

    Selain itu, polemik ini juga turut menyeret penyanyi go internasional Agnes Monica atau Agnez Mo. Dalam kasusnya, Agnez sempat dihukum membayar royalti Rp1,5 miliar. Pembayaran royalti ini terkait karena menyanyikan lagu “Bilang Saja” tanpa izin pencipta lagu, yaitu Ari Bias. 

    Namun, putusan sidang pertama di PN Niaga terhadap Agnez telah dianulir oleh vonis sidang kasasi yang bergulir di MA. Dengan demikian, Agnez tidak lagi diwajibkan membayar royalti Rp1,5 miliar kepada Ari Bias.

  • Perkara ‘Bilang Saja’ Agnez Mo: Disorot Senayan, Dimenangkan MA

    Perkara ‘Bilang Saja’ Agnez Mo: Disorot Senayan, Dimenangkan MA

    Jakarta

    Mahkamah Agung (MA) mengabulkan kasasi penyanyi Agnes Monica Muljoto alias Agnez Mo terkait pelanggaran hak cipta karena membawakan lagu ‘Bilang Saja’ tanpa izin. Agnez Mo kini tak perlu membayar hukuman pelanggaran hak cipta Rp 1,5 miliar kepada penipta lagu tersebut yani Ari Bias.

    Untuk diketahui, Agnez membawakan lagu ‘Bilang Saja’ dalam tiga konsernya. Pertama, dalam konser W Super Club Surabaya pada 25 Mei 2023.

    Lalu, konser di The H Club Jakarta pada 26 Mei 2023 dan konser di W Super Club Bandung pada 27 Mei 2023. Untuk itu, Majelis hakim Pengadilan Niaga membayar Rp 500 juta untuk masing-masing konser tersebut.

    Maka, total hukuman yang harus dibayar Agnez sebesar Rp 1,5 miliar. Agnez dihukum membayar royalti lantaran membawakan lagu ‘Bilang Saja’ tanpa izin Ari Bias.

    Agnez kemudian mengajukan kasasi ke MA. Hingga akhirnya, MA menganulir putusan hakim Pengadilan Niaga.

    Putusan kasasi ini diputus oleh ketua majelis kasasi hakim agung I Gusti Sumanatha, dengan anggota I, Panji Widagdo, anggota II, dan Rahmi Mulyati serta panitera pengganti Febri Widjayanto. Putusan diketok pada Senin (11/8) lalu.

    “Amar putusan: kabul,” demikian putusan kasasi nomor 825 K/PDT.SUS-HKI/2025. seperti dilihat pada Kamis (14/8/2025).

    Komisi III DPR Sambut Baik

    Ketua Komisi III DPR, Habiburokhman Foto: Ari Saputra

    Komisi III DPR menyambut baik putusan MA yang mengabulkan kasasi Angnez Mo. Putusan MA disebut sejalan dengan hasil RDPU Komisi III DPR pada Juni lalu mengenai masalah ini.

    “Kami apresiasi putusan MA tersebut,” ujar Ketua Komisi III DPR RI Habiburokhman saat dikonfirmasi, Kamis (14/8/2025).

    Seperti diketahui RDPU tersebut dihadiri Habiburokhman, pihak Agnez Mo bernama Wawan, musikus Tantri ‘Kotak’, perwakilan Dirjen Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum Razilu, Badan Pengawas MA yang diwakili Inspektur Wilayah UU Suradi, hingga Koalisi Advokat Pemantau Peradilan. Rapat tersebut mencatat adanya dugaan pemeriksaan dan putusan hakim di perkara tersebut tidak sesuai dengan undang-undang (UU).

    “Putusan ini sudah sesuai dengan hasil RDPU Komisi III tanggal 20 Juni lalu dan sesuai dengan UU Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta,” kata Habiburokhman.

    Wakil Ketua Umum Gerindra ini berharap penegakan hukum mengenai hak cipta segera kondusif dengan putusan MA terhadap perkara Agnez Mo. Habiburokhman menghormati pemegang hak cipta namun tidak ingin pekerja seni menjadi ketakutan juga.

    “Dengan putusan ini kami harap situasi penegakan hukum terkait hak cipta akan segera kondusif. Kita hormati pemegang hak cipta, namun jangan sampai menimbulkan ketakutan berlebihan pekerja seni,” ujar dia.

    Halaman 2 dari 2

    (dek/dek)

  • Agnez Mo Menang Kasasi, Tak Perlu Bayar Royalti Rp1,5 Miliar ke Ari Bias

    Agnez Mo Menang Kasasi, Tak Perlu Bayar Royalti Rp1,5 Miliar ke Ari Bias

    Bisnis.com, JAKARTA — Mahkamah Agung (MA) mengabulkan kasasi dari penyanyi Agnes Monica atau Agnez Mo terkait persoalan hukuman pembayaran royalti Rp1,5 miliar kepada Ari Bias. 

    Sidang putusan kasasi Agnez Mo dibacakan pada Senin (11/8/2025). Dengan demikian, putusan ini menegaskan bahwa Agnez Mo tidak perlu membayar royalti terkait karena menyanyikan lagu “Bilang Saja” tanpa izin.

    “Amar putusan: kabul,” demikian dikutip dari laman resmi MA, dikutip Kamis (14/8/2025).

    Adapun, putusan kasasi ini teregister dalam nomor 825 K/PDT.SUS-HKI/2025. Putusan ini, diputus oleh Ketua Majelis Kasasi Hakim Agung I Gusti Sumanath. 

    Kemudian, untuk hakim agung anggota dalam sidang kasasi ini yaitu Panji Widagdo dan Rahmi Mulyati. Selain itu, turut sebagai panitera pengganti, yakni Febri Widjayanto.

    Sebelumnya, kasus pelanggaran UU Hak Cipta ini telah menyatakan Agnez Mo melanggar hak cipta karena menyanyikan lagu Bilang Saja tanpa izin kepada komposer. 

    Vonis itu diambil oleh hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat pada (30/1/2025). Dalam putusannya, Agnez Mo wajib membayar denda Rp1,5 miliar terhadap pencipta lagu, yaitu Ari Bias.

    Adapun, Ari Bias melalui akun Instagram-nya menyampaikan bahwa dirinya telah menghormati keputusan dari MA yang mengabulkan kasasi Agnez Mo.

    “Saya bersyukur proses hukum ini akhirnya berakhir di tingkat kasasi, dan saya berharap semua pihak dapat mengambil hikmah dari perjalanan panjang perkara ini,” tulis Ari dalam salah satu postingannya di akun Instagram @ari_bias, Rabu (13/8/2024).

    Namun demikian, dia menyatakan akan terus memperjuangkan hal-hal lainnya agar persoalan terkait hak cipta ini bisa benar-benar tuntas.

    “Namun, masih ada satu hal yang tersisa untuk benar-benar menuntaskan perjuangan ini,” pungkas Ari.

  • 2
                    
                        MA Kabulkan Kasasi Agnez Mo, Hukuman Bayar Royalti Rp 1,5 M Dianulir
                        Nasional

    2 MA Kabulkan Kasasi Agnez Mo, Hukuman Bayar Royalti Rp 1,5 M Dianulir Nasional

    MA Kabulkan Kasasi Agnez Mo, Hukuman Bayar Royalti Rp 1,5 M Dianulir
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Mahkamah Agung (MA) mengabulkan kasasi yang diajukan penyanyi Agnes Monica Muljoto alias Agnez Mo dalam kasus pelanggaran hak cipta karena membawakan lagu “Bilang Saja” pada tiga konser tanpa izin penggugat, Arie Sapta Hernawan atau Arie Bias.
    “Amar putusan: Kabul,” sebagaimana dikutip dari situs resmi Mahkamah Agung, Kamis (14/8/2025).
    Perkara kasasi Agnez Monica terdaftar dengan Nomor Perkara 825 K/PDT.SUS-HKI/2025 dan sudah didistribusikan ke majelis hakim pada 1 Agustus lalu.
    Perkara itu diadili majelis kasasi yang dipimpin Hakim Agung I Gusti Agung Sumanatha dengan anggotanya, Hakim Agung Panji Widagdo dan Hakim Agung Rahmi Mulyati.
    Putusan dibacakan Hakim Sumanatha pada Senin (11/8/2025) lalu.
    Dengan adanya putusan ini, maka MA menganulir putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang menghukum Agnez Monica membayar royalti Rp 1,5 miliar.
    Oleh pengadilan niaga itu, Agnez Mo dinyatakan bersalah karena membawakan lagu “Bilang Saja” karya Arie Bias tanpa izin.
    Agnez dinilai bersalah membawakan lagu itu pada konser di W Super Club Surabaya pada 25 Mei 2023; konser di The H Club Jakarta pada 26 Mei 2023; dan konser di W Super Club Bandung pada 27 Mei 2023.
    Majelis hakim menghukum Agnez membayar Rp 500 juta untuk masing-masing konser tersebut, sehingga secara total ia dihukum membayar Rp 1,5 miliar.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • 7
                    
                        Ketua Komisi III DPR: Putusan Hakim terhadap Agnez Mo Tak Sesuai UU
                        Nasional

    7 Ketua Komisi III DPR: Putusan Hakim terhadap Agnez Mo Tak Sesuai UU Nasional

    Ketua Komisi III DPR: Putusan Hakim terhadap Agnez Mo Tak Sesuai UU
    Penulis
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Putusan hakim terhadap
    Agnez Mo
    di perkara lagu “Bilang Saja” karya
    Ari Bias
    dinilai oleh Ketua
    Komisi III DPR

    Habiburokhman
    menyalahi Undang-Undang tentang Hak Cipta.
    “Putusan tersebut tidak sesuai UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, makanya kita (Komisi III DPR) minta Badan Pengawas Mahkamah Agung (Bawas MA) untuk menindaklanjuti laporan,” kata Habiburokhman kepada
    Kompas.com
    , Sabtu (21/6/2025).
    Putusan majelis hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat yang dinilai problematik itu bernomor 92/PDT.SUS-HKI/CIPTA/2024/PN Niaga JKT.PST, dibacakan pengadilan pada 30 Januari 2025 lalu.
    “Kami tidak dalam posisi mengintervensi pengadilan, tapi memang faktanya demikian (putusan hakim tidak sesuai UU),” kata Habiburokhman.
    Pandangan ini selaras dengan Koalisi Advokat Pemantau Peradilan yang mengadu ke Komisi III DPR lewat Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) pada Jumat (20/6/2025) kemarin.
    Hakim memvonis Agnez telah menggunakan lagu “Bilang Saja” tanpa izin penciptanya yakni Ari Bias dalam tiga kali konser komersial. Putusan hakim itu mewajibkan Agnez Mo membayar Rp 1,5 miliar ke Ari Bias.
    Adapun UU Hak Cipta mengatur bahwa orang tak perlu izin langsung ke pencipta karya asalkan membayar kepada pencipta karya lewat Lembaga Manajemen Kolektif atau LMK.
    Di pengujung RDPU di Komisi III DPR kemarin, Habiburokhman kemudian meneruskan dugaan yang disampaikan Koalisi agar diselidiki oleh Badan Pengawas (Bawas) Mahkamah Agung (MA).
    “Komisi III DPR meminta kepada Bawas MA untuk menindaklanjuti laporan yang disampaikan Koalisi Advokat Pemantau Peradilan terkait dugaan terjadinya pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang memeriksa dan mengadili perkara dengan nomor register 92/BDT.SUS-HK/hakcipta2024 PN Niaga Jakarta Pusat, yang diduga pemeriksaan dan putusannya tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan,” ujar Habiburokhman.
    Dalam jumpa pers ini, hadir pula pihak Dirjen Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum, Bawas MA, dan juga penyanyi Tantri dari Band Kotak.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Putusan Kasus Agnez Mo Diduga Langgar UU, Ini Argumennya

    Putusan Kasus Agnez Mo Diduga Langgar UU, Ini Argumennya

    Putusan Kasus Agnez Mo Diduga Langgar UU, Ini Argumennya
    Penulis
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Koalisi Advokat Pemantau Peradilan menduga putusan hakim yang mewajibkan
    Agnez Mo
    membayar Rp 1,5 miliar ke
    Ari Bias
    itu melanggar undang-undang. Simak argumennya.
    “Dari kita Koalisi Advokat Pemantau Peradilan di sini menyoroti adanya dugaan pelanggaran kode etik dalam penerapan hukum terkait hak cipta ini,” kata perwakilan Koalisi dalam jumpa pers usai rapat dengar pendapat umum di
    Komisi III DPR
    , Jakarta, Jumat (20/6/2025) kemarin.
    Mereka menilai majelis hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat yang memutus perkara lagu “Bilang Saja” karya Ari Bias yang dibawakan Agnez Mo itu telah mengabaikan Pasal 23 ayat 5 dan Pasal 87 ayat 2 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.
    Mari kita simak pasal yang disebut oleh perwakilan Koalisi Advokat Pemantau Peradilan tersebut.
    Pasal 23
    (5) Setiap Orang dapat melakukan Penggunaan Secara Komersial Ciptaan dalam suatu pertunjukan tanpa meminta izin terlebih dahulu kepada Pencipta dengan membayar imbalan kepada Pencipta melalui Lembaga Manajemen Kolektif.
    Pasal 87
    (1) Untuk mendapatkan hak ekonomi setiap Pencipta, Pemegang Hak Cipta, pemilik Hak Terkait menjadi anggota Lembaga Manajemen Kolektif agar dapat menarik imbalan yang wajar dari pengguna yang memanfaatkan Hak Cipta dan Hak Terkait dalam bentuk Iayanan publik yang bersifat komersial.
    (2) Pengguna Hak Cipta dan Hak Terkait yang memanfaatkan Hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) membayar Royalti kepada Pencipta, Pemegang Hak Cipta, atau pemilik Hak Terkait, melalui Lembaga Manajemen Kolektif.
    Menurut Koalisi, Lembaga Manajemen Kolektif (LMK)-lah yang bertugas membayar royalti lagu “Bilang Saja” ke Ari Bias, bukan Agnez Mo sebagai penyanyi lagu “Bilang Saja” yang berkewajiban membayar ke Ari Bias.
    “Yang di mana dalam putusan tersebut yang seharusnya yang bertanggung jawab itu adalah LMK dan penyelenggara. Di situ di putusan tersebut hakim menuntut kerugian kepada penyanyi, yang di mana hakim tersebut telah mengabaikan prinsip-prinsip dalam penerapan hukum,” ujar perwakilan Koalisi.
    Argumentasi selanjutnya yang melandasi dugaan Koalisi bahwa hakim telah menyalah undang-undang dan melanggar kode etik adalah soal pengabaian keterangan ahli.
    “Yang kedua juga, majelis hakim dalam penerapan hukumnya sudah mengabaikan keterangan ahli tergugat, Iqbal Taufik analis ahli muda Dirjen Kekayaan Intelektual,” ujarnya.
    Dalam jumpa pers hasil RDPU ini, Ketua Komisi III DPR Habiburokhman kemudian meneruskan dugaan yang disampaikan Koalisi agar diselidiki oleh Badan Pengawas (Bawas) Mahkamah Agung (MA).
    “Komisi III DPR meminta kepada Bawas MA untuk menindaklanjuti laporan yang disampaikan Koalisi Advokat Pemantau Peradilan terkait dugaan terjadinya pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang memeriksa dan mengadili perkara dengan nomor register 92/BDT.SUS-HK/hakcipta2024 PN Niaga Jakarta Pusat, yang diduga pemeriksaan dan putusannya tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan,” ujar Habiburokhman.
    Dalam jumpa pers ini, hadir pula pihak Dirjen Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum, Bawas MA, dan juga penyanyi Tantri dari Band Kotak.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.