Hari Ini MK Bakal Putus Uji Materi UU Hak Cipta Ariel Noah, BCL, Dkk
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Mahkamah Konstitusi akan membacakan putusan untuk uji materi Undang-Undang Hak Cipta Nomor 28 Tahun 2014 yang dimohonkan oleh Nazril Ilham (Ariel Noah) dan 28 musisi lainnya, hari ini, Rabu (17/12/2025).
“28/PUU-XXIII/2025, Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang
Hak Cipta
. Agenda, Pengucapan Putusan/Ketetapan,” sebagaimana dikutip dari laman mkri.id, Selasa (16/12/2025).
Permohonan uji materiil ini diajukan oleh 29 musisi yang tergabung dalam gerakan Vibrasi Suara Indonesia (VISI), di antaranya Bunga Citra Lestari (BCL),
Ariel NOAH
, Vina Panduwinata, Rossa, Titi DJ, Raisa, Nadin Amizah, Bernadya, dan masih banyak lagi.
Dalam permohonannya, VISI menyoroti empat poin utama terkait hak cipta dan sistem royalti di Indonesia:
Jika ditarik benang merahnya, 29 musisi ini meminta agar MK membolehkan penyanyi membawakan lagu tanpa izin pencipta lagu, asalkan membayar royalti.
Polemik royalti ini sudah ramai dibicarakan saat musisi dan pencipta lagu saling berselisih terkait royalti.
Salah satu kasus yang melatarbelakangi pengajuan uji materiil ini adalah kasus sengketa royalti lagu yang melibatkan penyanyi Agnez Mo dan pencipta lagu Ari Bias.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Tag: Agnes Monica
-
/data/photo/2025/07/22/687f4692f3855.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Hari Ini MK Bakal Putus Uji Materi UU Hak Cipta Ariel Noah, BCL, Dkk
-

Fraksi Golkar tampung aspirasi musisi soal reformasi royalti musik
“Saya sudah menyimak dua presentasi: AKSI dan VISI. Konstruksi berpikirnya sama, banyak kesamaan. Mudah-mudahan ini bisa jadi titik temu dari aspirasi VISI dengan AKSI. Kami menyerap aspirasi dari semua stakeholder,”
Jakarta (ANTARA) – Fraksi Partai Golkar DPR RI menerima audiensi pengurus Vibrasi Suara Indonesia (VISI) yang dipimpin Armand Maulana dan Nazril Irham (Ariel NOAH) di Gedung Nusantara I, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin.
Dalam audiensi tersebut, para musisi dari VISI menyampaikan keresahan mereka atas tata kelola royalti dan praktik perizinan yang dinilai membebani penyanyi, bahkan berpotensi mengkriminalisasi pelaku seni.
Ketua Fraksi Golkar Muhammad Sarmuji menilai aspirasi yang disampaikan VISI sejalan dengan banyak pihak yang menyoroti persoalan transparansi Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN).
“Saya sudah menyimak dua presentasi: AKSI dan VISI. Konstruksi berpikirnya sama, banyak kesamaan. Mudah-mudahan ini bisa jadi titik temu dari aspirasi VISI dengan AKSI. Kami menyerap aspirasi dari semua stakeholder,” kata Sarmuji dalam keterangan tertulis di Jakarta, Senin.
Sarmuji menegaskan bahwa inti persoalan ini terletak pada transparansi tata kelola LMKN. Ia menilai perlunya aturan yang lebih rasional dan berpihak pada semua pihak dalam ekosistem musik.
Ia menilai langkah VISI yang memperhatikan seluruh pemangku kepentingan mulai dari pencipta lagu, penyanyi, hingga penyelenggara konser, adalah sesuatu yang menggembirakan dan layak diformulasikan bersama Fraksi Golkar.
Sarmuji menegaskan komitmen partainya untuk mengawal aspirasi para pencipta lagu. Menurutnya, tata kelola royalti tidak boleh berbelit-belit sehingga merugikan pencipta.
Ia menegaskan agar sistem pembayaran royalti harus sederhana dan memberikan kemudahan. Kalau sistemnya rumit, dunia usaha kesulitan membayar, dan akhirnya pencipta lagu tidak mendapatkan haknya.
Sarmuji menambahkan, dukungan Fraksi Golkar berpijak pada semangat menghadirkan sistem yang adil dan memudahkan semua pihak.
“Sistemnya memang perlu diperbaiki, dan sistem itu harus transparan, berkeadilan, serta memudahkan semua pihak, tidak hanya bagi para pencipta lagu tetapi juga bagi dunia usaha. Memudahkan ini maksudnya, misalnya, dunia usaha—pertunjukan, kafe, restoran, hotel, dan lain-lain—mudah meminta izin menggunakan lagu dari pencipta lagu,” tegasnya.
Ia juga menekankan pentingnya keseimbangan agar keberadaan aturan tidak menjadi beban tambahan bagi pelaku usaha.
Dia berharap agar dunia usaha tidak merasa terbebani. Sistem yang sederhana dan jelas akan membuat semua pihak lebih taat sekaligus memastikan pencipta lagu mendapatkan haknya.
Sementara itu, Ketua Umum VISI Armand Maulana menjelaskan akar permasalahan yang menumpuk di dunia musik Indonesia.
“Masalah ini bermula dari ketidaksempurnaan kerja, ketidakkompetenan, dan ketidaktransparanan LMK-LMK serta LMKN di masa lalu,” ujar vokalis grup band GIGI itu.
Akibatnya, muncul berbagai persoalan seperti kasus Agnez Mo yang diwajibkan membayar dan meminta izin setiap kali tampil di atas panggung.
Atas dasar itu, VISI mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk meninjau pasal-pasal dalam Undang-Undang Hak Cipta yang pelaksanaannya di lapangan tidak sesuai dengan praktik selama lebih dari satu dekade.
“Performing rights itu bersifat masif, berulang, dan terjadi dalam waktu bersamaan. Jadi meminta izin langsung ke pencipta lagu setiap kali tampil itu tidak realistis dan kontraproduktif,” kata Armand.
Menurutnya, fokus utama seharusnya bukan pada perizinan, melainkan pada tata kelola dan distribusi royalti yang adil dan transparan.
“Sering kali seorang penyanyi diminta mendadak untuk menyanyikan lagu tertentu. Kalau tetap diwajibkan izin di muka, maka harus diberi tenggat waktu, misalnya tujuh hari setelah pertunjukan. Jangan sampai penyanyi, bahkan pelajar yang tampil di pensi, justru dikriminalisasi,” ujarnya.
Armand menilai penekanan berlebihan pada aspek izin justru berpotensi menutupi masalah utama yakni distribusi royalti yang tidak tepat sasaran.
“Perhatian publik dan penyelenggara akan tertuju pada aspek hukum, bukan pada bagaimana hak pencipta dan penyanyi bisa didistribusikan secara adil,” tambahnya.
Menanggapi wacana pembentukan lembaga baru khusus untuk konser, Armand menilai langkah itu tidak akan menyelesaikan masalah.
“Yang penting bukan membuat lembaga baru, tapi memperbaiki tata kelola dan transparansi sistem yang sudah ada,” katanya.
Ia mengingatkan bahwa kemunculan banyak LMK baru justru bermula dari rasa ketidakadilan dan kurangnya representasi di sistem lama.
VISI, lanjut Armand, memilih fokus pada reformasi sistem dan percepatan digitalisasi pengelolaan royalti.
“Dengan teknologi saat ini, sangat mungkin dibuat sistem digital yang akurat dan transparan. Akar masalahnya bukan di izin, tapi di ketidaktepatan dan ketidaktransparanan distribusi royalti,” tegasnya.
Wakil Ketua Umum VISI, Ariel NOAH, turut menegaskan bahwa perjuangan mereka bukan untuk memihak satu kelompok, melainkan memperjuangkan keseimbangan hak antara pencipta, penyanyi, dan penyelenggara acara.
“Kita ingin sistem yang adil dan transparan untuk semua pelaku musik. Kalau sistemnya jelas, semua pihak diuntungkan,” ujar Ariel.
Fraksi Golkar berkomitmen menindaklanjuti aspirasi VISI sebagai bagian dari upaya memperkuat ekosistem musik nasional yang sehat, adil, dan berkelanjutan.
“Kami akan formulasikan aspirasi VISI dengan aspirasi AKSI untuk disampaikan ke pemerintah,” kata Sarmuji.
Pertemuan antara Fraksi Golkar dan VISI ini menjadi momentum penting bagi pembenahan tata kelola royalti di Indonesia. Di tengah derasnya arus digitalisasi dan kebangkitan industri musik, sinergi antara dunia politik dan komunitas musisi menjadi kunci agar keadilan royalti tidak hanya menjadi jargon, tetapi juga kenyataan yang dirasakan semua pelaku seni.
Pertemuan ini juga dihadiri oleh Bendahara Fraksi Sari Yuliati, serta sejumlah pimpinan komisi dari Fraksi Golkar, antara lain Ketua Komisi X Hetifah Sjaifudian, Wakil Ketua Komisi VII Lamhot Sinaga, dan Wakil Ketua Komisi XIII Dewi Asmara. Serta Vina Panduwinata dan Sammy Simorangkir yang turut tergabung dalam VISI.
Pewarta: Fianda Sjofjan Rassat
Editor: Agus Setiawan
Copyright © ANTARA 2025Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.
-
/data/photo/2025/11/03/6908c0198e8e9.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Armand Maulana hingga Ariel Noah Adukan Keresahan Musisi ke Golkar, Dorong Transparansi Royalti
Armand Maulana hingga Ariel Noah Adukan Keresahan Musisi ke Golkar, Dorong Transparansi Royalti
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Sejumlah musisi yang tergabung dalam serikat musisi, Vibrasi Suara Indonesia (VISI) menyuarakan keluh kesahnya soal distribusi royalti ke Fraksi Partai Golkar di DPR RI.
Beberapa musisi dari VISI seperti Armand Maulana, Nazril Irham atau Ariel Noah, Vina Panduwinata, dan Sammy Simorangkir itu datang beraudiensi dengan Fraksi Golkar di Nusantara I, Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (3/11/2025).
Mereka menyampaikan keresahan atas tata kelola royalti dan praktik perizinan yang dinilai membebani penyanyi, bahkan berpotensi mengkriminalisasi pelaku seni.
Ketua Fraksi Golkar M. Sarmuji menilai aspirasi yang disampaikan VISI sejalan dengan banyak pihak yang menyoroti persoalan transparansi Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN).
“Saya sudah menyimak dua presentasi (dari) AKSI dan VISI. Konstruksi berpikirnya sama, banyak kesamaan. Mudah-mudahan ini bisa jadi titik temu dari aspirasi VISI dengan AKSI. Kita menyerap aspirasi dari semua stakeholder,” ujar Sarmuji dalam keterangannya.
Sarmuji mengatakan, tidak transparannya tata kelola LMKN menjadi suatu persoalan sendiri.
Ia pun menilai perlu ada aturan yang lebih rasional dan berpihak pada semua pihak dalam ekosistem musik.
“Kalau ditetapkan aturan bahwa pembayaran royalti pertunjukan dilakukan seminggu setelah konser, bolehlah. Jadi tidak perlu menunggu berbulan-bulan seperti sekarang,” kata Sarmuji.
Menurut Sarmuji, langkah VISI yang memperhatikan seluruh pemangku kepentingan seperti pencipta lagu, penyanyi, hingga penyelenggara konser layak diformulasikan bersama Fraksi Golkar.
Di hadapan para musisi, ia juga berkomitmen partainya akan mengawal dan menindaklanjuti aspirasi VISI sebagai bagian dari upaya memperkuat ekosistem musik nasional yang sehat, adil, dan berkelanjutan.
Sekretaris Jenderal Partai Golkar ini menyebut tata kelola royalti tidak boleh berbelit-belit, apalagi merugikan pencipta lagu.
“Sistemnya jangan sampai mempersulit. Kalau sistemnya rumit, dunia usaha kesulitan membayar, dan akhirnya pencipta lagu tidak mendapatkan haknya,” ujarnya.
Bagi Sarmuji, sistem soal royalti ini memang perlu diperbaiki dan harus transparan, berkeadilan, serta memudahkan semua pihak, termasuk dunia usaha.
Sarmuji berharap jangan sampai ada pelaku usaha yang malah merasa terbebani.
“Tidak hanya bagi para pencipta lagu tetapi juga bagi dunia usaha. Memudahkan ini maksudnya, misalnya, dunia usaha, pertunjukan, kafe, restoran, hotel, dan lain-lain. Mudah meminta izin menggunakan lagu dari pencipta lagu,” imbuh dia.
Sementara itu, Ketua Umum VISI, Armand Maulana mengatakan, fokus utama seharusnya bukan pada perizinan, melainkan pada tata kelola dan distribusi royalti yang adil dan transparan.
Vokalis grup band Gigi itu menilai penekanan berlebihan pada aspek izin justru berpotensi menutupi masalah utama yaitu distribusi royalti yang tidak tepat sasaran.
“Perhatian publik dan penyelenggara akan tertuju pada aspek hukum, bukan pada bagaimana hak pencipta dan penyanyi bisa didistribusikan secara adil,” tambah Armand.
Bagi Armand, wacana pembentukan lembaga baru yang khusus untuk konser tidak akan menyelesaikan masalah.
“Yang penting bukan membuat lembaga baru, tapi memperbaiki tata kelola dan transparansi sistem yang sudah ada,” katanya.
Di sisi lain, VISI mendorong reformasi sistem dan percepatan digitalisasi pengelolaan royalti.
Dengan teknologi saat ini, menurutnya, sangat mungkin dibentuk sistem digital yang akurat dan transparan.
“Akar masalahnya bukan di izin, tapi di ketidaktepatan dan ketidaktransparanan distribusi royalti,” tegasnya.
Armand juga mengungkap akar permasalahan ini bermula dari tidak kompeten serta tidak transparannya kerja dari Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) dan LMKN di masa lalu.
Hal ini lantas mengakibatkan munculnya berbagai persoalan seperti kasus penyanyi, Agnez Mo yang diwajibkan membayar dan meminta izin setiap kali tampil di atas panggung.
Oleh karenanya, VISI mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk meninjau pasal-pasal dalam Undang-Undang Hak Cipta yang pelaksanaannya di lapangan tidak sesuai dengan praktik selama lebih dari satu dekade.
“
Performing rights
itu bersifat masif, berulang, dan terjadi dalam waktu bersamaan. Jadi meminta izin langsung ke pencipta lagu setiap kali tampil itu tidak realistis dan kontraproduktif,” tegas Armand.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2025/08/21/68a70807316d6.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Piyu Padi Ungkap Sistem Tak Adil, LMK Masih Tarik Royalti meski Musisi Sudah Bebaskan Nasional 21 Agustus 2025
Piyu Padi Ungkap Sistem Tak Adil, LMK Masih Tarik Royalti meski Musisi Sudah Bebaskan
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Musisi Satriyo Yudi Wahono, atau lebih dikenal sebagai Piyu Padi Reborn, mempermasalahkan sistem penarikan royalti yang berlaku di Indonesia, yakni
Extended Collective License.
Ia menilai sistem itu tidak adil bagi para musisi dan pencipta lagu.
Pasalnya, lewat sistem itu, Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) tetap menarik royalti, meski pencipta lagu sudah membebaskan lagunya untuk dimainkan.
Hal ini dikatakannya dalam rapat konsultasi soal royalti hak cipta bersama pimpinan DPR RI, para musisi, serta LMK dan LMKN di ruang Komisi XIII DPR RI, Kompleks DPR/MPR RI, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (21/8/2025).
“Tadi saudara Marcell (Siahaan) menyampaikan bahwa Indonesia menganut sistem
Extended Collective License
, sehingga mengakibatkan pemungutan royalti bisa dilakukan walaupun pencipta lagu sudah menarik haknya, sudah menarik kuasanya,” kata Piyu, Kamis.
Piyu lantas mencontohkan kasus ketika Wahana Musik Indonesia (WAMI) tetap menarik royalti atas lagu-lagu Ari Lasso.
Padahal, Ari Lasso sudah mencabut haknya atas royalti tersebut.
Dia juga mempertanyakan ke mana royalti itu diberikan.
“WAMI tetap pungut royalti meskipun Ari Lasso bebaskan lagunya untuk dinyanyikan oleh penyanyi lain. Saya rasa hal ini sangat tidak adil, tidak
fair
. Ketika seorang pencipta lagu mencabut kuasanya, tapi tetap dipungut,” ucap Piyu.
“Nah, pungutan itu nanti akan diberikan kepada siapa? Itu pertanyaannya,” imbuhnya.
Selain itu, Piyu juga mempermasalahkan royalti yang dibayar usai musisi menyelesaikan konser maupun pertunjukannya.
Menurut Piyu, royalti seharusnya dibayarkan kepada pencipta lagu sebelum penyanyi naik ke atas panggung.
Pembayaran royalti harus selesai bersamaan dengan pembayaran komponen lain, meliputi artis yang membawakan lagu, vendor, sound engineer, hingga sewa alat.
Hal ini, kata dia, sudah lama diterapkan di luar negeri.
Dia juga bertanya-tanya mengapa Indonesia tidak bisa menerapkan hal serupa.
“Sama seperti yang dilakukan ketika seorang artis atau penyanyi akan naik panggung, harus sudah beres dulu.
Fee
-nya harus beres dulu. Dari DP, dari pemenuhan sebelum naik panggung, harus sudah beres. Termasuk dengan
riders-riders
nya,” beber dia.
Lebih lanjut, ia menilai akar dari dua masalah itu sejatinya adalah Surat Keputusan (SK) Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) tahun 2016 yang tidak pernah direvisi hingga kini.
Keputusan tersebut menyebutkan bahwa royalti akan dipungut sebesar 2 persen dari tiket penjualan yang dilaksanakan setelah konser.
“Sehingga artinya apa? Pencipta lagu ikut menanggung risiko bersama dengan penyelenggara. Walaupun menurut kami, walaupun persentasenya dinaikkan 5-10 persen, jika itu tetap diambil atau dipungut setelah konser, tidak akan mengubah apa-apa,” tandas Piyu.
Sebelumnya diberitakan, masalah royalti mencuat setelah terjadi serangkaian kasus hukum yang menjerat artis hingga restoran.
Agnez Mo misalnya, diminta membayar ganti rugi sebesar Rp 1,5 miliar kepada Ari Bias karena membawakan lagu “Bilang Saja” dalam tiga konser tanpa izin.
Namun akhirnya, Mahkamah Agung (MA) mengabulkan kasasi yang diajukan Agnez pada Senin (11/8/2025) sehingga tidak perlu lagi membayar ganti rugi.
Selain Agnez Mo, masalah ini juga menjerat salah satu petinggi Mie Gacoan yang menjadi tersangka atas dugaan pelanggaran hak cipta musik.
Masalah ini kemudian melebar hingga terjadi konflik di internal musisi.
Nazril Irham, atau yang lebih dikenal sebagai Ariel Noah, menyampaikan bahwa royalti seharusnya dibayarkan oleh penyelenggara, bukan penyanyi yang membawakan lagu.
Sejumlah musisi pun menggugat sengkarut royalti dan tuntutan pencipta lagu kepada para musisi yang marak terjadi belakangan kepada Mahkamah Konstitusi (MK) melalui uji materi Undang-Undang Hak Cipta Nomor 28 Tahun 2014.
Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Saldi Isra lalu meminta pemerintah menegaskan kembali terkait pihak yang wajib membayarkan royalti dalam pertunjukan seni musik, agar tidak ada lagi musisi yang saling tuntut.
Saldi Isra mengatakan hal ini penting dipertegas agar selain menghentikan pertengkaran, juga menghilangkan rasa ketakutan bagi penyanyi yang pendapatannya tak seberapa, seperti penyanyi di kafe.
“Boleh enggak dilakukan seperti itu agar nanti urusan bukan antar penyanyi. Jadi seniman ini jangan dibiarkan berkelahi, biar nanti problemnya itu antara orang yang merasa dirugikan, pemilik hak cipta dengan penyelenggara,” ucapnya.
“Nah itu poin paling penting, kalau ini ada jawaban atau jalan keluar, mungkin sebagian soal ini bisa diselesaikan,” kata Saldi lagi.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -

Once Minta Pengusaha Kecil Tak Usah Kena Pungut Royalti Musik
Bisnis.com, JAKARTA — Anggota DPR RI sekaligus penyanyi Once Mekel angkat bicara terkait dengan polemik terkait pembayaran royalti di Indonesia.
Once mengatakan bahwa sebaiknya pemungutan royalti ini difokuskan untuk pemain atau konser musik besar. Artinya, royalti musik tidak perlu diminta dari pengusaha kecil atau UMKM.
“Iya saya kira kalau usaha-usaha kecil tidak usahlah, kan mereka sedang tumbuh dan tidak boleh diganggu dulu dengan masalah-masalah begini,” ujar Once di kompleks Parlemen, Jakarta, dikutip Sabtu (16/8/2025).
Dia menjelaskan apabila pemungutan royalti dilakukan terhadap UMKM maka dikhawatirkan dapat mengganggu gairah dunia usaha.
Politisi PDIP ini juga mengaku bahwa dirinya telah meminta stakeholder terkait, seperti LMKN, agar pemungutan royalti ini bisa diprioritaskan ke pemain besar saja.
“Saya sudah bilang ke teman-teman yang memang menjadi pengurus di lembaga-lembaga pemutar royalti atau LMK atau LMKN kita tidak memprioritaskan yang seperti itu ya,” imbuhnya.
Di samping itu, Once juga meminta agar pihak-pihak terkait agar bisa mengomunikasikan terkait besaran tarif royalti. Pada intinya, dia ingin polemik royalti ini tidak membebankan pihak manapun.
“Dan kemudian tolong bicarakan lagi tarif-tarif yang benar-benar terjangkau tidak memberatkan siapa-siapa, artinya ada titik temu antara stakeholder di industri yang bersangkutan terkait besaran royalti itu,” pungkasnya.
Sebelumnya, Anggota DPR RI sekaligus penyanyi Sigit Purnomo alias Pasha Ungu juga ikut buka bicara terkait dengan polemik royalti musik.
Menurutnya, dengan adanya polemik ini justru membawa angin positif lantaran industri musik Tanah Air bisa menjadi lebih diperhatikan.
Dia menambahkan, sejauh ini pembayaran royalti untuk dirinya maupun band Ungu berjalan dengan lancar sesuai kontrak yang ada. Vokalis Ungu ini juga menyatakan satu atau dua kekeliruan yang terjadi terkait pembayaran royalti ini sejatinya tak perlu dipersoalkan.
“Bahwa ada satu dua pihak yang kemudian mendapatkan kekeliruan dalam prosesnya. Saya tidak bilang itu wajar, tapi itu mungkin saja terjadi,” tuturnya.
Meskipun begitu, kata Pasha, kekeliruan pembayaran royalti ini tetap harus diselesaikan oleh pihak-pihak terkait seperti LMKN. Dengan begitu, industri musik di Indonesia bisa lebih maju.
Sekadar informasi, persoalan terkait royalti musik ini sempat menyeret sejumlah musisi ternama seperti Ari Lasso. Penyanyi tersohor di Indonesia itu sempat mempersoalkan terkait dengan royalti yang diterimanya senilai ratusan ribu.
Selain itu, polemik ini juga turut menyeret penyanyi go internasional Agnes Monica atau Agnez Mo. Dalam kasusnya, Agnez sempat dihukum membayar royalti Rp1,5 miliar. Pembayaran royalti ini terkait karena menyanyikan lagu “Bilang Saja” tanpa izin pencipta lagu, yaitu Ari Bias.
Namun, putusan sidang pertama di PN Niaga terhadap Agnez telah dianulir oleh vonis sidang kasasi yang bergulir di MA. Dengan demikian, Agnez tidak lagi diwajibkan membayar royalti Rp1,5 miliar kepada Ari Bias.
-

Agnez Mo Menang Kasasi, Tak Perlu Bayar Royalti Rp1,5 Miliar ke Ari Bias
Bisnis.com, JAKARTA — Mahkamah Agung (MA) mengabulkan kasasi dari penyanyi Agnes Monica atau Agnez Mo terkait persoalan hukuman pembayaran royalti Rp1,5 miliar kepada Ari Bias.
Sidang putusan kasasi Agnez Mo dibacakan pada Senin (11/8/2025). Dengan demikian, putusan ini menegaskan bahwa Agnez Mo tidak perlu membayar royalti terkait karena menyanyikan lagu “Bilang Saja” tanpa izin.
“Amar putusan: kabul,” demikian dikutip dari laman resmi MA, dikutip Kamis (14/8/2025).
Adapun, putusan kasasi ini teregister dalam nomor 825 K/PDT.SUS-HKI/2025. Putusan ini, diputus oleh Ketua Majelis Kasasi Hakim Agung I Gusti Sumanath.
Kemudian, untuk hakim agung anggota dalam sidang kasasi ini yaitu Panji Widagdo dan Rahmi Mulyati. Selain itu, turut sebagai panitera pengganti, yakni Febri Widjayanto.
Sebelumnya, kasus pelanggaran UU Hak Cipta ini telah menyatakan Agnez Mo melanggar hak cipta karena menyanyikan lagu Bilang Saja tanpa izin kepada komposer.
Vonis itu diambil oleh hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat pada (30/1/2025). Dalam putusannya, Agnez Mo wajib membayar denda Rp1,5 miliar terhadap pencipta lagu, yaitu Ari Bias.
Adapun, Ari Bias melalui akun Instagram-nya menyampaikan bahwa dirinya telah menghormati keputusan dari MA yang mengabulkan kasasi Agnez Mo.
“Saya bersyukur proses hukum ini akhirnya berakhir di tingkat kasasi, dan saya berharap semua pihak dapat mengambil hikmah dari perjalanan panjang perkara ini,” tulis Ari dalam salah satu postingannya di akun Instagram @ari_bias, Rabu (13/8/2024).
Namun demikian, dia menyatakan akan terus memperjuangkan hal-hal lainnya agar persoalan terkait hak cipta ini bisa benar-benar tuntas.
“Namun, masih ada satu hal yang tersisa untuk benar-benar menuntaskan perjuangan ini,” pungkas Ari.



/data/photo/2025/07/04/686777ab434f1.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)